Aspek historisitas Alquran bukanlah hal yang mudah untuk dieksplorasi dengan pendekatan ilmiah tertentu. Tidak heran jika para sarjana Barat menjadikan Quranic studies sebagai hal yang eksotis, sekaligus menantang untuk ditelaah lebih komprehensif. Dalam pelacakan historis, keterlibatan sejarah hidup Nabi Muhammad dan komunitas beriman˗˗sebutan awal untuk umat yang mengikuti seruan Nabi Muhammad˗˗menjadi poin utama.
Pelacakannya dapat dimulai dari masa hidup Nabi Muhammad pada periode sekitar abad ke-3 sampai ke-7 M yang oleh para sarjana disebut late antiquity (antik akhir), yaitu ketika budaya klasik dari Yunani-Romawi dan Iran terus mengalami transformasi (Donner, 2015: 3). Hal ini sejalan dengan tesis Angelika Neuwirth yang mengatakan bahwa Alquran juga muncul pada antik akhir ini (Neuwirth, dalam Rippin, 2016: 151-70). Namun, berbeda dengan tesis dari salah satu tokoh orientalis yang kritis terhadap kajian Alquran.
Tesis John Wansbrough
Jika dirinci, setidaknya ada empat tesis yang diajukan John Wansbrough (1928-2002). Pertama, Wansbrough berpendapat bahwa Alquran mengkristal˗˗sebutan khas dari Wansbrough untuk menggambarkan Alquran didokumentasikan dalam bentuk baku– meskipun kemudian ada editing dalam aspek pembubuhan diakritik dan penyeragaman bacaan pada dua abad setelah wafatnya Nabi Muhammad, berkisar pada abad ke-8 dan ke-9 M.
Kedua, melalui analisis sastra, ia meyakini bahwa sumber material Alquran adalah campuran dari berbagai material yang berasal dari berbagai komunitas yang tidak berada di Arabia, melainkan di Iraq dan Syiria. Wansbrough bahkan menyebut bahwa teks-teks yang kemudian disebut teks skriptual adalah kumpulan dari peribahasa, cerita, dan sastra yang beredar secara oral dan bergulat dalam berbagai komunitas. (Donner, 1998: 36)
Berangkat dari asumsi inilah tesis ketiga Wansbrough menyasar pada kesamaan Alquran, hadis, dan sumber-sumber naratif lainnya, sebagai produk dari iklim di mana kelompok sekterian yang saling berpolemik (secterian milieu). Iklim ini terdiri dari orang-orang Kristen, Yahudi, Zoroaster, Beriman, atau proto-Muslim di wilayah Bulan Sabit Subur yang saling melontarkan klaim dan gagasan, yang kemudian mendefinisikan teologi, ritual, dan batas-batas sosiologisnya. (Wansbrough, 1977) Dan tesis keempat adalah variasi bacaan Alquran merupakan hasil residu dari parafrase ide Alquran (masoteric exegesis).
Baca juga: Sudut Pandang John Wansbrough tentang Mushaf Usmani adalah Fiktif
Pada intinya, Wansbrough menggiring pada pemahaman terkait otentisitas Alquran yang dianggap bukan produk zaman Nabi Muhammad. Dalam konteks ini, kesan skeptis terlihat jelas pada gagasan Wansbrough. Bahkan, dalam asumsi-asumsi dasar pendekatan skeptik yang diinisiasi Donner, skeptik Wansbrough dianggap sebagai skeptik radikal, sebab keengganan Wansbrough untuk menggunakan sumber-sumber tradisional dalam Islam.
Tanpa pelibatan sumber-sumber tradisional, Wansbrough dengan sangat percaya diri mengklaim bahwa Alquran dikodifikasi sebagai kitab suci pada abad kedua. Padahal, jika melibatkan sumber-sumber tradisional, gagasan dominan menyebut Alquran telah dihimpun dalam satu mushaf pada zaman Abu Bakar, sebab banyaknya para penghafal Alquran yang gugur pada perang Yamamah. Kodifikasi tersebut dilanjutkan Usman bin Affan dengan membentuk komisi untuk menyatukan bacaan Alquran.
Antitesis Fred Donner
Tesis-tesis Wansbrough dapat dibantah dengan analisis yang komprehensif, khususnya pada pengamatan terhadap kemunculan Alquran yang dianggap sama dengan kemunculan Hadis. Hipotesis Donner sampai pada kerangka berpikir: jika Alquran dan Hadis berasal dari milieu yang sama, dan Hadis sebagai sub-canonical Alquran harusnya memiliki konten yang sama. Dengan metode komparatif, Donner mengidentifikasi aspek yang membedakan Alquran dengan Hadis.
Pada faktanya, keduanya memiliki perbedaan yang tidak hanya dari aspek kontennya saja, tetapi juga aspek historis, tujuan, bahkan diskursusnya. Dari aspek tujuan, Alquran bertujuan untuk kebutuhan liturgi (peribadatan) dan bacaan (Bell, 1953), sedangkan hadis untuk kebutuhan eksegesis dan historis sebuah komunitas (Rippin, 1981). Pertanyaannya, jika memang Alquran dan hadis merupakan produk dari lingkungan yang sama dan dalam waktu yang bersamaan, lalu mengapa konten Alquran sangat berbeda dengan hadis?
Baca juga: Kritik Ignaz Goldzhiher Terhadap al-Tafsir bi al-Ma’tsur
Meski Wansbrough mengatakan bahwa sebagian besar sumber material yang tidak tercantum dalam Alquran pada akhirnya dituangkan dalam bentuk hadis, memang pada faktanya keduanya tidak muncul dalam waktu yang bersamaan. Alquran lebih tepat untuk dikatakan telah eksis, karena pewahyuan masih berupa proses, sehingga tidak mungkin mengalami kristalisasi di awal Islam, dan karenanya bagi Donner, Alquran dapat menjadi sumber sejarah awal Islam yang reliable.
Sedangkan hadis, oleh sebagian peneliti seperti Golziher dan Joseph baru muncul setelah wafatnya Nabi Muhammad, tepatnya pada masa Umayyah. Dalam pembahasan salat misalnya, Alquran tidak menjelaskan secara komprehensif bagaimana praktik ritualnya. Alquran hanya dengan tegas mendorong umatnya untuk menegakkan salat. Berbeda dengan hadis yang justru menjelaskan ritual salat secara rinci dari berbagai aspek. (Donner, 1998: 52)
Pada akhirnya, Donner sampai pada antitesis bahwa Alquran telah mengkristal sebelum terjadinya perang pertama, yakni pada masa Ali bin Abi Thalib. Bisa dibayangkan jika proses pengkristalan ini terlampau jauh dari masa wafatnya Nabi Muhammad. Pertumpahan darah jelas terjadi sebab adanya kompetisi untuk memegang otoritas. Wallahu a’lam[]