Selama ini penyandang disabilitas sering mendapatkan berbagai stigma negatif, baik itu secara implisit atau eksplisit. Stigma ini hadir akibat pengaruh stereotip bahwa penyandang disabilitas memiliki kekurangan dan tidak mampu melakukan berbagai hal dengan baik. Bahkan tak jarang mereka menjadi kaum termarjinalkan. Sebagian masyarakat melupakan bahwa mereka memiliki hak yang sama dengan manusia lainnya.
Dalam ajaran Islam, tindakan-tindakan di atas tidaklah dibenarkan, sebab nabi Muhammad saw datang dengan membawa nilai-nilai kesamaan dan kesetaraan. Misalnya, dalam kisah asbabun nuzul surah ‘Abasa Allah swt ingin menunjukkan bahwa setiap orang – termasuk penyandang disabilitas – berhak diperhatikan. Tidak peduli apakah mereka itu kaum pejabat atau rakyat jelata, kaya atau miskin, laki-laki atau perempuan, tua atau muda.
Dengan demikian, dalam ajaran Islam setiap orang – terlepas dari warna kulit, kesukuan, kebangsaan, bahasa, dan kemampuan – memiliki hak yang sama dengan manusia lainnya, tanpa terkecuali. Dalam hal ini, penyandang disabilitas memilik hak sebagaimana hak yang dimiliki orang lain seperti hak untuk hidup, berkeluarga dan sebagainya. Berbagai stigma negatif yang dapat mengganggu hak tersebut tidak dibenarkan adanya, karena dapat mencederai esensi ajaran Islam.
Surah An-Nur [24] Ayat 61: Penyandang Disabilitas Memiliki Hak Yang Sama
Salah satu ayat yang berbicara tentang ajaran bahwa penyandang disabilitas memiliki hak yang sama dengan manusia lainnya adalah surah an-Nur [24] ayat 61 yang berbunyi:
لَيْسَ عَلَى الْاَعْمٰى حَرَجٌ وَّلَا عَلَى الْاَعْرَجِ حَرَجٌ وَّلَا عَلَى الْمَرِيْضِ حَرَجٌ وَّلَا عَلٰٓى اَنْفُسِكُمْ اَنْ تَأْكُلُوْا مِنْۢ بُيُوْتِكُمْ اَوْ بُيُوْتِ اٰبَاۤىِٕكُمْ اَوْ بُيُوْتِ اُمَّهٰتِكُمْ اَوْ بُيُوْتِ اِخْوَانِكُمْ اَوْ بُيُوْتِ اَخَوٰتِكُمْ اَوْ بُيُوْتِ اَعْمَامِكُمْ اَوْ بُيُوْتِ عَمّٰتِكُمْ اَوْ بُيُوْتِ اَخْوَالِكُمْ اَوْ بُيُوْتِ خٰلٰتِكُمْ اَوْ مَا مَلَكْتُمْ مَّفَاتِحَهٗٓ اَوْ صَدِيْقِكُمْۗ لَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ اَنْ تَأْكُلُوْا جَمِيْعًا اَوْ اَشْتَاتًاۗ فَاِذَا دَخَلْتُمْ بُيُوْتًا فَسَلِّمُوْا عَلٰٓى اَنْفُسِكُمْ تَحِيَّةً مِّنْ عِنْدِ اللّٰهِ مُبٰرَكَةً طَيِّبَةً ۗ كَذٰلِكَ يُبَيِّنُ اللّٰهُ لَكُمُ الْاٰيٰتِ لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُوْنَ ࣖ ٦١
Tidak ada halangan bagi orang buta, tidak (pula) bagi orang pincang, tidak (pula) bagi orang sakit, dan tidak (pula) bagi dirimu, makan (bersama-sama mereka) di rumah kamu atau di rumah bapak-bapakmu, di rumah ibu-ibumu, di rumah saudara-saudaramu yang laki-laki, di rumah saudara-saudaramu yang perempuan, di rumah saudara-saudara bapakmu yang laki-laki, di rumah saudara-saudara bapakmu yang perempuan, di rumah saudara-saudara ibumu yang laki-laki, di rumah saudara-saudara ibumu yang perempuan, (di rumah) yang kamu miliki kuncinya atau (di rumah) kawan-kawanmu. Tidak ada halangan bagi kamu makan bersama-sama mereka atau sendiri-sendiri. Apabila kamu memasuki rumah-rumah hendaklah kamu memberi salam (kepada penghuninya, yang berarti memberi salam) kepada dirimu sendiri, dengan salam yang penuh berkah dan baik dari sisi Allah. Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat(-Nya) bagimu, agar kamu mengerti. (QS. An-Nur [24]: 61)
Menurut Quraish Shihab, surah an-Nur [24] ayat 61 ini menyatakan bahwa: tidak ada halangan dan dosa bagi orang buta untuk tidak melaksanakan secara sempurna kewajiban-kewajiban yang menuntut penggunaan pandangan mata, tidak pula bagi orang pincang untuk kewajiban yang mengahruskan penggunaan kaki yang sehat, tidak pula bagi orang sakit yang penyakitnya menghalangi atau memberatkan dia melakukan sesuatu seperti berpuasa.
Kemudian ayat ini menegaskan bahwa, dan tidak ada pula halangan bagi diri kamu sendiri, untuk makan bersama-sama mereka yang memiliki uzur itu, karena mereka tidak dapat bekerja untuk mencari nafkah, baik itu di rumah kamu atau di rumah bapak-bapakmu, di rumah ibu-ibumu, di rumah saudara-saudaramu yang laki-laki, di rumah saudara-saudaramu yang perempuan, di rumah saudara-saudara bapakmu yang laki-laki, atau di rumah manapun yang telah diizinkan.
Ayat di atas secara umum berisi 3 poin utama, yakni: 1) tidak ada dosa bagi penyandang disabilitas atau orang sakit jika tidak mampu melaksanakan ibadah dengan sempurna karena kesulitan yang diakibatkan oleh disabilitasnya ataupun sakitnya; 2) tidak apa-apa jika seseorang makan bersama penyandang disabilitas dan orang sakit di manapun dan kapanpun sebagaimana ia makan dengan orang lain biasanya; 3) setiap kali memasuki rumah, sebaiknya seseorang mengucap salam.
Ada beberapa riwayat mengenai asbabun nuzul surah an-Nur [24] ayat 61 ini. Namun penulis lebih condong kepada riwayat yang menyatakan bahwa dahulu – sebelum nabi datang – orang-orang merasa tidak enak makan bersama penyandang disabilitas dan orang sakit, karena berbagai kekhawatiran. Misalnya, seseorang tidak enak makan bersama orang pincang karena dia tidak dapat duduk dengan sempurna sehingga dapat mengganggu teman duduknya dan sebagainya.
Orang-orang sungkan makan bersama penyandang disabilitas karena takut menzalimi mereka. Kemudian Allah swt menurunkan surah an-Nur [24] ayat 61 sebagai isyarat kebolehan makan bersama penyandang disabilitas dan orang sakit. Dia juga memerintahkan agar seseorang juga tidak sungkan makan di rumah keluarga atau sahabat dan kerabatnya atau rumah yang diserahkan padanya. Setiap orang boleh makan di sana dengan cara yang ma’ruf dan dibolehkan agama.
Menurut al-Maraghi dalam tafsirnya, dalam ayat ini Allah swt menjelaskan bahwa orang buta, orang pincang dan orang sakit tidak berdosa untuk makan bersama-sama orang yang sehat, dan juga tidak berdosa makan di rumah yang di dalamnya terdapat istri dan keluarganya, termasuk rumah anak karena rumah anak seperti rumahnya sendiri, atau di rumah kerabatnya yang sudah diketahui bahwa mereka merasa senang jika ia makan di rumah mereka.
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat dipahami bahwa surah an-Nur [24] ayat 61 menjelaskan tentang penyandang disabilitas memiliki hak yang sama dengan manusia lainnya. Oleh karena itu, semestinya seorang muslim tidak memiliki stigma negatif terhadap mereka, apalagi membuat penyandang disabilitas merasa terpinggirkan dan tidak berarti. Sebab Islam datang membawa nilai kesetaraan, kesamaan, dan melawan segala tindakan diskriminasi. Wallahu a’lam.