BerandaTafsir TematikPolemik Batas Usia Perkawinan Anak (Bagian 1)

Polemik Batas Usia Perkawinan Anak (Bagian 1)

Polemik ‘nikah muda’ kembali menguat pasca diselenggarakannya Musyawarah Perencanaan Pembangunan Nasional (Musrenbangnas) Rencana Kerja Pemerintah (RKP) 2024. Pasalnya, dalam acara yang digelar di JCC, Selasa, 16 Mei 2023 tersebut, KH. Ma’ruf Amin menghimbau kepada generasi muda untuk tidak menunda perkawinan. Hal ini disampaikan menyusul tren angka kelahiran yang cenderung menurun.

Himbauan tersebut lantas direspon ‘negatif’ oleh narasinewsroom dengan menyajikan data Komnas Perempuan yang menyebutkan bahwa hingga tahun 2021 jumlah dispensasi nikah anak telah mencapai 59.709 kasus dengan 80% penyebabnya adalah hamil di luar nikah. Selain itu, merujuk data Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, perkawinan anak di Indonesia menempati peringkat 2 di ASEAN dan peringkat 8 di dunia.

Usia perkawinan memang menjadi masalah yang cukup serius. Tingginya angka perceraian dan rendahnya kualitas generasi yang dilahirkan merupakan sedikit dari dampak negatif yang diakibatkan. Kurangnya kesiapan psikologis, sosial, dan finansial disinyalir menjadi penyebab utamanya. Tak pelak, penentuan usia menjadi salah satu faktor penting yang harus diselesaikan.

Baca Juga: Pemikiran Musdah Mulia tentang Pernikahan Anak

Alquran tidak memberikan ketentuan secara eksplisit terkait dengan usia perkawinan. Selain itu, fikih munakahat, dalam hal ini, juga tidak menjadikan usia sebagai syarat utama bagi calon pengantin (catin) laki-laki maupun perempuan. Tidak ada satu pun klausul yang menyingung masalah usia. Fikih hanya mensyaratkan ketiadaan hubungan mahram dan paksaan, kejelasan sosok (ta‘yin) dan status baik laki-laki maupun perempuan, dan beberapa syarat lain.

Namun demikian, menarik, karena dalam Surah An-Nisa’ [4] ayat 6, diksi nikah (al-nikah) justru dijadikan standar waktu penentu bagi seseorang (anak-anak yatim) telah dianggap mampu mengatur hartanya sendiri.

وَابْتَلُوا الْيَتٰمٰى حَتّٰىٓ اِذَا بَلَغُوا النِّكَاحَۚ فَاِنْ اٰنَسْتُمْ مِّنْهُمْ رُشْدًا فَادْفَعُوْٓا اِلَيْهِمْ اَمْوَالَهُمْ ۚ وَلَا تَأْكُلُوْهَآ اِسْرَافًا وَّبِدَارًا اَنْ يَّكْبَرُوْا ۗ وَمَنْ كَانَ غَنِيًّا فَلْيَسْتَعْفِفْ ۚ وَمَنْ كَانَ فَقِيْرًا فَلْيَأْكُلْ بِالْمَعْرُوْفِ ۗ فَاِذَا دَفَعْتُمْ اِلَيْهِمْ اَمْوَالَهُمْ فَاَشْهِدُوْا عَلَيْهِمْ ۗ وَكَفٰى بِاللّٰهِ حَسِيْبًا

“Ujilah anak-anak yatim itu (dalam hal mengatur harta) sampai ketika mereka cukup umur untuk menikah. Lalu, jika menurut penilaianmu, mereka telah pandai (mengatur harta), serahkanlah kepada mereka hartanya. Janganlah kamu memakannya (harta anak yatim) melebihi batas kepatutan dan (janganlah kamu) tergesa-gesa (menghabiskannya) sebelum mereka dewasa. Siapa saja (di antara pemelihara itu) mampu, maka hendaklah dia menahan diri (dari memakan harta anak yatim itu) dan siapa saja yang fakir, maka bolehlah dia makan harta itu menurut cara yang baik. Kemudian, apabila kamu menyerahkan harta itu kepada mereka, hendaklah kamu adakan saksi-saksi. Cukuplah Allah sebagai pengawas.” (QS. An-Nisa’ [4]: 6)

Qur’an Kemenag sendiri pada ayat ini memberikan terjemah dengan umur untuk menikah, yang menunjukkan batasan usia tertentu untuk menikah. Pertanyaannya, berapakah usia menikah tersebut, jika dalam hal ini dikaitkan kemampuan mengelola harta?

Wahbah al-Zuhailiy dalam tafsirnya menjelaskan bahwa al-nikah ditandai dengan mimpi basah (ihtilam) atau sempurnanya usia 15 tahun. Penjelasan ini beliau nukil dari Imam Al-Syafi’i dan Ahmad. Selain itu, dalam tafsirnya terhadap Surah Al-An‘am [6] ayat 152, ia juga memberikan kriteria lain atas usia nikah, yakni kemampuan dan kecakapan fisik dan mental (quwwah al-badan) serta  pengetahuan (quwwah al-ma‘rifah).

وَقَدْ فُسِّرَ بُلُوْغُ الْأَشَدِّ أي القُوَّةَ وَهِيَ قُوَّةُ الْبَدَنِ وَالْمَعْرِفَةُ بِاَيَةٍ أُخْرَى فِيْ سُوْرَةِ النِّسَاءِ وَهِيَ وَابْتَلُوا الْيَتامى حَتّى إِذا بَلَغُوا النِّكاحَ فَإِنْ آنَسْتُمْ مِنْهُمْ رُشْداً فَادْفَعُوا إِلَيْهِمْ أَمْوالَهُمْ. فَجُمِعَ بَيْنَ قُوَّةِ الْبَدَنِ وَهُوَ بُلُوْغُ النِّكَاحِ، وَبَيْنَ قُوَّةِ الْمَعْرِفَةِ وَهُوَ إِيْنَاسُ الرُّشْدِ.

“Frasa bulugh al-asyadd ditafsirkan dengan quwwah (kemampuan dan kecakapan), yakni kecakapan badan dan pengetahuan, dengan ayat yang lain (Surah An-Nisa’ [4]:6). Sehingga antara kecakapan badan yang menjadi arti sampainya usia nikah dengan kecakapan pengetahuan yang menjadi arti dari kepandaian.”

Menurutnya, dua kriteria ini merupakan kombinasi dari bulugh al-nikah dan inas al-rusyd sebagaimana disebutkan dalam Surah An-Nisa’ [4] ayat 6 di atas.

Unsur usia yang dinukil Al-Zuhailiy dari Al-Syafi’i dan Ahmad ini yang agaknya menjadi penjelas bagi usia perkawinan, yang dalam kajian normatif fikih lazim disebut dengan baligh, yakni mimpi basah bagi laki-laki dan menstruasi bagi perempuan atau sempurnanya usia 15 tahun bagi keduanya. Padahal sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, fikih munakahat tidak menyebut usia ini sebagai prasyarat pernikahan.

Baca Juga: Telaah Dalil Poligami: Poligami Boleh Saja, Tapi Afdhal-nya Tetap Monogami

Sementara itu, Nimatul Maula dalam tulisannya berjudul Telaah Q.S. Annisa: 6 tentang Usia Minimal Pernikahan menyebutkan bahwa mimpi basah dan menstruasi ‘hanyalah’ tanda bahwa baik laki-laki maupun perempuan telah memiliki kesiapan kemampuan reproduksi. Dan reproduksi ini lah yang menjadi salah satu tujuan dilangsungkannya pernikahan, pemenuhan kebutuhan biologis dan memperoleh keturunan.

Namun apakah kemampuan reproduksi tersebut menjadi faktor yang menentukan batas usia pernikahan, mengingat dalam fikih munakahat juga ditemukan kasus nikah bagi shabiy atau thifl (anak kecil)? Wallahu a‘lam bi al-shawab.

Nor Lutfi Fais
Nor Lutfi Fais
Santri TBS yang juga alumnus Pondok MUS Sarang dan UIN Walisongo Semarang. Tertarik pada kajian rasm dan manuskrip kuno.
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU