Setiap 28 Oktober, bangsa Indonesia mengenang kembali ikrar suci Sumpah Pemuda. Sebuah komitmen monumental yang menyatukan ribuan pulau dan ratusan suku dalam satu identitas. Ikrar ini adalah antitesis dari ‘ashabiyyah (fanatisme kesukuan) jahiliah yang menjadi musuh utama persatuan.
Kini, hampir seabad berlalu, pemuda Indonesia dihadapkan pada tantangan yang berbeda. Semangat “Satu Bangsa” itu diuji oleh ‘ashabiyyah bentuk baru di era digital. Polarisasi politik, filter bubble media sosial, dan “perang suku” antar pendukung di dunia maya menjadi ancaman nyata bagi persatuan yang telah dirajut para pendahulu.
Refleksi Sumpah Pemuda hari ini menuntut kita untuk kembali pada nilai-nilai persatuan hakiki. Al-Qur’an, sebagai pedoman hidup, telah memberikan panduan abadi tentang bagaimana pemuda seharusnya bersikap dalam mengelola perbedaan dan merawat persatuan. Al-Qur’an menawarkan kontekstualisasi yang relevan untuk semangat Sumpah Pemuda.
Tafsir “Satu Bangsa” dalam Bingkai Q.S. Al-Hujurat
Ikrar “Satu Bangsa, Indonesia” adalah sebuah lompatan kesadaran untuk melampaui identitas primordial. Para pemuda tahun 1928 sepakat bahwa identitas ke-Indonesiaan lebih utama daripada identitas kedaerahan. Visi ini sejatinya adalah implementasi dari firman Allah SWT dalam Q.S. al-Hujurat [49]: 13.
Allah SWT berfirman:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَىٰ وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا ۚ إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
“Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa (syu’ūban) dan bersuku-suku (qabā’ila) agar kamu saling mengenal (li ta’ārafū). Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Mahateliti.”
Ayat ini, sebagaimana dijelaskan dalam banyak kitab tafsir seperti Tafsīr al-Munīr karya Wahbah al-Zuhaili, adalah penegasan universal tentang kesetaraan manusia. Perbedaan suku dan bangsa (syu’ūb wa qabā’il) bukanlah diciptakan untuk saling mencela atau berbangga diri—sebuah praktik yang marak di era digital—melainkan untuk lita’ārafū (saling mengenal).
Baca juga: Pengaruh Sumpah Pemuda terhadap Tafsir Al-Quran di Nusantara
Kata ta’āruf berasal dari akar yang sama dengan ‘urf (kebaikan, adat). Ini bukan sekadar kenal nama, tapi sebuah proses interaksi aktif untuk memahami keunikan satu sama lain yang melahirkan harmoni. Sumpah Pemuda adalah manifestasi ta’āruf skala nasional. Pemuda Jong Java “mengenal” pemuda Jong Ambon, bukan untuk mencari perbedaan, tapi untuk menemukan titik temu sebagai “Bangsa Indonesia”.
Tantangan pemuda kini adalah mengamalkan spirit lita’ārafū di media sosial. Ketika algoritma justru menjebak kita dalam echo chamber (ruang gema) yang seragam, pemuda harus proaktif “mengenal” kelompok yang berbeda. Ayat ini ditutup dengan penegasan bahwa kemuliaan hanya milik atqākum (yang paling bertakwa), bukan yang paling fanatik pada kelompoknya.
Tafsir “Satu Tanah Air” dan “Satu Bahasa” dalam Q.S. Ali ‘Imran
Ikrar “Satu Tanah Air” dan “Satu Bahasa” adalah wujud nyata dari upaya menjaga keutuhan kolektif. Tanpa bahasa persatuan, mustahil ta’āruf bisa terjadi. Tanpa komitmen pada tanah air yang satu, ukhuwwah (persaudaraan) akan rapuh. Al-Qur’an secara tegas memerintahkan umat untuk berpegang teguh pada tali persatuan.
Perintah ini termaktub dalam Q.S. Ali ‘Imran [3]: 103:
وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا ۚ وَاذْكُرُوا نِعْمَتَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ إِذْ كُنْتُمْ أَعْدَاءً فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ فَأَصْبَحْتُمْ بِنِعْمَتِهِ إِخْوَانًا
“Dan berpegangteguhlah kamu semuanya pada tali (agama) Allah (ḥablillāh) seraya berjamaah, dan janganlah kamu bercerai-berai (wa lā tafarraqū). Dan ingatlah nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliah) bermusuhan, lalu Allah mempersatukan hatimu, sehingga dengan karunia-Nya kamu menjadi bersaudara.”
Imam al-Qurthubi dalam al-Jāmi’ li Aḥkām al-Qur’ān menjelaskan bahwa ḥablillāh (tali Allah) adalah Al-Qur’an, jamaah, atau ikatan tauhid. Dalam konteks kebangsaan, Sumpah Pemuda adalah “tali” pemersatu bangsa. Ia adalah mītsāq (kesepakatan luhur) yang mengikat kita, sama seperti Allah mengikat kaum Aus dan Khazraj yang bermusuhan menjadi ikhwānā (bersaudara).
Larangan wa lā tafarraqū (jangan bercerai-berai) adalah inti pesan ayat ini. Pemuda hari ini harus menjadi garda terdepan melawan tafarruq (perpecahan) digital. Bahasa Indonesia, sebagai ikrar ketiga, adalah alat untuk ta’līf al-qulūb (menyatukan hati), bukan alat untuk menyebar ujaran kebencian (hate speech) yang mencerai-beraikan.
Refleksi Pemuda: Menjadi Fityah di Zaman Now
Sumpah Pemuda adalah gerakan anak muda. Al-Qur’an mengabadikan peran pemuda revolusioner dalam sosok Ashabul Kahfi. Mereka bukanlah pemuda pasif, melainkan pemuda yang berani mengambil sikap di tengah kerusakan zaman.
Allah memuji mereka dalam Q.S. al-Kahf [18]: 13-14:
نَحْنُ نَقُصُّ عَلَيْكَ نَبَأَهُمْ بِالْحَقِّ ۚ إِنَّهُمْ فِتْيَةٌ آمَنُوا بِرَبِّهِمْ وَزِدْنَاهُمْ هُدًى. وَرَبَطْنَا عَلَىٰ قُلُوبِهِمْ إِذْ قَامُوا فَقَالُوا رَبُّنَا رَبُّ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ
“Kami kisahkan kepadamu (Muhammad) cerita ini dengan benar. Sesungguhnya mereka adalah pemuda-pemuda (fityah) yang beriman kepada Tuhan mereka, dan Kami tambahkan petunjuk kepada mereka. Dan Kami telah meneguhkan hati mereka (rabathnā ‘alā qulūbihim) di waktu mereka berdiri, lalu mereka berkata: ‘Tuhan kami adalah Tuhan langit dan bumi’…”
Baca juga: Ikrar Setia Kaum Hawariyyun: Refleksi Peringatan Hari Sumpah Pemuda
Pemuda Sumpah Pemuda adalah fityah yang “berdiri” (qāmū), mendeklarasikan satu Tuhan, satu bangsa, satu tanah air, dan satu bahasa. Mereka adalah pemuda yang hatinya diteguhkan Allah (rabathnā ‘alā qulūbihim) untuk melawan arus utama perpecahan saat itu.
Refleksi bagi pemuda zaman now adalah: jadilah Ashabul Kahfi di era digital. Jadilah pemuda yang “berdiri” melawan hoaks, menghentikan penyebaran fitnah, dan menolak menjadi bagian dari tribalisme buta. Gunakan spirit Q.S. al-Hujurat [49]: 13 untuk merangkul perbedaan dan spirit Q.S. Ali ‘Imran [3]: 103 untuk merajut persatuan. Itulah makna kontekstual Sumpah Pemuda bagi generasi Rabbani hari ini.

















