Apabila kita menyembelih sapi lalu setelah membedah perutnya menemukan janin si sapi yang ikut mati, bagaimana hukum memakan si janin? Hal ini tentunya membingungkan banyak orang. Mungkin akan ada yang berpendapat bahwa seharusnya si janin halal, sebab selama ia belum lahir dan ia ibarat daging. Namun mungkin juga akan ada yang merasa kikuk, sebab bagaimanapun juga ia bakal hewan yang kelak akan menjadi hewan lain selain induknya.
Permasalahan ini rupanya juga menarik perhatian para pakar tafsir. Hal ini disebabkan ada yang meyakini bahwa janin tersebut adalah bangkai, yang berarti dianggap hewan lain yang mati tanpa proses disembelih. Dan sudah jelas bagaimana pandangan Al-Qur’an tentang bangkai. Ulama’ yang menolak, mengajukan dasar hadis untuk menunjukkan bahwa janin yang mati di dalam kandungan induknya yang disembelih, tidaklah disebut bangkai oleh syariat.
Baca juga: Berikut Tips Beristikamah dari Tafsir Ayat tentang Istikamah
Memakan Janin Hewan yang Disembelih dalam Kitab Tafsir
Para ahli tafsir mengulas persoalan janin hewan pada dua tempat di dalam Al-Qur’an. Yang pertama di dalam Surat Al-Maidah yang berbunyi:
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اَوْفُوْا بِالْعُقُوْدِۗ اُحِلَّتْ لَكُمْ بَهِيْمَةُ الْاَنْعَامِ اِلَّا مَا يُتْلٰى عَلَيْكُمْ غَيْرَ مُحِلِّى الصَّيْدِ وَاَنْتُمْ حُرُمٌۗ – الى ان قال – حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيْرِ وَمَآ اُهِلَّ لِغَيْرِ اللّٰهِ بِهٖ وَالْمُنْخَنِقَةُ وَالْمَوْقُوْذَةُ وَالْمُتَرَدِّيَةُ وَالنَّطِيْحَةُ وَمَآ اَكَلَ السَّبُعُ اِلَّا مَا ذَكَّيْتُمْۗ
Wahai orang-orang yang beriman, penuhilah janji-janji! Dihalalkan bagimu hewan ternak, kecuali yang akan disebutkan kepadamu (keharamannya) dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu sedang berihram (haji atau umrah). – sampai ayat – Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, dan (daging hewan) yang disembelih bukan atas (nama) Allah, yang tercekik, yang dipukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan yang diterkam binatang buas, kecuali yang (sempat) kamu sembelih (QS. Al-Ma’idah [5] :1-3)
Baca juga: Surah Al-Hajj [22] Ayat 34: Berkurban Adalah Syariat Agama Samawi
Imam Ibn Katsir menyatakan dalam tafsir ayat di atas, Ibn ‘Umar, Ibn Abbas dan tidak sedikit ulama’ menjadikan ayat ini sebagai dasar kehalalan janin yang ditemukan mati di perut induknya yang disembelih. Setelah itu Ibn Katsir menuturkan beberapa riwayat hadis yang menjelaskan bahwa hukum si janin adalah sebagaimana hukum sembelihan induknya. Dalam artian, apabila ibunya halal, maka si janin otomatis menjadi halal meski mati tidak melewati proses disembelih (Tafsir Ibn Katsir/2/8).
Tempat kedua adalah firman Allah yang berbunyi:
اِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ وَالدَّمَ وَلَحْمَ الْخِنْزِيْرِ وَمَآ اُهِلَّ بِهٖ لِغَيْرِ اللّٰهِ ۚ
Sesungguhnya Dia hanya mengharamkan atasmu bangkai, darah, daging babi, dan (daging) hewan yang disembelih dengan (menyebut nama) selain Allah (QS. Al-Baqarah [2] :173).
Imam Ar-Razi menyatakan dalam tafsir ayat di atas, ulama’ berbeda pendapat mengenai hukum mengkonsumsi janin hewan yang ditemukan mati setelah induknya disembelih. Imam Abu Hanifah menghukuminya haram sebab menganggapnya sebagai bangkai. Imam Malik memberi rincian, apabila wujudnya telah sempurna dan bulunya telah tumbuh, maka halal. Apabila belum, maka haram. Imam Syafi’i dan Ahmad menghukuminya halal dikonsumsi sebab berdasarkan dalil hadis tentang sembelihan janin yang diriwayatkan dari Jabir ibn Abdullah dan berbunyi (Tafsir Mafatihul Ghaib/3/30):
« ذَكَاةُ الْجَنِينِ ذَكَاةُ أُمِّهِ »
Sembelihan janin adalah sembelihan induknya (HR. Abu Dawud, At-Tirmidzi, Al-Hakim dan selainnya)
Baca juga: Mengenal Tujuh Istilah Angin yang Disebutkan dalam Al-Quran
Mayoritas ulama’ menyatakan bahwa janin yang ditemukan mati setelah induknya disembelih hukumnya halal. Hal ini bisa disimak lewat pernyataan Imam An-Nawawi yang menuturkan bahwa hanya Imam Abu Hanifah dan Zufar yang menyatakan haram. Imam An-Nawawi juga mengutip pernyataan Imam Ibn Mundzir yang mengatakan, hanya Imam Abu Hanifah yang mengatakan haram. Akan tetapi Ibn Mundzir mengatakan tidak yakin pengikut Abu Hanifah akan mengikuti pendapat Abu Hanifah tersebut (Al-Majmu’ Syarah Muhadzdzab/9/128). Wallahu a’lam bish showab.