Tafsir Surah Al-Kahfi Ayat 1-5: Pujian kepada Allah dan Fungsi Al-Quran sebagai Pedoman yang Lurus

Tafsir Surah Al-Kahfi Ayat 1-5: Pujian kepada Allah dan Fungsi Al-Quran
Tafsir Surah Al-Kahfi Ayat 1-5: Pujian kepada Allah dan Fungsi Al-Quran

Menurut Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Mishbah, Al-Kahfi merupakan satu dari lima surah Al-Quran yang diawali dengan diksi al-hamd (pujian). Empat surah lainnya ialah Al-Fatihah, Al-An’am, Saba’, dan Fathir. Yang menjadi pembeda dari empat surah itu, pujian dalam Surah Al-Kahfi, tampak mengisyaratkan Allah yang berkuasa menurunkan Al-Quran sebagai pedoman tak tergoyahkan. Tentang hal ini, para mufasir menjelaskannya saat menafsirkan Surah Al-Kahfi ayat 1-5.

ٱلْحَمْدُ لِلَّهِ ٱلَّذِىٓ أَنزَلَ عَلَىٰ عَبْدِهِ ٱلْكِتَٰبَ وَلَمْ يَجْعَل لَّهُۥ عِوَجَا ۜ

 قَيِّمًا لِّيُنذِرَ بَأْسًا شَدِيدًا مِّن لَّدُنْهُ وَيُبَشِّرَ ٱلْمُؤْمِنِينَ ٱلَّذِينَ يَعْمَلُونَ ٱلصَّٰلِحَٰتِ أَنَّ لَهُمْ أَجْرًا حَسَنًا

مَّٰكِثِينَ فِيهِ أَبَدًا

وَيُنذِرَ ٱلَّذِينَ قَالُوا۟ ٱتَّخَذَ ٱللَّهُ وَلَدًا

مَّا لَهُم بِهِۦ مِنْ عِلْمٍ وَلَا لِءَابَآئِهِمْ ۚ كَبُرَتْ كَلِمَةً تَخْرُجُ مِنْ أَفْوَٰهِهِمْ ۚ إِن يَقُولُونَ إِلَّا كَذِبًا

“Segala puji bagi Allah yang telah menurunkan kepada hamba-Nya Al Kitab (Al-Quran) dan Dia tidak mengadakan kebengkokan di dalamnya; sebagai bimbingan yang lurus, untuk memperingatkan siksaan yang sangat pedih dari sisi Allah dan memberi berita gembira kepada orang-orang yang beriman, yang mengerjakan amal saleh, bahwa mereka akan mendapat pembalasan yang baik, mereka kekal di dalamnya untuk selama-lamanya. Dan untuk memperingatkan kepada orang-orang yang berkata: “Allah mengambil seorang anak”. Mereka sekali-kali tidak mempunyai pengetahuan tentang hal itu, begitu pula nenek moyang mereka. Alangkah buruknya kata-kata yang keluar dari mulut mereka; mereka tidak mengatakan (sesuatu) kecuali dusta.”

Baca juga: Tidak Semua Tambahan itu Riba, Berikut Penafsiran Fazlur Rahman atas Ayat Riba

Pujian kepada Allah dan rahasia penyebutannya setelah tasbih

Pada ayat pertama, Allah memuji diriNya, Yang telah menurunkan Al-Quran sebagai pedoman tak tergoyahkan dan bebas dari penyelewengan. Bila dibandingkan dengan surah sebelumnya, pujian ini lazim disampaikan setelah bacaan tasbih yang tertera pada awal surah Al-Isra’. Wahbah az-Zuhayli dalam Tafsir al-Munir mengatakan bahwa pujian yang mengiringi bacaan tasbih adalah hal yang lumrah dijumpai baik dalam Al-Quran maupun struktur kalimat bahasa Arab yang lain. Misalnya, dalam Surah Al-Hijr ayat 98 dan wirid yang berbunyi subhanallah wabi hamdih. Sementara, Al-Biqa’i dalam Nudzm ad-Durar menghubungkan ayat pertama dalam Surah Al-Kahfi ini dengan ayat terakhir surah Al-Isra’. Dua ayat ini menunjukkan kewajaran disebutkannya pujian kepada Allah, sekaligus pernyataan pujian setelah adanya perintah untuk memuji dan tasbih kepada Allah di akhir Surah Al-Isra’.

Ar-Razi dalam Mafatihul Ghayb, berargumen tentang penyebutan tasbih di awal, yang kemudian diiringi tahmid. Tasbih (penyucian Allah dari hal-hal yang tak pantas) mengisyaratkan bahwa Ia-lah Dzat Yang Maha sempurna. Lalu, tahmid yang biasa mengirinya menjadi isyarat bahwa Allah Yang Maha menyempurnakan.

Makna al-hamd sebagaimana yang disampaikan az-Zuhayli, ialah pujian atas perbuatan terpuji. Allah selalu layak untuk mendapatkan pujian ini. Bahkan, Ia berhak atas segala jenis pujian. Penambahan al sebelum hamd menunjukkan ketercangkupan seluruh pujian kepada Allah. Al ini oleh pakar bahasa disebut dengan al lil istighraq al jins (al yang menunjukkan makna ketercangkupan seluruh jenis).

Baca juga: Kajian Semantik Makna Kata Khauf dalam Al-Quran

Allah pun, kadang kala memuji diriNya di pembuka surah untuk mengajarkan bagaimana seorang hamba memuji Tuhannya atas seluruh nikmat, yang salah satu nikmat terbesar itu ialah Al-Quran. Karena, fungsi Al-Quran sebagai pedoman untuk menggapai keberuntungan. Demikianlah Az-Zuhayli.

Pedoman yang lurus

Al-Kitab pada ayat pertama oleh mayoritas mufasir dimaknai sebagai Al-Quran. Karena itu, Al-Quranlah yang dikhitabi sebagai kitab tak tergoyahkan. Al-Iwaj pada akhir ayat itu menurut Ibnu ‘Asyur dalam at-Tahrir wat-Tanwir dimaknai dengan bebas dari makna yang menyeleweng dari kebenaran. Dengan pemaknaan ini, Al-Quran disebut sebagai pedoman yang lurus.

Hal ini dikuatkan dengan diksi qayyiman (sangat lurus) pada ayat kedua. Az-Zamakhsyari dalam al-Kasysyaf menegaskan, penguatan ini penting karena terkadang sesuatu tampak tidak bengkok, padahal hakikatnya bengkok. Kata qayyiman sendiri merupakan bentuk mubalaghah dari al-qiyam. Menurut Ibnu ‘Asyur, sifat qayyiman yang dinisbatkan pada Al-Quran adalah sebagai bukti konsistensi Al-Quran dalam menunjukkan hidayah dan kedamaian kepada manusia.

Fungsi Al-Quran sebagai pedoman yang lurus ini kemudian ditujukan untuk memberi peringatan berupa siksasaan terhadap orang yang berhak seperti kaum musrik dan kufur serta kabar gembira berupa pahala kepada kaum yang beriman dan beramal saleh.  Seperti yang lazim diketahui, berita ancaman dan kabar gembira merupakan bagian metode dakwah Al-Quran.

Sementara itu, Peringatan terhadap kaum musyrik dan kufur menurut Ibnu ‘Athiyyah, tidak hanya berupa siksaan di dunia tapi akhirat juga. Bahwa mereka, selain diancam akan hidup nelangsa di dunia, juga dibayang-bayangi adzab yang akan ditimpa diakhirat kelak. Begitu pun, kaum yang beriman dan beramal saleh, akan mendapat kenikmatan yang langgeng sebagaimana yang dijelaskan ayat ketiga.

Ancaman terhadap orang musyrik

Setelah memberi ancaman secara umum, Allah melalui Al-Quran juga memberi ancaman tersebut kepada orang musyrik secara khusus. Hal ini ditunjukkan dalam ayat keempat, yakni orang-orang yang berkata bahwa Allah memiliki anak. Ar-Razi menggolongkan orang musyrik ini ke dalam 3 bagian;1) masyarakat non Muslim Arab, yang menganggap malaikat sebagai anak Allah; 2) kaum Yahudi yang percaya bahwa Uzair merupakan putra Allah, dan; 3) kaum Nasrani yang percaya bahwa Isa Al-Masih putra Allah.

Baca juga: Tafsir Surah Al-Furqan Ayat 61: Matahari Sebagai Sumber Energi Terbarukan

Selanjutnya, Allah menyangkal kepercayaan kaum musyrik tersebut pada ayat kelima. Kepercayaan mereka itu bohong belaka, karena  tidak didasari oleh ilmu. Bahkan nenek moyang mereka pun juga syirik dengan tanpa tendensi ilmu. Pada frasa kaburat kalimatan takhruju min afwahihim menurut Ar-Razi menunjukkan betapa besar rekayasa yang dibuat oleh kaum musrik tersebut, sehingga ucapan mereka pun hanya kebohongan. Maka beginilah jika percaya terhadap sesuatu tanpa didahului dengan belajar. Hanya menyisakan kebohongan dan tentu keragu-raguan. Allah pun dengan tegas melarang kita untuk berbuat demikian, sebagaimana yang tertera dalam Surah Al-Isra ayat 36:

وَلا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ

“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya.”

Karena itulah, melalu Surah Al-Kahfi ayat 5 ini, Allah mengingatkan kita untuk berilmu dulu, sebelum membangun kepercayaan, terutama menyangkut keyakinan keagamaan.  Wallahu a’lam[]