BerandaTafsir TematikTafsir Surah al-Maidah Ayat 8: Tetap Adil Meski Membenci!

Tafsir Surah al-Maidah Ayat 8: Tetap Adil Meski Membenci!

Bersikap adil dan objektif kepada pihak yang tidak disenangi adalah hal yang berat. Sebab itu, Allah swt. dalam surah al-Maidah ayat 8 secara khusus memerintahkan orang yang beriman agar senantiasa menegakkan keadilan atas nama-Nya, meskipun itu terhadap pihak yang dibenci. Berikut ayat dan terjemahannya:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا كُوْنُوْا قَوَّامِيْنَ لِلّٰهِ شُهَدَاۤءَ بِالْقِسْطِۖ وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَاٰنُ قَوْمٍ عَلٰٓى اَلَّا تَعْدِلُوْا ۗاِعْدِلُوْاۗ هُوَ اَقْرَبُ لِلتَّقْوٰىۖ وَاتَّقُوا اللّٰهَ ۗاِنَّ اللّٰهَ خَبِيْرٌۢ بِمَا تَعْمَلُوْنَ

Wahai orang-orang yang beriman! Jadilah kamu sebagai penegak keadilan karena Allah, (ketika) menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah. Karena (adil) itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sungguh, Allah Mahateliti terhadap apa yang kamu kerjakan.

Baca Juga: Surah Al-Maidah Ayat 2: Perintah Berbuat Adil dan Saling Tolong Menolong

Ayat ini oleh para mufasir dipahami dalam beragam bentuk. Misal, Ibnu ‘Asyur dan Shihab mengaitkan ayat ini dengan Q.S. an-Nisa ayat 135 karena redaksinya yang mirip. Jika Q.S. an-Nisa memerintahkan berlaku adil terhadap diri dan kerabat, maka Q.S. al-Maidah ayat 8 memerintahkan adil kepada pihak yang dibenci. (At-Tahrir wa At-Tanwir, 6: 134-136 dan Tafsir Al-Mishbah, 3:41-42)

Di sisi lain, mufasir seperti ar-Razi dan al-Qurtubi tidak mengaitkan ayat ini dengan Q.S. an-Nisa ayat 135, melainkan fokus pada penekanan bersikap adil kepada pihak yang dibenci atau yang dimusuhi. Dijelaskan pula bahwa Q.S. al-Maidah ayat 8 ini menunjukkan bahwa kekafiran seseorang bukanlah alasan seorang muslim untuk berlaku tidak adil. (Mafatih Al-Ghaib, 11: 320 dan Al-Jami’ li Ahkam Al-Qur’an, 6:109-110)

Qutb menjelaskan bahwa ayat ini memang memberi tugas yang berat bagi umat muslim. Sebab, sekadar menahan diri untuk tidak berbuat jahat tidak sesulit untuk aktif bersikap adil dan objektif ketika berhadapan dengan pihak yang tidak disenangi. Maka penekanan moral bersikap adil karena Allah menjadi utama dalam hal ini. (Fi Zhilal Al-Qur’an, 3: 182-183)

Analisis kebahasaan terkait ayat ini dipaparkan oleh Shihab. Dijelaskan bahwa pendahuluan kata al-qisth dalam Q.S. an-Nisa ayat 135 karena perintah bersikap adil disebutkan dalam konteks terhadap diri sendiri dan kerabat. Sedangkan Q.S. al-Maidah ayat 8 mendahulukan niat karena Allah sebagai dasar bersikap adil, sebab hal ini lebih efektif untuk menegasikan kebencian. (Tafsir Al-Mishbah, 3:42)

Shihab menutup penafsirannya pada ayat ini dengan menjelaskan bahwa keadilan bisa menunjuk substansi ajaran Islam. Keadilan tidak harus dikalahkan oleh kasih sayang, bahkan terkadang kasih sayang tidak mampu memberi keadilan. Sebab, adil adalah menempatkan sesuatu sesuai tempatnya, sedang kasih sayang cenderung condong kepada pihak yang disayangi, meskipun belum tentu benar. (Tafsir Al-Mishbah, 3:42)

Baca Juga: Prinsip Syariat Islam (Bag. 3): Berorientasi Maslahat dan Keadilan

Perintah untuk Bersikap Objektif

Penulis melihat sisi menarik dari potongan ayat dan janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Potongan ayat ini bisa juga dipahami sebagai perintah untuk menerima kebenaran yang datang dari pihak yang tidak disenangi. Jelas, jika kebenaran datang dari pihak yang tidak disenangi, maka kita harus menerimanya.

Perintah ini menempati posisi urgen jika memerhatikan fenomena media sosial yang telah masuk ke berbagai dimensi masyarakat. Di era media sosial, informasi menyebar dengan sangat cepat, tidak peduli apakah informasi itu benar atau tidak. Belum lagi algoritma media sosial yang berhasil membuat membuat penggunanya hanya memperoleh konten yang disenangi.

Cara kerja algoritma media sosial menggerus objektivitas masyarakat. Mereka hanya disuapi informasi yang sesuai dengan keinginannya, bukan yang sesuai dengan kenyataann. Ketika menemukan informasi yang tidak sesuai dengan keinginan, maka penolakan sangat mungkin terjadi. Pada titik inilah objektivitas diuji.

Baca Juga: Tafsir Surah Al-Isra Ayat 36 dan Kematian Pakar di Media Sosial

Kebenaran bisa datang dari siapa pun. Bahkan As-Sa’di dalam tafsirnya menjelaskan bahwa salah satu bentuk keadilan adalah menerima kebenaran dari orang kafir dan ahli bid’ah. Diterimanya kebenaran itu bukan karena siapa yang mengatakannya, tetapi karena apa yang diucapkan itu adalah benar. (Taysir Al-Karim Ar-Rahman, 224)

Pendapat yang dipaparkan as-Sa’di seolah mengingatkan kita untuk bersikap adil dan objektif dalam menerima informasi. Jangan sampai karena kesenangan maupun ketidaksenangan terhadap suatu pihak menghalangi kita untuk tidak bersikap adil. Emosi tidak boleh memengaruhi kita sehingga tidak lagi adil dan objektif dalam menerima informasi maupun gagasan.

Sikap adil dan objektif menjadi hal yang harus ditegakkan karena Allah. Di sinilah letak keistimewaan akidah Islam yang mendasarkan segala perbuatan baik hanya kepada Allah. Sikap adil dan objektif karena Allah takkan bisa rusak karena adanya rasa cinta, benci, kekerabatan, kepentingan, maupun nafsu semata.

Ali bin Abi Thalib dalam hal ini memiliki kata-kata bijak yang populer:

انظر ما قال ولا تنظر من قال

Perhatikanlah apa yang dikatakan (seseorang) dan jangan lihat siapa yang mengatakannya.

Wallahu a’lam.

Fikru Jayyid Husain
Fikru Jayyid Husain
Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, minat kajian studi Islam dan Studi Tafsir secara khusus
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Literasi sebagai Fondasi Kemajuan Bangsa Perspektif Alquran

Literasi sebagai Fondasi Kemajuan Bangsa Perspektif Alquran

0
Dapat kita saksikan di berbagai negara, khususnya Indonesia, pembangunan infrastruktur seringkali diposisikan sebagai prioritas utama. Sementara pembangunan kualitas Sumber Daya Manusia seringkali acuh tak...