BerandaTafsir TahliliTafsir Surah Hud Ayat 8-11

Tafsir Surah Hud Ayat 8-11

Tafsir Surah Hud Ayat 8-11 berbicara mengenai sifat dasar manusia yang sering putus asa. Sebelum berbicara mengenai itu mula-mula dijelaskan mengenai prilaku orang-orang musyrik yang lebih senang pada kehidupan dunia daripada akhirat.


Baca sebelumnya: Tafsir Surah Hud Ayat 6-7


Ayat 8

Dari jawaban orang musyrik ini, jelas bahwa mereka hanyalah mengikuti adanya kehidupan di dunia saja; sedang kehidupan yang ada di akhirat, mereka dustakan. Jika Allah menunda datangnya azab yang telah diancamkan oleh Rasul-Nya kepada mereka sampai kepada waktu yang telah ditentukan, mereka mencemooh dan berkata, “Apakah gerangan yang menghalang-halangi datangnya azab itu kepada kami, jika benar azab itu akan datang.”

Allah mengancam bahwa azab itu pasti datang, pada waktu yang telah ditentukan oleh Allah sendiri, dan nanti bila azab itu datang, maka tidak ada yang memalingkannya, dan tidak ada seorang pun yang dapat menahan atau menolaknya. Mereka akan dikepung dari segala penjuru oleh azab, yang selalu mereka perolok-olokkan.

Ayat 9

Allah menjelaskan jika Allah memberikan kepada manusia suatu macam nikmat, sebagai karunia-Nya seperti kemurahan rezeki, keuntungan dalam perdagangan, kesehatan badan, keamanan dalam negeri, dan anak-anak yang saleh, kemudian Allah mencabut nikmat-nikmat itu, maka manusia segera berubah tabiatnya menjadi orang yang putus asa.

Mereka hanya memperlihatkan keingkaran dan tidak lagi menghargai nikmat-nikmat yang masih ada padanya. Di samping putus asa akan hilangnya nikmat itu, mereka juga ingkar kepada nikmat-nikmat yang masih ada padanya. Hal itu disebabkan karena ia tidak memiliki dua sifat yang utama yaitu kesabaran dan kesyukuran.

Ayat 10

Jika Allah menghindarkan manusia dari kemudaratan yang telah menimpa dirinya, dan menggantinya dengan beberapa kenikmatan seperti sembuh dari sakit, bertambah tenaga dan kekuatan, terlepas dari kesulitan, selamat dari ketakutan, maka ia berkata, “Telah hilang dariku musibah dan penderitaan yang tidak akan kembali lagi.”

Musibah dan penderitaan itu tidak lain hanya seperti awan di musim kemarau yang akan segera hilang. Mereka mengucapkan kata-kata yang demikian itu dengan penuh kesombongan dan kebanggaan. Mereka merasa lebih berbahagia dari semua orang yang berada di sekitarnya. Pada dasarnya mereka tidak menerima nikmat-nikmat Allah dengan bersyukur bahkan sebaliknya mereka bersikap sombong dan takabur.


Baca juga: Tafsir Surat An-Nisa Ayat 36: Allah Tidak Menyukai Sifat Sombong dan Angkuh


Ayat 11

Kemudian Allah mengecualikan dari orang-orang yang bersifat seperti tersebut di atas, beberapa orang yang sabar yang selalu berbuat kebajikan.

Mereka itu berlaku sabar ketika ditimpa musibah, beriman kepada Allah, mengharapkan pahala-Nya, dan berbuat amal saleh ketika musibahnya itu telah diganti dengan kenikmatan, serta mensyukuri nikmat itu dengan mengamalkan berbagai amal kebajikan untuk mencapai keridaan Allah, mereka akan mendapat ampunan dari Allah dan pahala yang besar di akhirat nanti, sebagaimana tercantum dalam firman-Nya:

وَالْعَصْرِۙ  ١  اِنَّ الْاِنْسَانَ لَفِيْ خُسْرٍۙ  ٢  اِلَّا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَعَمِلُوا الصّٰلِحٰتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ ەۙ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ ࣖ  ٣

Demi masa. Sungguh, manusia berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan serta saling menasihati untuk kebenaran dan saling menasihati untuk kesabaran. (al- ‘Asr/103: 1- 3)


Baca setelahnya: Tafsir Surah Hud Ayat 12-14


(Tafsir Kemenag)

Maqdis
Maqdis
Mahasiswa Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Pegiat literasi di CRIS Foundation.
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU