Dewasa ini, pendidikan Indonesia menganut pendekatan saintifik mulai dari pendidikan dasar hingga perguruan tinggi. Sungguhpun demikian, elaborasi pendekatan saintifik tampak kentara pada kurikulum 2013 dan kurikulum merdeka belajar yang tengah digodok oleh pemerintah.
Secara sederhana, kata “saintifik” merupakan pengetahuan yang direkonstruksi dari pengalaman empiris dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Atau berlandaskan ilmu pengetahuan, tidak asbun (asal bunyi) bahkan opini tak berdasar. Nah, fakta menunjukkan jauh sebelum menggemanya istilah “ilmiah atau saintifik” sekarang ini, pendidikan Islam telah menjadi milestone (tonggak sejarah) dan role model bagi peradaban Barat yang tengah diselimuti kabut hitam kala itu. Hal ini terbukti dalam sumber Islam yaitu firman Allah swt Q.S. al-Isra [17]: 36.
وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهٖ عِلْمٌ ۗاِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ اُولٰۤىِٕكَ كَانَ عَنْهُ مَسْـُٔوْلًا
“Dan janganlah kamu mengikuti sesuatu yang tidak kamu ketahui. Karena pendengaran, penglihatan dan hati nurani, semua itu akan diminta pertanggungjawabannya” (Q.S. al-Isra [17]: 36)
Baca juga: Tafsir Tarbawi: Inilah Tujuan Pendidikan Islam
Tafsir Surat Al-Isra Ayat 36
Para ulama ahli takwil terjadi ikhtilaf (berbeda pendapat) terkait menafsirkan ayat di atas apakah lafadz la taqfu bermakna qaul, hal atau mengharuskan menimba ilmu dulu. Sebut saja, al-Tabary dalam tafsirnya, ia mengemukakan perbedaan tersebut di antaranya, sebagian ulama memaknainya sama dengan redaksi ayat di atas (wa la taqfu ma laisa laka bihi ‘ilm). Sebagian yang lain mengartikan,
لا تقل رأيت ولـم تر، وسمعت ولـم تسمع، فإن الله تبـارك وتعالـى سائلك عن ذلك كله
“Jangan berujar jika kamu tidak melihat atau tidak mendengarnya, sungguh Allah swt memberkati orang yang demikian”
Masih menurut al-Tabary, ulama mutaakhirin justru memaknainya dengan la tarama (jangan membuang). Artinya, jangan membuang tenaga kalian secara sia-sia tanpa didasari dengan ilmu.
Senafas dengan al-Tabary, Al-Zamakhsyari dalam Tafsir Kasyaf-nya, menafsiri redaksi “la taqfu” dengan la tattabi’u (jangan mengikuti). Jangan mengikuti jejaknya, yaitu janganlah kalian mengikuti perkataan atau perbuatan seseorang yang tidak berlandaskan ilmu atau pengetahuan. Seperti halnya seorang salik yang tidak tahu arah sehingga tersesat jalannya karena mengikuti seorang mursyid yang rusak agamanya (la ya’lamu shihhatihi min fasadihi).
Baca juga: Tafsir Tarbawi: Belajar Semangat Menuntut Ilmu dari Nabi Musa AS
Sedangkan al-Razi dalam Tafsir al-Kabir menyitir pernyataan Qatadah, “jangan katakan kamu telah mendengar sebelum kamu mendengar, jangan katakan kamu telah melihat sebelum kamu melihat, dan jangan katakan kamu telah mengetahui sebelum kamu mengetahuinya”. Tidak jauh berbeda, Al-Qurthuby mem-warning kepada kita agar tidak gumun (takjub) terhadap seseorang sehingga taklid buta alias membabi buta mengikutinya tanpa mengetahui track record-nya atau bahkan justru ia menyesatkan.
Pendekatan saintifik dalam pendidikan Islam
Ayat di atas menyiratkan akan pentingnya pendekatan saintifik dalam pendidikan Islam. Dari beberapa penafsiran di atas menunjukkan betapa pentingnya untuk tidak berargumen sebelum kita mengetahui duduk permasalahannya. Sebelum membahas lebih jauh, sedikit kami ulas definisi saintifik.
Kata “saintifik” berasal dari bahasa Latin, scientia yang berarti pengetahuan. Sedangkan dalam dictionary.cambridge.org, scientific diartikan dengan relating to science or using ythe organized methods of science (berkaitan dengan sains atau menggunakan metode kerangka berpikir sains yang terstruktur). Tidak jauh berbeda, merriam-webster.com mengartikan scientific dengan conducted in the manner of science or according to results of investigation by science : practicing or using thorough or systematic methods (berbasis pengetahuan atau penyelidikan mendalam; menggunakan langkah-langkah yang ilmiah).
Berpijak dari definisi di atas, maka tak heran jika pendidikan Islam sebagai mercusuar akademik sudah seharusnya menggunakan pendekatan saintifik di segala lini. Kalau sedikit menengok ke belakang, di awal-awal sejarah sains dalam Islam, aktualisasi konsep saintifik terejawantahkan dalam dua hal, yaitu obersvasi dan eksperimen.
Baca juga: Tafsir Tarbawi: Mewarisi Pekerti Adiluhung Rasulullah SAW
Sebagaimana catatan Muammad Dizer dalam Observatories and Astronomical Instruments mengatakan bahwa warisan intelektual Islam ditunjukkan oleh sejumlah institusi sentral untuk pengembangan sains seperti rumah sakit, sekolah atau universitas (madrasah), perpustakaan umum, dan observatorium.
Yang disebutkan terakhir merupakan institusi yang merepresentasikan tradisi riset saintifik tingkat tinggi – atau dalam terminologi modern dikenal istilah High Order Thinking Skill (HOTS) – berdasarkan pada observasi yang terstruktur, sistematis dan masif dan penuh kalkulasi yang matang. Tidak dapat dipungkiri, Dizer juga menggambarkan semua bidang kajian dilahap habis oleh ilmuwan muslim. Tidak diragukan lagi, Islam dengan segala kemajuannya telah menyinari peradaban Barat dan dunia di era kita saat ini.
Maka, untuk memperkuat pendekatan saintifik, ada beberapa hal yang harus diterapkan dan tentu merujuk pada keterangan di atas, yaitu tematik terpadu (tematik antar mata pelajaran) dan tematik dalam suatu pelajaran. Kedua hal ini dapat dielaborasi dengan menggunakan metode pembelajaran berbasis penelitian, discovery atau inquiry learning (pembelajaran berbasis inquiry), dan problem based learning (pembelajaran berbasis masalah).
Dengan demikian, pendekatan saintifik sangat penting guna menghasilkan peserta didik dan manusia Indonesia yang kreatif, kontekstual, dan berakhlakul karimah baik individu maupun kolektif sehingga mampu membawa bangsa Indonesia menuju Indonesia Emas selamanya. Aamiin. Wallahu a’lam[]