BerandaTafsir TematikTafsir Tematik SurahTafsir Surah Yasin ayat 47: Kemanusiaan Sebagai Tanggung Jawab Bersama

Tafsir Surah Yasin ayat 47: Kemanusiaan Sebagai Tanggung Jawab Bersama

Artikel kali ini masih bertalian erat dengan sebelumnya. Wahbah Zuhaili mengelompokkan surah Yasin ayat 47 ini dengan ayat 45 dan 46 di bawah tajuk “Keengganan orang-orang kafir bertakwa kepada Allah, tanda-tanda kebesaran Allah serta berkasih sayang pada makhluk Allah”. Terkhusus ayat 47 ini, berkaitan dengan anjuran untuk saling berkasih sayang meski berbeda dalam keyakinan karena kemanusiaan tetap harus dijunjung bersama’.

Dalam surah Yasin ayat 47 ini memuat anjuran kepada orang-orang kafir agar mau menginfakkan sebagian harta yang telah Allah anugerahkan kepada mereka. Tapi nyatanya mereka menunjukkan keengganan secara tegas. Selain itu mereka juga mencatut nama Allah sebagai dalih untuk menyindir orang-orang mukmin. Berikut redaksi lengkapnya:

 وَاِذَا قِيْلَ لَهُمْ اَنْفِقُوْا مِمَّا رَزَقَكُمُ اللّٰهُ ۙقَالَ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا لِلَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اَنُطْعِمُ مَنْ لَّوْ يَشَاۤءُ اللّٰهُ اَطْعَمَهٗٓ  ۖاِنْ اَنْتُمْ اِلَّا فِيْ ضَلٰلٍ مُّبِيْنٍ

“Dan apabila dikatakan kepada mereka, “Infakkanlah sebagian rezeki yang diberikan Allah kepadamu,” orang-orang yang kafir itu berkata kepada orang-orang yang beriman, “Apakah pantas kami memberi makan kepada orang-orang yang jika Allah menghendaki Dia akan memberinya makan? Kamu benar-benar dalam kesesatan yang nyata.””

Ibnu ‘Abbas, sebagaimana dikutip oleh al-Sabuni dalam Safwah al-Tafasir, mengatakan bahwa ayat ini berkenaan dengan orang-orang zindiq Mekah. Mereka diminta untuk menginfakkan sebagian hartanya untuk membantu orang miskin ketika itu. Namun mereka menolak mentah-mentah. Dalam penolakannya itu mereka berdalih bahwa keadaan miskin tersebut merupakan kehendak Allah dan mereka enggan untuk ikut campur dengan urusan Allah tersebut. Hal senada juga diungkapkan oleh al-Zamakhsyari.

Lebih lanjut al-Zamakhsyari dalam al-Kasysyaf menambahkan bahwa ayat ini itu turun dalam rangka merespons orang-orang musyrik. Ketika itu kalangan sahabat yang berada di bawah garis kemiskinan meminta agar-orang musyrik sudi menginfakkan sebagian hartanya. Namun lagi-lagi permintaan itu mereka tolak dengan dalih yang sama, yakni keadaan mereka sudah kehendak Allah. Jika Allah berkehendak untuk menolong mereka pasti Allah sendiri yang akan membuat mereka kaya.

Baca Juga: Biografi Al-Zamakhsyari: Sang Kreator Kitab Tafsir Al-Kasysyaf

Informasi lebih rinci diberikan oleh al-Shawi. Ia mengatakan bahwa ayat ini berkenaan dengan stori sebagian pembesar-pembesar Mekah. Salah satunya adalah al-‘Ash bin Wail al-Sahmi dan kawan-kawannya. Ketika mereka diminta untuk berinfak, mereka menolak dengan keras seraya mengejek, “Tuhanmu saja membiarkanmu miskin, aku tidak ada urusan untuk ikut campur dengan urusan Tuhannmu!”

Berbeda dengan yang disampaikan oleh Quraish Shihab. Dalam Al-Misbah Quraish memberikan dua kemungkinan terkait dengan sebab nuzul ayat 47 ini. Pertama berkenaan dengan masa sulit yang dihadapi masyarakat Mekah. Lalu Rasulullah memberi anjuran kepada semua pihak, termasuk orang musyrik, agar membatu fakir miskin. Namun anjuran tersebut mereka tolak.

Kedua, bisa jadi keengganan orang-orang musyrik untuk menginfakkan sebagian hartanya ditenggarai oleh adanya pilih kasih. Fakir miskin yang sebelumnya mendapatkan bantuan dari orang-orang musyrik tersebut kali ini tidak mendapatkan bantuan lagi karena telah memeluk Islam. Dan ketika itulah terucap kalimat sindiran tersebut. Kurang lebih hal senada juga diungkapkan oleh Ibnu ‘Asyur dalam Tafsir al-Tahrir wa al-Tanwir.

Terlepas dari perbedaan pendapat dari kalangan mufassir di atas kita bisa menarik benang merah bahwa pada waktu itu Mekah sedang dilanda paceklik dan para pembesar-pembesar diharap untuk ikut bahu-membahu menyelesaikan problem tersebut. Sayangnya pembesar-pembesar musyrik menolak untuk membantu. Mereka beralasan bahwa kemiskinan yang dirasakan oleh sebagian umat muslim merupakan kehendak Allah swt.

Alasan-alasan itu muncul sebagai sindiran kepada umat muslim. sebagaimana diungkapkan oleh Ibnu ‘Asyur bahwa mereka berhujah seakan membalikkan akidah umat Islam sendiri. “Allah itu maha pemberi rizqi. Semuanya sudah diatur olehNya. Tidak akan ada yang keluar dari kehendaknya”. alasan tersebut dilontarkan dengan maksud mengejek dan meremehkan.

Menurut Thaba’thaba’i, ada kesalahan logika dalam alasan yang digunakan oleh orang-orang musyrik. Menurutnya orang-orang musyrik meletakkan ketetapan Allah yang bersifat tasyri’ kepada ketetapan Allah yang bersifat takwin. Berkenaan dengan anjuran untuk berinfak ini merupakan ketetapan Allah yang bersifat tasyri’. Maka dari itu manusia dianugerahi kebebasan untuk mengikuti anjuran atau tidak. Barangkali ini yang disebut  Wahbah Zuhaili dengan “seakan-akan Allah berlepas dengan takdirnya”.

Hal itu ia sampaikan dalam al-Tafsir al-Munir. Wahbah menyatakan bahwa alasan yang dilontarkan oleh orang musyrik tersebut ngawur. Menurutnya, ketika Allah swt menganugerahkan kepemilikan sebuah harta, pada saat itu juga Allah mewajibkan kepada si pemilik untuk menunaikan hak-hak atas hartanya. Lalu seakan-akan Allah berlepas dari takdirnya, karena keputusan akan beralih kepada si pemilik harta, apakah dia akan menunaikan hak-haknya atau tidak.

Terkait dengan kalimat mim ma razaqakumullah (مِمَّا رَزَقَكُمُ اللّٰهُ) Quraish menyatakan bahwa yang dimaskud dengan itu adalah harta benda yang dimiliki dan dinikmati serta berada dalam kekuasannya. Hal itu juga mengindikasikan bahwa harta benda yang mereka miliki itu merupakan anugerah Allah dan seyogianya si pemilik harus menunaikan hak-haknya, salah satunya adalah menginfakkan sebagian hartanya kepada fakir miskin. Terlebih dalam kondisi sulit.

Berinfak tidak mesti makanan, meskipun redaksi ayat merujuk pada makanan, yakni pada kata anut’imu (اَنُطْعِمُ). Namun menurut Ibnu ‘Asyur kata infak tidak mesti memberi makanan. Kata itu juga bisa bermakna memberi pakaian maupun tempat tinggal. Ibnu ‘Asyur menambahkan bahwa alasan penyebutan anut’imu (اَنُطْعِمُ) ini karena hal itu merupakan paling mudahnya infak. Terkait hal ini Quraish Shihab mempunyai analisis menarik.

Baca Juga: Muhammad Thahir Ibnu ‘Asyur dan Empat Prinsip Penafsirannya

Menurutnya, pembatasan pada kata anut’imu (اَنُطْعِمُ) bisa jadi bertujuan untuk menggambarkan kekikiran dan ketidak pedulian mereka terhadap kaum lemah, sehingga hal termudah seperti memberi makanan yang notabene kebutuhan pokok saja mereka enggan memberinya. Apalagi keengganan mereka itu didasari oleh perbedaan keyakinan sebagaimana yang telah disebut di atas.

Tidak berhenti di situ saja. setelah mereka menolak anjuran untu berinfak, mereka lantas menganggap bahwa apa yang dilakukan orang-orang mukmin dengan mengajurkan mereka berinfak merupakan kesesatan yang nyata. Jelas-jelas ini menciderai kemanusiaan. Seharusnya perbedaan, lebih-lebih perbedaan keyakinan, tidak menghalangi kerja-kerja kemanusiaan. Jika mereka bukan saudara dalam iman, mereka adalah saudara dalam kemanusiaan. Begitu kira-kira quote dari Sayyidina Ali bin Abi Thalib ra.

Kiranya demikian pembahasan singkat tasfir surah Yasin ayat 47 ini. Nantikan kelanjutan artikel surah Yasin berikutnya. Wallahu A’lam. []

Maqdis
Maqdis
Mahasiswa Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Pegiat literasi di CRIS Foundation.
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

tafsir surah al-An'am ayat 116 dan standar kebenaran

Tafsir Surah Al-An’am Ayat 116 dan Standar Kebenaran

0
Mayoritas sering kali dianggap sebagai standar kebenaran dalam banyak aspek kehidupan. Namun, dalam konteks keagamaan, hal ini tidak selalu berlaku. Surah al-An'am ayat 116...