BerandaTafsir TematikTiga Sifat Rasulullah dalam Surah At-Taubah Ayat 128

Tiga Sifat Rasulullah dalam Surah At-Taubah Ayat 128

Segala laku hidup Rasulullah saw adalah suri tauladan untuk kita semua. Tidak hanya itu, kepribadian Rasul saw sampai dipuji setinggi langit oleh Allah Swt, wa innaka la’ala khuluqin adzim (Sungguh, Engkau (Muhammad) berada di paling atas budi pekerti yang agung). Artikel ini hendak mengulas tiga sifat Rasulullah dalam Surah At-Taubah ayat 128 yang patut kita teladani untuk segala hal. Simak selengkapnya di bawah ini.

لَقَدْ جَاۤءَكُمْ رَسُوْلٌ مِّنْ اَنْفُسِكُمْ عَزِيْزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ حَرِيْصٌ عَلَيْكُمْ بِالْمُؤْمِنِيْنَ رَءُوْفٌ رَّحِيْمٌ

“Sungguh, benar-benar telah datang kepadamu seorang rasul dari kaummu sendiri. Berat terasa olehnya penderitaan yang kamu alami, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, dan (bersikap) penyantun dan penyayang terhadap orang-orang mukmin.” (Q.S. al-Taubah [9]: 128)

Istikamah dalam Mengajak Kebaikan

Sifat pertama nabi adalah azizun ‘alaihi ma anittum, artinya berat terasa baginya penderitaanmu. Al-Jilani dalam Tafsir al-Jilani menafsirkannya dengan segala sesuatu yang tak diinginkan yang terjadi pada dirimu. Di masa kenabian, Nabi saw diuji dengan berbagai hal berat seperti tanda-tanda kekufuran pada kaumnya sendiri, kesyirikan, ketidaktaatan, serta ketidakpatuhan kepada perintah dan larangan Allah.

Baca Juga: Tiga Niat dalam Menuntut Ilmu

Senada dengan itu, Ibn Katsir dalam Tafsir al-Quran al-Adzim, bahwa terasa berat olehnya sesuatu yang membuat umatnya menderita karenanya. Karena itu, di dalam sebuah hadis yang diriwayatkan melalui berbagai jalur disebutkan bahwa Nabi Saw. pernah bersabda:

بُعِثْتُ بِالْحَنِيفِيَّةِ السَّمْحَةِ

“Aku diutus dengan membawa agama Islam yang hanif lagi penuh dengan toleransi”

Di dalam hadis sahih disebutkan:

إِنَّ هَذَا الدِّينَ يُسْرٌ وَشَرِيعَتَهُ كُلَّهَا سَهْلَةٌ سَمْحَةٌ كَامِلَةٌ، يَسِيرَةٌ عَلَى مَنْ يَسَّرَهَا اللَّهُ تَعَالَى عَلَيْهِ

Sesungguhnya agama ini mudah, semua syariatnya mudah, penuh dengan toleransi lagi sempurna. Ia mudah bagi orang yang dimudahkan oleh Allah dalam mengerjakannya.

Dari ujian berat ini, tak heran jika Nabi saw mampu memahami karakter semua orang dan muncul rahmah (kasih sayang) tanpa membeda-bedakan kedudukannya. Nabi itu sangat istikamah dalam mengajak kebaikan. Nabi selalu memandang bahwa saudara kita adalah lapangan atau ladang untuk mendapatkan ridha dan pahala dari Allah, bukan sebaliknya. Semakin sulit jalan yang harus dilalui Nabi, maka semakin banyak kebaikan yang diraih.

Semangat Mengantarkan Hidayah

Pribadi nabi yang kedua adalah Nabi sangat menginginkan umatnya selamat dan berprilaku baik. Hal ini tercermin dari kata harisun ‘alaikum bahwa nabi saw sangat menginginkan bagimu keimanan, keislaman, dan perbaikan kondisimu. Ibn Katsir mengatakan, nabi itu sangat menginginkan kita semua memperoleh hidayah sehingga senantiasa mampu bermanfaat untuk orang lain, baik di dunia maupun akhirat.

Dalam bahasa al-Razi, ia menyebutkan حريص على إيصال الخيرات إليكم في الدنيا والآخرة, artinya ingin menyampaikan kebaikan (sampai ke hati dan menjadi gaya hidup) kepada kita semua. Di dalam hadits lain disebutkan,

إن اللَّهَ لَمْ يُحَرِّمْ حُرمة إِلَّا وَقَدْ عَلِمَ أَنَّهُ سَيَطَّلِعُهَا مِنْكُمْ مُطَّلَع، أَلَا وَإِنِّي آخِذٌ بِحُجَزِكُمْ أَنْ تَهَافَتُوا فِي النَّارِ، كَتَهَافُتِ الْفِرَاشِ، أَوِ الذُّبَابِ

Dari Abdullah ibnu Mas’ud yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. telah bersabda: “Sesungguhnya Allah tidak sekali-kali mengharamkan sesuatu melainkan Dia telah mengetahui bahwa kelak akan ada dari kalian yang melanggarnya. Ingatlah, sesungguhnya akulah yang menghalang-halangi kalian agar jangan sampai kalian berhamburan terjun ke neraka sebagaimana berhamburannya laron atau lalat”.

Nabi itu memiliki semangat yang mengembara (harisun) untuk mengantarkan dan menyampaikan hidayah kepada umatnya. Nabi tidak berputus asa hanya dengan satu cara, melainkan berbagai cara ia tempuh. Nabi juga tidak hanya berdakwah kepada yang jauh sehingga melalaikan sekitarnya.

Banyak fenomena pendakwah hari ini yang semangat ke sana kemari, tetapi kanan kirinya tidak. Justru, berdakwah harus dimulai dari sekitarnya. Apapun sarana prasarana yang ada, akan diambil demi mengantarkan/ menyampaikan hidayah kepada orang lain. Lebih dari itu, Nabi tidak membatasi diri untuk satu umat saja, melainkan menyentuh seluruh lapisan manusia, tanpa terkecuali.

Penyantun dan Penyayang terhadap Umat

Kepribadian nabi yang ketiga adalah bil mu’minina ra’ufun rahim (Nabi saw itu penyantun, penyayang dan mudah memaafkan orang lain). Nabi itu adalah pribadi yang pemaaf, dan kasih sayang kepada sesama. Sampai-sampai dikisahkan Nabi saw itu seringkali memaafkan dan mengasihi kepada sesama sekalipun pendosa.

Disampaikan Al-Baghawi dalam Ma’alim al-Tanzil bahwa Nabi saw sangat penyantun kepada mereka yang taat akan perintah Allah dan penyayang kepada para pendosa. Senada dengan al-Baghawi, Muqatil bin Sulaiman dalam tafsirnya, menuturkan bahwa Nabi saw sangat penyayang dan belas kasihan kepada semua orang, sebagaimana yang digambarkan dalam kata al-Ra’fah (الرأفة), yaitu al-rahmah, selalu menyayangi, mengasihi dan memuliakan semua orang.

Baca Juga: Tiga Lingkungan Belajar yang Harus Diperhatikan Oleh Pelajar

Bukti sikap kasih sayang nabi kepada manusia adalah Nabi Muhammad saw bangkit ketika ada sebuah prosesi pemakaman seorang Yahudi Madinah. Tatkala ia ditanya mengapa ia berdiri untuk seorang Yahudi, Nabi menjawab, “Bukankah ia seorang manusia?” (alaisat nafsan). (H.R. al-Bukhari dan Muslim).

Di sinilah letak keiistimewaan Nabi bahwa seluruh perkataan, perbuatan dan sikapnya selalu memandang dari segi kemanusiaan. Nabi melintasi sekat agama, ras, suku, budaya, bangsa. Nabi saw adalah suri tauladan untuk kita semua.

Sebagai penutup, saya ingin mengutip perkataan Habib Ali Al-Jufri bahwa kemanusiaan itu mendahului keberagamaan. Kemanusiaan mengajarkan umat manusia untuk memandang dan bersikap terhadap orang lain secara patut dan manusiawi. Kemanusiaan merupakan salah satu tafsiran atas rahmatan lil alamin. Wallahu A’lam.

Senata Adi Prasetia
Senata Adi Prasetia
Redaktur tafsiralquran.id, Alumnus UIN Sunan Ampel Surabaya, aktif di Center for Research and Islamic Studies (CRIS) Foundation
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Q.S An-Nisa’ Ayat 83: Fenomena Post-truth di Zaman Nabi Saw

0
Post-truth atau yang biasa diartikan “pasca kebenaran” adalah suatu fenomena di mana suatu informasi yang beredar tidak lagi berlandaskan asas-asas validitas dan kemurnian fakta...