Dalam sebuah majelis pengajian, penulis mendapatkan ulasan yang sangat menarik terkait hukum menuliskan salam dengan bahasa ‘ajam, bahasa Indonesia misalnya. Kiai Abdul Muhaya, salah seorang dosen UIN Walisongo, yang memberikan materi ketika itu mencoba mengaitkan hukum penulisan salam dengan teori simbol dalam kajian linguistik.
Menurut beliau, tulisan salam dengan bahasa ‘ajam tak ubahnya simbolisme sesuatu yang abstrak, yang dalam kajian linguistik disebut dengan bahasa. Sehingga bagaimana pun bentuk dan model simbol yang digunakan, yang harus diperhatikan adalah bahasa asal yang menjadi dasar simbolisme ini.
Ulasan Kiai Muhaya ini setelah penulis ingat kembali mirip dengan penjelasan yang diberikan Mahmud Fahmiy Hijaziy dalam Al-Lughah al-‘Arabiyyah ‘Abr al-Qurun. Ia menyebutkan bahwa dalam teori linguistik, tulisan (kitabah) merupakan tahapan kedua setelah lisan (lughah). Tulisan merupakan upaya visualisasi atau simbolisme, dari bahasa verbal yang abstrak menjadi sebuah simbol-simbol nyata.
Dengan adanya simbol-simbol (baca: tulisan) ini, muncullah manfaat dan faedah yang tidak dapat dijumpai sebelumnya, manakala hanya sebatas pada kata-kata verbal yang abstrak (baca: lughah). Seperti langgengnya sebuah kebudayaan umat manusia dan persebarannya dalam lingkup wilayah yang lebih luas.
Dalam kajian Al-Qur’an, ulasan Hijaziy ini agaknya senada dengan apa yang disebutkan ‘Ali Muhammad al-Dlabba‘ dalam Samir al-Thalibin fi Rasm wa Dlabth al-Kitab al-Mubin atau Al-Farmawiy dalam Rasm al-Mushhaf wa Naqthuh mengenai relasi ilmu rasm (penulisan) dan ilmu qira’ah (pembacaan) Al-Qur’an.
Namun demikian, bukan masalah relasi ini yang hendak penulis bagikan pada tulisan kali ini. Melainkan sesuatu lain yang berkaitan dengan cerita yang ditulis oleh Ulin Nuha tentang kisah Allah yarham Simbah KH. Sya‘roni Ahmadi yang memperbolehkan penulisan Al-Qur’an dengan aksara latin dan braille (baca terlebih dahulu selengkapnya dalam Kisah Kiai Sya‘roni Membolehkan Penulisan Al-Qur’an dengan Aksara Latin dan Braille).
Dengan menandaskan pendapatnya pada Al-Bujairamiy dalam Hasyiyah Al-Bujairamiy ‘ala al-Khathib, Kiai Sya‘roni menjelaskan bahwa penulisan dan pembacaan Al-Qur’an adalah dua hal yang berbeda. Al-Qur’an boleh ditulis dengan aksara apa saja, tetapi membacanya harus sesuai dengan makhraj dan tajwid dalam lughah Arab.
Bahkan sekalipun ditulis dengan aksara Arab, jika membacanya tidak sesuai dengan qira’ah yang benar, yang demikian ini pun tidak akan diperbolehkan. Beliau memberikan contoh bacaan huruf muqaththa‘ah, ‘ain sin qaf yang dibaca dengan ‘a sa qa.
Penjelasan Kiai Sya‘roni mengenai perbedaan tulisan dan bacaan ini jika ditelusuri lebih jauh akan menemukan akar relevansinya terhadap kajian teori linguistik yang telah penulis singgung sebelumnya. Tak hanya penjelasan Kiai Sya‘roni, pandangan ulama Al-Qur’an yang keukeuh mewajibkan talaqqi musyafahah dalam bacaan Al-Qur’an pun juga demikian. Hal ini dikarenakan Al-Qur’an sebagai teks tertulis merupakan fase kedua dari Al-Qur’an sebagai kalam yang dibaca.
Baca juga: Huruf Muqathaah: Cara Baca dan Pembagiannya dalam Ilmu Tajwid
Dalam teori linguistik, Al-Qur’an sebagai kalam yang dibaca adalah bahasa lisan. Ia merupakan asal yang harus dirujuk. Sementara Al-Qur’an sebagai teks tertulis (baca: mushaf) adalah seperangkat simbol (kitabah dengan arti al-maktub atau yang tertulis). Seperangkat simbol ini hanya akan bekerja jika masyarakat pemilik simbol telah memiliki kesepakatan komunal mengenai media interaksi yang digunakan, yakni lughah atau bahasa. Dan dalam Al-Qur’an, bahasa yang dimaksud adalah bahasa Arab.
Bahkan jika diamati lagi lebih dalam, bahasa Arab yang digunakan Al-Qur’an berbeda dengan bahasa Arab ‘reguler’ yang lazim digunakan dalam interaksi sosial sehari-hari masyarakat Arab. Ambil contoh saja huruf muqaththa‘ah sebelumnya, ‘ain sin qaf, yang mempunyai cara baca ‘tak lazim’ sebagaimana bahasa Arab ‘reguler’ pada umumnya.
Artinya dalam kasus bacaan Al-Qur’an, masyarakat pemilik bahasa lisan asal yang harus dirujuk adalah masyarakat Al-Qur’an, yang dalam masalah ini merupakan Rasulullah saw. dan para sahabatnya 14 abad silam sebagai representasi nyata. Ini kemudian oleh para ulama digali dan dibakukan dalam sebuah konsep sunnah muttaba‘ah yang terimplementasi dalam dua ilmu utama, qira’ah dan tajwid.
Sehingga dengan merujuk pada konsep linguistik ini, menjadi semakin jelas bahwa penulisan dan pembacaan Al-Qur’an adalah dua hal yang berbeda. Rujukan ini sekaligus meneguhkan pentingnya ngaji secara talaqqi musyafahah kepada seorang guru (baca: qari’) yang qualified berdasarkan sanad yang diterimanya hingga sampai pada Rasulullah shallallahu ‘alaih wa sallama. Wallahu a‘lam bi al-shawab. []
Baca juga: Bukti Perkembangan Al-Qur’an yang Fleksibel dan Tidak Sepi dari Perdebatan