“Negeri penuh dai” mungkin kalimat singkat ini tepat untuk menggambarkan kondisi terkini fenomena dai atau muballigh di tanah air. Jika berbicara soal dakwah Islam, kriteria tentu amat penting peranannya. Ia memberi bobot tersendiri bagi dai selaku pelaku utama dan aktor dakwah. Sebetulnya, Al-Quran (atau secara umum, Islam) sudah memberikan kriteria ketat yang harus dipenuhi oleh para muballigh atau dai. Paling tidak, kriteria ketat tersebut mencakup tiga dimensi; kekuatan intelektual, kekuatan spiritual dan kekuatan moral.
Matang ilmu agamanya (kekuatan intelektual)
Sebelum terjun bebas di tengah-tengah umat, kata al-Qahthani dalam Menjadi Dai yang Sukses, seorang dai wajib mematangkan ilmu agamanya terlebih dulu. Allah SWT berfirman dalam QS. Muhammad [47]: 19:
فَٱعۡلَمۡ أَنَّهُ لَآ إِلَٰهَ إِلَّا ٱللَّهُ وَٱسۡتَغۡفِرۡ لِذَنۢبِكَ وَلِلۡمُؤۡمِنِينَ وَٱلۡمُؤۡمِنَٰتِۗ وَٱللَّهُ يَعۡلَمُ مُتَقَلَّبَكُمۡ وَمَثۡوَىٰكُمۡ
“Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada tuhan selain Allah dan mohonlah ampunan bagi dosamu dan bagi (dosa) orang-orang mukmin, laki-laki dan perempuan. Dan Allah mengetahui tempat kamu berusaha dan tempat kamu tinggal.”
Ayat ini menurut Shihab dalam Tafsir Al-Misbah, menuntut seseorang untuk mengetahui Allah SWT dengan segala kemamampuannya, mengenal-Nya dari dekat dengan mendekatkan diri kepada-Nya, serta mempelajari pengenalan diri-Nya yang disampaikan melalui firman-firman-Nya, baik qawliyyah ataupun kauniyyah. Ilmu bukan sekedar pengetahuan tentang sesuatu. Lebih dari itu, ilmu adalah cahaya yang menghiasi kalbu seseorang dan mendorongnya untuk terus melakukan aktifitas positif. Jika ilmu tidak mengantarkan pada amal salih, maka ia sama saja dengan kebodohan. Dalam ayat ini, Allah SWT memerintahkan rasul-Nya akan dua hal; mendalami ilmu dan beramal. Posisi ilmu lebih didahulukan daripada beramal. Artinya—kalau boleh disederhanakan, “dalamilah ilmu agama sebelum kalian beramal dengan berdakwah kepada umat.”
Baca juga: Tafsir Surat Thaha Ayat 44: Nilai Kelembutan dalam Berdakwah
Dalam bukunya Menjadi Dai yang Sukses, Al-Qahthani melanjutkan, ayat ini menunjukkan kedudukan ilmu itu lebih diutamakan daripada amal perbuatan. Ilmu menjadi syarat sah atau tidaknya suatu perbuatan. Perbuatan akan sia-sia sekiranya tidak diiringi dengan ilmu. Keutamaan ilmu daripada beramal di sini juga sebagai pembenaran atas niat dan amal.
Bisa dipastikan, jika langkah seorang dai tidak dibarengi dengan ilmu, berarti ia telah melangkah di jalan yang salah. Dai yang pengetahuan agamanya sudah dalam tidak akan mudah menghakimi orang lain, apalagi pada hal-hal yang rawan terjadi perbedaan pendapat (ikhtilaf). Semua sepakat, tanpa ilmu, dakwah-dakwah seorang dai akan tercerabut dari akarnya, yakni Al-Quran, hadis dan para salafuna al-salih.
Iman dan takwa yang kokoh (kekuatan spiritual)
Kriteria seorang dai yang tak kalah penting adalah iman dan takwa kepada Allah. Dua sifat ini merupakan dasar utama pada dai. Iman dan takwa yang kokoh akan mengantarkan dai menjadi pribadi yang konsisten (baca: istiqomah); ilmunya sesuai dengan apa yang diperbuat. Sifat ini dijelaskan dalam QS. Al Baqarah [2]: 44:
أَتَأۡمُرُونَ ٱلنَّاسَ بِٱلۡبِرِّ وَتَنسَوۡنَ أَنفُسَكُمۡ وَأَنتُمۡ تَتۡلُونَ ٱلۡكِتَٰبَۚ أَفَلَا تَعۡقِلُونَ
“Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebaktian, sedang kamu melupakan diri (kewajiban) mu sendiri, padahal kamu membaca Al-Kitab (Taurat), maka tidakkah kamu berfikir?”
Dalam Tafsir al-Misbah Shihab menjelaskan, ayat ini mengandung kecaman kepada setiap penganjur agama (baca: dai) yang melakukan hal-hal yang bertentangan dengan apa yang dianjurkannya. Sekalipun ayat ini diturunkan dalam konteks kecaman kepada para pemuka Bani Israil, tetapi ia juga tertuju pula kepada setiap orang terutama muballigh dan para pemuka agama.
Iman yang kokoh akan meluruskan niat dan keikhlasan seorang dai. Membuatnya “tahan banting” dari berbagai intervensi, kesulitan dan tantangan yang ia alami; internal ataupun eksternal. Mereka tidak akan tertarik pada popularitas. Toh apa yang mereka harapkan adalah ridha Allah SWT, bukan like, komen, subscriber, followers dan lain-lain. Seperti yang disinggung Al-Maududi dalam Tadzkirah Du’at al-Islam, bahwa dai harus berkemampuan memerangi “musuh” yang ada di dalam dirinya sendiri demi ketaan kepada Allah SWT dan rasul-Nya jauh sebelum ia memainkan peran sebagai pelaku dakwah.
Baca juga:Tafsir Surat Al-Baqarah Ayat 44: Sebuah Pengingat Bagi Para Dai dan Mubalig
Berperangai mulia (kekuatan moral)
Sungguh berapa banyak orang-orang yang memeluk Islam karena akhlak mulia Nabi Muhammad SAW? Di antara budi pekerti Nabi yang berhasil menuntun umat jahiliyah waktu itu adalah murah hati, pemaaf, sabar, lemah lembut, tawaddu’, bijaksana, adil, penyayang, suka memberi, mengayomi dan pemberani. Dalam QS. Al Ahzab [33]: 21 Allah SWT berfirman:
لَّقَدۡ كَانَ لَكُمۡ فِي رَسُولِ ٱللَّهِ أُسۡوَةٌ حَسَنَةٞ لِّمَن كَانَ يَرۡجُواْ ٱللَّهَ وَٱلۡيَوۡمَ ٱلۡأٓخِرَ وَذَكَرَ ٱللَّهَ كَثِيرٗا
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah suri tauladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari akhir, dan dia banyak menyebut Allah.”
Sosok Nabi SAW adalah figur abadi yang mesti diteladani oleh para dai. Kana khuluquhu Al-Qur’an, akhlak Nabi SAW tercermin dalam Al-Quran. Semua suri tauladan yang telah diwariskan oleh beliau, menjadi kriteria ketat yang mau tidak mau harus dimiliki oleh dai, muballigh dan para ustadz. Jika belum siap, maka sebaiknya “nanti dulu” jangan terburu-buru berdakwah.
Baca juga: Kisah Dialog Harun Ar-Rasyid dengan Seorang Ustadz dan Seni Berdakwah Qur’ani
Dengan meneladani pribadi Rasul SAW sebagai sosok dai agung, Mustafa al-Siba’i sebagaimana dikutip Aziz dalam Ilmu Dakwah menganjurkan sebaiknya dai adalah keturunan yang terhormat dan mulia. Sebab, kemuliaan nasab dai adalah daya tarik tersendiri bagi umat. Selain itu, nasap itu semacam “pengikat” bagi para dai untuk terus mengikuti manhaj dakwah para leluhurnya. Nasab yang jelas, ditambah sanad yang jelas pula. Dai seperti ini yang harusnya menjadi idaman umat.
Ketiga dimensi yang telah dijelaskan diatas adalah satu kesatuan yang tak boleh ditinggalkan, meskipun hanya satu saja. Kekuatan intelektual, kekuatan spiritual dan kekuatan moral, ketiga-tiganya merupakan paket “utuh” sebagai bekal bagi para juru dakwah atau dai.
Wallahu a’lam[]