“Poverty has no religion. Religion can however motivate its followers to eradicate poverty.”
Kutipan tulisan Dr. Hassan Syed yang tertuang dalam jurnal yang berjudul Poverty in Muslim Countries: Policy Recommendations Over The Gulf Cooperation Council di atas kiranya sejalan dengan banyaknya ayat Al-Qur’an yang berbicara tentang orang-orang miskin dan cara menyantuninya melalui zakat, sedekah, dan lain-lain.
Banyaknya ayat Al-Quran yang menyebut tentang kepedulian terhadap orang-orang miskin, menjadi bukti bahwa Al-Quran tidak pernah membiarkan atau bahkan menyuruh manusia untuk menjadi miskin. Sedari awal Al-Quran membahas tentang pencegahan kemiskinan.
Baca Juga: Tafsir Surah At-Taubah Ayat 24, Isyarat Larangan Cinta Dunia yang Berlebihan
Tidak meninggalkan keturunan yang lemah
Jika ditelaah secara mendalam, bahkan Islam melalui Al-Quran telah memberikan kiat-kiat pencegahan terjadinya kemiskinan, salah satunya adalah dengan tidak meninggalkan keturunan yang lemah. Hal ini sebagaimana yang disebutkan dalam Q.S. An-Nisā’ [4]:9.
وَلْيَخْشَ الَّذِيْنَ لَوْ تَرَكُوْا مِنْ خَلْفِهِمْ ذُرِّيَّةً ضِعٰفًا خَافُوْا عَلَيْهِمْۖ فَلْيَتَّقُوا اللّٰهَ وَلْيَقُوْلُوْا قَوْلًا سَدِيْدًا
Hendaklah merasa takut orang-orang yang seandainya (mati) meninggalkan setelah mereka, keturunan yang lemah (yang) mereka khawatir terhadapnya. Maka, bertakwalah kepada Allah dan berbicaralah dengan tutur kata yang benar (dalam hal menjaga hak-hak keturunannya).
Menurut sebagian tokoh, kata ذُرِّيَّةً ضِعٰفًا (żurriyyatan ḍi’āfan) pada ayat tersebut memiliki cakupan makna yang luas. Kata “lemah” pada ayat di atas bisa dimaknai lemah dari aspek akidah, sosial, ilmu pengetahuan hingga ekonomi.
Ketika menguraikan khitab ayat di atas, M. Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Mishbah menyajikan aneka ragam penafsiran. Pendapat yang dipilih banyak pakar tafsir, seperti ath-Thabari, Fakhruddin ar-Razi, menyatakan bahwa ayat tersebut ditujukan kepada mereka yang berada di sekeliling seorang yang sakit dan diduga akan segera meninggal. Ayat tersebut menjadi larangan kepada mereka yang memberi nasehat kepada orang yang sakit agar mewasiatkan hartanya kepada orang-orang tertentu, sehingga anak-anaknya sendiri terbengkalai.
Sedangkan Ibnu Katsir yang dikutip beliau berpendapat ayat tersebut ditujukan kepada mereka yang menjadi wali anak-anak yatim, agar memperlakukan anak-anak yatim itu seperti perlakuan yang mereka harapkan kepada anak-anaknya yang lemah bila kelak para wali itu meninggal dunia. Pendapat demikian merujuk pada ayat berikutnya yang berisi ancaman kepada mereka yang menggunakan harta anak yatim secara aniaya.
Di lain sisi, pertimbangan Sayyid Muhammad Thanthawi juga disampaikan oleh M. Quraish Shihab, ia melihat ayat di atas ditujukan secara umum kepada semua pihak, siapa pun, karena semua diperintahkan untuk berlaku adil, berucap yang benar dan tepat, dan semua khawatir akan mengalami apa yang digambarkan di atas. (Tafsir Al-Mishbah [2]: 356)
Dengan alasan apapun, meninggalkan keturunan dalam keadaan berkecukupan, khususnya secara finansial, memang jauh lebih baik daripada meninggalkan mereka dalam keadaan serba kekurangan. Sebagai penguat dalil bahwa Nabi Muhammad saw. sendiri pun tidak mengharapkan umatnya meninggalkan keturunan dalam keadaan miskin, berikut adalah sabda Nabi Muhammad saw. kepada Sa’ad yang dikutip oleh Imam az-Zamakhsyari dalam Tafsir al-Kasysyaf ketika menafsirkan Q.S. An-Nisā’ [4]:9,
إِنَّكَ إِنْ تَتْرُكْ وَلَدَكَ أَغْنِيَاءً خَيْرٌ مِنْ أَنْ تَدَعَهُمْ عَالَةً يَتَكَفَّفُوْنَ النَّاسَ
Sesungguhnya jika kamu meninggalkan keturunanmu dalam keadaan kaya lebih baik daripada kamu meninggalkan mereka dalam keadaan miskin mengemis kepada orang-orang. (Tafsir Al-Kasysyaf [2]: 30)
Baca Juga: Tafsir Surah Al-Hasyr ayat 7: Perintah Untuk Mendistribusikan Harta Kekayaan
Masih tentang bahasan meninggalkan keturunan dalam keadaan yang lemah secara finansial, Ashgar Ali Engineer menyatakan bahwa kemiskinan idealnya menjadi tema besar dalam teologi karena berimplikasi kepada doktrin teologi yang lain yaitu kekafiran. Engineer merujuk kepada sabda Nabi yang menyatakan bahwa kemiskinan telah menjadi faktor penting tumbuhnya kekufuran.
كَادَ اْلفَقْرُ أَنْ يَكُوْنَ كُفْرً
“Kemiskinan itu dekat kepada kekufuran.”
Islam telah mengajarkan bagaimana pentingnya memerangi kekafiran yang juga secara tidak langsung berarti memerangi kemiskinan. Membiarkan kemiskinan sama halnya dengan memelihara kekafiran. Paham atau sistem yang berusaha mengekalkan kemiskinan, kelaparan dan kekurangan, akan bermuara kepada feodalisme atau kapitalisme. Hingga pada akhirnya, perang melawan kemiskinan merupakan bagian integral dari keyakinan Islam. (Teologi pembebasan dalam Islam: Asghar Ali Engineer: 185)
Selain itu, perintah zakat, sadaqah dan tuntunan mendistribusikan harta lainnya yang terdapat dalam Al-Quran menunjukkan semangat untuk pencegahan kemiskinan, kepedulian terhadap sesamanya dan saling membantu satu sama lain. Wallahu a’lam