BerandaTafsir TematikTafsir Surat al-Baqarah Ayat 256: Arti Kata Tagut dalam Al-Quran

Tafsir Surat al-Baqarah Ayat 256: Arti Kata Tagut dalam Al-Quran

Tulisan ini akan menjelaskan tentang Tafsir Surat Al-Baqarah ayat 256. Lebih spesifik menerangkan soal arti kata tagut yang seringkali dikutip oleh sebagian kelompok untuk mengkafirkan sebagian yang lain. Berikut adalah penafsiran Surat Al-Baqarah ayat 256 menurut para ulama.

فَمَنْ يَكْفُرْ بِالطَّاغُوتِ وَيُؤْمِنْ بِاللَّهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَىٰ لَا انْفِصَامَ لَهَا ۗ وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ

“Karena itu, barang siapa yang ingkar kepada “tagut” dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS al-Baqarah Ayat 256)

Potongan ayat di atas, terutama arti kata tagut, sering dijadikan dasar keharusan mengkafirkan tagut, yang dimaknai sebagai otoritas kekuasaan selain Allah. Secara spesifik yang dimaksudkan adalah sistem dan pemerintahan sebuah Negara. Kekafiran kepada tagut bagi mereka sangat prinsip, sampai-sampai ditempatkan di atas dan sebelum keimanan kepada Allah SWT.

Dari konsep dan arti kata tagut yang seperti itu lah lahir konsep-konsep turunan seperti ansor al-taghut (penolong tagut) yang disematkan kepada TNI-Polri dan ASN. Lahir pula label kafir, musyrik, murtad, jahiliyah, hijrah, jihad, al-wala wa al-bara (demarkasi kawan dan lawan), hakimiyah (keharusan berhukum dengan hukum Allah), tauhid, khilafah/daulah, dst.

Konsep dan arti kata tagut ini tentu saja mengandung kejanggalan, simplistik, politis dan ekstrim. Dan berdasarkan penelusuran penulis, konsep yang janggal tersebut bersumber dari karangan Muhammad bin Abdul Wahab (pendiri Salafi-Wahabi) yang menyatakan bahwa tagut adalah iblis dan manusia, yang ingin disembah dan dikultuskan, serta manusia yang bersandar pada hukum selain hukum Allah.

Adapun para ulama yang sebenarnya menjelaskan arti kata tagut secara beragam. Tagut yang disebut sebanyak delapan kali dalam Alquran, yakni dalam QS al-Baqarah: 256, 257; QS al-Nisa’: 51, 60, 76; QS al-Maidah: 60; QS al-Nahl: 36; dan QS al-Zumar: 17, secara bahasa berarti melampaui batas (jawaza al-had), tindakan apa pun yang melewati batas dapat dikatakan tagut secara lughawi (lihat: Raghib al-Asfahani dalam Mufradat al-Quran).

Dalam Lisan al-Arab, Ibn al-Manzur menyatakan bahwa arti kata tagut adalah penyihir (sahir), dukun (kahin) dan berhala. Sementara Ath-Thabari dalam tafsirnya secara spesifik mengatakan tagut dalam Al-Quran merujuk pada pribadi Ka’ab al-Asyraf dan Huyay bin al-Akhtab. Sedangkan Rasyid Ridha menafsirkan tagut dalam al-Manar sebagai kekuatan atau dorongan jahat yang menguasai hati dan pikiran manusia.

Ini mirip dengan apa yang disampaikan oleh Muhammad Asad yang menerjemahkan tagut sebagai powers of evil, yaitu dorongan negatif dalam diri manusia yang dapat menjerumuskannya dalam kehancuran. Sementara Quraish Shihab menafsiri tagut dengan segala sesuatu yang mematikan akal dan memalingkannya dari kebenaran.

Baca Juga: Tafsir Surat Al-Baqarah Ayat 144: Cinta Tanah Air Itu Fitrah Manusia

Dari keterangan tersebut dapat dilihat bahwa tidak ada ulama tafsir yang menafsiri kata tagut dalam Alquran dengan sebuah sistem negara (semisal Pancasila, UUD 1945, NKRI), apalagi pemerintahan maupun individu di dalamnya. Tidak ada pula ulama yang memasukkan kekufuran pada tagut ke dalam bagian akidah, karena tidak ada dalil qat’i baik dari Alquran maupun hadis mengenai hal tersebut.

Ragam penafsiran ulama di atas juga sekaligus menegaskan bahwa negeri ini sama sekali tidak terkait dengan tagut, karena sistem pemerintahannya tidak melampaui batas. Ajaran Islam bahkan diakomodir, terbukti dengan adanya Kementerian Agama, BAZNAS, Kompilasi Hukum Islam (KHI), pengadilan agama, perbankan syariah, dst. Nilai-nilai Islam juga menjiwai dasar negara sebagaimana sila pertama Pancasila, Ketuhanan Yang Maha Esa, yang merupakan pengejawantahan tauhid.

Di sisi lain, apa yang dikatakan oleh Muhammad bin Abdul Wahab tentang tagut di atas, mempunyai konsekuensi yang serius, karena begitu dia dan pengikutnya mengkafirkan sistem dan aparatur pemerintahan (TNI-Polri dan ASN), beserta masyarakatnya, maka berarti menghancurkan negara tersebut adalah legal dan darah rakyatnya menjadi halal, karena dianggap telah keluar dari Islam. Ini tentu sangat jauh dari tuntunan Nabi SAW yang welas asih dan rahmatan lil ‘alamin.

Kesimpulan mengenai tafsir QS al-Baqarah ayat 256 di atas adalah bahwa ulama memaknai tagut secara beragam, ada yang menafsirinya sebagai dukun atau sihir, dorongan negatif yang dapat menjerumuskan manusia, dan sesuatu yang mematikan akal.

Tidak ada satu pun ulama yang mengaitkan tagut dengan sistem atau pemerintah sebuah negara. Ulama juga sepakat bahwa tagut secara bahasa adalah melampaui batas, sehingga siapa yang berfikir ekstrim dan bertindak melampaui batas dengan menganggap di luar kelompoknya adalah salah dan kafir, maka dia lah tagut yang sesungguhnya. Wa al-‘iyadz billah.

M. Najih Arromadloni
M. Najih Arromadloni
Pengurus MUI Pusat, Adviser CRIS Foundation dan Pengajar di Pondok Pesantren Yanbu’ul Ulum, Lumpur Losari Brebes
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Belajar parenting dari dialog Nabi Yakub dan Nabi Yusuf

Belajar ‘Parenting’ dari Dialog Nabi Yakub dan Nabi Yusuf

0
Dalam hal parenting, Islam mengajarkan bahwa perhatian orang tua kepada anak bukan hanya tentang memberi materi, akan tetapi, juga pendidikan mental dan spiritual yang...