Konsep Awal Tafsir Isyari Kiai Sholeh Darat (Bag. 2)

Kiai Sholeh Darat
Kiai Sholeh Darat

Pada tulisan sebelumnya dinyatakan bahwa setidaknya ada empat konsep tafsir isyari Kiai Sholeh Darat. Di sana juga sudah dibahas dua konsep awalnya; keyakinan akan ketidakterbatasan hakikat makna Alquran dan pencarian makna lahiriah Alquran di awal. Pada tulisan kali ini, akan didedah lebih jauh dua konsep berikutnya.

Diskursus Takwil dalam Tafsir Kiai Sholeh

Setelah penjelasan makna lahir Alquran, pedoman ketiga adalah seorang mufasir dapat melihat jauh ke dalam makna ayat suci Alquran melalui metode takwil. Sebagaimana para mufasir sufi lainnya, Kiai Sholeh pun mendefinisikan bahwa takwil adalah menerapkan makna lain di balik makna lahir terhadap ayat-ayat Alquran. Kiai Sholeh (Faiḍurraḥmān, h. 1) menyebut hasil takwil sebagai “ma’nal isyari” (isyarat batin).

Imam al-Ghazali memberikan contoh isyarat batin Alquran dari Q.S. Alan’am [6]: 59; “… Tidak ada sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis dalam Kitab yang Nyata (Lauḥ Maḥfūzh)”. Imam al-Ghazali (al-Risālah al-Ladunniyah, h. 39-40) menyatakan bahwa ayat ini memberikan isyarat bahwa hakikat semua ilmu dan segala sesuatu, baik yang tersembunyi, kecil, besar, inderawi, maupun abstrak, semuanya ada di dalam Alquran.

Meskipun seakan didefinisikan oleh Kiai Sholeh pada tataran kata semata, penerapan makna yang lembut dan tersembunyi ini dalam tafsir Kiai Sholeh lebih banyak meliputi unit yang lebih luas, yaitu diskursus. Sebagai contoh pada aras kata, Kiai Sholeh (Faiḍurraḥmān, h. 232-233) menetapkan bahwa makna isyari dari kata masjid Allah dalam Q.S. Albaqarah [2]: 114 meliputi nafs (diri), qalb (hati), ruh, sir,[1] dan sirrus sirri[2].

Dari sini Kiai Sholeh menjadikan narasi ayat sebagai plot, sebuah konsep yang sangat penting dalam pembentukan diskursus. Maka, setiap empat “masjid” di atas memiliki cara bagaimana mereka dihidupkan dengan model “zikir” masing-masing. Begitu pula cara tersendiri bagaimana mereka bisa dirusak dengan model penghancurannya masing-masing.

Bagi masjid nafs, zikir di dalamnya adalah ibadah ritual. Penghancurannya adalah meninggalkan ibadah. Bagi masjid kalbu, zikir di dalamnya adalah tauhid (mengesakan Allah) dan ma‘rifah (mengenal Allah). Penghancurannya adalah dengan keterikatan pada syubhat (sesuatu yang masih belum jelas halalnya) dan syahwat (hawa nafsu). Keduanya menghalangi seseorang dari menuju Allah sehingga dia tidak mampu mengesakan dan mengenal Allah dengan benar.

Contoh lain dari makna isyari dalam tataran diskursus adalah tafsir Kiai Sholeh Q.S. Albaqarah [2]: 116. Kiai Sholeh (h. 236) menulis:

Ma’nal isyari sětuhune nyatane iki rong ayat mělehke sětuhune Allah ngězhahirakěn sifat zalime měnusa lan sifat bodone měnusa hingga kasi ngucap kalimat kang bangět agunge alane mungguhing Alla subhanahu wa ta’ala… lan malih ngězhahirakěn subhanahu wa ta’ala ing sifate kamalat ingdalim halime Allah lan rahime Allah marang kawulane dene ko’ ora den siksa ingdalěm sak hal iku

“Makna isyari: Hakikat dari dua ayat ini adalah Allah menunjukkan sifat zalim dan bodoh manusia sehingga bisa mengucapkan kalimat yang sangat buruk menurut Allah subhanahu wa ta’ala… dan juga [Allah] subhanahu wa ta’ala menunjukkan sifat kesempurnaan dalam hal halim (penyantun dan menahan amarah) dan rahim (pengasih) Allah kepada hambanya sehingga tidak disiksa seketika [mengatakan hal buruk tersebut].”

Dari sini kita melihat bagaimana makna isyari dibentuk melalui diskursus yang bukan dialamatkan pada teks, tapi pada pemilik teks itu sendiri. Atribusi pemilik ucapan, yaitu orang-orang yang mengatakan Allah memiliki anak, ditetapkan dan disertai dengan relasi keduanya terkait dengan ucapan tersebut.

Ucapan itu sangat buruk; dan melihat sifat Allah yang maha mampu melakukan apapun, termasuk mengazab, maka ucapan seperti itu bisa dan patut diberikan hukuman langsung di dunia ini. Namun, ternyata dia tidak diberikan azab langsung di dunia. Apa yang terjadi? Ini adalah bukti bahwa Allah sedang menunjukkan sifat penyantun dan welas asih-Nya. Demikian salah satu mode proses pemaknaan isyari terjadi.

Baca juga: Konsep Awal Tafsir ‘Isyari’ Kiai Sholeh Darat

Di Bawah Naungan Kitab dan Sunah serta Ijtihad Ulama Salaf

Namun, ini bukan berarti Kiai Sholeh membuka semua kemungkinan pemaknaan tanpa batas. Selain batas makna lahir yang harus dijelaskan terlebih dahulu, sebagaimana Kiai Sholeh selalu lakukan di setiap tafsir ayat, beliau (Faiḍurraḥmān, h. 2) juga menetapkan pedoman keempat yang adalah bahwa hasil takwil tidak boleh bertentangan dengan Alquran dan hadis. Dalam bahasa lain, seorang harus berada dalam cahaya wahyu dan petunjuk Nabi dalam memaknai isyarat-isyarat tersembunyi Alquran.

Lebih jauh, Kiai Sholeh (Faiḍurraḥmān, h. 2) menjelaskan bahwa kita bukanlah orang yang bisa lagi langsung mendengar penjelasan Nabi. Itu artinya, kita tidak memperoleh informasi dengan sangat terang dan jelas karena konteks dan kebersamaan dengan Nabi tidak mungkin lagi. Oleh karena itu, pedoman ini juga diikuti dengan himbauan mengikuti ijtihad para ulama salaf dalam menerangkan makna isyari (Faiḍurraḥmān, h. 3).

Dalam hal ini, Kiai Sholeh dalam pengantarnya (h. 1) menetapkan satu-satunya rujukannya adalah tafsir dari Imam al-Ghazali. Namun demikian, kita bisa melihat bahwa Kiai Sholeh merujuk juga kepada pendapat atau hikayat para sufi lainnya, seperti Syaikh Sirri as-Saqathi (w. 253/867) (h. 10), Syaikh Ahmad al-Ghazali (w. 520/1126) (h. 19), dan bahkan Syaikhul Akbar Ibnu Arabi (w. 638/1240) (h. 29).

Nama Syaikh Ibnu Arabi menjadi menarik karena Kiai Sholeh melarang kaum awam mengakses mazhab pemikiran tasawuf beliau, seperti yang terkandung pada kitab-kitab yang pernah beredar luas di Nusantara, yaitu Tuḥfatul Mursalah dan al-‘Insān al-Kāmil, serta penafsiran lokalnya dalam kitab-kitab suluk Jawa.

Dampak dari pedoman ini artinya seseorang bisa saja menetapkan atau mendapatkan ilham atau menemukan rujukan dari para ulama atas makna-makna tersembunyi dari ayat-ayat Alquran. Namun, hasil pemaknaan itu tentu tidak bertentangan dengan ayat-ayat lain, apalagi yang sudah dimufakati para ulama mujtahid sebagai bagian pokok ajaran agama.

Misalnya, Kiai Sholeh menerangkan (Faiḍurraḥmān, h. 2) bahwa seorang mufasir tidak bisa sembarangan memaknai secara isyari penggalan ayat fa wailull lil mushallīn (maka celakalah orang-orang yang salat). Penggalan dari Q.S. Alma’un [107]: 4 itu tidak boleh dipahami bahwa seseorang yang sudah arif tidak boleh melakukan salat. Apabila melakukan hal tersebut maka seseorang menjadi kufur dan zindik.

Jadi keterbukaan atas cara bagaimana relasi antar ayat dibentuk, relasi antara ayat, hadis, dan pendapat para ulama, refleksi atas peran aktor-aktor dalam Alquran, serta refleksi dampak ayat bagi kehidupan realitas hari ini ketika tafsir dituliskan itu dibentuk, itu semua menjadi elemen-elemen penting tafsir isyari.

Ini membuka peluang bagi Kiai Sholeh dengan hati yang bersih dan akal yang lurus dan cerdas untuk membuka makna-makna luas dari Alquran. Bahkan beliau juga menetapkan pesan-pesan tersembunyi menjadi panduan dalam mengarungi situasi sosial-politik masyarakat Jawa pada akhir abad ke-19. Hal ini akan saya ulas dalam tulisan yang lain. Insyallah.

Demikian secuil ulasan tafsir isyari Kiai Sholeh Darat Semarang. Sebuah tafsir yang begitu mendalam dan luas, serta kompleks dalam ide-ide yang disampaikannya.

Baca juga: Pandangan Imam Al-Ghazaly terhadap Tafsir Isyari dalam Ihya Ulumuddin

[1] Sebuah bagian tersembunyi bertempat di kalbu (al-Jurjani, Kitabut Ta’rifat, h. 116).

[2] Al-Jurjani (ibid., h. 116) menjelaskannya sebagai Pengetahuan (dengan P kapital) yang hanya milik Allah yang Haq dan tidak ada hamba yang bisa mencapainya. Namun, di sini jelas Kiai Sholeh menetapkan makna bagian yang lebih tersembunyi daripada sir yang ada di dalam hati seseorang.