BerandaTafsir TematikKriteria Makanan Yang Sebaiknya Dikonsumsi Muslim

Kriteria Makanan Yang Sebaiknya Dikonsumsi Muslim

Dalam pandangan Muslim, Islam adalah agama yang paling sempurna. Kesempurnaan Islam tidak hanya terletak pada satu atau dua aspek, melainkan seluruh aspek ajarannya. Salah satu aspek yang diatur secara spesifik adalah makanan. Kriteria makanan dan minuman yang boleh dikonsumsi umat Islam adalah yang halal saja.

Setiap makanan atau minuman yang tidak halal, baik zat atau cara perolehannya, haram atau dilarang untuk dikonsumsi oleh muslim. Aturan ini telah Allah swt. tegaskan dalam surah al-Baqarah ayat 168;

 يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ كُلُوْا مِمَّا فِى الْاَرْضِ حَلٰلًا طَيِّبًا ۖوَّلَا تَتَّبِعُوْا خُطُوٰتِ الشَّيْطٰنِۗ اِنَّهٗ لَكُمْ عَدُوٌّ مُّبِيْنٌ

Wahai manusia! Makanlah dari (makanan) yang halal dan baik yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan. Sungguh, setan itu musuh yang nyata bagimu.” (QS. Al-Baqarah ayat 168).

Pada surah al-Baqarah ayat 168, Allah swt. memerintahkah setiap manusia, khususnya umat Islam, untuk memakan makanan yang halal lagi baik. Dia juga melarang mereka untuk mengikuti langkah-langkah setan meskipun sejengkal, karena setan adalah musuh nyata yang sering menjerumuskan manusia kepada lembah kemaksiatan dan kedurhakaan.

Baca Juga: Toleransi Tidak Terbatas untuk non-Muslim

Ibnu Katsir menyatakan dalam Tafsir Al-Qur’an al-Azim, makna surah al-Baqarah ayat 168 adalah bahwasanya Allah swt. telah membolehkan manusia untuk memakan berbagai makanan di muka bumi dengan catatan dua syarat, yaitu: Pertama, halal untuk dimakan. Kedua, baik. Menurut Ibnu Katsir, makna baik di sini adalah sehat untuk tubuh. Maksudnya, tidak berdampak buruk bagi badan dan akal.

Pandangan senada disampaikan oleh al-Sa’adi dalam Taisir al-Karim al-Rahman fi Tafsir Kalam al-Mannan. Menurutnya, ayat tersebut ditujukan kepada seluruh manusia, baik yang muslim maupun non-muslim. Mereka semua diperintahkan untuk memakan makanan yang halal, yakni makanan yang zatnya halal, didapatkan dengan cara yang halal, dan diolah dengan cara yang halal.

Al-Sa’adi menyebutkan, selain halal, makanan yang dikonsumsi juga sebaiknya dalam keadaan thayyib, yakni tidak kotor seperti bangkai, darah, anjing, dan babi. Dari surah al-Baqarah ayat 168 al-Sa’adi menyimpulkan bahwa hukum asal segala sesuatu adalah boleh, baik untuk dikonsumsi ataupun dimanfaatkan, kecuali ada dalil yang menyatakan keharamannya.

Sedangkan al-Suyuthi menyatakan dalam Tafsir Jalalain bahwa surah al-Baqarah ayat 168 berisi perintah untuk mengonsumsi makanan yang halal lagi thayyib yakni lezat dan larangan mengikuti langkah atau perbuatan setan. Berbeda dengan al-Sa’adi dan Ibnu Katsir yang memaknai thayyib sebagai baik atau tidak kotor. Al-Suyuthi memaknai thayyib dengan mustallizan yakni lezat atau nikmat.

Penafsiran al-Suyuthi tersebut disandarkan pada asbabun nuzul surah al-Baqarah ayat 168 yang menyatakan bahwa Bani Tsaqif, Bani Khuzaah, Amir bin Sha’sha’ah, dan Bani Mudlij mengharamkan sebagian hewan untuk dimakan. Karena riwayat inilah al-Suyuthi memaknai thayyib dengan lezat. Artinya, muslim dibolehkan memakan makanan yang halal dan lezat.

Pandangan serupa dengan al-Suyuthi – sebelumnya – telah disampaikan oleh Imam Syafi’i dan lainnya. Adapun Imam Malik menyatakan – sebagaimana dikutip oleh al-Syaukani dalam Tafsir Fath al-Qadir – bahwa makna thayyib pada surah al-Baqarah ayat 168 adalah  halal. Kata thayyib bermakna halal ini menjadi tawkid (penguat) terhadap kata halalan sebelumnya.

Dari ketiga pandangan di atas, penulis cenderung kepada pendapat yang pertama, yakni Ibnu Katsir dan al-Sa’adi. Keduanya berpendapat bahwa Allah telah membolehkan seluruh manusia untuk menikmati hasil bumi untuk dikonsumsi dengan catatan barang tersebut halal – baik zat, cara memperoleh, maupun cara mengolahnya – dan baik, dan sehat atau cocok bagi mereka, yakni tidak berdampak negatif.

Makna surah al-Baqarah ayat 168 di atas dapat kita terapkan dalam kehidupan sehari, yakni dengan senantiasa mengonsumsi makanan yang halal dan thayyib bagi diri. Halal dalam artian sesuai dengan syariat Allah, mulai dari zat, cara perolehan, hingga cara mengolahnya. Adapun thayyib dapat dipahami dengan makna sehat atau cocok bagi tubuh dan tidak berdampak buruk.

Berkenaan dengan kata thayyib atau baik, Quraish Shihab menjelaskan, alasan disertakan kata thayyib pda surah al-Baqarah ayat 168 adalah karena tidak semua makanan yang halal otomatis baik. Halal sendiri terbagi kepada empat, yakni wajib, sunah, mubah, dan makruh. Aktivitas pun demikian, Ada aktivitas yang walaupun halal, namun makruh atau sangat tidak disukai Allah seperti pemutusan hubungan.

Baca Juga: Etika Produksi dalam Alquran

Quraish Shihab menambahkan, kriteria makanan yang baik berbeda bagi setiap orang. Bisa jadi ada halal yang baik buat si A yang memiliki kondisi kesehatan tertentu, dan ada juga yang kurang baik untuknya, walau baik buat yang lain. Ada makanan yang halal, tetapi tidak bergizi, dan ketika itu ia menjadi kurang baik. Yang diperintahkan oleh ayat di atas adalah yang halal lagi baik (Tafsir Al-Misbah [1], 380).

Dari penjelasan di atas, dapat kita simpulkan bahwa kriteria makanan yang sebaiknya dikonsumsi muslim ada dua, yakni halal dan baik atau sehat. Halal dalam arti sesuai dengan syariat Islam. Sedangkan baik bermakna sehat atau sesuai dengan diri. Sebagai contoh, nasi dan ayam mungkin halal dan baik untuk dikonsumsi oleh orang dewasa. Namun keduanya tidak baik dikonsumsi oleh bayi yang baru lahir.

Dengan demikian, halal saja tidak cukup digunakan sebagai acuan kriteria makanan yang sebaiknya dikonsumsi muslim. Kita perlu menambahkan kriteria baik, yakni sehat dan cocok bagi diri, dalam rangka menaati perintah Allah dan menjaga kesehatan tubuh, khususnya bagi orang yang memiliki penyakit tertentu. Sebaiknya ia menghindari makanan yang dapat memperparah penyakitnya. Wallahu a’lam.

Muhammad Rafi
Muhammad Rafi
Penyuluh Agama Islam Kemenag kotabaru, bisa disapa di ig @rafim_13
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Catatan interpolasi tafsir Jami‘ al-Bayan karya Al-Ijiy pada naskah Jalalain Museum MAJT

Jami’ al-Bayan: Jejak Tafsir Periferal di Indonesia

0
Setelah menelaah hampir seluruh catatan yang diberikan oleh penyurat (istilah yang digunakan Bu Annabel untuk menyebut penyalin dan penulis naskah kuno) dalam naskah Jalalain...