Hal faktual dari kisah Alquran pada surah Yasin, yang hingga saat ini masih dapat dibuktikan secara arkeologis adalah keberadaan makam satu tokoh penting yang bernama Habib al-Najar. Berdasarkan data yang dirilis oleh atlasislamica.com, “Habib al-Najar rahmatullah ‘alayh and people of Yasin”, terdapat dua situs yang menjadi bukti kesejarahan Habib al-Najar serta keberadaanya di Antakya, yaitu masjid Habib al-Najar, yang merupakan masjid bersejarah di Antakya, Provinsi Hatay, Turki, dan makam Habib al-Najar yang terletak di bawah Gunung Silpius.
Di tempat yang sama, selain makam Habib al-Najar, terdapat pula makam Syam’un al-Shafa, yaitu seorang utusan Nabi ‘Isa yang mendakwahkan tauhid di Antiokhia. Narasi tentang Habib al-Najar dalam banyak kitab tafsir, digambarkan sebagai sosok heroik yang membela para utusan, sekaligus terlibat dalam mendukung dakwah tauhid para utusan kepada penduduk Antiokhia. Berdasarkan fakta-fakta itu, maka menjadi sangat penting untuk mengetahui bagaimana citra Habib al-Najar yang digambarkan oleh para ulama tafsir, agar kisahnya menjadi pelajaran, hikmah, dan teladan.
Laki-laki dari Ujung Kota
Habib al-Najar, merupakan tokoh yang ikut serta dalam misi dakwah para utusan Allah di Antiokhia. Perannya dalam dakwah disinggung oleh Alquran dalam surah Yasin. Meskipun tidak disebut secara implisit, tetapi nama Habib al-Najar muncul di banyak kitab tafsir, dan dikaitkan dengan penafsiran atas Q.S. Yasin [36]: 20:
وَجَاۤءَ مِنْ اَقْصَا الْمَدِيْنَةِ رَجُلٌ يَّسْعٰى قَالَ يٰقَوْمِ اتَّبِعُوا الْمُرْسَلِيْنَۙ
“Dan datanglah dengan bergegas dari ujung kota, seorang laki-laki. Dia berkata, “Wahai kaumku, ikutilah para rasul itu!”
Berdasarkan ayat ini, para ulama tafsir seperti Imam al-Samarqandi (Bahr al-‘Ulum, Jilid 3, h. 97), Imam al-Gharnathi (al-Tashil li ‘Ulum al-Tanzil, h. 631), Imam al-Khazin (Lubab al-Ta‘wil fi Ma’an al-Tanzil, Jilid 4, h. 6), Imam Makki bin Abi Thalib (al-Hidayah ila Bulugh al-Nihayah, Jilid 9, h. 6017), Ibnu ‘Ajibah (al-Bahr al-Madid fi Tafsir Alquran al-Majid, Jilid 4, h. 564), Syaikh ‘Abdul Qadir al-Jilani (Tafsir al-Jilani, Juz 4, h.171), dan Ibnu ‘Arabi (Tafsir al-Qur’an, Jilid 2, h.160), menyatakan bahwa yang dimaksud dengan “lelaki dari ujung kota” adalah Habib al-Najar.
Imam Ibnu Katsir (Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, Jilid 3, h. 568-569), bahkan mengutip sebuah hadis, yang menunjukkan penegasannya, bahwa Habib al-Najar adalah “Shahibu Yasin” atau seseorang yang namanya disebutkan di dalam surah Yasin, sebagaimana bunyi hadis yang disampaikan oleh Ibnu Abi Hatim berikut.
Baca juga: Mengenal Mushaf Surah Yasin Kementerian Agama
“Dari ‘Abdul Malik Ibnu ‘Umayr yang mengatakan bahwa ‘Urwah Ibnu Mas’ud al-Tsaqafi r.a. pernah berkata kepada Nabi saw., ‘Utuslah aku kepada kaumku, aku akan menyeru mereka untuk memeluk Islam.’ Maka Rasulullah saw. bersabda, ‘Sesungguhnya aku merasa khawatir bila mereka nanti akan membunuhmu.’ Urwah berkata, ‘Seandainya mereka menjumpaiku sedang tidur, mereka tidak berani membangunkanku.’ Akhirnya Rasulullah saw. bersabda, ‘Pergilah kamu.’ Maka ‘Urwah berangkat menuju tempat berhala Lata dan ‘Uzza, lalu ia berkata, ‘Sungguh aku benar-benar akan melakukan suatu hal yang akan membuatmu celaka besok pagi.’ Maka orang-orang Tsaqif marah, dan ‘Urwah berkata, ‘Hai orang-orang Tsaqif, sesungguhnya tiada ketinggian lagi bagi Lata dan tiada kejayaan lagi bagi ‘Uzza. Maka masuk Islamlah kalian, niscaya kalian selamat.’ ‘Hai orang-orang yang tergabung di dalam persekutuan, sesungguhnya tiada kejayaan lagi bagi ‘Uzza dan tiada ketinggian lagi bagi Lata. Masuk Islamlah kalian, niscaya kalian selamat.’ ‘Urwah mengucapkan kalimat tersebut sebanyak tiga kali dengan suara yang lantang, lalu ada seorang lelaki dari kaum yang membidikkan anak panahnya ke arah dia dan mengenai anggota tubuh yang mematikan. Akhirnya ‘Urwah gugur. Ketika peristiwa tersebut sampai beritanya kepada Rasulullah Saw., maka beliau bersabda: Orang ini senasib dengan apa yang dialami oleh lelaki yang disebutkan di dalam surah Yasin. Ia berkata, ‘Alangkah baiknya sekiranya kaumku mengetahui apa yang menyebabkan Tuhanku memberi ampun kepadaku dan menjadikan aku termasuk orang-orang yang dimuliakan.’ (H.R. Al-Hakim)
Melalui riwayat ini menjadi jelas bahwa laki-laki dari ujung kota yang dimaksud oleh Q.S. Yasin [36]: 20 adalah Habib al-Najar. Kesimpulan yang dikuatkan oleh hadis riwayat Imam al-Hakim dan juga para mufasir.
Beberapa Citra Habib al-Najar
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), salah satu makna citra adalah gambaran yang dimiliki banyak orang mengenai pribadi. Dalam hal ini, gambaran mengenai pribadi al-Najar menurut para ulama tafsir. Pertama, al-Najar dicitrakan sebagai orang yang beriman. Tanda keberimanannya adalah kepercayaannya terhadap para utusan yang datang ke Antiokhia untuk mendakwahkan tauhid kepada kaumnya. Bahkan al-Najar juga menyeru kepada kaumnya, penduduk Antiokhia, untuk mengikuti apa yang disampaikan oleh para utusan, untuk beriman kepada Allah. Seperti bunyi Q.S. Yasin [36]: 21:
اتَّبِعُوْا مَنْ لَّا يَسْـَٔلُكُمْ اَجْرًا وَّهُمْ مُّهْتَدُوْنَ
“Ikutilah orang yang tidak meminta imbalan (dalam berdakwah) kepadamu. Mereka adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.”
Kedua, Habib al-Najar adalah sosok yang peduli dan memiliki hati yang bersih. Kepribadian al-Najar digambarkan dalam Tafsir al-Baghawi (jilid 7, h. 13-14). Dengan menukil pendapat Wahb, al-Baghawi menjelaskan pekerjaan al-Najar sebagai tukang sutra, yang gemar bersedekah dan membagi harta yang diperolehnya menjadi dua bagian, setengah untuk disedekahkan, setengah lainnya untuk keluarganya. Sedangkan Syaikh al-Thanthawi, dalam Tafsir al-Wasith (juz 12, h. 23), menambahkan bahwa al-Najar memiliki naluri yang sehat, jiwa yang murni, serta hati dan tekad yang tinggi.
Baca juga: Tafsir Surah Yasin Ayat 20-21: Orang yang Datang dari “Pinggiran Kota”
Ketiga, Habib al-Najar adalah hamba yang saleh. Keterangan tentang kesalehan al-Najar ini dapat ditemui dalam Tafsir al-Jilani (juz 4, h. 171) karya Syaikh ‘Abdul Qadir al-Jilani. Dalam tafsir bercorak tasawuf ini, al-Najar digambarkan sebagai seseorang yang menghambakan dirinya dalam ibadah kepada Allah. Penjelasan lain yang menguatkan pendapat ini datang dari Ibnu ‘Ajibah dalam tafsir al-Bahr al-Madid fi Tafsir al-Qur’an al-Majid (juz 4, h. 564). Habib al-Najar dicitrakan sebagai lelaki yang beribadah kepada Allah di sebuah gunung.
Keempat, Habib al-Najar bersikap kritis dan cinta pada kebenaran. Ciri ini dideskripsikan oleh Syaikh ‘Abdul Qadir al-Jilani dalam Tafsir al-Jilani (juz 4, h. 171-172). Sikap kritis yang dimiliki oleh al-Najar tergambar dalam dialognya dengan para utusan Allah di Antiokhia. Disebutkan dalam tafsir ini, bahwa al-Najar pernah bertemu dengan dua utusan Allah. Ketika kedua utusan tersebut masuk ke Antiokhia, al-Najar mengucapkan salam kepada mereka dan juga bertanya. Pertanyaan al-Najar terfokus pada prinsip-prinsip teologis, seperti pertanyaan tentang: siapa kalian? jika kalian adalah utusan Allah, apa tanda dan bukti bahwa kalian adalah utusan Allah?
Kedua pertanyaan inipun dijawab dan dibuktikan langsung oleh para utusan. Syaikh ‘Abdul Qadir al-Jilani meyakini bahwa salah satu dari dua utusan itu adalah Nabi ‘Isa a.s. Atas pertanyaan yang diajukan oleh Habib al-Najar, kedua utusan menjawab dan membuktikan bahwa mereka merupakan utusan Allah, dibuktikan dengan kemampuan menyembuhkan anak lelaki Habib al-Najar yang telah lama sakit dengan mengusap tubuhnya.
Baca juga: Identitas Penduduk Rass dan Kisahnya dalam Alquran
Setelah pembuktian sekaligus jawaban atas pertanyaan yang diajukannya, Habib al-Najar percaya dan beriman kepada Allah, lalu menyibukkan dirinya dengan beribadah kepada Allah. Sebagai informasi tambahan, tentang tanda kenabian yang terdapat pada dua utusan, Syaikh ‘Abdul Qadir al-Jilani menyebut bahwa kedua utusan tersebut juga dapat menyembuhkan orang yang buta sejak lahir dan penyakit kusta.
Kelima, Habib al-Najar adalah seorang pemberani yang berdiri di atas dasar keimanan. Ketika para utusan Allah berdakwah ke dalam kota, al-Najar kemudian mengetahui bahwa kaumnya (penduduk Antiokhia) mengingkari dakwah para utusan, bahkan mereka bersepakat untuk membunuh kedua utusan tersebut. al-Najar kemudian bergegas menuju tempat bertemunya kedua rasul dengan penduduk Antiokhia. Di sana, al-Najar datang dan melihat kedua utusan tersebut berhadapan dengan orang banyak.
Akhir yang Baik Bagi Habib al-Najar dan Keteladanannya
Apa yang dilakukan oleh Habib al-Najar menunjukkan ketinggian kadar keimanannya. Ia adalah contoh ideal tentang keimanan. Keimanannya mewujud dalam banyak aspek kehidupan, membentuk kepribadian dirinya yang mulia. Meskipun demikian, keimanan yang didakwahkannya, tidak langsung diterima oleh kaumnya, bahkan ia dibunuh oleh penduduk Antiokhia.
Sedari awal, Habib al-Najar memang adalah tokoh yang “pasang badan” untuk membela para utusan Allah dalam menyampaikan dakwah. Ia pula yang menyeru kaumnya untuk tunduk dan taat kepada Allah dengan argumentasi yang dapat diterima akal. Bahkan al-Najar pula yang menyatakan kesaksian di hadapan kaumnya untuk beriman kepada Allah. al-Najar adalah penduduk Antiokhia yang beriman kepada para utusan Allah, yang juga berani menghadapi ancaman, bahkan siksaan dari kaumnya sendiri.
Dengan segala keberaniannya, Habib al-Najar sampai pada waktu kematiannya. Menurut Ibnu Mas’ud, sebagaimana dikutip oleh Imam al-Khazin dalam tafsir Lubab al-Ta’wil fi Ma’ani al-Tanzil (juz 4, h. 6), penyiksaan yang dilakukan penduduk Antiokhia kepada al-Najar, dengan cara diinjak-injak, sampai ususnya keluar dari duburnya. Disebutkan pula, bahwa ia dilempar dengan batu, (dalam keadaan itu) ia masih sempat untuk berdoa untuk kaumnya, “Ya Allah, berikanlah petunjuk bagi kaumku.” al-Najar kemudian wafat. Ia dikuburkan di Antiokhia.
Baca juga: Kisah Pengembala, Pemilik Kebun, dan Kebijaksanaan Nabi Sulaiman
Keimanan Habib al-Najar menemukan relevansinya hari ini, pada saat sebagian orang hidup dalam kecemasan dan kekhawatiran atas masalah-masalah dunia yang dihadapinya. Iman yang ada dalam hatinya, tidak membantunya keluar dari permasalahannya. Mentalitas menjadi sangat rentan, karena jauh dari nilai-nilai keimanan itu sendiri. Sebagian mereka terasing dari agamanya sendiri.
Persoalan itu kemudian menjadi penyebab munculnya berbagai permasalahan-permasalahan lain seperti sikap individualistik, tidak mau terhubung dengan lingkungan dan masyarakat, tidak rasional dan menolak kebenaran. Karena sesungguhnya, keimanan yang menyeluruh, menurut Muhammad Utsman Najati dalam al-Qur’an wa ‘Ilm al-Nafs (h. 239), terimplementasi dalam akidah, peribadahan, hubungan sosial, hubungan keluarga, akhlak, emosi, perasaan, pemikiran, kehidupan praktis, serta citra diri yang baik. Habib al-Najar adalah contoh yang tepat dalam hal ini.
Baca juga: Menapak Tilas Kisah Rasulullah saat Merespons Pluralitas
Habib al-Najar, kehidupan dan kematiannya memberi nasihat bagi semua. Arti penting dari keberimanan, sebagaimana al-Najar, adalah kemauan yang kuat untuk menyatakan dan menyampaikan pencerahan-pencerahan keimanan kepada orang lain. Suatu kesan yang sangat terlihat dalam diri al-Najar. Dalam diri, iman harus menyala, menerangi hati dan pikiran, membimbing pada kebaikan dan kebenaran, menjadi penunjuk jalan diri sendiri dan juga orang lain.
Beriman berarti juga memberikan pengaruh baik bagi orang lain dengan berbagai cara dan metode yang baik, benar dan bijaksana, untuk menyeberluaskan nilai dan prinsip-prinsip keimanan. Iman kepada Allah dan rasul-Nya akan mengeluarkan manusia dari permasalahan dan persoalan-persoalan hidupnya. Beriman, sebagaimana Habib al-Najar, berarti memberikan pencerahan bagi sesamanya. Iman sudah seharusnya diwujudkan dalam diri dan dalam berbagai peran kehidupan, oleh siapapun yang mengaku beriman. Wa allahu a’lam bi al-shawab.