BerandaTafsir TematikTafsir EkologiTasbih Langit dan Bumi (Bagian I): antara Hakikat dan Majas

Tasbih Langit dan Bumi (Bagian I): antara Hakikat dan Majas

Tasbih dan tahmid menjadi hal yang tidak dapat dilepaskan dari orang beriman. Kita meyakini dengan bertasbih mengingat Allah akan muncul berbagai kebaikan dalam hidup. Tasbih dianjurkan oleh Nabi saw., bahkan disebutkan akan memperoleh timbangan pahala yang berat dan dicintai oleh Allah yang Maha Pengasih. Tak hanya manusia, terdapat satu ayat yang secara zahir menyebutkan bahwa langit dan bumi beserta isinya bertasbih kepada Allah, yakni dalam surah Alisra’ ayat 44.

تُسَبِّحُ لَهُ السَّماواتُ السَّبْعُ وَالْأَرْضُ وَمَنْ فِيهِنَّ وَإِنْ مِنْ شَيْءٍ إِلَاّ يُسَبِّحُ بِحَمْدِهِ وَلكِنْ لا تَفْقَهُونَ تَسْبِيحَهُمْ إِنَّهُ كانَ حَلِيماً غَفُوراً

“Tujuh langit dan bumi beserta seisinya bertasbih kepada-Nya. Dan tiadalah sesuatu kecuali bertasbih dengan memuji-Nya, akan tetapi kalian tidak mengerti tasbih mereka. Sesungguhnya, Dia Maha Pengertian Maha Pengampun.”

Terdapat dua pandangan yang berbeda dalam memaknai ayat di atas. Pendapat pertama berpegangan pada zahir teks dan menyebutkan bahwa segala hal bertasbih secara hakikat. Adapun pendapat kedua menyebutkan bahwa tasbih di atas adalah majas karena konteks ayat yang membincang kaum musyrikin.

Hakikat Alam Raya Bertasbih: Riwayat-riwayat Pendukung

Imam al-Baghawi dalam tafsir beliau Ma’alim al-Tanzil fi Tafsir al-Qur’an, mengutip beberapa riwaya untuk menjelaskan tafsir ayat di atas. Riwayat dari Ibn Abbas disebutkan bahwa tiada sesuatu yang hidup kecuali bertasbih dengan memuji-Nya. Qatadah menyebutkan bahwa yang bertasbih adalah hewan-hewan dan tumbuhan. Ikrimah mengatakan bahwa pohon-pohon bertasbih sementara tiang pasak tidak bertasbih.

Adapun al-Miqdam bin Ma‘d secara lebih spesifik menyebutkan bahwa debu yang tidak basah bertasbih dan ketika terbasahi, ia tidak bertasbih lagi. Batu rubi bertasbih saat belum terangkat dari tempatnya. Ketika sudah diangkat, ia tidak lagi bertasbih. Dedaunan bertasbih ketika masih berada di pohonnya. Ketika gugur, ia berhenti bertasbih. Baju yang kita pakai bertasbih selama ia masih bagus. Ketika telah lusuh, ia berhenti bertasbih. Air yang mengalir bertasbih. Ketika berhenti, maka ia tidak lagi bertasbih. Binatang buas bertasbih ketika lapar. Apabila telah berhenti berburu, maka ia tidak bertasbih.

Baca juga: Penjelasan Al-Quran tentang Fenomena Alam Semesta Bertasbih kepada Allah

Ibrahim al-Nakhai meyebutkan bahwa benda-benda mati bertasbih memuji-Nya termasuk palang pintu dan langit-langit atap. Mujahid menyatakan bahwa segala sesuatu baik yang hidup atau mati pun bertasbih kepada Allah.

Imam al-Baghawi juga mengutip riwayat yang marfuk dari Abdullah ibn Mas’ud,

“Kami menganggap ayat-ayat sebagai berkah dan kalian menganggapnya sebagai teror. Kami bersama Rasulullah saw. dalam suatu perjalanan ketika sangat sedikit persediaan air yang dibawa. Beliau katakan, “carilah kelebihan air.” Orang-orang pun memberikan beliau wadah yang berisi sedikit air. Beliau memasukkan tangannya ke dalam wadah kemudian berkata, “hiduplah atas kesucian yang memberkahi dan keberkahan dari Allah.” Sungguh, aku melihat air mengalir dari sela-sela jari Rasulullah saw. Sungguh kami mendengar tasbih makanan saat disantap.”

Baca juga: Hubungan Manusia dan Lingkungan Hidup dalam Surah Albaqarah Ayat 30

Imam al-Baghawi menggarisbawahi bahwa Allah juga meletakkan ilmu pada benda-benda mati yang tidak diberikan kepada selainnya. Oleh karenanya beliau memaknai, akan tetapi kalian tidak memahami tasbih mereka, yakni kalian tidak mengetahui tasbih dari sesuatu yang tidak menggunakan bahasa atau lisan kalian.

Sayangnya, al-Baghawi tidak menjelaskan lebih lanjut terkait pemaknaan frasa halim dan ghafur yang ada di akhir ayat ini. Berbeda dengan ketika beliau manfasirkan surah Alfurqan ayat 41 yang juga disebutkan kata halim. Di tafsir ayat tersebut beliau menjelaskan bahwa langit ingin menghukum orang-orang kafir namun Allah mencegah runtuhnya langit karena Pemurah dan Pengampunnya sehingga tidak disegerakan hukuman itu. Oleh al-Baghawi, halim dan ghafur tidak dijelaskan signifikansinya pada ayat ini.

Tasbih Semesta sebagai Majas: Konteks Ketidakpahaman Kaum Musyrikin

Berbeda dengan al-Baghawi di atas, menurut imam al-Razi signifikansi kata halim dan ghafur adalah untuk menunjukkan Pemurah dan Pengampunnya Allah terhadap dosa orang-orang musyrikin yang enggan memahami tasbih. Oleh karenanya, al-Razi tidak sepakat jika disebutkan bahwa benda-benda mati bertasbih karena jika dimaknai demikian, maka tidak ada dosa dalam ketidakpahaman akan tasbih yang menjadikan kata halim dan ghafur tidak signifikan.

Imam al-Razi menggarisbawahi bahwa yang hidup yang mukalaf bertasbih kepada Allah dengan dua cara. Pertama, yakni dengan perkataan lisan subhanallah. Kedua, dengan segala hal terkait ihwal pengesaan kepada Allah, mensucikan, dan memuliakan-Nya.

Adapun makhluk yang bukan mukalaf seperti hewan ataupun benda-benda yang tidak hidup, mereka hanya dapat bertasbih kepada Allah dengan cara kedua. Alasannya karena tasbih dengan cara pertama tidak dapat dicapai kecuali dengan pemahaman, ilmu, pengetahuan, dan kemampuan berbicara hal-hal yang muhal dilakukan oleh hewan ataupun benda-benda mati. Oleh karenanya mereka tidak akan mencapai tasbih secara hakikat kecuali dengan cara kedua.

Baca juga: Paham Antroposentrisme Agama (Sakhr) dan Upaya Merekonstruksinya

Silogisme yang diajukan imam al-Razi terkait tasbih menjadikan hidup sebagai kunci. Jika benda-benda mati dapat mengetahui sifat-sifat Allah dan bertasbih kepada-Nya sementara ia tidak hidup maka hidup bukanlah keniscayaan untuk sesuatu yang dapat mengetahui, berkehendak, dan berbicara. Premis ini menurut beliau dapat mengarah pada kesimpulan bahwa sifat Maha Hidup bukanlah keniscayaan bagi Allah yang Maha Mengetahui, Berkehendak, dan Berkalam yang mana hal ini termasuk kebodohan dan kekufuran.

Telah diketahui bahwa yang tidak hidup tidak akan dapat mengetahui, berkehendak, dan berkalam. Inilah kaul yang disepakati oleh para ulama otoritatif.

Pendapat ini dipertanyakan oleh al-Razi karena di dalamnya mengandung keganjilan.

وَكَأَيِّنْ مِنْ آيَةٍ فِي السَّماواتِ وَالْأَرْضِ يَمُرُّونَ عَلَيْها وَهُمْ عَنْها مُعْرِضُونَ

“Dan betapa banyak ayat di langit dan bumi mereka berjalan atasnya sementara mereka berpaling darinya.”

Surah Yusuf ayat 105 di atas dikutip oleh al-Razi sebagai dalil bahwa orang-orang kafir tidak paham akan pertanda alam sebagai ayat dari Allah. Demikian juga dalam penetapan tentang ketuhanan, tidak ada pemikiran mendalam yang dilakukan oleh kaum musyrikin tentang berbagai macam dalil.  Ayat ini dijadikan penguat pendapatnya bahwa tasbih langit dan bumi hanya majas akan ketidakmampuan kaum musyrikin untuk melihat pertanda Allah yang ada di alam raya, tidak mampu menggapai keesaan-Nya. Pendapat al-Razi ini tidak jauh dari tafsir al-Zamakhsyari yang juga beliau kutip di awal tafsir ayat ini.

al-Zamakhsyari menyebutkan maksud dari ayat 44 surah Alisra’ yakni mensucikan Allah Swt. dari berbagai sekutu yang tidak pantas bagi-Nya. Terkait kalimat akan tetapi kalian tidak memahami tasbih mereka, sementara lumrahnya tasbih dapat dipahami dan diketahui, sehingga khitab ayat adalah untuk kaum musyrikin. Ketika mereka ditanya siapakah pencipta langit dan bumi, mereka akan menjawab Allah. Hanya saja mereka menjadikan menyekutukan-Nya, seakan mereka tidak dapat melihat dan menetapkan, karena pandangan yang sahih dan penetapan yang kuat berbeda dengan apa yang mereka yakini. Oleh karenanya mereka dikatakan tidak memahami tasbih dan tidak dapat melihat kejelasan yang menjadi dalil akan Sang Pencipta.

Tasbih dalam ayat ini menurut al-Zamakhsyari adalah majasi seperti yang telah dijelaskan di atas. Pemaknaan ini menurutnya dikuatkan dengan frasa di akhir ayat yang menyebutkan bahwa Allah Maha Pengertian dan Maha Pengampun, sehingga tidak disegerakan siksaan bagi mereka dengan paradigma yang sangat buruk terhadap Allah. Pendapat yang oleh al-Baghawi tidak disinggung sedikitpun. (bersambung)

Muhammad Fathur Rozaq
Muhammad Fathur Rozaq
Mahasiswa Doktoral Pascasarjana UIN Sunan Ampel Surabaya.
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Belajar parenting dari dialog Nabi Yakub dan Nabi Yusuf

Belajar ‘Parenting’ dari Dialog Nabi Yakub dan Nabi Yusuf

0
Dalam hal parenting, Islam mengajarkan bahwa perhatian orang tua kepada anak bukan hanya tentang memberi materi, akan tetapi, juga pendidikan mental dan spiritual yang...