Sejarah pendidikan Islam saat ini sangat erat kaitannya dengan tradisi pembelajaran di masa Rasulullah saw. Salah satunya adalah tradisi ahl as-suffah, yaitu sekelompok sahabat Nabi yang memilih tinggal di serambi masjid dan mengabdikan diri untuk beribadah, mendalami ilmu agama, serta menyebarkannya kepada umat Islam yang lain.
Karakteristik dan Keadaan Ahl as-Suffah
Menurut Abu Nu’aim Asbahani (Hilyah al-Auliya 1/337) dan Ibnu Hajar (Fath al-Bari 6/688), ahl as-suffah adalah para ‘santri’ Rasul yang tinggal di bagian belakang Masjid Nabawi, mereka dikenal menjaga kehormatan diri mereka dari perilaku maksiat. Kebanyakan dari mereka adalah para fakir yang menjaga ‘iffah diri mereka dari meminta-minta. Ini sebagaimana disinggung dalam surah al-Baqarah ayat 273.
Sementara Wahbah al-Zuhaili (2/102) mendeskripsikan, mereka adalah sahabat yang hijrah dari Makkah yang tidak memiliki kerabat juga tempat tingal, sehingga mereka tinggal di masjid Rasulullah saw. Pada malam hari, mereka belajar Alquran, dan di siang hari, mereka memiliki kesibukan memecah biji-bijian. Jika ada seseorang dari umat Islam yang memiliki kelebihan makanan, maka pada sore hari, sahabat Nabi tersebut membawanya untuk diberikan kepada mereka.
Dapat dipahami bahwa awalnya penghuni ash-Shuffah adalah sahabat Muhajirin yang fakir. Namun selain dihuni oleh mereka, as-Suffah juga dihuni oleh penduduk asli Madinah, seperti Ka’ab bin Malik al-Anshari, Hanzalah bin Abi ‘Amir, dan Haritsah bin an-Nu’man yang sejatinya hidupnya berkecukupan, namun mereka memilih untuk hidup zuhud dan mempelajari agama. Selain itu, ada juga tamu-tamu Rasulullah yang datang dari berbagai negara untuk masuk Islam dan mendalami keilmuan Islam bergabung dengan para ahl as-suffah.
Baca Juga: Metode Pembelajaran Alquran pada Zaman Rasulullah
Jumlah ‘santri’ Rasulullah saw. tersebut berubah-ubah menyesuaikan situasi dan kondisi. Oleh karena itu, terdapat perbedaan pendapat terkait jumlah mereka. Riwayat dari Abu Hurairah sebagai salah satu dari mereka pernah mengatakan: “Saya melihat 70 orang dari ahl as-suffah, tidak seorang pun di antara mereka yang memakai rida‘ (sejenis kain penutup bagian atas tubuh). Mereka hanya mengenakan sarung atau kisa’ (potongan kain).”
Sementara menurut keterangan dalam Tafsir al-Qurthubi (3/337), jumlah mereka mencapai 400 orang. Al-Qurthubi juga menerangkan bahwa mereka tinggal di tsaqifah masjid (papan lebar yang dibuat rumah) dan mereka belajar Alquran dan Ilmu-ilmu keislaman di malam hari serta berjihad di siang hari.
Orang yang ditunjuk Rasul sebagai penanggung jawab ashab as-suffah adalah Abu Hurairah. Ketika Rasulullah ingin memanggil mereka biasanya melalui perantara dirinya. Abu Hurairah sendiri merupakan sahabat Nabi yang berasal dari kalangan berkecukupan. Namun beliau lebih senang tinggal di Suffah agar dapat bergaul secara intensif dengan Rasulullah. Berkat hal ini, Abu Hurairah menjadi sahabat yang paling banyak meriwayatkan hadis dari beliau saw.
Baca Juga: Pendidikan Moral dan Etika Sosial dalam Kisah Nabi Musa as. Dalam Q.S. al-Qashshash: 23-28
Kesungguhan dalam Beribadah dan Menuntut Ilmu
Salah satu mufasir menjelaskan bahwa ahl as-suffah adalah sekelompok sahabat Nabi yang tidak diperintahkan untuk berangkat ke medan perang. Mereka tidak berangkat karena sibuk mengajarkan Alquran dan dasar-dasar ilmu agama kepada kaumnya. Orang-orang munafik pun melontarkan kritiknya, “Sungguh, masih ada orang-orang yang tertinggal di Madinah, maka celakalah mereka itu.” Setelah itu, turun firman Allah dalam surah at-Taubah: 122. (Tafsir al-Munir 6/94)
Ar-Razi dalam tafsirnya menambahkan bahwa mereka tinggal bersama Rasulullah untuk mempelajari hukum-hukum Islam, menghafalnya, dan menyampaikannya kepada sahabat yang tidak hadir. (Mafatih al-Ghaib 16/172)
Selain aktivitas menuntut ilmu, mereka juga dikenal semangat dalam melakukan ibadah. Mereka senantiasa melaksanakan salat, beri’tikaf di masjid, tadarus Alquran, berdzikir, puasa di siang harinya, dan terbiasa dengan hidup zuhud. Satu lagi, mereka juga terkenal dengan semangat jihad yang tinggi. Bahkan, beberapa mereka terlibat dan gugur syahid dalam perang Badar, seperti Salim bin Umair, dan Haritsah bin An-Nu’man. Selain perang Badar, beberapa orang gugur dalam perang Uhud, perang Khaibar, perang Tabuk, dan perang Yamamah.
Sebab kesungguhan mereka, baik dalam menuntut ilmu maupun dalam hal lainnya, banyak alumni as-suffah yang sukses di bidangnya masing-masing. Seperti Abu Hurairah yang telah disebutkan di awal. Selain itu, ada Abu Ubaidah bin Jarrah yang dipercaya mengelola keuangan negara di masa kepemimpinan Sayidina Abu Bakar. Ada juga, Abu Darda’ yang menjadi guru dan mendirikan madrasah bersama istrinya di Syam. Beliau mengajarkan Alquran, hadis, tafsir, dan fikih. Tercatat lebih dari 1600 ‘santri’ yang pernah belajar dan singgah di ‘pesantren’ yang diasuhnya.
Baca Juga: Cara Rasulullah Saw Mengevaluasi Sahabatnya
Ahl as-suffah memainkan peran terbesar mereka ketika perluasan wilayah Islam mencapai puncaknya di masa Amirul Mukminin, Umar bin Khattab. Di masa itu, mereka dikirim ke seluruh penjuru dunia untuk menyebarkan ilmu, warisan dari Rasulullah saw. kepada masyarakat yang baru mengenal dan memeluk agama Islam. Komitmen ahl as-suffah yang tinggi terhadap ilmu menjadi teladan bagi ‘santri’ dan umat Islam pada umumnya untuk terus bersungguh-sungguh menuntut ilmu Allah.
Ahl as-suffah menjadi contoh awal dari komunitas belajar yang menekankan pentingnya ilmu pengetahuan dan spiritualitas. Mereka fokus pada pengkajian ilmu agama yang mendalam dan interaksi langsung dengan Rasulullah, di mana tidak hanya mendapatkan materi pelajaran tetapi juga contoh langsung akhlak Rasulullah saw. dalam kehidupan sehari-hari.
Tradisi ini bisa jadi menginspirasi lembaga pendidikan Islam, khususnya di Indonesia, yaitu pesantren, tempat para diajarkan untuk mengutamakan ilmu, akhlak, displin, serta hidup sederhana. Wallah a’lam