Kisah Nabi Yunus dalam Alquran tidak hanya menggambarkan perjalanan spiritual seorang nabi, tetapi juga menjadi cermin bagi manusia yang kerap terjebak dalam kegelapan kegagalan. Hal ini relevan di era yang mengagungkan kesuksesan instan, ketika kegagalan sering dianggap sebagai aib. Namun, kisah Nabi Yunus dalam Alquran justru mengajarkan sebaliknya: kegagalan adalah pintu menuju pencerahan.
Pelarian Nabi Yunus: Antara Emosi dan Tanggung Jawab
Ar-Razi dalam Mafatih al-Ghayb (22/178–179) menjelaskan bahwa Nabi Yunus awalnya diutus kepada kaumnya di Palestina. Saat lebih dari sembilan suku Bani Israil ditawan oleh penjajah, Allah Swt. memerintahkan Nabi Syu’aib untuk meminta Raja Hizqil mengutus seorang nabi yang kuat dan amanah guna membebaskan mereka. Yunus bin Matta, yang dikenal sebagai sosok tepercaya, direkomendasikan. Namun, ketika raja memerintahkannya pergi tanpa legitimasi wahyu, Yunus mempertanyakan keputusan tersebut.
Menurut Ar-Razi, protes Yunus bukanlah bentuk pembangkangan, melainkan keinginan untuk memastikan bahwa langkahnya selaras dengan petunjuk ilahi. Sayangnya, emosinya menguasai akal. Dengan perasaan kesal, ia meninggalkan kaumnya dan pergi ke laut. Ar-Razi menegaskan bahwa keputusan ini mencerminkan konflik internal antara ketaatan pada manusia dan kesetiaan pada panggilan Allah. Dalam konteks modern, ini mengingatkan pada fenomena burnout, yakni ketika tekanan eksternal mendorong seseorang lari dari tanggung jawab.
Di Perut Ikan
Ketika kapal yang ditumpangi Yunus diterpa badai, para awak meyakini ada “orang berdosa” di antara mereka. Setelah tiga kali undian, nama Yunus terus terpilih. Dengan rendah hati, ia mengakui: “Aku adalah hamba yang melarikan diri.” Menurut Ibnu Katsir dalam Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim (5/323–324), pengakuan ini menjadi kunci pertobatan. Tanpa ragu, Yunus melompat ke laut dan ditelan ikan besar.
Ar-Razi menjelaskan bahwa Allah Swt. memerintahkan ikan tersebut untuk tidak melukai Yunus sedikit pun. Di dalam kegelapan perut ikan, Yunus menyadari kesalahannya. Ia bersimpuh dengan doa yang diabadikan Alquran:
وَذَا النُّوْنِ اِذْ ذَّهَبَ مُغَاضِبًا فَظَنَّ اَنْ لَّنْ نَّقْدِرَ عَلَيْهِ فَنَادٰى فِى الظُّلُمٰتِ اَنْ لَّآ اِلٰهَ اِلَّآ اَنْتَ سُبْحٰنَكَ اِنِّيْ كُنْتُ مِنَ الظّٰلِمِيْنَ ۚ
(Ingatlah pula) Zun Nun (Yunus) ketika dia pergi dalam keadaan marah, lalu dia menyangka bahwa Kami tidak akan menyulitkannya. Maka, dia berdoa dalam kegelapan yang berlapis-lapis, “Tidak ada tuhan selain Engkau. Maha Suci Engkau. Sesungguhnya aku termasuk orang-orang zalim.” (Q.S. Al-Anbiya: 87).
Baca juga: Kisah Teladan Nabi di Bulan Muharram; Nabi Yunus Keluar dari Perut Ikan Paus
Ibnu Katsir menukil riwayat dari Ibn Abi Hatim yang menjelaskan bahwa doa ini memiliki kedudukan yang agung di sisi Allah. Ketika Nabi Yunus mengucapkan, “Laa ilaha illa anta, subhanaka inni kuntu minazh-zhalimin”, doa tersebut naik hingga ke bawah ‘Arsy, hingga para malaikat pun bertanya: “Wahai Tuhan, ini adalah suara yang lemah namun dikenal, berasal dari negeri yang jauh.”
Allah pun berfirman: “Tidakkah kalian mengenali siapa dia?”
Para malaikat menjawab: “Tidak, wahai Tuhan, siapa dia?”
Allah pun berfirman: “Dia adalah hamba-Ku, Yunus.”
Maka para malaikat pun berkata: “Hamba-Mu Yunus? Yang selalu amalnya diterima dan doanya dikabulkan? Wahai Tuhan, tidakkah Engkau akan merahmati amal kebaikannya di waktu lapang, lalu menyelamatkannya di waktu kesusahan?” Allah berfirman: “Tentu saja.”
Pelajaran dari Pohon Labu
Setelah dimuntahkan ke daratan, Yunus berada dalam keadaan lemah. Ar-Razi menggambarkan kondisi ini sebagai simbol kehancuran identitas. Namun, Allah Swt. tidak serta-merta mengembalikannya ke kehidupan normal. Sebatang pohon labu tumbuh untuk melindunginya dari terik matahari dan menjadi sumber makanan. Menurut Ibnu Katsir, pohon ini adalah metafora kesabaran: pemulihan pascakegagalan membutuhkan proses, bukan keajaiban instan.
Ketika pohon itu layu, Yunus kembali sedih. Allah Swt. pun menegurnya: “Apakah engkau bersedih karena pohon, tapi tidak bersedih atas ratusan ribu umat yang kamu engkau tinggalkan?” Ar-Razi menafsirkan teguran ini sebagai pengingat bahwa tanggung jawab seorang nabi lebih besar daripada kepentingan pribadi. Dalam kehidupan modern, ini relevan dengan kecenderungan manusia yang fokus pada hal-hal material, tetapi lalai pada amanah sosial dan spiritual.
Baca juga: Keistimewaan Doa Nabi Yunus yang Dibaca Masyarakat Banjar pada Arba Musta’mir
Setelah melalui proses introspeksi, Yunus kembali ke kaumnya. Awalnya, mereka menolak dakwahnya. Namun, ketika azab hampir turun, panik melanda. Kaumnya pun bertobat. Menurut Ibnu Katsir, Allah Swt. mengangkat azab karena tobat tulus mereka. Ar-Razi menambahkan bahwa kepulangan Yunus bukan sekadar melanjutkan kembali misi dakwah, melainkan juga bukti bahwa kegagalan masa lalu bisa menjadi fondasi kepemimpinan yang lebih bijak.
Penutup
Dari kisah Nabi Yunus, bisa diambil pelajaran bahwa tobat adalah kekuatan, bukan kelemahan. Pengakuan Yunus atas kesalahan di kapal dan doanya di perut ikan menunjukkan bahwa mengakui kelemahan adalah langkah pertama menuju perubahan.
Selain itu, kisah ini juga mengajarkan bahwa kegelapan adalah persiapan menuju cahaya. Pengalaman di perut ikan, meski menyakitkan, membentuk Yunus menjadi pemimpin yang rendah hati dan sabar.
Bagi generasi yang menghadapi tekanan kesempurnaan, kisah ini mengingatkan bahwa kegagalan akademik, karir, atau hubungan bukan akhir segalanya. Sebagaimana firman Allah: “Maka Kami kabulkan (doa)nya dan Kami selamatkan dia dari kedukaan. Dan demikianlah Kami menyelamatkan orang-orang yang beriman.” (Q.S. Al-Anbiya: 88).
Sebagai penutup, Yunus mengingatkan kita bahwa rahmat Allah selalu lebih besar daripada dosa hamba-Nya. Dalam kehidupan modern yang penuh dengan tekanan, kegagalan seringkali dipandang sebagai akhir dari segalanya. Namun, kisah Nabi Yunus a.s. dan ajaran Islam secara umum memberikan perspektif yang berbeda tentang bagaimana seseorang seharusnya menyikapi kegagalan dan mengubahnya menjadi titik balik menuju keberhasilan. Wallahu ‘alam.