BerandaTafsir TematikKonsep Pendidikan Keluarga dalam Ibadah Kurban

Konsep Pendidikan Keluarga dalam Ibadah Kurban

Ibadah kurban dalam Islam bukan sekadar menyembelih hewan. Ia adalah simbol ketaatan, pengorbanan, dan keikhlasan. Namun ada satu dimensi yang jarang dibahas, yakni makna pendidikan keluarga dalam peristiwa kurban Nabi Ibrahim dan Ismail. Dalam momen paling menentukan itu, seorang ayah menerima perintah untuk menyembelih anaknya dan anak itu justru merespons dengan penuh kesabaran dan ketundukan.

Peristiwa itu bukan hanya kisah spiritual, tetapi juga kisah pendidikan rumah tangga. Bagaimana mungkin seorang anak bisa setaat dan sesabar itu? Apa rahasia pendidikan Nabi Ibrahim terhadap Ismail? Dan bagaimana relevansinya bagi orang tua dan anak-anak hari ini?

Komunikasi Seorang Ayah dan Anak

Komunikasi merupakan ruh dari keberlangsungan dunia pendidikan. Dengan adanya komunikasi yang baik, maka isi dari pendidikan dapat tersampaikan kepada objek pendidikan. Hal ini telah dicontohkan oleh Nabi Ibrahim kepada anaknya Ismail melalui firman Allah Swt. berikut:

فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ ٱلسَّعۡيَ قَالَ يَٰبُنَيَّ إِنِّيٓ أَرَىٰ فِي ٱلۡمَنَامِ أَنِّيٓ أَذۡبَحُكَ فَٱنظُرۡ مَاذَا تَرَىٰۚ قَالَ يَٰٓأَبَتِ ٱفۡعَلۡ مَا تُؤۡمَرُۖ سَتَجِدُنِيٓ إِن شَآءَ ٱللَّهُ مِنَ ٱلصَّٰبِرِينَ

Artinya: “Maka ketika anak itu telah sampai pada usia sanggup berusaha bersama ayahnya, Ibrahim berkata: ‘Wahai anakku, sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah, bagaimana pendapatmu?’ Ia (Ismail) menjawab: ‘Wahai ayahku, lakukanlah apa yang diperintahkan (Allah) kepadamu; insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar.’” (QS. as-Saffat [37]: 102)

Kisah Nabi Ibrahim dan Ismail mencapai puncaknya dalam sebuah dialog yang menggugah hati. Di dalamnya tergambar bukan hanya perintah Ilahi, tetapi juga kedalaman hubungan emosional antara ayah dan anak yang dibangun di atas fondasi iman dan kasih sayang.

Menurut Tafsir Ibnu Katsir (Jilid 7/h. 29) menyatakan bahwa tujuan Nabi Ibrahim memberitahukan mimpinya tersebut kepada anaknya Islamil adalah untuk meringankan baginya sekaligus menguji kesabaran, ketangguhan dan kemauannya untuk taat kepada Allah san taat kepada ayahnya. Ketaatan kepada ayah di sini tentu merupakan pondasi yang kuat dalam mendidik anak menuju predikat berbakti kepada orang tua, terlebih lagi perintah ayah tersebut adalah perintah langsung dari Allah Swt.

Baca Juga: Menyembelih Ego dan Sifat Kepemilikan di Hari Raya Kurban

Ayat ini mencerminkan dialog yang luar biasa antara seorang ayah dan anak. Ibrahim tidak serta-merta memaksakan perintah Allah, melainkan mengajak anaknya berdiskusi. Ini menunjukkan penghargaan terhadap perasaan dan akal anak. Sebaliknya, Ismail menanggapi dengan penuh kesadaran dan ketaatan. Respons Ismail bukan sekadar bentuk keberanian, tapi hasil dari pola asuh dan pendidikan spiritual yang kuat sejak dini.

Perhatikan bagaimana ayah dan anak berdialog. Nabi Ibrahim tidak serta-merta mengeksekusi perintah mimpi itu. Ia melibatkan anaknya dalam proses spiritual. Padahal ini wahyu! Tetapi beliau tetap membuka ruang dialog, “Maka pikirkanlah, bagaimana pendapatmu?” Menurut Syafruddin, Jurnal Ilmiah Pendidikan (h. 66), mengemukakan bahwa metode dialog dengan memberikan kesempatan anak untuk menjawab adalah cara yang tepat untuk merangsang anak dalam belajar dan berpikir kritis. Dari sini maka ia akan terlatih untuk mengeluarkan pendapat secara rasional dan mandiri.

Ketaatan Anak: Hasil Didikan, Bukan Keajaiban

Ketaatan Ismail terhadap perintah Allah Swt. bukanlah suatu keajaiban. Melainkan hasil didikan dari Nabi Ibrahim yang penuh dengan nilai spritualitas. Respon Ismail yang sangat menggetarkan melalui kalimat ٱفۡعَلۡ مَا تُؤۡمَرُۖ سَتَجِدُنِيٓ إِن شَآءَ ٱللَّهُ مِنَ ٱلصَّٰبِرِينَ    merupakan tanda ketaatan Ismail kepada ayahnya Ibrahim (Abdullah bin Muhammad bin Abdurrahman bin Ishaq/Tafsir Ibnu Katsir, 29).

Kalimat yang maknanya “Insyaallah engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar” menurut Hasbie Ash-Shiddieqy dalam tafsirnya Tafsir Al-Qur’anul Majid (h. 3470) adalah untuk meneguhkan hatinya untuk disembelih. Ismail yakin bahwa ketetapan Allah Swt. tersebut akan mampu dipikulnya tanpa harus berkeluh kesah. Dari sini terlihat bahwa pada diri Ismail terdapat akhlak kepada Allah Swt. yang sangat luar biasa. Terpancar penghayatakan iman yang benar disertai penyerahan diri yang sempurna, serta sabar dan rela terhadap ketetapan Allah Swt. dengan sepenuh-penuhnya.

Baca Juga: Kurban Perasaan Nabi Sulaiman

Hal ini merupakan pelajaran penting dalam keluarga bahwa anak tidak mungkin tiba-tiba menjadi taat dan sabar tanpa proses pendidikan panjang. Bahkan Nabi Ibrahim dalam banyak ayat digambarkan sebagai ayah yang mengajarkan tauhid sejak awal (QS. Al-Baqarah [2]: 132), mendoakan keturunan yang saleh bahkan sebelum punya anak (QS. Ash-Shaffat [37]: 100), memberi contoh nyata dalam amal dan doa (QS. Ibrahim [14]: 40).

Menjadi Ismail-Ismail Kecil di Era Digital

Era digital telah melahirkan banyak anak yang cerdas secara akademik namun rapuh secara spiritual. Sementara itu, tak sedikit orang tua yang begitu sibuk mencari nafkah untuk anak-anaknya, tetapi lupa memberi asupan bagi jiwa dan batin mereka. Peristiwa kurban Nabi Ibrahim dan Ismail memberi pesan bahwa kedekatan ruhani dalam keluarga jauh lebih penting daripada sekadar kedekatan fisik. Anak-anak hari ini tidak menuntut kita untuk menyembelih mereka, tapi mereka menuntut kita untuk membimbing mereka dan menghadirkan Allah dalam percakapan sehari-hari.

Apakah kita pernah mengajak anak berdiskusi soal Allah? Pernahkah kita berkata seperti Ibrahim: “Aku bermimpi bahwa Allah menyuruhku begini. Apa pendapatmu, Nak?” Ataukah selama ini ibadah hanya menjadi rutinitas orang tua yang tidak menyentuh hati anak?

Penutup

Kurban sejatinya bukan sekadar menyembelih hewan, melainkan menyembelih keakuan, melepas kepentingan diri, dan menyalurkan cinta yang tulus. Kurban adalah latihan kepasrahan dan ketundukan yang paling indah, terlebih lagi jika ditanamkan pertama kali dalam lingkaran keluarga.

Saat Nabi Ismail telah siap untuk disembelih, lalu Allah Swt. menggantikannya dengan sembelihan yang agung, di sanalah pesan besar tersimpan, yakni Allah tidak menginginkan darah, melainkan keikhlasan. Keikhlasan tertinggi tercermin saat seorang ayah membimbing anaknya untuk menempatkan cinta kepada Allah di atas segalanya.

Baca Juga: Ibadah Kurban dan Permasalahan Kontemporer

Zaman sekarang menuntut kurban yang lebih dari sekadar menyembelih hewan. Kita perlu mengorbankan waktu, perhatian, dan hati untuk membimbing anak tumbuh seperti Ismail. Idul Adha seharusnya menjadi momentum untuk membangun ruh keluarga yang Qurani, bukan sekadar seremoni tahunan. Semoga Allah Swt. menjadikan kita sebagai orang tua yang mampu meneladani keikhlasan Nabi Ibrahim dan membesarkan anak-anak yang berhati seperti Ismail, kokoh dalam iman dan lembut dalam taat. Aamiin ya Rabbal ‘alamin.

Ahmad Riyadh Maulidi
Ahmad Riyadh Maulidi
Mahasiswa S2 UIN Antasari Banjarmasin
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

ayat-ayat Alquran di balik hijrah nabi Muhammad

Ayat-Ayat Alquran di Balik Hijrah Nabi Muhammad saw.

0
Hijrah Nabi Muhammad saw. dan umat Islam dari Makkah ke Madinah menandai mulainya era baru dakwah Islam. Di Madinah, umat Islam seakan menemukan ‘rumah’,...