Bukti Adanya Karamah, Ini 5 Cerita Karamah Para Wali Dalam Al-Qur’an

Bukti Adanya Karamah, Ini 5 Cerita Karamah Para Wali Dalam Al-Qur’an
5 Cerita Karamah Para Wali Dalam Al-Qur’an

Sebuah kisah yang utuh, dengan prolog yang menceritakan adegan awal, serta epilog yang memberikan gambaran akan konklusi yang diberikan, akan sangat menarik perhatian siapa pun yang mendengarnya. Terlebih jika ada maksud tertentu yang coba disembunyikan oleh penuturnya. Siapa pun akan tambah penasaran dibuatnya.

Itu lah salah satu alasan mengapa kadang Al-Qur’an memilih cara bertutur cerita alih-alih ‘khutbah’ langsung atas pesan yang ingin disampaikannya. Ini Al-Qur’an, bukan buku cerita, novel atau bahkan komik bergambar yang menceritakan kisah fiktif dengan visualisasi adegan dramatis. Kisah yang disajikan adalah fakta dan benar adanya.

Kisah-kisah dalam Al-Qur’an disajikan sebagai ibrah atas nilai-nilai yang terkandung dari setiap unsur di dalamnya: adegan peristiwa, karakter tokoh, alur, hingga keterulangan penceritaannya. Bahkan dalam kadar yang sangat sederhana, disebutnya sebuah kisah dalam Al-Qur’an dapat dijadikan bukti sebagai keabsahan cerita berikut hal-hal yang terangkum di dalamnya.

Yang disebutkan terakhir ini adalah apa yang hendak penulis bagikan dalam tulisan kali ini. Berkaitan dengan karamah para wali-wali Allah, kemunculan kisahnya di dalam Al-Qur’an menjadi argumentasi sekaligus bukti atas keabsahan konsep karamah. Buntut perdebatan di kalangan para ulama atas lahirnya konsep wilayah (kewalian).

Baca juga: Siapakah yang Dimaksud Auliya’ dalam Surah Yunus Ayat 62?

Hakikat Karamah

Meski sama-sama diartikan sebagai sesuatu yang khariq li al-‘adah atau peristiwa aneh, menakjubkan, di luar kemampuan dan nalar manusia biasa, karamah berbeda dari mukjizat. Satu-satunya perbedaan di antara keduanya adalah klaim kenabian (da‘wah al-nubuwwah) pemiliknya. Jika sebelum kemunculannya didahului dengan adanya klaim kenabian maka disebut dengan mukjizat. Jika tidak, maka disebut dengan karamah.

Dengan perbedaan ini, maka dimungkinkan bagi seorang wali memiliki karamah yang sama dengan mukjizat para nabi dari segi wujud dan penampakannya, selama tidak didahului dengan klaim kenabian. Kebalikannya, kemunculan karamah bagi para nabi juga mungkin terjadi, yakni pada saat di mana mereka belum menunjukkan klaim kenabian. Meskipun tidak semua ulama menyetujui konsep yang disebutkan terakhir ini. Peristiwa khariq li al-‘adah yang muncul dari para nabi sebelum melakukan klaim kenabian lebih lazim disebut dengan irhash.

Karamah juga berbeda dari sihir (sihr) dari tingkat kesalehan pemiliknya. Jika sesuatu khariq li al-‘adah keluar dari seorang yang saleh maka disebut dengan karamah. Jika tidak, maka disebut dengan sihir. Sehingga unsur pembeda dari keduanya adalah murni tingkat kesalehan yang dimiliki.

Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa sesuatu yang khariq li al-‘adah dapat dibedakan menjadi empat macam sesuai dengan kapasitas pemiliknya; Mukjizat, manakala didahului dengan klaim kenabian, sehingga dimiliki oleh para nabi dan rasul. Irhash, ketika muncul dari para nabi sebelum menunjukkan klaim kenabian. Karamah, ketika keluar dari seorang yang saleh yang bukan nabi. Dan sihir, ketika keluar dari seorang fasik lagi tidak saleh.

Baca juga: Dua Dimensi Makna Wali Menurut Imam Al-Qusyairiy

Beberapa Cerita Karamah dalam Al-Qur’an

Berdasarkan identifikasi perbedaan konsep khariq li al-‘adah sebelumnya, maka dalam Al-Qur’an yang masuk dalam kategori karamah sekaligus menjadi bukti keabsahannya ada setidaknya lima kisah.

Kisah yang pertama adalah kisah karamah Maryam binti ‘Imran ‘alaiha al-salam. Seperti yang telah diketahui, ia merupakan ibu dari Nabi Isa as. Ada dua karamah yang dimiliki Maryam yang telah disebutkan dalam Al-Qur’an. Pertama, pada rangkaian ceritanya dalam surah Ali Imran ayat 33-51, di mana Nabi Zakaria yang kala itu mendapatkan penghormatan sebagai orang yang merawat Maryam selalu menjumpai rezeki ketika ia memasuki mihrab, tempat Maryam tinggal (surah Ali Imran [3]: 37).

Kedua adalah kehamilannya atas Nabi Isa as., yang tanpa melalui proses sebagaimana umumnya manusia biasa. Kemudian berlanjut sampai pada masa melahirkan, ketika Allah memberikan rezeki kepadanya berupa kurma dari sebatang pohon yang telah kering dan layu serta minum dari mata air yang keluar di sampingnya. Cerita karamah ini diabadikan dalam surah Maryam [19] ayat 25.

Karamah berikutnya adalah kisah dari shahib Nabi Sulaiman as. bernama Ashif bin Barkhaya. Ia merupakan seorang alim yang memiliki ‘ilm min al-kitab (pengetahuan dari kitab suci). Beberapa tafsir menyebutkan bahwa ia mengetahui al-ism al-a‘dzam (nama agung), yang dengannya ia mampu memenuhi permintaan Nabi Sulaiman untuk mendatangkan singgasana Bilqis hanya dalam waktu sekejap. Dan karena seorang hamba yang saleh, ia tidak lantas menjadi sombong. Ia justru berkata, “Ini termasuk karunia Tuhanku untuk mengujiku, apakah aku bersyukur atau mengingkari (nikmat-Nya)” (surah Al-Naml [27]: 40).

Selanjutnya kisah karamah dari ibu Nabi Musa as., yang muncul sejak Nabi Musa masih berada dalam kandungan hingga dikembalikan lagi ke dalam pangkuannya, karena ia begitu percaya akan janji yang telah diberikan Allah Swt., “Sesungguhnya Kami akan mengembalikannya kepadamu” (surah Al-Qashash [28]: 7).

Kemudian ada kisah Dzulqarnain, seorang raja yang adil nan saleh bernama ‘Abdullah bin al-Dlahhak, menurut pendapat yang sahih. Seorang raja yang diberikan keluasan kekuasaan sehingga mampu menyatukan berbagai wilayah di bawah kekuasaannya. Selain itu juga telah ditundukkan baginya awan-awan di langit dari timur hingga barat, utara hingga selatan, seperti yang telah Allah katakan, “Dan Kami telah memberikan jalan kepadanya (untuk mencapai) segala sesuatu” (surah Al-Kahfi [18]: 84).

Dan yang terakhir, kisah tentang Ashab al-Kahfi, sekelompok pemuda putra pembesar dan raja-raja yang dibukakan hatinya oleh Allah untuk tidak mengikuti ajaran kaumnya menyembah berhala. Kisah karamahnya begitu masyhur, di mana mereka tertidur di dalam gua selama 309 tahun setelah melarikan diri dari kejaran raja zalim, “Dan mereka tinggal dalam gua selama tiga ratus tahun dan ditambah sembilan tahun” (surah Al-Kahfi [18]: 25).

Penutup

Dituturkannya kisah-kisah ini dalam Al-Qur’an oleh beberapa ulama seperti Al-Nawawi dalam Bustan al-‘Arifin atau Amin al-Kurdi dalam Tanwir al-Qulub dijadikan sebagai bukti atas keabsahan karamah bagi para wali-wali Allah. Sebuah argumentasi naqliy yang mereka gunakan atas counter terhadap pendapat lain yang berseberangan. Wallahu a‘lam bi al-shawab. []

Baca juga: Ashabul Kahfi: Representasi Perjuangan Pemuda dalam Al-Quran