BerandaIlmu TajwidDialek Alquran Kedaerahan dalam Perspektif Linguistik

Dialek Alquran Kedaerahan dalam Perspektif Linguistik

Pak Ahmad Fathoni dalam bukunya, Metode Maisura, menulis satu bab yang menarik berjudul Pengaruh Dialek Ke-Daerahan di dalam Pengucapan Huruf Hijaiyyah. Dalam bab tersebut, Pak Fathoni memberikan hasil analisisnya terhadap pengucapan huruf hijaiah menggunakan lahjah atau dialek kedaerahan yang dinilainya kurang tepat.

Analisis dilakukan dengan membandingkan shifat (sifat) dan makhraj (tempat keluar) huruf antara dialek kedaerahan dengan teori pengucapan yang seharusnya. Turut disertakan pula di dalamnya contoh dialek beberapa daerah yang berpotensi mengalami kesalahan pengucapan, seperti huruf zay (ز) yang diucapkan dengan j (ج) pada kata zakat (jakat) dan huruf cha’ (ح) yang diucapkan dengan h (هـ) atau k (ك) dalam kata alchamdulillah.

Baca juga: Menelisik Pengertian, Sejarah dan Macam-Macam Qira’at

Meski demikian, hasil analisis yang diberikan Pak Fathoni agaknya belum menyertakan penjelasan tentang sebab yang mendasari munculnya “kesalahan” dialek kedaerahan tersebut. Padahal mengetahui penyebab masalah tersebut cukup penting untuk mengetahui pangkal masalah yang ada. Penulis sendiri melihat adanya kemungkinan mengetahui penyebab masalah tersebut dengan menggunakan pendekatan dan perspektif linguistik atau kebahasaan.

Kemungkinan ini penulis dasarkan pada beberapa asumsi. Pertama, kajian mengenai dialek secara umum merupakan bagian dari kajian linguistik. Dialek yang didefinisikan sebagai variasi bahasa yang berbeda-beda menurut pemakai, sesuai dengan penjelasan Mahmud Fahmiy Hijaziy dalam Al-Lughah al-‘Arabiyyah ‘Abr al-Qurun. Beliau mengartikan bahasa sebagai sekumpulan sistem suara yang digunakan dalam kelompok penutur tertentu.

Baca juga: Metode Pembelajaran Alquran pada Zaman Rasulullah

Kedua, Alquran, bagaimana pun kesuciannya di mata seorang muslim, merupakan kitab yang diturunkan menggunakan bahasa Arab sebagai medianya. Ini berarti bahwa kajian terhadap Alquran mau tidak mau juga dilakukan dengan turut menyertakan pendekatan linguistik di dalamnya. Ketiga, bahkan dalam ilmu Alquran sekali pun pendekatan linguistik ini digunakan manakala membicarakan konsep sab‘ah ahruf (tujuh huruf).

Berdasarkan pada asumsi inilah penulis melakukan analisis terhadap masalah dialek kedaerahan dalam kekeliruan pengucapan huruf hijaiah. Hasilnya, didapati adanya perbedaan bahasa asal yang digunakan oleh penutur bahasa. Dalam konteks masalah dialek ini adalah bahasa Arab dan bahasa-bahasa dalam dialek kedaerahan.

Pengaruh dialek bahasa Jawa terhadap bacaan Alquran

Perbedaan dua bahasa ini dapat dilihat setidaknya dari huruf-huruf yang digunakan oleh keduanya. Bahasa Arab memiliki setidaknya 28 huruf, merujuk pada salah satu pendapat. Jumlah tersebut berbeda dengan huruf-huruf dalam bahasa Jawa, misalnya, yang hanya memiliki 20 huruf dasar (bahasa aksara hanacaraka atau carakan). Pemilihan bahasa Jawa sebagai contoh dikarenakan ia merupakan bahasa penulis sehingga dianggap dapat memberikan hasil analisis yang lebih mendalam.

Perbedaan jumlah huruf tersebut pada praktiknya memberikan pengaruh yang sangat signifikan dalam proses pengucapan. Dalam bahasa Jawa, sebagaimana disebutkan sebelumnya, tidak dijumpai misalnya huruf tsa’ (ث), cha’ (ح), dzal (ذ), zay (ز), shad (ص), dladl (ض), ‘ain (ع), dan qaf (ق), sehingga ketika penutur bahasa Jawa mengucapkan huruf-huruf tersebut akan mengalami kesulitan dan tak jarang melakukan kesalahan karena tidak mendapati hal yang sama dalam bahasa tuturnya.

Baca juga: Dialektika Alquran dan Budaya dalam Kerangka Pikir Ingrid Mattson

Pola perilaku yang kemudian lazim dijumpai oleh masyarakat penutur ini adalah asosiasi bunyi atau suara. Huruf yang tidak dijumpai dalam bahasa tuturnya akan diucapkan mengikuti tautan bunyi atau suara yang terekam dalam ingatan mereka. Dalam hal ini, isi tautan ingatan tersebut adalah bahasa Jawa sebagai bahasa tutur asli.

Contoh dari perilaku ini, sebagaimana juga telah disebutkan Pak Fathoni, adalah bacaan huruf ‘ain (ع) yang diucapkan dengan suara ngain. Pengucapan ini pernah penulis jumpai sendiri di wilayah Rawa Pening dan Wonosobo, di mana nga menjadi huruf yang cukup sering digunakan dalam lalu lintas bahasa tutur kedua wilayah tersebut.

Oleh karenanya, dengan mengetahui penyebab dari masalah kesenjangan dialek yang ada, proses pembelajaran qiraah Alquran atau secara spesifik pada aspek sifat dan tempat keluar huruf dapat dilakukan dengan menggunakan pendekatan dan perspektif linguistik dengan cara menginventarisasi sifat dan tempat keluar huruf mana yang tidak dijumpai dalam bahasa tutur, untuk kemudian melakukan riyadlah al-lisan (olahraga lidah) sehingga sesuai dengan pengucapan yang benar. Wallahu a‘lam bi al-shawab. []

Nor Lutfi Fais
Nor Lutfi Fais
Santri TBS yang juga alumnus Pondok MUS Sarang dan UIN Walisongo Semarang. Tertarik pada kajian rasm dan manuskrip kuno.
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Sikap al-Qurṭubī Terhadap Riwayat Isrāīliyyāt

0
Tema tentang Isrāīliyyāt ini sangat penting untuk dibahas, karena banyaknya riwayat-riwayat Isrāīliyyāt dalam beberapa kitab tafsir. Hal ini perlu dikaji secara kritis karena riwayat ...