Beranda blog Halaman 18

Meluruskan Doktrin ‘Teror’ Millah Ibrahim (Bagian 1)

0
Meluruskan Doktrin ‘teror’ Millah Ibrahim
Meluruskan Doktrin ‘teror’ Millah Ibrahim

Millah Ibrahim sebagai sebuah kosakata Alquran berisi ajaran luhur Nabi Ibrahim AS tentu sangat akrab di telinga kita. Tetapi dalam tulisan ini saya ingin berbicara tentang Millah Ibrahim dalam konteks khusus, yaitu suatu terminologi doktrin baru yang berkembang di kalangan kelompok teror.

Millah Ibrahim dalam konteks khusus ini berawal dari sebuah buku yang ditulis Abu Muhammad al-Maqdisiy pada tahun 1431 H atau 2010 M dan kemudian menjadi salah satu buku utama dalam doktrinasi kelompok teror, terutama yang terafiliasi dengan organisasi Islamic State of Iraq and Syria (ISIS).

Baca Juga: Memahami Sasaran dan Sarana Jihad dalam Prespektif Alquran

Abu Muhammad al-Maqdisiy bernama lengkap ‘Ashim bin Muhammad bin Tahir al-Barqawi, berasal dari Yordania dan dikenal sebagai salah satu tokoh gerakan Salafi-Wahabi di Timur Tengah. Al-Maqdisiy terkenal karena pendapatnya yang mengkafirkan negeri kelahiran yang juga sponsor utama penyebaran Salafi-Wahabi, yaitu Arab Saudi. Karena ideologi dan doktrin yang dia sebarkan memotivasi perorangan dan kelompok untuk melakukan kejahatan teror. Dia beberapa kali dipenjara oleh pemerintah Yordania, penjara yang kemudian mempertemukannya dengan salah satu murid utamanya, yaitu Abu Mus’ab al-Zarqawi yang kelak membidani kelahiran ISIS.

Al-Maqdisiy lahir 3 Juli 1959 di Nablus, kehidupannya tidak pernah stabil dan terus berpindah-pindah. Awalnya dia pindah ke Kuwait dan kemudian pindah lagi ke Mosul Irak, tetapi keinginan yang sebetulnya adalah ke Arab Saudi, dan akhirnya tercapai berkat bantuan salah satu tokoh Salafi-Wahabi, Abdul Aziz bin Baz.

Di Arab Saudi lah al-Maqdisiy belajar dan memperdalam ideologi Salafi-Wahabi. Dia membaca buku-buku Ibn Taymiyah, Ibn al-Qayim dan terutama adalah buku-buku pendiri Salafi-Wahabi sendiri, yakni Muhammad bin Abdul Wahab, serta tokoh-tokoh Saudi lainnya.

Materi-materi Salafi-Wahabi yang dipelajarinya di Arab Saudi dalam waktu yang cukup lama sangat membekas dan mempengaruhi pemikiran-pemikirannya, dan salah satu pengaruh itu sangat terlihat saat dia menulis buku Millah Ibrahim ini. Dari situ lah kemudian muncul konsensus kesimpulan bahwa ISIS lahir tidak lain kecuali dari rahim ideologi Salafi-Wahabi.

Baca Juga: Menelaah Kembali Konsep Darul Islam dan Darul Harb

Telaah Kritis

Buku Millah Ibrahim karya al-Maqdisiy ini dibaca secara luas oleh publik Indonesia setelah diterjemahkan secara berseri oleh Abu Sulaiman Aman Abdurrahman, pimpinan Jamaah Ansor Daulah (JAD), organisasi yang menjadi afiliasi ISIS di negara Indonesia.

Aman sendiri alumni Lembaga Ilmu Pengetahuan Islam dan Arab (LIPIA) Jakarta, kampus Salafi-Wahabi pertama di Indonesia yang berdiri tahun 1980 sebagai cabang dari Universitas Imam Muhammad bin Saud Arab Saudi. Sebelum menjadi Amir JAD dan dipidana hukuman mati, Aman bahkan sempat menjadi pengajar di kampus LIPIA tersebut, sampai akhirnya secara terang-terangan mengkafirkan pemerintah Indonesia sebagai pengamalan atau realisasi dari buku Millah Ibrahim ini.

Sebelum dikumpulkan dan diterbitkan dalam sebuah buku, hasil terjemahan Aman awalnya diunggah di website pribadinya yaitu: www.millahibrahim.wordpress.com. Website tersebut kini sudah tidak bisa diakses namun masih banyak website alternatif yang memuat dan menjadi back-up bagi materi-materi yang ditulis atau diterjemahkan oleh Aman ini.

Buku bacaan wajib anggota JAD ini telah beredar luas di Indonesia melalui berbagai website dan kanal media sosial, dan telah meracuni banyak korban terutama dari kalangan pemuda yang mempunyai akses internet. Akibat buku ini banyak pemuda di Indonesia terinspirasi dan terdorong untuk melakukan aksi teror, setidaknya menganggap bahwa yang di luar keyakinannya adalah kafir dan halal darahnya.

Secara ringkas, ide buku ini adalah mengajak pembacanya untuk menganut dan mengikuti apa yang dipropagandakan sebagai konsep ‘Millah Ibrahim’ yang secara tekstual bisa diartikan agama atau ajaran Nabi Ibrahim.

Millah Ibrahim di dalam buku ini digambarkan dan dikonsepsikan sebagai ucapan dan tindakan dakwah Nabi Ibrahim yang prinsip utamanya menurut penulis buku ini adalah membebaskan diri, memusuhi dan memerangi berbagai tindakan kekafiran, yang diistilahkan dalam buku ini sebagai prinsip ‘bara’ah’ dan yang kemudian menurunkan konsep ajaran Islam yang baru berupa al-Wala wa al-Bara’.

Mereka mengklaim berdasarkan tafsir pribadi dan kapitalisasi beberapa ayat Alquran, bahwa mengikuti ucapan dan tindak-tanduk Nabi Ibrahim merupakan suatu kewajiban, dan saat ini tidak ada umat Islam yang mengikuti hal ini kecuali kelompok mereka sendiri, yang ada di bawah bimbingan dan lingkaran Abu Muhammad al-Maqdisiy, penulis kitab ini.

Millah Ibrahim dalam buku ini didefinisikan sebagai:

“Memurnikan ibadah kepada Allah saja dengan segala makna yang dikandung oleh kata Ibadah. Dan berlepas diri dari syirik dan para pelakunya.” (Halaman 28-29)

Baca Juga: Tafsir Surat al-Baqarah Ayat 256: Arti Kata Tagut dalam Al-Quran

Penulis buku ini memperkuat definisi yang dibuatnya dengan mengutip pernyataan pendiri Salafi-Wahabi sebagai induk ideologi terorisme dunia yang mengatasnamakan Islam, yakni Ibn Abdil Wahab. Yang menyatakan bahwa inti ajaran Islam ada dua, yaitu pertama, mengesakan Allah dan loyal di dalamnya (al-Wala’), dan kedua, mengecam dan mengkafirkan serta menampakkan permusuhan terhadap yang di luarnya (al-Bara’).

Dalam bahasa lain mereka mengistilahkan dengan tauhid i’tiqady (ideologi) dan ‘amaliy (aksi). Mereka mengkritik orang yang hanya beriman di hati namun tidak melakukan aksi terbuka untuk memusuhi dan memerangi pelaku kekafiran, dan menyebutnya sebagai taghut sebagaimana negara Arab Saudi, yang hanya mengajak pada tauhid namun tidak melakukan aksi memerangi kekafiran (idzhar al-dien), sehingga menurut mereka pincang dalam menerapkan al-Wala’ wa al-Bara’.

Dalam buku ini ditegaskan bahwa beriman saja tidak cukup, namun harus menampakkan permusuhan dan mencaci simbol-simbol kemusyrikan seperti terhadap undang-undang dan sistem hukum negara buatan manusia (taghut), sampai pelakunya kembali kepada hukum Allah, meninggalkan hukum manusia, berlepas diri darinya dan kafir terhadapnya.

Selama manusia masih mengikuti hukum tersebut, maka dilarang untuk berinteraksi dan berbaur dengan mereka (halaman 44). Bahkan bukan hanya tidak bergaul, tetapi juga wajib mencaci undang-undang buatan manusia tersebut secara terbuka dan mempropagandakannya agar semua masyarakat mengetahui, termasuk dengan melakukan serangan fisik sekalipun sebagaimana dilakukan oleh Nabi Ibrahim saat menghancurkan patung berhala. Menurut buku ini, fitnah terbesar saat ini adalah fenomena menyembunyikan tauhid (halaman 48-49).

Ditegaskan dalam buku ini, bahwa perjuangan menegakkan tauhid sama sekali tidak boleh dilakukan secara sembunyi-sembunyi, tetapi harus terbuka dan keras, bahkan dalam bahasa mereka dengan memenggal leher. Upaya rahasia hanya boleh dilakukan saat perencanaan dan persiapan. Tetapi di luar itu semua harus terbuka dan salah satunya adalah dengan keharusan berjuang mewujudkan Daulah Islamiyah (negara Islam), yang sesuai keinginan mereka, guna memerangi kekafiran (halaman 66).

Dengan konsep al-Wala’ wa al-Bara’ ini konsekuensinya adalah men-demarkasi manusia terpisah dalam dua garis yang tegas, yaitu barisan orang beriman-bertauhid dan barisan orang kafir, fasik dan ahli maksiat. Dalam istilah mereka yang lain, menjadi jelas antara batas awliya’ al-rahman (kekasih Allah) dan awliya’ syaitan (kekasih setan musuh Allah). Dan dalam istilah yang lain jelas beda antara kaum yang berjenggot-celana cingkrang dan kaum ahli bid’ah yang tidak menerapkannya, di mana keduanya tidak boleh berinteraksi apalagi saling basa-basi (halaman 84).

Riwayat tentang Abu Bakar dalam Tafsir Ayat Isra Mikraj

0
riwayat tentang Abu Bakar dalam Tafsir Ayat Isra Mikraj
riwayat tentang Abu Bakar dalam Tafsir Ayat Isra Mikraj

Selain narasi dan uraian tentang peristiwa Isra Mikraj, hampir di setiap penjelasan tafsir surah al-Isra’ ayat 1, Abu Bakar menjadi nama yang tidak pernah terlewatkan. Masyhur dalam beberapa riwayat, ketika masyarakat Arab Quraisy tidak percaya bahkan ada yang keluar dari Islam saat mendengar dan mengetahui kisah perihal perjalanan Rasululullah, Muhammad saw. yang ‘ajaib’ ini, Abu Bakar adalah sahabat Rasulullah yang langsung percaya tentang berita peristiwa tersebut. Berikut beberapa riwayat tentang Abu Bakar dalam uraian tafsir surah al-Isra’ ayat 1.

سُبْحٰنَ الَّذِيْٓ اَسْرٰى بِعَبْدِهٖ لَيْلًا مِّنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ اِلَى الْمَسْجِدِ الْاَقْصَا الَّذِيْ بٰرَكْنَا حَوْلَهٗ لِنُرِيَهٗ مِنْ اٰيٰتِنَاۗ اِنَّهٗ هُوَ السَّمِيْعُ الْبَصِيْرُ

Maha Suci (Allah) yang telah memperjalankan hamba-Nya (Nabi Muhammad) pada malam hari dari Masjidilharam ke Masjidilaqsa yang telah Kami berkahi sekelilingnya425) agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat.

Baca Juga: Tiga Hikmah Peritiwa Isra Mikraj

Riwayat tentang Abu Bakar dalam Tafsir Ibn Katsir

Ketika musyrikun mendengar cerita Nabi Muhammad saw. tentang Isra Mikraj, mereka mendatangi Abu Bakar dan mengadukan ke Abu Bakar perihal cerita Nabi Muhammad saw. Mereka bertanya kepada Abu Bakar, ‘Abu Bakar, apakah kamu sudah tahu kabar temanmu (Muhammad), dia mengabarakan bahwa dia telah mengadakan perjalanan (yang biasanya ditempuh) sebulan, dia melakukannnya dalam semalam, berangkat tadi malam dan kembali tadi malam juga.’

Abu Bakar kemudian menjawab, ‘jika dia (Nabi Muhammad saw.) memang berkata demikian, maka dia benar, dan saya sungguh akan (tetap) mempercayainya meski itu perjalanan yang lebih jauh sekalipun.

Dijelaskan dalam tafsir tersebut bahwa karena peristiwa ini, Abu Bakar dijuluki dengan as-Siddiq

Baca Juga: Kaitan antara Taurat dan Alquran: Kajian Surah Alisra’ Ayat 2

Riwayat tentang Abu Bakar dalam Tafsir Lubab at-Ta’wil fi Ma’an at-Tanzil

Dalam tafsir tersebut dikisahkan riwayat tentang Abu Bakar yang lebih lengkap. Diceritakan bahwa sekembalinya Rasulullah saw. dari Isra Mikraj, beliau sempat mengungkapkan kekawatiran tentang kaumnya. ‘Wahai Jibril, sesungguhnya kaumku tidak akan percaya dan tidak akan membenarkan (peristiwa Isra Mikraj ini).’ Malaikat Jibril kemudian merespon ‘Abu Bakar akan mempercayaimu, dia adalah as-Siddiq.’

Dalam tafsir karangan al-Khazin tersebut juga mengutip riwayat dari Ibn Abbas dan Aisyah bahwa pagi setelah peristiwa Isra Mikraj, Nabi Muhammad saw terlihat duduk menyendiri dengan wajah sedih, kemudian Abu jahal lewat dan duduk menghampiri nabi, kemudian dia menyapa nabi dengan nada mengejek, ‘Apakah kamu sedang memikirkan sesuatu?’ ‘Iya, saya di-isra’-kan semalam.’ Jawab Nabi Muhammad, dan berlanjutlah dialog di antara keduanya.

Abu Jahal melanjutkan rasa penasarannya dengan menanyakan, ‘Isra’ ke mana?’, ‘ke Baitul Maqdis’ jawab nabi. Abu Jahal memastikan singkatnya perjalan tersebut dengan bertanya, ‘dan kamu pagi ini sudah berada di sini bersama kami?’ ‘Iya’, jawab Nabi Muhammad memastikan.

Abu Jahal tidak terlihat mengingkari cerita Nabi Muhammad saw. tersebut, namun dia bertanya lagi ‘apakah kamu akan memberi tahu orang-orang tentang cerita tadi?’ ‘iya’ Nabi Muhammad menjawab.

Abu Jahal lantas memanggil orang-orang (dengan redaksi bani Ka’b bin Lu’ay). Orang-orang kemudian mendatangi Abu Jahal dan Nabi Muhammad saw. Abu Jahal kemudian meminta Nabi Muhammad saw. untuk menceritakan ulang cerita Isra’ Mi’raj tadi.

Orang-orang keheranan mendengar cerita Nabi Muhammad saw. tersebut, respon yang dilontarkan juga sama dengan pertanyaan Abu Jahal (di awal tadi).

Dalam situasi yang seperti itu, ada seseorang yang mendatangi Abu Bakar dan memberi tahu kabar ‘kegaduhan’ pagi itu. Ketika orang tersebut menyampaikan cerita Nabi Muhammad saw. tersebut, beliau langsung mempercayai dan membenarkannya. Riwayat di bagian ini sama dengan narasi dalam tafsir Ibn Katsir di awal.

Riwayat tentang Abu bakar dalam tafsir at-Tabari

Ibn Jarir at-Tabari juga menguraikan tanggapan Abu Bakar dalam peristiwa Isra Mikraj Nabi Muhammad saw. yaitu, ketika kebanyakan orang pada saat itu mengingkari cerita Isra Mi’raj Nabi Muhammad saw. Abu Bakar tidak seperti mereka. Beliau langsung mempercayai dan membenarkan, bahkan jika Nabi Muhammad saw. isra’ ke tempat yang lebih jauh dari Baitul Maqdis sekalipun.

Baca Juga: Pemahaman Malam Isra Mikraj Secara Semiotik

Teladan dari Keistiqamahan dan Keimanan Abu Bakar

Seabagimana diketahui bahwa Abu Bakar adalah salah satu dari beberapa sahabat yang masuk Islam di awal masanya. Tidak mudah untuk menjadi segelintir dan kelompok minoritas muslim ketika itu. Banyak ujian dan tantangan sebagai pemeluk agama ‘baru’ di masa itu.

Jika dikatakan sebagai peristiwa ajaib di luar nalar akal manusia, maka Isra Mikraj Nabi Muhammad saw. juga bisa dikatakan sebagai tantangan keimanan pemeluk Islam ketika itu, dan Abu Bakar bisa melewati tantang tersebut dengan teguh dan istiqamah dengan keimanannya.

Satu hal lagi, jika dilihat dari riwayat dalam Lubab at-Ta’wil fi Ma’an at-Tanzil, maka bisa disimpulkan bahwa julukan as-Shiddiq untuk Abu Bakar ternyata sudah perbnah disampaikan oleh malaikat Jibril terlebih dahulu sebelum dikenal oleh orang-orang banyak ketika itu.

Semoga momentum peringatan Isra Mikraj ini menjadikan kita semua bisa meneladani keistiqamahan dan keimanan Abu Bakar R.A. Wallah a’lam.

Ayat-Ayat tentang Marah: Panduan dalam Mengelola Emosi

0
Ayat-Ayat tentang Marah: Panduan dalam Mengelola Emosi
Ayat-Ayat tentang Marah: Panduan dalam Mengelola Emosi (Gambar: Unsplash)

Marah adalah salah satu emosi manusia yang paling mendalam dan seringkali paling sulit dikendalikan. Dalam Islam, kemampuan mengelola emosi dianggap sangat penting, terutama yang berkaitan dengan marah. Alquran, sebagai petunjuk hidup umat Islam, tidak hanya mengajarkan cara beribadah, tetapi juga memberikan bimbingan dalam mengelola emosi negatif seperti marah.

Mengelola emosi, terutama marah, bukanlah perkara yang mudah. Kita sering kali mendengar ungkapan “marah itu bisa membakar diri”. Dalam konteks spiritual, marah yang tidak terkendali bisa mengarah pada kerusakan baik secara pribadi maupun sosial. Oleh karena itu, Islam melalui wahyu Alquran dan hadis Nabi Muhammad saw., menuntun umatnya untuk mengelola marah dengan bijaksana dan penuh kesadaran.

Alquran dalam beberapa ayat menyinggung soal marah dan cara mengelolanya. Salah satunya adalah dalam surah Al-Imran ayat 134:

وَٱلۡكَٰظِمِينَ ٱلۡغَيۡظَ وَٱلۡعَافِينَ عَنِ ٱلنَّاسِۗ وَٱللَّهُ يُحِبُّ ٱلۡمُحۡسِنِينَ

…Dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang lain. Dan Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik (Q.S. Al-Imran: 134).

Ayat ini menekankan pentingnya menahan amarah dan memaafkan orang lain. Ini merupakan langkah pertama dalam proses pengelolaan marah, yaitu menahan diri untuk tidak bertindak impulsif.

Baca juga: Surah Ali ‘Imran [3] Ayat 134: Anjuran Menahan Marah dan Bersabar

Ulama tafsir seperti Al-Qurtubi dan Ibn Kathir menjelaskan bahwa menahan amarah bukan berarti mengekang perasaan, melainkan mengarah pada pengendalian diri untuk tidak membalas keburukan dengan keburukan. Menurut Al-Qurtubi, orang yang dapat menahan amarahnya adalah orang yang mendapatkan kemenangan di dunia dan akhirat, karena ia menunjukkan kekuatan batin yang lebih besar daripada orang yang membiarkan dirinya dikuasai amarah.

Dalam hadisnya, Nabi Muhammad saw. bersabda:

ليس الشديد بالصرعة، إنما الشديد الذي يملك نفسه عند الغضب

Bukanlah orang yang kuat itu yang bisa menang dalam adu kekuatan, tetapi orang yang kuat adalah yang dapat mengendalikan dirinya ketika sedang marah (H.R. Bukhari).

Hadis ini mengajarkan bahwa kekuatan sejati bukanlah kekuatan fisik, tetapi kekuatan dalam mengendalikan emosi. Artinya, Islam menilai kedewasaan seseorang bukan dari kemampuannya untuk meluapkan amarah, tetapi dari kemampuannya untuk menahan diri dan bersikap sabar.

Baca juga: Membangun Resiliensi Diri dengan Sabar dan Salat

Mengelola marah secara bijaksana tentu saja memberi dampak positif pada kehidupan pribadi dan sosial. Ketika seseorang dapat mengendalikan emosinya, ia akan mampu menjaga hubungan baik dengan orang lain, menghindari konflik, dan menciptakan lingkungan yang harmonis. Hal ini juga ditegaskan dalam surah Al-A’raf ayat 199:

Jadilah pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang baik, serta berpalinglah dari orang-orang yang bodoh (Q.S. Al-A’raf: 199).

Dalam konteks sosial, marah yang tidak terkendali dapat mengarah pada pertengkaran, permusuhan, dan kerusakan dalam hubungan sosial. Menurut Dr. Robert Sapolsky, seorang profesor biologi saraf dan endokrinologi di Universitas Stanford, marah yang berlebihan dapat merusak kesehatan tubuh, meningkatkan tekanan darah, dan memengaruhi kinerja jantung. Ini menunjukkan bahwa dampak marah yang tak terkendali tidak hanya berbahaya bagi individu, tetapi juga bagi orang-orang di sekitar mereka.

Dari perspektif Islam, emosi marah yang dikelola dengan benar dapat menjadi sarana untuk meningkatkan kualitas diri. Dalam situasi tertentu, marah juga bisa menjadi alat untuk memperjuangkan kebenaran, seperti yang diajarkan oleh Nabi Muhammad saw. Namun, marah yang tidak terkendali bisa menjerumuskan pada sikap yang merusak, baik bagi diri sendiri maupun bagi orang lain.

Baca juga: Sabar dan Tekad Kuat, Kunci Sukses Menjadi Pemimpin

Pengelolaan marah yang baik dalam Islam tidak hanya melibatkan pengendalian diri, tetapi juga memerlukan kearifan dan keikhlasan. Dalam konteks ini, seorang muslim diajarkan untuk memaafkan dan berbuat baik meskipun dia merasa tersinggung atau diperlakukan dengan tidak adil. Ini menunjukkan betapa pentingnya sikap pemaaf dalam Islam. Memaafkan adalah bagian dari proses pengendalian emosi yang lebih besar, yang tidak hanya meredakan ketegangan sosial tetapi juga mendekatkan seseorang kepada Allah Swt.

Sebagaimana dinyatakan dalam surah Al-Furqan ayat 63:

وَعِبَادُ ٱلرَّحۡمَٰنِ ٱلَّذِينَ يَمۡشُونَ عَلَى ٱلۡأَرۡضِ هَوۡنٗا وَإِذَا خَاطَبَهُمُ ٱلۡجَٰهِلُونَ قَالُواْ سَلَٰمٗا

Dan hamba-hamba Tuhan yang Maha Pengasih itu adalah orang-orang yang berjalan di muka bumi dengan rendah hati, dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata yang baik (Q.S. Al-Furqan: 63).

Al-Tabari menegaskan bahwa ayat ini mengajarkan kita untuk tetap rendah hati dan menjaga sikap bijaksana ketika berhadapan dengan orang yang tidak mengerti. Bukan hanya sekadar menahan amarah, tetapi juga berusaha untuk memberi contoh sikap yang baik, sebagai bentuk dakwah nyata.

Marah adalah emosi yang bisa menghancurkan, tetapi dengan pengelolaan yang baik, ia dapat menjadi energi positif untuk perubahan. Alquran memberikan panduan yang jelas bagaimana seharusnya umat Islam mengelola marah, baik dalam hubungan pribadi maupun sosial. Dengan menahan amarah, memaafkan orang lain, dan menjaga sikap bijaksana, seorang muslim dapat menciptakan kehidupan yang lebih damai dan penuh kedamaian. Islam tidak hanya mengajarkan kita untuk menghindari marah, tetapi juga bagaimana menghadapinya dengan cara yang terhormat dan penuh kasih sayang.

Surah al-Alaq Ayat 6-8: Karakter Manusia yang Melampaui Batas

0
Isyarat Tanggung Jawab Sosial dalam Alquran (1): Mengulik Makna Al-‘Alaq
Surah Al-'Alaq

Zaman yang semakin berkembang ternyata tidak selalu diikuti dengan perkembangan karakter manusia ke arah yang lebih baik. Akan selalu ada sekelompok manusia yang berbuat melampaui batas sebagaimana orang-orang Jahiliyah zaman dahulu. Mereka berbuat kecurangan hingga kejahatan yang merugikan orang lain.

Oknum-oknum yang berbuat melampaui batas tersebut hanya mementingkan keuntungan mereka tanpa pernah memikirkan konsekuensi yang didapat baik di dunia maupun di akhirat. Salah satu bukti konkret adalah mereka tidak pernah malu dikatakan koruptor atau sejenisnya. Sebab yang terpenting tujuan utama mereka untuk meraup kekayaan dapat terpenuhi.

Karakter orang-orang yang tidak takut berbuat kejahatan ini ternyata juga digambarkan di dalam Alquran sebagaimana termaktub dalam Q.S. Al-Alaq [96]: 6-8 sebagai berikut.

كَلَّآ اِنَّ الْاِنْسَانَ لَيَطْغٰىٓ ۙ اَنْ رَّاٰهُ اسْتَغْنٰىۗ اِنَّ اِلٰى رَبِّكَ الرُّجْعٰىۗ

Sekali-kali tidak! Sesungguhnya manusia itu benar-benar melampaui batas, ketika melihat dirinya serba berkecukupan. Sesungguhnya hanya kepada Tuhanmulah tempat kembali(-mu).

Tafsir tentang Manusia yang Melampaui Batas

Imam Ibnu Katsir dalam tafsirnya (jilid 8, hlm. 506) menjelaskan bahwa di dalam ayat di atas, Allah memberitahukan tentang karakter manusia. Bahwa ia merupakan makhluk yang bisa senang, jahat, sombong, dan sewenang-wenang jika ia merasa cukup dan memiliki harta yang banyak.

Menurut Imam Al-Qurthubi kata manusia di dalam ayat ini merujuk kepada Abu Jahal yang telah menganggap dirinya telah tercukupi segalanya. Sebab ia merupakan seorang hartawan yang kaya raya. Sehingga dengan keangkuhannya, Abu Jahal pun berbuat melampaui batas (Tafsir Al-Qurthubi, jilid 20, hlm. 557-559).

Baca juga: Istidraj: Jebakan Nikmat bagi Mereka yang Tak Taat

Sementara Prof. Wahbah Az-Zuhaili dalam Tafsir Al-Munir (jilid 15, hlm. 600-601) mempertegas bahwa di dalam ayat tersebut Allah menggambarkan tentang tabiat buruk yang ada pada diri manusia. Bahwa manusia memiliki kegembiraan dan kesenangan serta kesombongan dan pembangkangan ketika merasa berkecukupan dan memiliki harta yang banyak.

Kemudian pada ayat ke-8, Allah mengancam dan mengingatkan manusia bahwa dia akan kembali kepada-Nya.

Relevansi Ayat dengan Karakter Manusia di Zaman Modern

Karakter manusia yang disebutkan dalam ayat di atas adalah Abu Jahal. Jika ditelusuri, nama asli Abu Jahal adalah Amr bin Hisyam. Ia dijuluki Abu Jahal yang berarti “Bapak Kebodohan” karena memiliki perangai buruk dan selalu memusuhi Rasulullah. Ia melakukan serangan-serangan, provokasi, mencela, memboikot, hingga mengumpulkan orang untuk membunuh Rasulullah (Miqdam, Refleksi Diri Menjauhi Perangai Abu Jahal).

Abu Jahal tidak menyukai dakwah yang dibawa oleh Rasulullah, sehingga ia melakukan segala cara untuk menggagalkan dakwah yang dilakukan. Berdalih kebencian tersebut, Abu Jahal kemudian tidak pernah takut untuk berbuat jahat kepada umat Islam khususnya kepada Rasulullah.

Baca juga: Larangan Berlebihan dalam Beragama

Berdasarkan tafsir ayat di atas dapat diketahui bahwa Allah menggambarkan kecenderungan manusia yang suka melampaui batas ketika mereka memiliki kemampuan berupa harta, jabatan, dan keunggulan lainnya. Seperti halnya Abu Jahal yang bertindak sewenang-wenang terhadap Rasulullah karena ia merasa dirinya memiliki segalanya, ditambah sifat sombong yang ada. Ia tidak pernah takut akan siksa atau hukuman yang ia terima dari perbuatan tersebut.

Karakteristik manusia yang digambarkan Allah dalam ayat ini nampaknya makin jelas di zaman sekarang. Ada banyak orang yang berbuat melampaui batas dengan kezaliman yang dilakukan tanpa takut hukuman yang akan didapat. Lebih-lebih hukuman di akhirat, hukuman di dunia yang terpampang nyata sekalipun seakan tidak terlalu dihiraukan.

Baca juga: Agresi Israel di Palestina Merupakan Kejahatan Luar Biasa (Extraordinary Crime)

Ketenaran hingga kekuasaan yang menyilaukan mata sampai menutup hati nurani seseorang untuk menghindari kezaliman. Keuntungan dunia yang dianggap menjanjikan dengan jalan yang instan lebih dipilih dibandingkan dengan ikhtiar-ikhtiar yang dibenarkan untuk keselamatan di akhirat.

Penutup

Dalam beberapa ayat di dalam Alquran Allah menyatakan larangan melampaui batas seperti terdapat dalam Q.S. Al-Maidah ayat 87. Hal ini menunjukkan bahwa karakter melampaui batas ini pada akhirnya akan mendapat balasan setimpal dari Allah SWT.

Sejumlah peringatan di dalam Alquran cukup memberikan kesadaran kepada kita untuk selalu mawas diri dalam berbuat hal-hal yang zalim atau melampaui batas. Sebab azab Allah tidak akan memandang status kita di dunia, melainkan seberapa besar dosa yang telah kita lakukan. Wallahu a’lam.

Meneladani Rasulullah Saw. Melalui Konsep Uswah, Qudwah, dan Ittiba’

0

Meneladani Rasulullah saw. berarti memahami Alquran karena Rasul merupakan penjelmaan dari apa yang dijelaskan dalam Alquran. Sebagai umatnya, salah satu upaya meneladani Rasulullah adalah dengan memahami Alquran. M. Quraish Shihab menjelaskan bahwa ada tiga kata kunci yang dipakai Alquran dalam konteks keteladanan, yaitu kata uswah, qudwah, dan ittiba’.

Dalam Mu’jam Mufahras Li Alfadz al-Qur’an al-Karim disebutkan bahwa derivasi akar kata uswah disebutkan sebanyak tiga kali dengan bentuk yang sama (أسوة), yakni pada Q.S.Al-Ahzab[33]:21, Q.S.Al-Mumtahanah[60]:4, dan Q.S.Al-Mumtahanah[60]:6.

Baca Juga: Tafsir Surat Al Ahzab Ayat 21: Idola Yang Menjadi Teladan, Siapakah?

Kata qudwah disebutkan sebanyak dua kali dengan bentuk yang berbeda yakni pada Q.S.Al-An’am[6]:90 dengan bentuk kata perintah (اقْتَدِه), dan Q.S.Az-Zukhruf[43]:23 dengan bentuk kata sifat yang menunjukkan pelaku suatu pekerjaan (مُقْتَدُوْنَ).

Sedangkan kata ittiba’ yang diambil dari kata ت-ب-ع memiliki derivasi yang lebih beragam, yang disebutkan sebanyak 172 kali. Dalam hal ini, untuk memfokuskan pembahasan, penulis menggunakan Q.S.Al-A’raf[7]:158 yang berbentuk kata perintah (وَاتَّبِعُوْهُ) sebagai analisis konsep keteladanan terhadap Rasulullah Saw.

Pertama, penggunaan kata uswah dalam Q.S.Al-Ahzab[33]:21

لَّقَدۡ كَانَ لَكُمۡ فِي رَسُولِ ٱللَّهِ أُسۡوَةٌ حَسَنَةٞ لِّمَن كَانَ يَرۡجُواْ ٱللَّهَ وَٱلۡيَوۡمَ ٱلۡأٓخِرَ وَذَكَرَ ٱللَّهَ كَثِيرٗا

Menurut Ibnu ‘Asyur (At-Tahrir Wa At-Tanwir, 21/302-303) ayat ini ditujukan kepada orang beriman agar mengikuti Rasulullah yakni dengan meneladani sosok Rasul beserta gerak-geriknya.

Upaya meneladani Rasulullah ini baik dalam ucapannya yakni dengan mematuhi perintah Rasul dan menjauhi apa yang dilarang olehnya, serta dalam perbuatannya seperti kesabaran, keberanian, dan keteguhan hatinya.

Dalam hal ini, mereka yang beriman dan meneladani Rasulullah sebagaimana yang telah dijelaskan di atas adalah orang-orang yang mengharapkan rahmat Allah dan hari akhir serta yang banyak mengingat Allah.

Baca Juga: Tafsir Al Quran dan Keteladanan Nabi 

Ayat ini menunjukkan keutamaan meneladani Rasulullah sebagai uswatun hasanah yang berarti panutan yang baik, secara totalitas pada sosok Rasul. Al-Baidhowi (4/228) juga mengatakan uswatun hasanah dalam hal ini adalah meneladani sosok Rasul yang terkhusus pada kepribadiannya yang memiliki budi pekerti yang baik.

Kedua, kata qudwah dalam Q.S.Al-An’am[6]:90

أُوْلَٰٓئِكَ ٱلَّذِينَ هَدَى ٱللَّهُۖ فَبِهُدَىٰهُمُ ٱقۡتَدِهۡۗ قُل لَّآ أَسۡـَٔلُكُمۡ عَلَيۡهِ أَجۡرًاۖ إِنۡ هُوَ إِلَّا ذِكۡرَىٰ لِلۡعَٰلَمِينَ

Dalam Tafsir Al-Mishbah (4/188-190) dijelaskan bahwa ayat ini merupakan perintah bagi Rasul untuk menghimpun keistimewaan nabi-nabi terdahulu yang disebutkan dalam ayat-ayat sebelumnya, baik dari prinsip akidah, syariat yang masih berlaku, dan akhlak yang terpuji.

Rasul mendapatkan suatu keistimewaan tersendiri sebagai panutan atau teladan yang sempurna bagi umatnya karena beliau mengindahkan perintah dalam ayat ini untuk meneladani nabi-nabi terdahulu. Dalam hal ini yang dimaksud dengan qudwah adalah keteladanan dalam hal kandungan petunjuk yang dibawa Rasul.

Keteladanan terhadap petunjuk yang dibawa Rasul itu bersifat mutlak, berbeda dengan nabi-nabi sebelumnya yang patut diteladani tetapi terdapat beberapa hal yang tidak dianjurkan untuk diteladani.

Ayat ini ditutup dengan penegasan bahwa Rasul tidak meminta upah atas dakwah yang beliau sampaikan termasuk penyampaian wahyu Alquran, karena apa yang beliau dakwahkan adalah semata-mata demi kepentingan umat.

Ketiga, kata ittiba’ dalam Q.S.Al-A’raf[7]:158

قُلْ يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ اِنِّيْ رَسُوْلُ اللّٰهِ اِلَيْكُمْ جَمِيْعًا ࣙالَّذِيْ لَهٗ مُلْكُ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِۚ لَآ اِلٰهَ اِلَّا هُوَ يُحْيٖ وَيُمِيْتُۖ فَاٰمِنُوْا بِاللّٰهِ وَرَسُوْلِهِ النَّبِيِّ الْاُمِّيِّ الَّذِيْ يُؤْمِنُ بِاللّٰهِ وَكَلِمٰتِهٖ وَاتَّبِعُوْهُ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُوْنَ

Dalam Tafsir Al-Mishbah (5/276) dijelaskan bahwa dalam akhir ayat ini terdapat beberapa catatan penting yang perlu diperhatikan. Pertama adalah mengenai keesaan Allah yang ditunjukkan dengan gambaran sifat-Nya sebagai dzat yang memiliki langit dan bumi, juga Yang menghidupkan dan Yang mematikan, serta pengakuan atas diutusnya Nabi Muhammad sebagai Rasul.

Baca Juga: Teladan Akhlak Nabi Muhammad SAW Kepada sang Ibunda: ‘Saya Anak dari Seorang Perempuan’

Kedua, Rasul dalam berdakwah terlebih dahulu telah meyakini dan memahami dengan baik apa yang didakwahkannya, yakni percaya kepada Allah dan kalimat-kalimat Nya. Dan kita sebagai umatnya diperintahkan untuk beriman kepada-Nya.

Ketiga, konsekuensi dari beriman kepada Allah adalah mengikuti Rasulullah. Kata ittiba’ disini bermakna mengikuti dengan sungguh-sungguh apa yang disampaikan Rasul yang mencakup apa yang beliau syariatkan dan sunnahkan, dan bertujuan agar mendapatkan petunjuk dari Allah.

Sebelum mengikuti apa yang disampaikan Rasul, perlu kiranya untuk memahami terlebih dahulu apa yang beliau sampaikan, apakah itu berupa kekhususan yang hanya ditujukan padanya atau ditujukan pada umatnya.

Dalam upaya meneladani Rasulullah, uswah merupakan bentuk keteladanan yang cenderung melihat bagaimana sosok Rasul selama hidupnya, qudwah merupakan bentuk keteladanan dari kandungan petunjuk yang dibawa Rasul dari nabi-nabi sebelumnya, dan ittiba’ merupakan bentuk keteladanan yang mencakup ajaran-ajaran yang dibawa Rasul kepada umatnya.

Dalam Tafsir Al-Mishbah (11/246) juga disinggung terkait keteladanan kepada Rasulullah, apakah yang diteladani itu adalah murni kepribadian Rasul atau berkaitan dengan kondisi sosial budaya masyarakat Arab?

Jika yang diteladani dari sosok Rasul adalah hal-hal yang dinilai dapat mendekatkan diri kepada Allah, seperti membuka alas kaki ketika salat, maka hal tersebut termasuk bagian dari yang diteladani.

Baca Juga: Perintah dan Teladan Kasih Sayang Rasulullah saw Kepada Semua Makhluk

Sedangkan jika dinilai tidak terkait dengan mendekatkan diri kepada Allah, yakni berkaitan dengan kondisi sosial budaya, seperti memakai jubah dan berambut gondrong, maka hal ini berstatus mubah untuk diteladani. Namun, apabila dilakukan dengan niat keteladanan kepada Rasul, maka hal tersebut mendapatkan ganjaran di sisi Allah.

Oleh karena itu, dalam upaya meneladani Rasulullah, perlu untuk memahami Alquran dengan baik, serta memahami apakah ajaran yang beliau bawa itu bersifat perintah ataukah anjuran, atau bahkan perbuatan yang dilatarbelakangi oleh kebudayaan. Wallahu a’lam.

Kisah Ikrimah bin Abi Jahal

0
Kisah Ikrimah bin Abi Jahal
Kisah Ikrimah bin Abi Jahal

Ikrimah bin Abi Jahal merupakan salah satu sahabat Nabi yang memang tidak termasul assabiqun al-awwalun, namun pengabdian dan perjuangannya sebagai pemeluk Islam di kemudian hari tidak lantas terpengaruh oleh status muallafnya.

Kisah Ikrimah bin Abi Jahal dalam memeluk Islam menjadi salah satu cerita yang melatarbelakangi turunya beberapa ayat Alquran. Hal ini secara tidak langsung menunjukkan peran dan posisinya yang tidak biasa dalam sejarah dakwah Islam masa awal.

Ikrimah bin Abi Jahal, meskipun lahir dari keluarga yang kafir dan penuh permusuhan terhadap Islam, dia memilih untuk mengikuti hidayah Allah, bahkan menjadi seorang pejuang yang tulus membela agama Allah.

Islam tidak melihat kepada nasab atau keturunan seseorang, melainkan pada amal dan iman. dia membuktikan bahwa setdiap individu bertanggung jawab atas pilihan dan amalnya sendiri, tanpa dibebani oleh dosa orang lain, meskipun ayahnya adalah musuh besar Nabi Muhammad dan kaum muslimin.

Sejarah mencatat, Abu Jahal dikenal sebagai tokoh yang sangat keras dalam menentang dakwah Islam. Ddia adalah pemimpin Quraisy yang menindas umat Islam dan berusaha menggagalkan setdiap usaha Nabi Muhammad saw. untuk menyebarkan wahyu Allah.

Baca Juga: Tafsir Surah Luqman ayat 29-32

Hidayah Allah dan Perjalanan Memeluk Islam

Ikrimah awalnya adalah seorang yang sangat menentang Islam, mengikuti jejak ayahnya yang memusuhi Nabi Muhammad saw. Namun pada akhirnya, dia menerima dan memeluk agama Islam setelah peristiwa fath Makkah.

Sebagaimana dikisahkan dalam Tafsir al-Baghawi 6/294. Ketika penaklukan Kota Makkah, sebagdian besar penduduknya, termasuk suku Quraisy, menerima kedatangan Nabi Muhammad dan pasukan Muslim dengan damai, karena beldiau memberikan amnesti kepada mereka. Namun, ada sebagian kecil dari mereka, termasuk Ikrimah bin Abu Jahal, yang tetap menentang dan berusaha melakukan perlawanan.

Namun, perlawanan tersebut berhasil dipatahkan oleh pasukan kaum muslimin. Ikrimah, yang kalah melarikan diri menuju Yaman dengan perjalanan laut untuk menghindari hukuman mati yang dijatuhkan oleh Nabi Muhammad terhadapnya.

Diriwayatkan Ibnu Hajar al-Asqalani dalam al-Ishabah (4/538-539), di waktu perjalanannya tersebut, badai tiba-tiba menghantam kapal Ikrimah dan para awak kapal berkata, “Selamatkanlah diri kalian! Selamatkanlah dirimu, karena tuhan-tuhanmu tidak berguna bagimu di sini.”

Dan Ikrimah berkata lirih, “Demi Allah, jika ketulusan tidak dapat menyelamatkanku di laut, itu tidak akan menyelamatkanku di darat. Ya Allah, Engkau memiliki perjanjdian denganku bahwa jika Engkau mengampuniku dari apa yang aku alami, aku akan mendatangi Muhammad dan meletakkan tanganku di tangannya, dan aku tidak akan mendapati apapun kecuali pengampunan yang murah hati.” Angin tersebut kemudian mereda dan Ikrimah kembali ke Makkah menjadi seorang Muslim sesuai janjinya.

Kisah Ikrimah inilah yang kemuddian menurut ulama menjadi sebab turunnya surah Luqman ayat 32. Allah berfirman:

وَاِذَا غَشِيَهُمْ مَّوْجٌ كَالظُّلَلِ دَعَوُا اللّٰهَ مُخْلِصِيْنَ لَهُ الدِّيْنَ ەۚ فَلَمَّا نَجّٰىهُمْ اِلَى الْبَرِّ فَمِنْهُمْ مُّقْتَصِدٌۗ وَمَا يَجْحَدُ بِاٰيٰتِنَآ اِلَّا كُلُّ خَتَّارٍ كَفُوْرٍ

Dan apabila mereka dilamun ombak yang besar seperti gunung, mereka menyeru Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya. Maka tatkala Allah menyelamatkan mereka sampai di daratan, lalu sebagdian mereka tetap menempuh jalan yang lurus. Dan tidak ada yang mengingkari ayat-ayat Kami selain orang-orang yang tidak setdia lagi ingkar.

Baca Juga: Tafsir Surah Al-Hujurat Ayat 11

Tantangan yang Menguji Keimanan

Keberadaan Ikrimah sebagai anak dari seorang pemimpin Quraisy yang kafir tidak serta merta menjadikannya diterima dengan lapang dada oleh masyarakat. Banyak yang merendahkan dan mencemoohnya hanya karena dia menjadi seorang muslim yang ayahnya adalah salah seorang penentang keras Islam.

Seperti yang diungkapkan dalam banyak riwayat, tidak sedikit yang memanggilnya dengan sebutan “putra firaun” atau menghina dengan menyebutkan bahwa dia hanya akan menjadi seorang yang sesat, sama seperti ayahnya, Abu Jahal yang dijuluki sebagai Firaun umat di masa itu.

Julukan tersebut berawal ketika Rasulullah saw. melihat kematdian Abu Jahal di tengah-tengah perang badar. Diriwayatkan oleh Imam at-Thabrani, beliau saw. pernah bersabda, “Hadza Fir’aun hadzihi al-ummah, orang ini adalah Firaun umat ini.” (Majma’uz Zawaid 6/103)

Mendapat caci-makdian sebagai anak Firaun secara terus-menerus tampaknya membuat Ikrimah tidak tahan dan bergegas mengadukannya kepada Nabi saw. Dari hal ini, menurut sebagdian ulama, akhirnya datang jawaban Rasulullah atas aduan Ikrimah dengan turunnya surah al-Hujurat ayat 11 yang melarang orang-orang beriman dari mengolok-olok sesama saudaranya. (Tafsir al-Munir 13/477)

Kisah dari Ikrimah memberikan pelajaran penting tentang bagaimana seseorang tidak boleh terperangkap dalam peniladian orang lain berdasarkan latar belakang atau nasab. dia juga menunjukkan bahwa hidayah Allah adalah rahmat yang bisa diberikan kepada sdiapa saja, tanpa memandang latar belakangnya. Ikrimah adalah bukti bahwa setdiap individu bertanggung jawab atas pilihannya sendiri, tanpa dibebani orang lain, sekalipun ayahnya yang menentang keras Islam. Wallah a’lam.

Ibrah dari Munasabah Surah al-Fil dan Surah Quraish

0

Eksistensi sebuah bangsa dapat dilihat dari sejarah perkembangan juga peradaban yang ditinggalkan. Perjalanan bangsa tentunya diwarnai dengan dinamika seiring dengan pergantian generasi. Kitab suci menjelaskan mengenai dua surah yang menerangkan tentang kehidupan kelompok masyarakat tertentu, yakni surah al-Fil dan surah Quraish. Meski tidak dijelaskan secara gamblang, namun ibrah itu muncul ketika munasabah di antara keduanya dielaborasi, sehingga dapat dijadikan pelajaran bagi generasi mendatang. 

Baca Juga: Kisah Pasukan Bergajah dan Burung Ababil dalam Surah Al-Fîl

Surah al-Fil merupakan surah ke 105 dari Alquran yang terdiri dari 5 ayat. Urutan selanjutnya adalah surah Quraisy yang terdiri dari 4 ayat. Burhan al-Din Ibrahim ibn Umar al-Biqa’i dalam Nazm al-Durar Fi Tanasub al-Ayat Wa al-Suwar menjelaskan hubungan kedua surah, bahwa ketika Allah Swt. menunjukkan kuasa-Nya terhadap masyarakat Mekah mengenai pasukan gajah pimpinan Abrahah yang berkonspirasi untuk menghancurkan Kakbah, maka rencana tersebut digagalkan dengan adanya gerombolan burung yang membawa batu.

Ketika batu tersebut dilempar dari atas kepada target yang dituju, maka dapat menyebabkan tubuh dari pasukan tersebut hancur lebur. Abrahah yang juga turut dalam kejadian tersebut terkena pula batu yang dilempar, sehingga tubuhnya hancur dan tewas seketika (Nazm al-Durar, 22/259-260).

Burhan al-Din al-Biqa’i melanjutkan bahwa dengan adanya peristiwa tersebut, hendaknya penduduk Mekah yang dalam hal ini adalah kaum Quraisy menunjukkan rasa syukur kepada Allah sebagai ibadah atau pengabdian kepada-Nya. Kata Quraisy merupakan julukan dari an-Nadr ibn Kinanah (Moyang Rasulullah Saw) atas keberaniannya dalam mempersatukan kaumnya dari perpecahan.

Baca Juga: Keistimewaan Orang Quraisy di Surah Quraisy

Salah satu cabang dari bangsa Arab ini dikenal sebagai kelompok masyarakat yang memiliki keistimewaan dalam pandangan masyarakat Arab ketika itu. Kelompok ini merupakan penduduk tetap kota Mekah dan memiliki tanggung jawab sosial untuk menjaga Bayt Allah yakni Kakbah. Walaupun ketika itu paganisme tumbuh subur di Mekah, kelompok ini tetap menjaga kota Mekah juga melayani peziarah yang datang untuk berhaji setiap tahun.

Surah Quraisy menjelaskan tentang keistimewaan yang diberikan Allah kepada kelompok tersebut seperti kemudahan dalam melakukan perjalanan dagang ke Yaman pada musim panas dan ke Syam pada musim dingin. Selain itu, jaminan keamanan tidak hanya keluar negeri, namun dalam negeri pun terjamin sehingga kelompok ini terbebas dari bencana kelaparan juga ketakutan akan teror (Nazm al-Durar, 22/260-262).

Fakhr al-Din Muhammad ibn Umar al-Razi pun menyoroti hubungan antara kedua surah yakni untuk menunjukkan eksistensi Quraisy sebagai salah satu kelompok dari bangsa Arab yang diberi keistimewaan dengan predikat Sukkan al-Haram atau warga Tanah Suci. Setidaknya dari kejadian Ashab al-Fil, hendaknya kaum Quraisy ingat akan nikmat yang Allah berikan kepadanya terlebih nikmat tersebut tidak terhingga.

Meski Mekah bukan tempat yang subur tanaman, namun Allah Taala memberikan kemulian sebagai negeri yang aman dan damai sebagaimana doa nabi Ibrahim yakni Rabbi Ij’al Hadha al-Balad Aminan. Negeri ini terdapat sumur air zam-zam yang menjadi urat nadi kehidupan masyarakat Mekah. Eksistensi Kakbah sebagai pusat peribadatan menjadikan Mekah ketika itu sebagai kota kosmopolitan yang selau diziarahi oleh manusia dari berbagai bangsa.

Baca Juga: Ibrah Surah Alfil: Iri dan Dengki Penyebab Kehancuran

Kelompok Quraisy dengan seluruh klan yang berada dibawahnya bersatu padu untuk menjaga dan memuliakan Mekah sebagai tanah suci. Karena itu seyogyanya mereka menunjukkan rasa syukur dengan mengabdi kepadanya sebagai mana yang terdapat dalam ayat Falya’budu Rabb Hadha al-Bayt yang berarti Maka beribadahlah kalian semua kepada pemilik rumah Ini (Allah). Maksudnya terdapat seruan untuk Tauhid dan menjadi praktek penyembahan kepada berhala. Walaupun proses tersebut membutuhkan waktu yang panjang, namun hal ini dapat terwujud dengan diutusnya Nabi Muhammad saw. yang berasal dari Quraish untuk meluruskan kembali pemahaman masyarakat tentang agama (Mafatih al-Ghaib, 32/107-110).

Dengan adanya kedua surah ini, marilah belajar mengenai hikmah dari korelasi kedua surah tersebut. Sebagai warga dari negara Indonesia yang telah eksis selama 79 tahun, hendaknya kita belajar dari sejarah masa silam yang telah bergerak dengan seluruh dinamika yang ada. Bangsa yang dikarunai hasil bumi yang melimpah juga lautan yang luas seyogyanya menjadikan warga yang tinggal di negeri ini mensyukuri nikmat yang diberikan Allah Taala. Langkah yang harus dilakukan adalah menjaga alam juga keamanan dalam negeri. Tidak lupa pula ketahanan pangan harus tetap diperhatikan untuk menjaga kelangsungan hidup anak bangsa. Semoga kita dapat hidup damai dan sejahtera. 

Sapi Bani Israil Simbol Pengorbanan dan Ketundukan

0
Sapi Bani Israil Simbol Pengorbanan dan Ketundukan
Ilustrasi sapi.

Ketika kita menyebut surah Al-Baqarah, mungkin yang terlintas di benak banyak orang adalah surah yang panjang, berisi banyak hukum, dan mencakup berbagai peristiwa penting dalam sejarah umat Islam. Namun, satu hal yang sering terlewatkan adalah tafsir mengenai sapi Bani Israil yang menjadi simbol utama surah ini. “Al-Baqarah” sendiri diterjemahkan sebagai “sapi betina”. Namun, makna mendalam yang tersirat dalam kata ini seringkali tidak banyak dibahas secara mendalam.

Dalam surah Al-Baqarah ayat 67-73, Allah mengisahkan sebuah perintah kepada Bani Israil untuk menyembelih seekor sapi. Kisah ini penuh dengan kejadian yang menggambarkan ketidaktaatan dan kebingungan yang timbul di kalangan mereka. Namun, lebih dari sekadar perintah, kisah sapi Bani Israil ini sebenarnya mengandung pelajaran yang lebih dalam, baik secara sosial, spiritual, maupun intelektual.

Perintah yang Aneh

Dalam sejarahnya, ketika perintah untuk menyembelih sapi datang kepada Bani Israil, mereka justru membantah dan mempertanyakan perintah Allah. Mereka tidak memahami apa yang diminta, bahkan mereka meminta penjelasan lebih lanjut mengenai ciri-ciri sapi yang harus disembelih. Hal ini bukan hanya sebuah ujian bagi mereka, tetapi juga merupakan gambaran tentang keraguan manusia terhadap perintah agama yang tampak tidak masuk akal.

Menurut Ibnu Katsir, dalam Tafsir al-Qur’an al-Azim (jilid 1, hal. 485), perintah ini diberikan oleh Allah untuk menguji ketundukan mereka terhadap perintah-Nya. Ibnu Katsir menjelaskan bahwa Allah tidak menginginkan darah sapi Bani Israil tersebut. Tujuan utama dari perintah itu adalah untuk menguji kesungguhan iman dan ketundukan mereka. Sebagaimana kata Ibnu Katsir, “Perintah itu tidak dimaksudkan untuk memperoleh manfaat dari sapi, tetapi lebih untuk menguji keteguhan iman mereka.”

Sapi: Simbol Pengorbanan dan Ketundukan

Sapi dalam konteks ini bukanlah sekadar hewan yang disembelih tanpa makna. Dalam pandangan Islam, pengorbanan adalah bentuk ketaatan yang paling tinggi. Sapi menjadi simbol dari pengorbanan itu sendiri, di mana umat diminta untuk melepaskan sesuatu yang berharga demi memenuhi perintah Tuhan. Seperti halnya kisah Nabi Ibrahim yang rela menyembelih putranya, surah ini mengingatkan kita bahwa pengorbanan sejati adalah ketika kita siap melepaskan hal yang kita cintai demi ketaatan kepada Allah.

Imam al-Qurtubi dalam Al-Jami’ li-Ahkam al-Qur’an (jilid 1, hal. 350) menulis bahwa kisah sapi dalam surah ini adalah pengingat bahwa ketundukan kepada Allah sering kali menuntut kita untuk melakukan hal-hal yang mungkin kita tidak sepenuhnya pahami. Al-Qurtubi menjelaskan bahwa pengorbanan dalam Islam bukan hanya terkait dengan materi, tetapi lebih pada pengorbanan hati dan niat untuk selalu taat kepada perintah Allah, bahkan jika itu tampak sulit.

Sapi sebagai Simbol Duniawi dan Materialisme

Di zaman modern, sapi sering kali diidentikkan dengan hewan ternak yang nilai utamanya adalah daging dan produk lainnya. Namun, dalam Alquran, sapi hadir sebagai simbol yang lebih dalam dari sekadar materi. Ini adalah peringatan bagi umat agar tidak terjebak dalam keserakahan duniawi dan melupakan tujuan utama hidup yang seharusnya adalah beribadah kepada Allah.

Baca juga: Rahasia Sapi di Balik Penamaan Surah Al-Baqarah

Bruce Lincoln, seorang ilmuwan Barat yang menulis buku Theorizing Ritual, menjelaskan bahwa pengorbanan dalam banyak budaya, termasuk dalam Islam, bertujuan untuk menguji keteguhan hati dalam menjalani hidup yang penuh dengan godaan material. Sapi dalam surah Al-Baqarah adalah simbol untuk mengingatkan umat Islam agar tidak terperangkap dalam obsesi duniawi, dan lebih memprioritaskan ketundukan kepada Allah.

Fenomena materialisme yang melanda banyak kalangan masyarakat modern saat ini menunjukkan betapa kuatnya godaan duniawi. Banyak orang yang lebih mengutamakan keuntungan materi daripada nilai-nilai spiritual yang diajarkan dalam agama. Hal ini sangat relevan dengan tafsir surah Al-Baqarah yang mengingatkan kita bahwa segala hal yang ada di dunia ini hanyalah titipan dan harus dimanfaatkan sesuai dengan perintah Allah.

Ketundukan dalam Kehidupan Sehari-hari

Kisah tentang sapi dalam Al-Baqarah juga memiliki relevansi besar dalam kehidupan kita sehari-hari. Ketika kita dihadapkan pada ujian hidup, sering kali kita merasa bingung dan bertanya-tanya mengapa Allah memberikan ujian yang tampaknya sulit dimengerti. Namun, seperti halnya Bani Israil yang bingung dengan perintah untuk menyembelih sapi, kita juga sering kali mempertanyakan takdir dan perintah Allah yang tampak tidak sesuai dengan keinginan kita.

Baca juga: Bani Israil dan Kisah Pemuda Pemilik Sapi

Imam al-Jalalayn dalam Tafsir al-Jalalayn mengungkapkan bahwa perintah Allah melalui kisah sapi adalah cara untuk menguji sejauh mana kita dapat menerima takdir-Nya. Hal ini juga menyiratkan pesan bahwa dalam setiap ujian kehidupan, kita harus memiliki sikap ketundukan dan tawakal kepada Allah. Al-Jalalayn mengatakan, “Allah tidak memberikan ujian yang tidak dapat ditanggung oleh hamba-Nya, dan setiap perintah-Nya memiliki hikmah yang tersembunyi yang mungkin belum kita pahami.”

Surah Al-Baqarah mengajarkan kita banyak hal, dan salah satunya adalah pentingnya ketundukan kepada Allah melalui simbol sapi. Pengorbanan, ketundukan, dan ujian iman adalah tema-tema utama yang ingin disampaikan oleh surah ini. Sapi dalam Alquran bukan sekadar hewan ternak, tetapi menjadi simbol pengorbanan dan pengujian spiritual yang menggugah umat untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah, melepaskan segala keterikatan duniawi, dan memprioritaskan ketaatan kepada-Nya.

Kisah Tubba’ As’ad dan Kaumnya (Bagian ke-2)

0
Kisah Tubba’ Askad dan Kaumnya (Bagian ke-2)
Kisah Tubba’ Askad dan Kaumnya (Bagian ke-2)

Berikut adalah kelanjutan dari artikel sebelumnya yang membahas tentang Tubba’ As’ad dan kaumnya. Kisah ini yang disebutkan dalam Alquran dengan ‘kaum Tubba’.

Menyeru kaumnya agar mengikuti agamanya

Setelah kejadian di Makkah itu, Tubba’ As’ad memeluk agama Yahudi melalui kedua Rabbi yang membersamainya. (Yahudi Madinah, 161) Mereka pun melanjutkan perjalanan menuju Yaman dengan tujuan untuk mengajak kaum Tubba’ agar mengikuti agama yang dianutnya sekarang. Sesampainya di Yaman, ternyata kaumnya menolak ajakan Tubba’. Mereka justru memintanya agar bertahkim kepada Api Agung yang sangat dimuliakan di Yaman.

Menurut penuturan dari Abu Malik bin Tsa’labah dari Ibrahim bin Muhammad, bahwa ketika rombongan Tubba’ memasuki Yaman, mereka dicegah oleh suku Himyar, dengan alasan Tubba’ tidak boleh lagi bersama suku Himyar sebab telah memisahkan diri dari agama sebelumnya.

Baca Juga: Kisah Tubba’ dan Kaumnya (Bagian 1)

Tubba’ pun tak putus asa, ia terus mencoba membujuk agar mereka mengikuti keyakinannya. Akhirnya, suku Himyar memberikan tantangan untuk menyelesaikan perselisihan ini di depan Api Agung. Tantangan tersebut cukup berisiko, sebab siapa yang berbuat aniaya, pasti akan terbakar oleh api.

Suku Himyar mulai mempersiapkan segala sesuatunya dengan membawa berhala dan sesembahan lainnya. Begitu pula dengan kedua Rabi tersebut, mereka mengalungkan kitab sucinya di leher.

Ketika semua yang terlibat telah duduk di tempat persembahan, api itu secara tiba-tiba menyembur keluar mengarah kepada orang-orang Himyar. Namun, mereka mencoba untuk tetap bertahan dan menghalau sambaran api itu dengan berhala-berhalanya. Nyatanya api itu tidak memihak kepada mereka. Api terus berkobar dan mengepungnya, bahkan melalap berhala-berhala dan sesembahan yang mereka bawa.

Kemudian giliran kedua Rabi yang keluar menghadap api tersebut sambil membaca kitab Taurat. Tentu, api itu panas dan membuat dahi keduanya basah keringat, namun tidak sampai melukainya. Melihat peristiwa aneh tersebut, orang-orang Himyar spontan beralih memeluk agama yang diyakini Tubba’. (Sirah Nabawiyah Ibnu Hisyam, 15-16)

Tubba’ adalah orang yang saleh

Dalam riwayat yang disebutkan oleh Imam ath-Thabari menyebutkan bahwa Sayyidah ‘Aisyah pernah berkata, “Allah mencela kaumnya, tapi tidak mencelanya.”

Dalam Tafsir Ibnu Katsir juga disebutkan bahwa Sahl Ibnu Sa’ad as-Sa’idi mengatakan Rasul saw. pernah bersabda, ” Janganlah kalian mencaci Tubba’, karena sesungguhnya dia adalah orang yang berserah diri (aslam)”.

Bahkan Tubba’ As’ad telah bersaksi akan kerasulan nabi akhir zaman yang bernama Ahmad. Ia sempat membuatkan sya’ir sebagaimana yang dihafal oleh Abu Ayyub Khalid Ibnu Zaid:

شَهِدْتُ عَلَى أَحْمَدَ أنَّه • رَسُولٌ مِنَ اللهِ بَاري النَّسَمْ

فَلَو مُدَّ عُمْري إِلَى عُمْرِهِ • لَكُنْت وَزيرا لَهُ وَابْنَ عَمْ

وَجَاهَدْتُ بالسَّيفِ أعْدَاءَهُ • وَفرَّجتُ عَنْ صَدْرِه كُلَّ غَمْ

Aku bersaksi bahwa Ahmad seorang utusan dari Allah Pencipta manusia.

Seandainya usiaku dipanjangkan sampai ke zamannya, tentulah aku menjadi pembantunya dan sebagai saudara sepupunya.

Tentu pula aku akan berjihad dengan pedang melawan semua musuhnya, dan aku akan melenyapkan semua hal yang menyusahkan hatinya. (Tafsir Ibnu Katsir)

Baca Juga: Kisah Heroik Nabi Daud a.s Mengalahkan Raja Jalut

Kaum Tubba’ mengingkari keimanannya

Setelah peristiwa tahkim di depan api itu, kaum Tubba’ adalah kaum yang beriman atas ajaran dalam kitab suci Taurat. Bahkan mereka mengetahui akan adanya nabi akhir zaman sebagaimana yang telah disebutkan dalam Taurat dan Injil.

Menurut Ibnu Katsir, agama Yahudi yang dianut pada waktu itu masih murni sebagaimana yang diajarkan oleh Nabi Musa a.s, sehingga mereka masih mengagungkan Ka’bah dan melakukan tawaf.

Namun sepeninggal raja-raja yang beriman, kaum Tubba’ mulai melakukan pengingkaran terhadap keimanannya. Mereka kembali pada kejahiliyahannya, yakni menyembah berhala dan api. Maka, dari itu Allah membinasakan mereka, sebagaimana dalam surah ad-Dukhan ayat 37. (Situs-Situs dalam Alquran, 238-239)

Wallahu a’lam.

Teladan Kisah Nabi Isa: Membangun Personal Branding dalam Dakwah

0

Terkadang, membangun personal branding menjadi penting untuk mengenalkan diri ke ruang publik. Seperti dalam konteks dakwah, menciptakan citra diri yang positif dan autentik berdasarkan ajaran Islam dapat bertujuan untuk manfaat yang lebih luas. Bagi seorang dai, branding dapat membawa sesuatu yang biasa terlihat berkesan, dan berharga, sehingga dakwah yang disampaikan dapat didengar dan diterima oleh khalayak ramai. 

Sebagaimana dalam Alquran, menampilkan kisah Nabi Isa sebagai sosok yang penuh hikmah dan menjadi teladan dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk kaitannya dalam membangun personal branding untuk dakwah. Beliau mempromosikan citra dirinya dengan tujuan menyampaikan pesan dakwah secara efektif kepada masyarakat, dengan cara menonjolkan nilai-nilai luhur, keteladanan, dan kepribadian yang baik.

Baca Juga: Surah Adz-Dzariyat Ayat 20-21, Melejitkan Nilai Tambah dan Potensi Kita

وَإِذْ قَالَ عِيسَى ابْنُ مَرْيَمَ يَا بَنِي إِسْرَائِيلَ إِنِّي رَسُولُ اللَّهِ إِلَيْكُمْ مُصَدِّقًا لِمَا بَيْنَ يَدَيَّ مِنَ التَّوْرَاةِ وَمُبَشِّرًا بِرَسُولٍ يَأْتِي مِنْ بَعْدِي اسْمُهُ أَحْمَدُ فَلَمَّا جَاءَهُمْ بِالْبَيِّنَاتِ قَالُوا هَذَا سِحْرٌ مُبِينٌ

Dan (ingatlah) ketika Isa putra Maryam berkata: ‘Wahai Bani Israil, sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepada kamu, membenarkan kitab yang datang sebelumnya, yaitu Taurat, dan memberi berita gembira dengan (datangnya) seorang rasul setelahku yang bernama Ahmad. (Q.S. As-Saff [61]: 6)

Penjelasan Tafsir

M. Quraish Shihab dalam Tafsir al-Misbah (14/197-198) menukil keterangan Ibnu ‘Asyur, menjelaskan bahwa ketika Nabi Isa diutus untuk menyampaikan dakwah kepada Bani Israil, beliau ketika itu belum memperoleh kepercayaan mereka. Sehingga beliau ingin menarik simpati Bani Israil dengan menyampaikan pernyataan-pernyataan branding diri sebagaimana dalam ayat di atas.

Seperti pernyataan Nabi Isa yang datang untuk membenarkan Taurat, agar menarik perhatian dan simpati Bani Israil yang demikian kuat berpegang kepada kitab suci mereka. Dengan demikian, Nabi Isa tidak ingin dianggap sebagai pembawa ajaran yang bertentangan dengan tradisi mereka, melainkan sebagai kelanjutan dan penyempurnaannya. Ini adalah bentuk branding diri yang penting sebagai usaha agar diterima oleh masyarakat yang telah lama berpegang pada kitab dan hukum sebelumnya.

Itu pula sebabnya pada awal penyampaian risalahnya, Nabi Isa menyebut beberapa keistimewaan dan kelebihan mukjizat sebagaimana dalam surah Ali Imran ayat 49. Mukjizat-mukjizat tersebut, seperti dapat menyembuhkan orang sakit, menghidupkan orang mati, serta kemampuan berbicara sejak kecil merupakan cara untuk membangun kredibilitas dan kepercayaan terhadap dirinya sebagai utusan Allah sehingga dakwahnya dapat diterima oleh orang-orang yang mungkin skeptis atau meragukan kebenarannya. (Tafsir al-Munir, 2/273)

Baca Juga: Insecure dengan Potensi Diri? Perhatikan Tafsir Surah Al-Isra Ayat 84!

Serta pernyataan bahwa beliau datang untuk menghalalkan sebagian yang diharamkan oleh pendahulunya sebagaimana termaktub dalam surah Ali Imran ayat 50. Hal tersebut untuk menjaga hubungan yang harmonis dengan masyarakat Bani Israil sekaligus menawarkan solusi atas permasalahan-permasalahan hukum dan sosial yang mereka hadapi.

Sebagaiamana Nabi Isa yang menyampaikan keistimewaan dan sifat-sifat mulianya untuk tugasnya sebagai rasul. Umat Islam dapat melakukan hal yang sama, branding diri dengan kompetensi, ilmu, dan kapasitas lainnya untuk tujuan kebaikan. Bukan untuk keuntungan pribadi atau kesombongan, tetapi lebih kepada memperkenalkan dan menunjukkan kemampuan serta values yang dimiliki dengan cara yang jujur, bermanfaat, dan bertanggung jawab.

Branding Diri untuk Hal Kebaikan dan Niat yang Benar

Imam al-Qurthubi dan Imam al-Mawardi menyampaikan bahwa seseorang boleh mem-branding dirinya dengan kapasitas yang dimiliki seperti ilmu, kemampuan, dan keistimewaan lainnya secara jujur dan bertanggung jawab. Akan tetapi, hal ini tidak bisa berlaku mutlak, melainkan terdapat batasan, aturan, dan prinsip-prinsip moral yang perlu dijaga. Misalnya, individu yang memiliki keahlian dalam bidang tertentu boleh menyebutkan kemampuannya, selama itu tidak berlebihan atau bertujuan untuk merendahkan orang lain.

Karena itu, branding diri ini harus dilakukan dengan kejujuran, tanpa berlebihan atau mengklaim hal-hal yang tidak benar. Personal branding bukan untuk sekadar pencitraan atau bahkan menipu, dan selalu bertanggung jawab terhadap apa yang disampaikan. Ajaran Islam sangat menekankan prinsip kejujuran. Sebaliknya, kesombongan atau merasa lebih tinggi dari orang lain sangat bertentangan dengan nilai-nilai Islam.

Sebagaimana dalam kitab Syajarah al-Ma’arif (h. 475) diterangkan bahwa Rasulullah juga melakukan branding diri, dalam hadis riwayat Abu Hurairah, beliau pernah bersabda, “Aku adalah pemimpin anak cucu Adam pada hari Kiamat; yang pertama kali bangkit dari kubur, yang pertama kali memberi syafaat, dan yang pertama kali syafaatnya diterima.” Dalam riwayat lain, “Aku adalah pemimpin anak Adam pada hari kiamat. Aku katakan ini bukan untuk menyombongkan diri.” (HR. Muslim)

Baca Juga: Amalan Untuk Mengatasi Krisis Kepercayaan Diri dalam Al-Quran

Dengan demikian, melalui ayat-ayat yang menggambarkan Nabi Isa, umat dapat memahami bahwa menggunakan kapasitas diri untuk membangun citra positif bukanlah hal yang salah, selama dilakukan dengan niat yang benar. Yakni untuk memberi manfaat kepada umat manusia, terutama dalam konteks dakwah membawa diri dan masyarakat lebih dekat kepada kebaikan dan keberkahan. Wallahu a’lam.[]