Beranda blog Halaman 19

Membumikan Alquran di Tengah Gelombang Digitalisasi

0
Membumikan Alquran di Tengah Gelombang Digitalisasi
Alquran

Di tengah derasnya arus digitalisasi, pertanyaan mendasar yang menggelitik para pemikir muslim adalah bagaimana Alquran, kitab suci yang diturunkan 14 abad lalu bisa tetap menjadi panduan yang relevan. Tantangan ini menjadi “pekerjaan rumah” bagi para mufasir muda yang hidup di era ketika artificial intelligence, media sosial, dan teknologi digital telah mengubah cara manusia berinteraksi dan memahami realitas. Alquran dengan tegas menyatakan posisi Islam sebagai agama yang mendapat perkenan Allah:

اِنَّ الدِّيْنَ عِنْدَ اللّٰهِ الْاِسْلَامُ ۗ وَمَا اخْتَلَفَ الَّذِيْنَ اُوْتُوا الْكِتٰبَ اِلَّا مِنْۢ بَعْدِ مَا جَاۤءَهُمُ الْعِلْمُ بَغْيًاۢ بَيْنَهُمْ ۗوَمَنْ يَّكْفُرْ بِاٰيٰتِ اللّٰهِ فَاِنَّ اللّٰهَ سَرِيْعُ الْحِسَابِ ( اٰل عمران/3: 19)

Sesungguhnya agama (yang diridai) di sisi Allah ialah Islam. Orang-orang yang telah diberi kitab tidak berselisih, kecuali setelah datang pengetahuan kepada mereka karena kedengkian di antara mereka. Siapa yang kufur terhadap ayat-ayat Allah, sesungguhnya Allah sangat cepat perhitungan(-Nya) (Q.S. Ali ‘Imran/3: 19).

Fakhruddin Ar-Razi dalam Mafatih al-Ghaib (vol. 7/hlm. 172) menggarisbawahi bahwa perbedaan di kalangan ahli kitab yang disebutkan dalam ayat ini bukanlah akibat ketidaktahuan. Akan tetapi, lebih kepada kedengkian dan kesombongan, meskipun ilmu telah diberikan kepada mereka. Ia mengidentifikasi tiga kelompok perbedaan di antara ahli kitab:

  1. Kaum Yahudi: Mereka berselisih setelah wafatnya Nabi Musa a.s., ketika 70 pemimpin agama yang diberi amanah atas Taurat gagal menjaga keutuhannya. Generasi selanjutnya saling berselisih karena hasad dan perebutan kepentingan duniawi.
  2. Kaum Nasrani: Mereka berbeda pendapat tentang status Nabi Isa a.s., sebagian menganggapnya sebagai nabi, anak Tuhan, atau Tuhan itu sendiri.
  3. Gabungan Yahudi dan Nasrani: Mereka berselisih dalam menolak kenabian Nabi Muhammad saw. karena alasan rasial, menganggap kaum Quraisy yang “ummiyyin” (tidak memiliki kitab sebelumnya) tidak layak menerima wahyu.

Ar-Razi menunjukkan bahwa meskipun ilmu telah datang kepada mereka, perbedaan masih bisa muncul karena hasad dan keinginan untuk saling mendominasi (بَغْيًا بَيْنَهُمْ). Ini menjadi pelajaran penting bagi umat Islam di era modern, bahwa ilmu agama seharusnya menjadi alat untuk menyatukan, bukan memecah belah.

Baca juga: Grand Syekh Al-Azhar Kunjungi Indonesia, Quraish Shihab Tegaskan Komitmen Wasathiyyah

Namun, bagaimana Islam memandu umatnya untuk tetap relevan di tengah perkembangan zaman? Tantangan ini tidak hanya melibatkan pemahaman yang statis terhadap teks-teks suci, tetapi juga menuntut kemampuan untuk menerjemahkannya ke dalam konteks modern. Ayat berikut memberikan isyarat tentang peran strategis umat Islam sebagai pembawa kebaikan dan pembela keadilan.

كُنْتُمْ خَيْرَ اُمَّةٍ اُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُوْنَ بِالْمَعْرُوْفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُوْنَ بِاللّٰهِ ۗ وَلَوْ اٰمَنَ اَهْلُ الْكِتٰبِ لَكَانَ خَيْرًا لَّهُمْ ۗ مِنْهُمُ الْمُؤْمِنُوْنَ وَاَكْثَرُهُمُ الْفٰسِقُوْنَ ( اٰل عمران/3: 110)

Kamu (umat Islam) adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia (selama) kamu menyuruh (berbuat) yang makruf, mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah. Seandainya Ahlulkitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka. Di antara mereka ada yang beriman dan kebanyakan mereka adalah orang-orang fasik (Q.S. Ali ‘Imran/3: 110).

Konsep Ummah

Quraish Shihab, dalam tafsirnya (vol. 2/hlm. 232) memberikan pemahaman mendalam tentang konsep “ummah” yang menjadi kunci penting dalam memahami peran umat Islam di era modern. Menurutnya, ummah bukan sekadar kumpulan individu yang statis, melainkan representasi dari kesatuan yang bergerak dinamis, dengan arah dan tujuan yang jelas di bawah satu kepemimpinan. Pemahaman ini menjadi sangat relevan di era digital, ketika komunitas tidak lagi dibatasi oleh sekat-sekat geografis.

Yusuf Qardhawi memperkuat perspektif ini dengan menegaskan bahwa Alquran adalah kitab yang abadi, yang hukum-hukum dan tuntunannya tidak terbatas oleh waktu atau generasi tertentu. Alquran, menurutnya, dijaga oleh Allah Swt. karena fungsinya sebagai pedoman hingga akhir zaman, bukan hanya untuk satu kelompok atau periode tertentu (Yusuf Qardhawi, 1999, hlm. 93). Pandangan ini memberikan landasan teologis yang kuat untuk upaya membumikan Alquran di era digital.

Baca juga: Solusi Alquran dalam Pencegahan Stunting

Dalam konteks kekinian, tantangan untuk menghadirkan Alquran sebagai hudan li al-nas (petunjuk bagi manusia) menjadi semakin kompleks. Prof. Syahrin Harahap mengidentifikasi nilai-nilai universal Alquran yang perlu digali untuk menjaga relevansinya dalam kehidupan modern. Menurutnya, nilai-nilai seperti ketundukan kepada Tuhan, persamaan derajat manusia, toleransi, pembebasan, dan keadilan menjadi sangat penting untuk direvitalisasi dalam konteks kontemporer (Syahrin Harahap, 2017, hlm. 15). Di era digital, nilai-nilai ini mendapatkan momentum baru untuk diaktualisasikan dalam berbagai dimensi kehidupan.

Lebih jauh, Prof. Harahap mengajukan empat argumentasi penting tentang urgensi memahami Alquran dalam konteks modern. Pertama, modernisasi dalam Islam harus tetap berlandaskan ajaran Alquran yang memberikan panduan tentang dinamika kehidupan. Kedua, para pembaru muslim perlu terus menghindari stagnasi dengan merujuk pada Alquran sebagai sumber utama. Ketiga, kebutuhan akan penafsiran mendalam mendorong pemikiran yang lebih progresif. Keempat, modernisasi dalam Islam pada dasarnya adalah upaya kembali kepada inti ajaran Alquran dan hadis (Syahrin Harahap, 2017, hlm. 15).

Peran Mufasir

Pernyataan Muhammad Abduh yang dikutip oleh Jansen menjadi sangat relevan dalam konteks ini. Ia mengingatkan bahwa pada hari akhir nanti, Allah tidak akan menanyakan pendapat para mufasir tentang Alquran, melainkan bagaimana kita memahami dan mengamalkan kitab-Nya yang diturunkan sebagai petunjuk (J. J. G. Jansen, 1997, hlm. 28). Peringatan ini menjadi semakin bermakna di era digital, ketika tantangan untuk membumikan Alquran atau menghadirkannya dalam kehidupan sehari-hari semakin kompleks.

Para mufasir muda kini dihadapkan pada tugas untuk melakukan tiga hal penting: memahami teks, membaca konteks, dan menghadirkan makna. Memahami teks berarti menguasai ilmu-ilmu tradisional yang diperlukan dalam penafsiran. Membaca konteks artinya memiliki kepekaan terhadap isu-isu kontemporer, dari artificial intelligence hingga krisis iklim. Menghadirkan makna berarti mampu menerjemahkan nilai-nilai universal Alquran ke dalam bahasa dan realitas kekinian.

Baca juga: Tafaqquh Fi Digital dan Pedoman Bermedia Sosial dalam Alquran

Di sinilah letak tantangan sekaligus peluang bagi para mufasir muda. Mereka perlu mengembangkan metodologi tafsir yang tidak hanya setia pada tradisi, tetapi juga responsif terhadap kebutuhan zaman. Seperti ditegaskan Qardhawi, Alquran diturunkan sebagai pedoman hingga akhir (Yusuf Qardhawi, 1999, hlm. 93). Ini mengisyaratkan bahwa setiap generasi memiliki tanggung jawab untuk membumikan Alquran dengan menemukan relevansinya dalam konteks zamannya.

Penutup

Sebagai penutup, tantangan untuk membumikan Alquran di era digital bukanlah tugas yang ringan. Namun, justru di sinilah peran strategis para mufasir muda. Mereka tidak hanya dituntut untuk memahami teks dan konteks, tetapi juga harus mampu menghadirkan Alquran sebagai solusi atas problematika kontemporer.

Jika kita hanya berpegang pada penafsiran klasik tanpa menggali lebih dalam atau menyesuaikan dengan konteks zaman, Alquran bisa terlihat jauh dari kehidupan manusia modern. Dengan kata lain, jika kita tidak mampu menghadirkan Alquran secara relevan, jangan heran jika generasi mendatang mencari petunjuk di tempat lain. Wallahu a’lam.

Refleksi Tafsir Kisah Ashabul Kahfi

0
refleksi tafsir kisah ashabul kahfi
refleksi tafsir kisah ashabul kahfi

Kisah Ashabul Kahfi, sekelompok pemuda yang tidur selama berabad-abad dalam sebuah gua telah lama menjadi sumber renungan bagi umat Islam. Di dalam Alquran, cerita ini tercantum dalam surah al-Kahfi, ayat 9 hingga 26.

Lebih dari sekadar kisah ajaib tentang ketahanan iman, kisah Ashabul Kahfi mengandung pesan-pesan yang relevan dengan tantangan dan realitas kehidupan modern, terutama di era media sosial.

Baca Juga: Meneladani Kisah Ashabul Kahfi dalam Al Quran

Konteks Cerita Ashabul Kahfi dalam Alquran

Kisah ini bercerita tentang sekelompok pemuda yang lari dari kekuasaan zalim di zaman mereka karena keyakinan mereka kepada Allah. Mereka memilih untuk meninggalkan masyarakat yang rusak dan bersembunyi di sebuah gua, dan di sana mereka tidur selama lebih dari 300 tahun, hingga akhirnya bangun dalam keadaan yang sama sekali berbeda.

قُلِ ٱللَّهُ أَعۡلَمُ بِمَا لَبِثُواْۖ لَهُۥ غَيۡبُ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلۡأَرۡضِۖ أَبۡصِرۡ بِهِۦ وَأَسۡمِعۡۚ مَا لَهُم مِّن دُونِهِۦ مِن وَلِيّٖ وَلَا يُشۡرِكُ فِي حُكۡمِهِۦٓ أَحَدٗا  ٢٦

“Tanyakanlah kepada mereka: ‘Berapa lama mereka tinggal?’ Allah lebih mengetahui berapa lama mereka tinggal. Bagi-Nya adalah pengetahuan tentang perkara langit dan bumi. Betapa jelas-Nya pandangan-Nya dan betapa tajam pendengaran-Nya. Mereka tidak ada yang menyertai-Nya dalam menentukan urusan-Nya.” (QS. Al-Kahfi: 26)

Tafsir dari ayat ini menjelaskan bahwa walaupun mereka berada dalam gua, terlupakan oleh dunia luar, Allah mengetahui sepenuhnya kondisi mereka, memberikan petunjuk bahwa segala sesuatu, bahkan yang tampak terlupakan oleh manusia, selalu berada dalam pengawasan Allah.

Keteguhan Iman dalam Dunia yang Makin Materialistis

Di zaman ketika materialisme dan hedonisme menguasai hampir seluruh aspek kehidupan, media sosial yang mempromosikan gaya hidup konsumtif hingga tekanan untuk mencapai kesuksesan dengan cara yang instan, banyak pihak yang merasa terjebak dalam pola hidup yang tidak sehat.

Namun, keteguhan iman yang ditunjukkan oleh Ashabul Kahfi bisa menjadi contoh yang menginspirasi. Mereka lebih memilih untuk tidur dan bersembunyi dari pengaruh buruk masyarakat ketimbang mengikuti kehidupan yang jauh dari nilai-nilai Islam. Sebagaimana dijelaskan oleh Al-Razi dalam tafsirnya “Al-Tafsir al-Kabir”, mereka menghindari lingkungan yang penuh dengan fitnah meski harus berpisah dari dunia luar.

“إنهم اختاروا الابتعاد عن المجتمع الفاسد الذي يحيط بهم لأنهم عرفوا أن حياتهم في هذا المجتمع لا تجلب لهم إلا الهلاك”

Mereka memilih untuk menjauh dari masyarakat yang rusak di sekitar mereka karena mereka mengetahui bahwa hidup dalam masyarakat tersebut hanya akan membawa mereka pada kehancuran.”

Tafsir ini mengingatkan kita bahwa dalam kondisi dunia yang sering kali dipenuhi dengan hal-hal yang bertentangan dengan agama, mengambil jarak untuk menjaga diri dan iman bukanlah tindakan yang lemah, tetapi pilihan yang penuh keberanian. Ini adalah pelajaran penting, yakni tetap teguh memegang prinsip meski dunia di sekitar kita berubah dengan cepat.

Baca Juga: Ashabul Kahfi: Representasi Perjuangan Pemuda dalam Al-Quran

Mencari Perlindungan dari Zalimnya Kekuasaan: Sebuah Tindakan Reflektif

Manusia modern hidup dalam dunia yang terhubung secara global, namun sering kali terjebak dalam situasi di mana mereka merasa tidak punya kontrol atas apa yang terjadi. Fenomena seperti penyalahgunaan kekuasaan, ketidakadilan sosial, dan ketegangan politik memberi dampak besar pada pemuda.

Al-Qusyairi dalam al-Risalah-nya, beliau menggambarkan bahwa Ashabul Kahfi sebenarnya bukan hanya melarikan diri dari kekufuran, tetapi juga dari ketidakadilan yang dilakukan oleh penguasa yang menindas. Mereka memilih untuk mencari tempat yang aman, yang menunjukkan bahwa dalam menghadapi kekuasaan yang zalim, lebih baik mencari perlindungan dengan cara yang benar, yaitu dengan mendekatkan diri kepada Allah.

“إنهم لم يهربوا من الحياة، ولكنهم هربوا من ظلم السلطة والمجتمع الفاسد”

“Mereka tidak melarikan diri dari kehidupan, tetapi mereka melarikan diri dari kedzaliman kekuasaan dan masyarakat yang rusak.”

Pesan ini sangat relevan di tengah kondisi politik dan sosial yang sering kali tidak berpihak pada pemuda. Sebagaimana Ashabul Kahfi, kita diajarkan untuk memilih kebenaran meskipun harus menghadapi tantangan besar.

Menghadapi Waktu dan Perubahan yang Cepat

Ashabul Kahfi tidur selama beratus-ratus tahun, namun ketika mereka terbangun, mereka menemukan dunia yang telah sangat berubah. Ini memberi kita pelajaran bahwa meskipun dunia berubah dengan cepat, ada hal-hal yang tetap tidak berubah—yakni keyakinan kepada Allah dan kebenaran-Nya.

Fazlur Rahman, seorang ilmuwan Muslim modern, dalam bukunya, Islam berbicara tentang bagaimana pentingnya bersikap realistis dalam menghadapi perubahan zaman. Menurutnya, kita harus mampu memanfaatkan perubahan zaman dengan bijak, sambil tetap mempertahankan prinsip-prinsip moral dan keimanan yang kokoh.

Baca Juga: Meneladani Semangat Pemuda Ashabul Kahfi dalam Al-Quran

Refleksi Sosial

Di zaman sekarang, sering kali terjebak dalam kehidupan yang penuh dengan kebingungan identitas, ekspektasi, dan tekanan sosial. Dalam pandangan ulama modern, kisah Ashabul Kahfi mengajarkan kita untuk memilih jalur hidup yang lebih bermakna dan lebih sesuai dengan prinsip-prinsip agama, meskipun itu berarti menempuh jalan yang berbeda dari kebanyakan orang. Mereka adalah simbol dari pemuda yang berani menentang arus dan tetap setia pada iman mereka.

Sebagaimana yang dikatakan oleh Muhammad Iqbal dalam “The Reconstruction of Religious Thought in Islam”, generasi muda seharusnya tidak hanya mengandalkan masa depan mereka pada dunia material, tetapi juga harus mencari kedamaian batin dan kebijaksanaan dalam iman mereka.

Kisah Ashabul Kahfi adalah bahan renungan mendalam bagi manusia moderndalam menghadapi tantangan zaman. Keteguhan iman mereka, mengajarkan kita semua untuk tetap teguh dalam prinsip, berani menentang ketidakadilan, dan menemukan kekuatan dalam kesabaran dan doa.

Meskipun dunia terus berubah, seperti halnya dunia yang ditemukan oleh Ashabul Kahfi setelah mereka terbangun, nilai-nilai iman yang kokoh adalah sesuatu yang tidak akan pernah lekang oleh waktu. Wallah a’lam

Q.S Albaqarah Ayat 205: Sifat Munafik dan Perusak Lingkungan

0

Dewasa ini, kerusakan lingkungan semakin marak ditunjukkan. Kebanyakan dari kerusakan lingkungan tersebut disebabkan oleh ulah tangan manusia yang tidak bertanggung jawab. Kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh manusia nyatanya lebih besar dan banyak terjadi dibandingkan dengan kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh faktor alam.

Beberapa kerusakan lingkungan yang terjadi seperti penebangan dan pembakaran hutan, sampah plastik yang mencemari lingkungan, hingga limbah pabrik yang mencemari perairan. Bahkan pada hal-hal yang sederhana seperti limbah rumah tangga yang juga turut merusak lingkungan sekitar.

Baca Juga: Tafsir Surah Al-Munafiqun Ayat 1-4: Sifat dan Perilaku Orang Munafik

Kecenderungan sifat manusia yang merusak lingkungan ternyata sejak dulu telah dilakukan. Sebagaimana telah disebutkan beberapa ayat dalam Alquran yang menyatakan bahwa manusia telah berbuat kerusakan di laut dan di darat (QS. Ar-Rum ayat 41). Namun di tengah kecenderungan merusak tersebut, terdapat salah satu sifat orang munafik yang juga merusak lingkungan, sebagaimana disebutkan dalam QS. Albaqarah [2]: 205 sebagai berikut.

وَاِذَا تَوَلّٰى سَعٰى فِى الْاَرْضِ لِيُفْسِدَ فِيْهَا وَيُهْلِكَ الْحَرْثَ وَالنَّسْلَ ۗ وَ اللّٰهُ لَا يُحِبُّ الْفَسَادَ

Apabila berpaling (dari engkau atau berkuasa), dia berusaha untuk berbuat kerusakan di bumi serta merusak tanam-tanaman dan ternak. Allah tidak menyukai kerusakan.

Tafsir QS. Albaqarah [2]: 205 tentang Perusak Lingkungan

Imam Ibnu Katsir dalam Tafsir Ibnu Katsir menjelaskan bahwa ayat ini turun berkenaan dengan al-Akhnas bin Syariq ats-Tsaqafi yang datang kepada Rasulullah dengan menampakkan keislaman, padahal hatinya bertolak belakang dengan hal tersebut.

Imam Al-Qurthubi dalam Tafsir Al-Qurthubi kemudian memperjelas bahwa di dalam ayat tersebut seseorang yang memiliki sifat munafik bernama al-Akhnas telah membakar tanaman-tanaman dan membunuh keledai milik orang-orang mukmin. Perbuatannya tersebut merupakan upaya perusakan lingkungan.

Sementara Wahbah Az-Zuhaili dalam Tafsir Al-Munir menjelaskan bahwa secara umum ayat ini membicarakan tentang orang munafik yang secara spesifik disebutkan adalah al-Akhnas. Manusia seperti al-Akhnas tersebut memperlihatkan apa yang berlawanan dengan yang disembunyikannya. Ia seakan bersikap baik dengan orang-orang muslim, tetapi sebaliknya tidak.

Manusia seperti itu cepat terbuka keadaannya. Begitu merasa dirinya luput dari perhatian manusia, maka ia akan menunjukkan tindakannya yang bertentangan dengan apa yang ia katakan. Ia melakukan kerusakan di bumi, merusak tanaman, dan membantai binatang semata-mata untuk memuaskan hawa nafsunya.

Baca Juga: Haruskah Selalu Bersikap Kasar dan Keras Terhadap Orang Kafir dan Munafik? Tafsir Surah At-Taubah Ayat 73

Motif Melakukan Perusakan oleh Orang Munafik

Ayat di atas menunjukkan bahwa orang-orang munafik biasanya mengadakan perusakan dari dalam. Mereka tidak bertakwa dan tidak takut kepada Allah. Mereka dapat terlihat aman bagi orang yang tidak teliti, namun dengan sekejap mereka dapat berbalik untuk menusuk dari belakang serta berbuat kerusakan yang merugikan.

Ayat ini membuktikan bahwa orang-orang yang memiliki sifat munafik cenderung berbuat perusakan di belakang yang tidak disadari. Jika dikaitkan dengan kerusakan lingkungan, orang-orang munafik ini akan mempropagandakan visi besar yang terlihat menjanjikan, tetapi justru memberi dampak negatif yang besar terhadap lingkungan.

Sifat orang-orang munafik inilah yang sangat berbahaya dan dapat membuat kerusakan lingkungan yang signifikan. Sebab motif mereka yang sangat tersembunyi dalam melancarkan aksi-aksi yang tidak terpuji. Mereka berbuat kerusakan untuk memenuhi kepentingannya sendiri tanpa diketahui dengan jelas. Program-program yang diluncurkan seakan menghipnotis orang-orang yang mendambakan perbaikan lingkungan, padahal dapat berubah menjadi awal kerusakan lingkungan.

Penutup

Kerusakan lingkungan yang sudah tidak terbendungkan harus segera dihentikan. Motif tersembunyi orang-orang munafik di zaman modern ini perlu diamati dengan cermat. Sejumlah program yang diklaim menjanjikan keuntungan harus dikaji ulang untuk memastikan tidak ada dampak yang signifikan terhadap kerusakan lingkungan.

Sifat orang munafik yang berbahaya sebagaimana disebutkan dalam QS. Al-Baqarah [2]: 205 di atas mewanti-wanti pemerintah maupun masyarakat untuk aktif dan bijak dalam memfilter upaya-upaya perusakan lingkungan. Upaya ini berperan penting untuk mewujudkan kelestarian dan keberlanjutan lingkungan. Wallahu A’lam.

Karakteristik ‘al-Abrar’ dalam Alquran

0
karakteristik al-abrar dalam Alquran
karakteristik al-abrar dalam Alquran

Dalam Alquran, Allah memberi gelar spesial kepada orang-orang berbakti (yang taat dan banyak berbuat kebajikan) dengan sebutan ‘al-abrar’. Mereka mendapat kedudukan mulia di sisi Allah dan akan dibalas dengan berbagai kenikmatan di surga kelak, sebagaimana salah satunya diterangkan dalam surah al-Insan.

M. Quraish Shihab mengutip dua pendapat. Pertama yaitu al-Biqa’i yang melukiskan ‘al-abrar’ sebagai orang-orang yang memiliki kepribadian dan semangat yang tinggi dalam ketaatan dan mengambil setiap kesempatan untuk berbuat baik sehinga nampak dalam jiwa mereka sumber-sumber hikmah.

Sementara menurut Thabathaba’i bahwa orang yang memiliki sifat ini adalah yang melakukan kebaikan tanpa mengharapkan balasan. Dia selalu berusaha beramal meskipun hatinya berat, dengan menekan dan bersabar agar amalnya sempurna. Dengan dasar keimananya serta tidak menginginkan selain apa yang dikehendaki Allah, mendahulukan kehendak-Nya dengan ketabahan. (Tafsir al-Misbah 14/656-657)

Setelah di ayat sebelumnya menjelaskan ganjaran bagi ‘al-abrar’, di ayat berikutnya, yaitu ayat 7-10 surah al-Insan menyebutkan tentang karakteristik ‘al-abrar’ dan rahasia mereka memperoleh ganjaran yang agung tersebut.

Baca Juga: Cara Jamuan Disuguhkan untuk Ahli Surga dalam Surah Al-Insan Ayat 5

Motif yang Kuat di Permulaan

يُوفُونَ بِالنَّذْرِ وَيَخافُونَ يَوْماً كانَ شَرُّهُ مُسْتَطِيراً (٧)

Mereka menunaikan nazar dan takut akan suatu hari yang azabnya meluas kemana-mana. (Q.S. al-Insan: 7)

Ayat ini menggambarkan orang-orang yang digelari ‘al-abrar’ mempunyai permulaan (al-bidayah) yang baik sebab mereka memiliki tekad atau intention yang kuat. Motivasi mereka beramal adalah sebab rasa takutnya akan hari yang penuh kesulitan. Hal ini juga mendorong mereka untuk lebih waspada dalam perbuatan mereka. Orang-orang yang ‘al-abrar’ sadar bahwa perbuatan buruk dapat mengundang murka Allah, dan oleh karena itu mereka berusaha menghindarinya dan senantiasa terus memperbaiki diri.

Sebagaimana dalam Tafsir al-Misbah (14/658), tekadnya tersebut guna mengikat dirinya melakukan satu amalan yang baik, kemudian diwujudkan dalam pelaksanaan ajaran agama secara baik dan benar, sesuai tuntunan syariat. Rasa khauf mendorong mereka untuk berbuat kebaikan dengan penuh kesadaran akan akhirat yang lebih kekal.

Tindakan Nyata: Itsar

وَيُطْعِمُونَ الطَّعامَ عَلى حُبِّهِ مِسْكِيناً وَيَتِيماً وَأَسِيراً (٨)

Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim, dan orang yang ditawan. (Q.S. al-Insan: 8)

‘Al-abrar’ juga ditandai dengan tindakan nyata, yakni sebagaimana disebut dalam ayat ke-8 tersebut. Mereka memberi kepada orang yang membutuhkan tanpa mengharapkan balasan apapun. Mereka memberi makanan atau bantuan dengan tulus kepada orang miskin, anak yatim, dan orang yang terbelenggu dalam kesulitan, meskipun mereka sendiri memerlukannya.

Ibnu Ajibah dalam penjelasannya di Tafsir Bahr al-Madid (7/196) menyatakan bahwa mereka memberi makan karena cinta, yakni karena kecintaan dan rasa butuhnya pada makanan, sebagaimana firman-Nya, “Kalian tidak akan sampai kepada kebajikan sebelum kalian menafkahkan (sebagian) harta yang kalian cintai.” (Q.S. Ali Imran: 92). Sebagaimana disebutkan di awal motivasi mereka adalah Allah, sehingga merelakan makanan (harta) yang dicintai semata untuk menunaikan perintah-Nya.

Baca Juga: Tafsir Surah Al-Insan Ayat 17: Jahe dalam Tinjauan Al-Quran

Bentuk Pengabdiaanya Ikhlas Karena Allah

Karakteristik ‘al-abrar’ berikutnya berdasar pada ayat ke-9, yaitu ikhlas karena Allah.

إِنَّما نُطْعِمُكُمْ لِوَجْهِ اللَّهِ لاَ نُرِيدُ مِنْكُمْ جَزاءً وَلا شُكُوراً (٩)

Sesungguhnya kami memberi makanan kepadamu hanyalah karena mengharapkan keridaan Allah, kami tidak mengharap balasan dan terima kasih dari kamu. (Q.S. al-Insan: 9)

Orang-orang yang disebut sebagai ‘al-abrar’ yaitu mereka yang memberi dengan senang hati dan tanpa paksaan. Mereka tidak berharap untuk dipuji atau mendapatkan balasan duniawi dari apa yang mereka lakukan. Mereka memberikan dengan ikhlas karena Allah semata.

Sebagaimana diterangkan dalam Tafsir al-Baidhawi (5/270), ungkapan, “Sesungguhnya kami memberi kalian makan karena Allah,” mengisyaratkan bahwa tindakannya dilakukan semata-mata karena Allah, bukan untuk mendapatkan pujian atau terima kasih dari orang yang diberi. Dengan kata lain, ‘al-abrar’ tidak mengharapkan imbalan berupa pujian, terima kasih, atau penghargaan dari orang lain, karena hal-hal tersebut dapat mengurangi nilai pahala yang seharusnya diterima.

Diriwayatkan dari Sayyidah Aisyah, bahwa beliau biasa mengirimkan sedekah kepada tetangganya, lalu bertanya kepada Rasul tentang apa yang mereka ucapkan (terima kasih atau doa sebagai balasan atas pemberiannya). Jika Rasul menyebutkan doa, Sayyidah Aisyah juga akan mendoakan mereka dengan doa yang sama, agar pahala sedekah tersebut murni di sisi Allah.

Baca Juga: Tafsir Surah Al Muthaffifin Ayat 14-24

Mempunyai Tujuan Untuk Kehidupan Akhirat

Karakteristik selanjutnya yaitu tersirat di ayat ke-10,

إِنَّا نَخافُ مِنْ رَبِّنا يَوْماً عَبُوساً قَمْطَرِيراً (١٠)

Sungguh, kami takut akan (azab) Tuhan pada hari (ketika) orang-orang berwajah masam penuh kesulitan. (Q.S. al-Insan: 10)

Dalam ayat ini, Allah menggambarkan bahwa ‘al-abrar’ memiliki tujuan (an-nihayah) yang jelas untuk kehidupan after-life mereka. Mereka takut dan berusaha untuk menghindari azab Allah serta berharap meraih kehidupan yang lebih baik di akhirat. Inilah yang menjadi fokus utama bagi ‘al-abrar’, yaitu mengupayakan segala amal perbuatan yang mendekatkan diri kepada Allah dengan harapan mendapatkan kebahagiaan yang sejati di akhirat.

Secara keseluruhan, karakteristik ‘al-abrar’ dalam ayat-ayat di atas menggambarkan individu yang menjalani kehidupan ini dengan penuh kesadaran terhadap tujuan akhir (akhirat), berbuat baik dengan motivasi yang benar (khauf dan raja’ akan ridha Allah), serta melakukan segala amal dengan ikhlas dan tanpa pamrih. Wallah a’lam.

Q.S An-Nisa’ Ayat 83: Fenomena Post-truth di Zaman Nabi Saw

0

Post-truth atau yang biasa diartikan “pasca kebenaran” adalah suatu fenomena di mana suatu informasi yang beredar tidak lagi berlandaskan asas-asas validitas dan kemurnian fakta yang terjadi sebenarnya. Oxford Dictionary mengartikan istilah post-truth dengan kondisi di mana fakta tidak terlalu berpengaruh terhadap pembentukan opini masyarakat dibandingkan emosi dan keyakinan personal. 

Pengertian di atas menunjukkan bahwa post-truth bisa terwujud ketika emosi dan keyakinan pribadi lebih unggul dalam membentuk sebuah opini yang beredar dibandingkan fakta objektif yang bisa diverifikasi keasliannya. Hal ini menjadikan kebenaran sering kali menjadi kabur jika berhadap-hadapan dengan informasi yang sesuai dengan preferensi atau keinginan seseorang, sekali pun fakta yang sesungguhnya mengatakan sebaliknya.

Baca Juga: Resolusi Al-Quran Menghadapi Tantangan Digital di Era Post-Truth

Peristiwa ini terjadi tak lain karena pada saat ini, dunia digital mulai mendominasi sendi-sendi kehidupan manusia. Ini terbukti bahwa manusia yang tak bepergian dan hanya diam di rumah dapat menikmati informasi-informasi yang disuguhkan oleh bermacam-macam media sosial yang terkadang hanya memprioritaskan konten yang sedang viral. Dan yang terjadi selanjutnya sudah bisa ditebak, yakni para pengguna media sosial akan semaunya bertindak dalam memilih informasi yang ingin dilihat atau didengar, tanpa mau tahu lebih dalam apakah informasi tersebut benar atau salah.

Era informasi yang lahir dari rahim revolusi teknologi sendiri memiliki dampak positif dan negatif bagi kehidupan modern. Dampak positifnya, yakni mempermudah seseorang dalam mengakses sebuah berita tanpa harus bersusah payah pergi ke TKP. Sedangkan dampak negatif yang dimunculkan ialah tidak adanya sekat atau larangan dalam urusan mengonsumsi sebuah informasi. Akibatnya, keyakinan terhadap narasi-narasi kebenaran menjadi semakin memudar, atau bahkan telah sirna akibat dikalahkan oleh disinformasi yang disebarluaskan.

Untuk mengantisipasi maraknya disinformasi yang saat ini menguasai dunia digital, maka perlu adanya penyaringan, verifikasi, dan tabayyun yang dapat memfilter data yang valid dan invalid. Tanpa filter yang baik, maka dikhawatirkan masyarakat akan mudah terjerumus dalam permainan algoritma yang manipulatif, hingga pengiringan opini publik (hoax).

Alquran sebenarnya sudah mewanti-wanti umatnya agar selalu melakukan tabayyun dan verifikasi ketika menerima sebuah informasi, lewat kisah yang terbungkus dalam surah An-Nisa’ [4]: 83:

وَاِذَا جَاءَهُمْ اَمْرٌ مِّنَ الْاَمْنِ اَوِ الْخَوْفِ اَذَاعُوْا بِهٖۗ وَلَوْ رَدُّوْهُ اِلَى الرَّسُوْلِ وَاِلٰٓى اُولِى الْاَمْرِ مِنْهُمْ لَعَلِمَهُ الَّذِيْنَ يَسْتَنْۢبِطُوْنَهٗ مِنْهُمْۗ وَلَوْلَا فَضْلُ اللّٰهِ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَتُهٗ لَاتَّبَعْتُمُ الشَّيْطٰنَ اِلَّا قَلِيْلًا

“Apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan (kemenangan) atau ketakutan (kekalahan), mereka menyebarluaskannya. Padahal, seandainya mereka menyerahkannya kepada Rasul dan ulul amri (pemegang kekuasaan) di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya (secara resmi) dari mereka (Rasul dan ulul amri). Sekiranya bukan karena karunia dan rahmat Allah kepadamu, tentulah engkau mengikuti setan, kecuali sebagian kecil saja (di antara kamu).”

Dalam Tafsir Ibnu Katsir (Vol. 1 Hal. 703) disebutkan bahwa lafal وَاِذَا جَاءَهُمْ اَمْرٌ مِّنَ الْاَمْنِ اَوِ الْخَوْفِ اَذَاعُوْا بِهٖۗ dalam ayat di atas adalah bentuk pengingkaran terhadap orang-orang yang belum meyakini validitas dari keaslian informasi yang diperoleh, akan tetapi telah menyebarkannya. Sebagaimana hadis yang ada dalam Sahih-Bukhari: “Diceritakan dari Mughirah bin Syu’bah bahwasanya Nabi saw. melarang dari “qiil wa qaal”, yakni berbicara tentang suatu informasi yang sedang ramai diperbincangkan oleh manusia tanpa penjelasan, penelitian, dan pemahaman terlebih dahulu.”

Selanjutnya, Imam Muslim menyebutkan dalam muqaddimah kitabnya Shahih Muslim, bahwa Nabi saw. pernah bersabda, “Seseorang bisa dipastikan sebagai pendusta jika ia selalu memberikan informasi setiap sesuatu yang ia dengar”.

Baca Juga: Cara Menangkal Hoaks (Berita Bohong) Menurut Pandangan Al-Quran

Sayyidina Umar bin Khattab menjadi korban dari fenomena post-truth

Setelah ditelisik lebih lanjut, dalam kitab tafsir yang sama dan juga dalam kitab Sahih Ibnu Hibban (9/ 496), dijelaskan asbab an-nuzul terkait ayat di atas bahwa Sayyidina Umar bin Khattab pernah menjadi korban dari fenomena post-truth, yakni berita hoax yang saat itu sedang masyhur di masyarakat. Diceritakan bahwa saat itu, Sayyidina Umar mendengar kabar bahwa Nabi telah mencerai salah satu dari istri beliau.

Sayyidina Umar, yang notabene ialah sahabat senior tak langsung mempercayai berita tersebut. Akan tetapi, ketika Umar memasuki masjid dan terdengar kasak-kusuk bahwa Nabi saw. memang menceraikan istrinya, seketika pikirannya menjadi kalut. Tanpa berpikir panjang, beliau langsung mendatangi Nabi saw. guna memastikan informasi tersebut.

Saat itu, Nabi saw. sedang berada di kamarnya (di tempat minum), dan Sayyidina Umar segera meminta izin untuk menemui Nabi, dan bertanya, “Apakah engkau telah menceraikan istrimu, Ya Rasulullah?”. Nabi menjawab, “Tidak”. Seketika, Sayyidina Umar langsung pergi ke kerumunan orang-orang munafik yang telah mengabarkan bahwa Nabi saw. menceraikan istrinya, seraya berkata dengan intonasi yang tinggi bahwa kabar itu tidak benar, dan Nabi saw. sama sekali tidak pernah menceraikan istrinya.

Setelah peristiwa itu, maka turunlah ayat di atas, sebagai pelajaran bagi orang-orang agar tidak dengan mudah menyebarluaskan berita yang masih belum diyakini kebenarannya. Juga bagi orang-orang yang menerima sebuah informasi agar tidak langsung mengamini dan lantas meyakininya.

Melainkan, sikap yang perlu ditunjukkan adalah meneliti dengan baik sumber data dari berita yang diperoleh dengan kepala dingin. Sikap inilah yang seharusnya dimiliki oleh masyarakat modern sebagai antisipasi dari cabang-cabang post-truth seperti, hoax, pengiringan opini, hingga fanatisme yang kebanyakan berujung pada ujaran kebencian, atau bahkan konflik sosial.

Empat Kunci Kesuksesan Hidup dalam Surah Az-Zumar Ayat 10

0

Sukses baik di dunia maupun di akhirat merupakan hal yang didambakan bagi setiap orang. Untuk meraih kesuksesan tersebut tentu memerlukan usaha dan tekad yang tulus. Dalam hal ini, Alquran telah memberikan petunjuk yang sangat lengkap mengenai kunci kesuksesan bagi setiap individu, di mana salah satunya tercantum dalam surah az-Zumar ayat 10, Allah berfirman:

قُلْ يَٰعِبَادِ ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ ٱتَّقُوا۟ رَبَّكُمْ ۚ لِلَّذِينَ أَحْسَنُوا۟ فِى هَٰذِهِ ٱلدُّنْيَا حَسَنَةٌ ۗ وَأَرْضُ ٱللَّهِ وَٰسِعَةٌ ۗ إِنَّمَا يُوَفَّى ٱلصَّٰبِرُونَ أَجْرَهُم بِغَيْرِ حِسَابٍ

Katakanlah, “Hai hamba-hamba-Ku yang beriman. bertakwalah kepada Tuhanmu”. Orang-orang yang berbuat baik di dunia ini akan memperoleh kebaikan. Dan bumi Allah itu adalah luas. Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas.

Baca Juga: Surah Al-Balad Ayat 12-17: Demi Mencapai Kesuksesan Ukhrawi

Iman dan Takwa kepada Allah

“Beriman dan bertakwalah kepada Tuhanmu ” (Surah az-Zumar: 10)

Iman dan takwa kepada Allah menjadi kunci utama untuk semua urusan kehidupan di dunia, begitu juga jika seseorang menginginkan kesuksesan. Keimanan dan ketakwaan yang kokoh merupakan fondasi dari semua amal perbuatan. Tanpa keduanya, segala perbuatan baik akan sia-sia dan tanpa arah. Ayat ini mengingatkan umat Islam agar selalu memperkuat iman dan taqwa, baik dalam keadaan senang maupun susah.

Syekh Wahbah al-Zuhaili (12/238) menerangkan perintah Allah antara iman dan takwa, menunjukkan bahwa iman belaka belumlah cukup, sebagaimana menunjukkan bahwa eksistensi iman masih ada ketika seseorang berbuat maksiat. 

Iman yang benar akan membimbing seseorang untuk berbuat baik dan menghadapi segala ujian dengan penuh ketenangan dan keyakinan. Sementara takwa memiliki beberapa faedah agung; berupa kebaikan di dunia seperti sehat walafiat, pertolongan, kejayaan, kehormatan, dan kecukupan. Serta kebaikan di akhirat berupa pahala yang melimpah dan anugerah yang banyak nan abadi.

Menebar Kebaikan kepada Sesama

“Orang-orang yang berbuat baik di dunia ini akan memperoleh kebaikan.” (Surah az-Zumar: 10)

Allah menjanjikan balasan bagi setiap perbuatan baik ataupun tindakan yang bermanfaat bagi orang lain, baik di dunia dan di akhirat kelak pahalanya akan lebih besar. Oleh sebab itu, jalan menuju kesuksesan yang kedua adalah selalu berbuat baik kepada semua manusia. 

Dalam Tafsir As-Sya’rawi (11/516) diterangkan bahwa menyebarluaskan kebaikan tepada orang lain manfaatnya akan kembali kepada pelaku itu sendiri. Sebaliknya, menutup kebaikan pada orang lain, dapat menimbulkan bahaya pada diri sendiri. 

Termasuk kebaikan tersebut ialah ilmu. Sebagaimana Rasulullah telah bersabda, “Allah senang kepada orang yang mendengar kalam-Nya lalu dia mengamalkan dengan benar, kemudian ia menyampaikannya kepada orang lain.”

Karenanya, sebagai seorang muslim jangan pernah pelit dan menyembunyikan ilmu dan pengetahuannya untuk diri sendiri. Ilmu yang bermanfaat, akan mendatangkan pahala yang terus mengalir. Selain itu, berbagi ilmu juga memperkuat hubungan sosial, memperluas networking, dan dapat mendatangkan berkah serta kesuksesan dan keberhasilan dalam hidup. 

Baca Juga: Sabar dan Tekad Kuat, Kunci Sukses Menjadi Pemimpin

Optimisme dan Harapan yang Luas

Allah menyatakan bahwa “bumi-Nya itu luas” (surah az-Zumar: 10). Hal ini mengisyaratkan bahwa Allah menyediakan berbagai peluang dan kesempatan bagi umat-Nya untuk berusaha, bekerja keras, dan memperbaiki diri. Di samping itu, ayat ini juga memberi inspirasi, untuk selalu berfikir luas (optimis) seluas bumi.

Jika seseorang sudah berusaha dan kerja keras, akan tetapi tidak membuahkan hasil. Maka jangan sampai berkecil hati, Allah memerintahkan untuk mencari tempat lain yang memberikan keleluasaan untuk menjalankan usaha, sebab bumi Allah itu luas. (Tafsir as-Sya’rawi 11/515-516) Demikian, jika sebuah ide tidak diterima oleh suatu komunitas, jangan bersedih, masih banyak komunitas lain yang siap menerima ide kita. 

Salah satu contoh teladan optimisme ialah dari Rasulullah dan para sahabat dalam peristiwa Hijrah. Saat beliau dan sahabat-sahabatnya diperintahkan untuk hijrah ke Madinah, situasinya dan tantangan sangat berat. Namun, beliau tetap optimis dan melihat Madinah sebagai tempat yang penuh dengan potensi dan harapan. Pada akhirnya, keputusan ini dapat membuka jalan bagi terbentuknya masyarakat Madinah yang kokoh dan menjadi basis kekuatan Islam.

Kesabaran dan Ketegaran Menghadapi Tantangan

“Sesungguhnya hanya orang yang bersabarlah yang disempurnakan pahalanya tanpa batas.” (Surah az-Zumar: 10)

Kesabaran yang dimaksud di sini menurut Syekh Wahbah al-Zuhaili dalam tafsirnya (12/239) adalah sabar menghadapi berbagai kesulitan dan penderitaan. Menghadapi serangkaian masalah bertubi-tubi, memang sangat melelahkan dan membuat perasaan tertekan. Namun, dalam kondisi seperti itu, sangat penting untuk mengingatkan diri agar tetap sabar dan bertahan. 

Allah juga telah berfirman, “Sesungguhnya setelah kesulitan ada kemudahan.” (surah al-Insyirah: 6). Ayat ini memberi pesan bahwa setiap ujian, betapapun beratnya, pasti akan diikuti oleh jalan keluar yang lebih baik.

Umat muslim harus yakin bahwa kesabaran, pantang menyerah, dan ketegaran menghadapi tantangan akan membawanya menuju kesuksesan. Sebagaimana dalam realitanya, orang-orang yang sukses dapat meraih kesuksesannya itu sebab mereka memiliki keterampilan dalam mengatasi tantangan (mental resilience) dan bertahan di situasi yang sulit (survival strategy).

Wallahu a’lam.[]

Metodologi Fatwa: Antara Kelenturan dan Ketegasan

0
Metodologi Fatwa: Antara Kelenturan dan Ketegasan
Metodologi Fatwa: Antara Kelenturan dan Ketegasan

Manusia hidup dan berkembang seiring perubahan zaman. Berbagai aspek kehidupan manusia yang meliputi bidang teknologi, sosial, ekonomi, dan budaya terus berubah seiring berjalannya waktu. Hal ini bisa kita rasakan bersama di mana orang yang berada jauh di belahan dunia sana bisa saling berkomunikasi hanya dengan menggunakan gawai. Ini tak lain merupakan imbas dari majunya teknologi yang disebabkan oleh arus globalisasi dunia.

Kenyataan ini secara tidak langsung memaksa hukum Islam harus untuk bisa beradaptasi dengan realitas yang terjadi. Dengan banyaknya masalah-masalah kontemporer yang tidak dijelaskan dalam konteks klasik menjadi sebuah tantangan yang harus bisa dijawab oleh umat Islam. Apalagi, masyarakat saat ini lebih gemar mengonsumsi fatwa dari ustaz-ustaz yang banyak bermunculan dari media sosial, seperti YouTube dan lain-lain, menjadikan para ustaz tersebut dengan gampangnya memberikan putusan hukum.

Realita ini sangat mengkhawatirkan bagi berjalannya sebuah kehidupan yang berlandaskan nilai-nilai agama. Kepercayaan masyarakat terhadap fikih yang telah dipegang sekian ratus tahun bisa luntur begitu saja jika para pendakwah tidak betul-betul memahami masalah yang dihadapi. Oleh karenanya, para tokoh masyarakat perlu untuk mengetahui apa saja syarat yang harus dipenuhi untuk bisa mengeluarkan fatwa, serta perbedaan antara fatwa yang menggampangkan (التيسير ), dan fatwa yang gampangan (التساهل ) sehingga menjadikan seseorang enteng dalam beragama.

Definisi fatwa

Fatwa sendiri dalam kitab Syarah Muntahi Al-Iraadaat (hal. 482/3) didefinisikan: “Menyampaikan landasan hukum atau dalil dari suatu kasus yang ditanyakan seseorang, atau menjelaskan sesuatu yang masih berkaitan dengan hukum-hukum syariat terhadap orang yang kebingungan atau tidak tahu”. Dalil yang dimaksud dalam definisi ini, ialah dalil yang memang diperhitungkan dalam syariat, seperti Alquran, sunah, qiyas, ijma’, atau mengutip fatwa-fatwa ulama yang sudah terkodifikasi dengan rapi dalam kitab-kitab klasik.

Akan tetapi, jika permasalahan yang ditanyakan tidak ada dalam empat sumber di atas, maka di sinilah integritas ulama dipertaruhkan. Ia perlu mengerahkan seluruh kemampuannya dalam memecahkan problematika yang dihadapi. Entah, dengan menggunakan metode qiyas atau ilhaq, yakni mencari dalil-dalil yang mirip dalam segi illat-nya untuk kemudian ditularkan hukumnya, atau berijtihad dengan berlandaskan dalil-dalil dan ketentuan-ketentuan yang sudah ada.

Fatwa hendaknya memudahkan

Selain itu, satu hal yang tak kalah penting untuk diketahui para pendakwah adalah fatwa yang hendak ia sampaikan harus bersifat memudahkan. Dalam Alquran dan hadis, banyak sekali teks-teks yang secara eksplisit berbicara bahwa agama Islam hadir sebagai agama yang membawa rahmat dan kasih sayang, serta meniadakan kesulitan, kesukaran, hingga bahaya bagi seluruh makhluk di muka bumi tanpa terkecuali. Dan orang yang paling tepat untuk menyebarkan doktrin demikian ialah para ulama yang senantiasa berdakwah dan dijadikan panutan di berbagai kalangan.

Allah berfirman dalam surah Al-Baqarah [2] ayat 185:

يُرِيدُ اللهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ

Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran.

Al-Khazin dalam tafsirnya Lubab al-Ta’wil fi Ma’ani al-Tanzil (Hal. 156/1) menjelaskan bahwa sungguh telah ditiadakan dari manusia terkait kesulitan dalam urusan agama. Artinya, jika seseorang diberi opsi untuk memilih antara dua pilihan, dan kemudian ia memilih perkara yang paling mudah, maka ia termasuk orang yang paling dicintai di sisi Allah.

Baca juga: Temu Lembaga Konsultasi Syariah: Layanan Fatwa Digital Berbasis Moderasi Beragama

Dalam Tafsir Mafatih al-Ghaib, Ar-Razi berkomentar bahwa segala sesuatu yang memudaratkan pasti tidak akan diperintah oleh syariat. Dalam tafsir ini, disebutkan pula ayat lain yang selaras dengan ayat di atas, seperti surah Al-Haj ayat 78 yang berbunyi:

وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ

Dan Allah tidak menjadikan kesukaran untukmu dalam urusan agama.

Sementara, dalam sunah Nabi pun banyak bertebaran perintah yang mengarah agar memberikan fatwa dengan berlandaskan kemudahan dan kasih sayang, semisal hadis:

يَسِّرُوا وَلَا تُعَسِّرُوا، وَبَشِّرُوا وَلَا تُنَفِّرُوا

Mudahkanlah dan jangan persulit; berilah kabar gembira dan jangan membuat orang lari/panik  (Shahih Bukhari; 67).

Imam Al-Manawi dalam kitabnya Faidul Qadlir (hal. 461-462) menafsiri hadis di atas yang berisi arahan agar para ulama ketika melakukan dakwah agama untuk memberikan fatwa yang elastis dan memudahkan bagi masyarakat, bukan malah menyebarkan hukum yang memberatkan dan malah membuat mereka lari ketakutan. Sebab, ketika para pendakwah menyebarkan hukum yang lapang dan gampang, niscaya akan membuat masyarakat mudah menerima dakwah yang disampaikan, serta memotivasi mereka untuk semangat melakukan ibadah.

Baca juga: Tafsir Surah Maryam Ayat 33 Mengenai Hukum Ucapan Selamat Natal

Sementara, hal yang diwanti-wanti bagi para ulama atau pendakwah yakni agar tidak dengan mudah (gampangan) memberikan sebuah fatwa terhadap masyarakat. Imam Nawawi dalam Al-Majmu’  (hal. 79-80) secara gamblang mengatakan bahwa sembrono dalam berfatwa merupakan perbuatan yang  buruk dan dicela oleh agama. Begitu pula masyarakat yang mengetahui bahwa orang tersebut tidak memiliki kredibilitas dalam bidang agama, tidak boleh meminta fatwa apalagi menggunakan fatwa yang ia keluarkan.

Yang dimaksud berfatwa secara gampangan di sini bisa dipengaruhi oleh berbagai motif. Seperti, ketika seorang mufti terburu-buru memberikan sebuah fatwa tanpa dilandasi perenungan yang mendalam atau tidak merujuk pada sumber-sumber hukum yang sudah ada. Atau fatwa yang dimunculkan ada indikasi diiringi dengan hawa nafsu yang membuatnya menghalalkan sesuatu yang haram, atau mengharamkan sesuatu yang halal.

Kesimpulan

Dari penjelasan di atas, sudah jelas perbedaan antara fatwa yang menggampangkan (التيسير ), dan fatwa yang gampangan (التساهل ). Fatwa yang gampangan muncul dari oknum-oknum ceroboh yang menjawab sebuah masalah tanpa berlandaskan keilmuan dan metodologi yang kredibel, dan termasuk ciri-ciri orang yang bermain-main, bahkan terkesan meremehkan dalam urusan agama.

Sedangkan, fatwa yang memudahkan muncul dari orang-orang yang memiliki integritas dalam mengeluarkan putusan hukum, serta paham akan maqashid (tujuan) dari adanya pensyariatan sebuah hukum. Sehingga, ketika para pendakwah mengikuti kode etik dalam mengeluarkan fatwa, hubungan dan kepercayaan masyarakat terhadap fikih akan tetap harmonis dan senantiasa terjaga. Dan hal ini secara tidak langsung menjaga fleksibilitas agama Islam dalam menjawab persoalan-persoalan kontemporer.

Tafsir Surah Shad Ayat 31-33: Cara Nabi Sulaiman Mencintai Perkara Dunia

0

Alquran menggambarkan kisah Nabi Sulaiman yang cukup menarik dan dapat menjadi hikmah bagi generasi umat di masa kini dalam memaknai cinta. Kisah ini mengajarkan bahwa cinta terhadap perkara duniawi, seperti pasangan, anak-turun, harta-benda, ataupun keindahan alam, haruslah diiringi dengan kesadaran akan kebesaran Tuhan dan bahwa segala sesuatu yang ada di dunia ini hanyalah titipan-Nya.

Sebagaimana Allah berfirman:

إِذْ عُرِضَ عَلَيْهِ بِالْعَشِيِّ الصَّافِنَاتُ الْجِيَادُ (٣١) فَقَالَ إِنِّي أَحْبَبْتُ حُبَّ الْخَيْرِ عَنْ ذِكْرِ رَبِّي حَتَّى تَوَارَتْ بِالْحِجَابِ (٣٢) رُدُّوهَا عَلَيَّ فَطَفِقَ مَسْحًا بِالسُّوقِ وَالأعْنَاقِ (٣٣)

(Ingatlah) ketika pada suatu sore dipertunjukkan kepadanya (kuda-kuda) yang jinak, (tetapi) sangat cepat larinya, maka dia berkata, “sesungguhnya aku menyukai segala yang baik (kuda), yang membuat aku ingat akan (kebesaran) Tuhanku, sampai matahari terbenam. Bawalah semua kuda itu kembali kepadaku!” Lalu dia mengusap-usap kaki dan leher kuda itu. (Q.S. Shad: 31-33)

Baca Juga: Kurban Perasaan Nabi Sulaiman

Penjelasan Tafsir

Terdapat perbedaan pendapat di antara mufassirin dalam memaknai kata hubb (cinta) secara khusus dalam ayat tersebut. Seperti dalam Tafsir Jalalain dan Tafsir Ibnu Katsir bahwa hubb al-khair adalah kecintaan Nabi Sulaiman terhadap kuda yang berlebihan sampai lupa menunaikan shalat ashar hingga matahari terbenam. Karenanya, beliau mengusap-mengusap bukan dengan usapan biasa, melainkan mengusap dengan pedang. Yaitu, dipotong atau disembelih untuk kemudian dipersembahkan kepada Allah.

Bertolak belakang dengan penafsiran keduanya, Syekh Wahbah al-Zuhaili dalam Tafsir al-Munir (12/183) dan Imam Nawawi al-Bantani dalam Tafsir Marah Labid (2/317) menjelaskan pemaknaan secara bahasa, hubb al-khair, asalnya bermakna mencintai harta yang banyak.

Sebagaimana disebutkan dalam ayat 30-40, Nabi Sulaiman mendapat limpahan nikmat dari Allah, seperti menjadi pewaris kerajaan dan kenabian. Dan di antara nikmat itu ada kemungkinan, Nabi Sulaiman menyebut kuda-kudanya sebagai al-khair (kebaikan), karena banyaknya kebaikan yang didapatkan dengan hewan tersebut.

Sebagaimana dalam syariat Nabi Muhammad, kuda merupakan hewan yang digunakan dalam peperangan di jalan Allah. Dalam hadits yang diriwayatkan Abdullah ibnu Umar, Nabi saw. bersabda,

َ الْخَيْلُ فِي نَوَاصِيهَا الْخَيْرُ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ

Ada kebaikan yang terikat pada gombak (jambak) kuda sampai hari kiamat. (HR. Bukhari)

Lebih lanjut dalam Tafsir al-Munir (12/184) dijelaskan bahwa Nabi Sulaiman mencintai kuda karena bentuk mencintai Allah. Karena dengan hewan tersebut, beliau bisa melaksanakan perintah Tuhannya dengan memeliharanya untuk kepentingan jihad. Nabi Sulaiman menyenanginya sebagai nikmat yang Allah titipkan berupa kuda-kuda berkualitas yang mampu berlari kencang untuk perlengkapan militer.

Syekh Mutawalli as-Sya’rawi (11/454) menambahkan bahwa cinta Nabi Sulaiman terhadap kuda bukan untuk pamer atau angkuh, seperti kebanyakan orang yang memeliharanya. Tetapi beliau mencintainya bersumber kepada kecintaannya kepada Allah yang memerintahkannya untuk berjihad di jalan-Nya. Dielus-elusnya kuda tersebut sebagai apresiasi dan penghormatan. Dikhususkan leher dan kaki karena ini bagian yang paling mulia bagi kuda, yaitu tepat mengikat tali dan alat lari atau angkut.

Baca Juga: Kisah Pengembala, Pemilik Kebun, dan Kebijaksanaan Nabi Sulaiman

Pelajaran dari Kisah Nabi Sulaiman

Hikmah dari kisah Nabi Sulaiman di atas membuka sebuah cakrawala berpikir tentang konsep cinta yang sejati dalam islam. Sebuah tawaran cara berpikir dari Alquran tentang cara mencintai dunia melalui kisah sosok Nabi yang memiliki kerajaan megah dalam sejarah peradaban manusia.

Tidak ada yang salah dalam mencintai, sebab Allah yang menetapkan setiap rasa dan cinta dalam hati manusia untuk menyenangi hal-hal materi sebagaimana termaktub dalam surah Ali Imran ayat 14. Jika merujuk penjelasan tafsir dari ulama salaf dan khalaf di atas, kita bisa mengambil pelajaran bahwa cinta dunia juga dapat menjadi landasan bertauhid kepada Allah.

Hal ini menunjukkan bahwa cinta terhadap dunia tidak berarti cinta yang berlebihan atau menjadikannya tujuan utama hidup. Akan tetapi menggunakan dunia dengan bijaksana untuk tujuan yang lebih tinggi, yaitu untuk kebaikan umat dan mendekatkan diri kepada Allah.

Oleh karena itu, barangkali persoalan bangsa yang sulit diberantas seperti kasus korupsi, kolusi, nepotisme, dan tindak kriminal lainnya, seringkali berakar dari kesalahan dalam memahami makna kehidupan duniawi. Ketika masyarakat terlalu terobsesi dengan pencapaian materi dan kesenangan semata, mereka cenderung melupakan nilai-nilai qurani.

Padahal, dalam Islam cinta terhadap manusia, harta, dan kekayaan tentu bukanlah cinta yang abadi. Sebab dunia ini hanyalah sementara dan merupakan ladang amal untuk mencapai kebahagiaan yang hakiki di akhirat. Karenanya, cinta pada perkara dunia tidak boleh berlebihan dan harus dirangkai dalam kerangka cinta kepada Allah.

Wallahu a’lam.[]

Gus Baha Jelaskan Pentingnya Tata Krama dalam Interaksi Sosial

0
Gus Baha jelaskan tata krama dalam interaksi sosial
Gus Baha jelaskan tata krama dalam interaksi sosial

Dalam interaksi antar sesama di kehidupan bermasyarakat, Islam mengajarkan bahwa  muslim harus memperhatikan adab dan tata krama sosial, terlepas dari status dan kedudukan dalam strata sosialnya, baik pejabat, pemimpin, imam, ataupun pemuka agama.

Gus Baha dalam satu ceramahnya menerangkan bahwa hukum sosial tersebut tidak pernah mengikat hanya pada satu kelompok atau seorang saja, melainkan melibatkan semuanya. sekalipun orang-orang saleh dan para kekasih Allah, anbiya wa mursalin juga dinasihati untuk memperhatikan tata krama sosial.

Sebagaimana termaktub dalam ayat 159 Surah Ali Imran, Nabi Muhammad saw. sebagai seorang yang kepadanya risalah Islam diturunkan, beliau tetap terkena hukum sosial meskipun memiliki posisi yang sangat mulia di sisi Allah.

فَبِما رَحْمَةٍ مِنَ اللَّهِ لِنْتَ لَهُمْ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لانْفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشاوِرْهُمْ فِي الْأَمْرِ فَإِذا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِينَ

Maka, berkat rahmat Allah engkau (Nabi Muhammad) berlaku lemah lembut terhadap mereka. Seandainya engkau bersikap keras dan berhati kasar, tentulah mereka akan menjauh dari sekitarmu. Oleh karena itu, maafkanlah mereka, mohonkanlah ampunan untuk mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam segala urusan (penting). Kemudian, apabila engkau telah membulatkan tekad, bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertawakal. (Q.S. Ali Imran: 159)

Baca Juga: Ngaji Gus Baha: Di Balik Turunnya Syariat Selawat atas Nabi Muhammad Saw

Ayat ini menurut para mufassirin, berkenaan ketika orang-orang mundur dari barisan Nabi Muhammad saw. pada perang Uhud, lalu kembali. Nabi saw. tidak berbicara kepada mereka dengan perkataan yang keras, tetapi berbicara kepada mereka dengan perkataan yang lemah lembut. (Tafsir Mafatih al-Ghaib 9/405) Hal tersebut menunjukkan betapa pentingnya sifat lembut, sabar, dan bijaksana dalam berinteraksi dengan umat, bahkan untuk seorang seperti Nabi Muhammad saw.

Dalam konteks ini, meskipun Nabi Muhammad adalah utusan Allah yang dianugerahi berbagai kemuliaan yang luar biasa, beliau tetap harus mengikuti hukum sosial yang berlaku di tengah masyarakat.

Sebagaimana Gus Baha mengutip keterangan dari Ibnu Khaldun, bahwa meskipun Nabi saw. memiliki mukjizat, seperti kemampuan untuk mi’raj (naik ke sidrah al-Muntaha), beliau tetap harus mengikuti aturan sosial dan berperilaku baik dalam berinteraksi dengan sesama manusia.

Sebagai contoh yaitu Nabi Muhammad harus jauh dari akhlak yang buruk, dan karena itu beliau tidak boleh keras hatinya dan kasar tutur katanya. Nabi harus tetap bersikap santun ketika bertemu orang lain, menghormati orang yang lebih tua, dan menunjukkan kasih sayang kepada anak-anak, menolong orang yang lemah, serta memaafkan kesalahan mereka. Di mana sikap ini memang sangat penting untuk membangun hubungan yang baik di tengah-tengah masyarakat, terlebih ketika hendak menyampaikan dakwah dan risalah kebenaran kepada umat. (Tafsir al-Munir 2/476)

Gus Baha juga menekankan bahwa meskipun Nabi Muhammad memiliki kedudukan yang sangat tinggi, jika beliau tidak menunjukkan akhlak yang baik terhadap orang lain, maka masyarakat bisa kehilangan rasa hormat dan keyakinan mereka. Begitu pula, bahwa meskipun seseorang memiliki pengetahuan, kedudukan, ataupun status yang tinggi, namun tidak bisa menjaga sikap baik dan etika sosialnya, orang-orang di sekitarnya akan hilang respect kepadanya. Terlebih lagi, mungkin saja dirinya akan dijauhi oleh masyarakat atau jamaahnya.

Baca Juga: Pesan Dakwah Gus Baha’ Tentang Syarat yang Harus Dimiliki Seorang Mufassir

Dengan demikian, teladan Nabi untuk bersikap baik sesuai dalam tata krama sosial menjadi dasar penting dalam interaksi sosial, baik dalam kehidupan sehari-hari, maupun dalam dunia dakwah atau komunikasi dengan masyarakat.

Rasulullah dalam hadisnya juga pernah mewanti-mewanti kepada orang-orang memiliki status ataupun kedudukan dalam masyarakat untuk memperhatikan aturan sosial yang berlaku. Sebagaimana dikutip oleh Imam Fakruddin ar-Razi dalam Tafsir Mafatih al-Ghaib 9/407:

وَقَالَ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ: لَا حِلْمَ أَحَبُّ إِلَى اللَّهِ تَعَالَى مِنْ حِلْمِ إِمَامٍ وَرِفْقِهِ وَلَا جَهْلَ أَبْغَضُ إِلَى اللَّهِ مِنْ جَهْلِ إِمَامٍ وَخَرَقِهِ

Rasulullah bersabda, “Tidak ada sesuatu yang lebih dicintai oleh Allah daripada kebaikan dan kasih sayang seorang imam, dan tidak ada sesuatu yang lebih dibenci oleh Allah daripada kejahilan dan kecerobohan seorang imam.”

Sebagaimana pula dalam Alquran, ditegaskan:

وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لانْفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ

Jika kalian bersikap keras, mereka akan berpaling dari kalian. Imam ar-Razi menambahkan jika mereka berpaling maka tujuan misi dan risalah akan hilang.

Rasulullah dan Alquran telah mengingatkan umat Islam untuk selalu menjaga tata krama dalam berinteraksi sosial. Di mana tujuannya tidak hanya untuk menciptakan keharmonisan, tetapi juga untuk menjaga keutuhan dakwah. Sebagaimana jika seorang imam atau pendakwah, yang seharusnya menjadi contoh akhlak bagi masyarakat, namun tidak mampu memperlihatkan sikap santun dan menghormati orang lain, maka itu bisa merusak kepercayaan orang kepada dakwah itu sendiri. Wallah a’lam.

Tujuh Lapis Langit: Tafsir Saintifik atau Spiritualitas Kosmis?

0
tafsir saintifik tujuh lapis langit
tafsir saintifik tujuh lapis langit

Langit, sebuah cakrawala tak berbatas yang memantik rasa takjub manusia sejak zaman purba hingga era modern. Dalam tradisi Islam, langit menjadi salah satu tanda kebesaran Allah yang sering disebutkan dalam Alquran. Salah satu konsep menarik dalam Alquran adalah “tujuh lapis langit”, sebagaimana firman Allah dalam surah al-Mulk ayat 3:

الَّذِيْ خَلَقَ سَبْعَ سَمٰوٰتٍ طِبَاقًاۗ مَا تَرٰى فِيْ خَلْقِ الرَّحْمٰنِ مِنْ تَفٰوُتٍۗ فَارْجِعِ الْبَصَرَۙ هَلْ تَرٰى مِنْ فُطُوْرٍ ٣ ( الملك/67: 3)

“(Dia juga) yang menciptakan tujuh langit berlapis-lapis. Kamu tidak akan melihat pada ciptaan Tuhan Yang Maha Pengasih ketidakseimbangan sedikit pun. Maka, lihatlah sekali lagi! Adakah kamu melihat suatu cela?” (Q.S. al-Mulk [67]: 3)

Ayat ini menyodorkan tantangan kepada manusia untuk melihat kembali ciptaan Allah dan mencari harmoni di dalamnya. Namun, apa sebenarnya makna “tujuh lapis langit”? Apakah ia berbicara tentang struktur kosmis yang bisa dijelaskan oleh sains modern, ataukah ini adalah ungkapan spiritual yang melampaui batas rasionalitas manusia?

Baca Juga: Tafsir Surah Yasin ayat 39-40: Semua Makhluk Langit Adalah Ciptaan Allah Swt

Tafsir Tradisional tentang Langit Tujuh

Dalam tafsir klasik, para ulama mencoba memahami makna tujuh lapis langit dengan berbagai pendekatan. Tafsir Ibnu Katsir menjelaskan bahwa tujuh langit ini adalah struktur yang nyata dan berlapis-lapis, di mana masing-masing memiliki fungsi tertentu. Dalam al-Kashyaf, Imam Zamakhsyari menyebutkan bahwa langit ini meliputi segala sesuatu yang ada di atas bumi, termasuk benda-benda langit yang kita saksikan setiap hari.

Namun, konsep ini sering kali diinterpretasikan secara metaforis oleh sebagian ulama. Imam Al-Ghazali, misalnya, dalam kitab Ihya Ulumuddin, menyebut bahwa tujuh langit bisa merujuk pada lapisan spiritual manusia, dari nafsu rendah hingga tingkat tertinggi kesadaran ruhani. Pendekatan ini mengubah tujuh langit menjadi refleksi perjalanan batin manusia menuju kedekatan dengan Allah.

Perspektif Saintifik: Langit dan Astronomi Modern

Ketika berbicara tentang langit dalam Alquran, sebagian intelektual modern berusaha mengaitkannya dengan penemuan ilmiah. Struktur tujuh lapis sering kali dihubungkan dengan atmosfer bumi yang memiliki tujuh lapisan: troposfer, stratosfer, mesosfer, termosfer, eksosfer, ionosfer, dan magnetosfer.

Namun, apakah ini cocok? Ilmu astronomi modern telah membuka rahasia alam semesta hingga miliaran tahun cahaya. Apa yang disebut langit oleh sains lebih dari sekadar atmosfer bumi; ia mencakup ruang antar bintang, galaksi, dan struktur kosmos yang kompleks. Dalam pandangan ini, klaim bahwa “tujuh lapis langit” sepenuhnya merujuk pada atmosfer tampak terlalu menyederhanakan makna ayat tersebut.

Seorang fisikawan Muslim, Nidhal Guessoum, dalam bukunya, Islam’s Quantum Question, mengingatkan agar kita tidak buru-buru mengaitkan Alquran dengan penemuan sains. Menurutnya, Alquran tidak dimaksudkan untuk menjadi buku sains, tetapi petunjuk moral dan spiritual. Dengan demikian, “langit tujuh lapis” mungkin lebih tepat dipahami sebagai konsep yang melampaui batas sains, menantang manusia untuk merenungi kebesaran Allah.

Baca Juga: Tafsir Surat Ar-Rahman Ayat 5 – 9: Tiga Nikmat yang Tampak di Langit dan Bumi

Fakta Sosial: Kehausan Spiritual di Era Kosmik

Di era modern, manusia telah melampaui batas langit pertama—atmosfer bumi—dengan eksplorasi luar angkasa. Namun, di balik pencapaian ini, manusia justru menghadapi krisis eksistensial. Sebuah survei dari Pew Research Center (2023) menunjukkan bahwa 26% orang dewasa di Amerika Serikat mengidentifikasi diri sebagai “tidak beragama”, meningkat dari hanya 16% pada tahun 2007.

Ironisnya, di tengah kehausan spiritual ini, minat terhadap kosmologi dan eksplorasi luar angkasa justru meningkat. Program SpaceX yang dipimpin oleh Elon Musk, misalnya, bukan hanya tentang teknologi, tetapi juga tentang impian manusia untuk menjelajahi langit dan menemukan makna keberadaan. Dalam konteks ini, gagasan “langit tujuh lapis” dapat memberikan perspektif baru: bahwa di balik luasnya alam semesta, ada kebesaran Allah yang menanti untuk ditemukan.

Spirtualitas Kosmis: Melampaui Sains dan Literalitas

Alquran tidak hanya mengajak manusia untuk memahami dunia fisik, tetapi juga untuk merenungi tanda-tanda Allah yang tersembunyi. Misalnya dalam surah Fushshilat ayat 53.

Ayat ini menunjukkan bahwa langit tidak hanya berbicara kepada akal, tetapi juga kepada hati. Langit menjadi simbol kebesaran Allah yang tidak terbatas, memancing rasa takjub dan kerendahan hati manusia.

Para filsuf Muslim seperti Al-Farabi dan Ibn Sina memahami langit sebagai simbol perjalanan intelektual dan spiritual. Dalam kosmologi mereka, langit adalah jalan menuju “Akal Aktif”, entitas yang menjadi perantara antara Allah dan manusia. Dalam pandangan ini, langit tujuh lapis adalah refleksi dari perjalanan manusia menuju kesempurnaan.

Baca Juga: Tasbih Langit dan Bumi (Bagian I): antara Hakikat dan Majas

Antara Tafsir Saintifik dan Spiritualitas Kosmis

Jadi, apakah langit tujuh lapis dalam Alquran adalah konsep saintifik atau spiritual? Jawabannya mungkin tidak perlu dikotomis. Alquran adalah kitab yang berbicara kepada semua dimensi manusia: akal, hati, dan jiwa. Dalam ayat-ayat tentang langit, Allah mengundang manusia untuk merenungi kebesaran-Nya melalui ilmu pengetahuan, sekaligus menyadari keterbatasan manusia di hadapan Sang Pencipta.

Syaikh Ibn Atha’illah dalam Al-Hikam berkata dan Ibnu ‘Ajibah dengan Iqazhul Himam syarah Hikam berkata:

لا يُشرق القلب إلا إذا تجلى عنه ظلمات الأكوان، وهي الحظوظ والشهوات والرغبات، فإنه إذا أشرق القلب بالنور تخلص من الأكوان وصعد في مقامات القرب، كل مقام كالسماء بالنسبة لما قبله، حتى يصل إلى سماء المعرفة، وهي السماء السابعة، فإذا وصل إليها تجلى له الحق بنعوت الجمال والجلال، فيسكن القلب، ويطمئن السر، ويذوق حلاوة القرب.”

“Hati tidak akan bercahaya kecuali jika kegelapan dunia (keinginan, syahwat, dan nafsu) telah sirna darinya. Ketika hati diterangi oleh cahaya, ia akan terbebas dari dunia dan naik ke maqam-maqam kedekatan. Setiap maqam ibarat langit dibandingkan dengan maqam sebelumnya, hingga ia mencapai ‘langit makrifat,’ yang merupakan langit ketujuh. Ketika sampai di sana, Allah akan menampakkan diri-Nya dengan sifat keindahan dan keagungan. Maka hati akan tenang, rahasia jiwa akan tenteram, dan ia akan merasakan manisnya kedekatan (dengan Allah).

Teks ini menunjukkan bagaimana Ibn Ajibah memetaforakan perjalanan spiritual sebagai pendakian ke “langit-langit” maqam, hingga mencapai makrifat, yang merupakan puncak dari perjalanan spiritual seseorang. Dengan demikian, langit tujuh lapis bukan hanya tentang struktur kosmis, tetapi juga perjalanan spiritual yang menghubungkan manusia dengan Sang Ilahi.

Oleh karena itu, ketika menatap langit, kita tidak hanya melihat bintang-bintang yang jauh, tetapi juga mendengar panggilan Allah yang mengingatkan bahwa kebesaran-Nya melampaui apa pun yang dapat kita pahami.

Langit, baik dalam makna saintifik maupun spiritual, adalah refleksi kebesaran Allah. Di balik cakrawala tak berbatas itu, ada rahasia Ilahi yang menunggu untuk ditemukan. Wallah a’lam.