Beranda blog Halaman 20

Mengenal Aquran dan Terjemahnya dalam Bahasa Banjar: Metode dan Perkembangannya

0

Kini, penerjemahan Alquran tidak hanya ditujukan untuk masyarakat Muslim secara nasional, melainkan juga secara lokal salah satunya yakni Alquran dan Terjemahnya dalam Bahasa Banjar. Upaya ini dilakukan karena dua misi, yakni memudahkan masyarakat dalam memahami dan menerapkan ajaran-ajaran Alquran dalam kehidupan, serta guna melestarikan bahasa lokal yang merupakan kekayaan Indonesia. 

Program penerjemahan Alquran ini dilakukan oleh Kementerian Agama RI. Puslitbang LKKMO, Badan Litbang dan Diklat Keagamaan Kementerian Agama RI melalui kolaborasinya dengan beberapa pihak yakni UIN, IAIN, STAIN, maupun STAIS melakukan penerjemahan Alquran ke bahasa-bahasa daerah di Indonesia. Tercatat sejak 2011 hingga 2016, terdapat 12 belas terjemah Alquran ke bahasa daerah salah satunya bahasa Banjar oleh UIN Antasari Banjarmasin.

Sebagai tambahan informasi, mayoritas agama yang dianut oleh suku Banjar ialah Islam. Bahasa Banjar sendiri memiliki banyak penutur yang tersebar di seluruh wilayah Kalimantan, bahkan masuk ke wilayah Riau. Inilah yang menjadi salah satu pertimbangan mendasar dilakukannya penerjemahan Alquran ke bahasa Banjar. (Metode, Sumber, dan Muatan Lokal dalam “Al-Qur’an dan Terjemahnya dalam Bahasa Banjar”)

Baca Juga: Tradisi Batamat Alquran di Kalangan Masyarakat Banjar

Metode Penerjemahan

Dalam Alquran dan Terjemahnya dalam Bahasa Banjar, ada dua metode penerjemahan yang digunakan. Pertama, tarjamah harfiyah, yakni terjemah kata per-kata secara harfiyah dengan mempertimbangkan kesesuaian dari aspek susunan kata tanpa memperhatikan kandungan makna secara esensial. Sebagai contoh penerapan ialah ungkapan “al-‘alîy al- ‘azîm” (Maha Tinggi lagi Maha Besar) dalam Qs. Albaqarah [2]: 255 yang dialih bahasakan dengan “Maha Tinggi wan Maha Basar.”

Kata “Basar” digunakan sebagai pengalihan kata “besar” (Indonesia) yang dipahami dalam pengertian fisik maupun non-fisik (keagungan). Pemilihan kata dasar dalam bahasa Indonesia menjadi pertimbangan serius dalam pengalih bahasaan ini. Kata “besar” lebih tepat digunakan daripada kata “agung” (Indonesia). Hal ini karena kata dalam bahasa banjar, kata “agung” berarti “gong” (Indonesia) sehingga tidak tepat untuk digunakan sebagai terjemah.

Kedua, metode tarjamah tafsîriyyah. Metode ini mementingkan aspek makna serta tujuan holistik suatu kata. Contohnya pada kata “faqâtilû” dalam Qs. Al-Hujurât:9 yang secara harfiyah berarti “perangilah” (Indonesia) serta “kalahii” (bahasa Banjar). Terjemah tersebut tidak tepat untuk digunakan karena secara historis ayat tersebut membahas kasus sengketa sehingga kata yang tepat ialah “tindaklah” (ditindak).

Alquran dan Terjemahnya oleh Kementerian Agama merupakan rujukan utama. Lalu ada pula perbandingan dengan terjemah lainnya semisal Tafsir al-Mishbah dan The Message of the Qur’an, Muhammad Asad serta perspektif ‘ulum al-Qur’ân. Teruntuk referensi yang dirujuk dalam penerjemahan ke dalam bahasa Banjar berupa kosa-kata bahasa Banjar asli (tutuk Banjar) yang masih dimengerti oleh masyarakat Banjar umum, bahasa Melayu, ungkapan dalam bahasa Indonesia. (Metode, Sumber, dan Muatan Lokal dalam “Al-Qur’an dan Terjemahnya dalam Bahasa Banjar”)

Baca Juga: Ayat Al-Qur’an Disisipkan ke dalam Mantra: Fenomena Unik Masyarakat Banjar

Versi Digital dari Alquran dan Terjemahnya dalam Bahasa Banjar

Dilihat dari perkembangannya, Alquran dan Terjemahnya dalam Bahasa Banjar ini ternyata telah sampai pada versi digital. Versi digital ini diluncurkan pada tahun 2018 oleh Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin. Adanya Alquran dengan terjemah bahasa lokal ini baik versi cetak maupun digital ialah wujud dari keinginan untuk “membumikan Alquran”. Menurut Menag, hal ini merupakan sebuah upaya meningkatkan kualitas keagamaan masyarakat, khususnya muslim Banjar.

Terkait ide adanya versi digital dari Alquran dan Terjemahnya dalam Bahasa Banjar ini, menurut keterangan dari Rektor UIN Antasari, Mujiburrahman, ialah karena antusiasme masyarakat muslim Banjar yang 99,05% beragama Islam mendorong UIN Antasari untuk mendiskusikan bagaimana agar Alquran ini bisa diakses oleh masyarakat dengan mudah dan gratis. Kemudian lahirnya ide versi digital ini didukung oleh Kementerian Agama serta Balitbang sehingga dapat terealisasikan. (Menag Rilis Alquran dan Terjemahnya Bahasa Banjar Versi Digital)

Penerjemahan Alquran ke dalam bahasa lokal sangat patut untuk diapresiasi. Ini menjadi salah satu Khazanah keilmuan dalam sejarah Islam. Adanya terjemah Alquran dalam bahasa lokal ini tentu juga akan mempermudah masyarakat dalam memahami dan menerapkan ajaran-ajaran Alquran karena langsung bersentuhan dengan kultural masyarakat. Untuk versi digital dari Alquran dan Terjemahnya dalam Bahasa Banjar juga telah menyesuaikan dengan perkembangan teknologi yang membuatnya lebih mudah untuk dijangkau masyarakat.

Angin sebagai Tentara Allah: Tafsir Fenomena Meteorologi dalam Alquran

0
Angin sebagai Tentara Allah: Tafsir Fenomena Meteorologi dalam Alquran
Ilustrasi pergerakan angin

Alquran menyebutkan fenomena alam tidak hanya sebagai tanda-tanda kebesaran Allah, tetapi juga sebagai pengingat akan kekuasaan-Nya yang tak terbatas. Salah satu elemen alam yang sering disebut dalam Alquran adalah “angin”. Dalam berbagai ayat, angin digambarkan dengan beragam fungsi: membawa rahmat, menjadi tanda peringatan, bahkan sebagai alat penghancur. Akan tetapi, apakah konsep ini relevan dengan pengetahuan modern? Bagaimana kita memahami angin dalam perspektif Alquran, tafsir ulama, dan ilmu meteorologi?

Allah berfirman:

وَاَرْسَلْنَا الرِّيٰحَ لَوَاقِحَ فَاَنْزَلْنَا مِنَ السَّمَاۤءِ مَاۤءً فَاَسْقَيْنٰكُمُوْهُۚ وَمَآ اَنْتُمْ لَهٗ بِخٰزِنِيْنَ

Dan Kami telah meniupkan angin untuk mengawinkan (tanaman), dan Kami turunkan hujan dari langit lalu Kami beri minum kamu dengannya; dan bukanlah kamu yang menyimpannya (Q.S. Al-Hijr: 22).

Angin Rahmat dan Angin Azab

Ayat ini menggambarkan angin sebagai rahmat, salah satunya melalui proses “anemogami” (penyerbukan oleh angin). Dalam tafsirnya, Ibnu Katsir menyebut angin sebagai instrumen penting dalam keberlanjutan kehidupan. Dengan meniupkan serbuk sari dari satu bunga ke bunga lain, angin memastikan siklus reproduksi tanaman tetap berjalan.

Namun, angin juga bisa menjadi alat azab. Dalam kisah kaum ‘Ad, Allah mengirimkan angin yang sangat kencang sebagai hukuman atas kesombongan mereka: “Adapun kaum ‘Ad, mereka telah dibinasakan dengan angin yang sangat dingin lagi kencang.” (Q.S. Al-Haqqah: 6).

Tafsir Al-Jalalayn menjelaskan bahwa angin ini bertiup selama tujuh malam delapan hari, menghancurkan segalanya tanpa ampun. Angin, yang biasanya membawa kehidupan, dalam kasus ini berubah menjadi alat kehancuran.

Baca juga: Tafsir Ilmi Surah Al-Hijr Ayat 22: Penyerbukan Tumbuhan Melalui Angin

Para ulama klasik sering memandang angin sebagai tentara Allah yang bergerak sesuai kehendak-Nya. Imam Al-Razi dalam Mafatih al-Ghaib menggarisbawahi bahwa angin merupakan simbol dari kekuasaan Allah yang tak terhingga. Ia bisa mendatangkan manfaat maupun mudarat tergantung pada konteksnya.

Sementara itu, dalam konteks spiritual, angin sering kali diartikan sebagai peringatan kepada manusia akan kelemahan mereka di hadapan kekuatan alam. Fenomena angin kencang, tornado, atau badai adalah bukti nyata betapa kecilnya manusia di hadapan Sang Pencipta.

Fenomena Angin Perspektif Sains

Ilmu pengetahuan modern memberikan penjelasan rinci tentang mekanisme angin. Angin adalah pergerakan udara dari daerah bertekanan tinggi ke daerah bertekanan rendah, yang dipengaruhi oleh rotasi bumi (efek Coriolis) dan distribusi panas dari matahari.

Contoh nyata adalah “angin pasat” yang berperan dalam distribusi kelembapan dan hujan di daerah tropis. Mekanisme ini mendukung kehidupan dengan cara yang menakjubkan, seperti yang telah disinggung Alquran.

Namun, angin juga bisa menjadi bencana. Fenomena seperti badai tropis dan tornado menunjukkan bagaimana kekuatan angin dapat meluluhlantakkan kehidupan manusia. Menurut data dari World Meteorological Organization (WMO), badai tropis telah menyebabkan kerusakan senilai miliaran dolar setiap tahunnya dan menelan ribuan korban jiwa.

Baca juga: Tafsir Ilmi Q.S. An-Nur Ayat 34: Proses Terbentuknya Awan

Menariknya, Alquran tidak hanya memberikan gambaran teologis tentang angin, tetapi juga mengundang manusia untuk memahami fenomena alam ini secara ilmiah. Firman Allah:

“Sesungguhnya pada penciptaan langit dan bumi, pergantian malam dan siang, serta kapal-kapal yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia, dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan itu Dia hidupkan bumi sesudah mati (keringnya), dan Dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan pengisaran angin, serta awan yang dikendalikan antara langit dan bumi; sungguh (terdapat) tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan.” (Q.S. Al-Baqarah: 164).

Ayat ini menunjukkan bahwa memahami angin dan fenomena terkait bukan hanya aktivitas ilmiah, tetapi juga bentuk ibadah. Angin bukanlah sekadar fenomena fisik; ia adalah ayat Allah yang mengajak manusia untuk berpikir, merenung, dan bersyukur.

Baca juga: Memahami Makna Tadabbur Alquran dan Implementasinya

Sayangnya, di era modern, peran angin sebagai rahmat sering kali terganggu oleh ulah manusia. Perubahan iklim akibat emisi karbon telah mengubah pola angin global, menyebabkan lebih banyak badai tropis yang intens, kekeringan berkepanjangan, dan gangguan dalam distribusi hujan.

Contoh nyata adalah angin Monsun di Asia Selatan. Ketika pola angin ini terganggu, jutaan petani kehilangan sumber air utama mereka, yang berdampak langsung pada ketahanan pangan. Di sisi lain, badai seperti Hurricane Katrina (2005) menunjukkan bagaimana angin yang dahsyat dapat menghancurkan infrastruktur dan mengakibatkan krisis kemanusiaan.

Dalam konteks ini, angin menjadi pengingat keras akan tanggung jawab manusia untuk menjaga keseimbangan alam. Sebagaimana disebutkan dalam Alquran:

“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia; Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian akibat dari perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (Q.S. Ar-Rum: 41).

Penutup

Angin, dalam perspektif Alquran, adalah fenomena multidimensional. Ia adalah rahmat yang menopang kehidupan, alat penghancur yang menegakkan keadilan Allah, dan tanda kebesaran-Nya yang mengundang manusia untuk berpikir. Dalam sains modern, angin diakui sebagai bagian integral dari ekosistem bumi, tetapi juga sebagai ancaman bila tidak dikelola dengan bijak.

Sebagai manusia, tugas kita adalah memahami fenomena ini dengan ilmu, menyelaraskan wawasan ilmiah dengan iman, dan menjaga keseimbangan alam yang telah Allah tetapkan. Dengan begitu, angin tidak hanya menjadi tentara Allah yang mengingatkan, tetapi juga sahabat yang mendukung keberlanjutan kehidupan di bumi.

Sebagai penutup, marilah kita renungkan firman Allah: “Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya adalah bahwa Dia mengirimkan angin pembawa berita gembira dan agar kamu merasakan sebagian dari rahmat-Nya.” (Q.S. Ar-Rum: 46).

Abu Thalhah al-Anshari: Sahabat Dermawan yang Diapresiasi Alquran

0
Abu Thalhah al-Anshari: Sahabat Dermawan yang Diapresiasi Alquran
Ilustrasi orang yang dermawan.

Abu Thalhah al-Anshari merupakan salah satu sahabat Nabi Muhammad dari kalangan Anshar yang memiliki nama lain Zaid bin Sahl al-Khazraji. Ia terkenal sebagai seorang yang sangat dermawan dan gemar bersedekah. Salah satu kisah kedermawanannya terlihat dalam peristiwa turunnya surah Ali Imran ayat 92.

لَنْ تَنَالُوا الْبِرَّ حَتَّى تُنْفِقُوا مِمَّا تُحِبُّونَ وَمَا تُنْفِقُوا مِنْ شَيْءٍ فَإِنَّ اللَّهَ بِهِ عَلِيمٌ

Kalian sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna) sebelum kalian menafkahkan sebagian harta yang kalian cintai. Dan apa saja yang kalian nafkahkan, maka sesungguhnya Allah mengetahuinya (Q.S. Ali Imran: 92).

Bersedekah dengan Harta Terbaik yang Dicintainya

Wahbah al-Zuhaili dalam Tafsir al-Munir (2/335-336) menerangkan bahwa ayat tersebut turun salah satunya berkenaan dengan sahabat Nabi yang ikhlas menyedekahkan sesuatu yang sangat ia cintai. Hal ini sebagaimana riwayat Anas ibn Malik, bahwa Abu Thalhah adalah seorang Anshar yang memiliki harta paling banyak di Madinah. Adapun harta yang paling dicintainya adalah Bairuha’ (sebidang kebun kurma) yang letaknya berhadapan dengan Masjid Nabawi. Nabi saw. sering memasuki kebun itu dan meminum airnya yang segar lagi tawar.

Ketika ayat 92 surah Ali Imran turun, Abu Thalhah berkata: “Wahai Rasulullah, sesungguhnya saya memiliki kebun yang sangat saya cintai, yaitu kebun Bairuha’ yang terletak di dekat masjid. Maka saya serahkan kebun tersebut di jalan Allah sebagai sedekah. Oleh karena itu, gunakanlah Bairuha’ sesuai dengan apa yang diperintahkan oleh Allah kepada Baginda.”

Baca juga: Tafsir Surah Al-Hasyr Ayat 9: Sahabat Ansar, Suri Teladan untuk Bersikap Rela Berkorban

Nabi saw. memuji tindakan Abu Thalhah tersebut dan mengatakan bahwa itu adalah sedekah yang sangat baik. Beliau bersabda, “Hebat, hebat, dan baik sekali. Itu adalah harta yang membawa keuntungan. Itu adalah harta yang membawa keuntungan, aku telah mendengar apa yang kamu katakan dan aku melihat sebaiknya harta itu kamu sedekahkan kepada para kerabatmu.”

Lalu Abu Thalhah al-Anshari berkata, “Saya akan melaksanakannya wahai Rasulullah.” Lalu Abu Thalhah membagikannya kepada para kerabatnya dan kepada putra-putra pamannya (sepupu).” Dalam riwayat Muslim, mereka adalah Hasan bin Tsabit dan Ubay bin Ka’ab.

Dengan demikian, Abu Thalhah tidak hanya memberikan hartanya, tetapi juga memberi yang terbaik, yaitu sesuatu yang sangat ia cintai. Sahabat Nabi yang dermawan itu menunjukkan teladan yang luar biasa dalam keikhlasan, bahkan jika itu berarti melepaskan sesuatu yang paling berharga bagi dirinya.

Menjamu Tamu dengan Keramahan dan Penuh Kesungguhan

Selain sedekah dengan harta yang dicintainya, sebagaimana diterangkan dalam Tafsir Ibnu Katsir, kedermawanan Abu Thalhah al-Anshari juga disinggung dalam surah Al-Hasyr ayat 9 sebagai seorang yang mengutamakan orang lain dan dermawan dalam menjamu tamu.

Abu Thalhah dalam hal ini mengikuti teladan dan ajaran Rasulullah. Ia sangat terbuka dan siap menjamu orang yang datang ke rumahnya, baik itu orang miskin, musafir, sahabat, atau bahkan orang yang membutuhkan pertolongan. Dalam beberapa riwayat, diceritakan bahwa meskipun ia sedang kekurangan dan tidak memiliki banyak makanan, ia mengutamakan tamu yang datang dan memberi mereka makan, bahkan jika ia sendiri harus berpuasa.

Baca juga: Ketika Ahnaf bin Qays Melihat Dirinya Melalui Alquran

Hingga suatu waktu ketika Nabi Muhammad bersamanya di masjid, beliau saw. berkata, “Wahai Abu Thalhah, Allah kagum dengan perbuatanmu menjamu tamu.” Bahkan Allah menurunkan sebuah ayat tentang hal itu kepadaku:

وَالَّذِينَ تَبَوَّءُوا الدَّارَ وَالإيمَانَ مِنْ قَبْلِهِمْ يُحِبُّونَ مَنْ هَاجَرَ إِلَيْهِمْ وَلا يَجِدُونَ فِي صُدُورِهِمْ حَاجَةً مِمَّا أُوتُوا وَيُؤْثِرُونَ عَلَى أَنْفُسِهِمْ وَلَوْ كَانَ بِهِمْ خَصَاصَةٌ وَمَنْ يُوقَ شُحَّ نَفْسِهِ فَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ

Dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman (Anshar) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka mencintai orang yang berhijrah kepada mereka. Dan mereka tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (orang Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin) atas diri mereka sendiri. Sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan itu). Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung (Q.S. Al-Hasyr: 9).

Hal tersebut menunjukkan bahwa menjamu tamu adalah bentuk sedekah dan amal yang sangat bernilai di sisi Allah. Abu Thalhah dalam hal ini mendahulukan dan mengutamakan kepentingan orang lain, bahkan dalam keadaan sulit sekalipun, ia menjamu tamunya dengan cara yang penuh keikhlasan dan tanpa pamrih.

Teladan dari Abu Thalhah al-Anshari

Sedekah terbaik dengan harta yang dicintai adalah bentuk pengorbanan yang luar biasa. Sebab sebagaimana disebutkan dalam surah Al-Fajr ayat 20 dan Al-Adiyat ayat 8, sifat manusia itu sangat mencintai harta dan teramat berat untuk mengeluarkannya. Akan tetapi, Abu Thalhah dengan rela dan suka hati memberikan kebun yang sangat ia cintai demi keridaan Allah dan Rasul-Nya. Ia mengajarkan bahwa sedekah harus dilakukan dengan tulus tanpa mengharapkan balasan dari manusia, tetapi hanya untuk mengharap rida Allah.

Baca juga: Kisah Thalhah Bin Ubaidillah di Perang Uhud

Abu Thalhah juga memberi teladan bahwa mengutamakan orang lain, baik itu dalam hal berbagi harta, memberi makan tamu, maupun memberikan perhatian kepada yang membutuhkan—adalah tindakan yang sangat mulia. Sesama muslim seharusnya selalu berusaha menyenangkan hati satu sama lain, saling tolong menolong, dan mendahulukan kepentingan yang lain daripada pribadi. Wallah a’lam.[]

Kekerasan Ekonomi: Hak Perempuan atas Harta yang Dimiliki

0

Kekerasan ekonomi merupakan satu di antara jenis kekerasan yang kerap terjadi pada perempuan yang berkaitan dengan masalah finansial. Melansir data dari Komnas Perempuan, menunjukkan bahwa kasus kekerasan ekonomi di tahun 2024 memang mengalami penurunan dari tahun sebelumnya, yakni 762 kasus (9,05%). Meskipun begitu, masih banyak kasus-kasus serupa lainnya yang belum dilaporkan yang menjadi tantangan dalam masyarakat.

Kekerasan ekonomi terhadap perempuan dapat terjadi di ruang publik, seperti dalam pekerjaan dan pemerintahan. Namun, kasus tersebut lebih sering terjadi di ranah domestik atau dalam rumah tangga. Di mana bentuknya bermacam-macam, dimulai dari tidak memberikan izin untuk bekerja oleh suami, mengambil penghasilan atau tabungan tanpa persetujuan pihak istri, penelantaran terhadap istrinya, merampas atau memanipulasi harta benda korban, serta memaksa istri bekerja dengan cara eksploitatif, termasuk pelacuran.

Baca Juga: Para Suami Wajib Memperlakukan Istri Dengan Baik

Upaya Islam Melenyapkan Kezaliman terhadap Perempuan

Islam mengajarkan bahwa kekerasan terhadap perempuan dalam bentuk apa pun, termasuk ekonomi adalah perbuatan yang zalim. Dalam Alquran telah diatur dan ditetapkan bahwa harta yang dimiliki oleh perempuan—baik berupa hasil usaha, warisan, pemberian dari orang lain, bahkan pemberian suaminya merupakan hak milik pribadi yang tidak bisa diganggu gugat oleh siapa pun. Sekalipun suami tidak memiliki hak untuk mengambil atau ikut campur atas harta, kecuali dengan izin istrinya.

Bahkan ketika seorang istri dalam status diceraikan pun, suami sama sekali tidak berhak meminta kembali apa yang telah diberikan kepada istrinya. Hal ini sebagaimana firman Allah dalam surah al-Baqarah ayat 229:

وَلَا يَحِلُّ لَكُمْ أَنْ تَأْخُذُوا مِمَّا آتَيْتُمُوهُنَّ شَيْئًا إِلَّا أَنْ يَخَافَا أَلَّا يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ

Dan tidaklah halal bagimu mengambil kembali apa yang telah kamu kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah.

Mengenai sabab nuzul ayat di atas, menurut riwayat dari Ibnu Abbas bahwa di masa jahiliah seorang laki-laki boleh mengambil lagi maskawin dan lain-lain yang telah diberikannya kepada istrinya. Perbuatan itu tidak dipandang dosa. Maka Allah menurunkan firman-Nya tersebut. (HR. Abu Dawud)

Syekh Wahbah al-Zuhaili menafsirkan bahwa Allah melarang suami mengambil lagi segala pemberiannya kepada istri untuk menyengsarakannya apabila ia menalak istrinya itu. Secara khusus, Allah menyebut pemberian suami kepada istri karena, pada saat terjadi pertikaian, biasanya lelaki meminta kembali mas kawin dan perabot rumah yang telah diberikannya kepada istrinya. (Tafsir al-Munir, 2/545)

Imam al-Qurthubi (3/295-296) menambahkan, menurut jumhur ulama jika istri membayar tebusan atas talak, suami boleh mengambilnya ketika istri berbuat nusyuz. Sebagian ulama berpendapat bahwa yang membolehkan pengambilan tebusan ini adalah kekhawatiran bahwa keduanya (suami-istri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah lantaran masing-masing tidak suka hidup bersama pasangannya.

Baca Juga: Tafsir Surah an-Nisa Ayat 128: Menyikapi Suami Nusyuz

Sementara jika yang nusyuz pihak suami, maka ia dilarang untuk mengambil kembali sedikitpun mahar yang telah diberikan kepada istrinya. Namun, jika istrinya melakukan khulu’ (minta diceraikan dengan pengembalian mahar atau penggantinya kepada suami), maka hal itu dibolehkan, namun suami berdosa yang sebenarnya tidak dihalalkan berbuat demikian. (Tafsir Mafatih al-Ghaib, 10/13)

Dengan demikian suami tidak boleh mengambil paksa harta yang diberikan kepada istri dan menimpakan mudarat terhadap mereka. Hal ini juga sebagaimana surah an-Nisa ayat 20:

وَإِنْ أَرَدْتُمُ اسْتِبْدَالَ زَوْجٍ مَكَانَ زَوْجٍ وَآتَيْتُمْ إِحْدَاهُنَّ قِنْطَارًا فَلَا تَأْخُذُوا مِنْهُ شَيْئًا، أَتَأْخُذُونَهُ بُهْتَانًا وَإِثْمًا مُبِينًا

Jika kalian menghendaki menggantikan seorang istri pada posisi istri lainnya sementara kalian telah memberikan salah satu dari para istri itu harta yang banyak (sebagai mahar) maka jangan kalian ambil kembali sedikitpun harta itu. Apakah kalian akan mengambilnya dengan kezaliman dan dosa yang sangat jelas?

Dari dua ayat di atas, terdapat hikmah pelajaran bahwa ini merupakan salah satu dari upaya Islam melenyapkan semua bentuk kezaliman terhadap perempuan, dalam konteks ini kekerasan ekonomi (membatasi akses istri terhadap sumber daya finansial yang seharusnya menjadi haknya). Seraya mengembalikan semua yang menjadi hak-hak istri.

Kewajiban Suami untuk Memberikan Kesejahteraan Ekonomi

Islam mewajibkan suami untuk bertanggung jawab terhadap kesejahteraan ekonomi istri selama pernikahan dan setelah perceraian. Rasulullah bersabda dalam hadis yang diriwayatkan Jabir bin Abdillah bahwa Rasul saw. menegaskan wajib bagi suami memberikan nafkah kepada istri dan larangan menelantarkan istri karena akan mengakibatkan fatal. (H.R.Muslim)

Dalam riwayat lain, dari Sayyidah Aisyah: Hindun binti Utbah, istri Abu Sufyan pernah menemui Rasulullah dan mengadu, “Ya Rasullullah, sesungguhnya Abu Sufyan orang yang sangat pelit. Ia tidak memberi nafkah yang cukup untukku dan anak-anakku, kecuali aku mengambil harta tanpa sepengetahuannya. Apakah hal demikian berdosa?”. Beliau bersabda, “Ambillah hartanya yang cukup untukmu dan anak-anakmu dengan baik.” (Muttafaqun ‘alaih)

Baca Juga: Hak Waris Bagi Suami Istri dan Saudara Menurut Al-Qur’an

Di masa Rasul Saw. telah terjadi kasus kekerasan ekonomi, dan Rasul saw. membela perempuan. Rasulullah dan Alquran menegaskan bahwa perempuan memiliki hak yang jelas untuk mengakses sumber daya ekonomi, baik dalam pernikahan maupun setelahnya. Praktik kekerasan ekonomi, seperti penahanan atau pemotongan nafkah tanpa alasan yang sah sangat bertentangan dengan ajaran Islam tentang keadilan dan perlindungan hak-hak perempuan.

Wallahu a’lam.[]

Kebodohan Spiritual dalam Tafsir Albaqarah Ayat 13

0

Dalam surah Albaqarah ayat 13, terdapat fenomena yang tidak henti-hentinya terjadi dalam masyarakat. Penolakan terhadap kebenaran yang datang dari wahyu Ilahi, terutama oleh mereka yang merasa lebih unggul dalam hal intelektualitas. Di ayat ini, Allah menggambarkan sikap orang yang meremehkan orang beriman sebagai kebodohan, mereka merasa diri mereka lebih rasional dan cerdas. Mereka menganggap bahwa beriman adalah tindakan yang irasional dan hanya diterima oleh orang-orang yang tidak menggunakan akal sehat.

وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ آمِنُوا كَمَا آمَنَ النَّاسُ قَالُوا أَنُؤْمِنُ كَمَا آمَنَ السُّفَهَاءُ ۗ أَلَا إِنَّهُمْ هُمُ السُّفَهَاءُ وَلَٰكِنْ لَا يَعْلَمُونَ

Dan ketika dikatakan kepada mereka, ‘Berimanlah kamu sebagaimana orang lain telah beriman.’ Mereka menjawab, ‘Apakah kami akan beriman sebagaimana orang-orang yang bodoh itu beriman?’ Ingatlah, sesungguhnya mereka itulah orang-orang yang bodoh, tetapi mereka tidak mengetahui. (Q.S Albaqarah [2]: 13)

Baca Juga: Perpecahan dan Kemunduran Bani Israil Bagian II: Kebodohan akan Kitab Suci Mereka Sendiri

Jadi,  Albaqarah ayat 13 ini mengungkapkan sebuah fenomena yang masih terjadi hingga hari ini. Yaitu, penolakan terhadap kebenaran, khususnya kebenaran yang datang dari wahyu Ilahi. Dalam ayat ini, Allah menyebut orang-orang yang meremehkan keimanan kaum Muslimin sebagai “bodoh”, meskipun kenyataannya mereka merasa bahwa diri mereka lebih rasional dan lebih cerdas.

Mereka menganggap orang yang beriman itu sebagai orang yang “bodoh”. Padahal yang sebenarnya bodoh adalah mereka yang menolak kebenaran yang jelas di hadapan mereka. Penolakan terhadap ajaran agama sering kali datang dari sikap yang merasa diri lebih unggul secara intelektual. Apakah mereka beralasan bahwa iman adalah sesuatu yang irasional, sebuah konsep yang hanya diterima oleh orang-orang yang tidak menggunakan logika atau akal sehat.

Imam Al-Qurtubi dalam kitabnya Al-Jami’ li-Ahkam al-Qur’an (Jilid 1, 256) menjelaskan apa yang dimaksud dengan bodoh di situ. Kebodohan yang dimaksud dalam ayat ini bukanlah kebodohan intelektual, melainkan kebodohan spiritual. Mereka yang menolak wahyu ilahi, meskipun memiliki pengetahuan duniawi, pada dasarnya menutup mata terhadap kebenaran yang lebih tinggi.

Dan sikap ini bisa dipahami jika dilihat dari perspektif Ibnu Taimiyyah, yang menyatakan bahwa kebodohan yang dimaksud di sini adalah ketidakmampuan untuk mengenali kebenaran yang datang dari Allah. Menurut Ibnu Taimiyyah , kebodohan adalah saat seseorang menolak jalan yang benar meskipun sudah ada bukti yang jelas. Sebuah akal yang jernih, katanya, seharusnya bisa membedakan antara yang hak dan yang batil.

Namun, sering kali akal yang dominan adalah akal yang egois, yang terjebak dalam kesombongan dan keduniawian. Lebih jauh lagi, Al-Ghazali yang merupakan seorang pemikir besar dalam dunia Islam, mengingatkan kita bahwa penolakan terhadap wahyu sering kali berasal dari dominasi nafsu dan ego. Dalam karyanya Ihya’ Ulum al-Din, beliau menegaskan bahwa kebodohan spiritual adalah keadaan di mana seseorang tidak mampu melihat kebenaran yang ada di luar dirinya.

Baca Juga: Tafsir Surat Al Baqarah Ayat 10-13

Seseorang yang hanya bergantung pada akal rasional semata, tanpa mempertimbangkan dimensi ruhani, wahyu dan spiritual dalam dirinya, akan terperangkap dalam kesesatan dan kebodohan. Ini bukan berarti bahwa akal tidak penting, tetapi akal harus dipadukan dengan kesadaran spiritual untuk mencapai pemahaman yang lebih komprehensif tentang kebenaran. Ditambah dalam persoalan agama, maka wahyulah yang menjadi acuan pertama.

Filsuf modern, Muhammad Iqbal, juga mencatat hal serupa dalam pemikirannya. Iqbal menekankan pentingnya kesadaran spiritual untuk melengkapi akal dalam memahami kebenaran. akal yang sempit dan materialistik cenderung mengabaikan dimensi spiritual dalam perjalanan hidup manusia. Dalam konteks ini, mereka yang menolak iman karena merasa bahwa itu tidak rasional sebenarnya sedang mengabaikan potensi besar dari dimensi ruhani yang ada dalam diri mereka.

Ibnu Taimiyyah dalam Majmu’ al-Fatawa (Jilid 8, 108) menyatakan:

  إِنَّ ٱلْجَهْلَ فِى هَٰذِهِ ٱلْآيَةِ هُوَ جَهْلٌۭ فِى فَحْصِ ٱلْحَقِّ وَٱلْحَقِيقَةِ ٱلَّتِى تَأْتِى مِنْ عِندِ ٱللَّهِ وَهُوَ جَهْلٌۭ فِى الْقَلْبِ وَٱلرُّوحِ.

Bahwa kebodohan yang disebutkan dalam ayat ini adalah kebodohan spiritual. Seseorang yang menolak kebenaran wahyu Ilahi meskipun bukti sudah jelas adalah orang yang bodoh, karena ia tidak mampu membedakan yang haq (benar) dan yang batil (salah), meskipun akalnya sudah mampu mengerti kebenaran tersebut.

Jadi secara keseluruhan, Surah Albaqarah ayat 13 mengajak kita untuk merenungkan kembali sikap kita terhadap kebenaran. Kebodohan dalam ayat ini bukanlah ketidakmampuan untuk memahami informasi, melainkan ketidakmampuan untuk menerima kebenaran yang dalam dari sekadar logika duniawi.

Hemat penulis, menolak kebenaran itu bukanlah tindakan rasional, melainkan tindakan yang didorong oleh ego, nafsu, atau bahkan kesombongan intelektual. Pada akhirnya, kebodohan yang sejati adalah menolak kebenaran yang jelas di hadapan kita, meskipun akal dan hati kita tahu bahwa itu adalah jalan yang benar. Keimanan bukanlah hal yang irasional, tetapi justru merupakan bentuk kebijaksanaan yang sejati, yang menghubungkan akal dan hati dengan kebenaran yang lebih tinggi.

Baca Juga: Nilai Ihsan sebagai Rukun dan Pijakan Spiritualitas

Dan dari beberapa pandangan para ulama, seperti Imam Al-Qurtubi, Ibnu Taimiyyah, dan Al-Ghazali, kebodohan yang dimaksud dalam ayat ini bukanlah kebodohan intelektual, melainkan kebodohan spiritual—yaitu ketidakmampuan untuk menerima kebenaran yang lebih tinggi yang datang dari wahyu Ilahi. Mereka yang menolak iman, meskipun memiliki pengetahuan duniawi, sebenarnya terperangkap dalam kebodohan karena tidak dapat membedakan antara yang haq dan yang batil, serta gagal menghubungkan akal dengan dimensi spiritual.

Tafsir Alternatif tentang Fungsi Gunung sebagai Pasak Bumi

0
Tafsir Alternatif tentang Fungsi Gunung sebagai Pasak Bumi
Ilustrasi gunung sebagai pasak bumi

Alquran sebagai kitab suci umat Islam, tidak hanya menjadi pedoman spiritual, tetapi ia juga menyentuh berbagai aspek kehidupan, termasuk fenomena alam. Salah satu ayat yang sering menjadi perhatian adalah tentang gunung sebagai pasak bumi. Allah berfirman:

وَجَعَلْنَا فِى الْاَرْضِ رَوَاسِيَ اَنْ تَمِيْدَ بِهِمْۖ وَجَعَلْنَا فِيْهَا فِجَاجًا سُبُلًا لَّعَلَّهُمْ يَهْتَدُوْنَ ٣١ (الانبياۤء/21: 31)

Dan telah Kami jadikan di bumi ini gunung-gunung yang kokoh agar bumi itu tidak goncang bersama mereka, dan telah Kami jadikan (pula) di bumi itu jalan-jalan yang luas agar mereka mendapat petunjuk (Q.S. Al-Anbiya: 31).

Sebagai muslim yang hidup di zaman modern, pertanyaan mendasar yang muncul adalah: apakah konsep gunung sebagai “pasak” bumi memiliki landasan ilmiah, ataukah ia semata metafora spiritual? Bagaimana pula tafsir klasik dan penemuan geologi modern memaknai fenomena ini?

Para mufasir klasik seperti Imam Al-Qurthubi dan Ibnu Katsir memaknai ayat tentang gunung ini secara harfiah, yaitu bahwa gunung berfungsi sebagai penyeimbang agar bumi tidak berguncang. Dalam Tafsir al-Jalalayn disebutkan bahwa gunung adalah “paku” yang menjaga bumi dari guncangan dahsyat yang bisa membahayakan kehidupan di atasnya.

Namun, penting dipahami bahwa ulama zaman dulu tidak memiliki akses terhadap data ilmiah seperti saat ini. Interpretasi mereka lebih banyak berakar pada pengamatan langsung terhadap alam dan keterbatasan ilmu pengetahuan kala itu. Walaupun demikian, pandangan mereka tetap relevan sebagai landasan spiritual dan filosofis.

Baca juga: Ketahui Manfaat Gunung sebagai Pasak Bumi, Ini Penjelasannya dalam Alquran

Ilmu geologi modern memberikan perspektif berbeda. Gunung terbentuk melalui aktivitas tektonik, yaitu ketika lempeng-lempeng bumi bertabrakan atau bergerak saling menjauh. Sebagai contoh, pegunungan Himalaya terbentuk dari tumbukan lempeng Indo-Australia dan Eurasia.

Dalam ilmu geologi, gunung memang memiliki peran penting dalam menjaga keseimbangan kerak bumi. Gunung sering disebut sebagai bagian dari mekanisme “isostasi”, yaitu kemampuan bumi untuk mencapai keseimbangan melalui redistribusi massa. Dengan kata lain, keberadaan gunung dapat dianggap sebagai cara alam menstabilkan permukaan bumi.

Namun, konsep “pasak bumi” dalam arti mencegah goncangan secara harfiah tidak sepenuhnya sesuai dengan pengetahuan geologi. Faktanya, aktivitas gunung seperti gempa bumi dan letusan vulkanik justru menjadi salah satu penyebab utama ketidakstabilan di permukaan bumi.

Lalu, apakah ini berarti ayat Alquran salah? Tentu tidak. Ayat-ayat Alquran sering kali mengandung makna simbolik dan metaforis yang melampaui fakta-fakta material. Dalam konteks ini, gunung dapat dimaknai sebagai simbol kekokohan dan kestabilan, sebuah pesan yang relevan dalam kehidupan manusia.

Baca juga: Tafsir tentang Laut yang Tidak Bercampur: Mukjizat atau Fenomena Ilmiah?

Imam Fakhruddin Ar-Razi dalam tafsirnya, Mafatih al-Ghaib, menekankan bahwa ayat-ayat semacam ini tidak hanya berbicara tentang realitas fisik, tetapi juga mengundang manusia untuk merenungkan kebesaran Allah melalui fenomena alam. Sains modern, alih-alih menegasikan pesan ini, justru memperkaya pemahaman kita tentang kompleksitas ciptaan Tuhan.

Penemuan ilmiah tidak seharusnya dilihat sebagai ancaman terhadap ajaran agama. Sebaliknya, Islam selalu menekankan pentingnya ilmu pengetahuan. Allah berfirman:

“Katakanlah: ‘Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?'” (Q.S. Az-Zumar: 9).

Dalam semangat ini, ilmuwan muslim seperti Al-Biruni dan Ibnu Sina menjadi bukti bagaimana Islam dan sains dapat berjalan beriringan. Al-Biruni, misalnya, adalah salah satu pionir dalam geologi dan geografi, yang melalui pengamatannya membantu kita memahami struktur bumi.

Lebih jauh, banyak ilmuwan Barat seperti John Playfair dan James Hutton, yang disebut sebagai bapak geologi modern, juga membuktikan bahwa memahami alam semesta adalah bagian dari memahami hukum-hukum Tuhan.

Baca juga: Tasbih Langit dan Bumi (Bagian I): antara Hakikat dan Majas

Indonesia sebagai negara yang berada di kawasan Ring of Fire sering menjadi saksi bagaimana gunung berapi memainkan peran ganda: sebagai sumber kehidupan melalui tanah suburnya, sekaligus sebagai ancaman melalui erupsi vulkanik. Letusan Gunung Tambora pada 1815, misalnya, mengakibatkan tahun tanpa musim panas di berbagai belahan dunia.

Dalam konteks ini, gunung bisa dimaknai sebagai “pengingat” bagi manusia untuk menjaga keseimbangan alam dan tidak tamak dalam mengeksploitasi sumber daya.

Ayat-ayat Alquran tentang gunung sebagai pasak bumi mengandung makna multidimensional yang dapat dipahami melalui lensa tafsir klasik, geologi modern, dan refleksi spiritual. Sains memberikan detail teknis tentang proses terbentuknya gunung, sementara Alquran mengajak kita untuk merenungi keberadaan gunung sebagai tanda kekuasaan Allah dan pengingat akan pentingnya keseimbangan.

Gunung adalah fenomena yang menghubungkan langit dan bumi, mencerminkan harmoni antara spiritualitas dan sains. Dengan memadukan wawasan agama dan pengetahuan ilmiah, kita dapat memperkaya pemahaman kita tentang dunia dan, pada akhirnya, tentang diri kita sendiri.

Sebagai penutup, marilah kita merenungkan firman Allah: “Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segenap penjuru dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Alquran itu benar.” (Q.S. Fussilat: 53).

Tafsir tentang Laut yang Tidak Bercampur: Mukjizat atau Fenomena Ilmiah?

0
Tafsir tentang laut yang tidak bercampur
ilustrasi Tafsir tentang laut yang tidak bercampur

Alquran bukan sekadar kitab petunjuk spiritual, tetapi juga lumbung keajaiban yang terus mengundang rasa ingin tahu. Salah satu ayatnya, yang membahas tentang “laut yang tidak bercampur,” sering menjadi perbincangan hangat di antara para ilmuwan, cendekiawan, dan umat Islam pada umumnya.

مَرَجَ الْبَحْرَيْنِ يَلْتَقِيٰنِۙ ١٩ بَيْنَهُمَا بَرْزَخٌ لَّا يَبْغِيٰنِۚ ٢٠ ( الرحمن/55: 19-20)

“Dia membiarkan dua laut mengalir yang keduanya kemudian bertemu. Antara keduanya ada batas yang tidak dilampaui oleh masing-masing.” (Q.S. Ar-Rahman: 19-20)

Baca Juga: Tafsir Surah Ar-Rahman Ayat 18-20

Tafsir Klasik: Sebuah Bukti Kekuasaan Ilahi

Dalam pandangan ulama klasik seperti keterangan dalam Tafsir Al-Jalalayn dan Ibnu Katsir, ayat ini adalah penegasan kebesaran Allah. Mereka bersepakat bahwa “batas” yang disebutkan dalam ayat adalah penghalang tak kasat mata yang menjaga dua laut tetap unik dengan sifat masing-masing.

Imam Al-Razi, dalam Mafatih al-Ghaib, menggambarkan fenomena ini sebagai simbol keteraturan semesta yang diatur oleh kekuasaan Allah. Tafsir ini mengajak kita untuk menyadari keterbatasan manusia di hadapan Sang Pencipta, mengingatkan bahwa ilmu manusia hanya setitik dibandingkan luasnya pengetahuan-Nya.

Penemuan Ilmiah: Rahasia di Balik Laut yang Tak Bersatu

Sains modern hadir untuk menyingkap sebagian misteri ayat ini. Dalam dunia oseanografi, terdapat istilah halocline dan thermocline—lapisan pemisah antara dua massa air yang berbeda kadar garam atau suhunya.

Contohnya ada di Selat Gibraltar, tempat Laut Mediterania dan Samudera Atlantik bertemu. Perbedaan salinitas dan suhu menciptakan batas alami yang mencegah kedua laut ini bercampur secara langsung.

Dr. William Hay, ahli geologi kelautan, menegaskan bahwa fenomena seperti ini mustahil diketahui di masa Nabi Muhammad tanpa alat canggih. Penemuan ini justru memperkuat keyakinan bahwa Alquran bukan hanya kitab, tetapi juga sumber inspirasi untuk eksplorasi ilmiah.

Baca Juga: Arkeologi Alquran: Hikmah dari Peradaban Kaum ‘Ad

Mukjizat atau Hukum Alam?

Pertanyaan besar yang muncul: apakah ini murni mukjizat atau penjelasan ilmiah? Jawabannya bisa jadi keduanya. Mukjizat tidak selalu berarti sesuatu yang melawan hukum alam; ia adalah pengaturan Allah yang sempurna dalam mekanisme alam.

Sheikh Tantawi dalam Tafsir Al-Jawahir berpendapat bahwa ayat-ayat ilmiah dalam Alquran bertujuan untuk mendorong manusia berpikir, bukan menggantikan penelitian ilmiah. Laut yang tidak bercampur adalah bukti kebesaran Allah, sekaligus panggilan untuk merenungi keteraturan semesta.

Ancaman pada Harmoni Laut

Namun, harmoni yang Allah ciptakan ini kini berada di ujung tanduk akibat ulah manusia. Pencemaran laut, limbah plastik, dan tumpahan minyak menjadi ancaman besar bagi ekosistem laut. Data UNEP menunjukkan bahwa 8 juta ton plastik masuk ke laut setiap tahun, menciptakan kerusakan yang tak terbayangkan.

Fenomena ini mencerminkan firman Allah, surah ar-Rum ayat 41, bahwa kerusakan di darat dan di laut disebabkan oleh perbuatan tangan manusia. Ayat ini adalah peringatan keras bagi manusia untuk introspeksi. Kerusakan alam bukan hanya ancaman bagi ekosistem, tetapi juga bagi keberlangsungan hidup manusia sendiri.

Baca Juga: Empat Rupa I’jaz Al-Quran Menurut Buya Hamka dalam Tafsir Al-Azhar

Hikmah: Laut Sebagai Cermin Kehidupan

Fenomena laut yang tidak bercampur mengajarkan kita banyak hal: harmoni, keteraturan, dan tanggung jawab. Islam menekankan bahwa alam adalah amanah, bukan komoditas untuk dieksploitasi sesuka hati.

Dalam konteks krisis lingkungan global, kita diingatkan akan sabda Nabi Muhammad:

“لَا تُسْرِفْ فِي الْمَاءِ وَلَوْ كُنْتَ عَلَى نَهَرٍ جَارٍ”

“Janganlah kalian boros dalam penggunaan air, meskipun kalian berada di tepi sungai.” (HR. Ahmad, no. 6768)

Pesan ini menjadi sangat relevan di era eksploitasi berlebihan telah menyebabkan ketidakseimbangan alam.

Fenomena laut yang tidak bercampur adalah pengingat indah bahwa ilmu dan iman bisa berjalan beriringan. Tafsir klasik mengajak kita untuk mengagumi kekuasaan Allah, sementara sains memperdalam apresiasi kita terhadap keajaiban ciptaan-Nya.

Namun, lebih dari sekadar takjub, fenomena ini juga memanggil kita untuk bertanggung jawab. Laut bukan hanya mukjizat, tetapi juga aset yang harus kita rawat. Dan yang lebih penting, ia adalah tanda bahwa Allah selalu mengarahkan perhatian kita pada hal-hal yang benar-benar berarti. Wallah a’lam

Skenario Tuhan di Balik Pewahyuan Alquran

0
skenario di balik pewahyuan Alquran
skenario di balik pewahyuan Alquran

Pewahyuan Alquran merupakan salah satu peristiwa terpenting dalam sejarah peradaban manusia. Lebih dari sekadar kitab suci, Alquran yaitu mukjizat yang mencakup dimensi spiritual, sosial, dan intelektual. Pewahyuannya tidak terjadi secara kebetulan atau tanpa perencanaan, tetapi melalui skenario ilahi yang menunjukkan kebijaksanaan Allah.

Pewahyuan Alquran: Kebijaksanaan di Balik Pewahyuan Bertahap

Allah menurunkan Alquran secara bertahap selama 23 tahun. Hikmah dari pewahyuan bertahap ini tertuang dalam firman-Nya: “Dan Alquran itu telah Kami turunkan secara berangsur-angsur agar kamu membacakannya perlahan-lahan kepada manusia dan Kami menurunkannya secara bertahap.”(Q.S. al-Isra: 106).

Menurut Tafsir Ibnu Katsir, pewahyuan bertahap ini mempermudah umat Islam memahami, menghafal, dan mengamalkan ajaran Alquran. Proses ini juga membantu memperkuat hati Nabi Muhammad saw. dalam menghadapi berbagai tantangan.

Skenario ini mencerminkan perhatian Allah terhadap kondisi manusia, yang membutuhkan waktu untuk beradaptasi dengan perubahan besar dalam kehidupan spiritual dan sosial mereka. Pendapat ini didukung oleh Imam al-Qurtubi dalam Al-Jami’ li Ahkam Alquran yang menegaskan bahwa pewahyuan bertahap memungkinkan umat Islam membangun pemahaman yang mendalam dan bertahap pula. Ini menunjukkan bahwa Allah sebagai “al-Hakim” (Yang Maha Bijaksana) menyusun pewahyuan sesuai kebutuhan umat manusia.

Baca juga: Ketika Al-Quran Menceritakan Proses Nuzulul Quran

Alquran turun dalam situasi sosial tertentu untuk memberikan solusi atas masalah yang dihadapi umat Islam. Sebagai contoh, pengharaman khamr dilakukan secara bertahap. Awalnya, Allah hanya menyebutkan bahwa khamr memiliki manfaat dan mudarat: “Mereka bertanya kepadamu tentang khamr dan judi. Katakanlah: Pada keduanya terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosanya lebih besar daripada manfaatnya.”(QS Al-Baqarah: 219).

Kemudian larangan diperkuat saat Allah melarang umat Islam mendekati salat dalam keadaan mabuk (Q.S. an-Nisa: 43). Akhirnya, khamr diharamkan sepenuhnya melalui Q.S. al-Maidah: 90. Pendekatan bertahap ini menunjukkan bahwa skenario Allah tidak memaksa tetapi mendidik umat Islam untuk meninggalkan kebiasaan buruk dengan cara yang manusiawi.

Menurut ulama kontemporer seperti Syekh Yusuf al-Qaradawi, skenario ini adalah bentuk rahmat Allah yang memperhatikan keterbatasan manusia. Proses bertahap ini menjadi contoh metodologi reformasi sosial yang efektif.

Allah menurunkan wahyu pada momen-momen kritis untuk memperkuat hati Rasulullah saw. Sebagai contoh, ketika Rasulullah saw. dicemooh oleh kaum Quraisy yang menyebutnya tidak akan memiliki penerus. Allah kemudian menurunkan surah al-Kautsar.: “Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak. Maka dirikanlah salat karena Tuhanmu dan berkurbanlah. Sesungguhnya orang-orang yang membencimu dialah yang terputus.” (Q.S Al-Kautsar: 1–3).

Ayat ini tidak hanya memberikan penghiburan tetapi juga menunjukkan optimisme tentang masa depan dakwah Islam. Dalam tafsirnya, Imam Fakhruddin ar-Razi menegaskan bahwa ayat ini adalah bukti bahwa Allah selalu hadir untuk mendukung utusan-Nya.

Lebih jauh, Syed Naquib al-Attas, seorang ulama modern, mengaitkan turunnya Alquran dengan konsep ketuhanan yang personal. Menurutnya, pewahyuan Alquran sebagai tanda bahwa Allah berkomunikasi langsung dengan manusia, menyampaikan solusi konkret terhadap persoalan yang mereka hadapi.

Baca Juga: Alasan Alquran Turun Secara Gradual

Skenario Pendidikan Ilahi: Alquran sebagai Kitab yang Hidup

Proses pewahyuan bertahap menciptakan sistem pendidikan unik yang disebut oleh Imam al-Ghazali sebagai tarbiyah ilahiyah. Alquran tidak hanya mengajarkan tentang teologi tetapi juga membangun fondasi akhlak dan sistem sosial.

Sebagai contoh, surah An-Nur: 27–28 yang mengajarkan etika berkunjung ke rumah orang lain: “Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu memasuki rumah yang bukan rumahmu sebelum meminta izin dan memberi salam kepada penghuninya.”

Ayat-ayat seperti ini menunjukkan bahwa Alquran tidak hanya mengatur hubungan manusia dengan Allah tetapi juga hubungan antarindividu. Dalam tafsir modern, Muhammad Asad menjelaskan bahwa ayat ini adalah contoh bagaimana Alquran membangun peradaban melalui etika sosial.

Skenario Tuhan di balik pewahyuan Alquran juga menunjukkan bahwa kitab ini relevan sepanjang zaman. Allah berfirman: “Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Alquran itu adalah kebenaran.”(Q.S. Fussilat: 53).

Dalam tafsirnya, Sayyid Qutb menekankan bahwa ayat ini adalah janji bahwa mukjizat Alquran tidak hanya terletak pada teksnya tetapi juga dalam cara ia terus relevan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan perubahan sosial.

Baca Juga: Agen dalam Mekanisme Pewahyuan Al-Quran: Tuhan, Jibril ataukah Keduanya?

Terakhir, skenario Tuhan di balik pewahyuan Alquran juga menunjukkan bahwa kitab ini adalah petunjuk bagi seluruh umat manusia, bukan hanya untuk masyarakat Arab pada masa Nabi.

Terkait hal ini, Allah berfirman: “Bulan Ramadan adalah (bulan) yang di dalamnya diturunkan Alquran, sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang benar dan yang salah).”(QS Al-Baqarah: 185).

Pendekatan universal ini dijelaskan oleh ulama modern seperti Fazlur Rahman, yang menyatakan bahwa Alquran tidak hanya menjawab masalah spesifik tetapi juga menyediakan prinsip-prinsip universal yang dapat diterapkan dalam berbagai konteks.

Turunnya Alquran yang dirasa sebagai skenario Tuhan yang penuh kebijaksanaan, mengajarkan kita bahwa Allah adalah “al-Alim” (Maha Mengetahui) yang memahami kebutuhan manusia di setiap zaman.

Pewahyuan bertahap, konteks sosial, dan relevansi universalitas Alquran membuktikan bahwa kitab ini adalah mukjizat agung yang dirancang untuk menjadi panduan hidup yang abadi. Turunnya Alquran bukanlah peristiwa yang terjadi secara acak, melainkan skenario Tuhan yang penuh dengan hikmah, perencanaan, dan tujuan tertentu.

Proses pewahyuan yang bertahap, kontekstual dengan peristiwa sosial, serta dampak positif dari pola ini merupakan bukti nyata dari kebijaksanaan ilahi. Sebagai umat Islam, memahami skenario ini dapat memperkuat keyakinan kita bahwa Alquran adalah mukjizat yang relevan sepanjang zaman dan tidak ada kecacatan sedikit pun yang berhasil dibuktikan oleh peneliti. Wallahu A’lam.

Uraian Alquran tentang Bintang-Bintang dalam Berbagai Perspektif

0
Uraian Alquran tentang Bintang-Bintang dalam Berbagai Perspektif
Ilustrasi bintang-bintang di langit.

Ketika malam datang, langit yang gelap dipenuhi dengan kerlip bintang, menawarkan keindahan yang tak lekang oleh waktu. Bintang-bintang itu telah menjadi inspirasi bagi pujangga, penunjuk arah bagi pelaut, hingga objek penelitian bagi ilmuwan modern. Dalam Alquran, bintang-bintang disebutkan dalam berbagai konteks, dari navigasi hingga keindahan semesta. Namun, apakah bintang dalam Alquran hanya sebatas “lampu dekorasi langit” atau ada makna lebih mendalam?

Bintang dalam Perspektif Alquran

Salah satu ayat yang sering dikutip tentang bintang adalah surah An-Nahl ayat 16:

وَعَلٰمٰتٍۗ وَبِالنَّجْمِ هُمْ يَهْتَدُوْنَ ١٦

(Dia juga menciptakan) tanda-tanda. Dengan bintang-bintang mereka mendapat petunjuk (Q.S. An-Nahl/16: 16).

Ayat ini menegaskan fungsi bintang sebagai alat navigasi. Dalam Tafsir Ibnu Katsir, bintang dijelaskan sebagai tanda yang membantu manusia menentukan arah, baik di daratan maupun lautan. Bintang menjadi alat vital bagi pelaut zaman dahulu yang belum mengenal teknologi modern seperti kompas atau GPS.

Selain itu, dalam surah Al-Mulk ayat 5, Allah berfirman:

“Dan sungguh, telah Kami hiasi langit yang dekat dengan bintang-bintang, dan Kami jadikan bintang-bintang itu sebagai alat pelempar setan…”

Di sini, bintang disebut sebagai penghias langit sekaligus sebagai simbol kekuasaan Allah yang melampaui imajinasi manusia. Ayat ini sering dipahami secara metaforis, menunjukkan bahwa bintang adalah tanda keindahan ciptaan Allah yang dirancang dengan sempurna.

Tafsir Tradisional dan Kontemporer

Al-Qurthubi menjelaskan, bintang memiliki tiga fungsi utama: sebagai petunjuk arah, penghias langit, dan pelontar setan sebagaimana disebutkan dalam Alquran. Namun, banyak ulama modern berpendapat bahwa fungsi bintang tidak hanya bersifat literal. Sebagai contoh, Tafsir Fi Zilalil Qur’an karya Sayyid Qutb menekankan bahwa bintang juga menjadi tanda keagungan Allah, yang mengingatkan manusia akan ketergantungan mereka pada Sang Pencipta.

Sementara itu, pandangan kontemporer dari ilmuwan muslim seperti Dr. Zakir Naik sering kali mengaitkan bintang dengan penemuan modern. Menurutnya, bintang-bintang yang disebut dalam Alquran mungkin mengacu pada objek-objek astronomi seperti galaksi, nebula, atau bahkan lubang hitam. Interpretasi ini menunjukkan bahwa ayat-ayat tentang bintang tidak hanya relevan secara spiritual, tetapi juga secara ilmiah.

Fakta Astronomi: Bintang dan Navigasi

Dalam dunia modern, bintang tetap memainkan peran penting dalam navigasi, meskipun dengan pendekatan yang lebih ilmiah. Pelaut zaman dulu menggunakan Polaris, bintang utara, untuk menentukan arah di malam hari. Di belahan bumi selatan, gugus bintang seperti Crux (Salib Selatan) digunakan untuk tujuan yang sama.

Namun, fungsi bintang tidak hanya berhenti pada navigasi. Dalam astronomi modern, bintang adalah laboratorium kosmik yang menawarkan wawasan tentang asal-usul alam semesta. Contohnya, studi tentang cahaya bintang memungkinkan para ilmuwan untuk memahami komposisi kimia bintang dan bahkan memperkirakan usia alam semesta.

Baca juga: Begini Penafsiran Alquran tentang Fungsi Bintang sebagai Penunjuk Arah

Ironisnya, di tengah era teknologi ini, banyak orang modern yang kehilangan hubungan dengan langit. Sebuah studi dari American Astronomical Society (2021) menunjukkan bahwa 80% populasi dunia hidup di bawah polusi cahaya, yang membuat bintang-bintang sulit dilihat di malam hari. Ketika bintang semakin tersamarkan oleh cahaya buatan, manusia kehilangan salah satu tanda kebesaran Allah yang nyata.

Bintang sebagai Simbol Spiritualitas

Dalam dimensi spiritual, bintang juga memiliki makna simbolis yang mendalam. Imam Al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin menyebut bintang sebagai representasi dari para ulama, yang menjadi petunjuk bagi umat manusia dalam kegelapan zaman. Tafsiran ini menegaskan bahwa bintang tidak hanya berfungsi secara fisik, tetapi juga secara metaforis sebagai pemandu moral dan spiritual.

Selain itu, dalam tradisi sufi, bintang sering kali dihubungkan dengan cahaya ilahi yang memancar dalam hati seorang mukmin. Jalaluddin Rumi, seorang penyair sufi, menulis:

“كُلُّ نَجْمٍ فِي السَّمَاءِ دُعَاءٌ يَتَأَلَّقُ، يَهْدِي الْأَرْوَاحَ التَّائِهَةَ إِلَى اللَّه”

Setiap bintang di langit adalah doa yang berpendar, mengarahkan jiwa-jiwa yang hilang menuju Tuhan.

Fakta Sosial: Kehilangan Arah di Tengah Dunia Modern

Di tengah dunia modern yang serba sibuk, manusia sering kehilangan arah, baik secara harfiah maupun spiritual. Teknologi telah menggantikan kebutuhan akan bintang sebagai alat navigasi, tetapi ironi terbesar adalah banyaknya orang yang justru merasa tersesat secara batin di era teknologi ini.

Baca juga: Wa An-Najm Idha Hawa: Demi Bintang, Demi Muhammad, Demi Alquran

Sebuah laporan dari World Health Organization (WHO) pada 2023 mengungkapkan bahwa satu dari delapan orang di dunia menderita gangguan kecemasan atau depresi. Ketika manusia terpisah dari alam dan keindahan ciptaan Allah, termasuk bintang-bintang, mereka kehilangan salah satu cara untuk merenungkan kebesaran Sang Pencipta.

Dalam konteks ini, bintang dapat menjadi pengingat akan ketergantungan manusia pada Allah. Sebagaimana bintang menuntun para pelaut di lautan gelap, demikian pula manusia membutuhkan “bintang” dalam kehidupan mereka—baik dalam bentuk petunjuk spiritual, ilmu pengetahuan, atau hikmah dari para ulama.

Penutup: Dekorasi atau Petunjuk?

Jadi, apakah bintang dalam Alquran hanya dekorasi langit atau petunjuk navigasi? Jawabannya adalah keduanya, bahkan lebih dari itu. Bintang adalah tanda kebesaran Allah yang berfungsi sebagai pengingat bagi manusia untuk selalu merendahkan hati di hadapan ciptaan-Nya yang megah.

Bintang tidak hanya menghiasi langit, tetapi juga menjadi saksi bagi perjalanan manusia di bumi—baik dalam arti fisik maupun spiritual. Sebagaimana firman Allah dalam surah Al-An’am ayat 97:

وَهُوَ الَّذِيْ جَعَلَ لَكُمُ النُّجُوْمَ لِتَهْتَدُوْا بِهَا فِيْ ظُلُمٰتِ الْبَرِّ وَالْبَحْرِۗ قَدْ فَصَّلْنَا الْاٰيٰتِ لِقَوْمٍ يَّعْلَمُوْنَ ٩٧ ( الانعام/6: 97)

Dialah yang menjadikan bagimu bintang-bintang agar kamu menjadikannya petunjuk dalam kegelapan (yang pekat) di darat dan di laut. Sungguh, Kami telah memerinci tanda-tanda (kekuasaan Kami) kepada kaum yang mengetahui. (Q.S. Al-An’am [6]: 97).

Maka, ketika malam tiba dan bintang-bintang mulai bermunculan, kita tidak hanya melihat lampu langit, tetapi juga tanda-tanda Ilahi yang berbisik: “Apakah kamu akan tersesat, atau menemukan jalan pulang?”

Membincang Seputar Lafal-lafal Mujmal dalam Alquran

0

Dalam ayat-ayat Alquran, terkadang Allah menggunakan lafal yang bersifat global (mujmal) dan universal, dengan tujuan agar Alquran dapat terus berdialog dengan realitas kehidupan dan senantiasa menjadi pedoman manusia. Implikasinya, hal ini menyebabkan makna dari lafal tersebut tidak dapat dipahami secara langsung oleh akal manusia. 

Dari sinilah ulama ushul fikih -yang memang berperan untuk menguak, merumuskan, dan mengorbitkan sebuah kaidah hukum Islam yang ada dalam nas-nas syariat- menciptakan sebuah teori yang bernama mujmal.

Baca Juga: Tidak Semua Lafal Mudah Dipahami: Mengenal Lafal-Lafal Khafi ad-Dalalah dalam Al-Quran

Definisi dari mujmal sendiri banyak terdapat dalam kitab-kitab usul fikih, salah satunya dalam kitab Ilmu Usul Fikih (hal. 152), karya Abdul Wahab Khallaf yang menjelaskan bahwa mujmal adalah sebuah lafal yang belum jelas maknanya, serta tidak dapat dipahami dengan hanya semata-mata memahami dari teks yang ada. Juga tidak ada faktor yang mampu menjelaskannya, baik dari indikasi lafal (قرينة لفظية ) mau pun ihwal keadaan (قرينة حالية ).

Artinya, kemusykilan tersebut murni ditimbulkan dari lafal tersebut, bukan sebab sesuatu yang baru datang. Selain itu, lafal mujmal sendiri memiliki beberapa kemungkinan makna yang tarafnya setara dan tidak ada yang lebih diunggulkan.

Terkait lafal-lafal dalam Alquran apakah termasuk kategori mujmal atau tidak, terklasifikasi menjadi dua bagian. Ada teks yang disepakati termasuk golongan mujmal, dan ada yang masih diperdebatkan terkait kemujmalan lafal tersebut.

Contoh dari ayat yang masih debatable dalam internal ulama ushul fikih terdapat dalam kitab Ghayah al-Wushul, salah satunya, seperti dalam potongan surah Almaidah (5): 38:

وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوْٓا اَيْدِيَهُمَا

Laki-laki maupun perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya. 

Salah satu pendapat mengatakan bahwa ayat di atas mengandung dua kemusykilan, sehingga layak digolongkan ayat mujmal. Kebingungan pertama, karena ayat di atas menggunakan kata “يد” secara mutlak, maka masih belum jelas standarisasi ukuran tangan yang wajib dipotong. Apakah seukuran lengan, atau mulai dari jari sampai siku, atau bisa saja seluruh tangan hingga lengan yang dimaksud ayat tersebut. Sementara, kemusykilan kedua terletak pada lafal “القطع” yang mengarah pada dua kemungkinan, yakni dengan memotong dengan sekali tebas, atau dengan dilukai.

Akan tetapi, kemusykilan-kemusykilan tersebut dibantah dengan tegas oleh pengarang kitab tersebut, yakni Syekh Zakariyya Al-Anshari. Beliau mengatakan bahwa kata “يد”, sudah mendapat legitimasi dari adat (urf) yang berlaku saat itu, yakni mulai dari ujung jari hingga lengan. Sementara, terkait teks ” القطع “, telah mendapat penjelasan dari syari’ itu sendiri, yakni Nabi Muhammad, yang ketika melakukan praktik dari perintah ayat di atas dengan sekali tebas, bukan melukai.

Sementara, contoh dari lafal Alquran yang telah disepakati masuk dalam kategori mujmal, seperti dalam potongan surah Albaqarah (2): 228, yang membahas terkait ketentuan ‘iddah seorang perempuan:

وَالْمُطَلَّقٰتُ يَتَرَبَّصْنَ بِاَنْفُسِهِنَّ ثَلٰثَةَ قُرُوْۤءٍۗ

Para istri yang diceraikan (wajib) menahan diri mereka (menunggu) tiga kali qurū’.

Titik perdebatan dalam ayat tersebut ada pada lafal قُرُوْۤءٍۗ, yang memiliki dua makna sekaligus. Kalangan Syafi’iyyah memaknai teks tersebut dengan arti suci, sementara kubu Hanafiyyah mengartikannya sebagai masa haid. Jika menurut Syafi’iyyah habisnya masa ‘iddah -bagi perempuan yang haid- jika telah memasuki masa suci yang ketiga, maka Hanafiyyah mengatakan sebaliknya, yakni selesainya iddah ketika masuk masa haid yang ketiga.

Baca Juga: Rincian Fungsi Hadis sebagai Penjelas Alquran

Syekh Wahbah Az-Zuhaily menuturkan terdapat tiga macam sebab-sebab lahirnya lafal mujmal, dalam kitabnya Al-Wajiz fi Usul al-Fiqhi (hal. 186). Pertama, yakni sebab lafal tersebut memiliki banyak makna (isytirak), di samping tidak ada indikator yang mampu menentukan satu makna dari beberapa makna tersebut. Contoh lainnya seperti dalam Albaqarah (2): 237:

 اَوْ يَعْفُوَا الَّذِيْ بِيَدِهٖ عُقْدَةُ النِّكَاحِۗ

Atau jika mereka atau pihak yang memiliki kewenangan nikah membebaskannya.

Ayat di atas, berbicara mengenai kewajiban suami yang harus membayar separuh mahar ketika ia bercerai dengan istrinya yang belum disentuh, sementara ia telah menentukan mahar di awal akad. Dan suami dapat bebas dari mahar jika dibebaskan oleh pihak yang berwenang, seperti disinggung teks di atas. Akan tetapi, di sini masih ambigu terkait siapa sebenarnya yang memiliki hak (wewenang), apakah istri atau wali dari si istri. Oleh karena itu, ayat di atas masuk kategori ayat yang mujmal.

Kedua, terdapat lafal-lafal dalam Alquran yang asing dalam literatur bahasa Arab. Salah satu contohnya, yakni lafal اَلْحَاۤقَّةُۙ dan اَلْقَارِعَةُۙ, yang tidak dapat diambil mafhum sama sekali. Dan ketika telah menelaah ayat-ayat yang lain, maka kedua ayat ini diartikan sebagai “hari kiamat”. Ketiga, lafal-lafal yang dipindah dari makna lughawi kepada makna syar’i. Semisal lafal salat, zakat, dan puasa yang sebelumnya dipahami secara bahasa, dialihkan pada makna syariat setelah adanya penjelasan dari Sunah Nabawiyah.

Lafal-lafal mujmal yang telah dijelaskan di atas, tidak dapat dihilangkan, kecuali telah mendapat penjelasan ulang dari syariat. Oleh karena itu, maka mau tak mau para mujtahid harus mencari penjelasannya langsung dari Alquran dan Hadis. Jika teks yang mujmal sudah dijelaskan secara rinci -oleh syariat- sehingga hilang kemusykilannya, maka ia berubah status menjadi mufassar atau mubayyan yang berarti “telah dijelaskan”.

Akan tetapi, jika penjelasan yang ada tidak mampu menghilangkan kebingungan secara keseluruhan, maka derajat mujmal berubah menjadi musykil. Dan disinilah urgensi peran orang-orang yang memiliki kredibilitas dalam bidang ijtihad -mujtahid- dibutuhkan, untuk membahas dan menjelaskan kemusykilan lafal tersebut.