Beranda blog Halaman 21

Tafsir Ekologis di Tengah Krisis Air

0
tafsir ekologis tentang air_krisis air
tafsir ekologis tentang air_krisis air

Air adalah sumber kehidupan, anugerah ilahi yang menopang seluruh makhluk hidup di bumi. Dalam Alquran, air disebutkan lebih dari 60 kali, menggambarkan peran vitalnya dalam kehidupan manusia, ekosistem, dan spiritualitas. Bahkan semua lini kehidupan berawal dan butuh dengan air. Semua bangunan, butuh dan berbahan dasar air, tumbuhan butuh air, bahkan kita sendiri berasal dari air.

Namun, di tengah krisis lingkungan yang semakin akut, khususnya di Indonesia, bagaimana kita membaca pesan Alquran mengenai air? Apakah nilai-nilai ekologis dalam wahyu ini mampu menjadi solusi untuk tantangan besar seperti kekeringan, banjir, dan pencemaran air?

Baca Juga: Air: Anugerah Ilahi dan Etika Manusia Terhadapnya

Air dalam Perspektif Alquran

Alquran menegaskan bahwa air adalah inti dari kehidupan. Firman Allah:

………وَجَعَلْنَا مِنَ الْمَاۤءِ كُلَّ شَيْءٍ حَيٍّۗ اَفَلَا يُؤْمِنُوْنَ ٣٠ ( الانبياۤء/21: 30)

… dan Kami menjadikan segala sesuatu yang hidup berasal dari air? Maka, tidakkah mereka beriman? (Al-Anbiya’/21:30)

Ayat ini menegaskan bahwa air adalah fondasi kehidupan, esensi yang memungkinkan tumbuhan, hewan, dan manusia untuk ada. Dalam ayat lain, air digambarkan sebagai tanda kekuasaan Allah yang menghidupkan bumi melalui hujan:

“Dialah yang menurunkan hujan dari langit untukmu, sebagiannya menjadi minuman dan sebagiannya untuk menyuburkan tumbuh-tumbuhan…” (Surah An-Nahl [16]: 10).

Namun, Alquran tidak hanya membahas air dari aspek material, tetapi juga spiritual. Air digunakan dalam wudu sebagai simbol penyucian, menunjukkan bagaimana elemen ini mempererat hubungan manusia dengan Allah. Tafsir klasik seperti Al-Qurthubi mengingatkan bahwa penyebutan air dalam Alquran juga menuntut tanggung jawab untuk menjaga sumber daya tersebut.

Dalam menafsirkan ayat ini, tafsir-tafsir klasik sperti Tafsir Al-Qurthubi, Tafsir Ibnu Katsir, dan Tafsir Mafatih al-Ghaib serta tafsir kontemporer seperti Tafsir Al-Munir karya Syeikh Wahbah Az-Zuhaili menyebutkan bahwa air dalam berbagai konteks dalam Alquran bukan hanya sesuatu yang ditunjukkan sebagai karunia Allah, tetapi juga sebagai tanggung jawab manusia untuk menjaga keberlanjutan sumber daya alam terbesar ini.

Baca Juga: Q.S Almu’minun Ayat 18: Konsep Bumi Sebagai Reservoir Air

Krisis Air di Indonesia: Paradoks Negeri Air

Indonesia, sebagai negara kepulauan dengan curah hujan rata-rata mencapai 2.700 mm per tahun, dikenal sebagai salah satu negara dengan sumber daya air melimpah. Namun, potret realitas justru menunjukkan paradoks. Banyak wilayah mengalami krisis air bersih akibat distribusi yang tidak merata, pengelolaan yang buruk, serta pencemaran.

Kekeringan dan kelangkaan air bersih di Indonesia, sekitar 33 juta penduduk masih kekurangan akses air bersih (BPS, 2022). Wilayah Nusa Tenggara Timur (NTT) dan Nusa Tenggara Barat (NTB) adalah contohnya, di mana musim kemarau panjang kerap menyebabkan kekeringan ekstrem. Fenomena ini diperburuk oleh degradasi hutan yang mengurangi kapasitas daerah tangkapan air.

Banjir dan Intrusi Air Laut. Di sisi lain, banjir menjadi masalah berulang di kota-kota besar seperti Jakarta dan Semarang. Tingginya tingkat urbanisasi, pengelolaan drainase yang buruk, serta kenaikan muka air laut akibat perubahan iklim memperburuk situasi. Intrusi air laut juga menjadi ancaman di pesisir, mengubah air tanah menjadi asin dan tidak layak dikonsumsi.

Pencemaran Air Sungai Citarum, salah satu sungai terpanjang di Jawa Barat, menjadi simbol pencemaran air di Indonesia. Sebuah studi dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menunjukkan bahwa lebih dari 50% sungai di Indonesia tercemar berat akibat limbah domestik, industri, dan pertanian. Sungai-sungai di Pulau Jawa memikul beban pencemaran tertinggi, mengancam ketersediaan air bersih bagi penduduk di wilayah padat penduduk.

Baca Juga: Maurice Bucaille dan Tafsir Ilmi tentang Siklus Air

Mengintegrasikan Pesan Alquran untuk Mengatasi Krisis Air

Dalam Islam, perusakan lingkungan, termasuk eksploitasi air secara berlebihan, dianggap sebagai tindakan melampaui batas (israf), dan hal itu jelas dilarang. dalam surah al-A’raf ayat 56 disampaikan tentang larangan untuk berbuat kerusakan di bumi setelah Allah memperbaikinya.

Pesan ini menegaskan pentingnya menjaga keseimbangan alam sebagai bagian dari tanggung jawab manusia sebagai khalifah di bumi. Berikut adalah langkah-langkah konkret berdasarkan nilai-nilai Alquran yang relevan dengan kondisi Indonesia:

Pertama, Efisiensi dan Pengelolaan Air. Nabi Muhammad SAW mencontohkan penggunaan air secara hemat. Dalam sebuah hadis, beliau bersabda: “Janganlah kamu boros dalam menggunakan air, meskipun kamu berada di sungai yang mengalir.” (HR. Ahmad).

Di Indonesia, pola hidup hemat air dapat diterapkan dalam sektor rumah tangga dan pertanian. Penerapan irigasi tetes, misalnya, dapat meningkatkan efisiensi penggunaan air di lahan pertanian yang kerap boros.

Kedua, Restorasi Daerah Aliran Sungai (DAS). Sungai-sungai yang tercemar, seperti Citarum, membutuhkan langkah konkret berupa rehabilitasi ekosistem. Reboisasi hutan di hulu sungai, pengelolaan limbah industri yang ketat, dan pelibatan masyarakat dalam pengawasan pencemaran dapat mengembalikan fungsi DAS sebagai penyuplai air bersih.

Ketiga, Pendidikan dan Kesadaran Publik. Pendidikan berbasis ekologi Islam, dengan pendekatan nilai Al-Qur’an, dapat meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap pentingnya menjaga air. Sebagai contoh, madrasah dapat mengintegrasikan pelajaran tentang konservasi air dalam kurikulum pendidikan agama.

Keempat, Inovasi Teknologi Hijau. Penerapan teknologi ramah lingkungan, seperti instalasi pengolahan air limbah di masjid dan sekolah, dapat mengurangi dampak pencemaran. Inisiatif seperti masjid ramah lingkungan di Jakarta, yang memanfaatkan teknologi penampungan air hujan untuk keperluan wudhu, bisa menjadi model yang ditiru di tempat lain.

Menyinergikan Ilmu Pengetahuan dan Spiritualitas

Pendekatan ilmiah saja tidak cukup untuk menghadapi tantangan besar ini. Kesadaran spiritual diperlukan untuk mendorong perubahan perilaku. Dalam Islam, air tidak hanya dipandang sebagai kebutuhan fisik, tetapi juga amanah dari Allah. Imam Al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumuddin mengingatkan bahwa semua nikmat yang kita gunakan akan dimintai pertanggungjawaban di akhirat.

Penelitian ilmiah menunjukkan bahwa konservasi air mampu meningkatkan ketahanan terhadap perubahan iklim. Di Indonesia, pelibatan masyarakat berbasis spiritualitas dapat memperkuat program pemerintah seperti Gerakan Citarum Harum, yang bertujuan membersihkan sungai dari pencemaran.

Harapan untuk Masa Depan Air di Indonesia

Mengatasi krisis air di Indonesia membutuhkan kerja sama lintas sektor, melibatkan pemerintah, komunitas agama, dan masyarakat luas. Dengan mayoritas Muslim, Indonesia memiliki potensi besar untuk menjadikan nilai-nilai Al-Qur’an sebagai landasan etis dalam pengelolaan air.

Dengan pendekatan berbasis wahyu, ilmu pengetahuan, dan aksi nyata, kita dapat mengubah krisis air menjadi peluang untuk membangun negeri yang lebih berkelanjutan. Air adalah tanda cinta Allah kepada makhluk-Nya. Menjaganya adalah wujud nyata rasa syukur kita kepada Sang Pencipta. Wallah a’lam

Tafsir Surah al-Hujurat Ayat 13: Larangan Membangga-banggakan Nasab

0
surah al-hujurat ayat 13_larangan membangga-banggakan nasab
surah al-hujurat ayat 13_larangan membangga-banggakan nasab

Agama Islam menegaskan larangan bagi umatnya untuk berbangga-bangga dengan nasab. Sebagaimana termaktub dalam surah al-Hujurat ayat 13, bahwa kebanggaan terhadap asal-usul atau garis keturunan tidak ada artinya di sisi Allah, yang lebih penting adalah ketakwaan seseorang, berbuat baik kepada sesama, dan menjalankan perintah Allah dengan sebaik-baiknya.

Surah al-Hujurat Ayat 13: Kemuliaan Seseorang Bukan Sebab Nasab

يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ اِنَّا خَلَقْنٰكُمْ مِّنْ ذَكَرٍ وَّاُنْثٰى وَجَعَلْنٰكُمْ شُعُوْبًا وَّقَبَاۤىِٕلَ لِتَعَارَفُوْاۚ اِنَّ اَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللّٰهِ اَتْقٰىكُمْۗ اِنَّ اللّٰهَ عَلِيْمٌ خَبِيْرٌ

Wahai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kalian dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, dan menjadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kalian saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. (Q.S. al-Hujurat [49]: 13)

az-Zuhaili (13/478) menukil riwayat dari Ibnu Abi Hatim bahwa pada saat penaklukan kota Makkah, Bilal menaiki Kakbah karena perintah Rasulullah saw. agar dirinya mengumandangkan adzan. Hal tersebut kemudian menimbulkan beragam reaksi dari para tokoh Quraisy yang merasa sangsi. Rasul saw. pun memanggil dan mewanti-wanti mereka agar jangan saling membanggakan diri karena nasab, saling mengunggulkan dengan banyaknya harta, dan merendahkan orang-orang muslim yang lain.

Baca Juga: Lima Pedoman Hidup Bermasyarakat: Refleksi Surah Al-Hujurat Ayat 11-13

al-Farran menerangkan bahwa ayat di atas merupakan penegasan bahwa semua manusia berasal dari nasab dan keturunan yang satu, serta disatukan oleh bapak yang satu dan ibu yang satu, yakni Sayyidina Adam dan Sayyidah Hawa. Ukuran kemuliaan seseorang bukanlah berasal dari keturunan, melainkan ketakwaan kepada Allah. Oleh karena itu tidak ada tempat untuk berbangga-bangga dengan keturunan. (Tafsir al-Imam as-Syafi’i 3/1281)

Dalam Tafsir Marah Labid (2/440) dijelaskan bahwa pembagian asal-usul dan garis keturunan ini tidak dimaksudkan untuk menciptakan perbedaan derajat di antara manusia. Semua diciptakan sama dan kehormatan seseorang datang dari takwanya, bukan dari nasabnya. Begitu pula, at-Thabari (21/286) menegaskan bahwa orang yang paling mulia di hadapan Allah dan akan mendapat surga adalah orang yang paling tinggi takwanya, bukan dilihat dari rumahnya yang megah ataupun berasal dari keturunan mulia.

Baca Juga: Mengulik Kembali Nilai Pluralisme dalam Surah Al-Hujurat Ayat 13

Petaka Membanggakan Diri dengan Garis Keturunan

Rasulullah saw. juga kerap kali mengingatkan bahwa nasab keturunan memang benar-benar tidak layak untuk dibanggakan. Bahkan beliau saw. juga memberikan peringatan kepada keluarganya, terkhusus kepada putrinya, Sayyidah Fatimah az-Zahra bahwa menjadi putri atau putra siapa saja tidak menjamin keselamatan baginya, termasuk keturunan para nabi.

Sebagaimana dalam satu hadis yang diriwayatkan Abu Hurairah, ketika haji wada dalam khutbahnya Rasulullah bersabda:

يَا مَعْشَرَ قُرَيْشٍ اشْتَرُوا أَنْفُسَكُمْ لَا أُغْنِي عَنْكُمْ مِنْ اللَّهِ شَيْئًا يَا بَنِي عَبْدِ مَنَافٍ لَا أُغْنِي عَنْكُمْ مِنْ اللَّهِ شَيْئًا يَا عَبَّاسُ بْنَ عَبْدِ الْمُطَلِّبِ لَا أُغْنِي عَنْكَ مِنْ اللَّهِ شَيْئًا يَا صَفِيَّةُ عَمَّةَ رَسُولِ اللَّهِ لَا أُغْنِي عَنْكِ مِنْ اللَّهِ شَيْئًا يَا فَاطِمَةُ بِنْتَ مُحَمَّدٍ سَلِينِي مَا شِئْتِ لَا أُغْنِي عَنْكِ مِنْ اللَّهِ شَيْئًا

“Wahai orang-orang Quraisy! Peliharalah diri kalian karena aku tidak dapat sedikit pun di hadapan Allah. Ya Bani Abdi Manaf! Aku tidak dapat sedikit pun di hadapan Allah. Ya Abbas bin Abdul Muthalib! Aku tidak dapat sedikit pun di hadapan Allah. Ya Shafiyah bibi Rasulullah! Aku tidak dapat sedikit pun di hadapan Allah. Ya Fatimah binti Muhammad! Mintalah kepadaku apa saja yang kamu mau (dari hartaku), sungguh aku tidak dapat sedikit pun di hadapan Allah.”

Dalam riwayat yang lain, Rasulullah saw. juga telah bersabda:

لَيَنْتَهِيَنَّ أَقْوَام يَفْتَخِرُونَ بِآبَائِهِمْ الَّذِينَ مَاتُوا إِنَّمَا هُمْ فَحْم جَهَنَّمَ أَوْ لَيَكُونَنَّ أَهْوَنَ عَلَى اللَّه مِنْ الْجُعَلِ الَّذِي يُدَهْدِهُ الْخِرَاءُ بِأَنْفِهِ

“Hendaklah mereka segera berhenti dari membangga-banggakan nenek-moyang mereka yang telah wafat. Mereka itu hanyalah arang neraka jahanam, atau mereka lebih hina di sisi Allah dari hewan yang mendorong kotoran dengan hidungnya.” (HR at-Tirmidzi)

Rasulullah saw. mengajarkan agar setiap Muslim tidak ada yang merasa lebih tinggi dari orang lain. Seperti kebanggaan terhadap garis keturunan dan merendahkan orang lain, karena dapat menumbuhkan rasa sombong serta mejerumuskan dirinya pada keadaan yang sangat hina.

Baca Juga:Tafsir Surah Alhujurat Ayat 13: Merawat Kerukunan, Memberantas Rasisme

Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad dalam kitabnya, Nashaih ad-Diniyyah h. 189, juga menerangkan bahwa membanggakan diri dengan nasab, seperti keturunan dari orang-orang saleh/mulia dan menyombongkan diri karenanya, termasuk akhlak yang tercela dan sangat tidak dibenarkan sama sekali.

Beliau juga menegaskan bahwa orang-orang seperti itu tidak akan mendapatkan keberkahan dari leluhurnya. Sebab, kemuliaan para leluhur bisa terus mengalir kepada keturunannya jika mereka bisa meneladani para leluhurnya, dengan ibadah dan amal saleh, serta tidak sombong dengan kualitasnya.

Dengan demikian ayat ini mengandung pesan bahwa bukanlah suatu kemuliaan itu membanggakan nasab garis keturunan, melainkan kedekatan seseorang dengan Allah melalui takwa dan amal saleh.

Kebanggaan yang berlebihan terhadap nasab bisa menyebabkan perpecahan di antara umat manusia. Sementara itu, surah al-Hujurat ayat 13 mengajak manusia untuk saling bersaudara dan menghormati satu lain. Demikian pula dengan asas dari persaudaraan, tidak lain adalah ketakwaan kepada Allah, bukan oleh kesombongan nasab atau garis keturunan. Wallah a’lam.

Makna Dialog Nabi Sulaiman as. dan Semut dalam Surah Annaml Ayat 18-19

0

Salah satu kisah unik yang ditemukan dalam Alquran adalah interaksi Nabi Sulaiman as. dengan semut dalam surah Annaml (27:18-19). Ayat ini mengisahkan Nabi Sulaiman, yang dianugerahi kemampuan berbicara dengan hewan, mendengar seekor semut yang memperingatkan koloninya untuk masuk ke sarang agar tidak terinjak oleh pasukan Nabi Sulaiman. Bagaimana kisah ini dipahami? Apakah benar semut dapat “berbicara” seperti manusia? Tafsir dan pandangan ulama memberikan jawaban menarik yang penuh hikmah. 

Baca Juga: Memaknai Kisah Nabi Ibrahim, Semut dan Boikot

Konteks Kisah Semut dalam Alquran

Allah berfirman dalam surah Annaml ayat 18-19:

حَتَّىٰٓ إِذَآ أَتَوۡاْ عَلَىٰ وَادِ ٱلنَّمۡلِ قَالَتۡ نَمۡلَةٞ يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّمۡلُ ٱدۡخُلُواْ مَسَٰكِنَكُمۡ لَا يَحۡطِمَنَّكُمۡ سُلَيۡمَٰنُ وَجُنُودُهُۥ وَهُمۡ لَا يَشۡعُرُونَ

Hingga apabila mereka sampai di lembah semut berkatalah seekor semut: Hai semut-semut, masuklah ke dalam sarang-sarangmu, agar kamu tidak diinjak oleh Sulaiman dan tentaranya, sedangkan mereka tidak menyadari” (QS An-Naml: 18)

فَتَبَسَّمَ ضَاحِكٗا مِّن قَوۡلِهَا وَقَالَ رَبِّ أَوۡزِعۡنِيٓ أَنۡ أَشۡكُرَ نِعۡمَتَكَ ٱلَّتِيٓ أَنۡعَمۡتَ عَلَيَّ وَعَلَىٰ وَٰلِدَيَّ وَأَنۡ أَعۡمَلَ صَٰلِحٗا تَرۡضَىٰهُ وَأَدۡخِلۡنِي بِرَحۡمَتِكَ فِي عِبَادِكَ ٱلصَّٰلِحِينَ

Maka dia (Sulaiman) tersenyum dengan tertawa karena (mendengar) perkataan semut itu, dan dia berdoa: ‘Ya Tuhanku, anugerahkanlah aku agar tetap mensyukuri nikmat-Mu yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada kedua orang tuaku, dan agar aku mengerjakan kebajikan yang Engkau ridhai; dan masukkanlah aku dengan rahmat-Mu ke dalam golongan hamba-hamba-Mu yang saleh.’ (QS An-Naml: 19)

Kisah ini menarik perhatian ahli tafsir yang mencoba memahami, apakah dialog semut ini harus dimaknai secara harfiah, metaforis, atau simbolis.

Baca Juga: Satu Lagi Kisah Toleransi dalam Al-Quran: Nabi Sulaiman dan Ratu Semut 

Pandangan Ulama Tafsir

Tafsir Harfiah: Semut yang Benar-Benar Berbicara

Mayoritas ulama klasik seperti Ibnu Katsir dalam tafsirnya cenderung memahami kisah ini secara harfiah. Allah swt memberikan Nabi Sulaiman kemampuan khusus untuk memahami bahasa hewan, termasuk semut. Ibnu Katsir menjelaskan bahwa Allah memperlihatkan mukjizat ini untuk menunjukkan keagungan kekuasaan-Nya. Semut tersebut benar-benar mengeluarkan suara yang dapat dimengerti oleh Nabi Sulaiman berkat mukjizat ini.

Imam Al-Qurthubi dalam Al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an menambahkan bahwa semut itu berbicara dalam bahasa yang dimengerti oleh kaumnya. Ini adalah salah satu bentuk keajaiban yang hanya mungkin terjadi atas kehendak Allah swt. Dialog ini juga mencerminkan kecerdasan semut dalam memahami bahaya dan memimpin komunitasnya.

Tafsir Metaforis: Bahasa Semut sebagai Simbolik

Beberapa ulama kontemporer seperti Sayyid Qutb dalam Fi Zilal al-Qur’an berpendapat bahwa kisah ini dapat dimaknai simbolis. Bahasa semut bukanlah bahasa manusia, melainkan komunikasi alami yang terjadi di antara mereka. Dalam konteks ini, mukjizat Nabi Sulaiman bukan sekadar memahami bahasa manusia, tetapi juga memahami bentuk komunikasi alami makhluk hidup, seperti feromon atau gerakan. Sayyid Qutb menekankan bahwa ini menunjukkan keharmonisan antara manusia yang bertakwa dengan alam sekitarnya, di mana Nabi Sulaiman menjadi contoh pemimpin yang memperhatikan bahkan makhluk terkecil sekalipun.

Dalam tafsir ini, dialog semut tidak harus dimaknai sebagai kata-kata literal seperti manusia berbicara, tetapi sebagai perwujudan dari mukjizat Nabi Sulaiman yang dapat memahami bahasa alam, sesuai dengan ilmu dan teknologi yang dianugerahkan Allah kepada beliau.

Tafsir Ilmiah: Perspektif Modern

Penelitian ilmiah telah membuktikan bahwa semut berkomunikasi dengan cara yang kompleks, menggunakan feromon, sentuhan, dan bahkan suara ultrasonik. Namun, apakah ini dapat disebut sebagai “berbicara”? Menurut tafsir modern, kisah ini tidak bertentangan dengan pengetahuan ilmiah. Mukjizat Nabi Sulaiman adalah kemampuan khusus untuk memahami komunikasi tersebut dalam bentuk yang menyerupai bahasa manusia.

Seorang mufassir modern, Wahbah az-Zuhaili dalam Tafsir al-Munir, menegaskan bahwa mukjizat ini mengajarkan pentingnya pemimpin memiliki hubungan yang penuh perhatian dengan semua ciptaan Allah, dari makhluk terbesar hingga terkecil. Kisah ini juga menjadi pengingat bahwa semua makhluk memiliki cara mereka sendiri untuk berkomunikasi, yang mungkin tidak sepenuhnya dipahami oleh manusia biasa.

Baca Juga: Refleksi Q.S. Annaml Ayat 17-18: Etika Berlalu Lintas Qur’ani

Pelajaran dari Kisah Semut

Kisah dalam ayat di atas mengandung banyak hikmah yang relevan untuk kehidupan. Pertama, kesadaran akan bahaya dan pemimpin yang bertanggung jawab. Semut yang memimpin koloninya menunjukkan sifat kepemimpinan yang bertanggung jawab. Ia memperingatkan koloninya agar menghindari bahaya, meskipun tidak ada niat buruk dari pihak Nabi Sulaiman dan pasukannya. Ini adalah pelajaran tentang kehati-hatian dan tanggung jawab seorang pemimpin dalam melindungi rakyatnya.

Kedua, kerendahan hati Nabi Sulaiman. Meskipun beliau adalah seorang nabi dan raja yang luar biasa, Nabi Sulaiman tetap rendah hati dan bersyukur atas nikmat Allah. Ia tidak sombong atas kemampuannya, tetapi justru merenungkan kebesaran Allah dan memohon untuk tetap menjadi hamba-Nya yang saleh.

Ketiga, harmoni antara manusia dan alam. Interaksi antara Nabi Sulaiman dan semut adalah contoh bagaimana manusia seharusnya menjaga hubungan dengan alam. Dalam Islam, manusia diberi amanah sebagai khalifah di bumi, yang berarti memiliki tanggung jawab untuk melindungi semua makhluk ciptaan Allah.

Keajaiban ilmu pengetahuan dalam Alquran. Kisah ini mengundang refleksi tentang betapa banyak rahasia alam yang belum sepenuhnya dipahami manusia. Komunikasi semut yang kompleks, baru dipahami sebagian melalui ilmu pengetahuan modern, menunjukkan bahwa wahyu Alquran jauh melampaui zaman ketika diturunkan.

Kisah semut dalam surah Annaml bukan sekadar cerita mukjizat, tetapi juga penuh dengan pesan moral, ilmiah, dan spiritual. Para ulama melalui tafsir mereka memberikan wawasan beragam, dari makna harfiah hingga simbolik, yang semuanya memperkaya pemahaman kita tentang kisah ini.

Alquran mengajarkan bahwa setiap makhluk, sekecil apa pun, memiliki peran dan pesan yang dapat diambil hikmahnya. Semut dalam surah Annaml adalah pengingat bahwa keajaiban Allah tidak terbatas pada makhluk besar atau fenomena luar biasa, tetapi juga terdapat dalam makhluk kecil yang sering kita abaikan.

Semoga kita, seperti Nabi Sulaiman, dapat mengambil pelajaran dari kisah semut ini: untuk menjadi pemimpin yang adil, manusia yang bersyukur, dan khalifah yang menjaga harmoni dengan alam. Allahu a’lam.

Hijrah ala Ratu Bilqis: Berani Berubah dan Berpikir Terbuka

0
Hijrah ala Ratu Bilqis: Berani Berubah dan Berpikir Terbuka
Hijrah ala Ratu Bilqis: Berani Berubah dan Berpikir Terbuka

Islam terus menjadi agama dengan pertumbuhan tercepat di dunia. Menurut laporan Pew Research Center, populasi muslim global diproyeksikan meningkat sekitar 35% dalam 20 tahun, dari 1,6 miliar pada 2010 menjadi 2,2 miliar pada 2030. Muslim diperkirakan akan menjadi 26,4% dari populasi dunia pada 2030, naik dari 23,4% pada 2010. Pertumbuhan ini didorong oleh tingkat kelahiran yang tinggi, populasi muda, dan perbaikan kualitas hidup di negara-negara mayoritas muslim.

Kementerian Agama RI mencatat, berdasarkan data demografis, mayoritas penduduk Indonesia adalah muslim, dengan jumlah sekitar 229,62 juta jiwa atau 87,2% dari total populasi Indonesia yang mencapai 269,6 juta jiwa. Jika dibandingkan dengan proyeksi populasi muslim global yang diperkirakan mencapai 2,2 miliar pada tahun 2030 (23% dari populasi dunia), jumlah penduduk muslim di Indonesia menyumbang sekitar 13,1% dari total umat Islam di seluruh dunia.

Angka pertumbuhan umat muslim tidak sekadar bicara soal jumlah. Di balik statistik itu, ada cerita-cerita nyata tentang orang-orang yang menemukan keyakinan baru. Mereka membutuhkan keberanian untuk meninggalkan kepercayaan lama dan menghadapi tantangan sosial demi menemukan kebenaran yang mereka yakini.

Salah satu kisah yang menggambarkan perjalanan ini adalah kisah Ratu Bilqis. Meskipun seorang pemimpin kuat dengan keyakinan sendiri, dia tetap mau mendengarkan pemikiran baru. Sikapnya menunjukkan bahwa terbuka terhadap pemikiran lain bisa membuat kita bijak dalam mengambil keputusan dan menemukan kebenaran yang sebenarnya

Ratu Bilqis dan Kebijaksanaan Musyawarah

Setelah menerima surat dari Nabi Sulaiman, Ratu Bilqis tidak bertindak gegabah. Ia mengumpulkan para pembesarnya untuk meminta pendapat mereka. Diceritakan dalam Alquran, ia berkata:

قَالَتْ يٰٓاَيُّهَا الْمَلَؤُا اَفْتُوْنِيْ فِيْٓ اَمْرِيْۚ مَا كُنْتُ قَاطِعَةً اَمْرًا حَتّٰى تَشْهَدُوْنِ

Dia (Balqis) berkata, “Wahai para pembesar, berilah aku pertimbangan dalam urusanku (ini). Aku tidak pernah memutuskan suatu urusan sebelum kamu hadir (dalam majelisku).” (Q.S. An-Naml [27]: 32).

Fakhr al-Din al-Razi dalam Mafatih al-Ghayb (juz 24/hlm. 555) menjelaskan bahwa istilah afṭūnī (berikanlah fatwa kepadaku) berasal dari kata faty yang berarti sesuatu yang muda dan segar. Dalam hal ini, Ratu Bilqis meminta pandangan baru yang matang dari para penasihatnya. Sikapnya yang tidak bertindak sepihak mencerminkan kepemimpinan yang inklusif, yang menempatkan musyawarah sebagai bagian integral dari pengambilan keputusan.

Pelajaran dari tindakan Bilqis ini adalah bahwa seorang pemimpin yang bijak adalah mereka yang mendengarkan dan menghormati pandangan orang lain, terutama dalam menghadapi tantangan besar.

Keberanian untuk Menguji dan Menerima

Setelah bermusyawarah, Bilqis memutuskan untuk menguji Nabi Sulaiman dengan mengirim hadiah. Namun, Nabi Sulaiman menolak hadiah tersebut, menunjukkan bahwa tujuannya adalah menyampaikan kebenaran, bukan kekayaan atau kekuasaan.

Bilqis akhirnya menemui Nabi Sulaiman. Tiba-tiba ia dihadapkan pada keajaiban ketika singgasananya dipindahkan dalam sekejap mata, dan ia diminta untuk masuk ke dalam sebuah istana kaca yang sangat bening.

Baca juga: Kisah Al-Quran: Ratu Balqis, Pemimpin Perempuan nan Demokratis dan Diplomatis

Ar-Razi (juz 24/hlm. 559) memberikan penjelasan mendalam tentang peristiwa ini. Menurutnya, lantai kaca istana yang dibangun Nabi Sulaiman menyerupai air jernih. Ketika Bilqis melihatnya, ia mengira bahwa lantai itu adalah air, sehingga ia mengangkat kainnya untuk melangkah. Keajaiban ini semakin memperkuat keyakinannya tentang kekuasaan Allah dan kenabian Nabi Sulaiman.

Bilqis kemudian berkata yang diabadikan dalam Alquran:

قَالَتْ رَبِّ اِنِّيْ ظَلَمْتُ نَفْسِيْ وَاَسْلَمْتُ مَعَ سُلَيْمٰنَ لِلّٰهِ رَبِّ الْعٰلَمِيْنَ ࣖ

Dia (Balqis) berkata, “Ya Tuhanku, sesungguhnya aku telah berbuat zalim terhadap diriku. Aku berserah diri bersama Sulaiman kepada Allah, Tuhan semesta alam.” (Q.S. An-Naml [27]: 44).

Dalam tafsirnya, Ar-Razi menyoroti bahwa ucapan Bilqis ini menandakan pengakuan atas kesalahan masa lalunya, baik karena kekufurannya maupun karena prasangka buruk terhadap Nabi Sulaiman. Keputusannya untuk berserah diri kepada Allah adalah puncak dari perjalanan spiritualnya yang penuh dengan kebijaksanaan dan keberanian.

Hudhud: Simbol Teknologi dalam Penyebaran Kebenaran

Burung Hudhud dalam kisah ini memainkan peran penting dalam menyampaikan berita tentang Ratu Bilqis kepada Nabi Sulaiman. Dalam konteks modern, Hudhud dapat diibaratkan sebagai simbol teknologi, alat untuk menyampaikan informasi dengan cepat dan akurat.

Menurut Tafsir Ar-Razi (juz 24/hlm. 550) Hudhud memiliki kemampuan unik untuk mendeteksi sumber air dan membawa berita yang “yakin” (pasti dan terverifikasi). Hal ini dapat dipahami sebagai metafora untuk teknologi digital saat ini yang memungkinkan akses informasi dengan cepat dan luas.

Baca juga: Kisah Burung Hudhud, Pasukan Intelijen Nabi Sulaiman

Teknologi di era modern dapat berperan seperti Hudhud, membantu menyebarkan kebenaran Islam kepada mereka yang ingin mencari informasi. Namun, seperti halnya Hudhud yang membawa berita yang valid, informasi yang tersebar melalui teknologi juga harus diverifikasi dan digunakan untuk tujuan yang baik.

Sebagaimana Hudhud membuka jalan dakwah Nabi Sulaiman kepada Ratu Bilqis, teknologi saat ini adalah Hudhud umat Islam untuk menjangkau dunia. Tanggung jawab kita adalah memastikan bahwa informasi yang disampaikan adalah benar, bijak, dan membawa manfaat.

“Jika Hudhud adalah penghubung di masa Nabi Sulaiman, teknologi adalah Hudhud di era modern untuk membawa pesan Islam ke seluruh penjuru dunia.”

Pelajaran dari Hijrah Ratu Bilqis

Kisah hijrah Ratu Bilqis memberikan pelajaran yang relevan bagi kehidupan modern:

  1. Berpikir Terbuka Adalah Awal Perubahan
    Keputusan Bilqis untuk tidak langsung menolak surat Nabi Sulaiman menunjukkan pentingnya sikap terbuka terhadap ide-ide baru dan pencarian kebenaran.
  2. Musyawarah Adalah Landasan Kepemimpinan
    Melibatkan orang lain dalam pengambilan keputusan adalah tanda kepemimpinan yang bijak. Bilqis menunjukkan bahwa musyawarah tidak hanya memperkuat legitimasi keputusan, tetapi juga menghasilkan solusi terbaik.
  3. Keberanian untuk Berubah
    Sebagai pemimpin yang kuat, Bilqis menunjukkan keberanian untuk mengubah keyakinannya setelah menyadari kebenaran. Transformasi ini menjadi teladan bagi mereka yang ingin keluar dari zona nyaman untuk menemukan kebenaran sejati.
  4. Diplomasi Lebih Baik daripada Kekerasan
    Nabi Sulaiman menunjukkan bahwa perubahan besar dapat dicapai melalui diplomasi, bukan peperangan. Ajakan yang penuh hikmah dan keajaiban membuka hati Bilqis untuk menerima Islam.

Alhasil, kisah Ratu Bilqis mengajarkan kita bahwa perubahan sejati datang dari keterbukaan pikiran dan keberanian untuk mengakui kesalahan. Dalam perjalanan spiritual, kita tidak perlu takut meninggalkan keyakinan lama jika menemukan kebenaran baru. Kepemimpinan yang baik ditandai dengan kemampuan mendengarkan, berpikir terbuka, dan berani berubah.

Transformasi bukan soal kekuatan fisik, melainkan kekuatan hati dan pikiran. Bilqis membuktikan bahwa seorang pemimpin sejati adalah mereka yang rendah hati, mau belajar, dan berani mengakui keterbatasan dirinya. Dalam setiap perjalanan menemukan kebenaran, diperlukan keberanian untuk melangkah keluar dari zona nyaman dan mempertanyakan apa yang selama ini diyakini. Wallahu ‘alam.

Mengenal Tafsir Jami‘ al-Bayan Karya Muhammad Al-Ijiy

0
Jami‘ al-Baya fi Tafsir al-Qur’an karya Muhammad al-Ijiy
Jami‘ al-Baya fi Tafsir al-Qur’an karya Muhammad al-Ijiy

Nama Jami‘ al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an dalam kajian tafsir di Indonesia memang tidak begitu atau bahkan tidak populer sama sekali. Hasil pencarian yang penulis lakukan terhadap karya tersebut justru mendapati karya lain yang memiliki nama yang hampir sama, hanya frasa penjelasnya yang sedikit berbeda, yaitu Jami‘ al-Bayan fi Ta’wil al-Qur’an karya Muhammad ibn Jarir al-Thabariy (w. 310 H.). Sedangkan karya yang disebut pertama merupakan karya Muhammad ibn Shafiy al-Din ‘Abd al-Rahman al-Ijiy al-Syiraziy (832-906 H./1429-1500 M.).

Padahal, jejak keberadaannya ada dan penulis temukan sendiri dalam sebuah naskah Jalalain yang kini tersimpan di Museum Masjid Agung Jawa Tengah (baca ulasan lengkapnya pada Jami‘ al-Bayan: Jejak Tafsir Periferal di Indonesia). Oleh karenanya, menjadi relevan untuk memberikan ulasan tentangnya berikut dengan pengarangnya.

Biografi Muhammad Al-Ijiy

Jami‘ al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an (selanjutnya disingkat Jami‘ al-Bayan) ditulis oleh Muhammad ibn Shafiyy al-Din ‘Abd al-Rahman ibn Muhammad ibn ‘Abd al-Salam al-Husainiy al-Shafiyy al-Ijiy al-Syiraziy al-Syafi‘iy (selanjutnya disebut Al-Ijiy). Al-Ijiy sendiri dalam mukadimahnya menyebut dirinya sendiri dengan Mu‘in ibn Shafiyy. Pernyataan ini yang mungkin menjelaskan nama Al-Ijiy yang dalam riwayat lain disebut ‘Abdullah Mu‘in al-Din, sebagaimana dikutip kritikus naskah kitab, ‘Abd al-Hamid Handawiy.

Al-Ijiy lahir pada tahun 832 H. atau kira-kira tahun 1429 M. di Eij, sebuah kota kuno di sekitar kawasan Syiraz, Iran (dulu disebut Faris). Ayahnya, ‘Abd al-Rahman, merupakan seorang sufi penganut mazhab Syafi’i yang turut memberikan pengaruh kepada Al-Ijiy dalam bidang tafsir melalui karya tafsir atas surah Al-An‘am [6].

Baca juga: Jami’ al-Bayan: Jejak Tafsir Periferal di Indonesia

Tidak banyak informasi yang bisa diperoleh terkait dengan rihlah ilmiah yang Al-Ijiy lakukan sepanjang hidupnya. Meski demikian, ia diketahui telah menulis beberapa karya. Di antaranya adalah Jami‘ al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an, Tafsir Surah Al-Fatihah, Tahafut al-Falasifah, Syarah Al-Arba‘in al-Nawawiyyah, Syu‘ab al-Iman, Hasyiyah ‘ala al-Talwih karya Al-Taftazaniy, serta Bayan al-Ma‘ad al-Jusmaniy wa al-Ruh.

Al-Ijiy wafat pada tahun 906 H. atau menurut satu riwayat pada 905 H. dan bertepatan dengan kira-kira tahun 1500 M. Menurut informasi yang diberikan oleh Handawiy, tertulis dalam sampul kitab Jami‘ al-Bayan percetakan Pakistan yang menuliskan tahun wafatnya dengan tahun 894 H. (832-894 H.).

Identitas Kitab Jami‘ al-Bayan

Al-Ijiy dalam mukadimah karyanya menyebutkan bahwa nama yang diberikan kepada karyanya tersebut adalah Jami‘ al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an. Nama ini sama dengan yang disebutkan oleh Al-Zarkaliy (w. 1396 H.) dalam Al-A‘lam. Akan tetapi sebagaimana dijelaskan oleh Handawiy, Hajiy Khalifah dalam Kasyf al-Dzunun menyebutkan jika karya Al-Ijiy tersebut bernama Jawami‘ al-Tibyan fi al-Tafsir.

Selain perbedaan nama, informasi Hajiy Khalifah ini juga rancu terkait dengan angka-angka yang diberikan. Ia menyebutkan bahwa karya tersebut ditulis pada Jumadilawal 904 H. dan selesai pada Ramadan 905 H., ditulis selama kurang lebih 1 tahun 3 bulan. Sedangkan Al-Ijiy menjelaskan dalam mukadimahnya bahwa ia menulis karyanya tersebut dalam kurun waktu 2 tahun 3 bulan ketika ia berusia 40 tahun. Keterangan Al-Ijiy ini berarti bahwa ia menulis karyanya sekitar tahun 872-an terhitung dari tanggal ia dilahirkan.

Terlepas dari kerancuan angka-angka ini, informasi yang diberikan oleh Hajiy Khalifah ini secara umum identik dengan identitas karya yang tengah dibicarakan saat ini. Meskipun penulis secara pribadi tetap mempertanyakan kesamaan karya yang dibicarakan oleh Hajiy Khalifah tersebut.

Baca juga: Ibn Jarir At-Thabari: Sang Bapak Tafsir

Berbeda dengan biografinya, informasi mengenai karya Al-Ijiy cukup banyak dan mudah didapatkan, terlebih dari mukadimah yang ia berikan di awal karyanya. Misalnya informasi terkait alasan penulisan, metode penafsiran, teknik penulisan, atau rujukan yang ia gunakan.

Jami‘ al-Bayan ia tulis dalam situasi dan kondisi ketika tren semangat para pelajar telah mengalami penurunan. Meski begitu, para pelajar ini tetap berharap dapat menguasai berbagai bidang keilmuan. Itu sebabnya mereka cenderung menyukai penjelasan yang to the point (ijaz) dan tidak bertele-tele (tathwil). Dan langkah ini yang dipilih oleh Al-Ijiy dalam teknik penulisannya:  ringkas (ijmaliy) pada hal-hal yang dianggap penting.

Secara umum, Al-Ijiy mendasarkan tafsirnya pada riwayat. Dalam pendasarannya itu, Al-Ijiy berpegang pada ‘Imad al-Din Ibn Katsir dalam tafsirnya-mungkin yang dikehendaki adalah Tafsir al-Qur’an al-‘Adzim-serta berpegang pada Muhy al-Sunnah al-Imam Baghawiy dalam tafsirnya, Ma‘alim al-Tanzil. Sedangkan dalam penyebutan hadis, Al-Ijiy merujuk pada Al-Shihhah al-Sittah atau kitab-kitab hadis sahih yang berjumlah enam.

Baca juga: Kitab Al-Mashabih An-Nuraniyyah: Pensyairan (Nazam) Hadis tentang Alquran

Di luar itu, karya-karya tafsir yang menjadi rujukan Al-Ijiy di antaranya adalah Al-Kasysyaf ‘an Haqa’iq Ghawamidl al-Tanzil karya Al-Zamakhsyariy (w. 538 H.), Al-Wasith fi Tafsir al-Qur’an al-Majid karya Al-Wahidiy (w. 468 H.), Madarik al-Tanzil wa Haqa’iq al-Ta’wil karya Al-Nasafiy (w. 710 H.), Anwar al-Tanzil wa Asrar al-Ta’wil karya Al-Baidlawiy (w. 685 H.), serta Jami‘ al-Bayan fi Ta’wil al-Qur’an karya Al-Thabariy (w. 310 H.).

Yang cukup menarik adalah bahwa Al-Ijiy cukup mengapresiasi Al-Kasysyaf karya Al-Zamakhsyariy. Hal ini terlihat dari bagaimana ia juga merujuk pada syarah atas karya tersebut, seperti Futuh al-Ghaib fi al-Kasyf ‘an Qina‘ al-Raib karya Al-Thaiyy (w. 743 H.), Al-Kasyf yang menurut Handawiy mungkin syarah yang ditulis oleh ‘Umar ibn ‘Abd al-Rahman al-Farisiy al-Qazwiniy (w. 745 H.), serta Syarah Al-Muhaqqiq Sa‘d al-Din Mas‘ud ibn ‘Umar al-Taftazaniy.

Catatan Akhir

Minimnya informasi yang dapat dijumpai mengenai Al-Ijiy berikut dengan tafsirnya boleh jadi merupakan alasan mengapa karyanya tersebut tidak sepopuler karya-karya tafsir yang lain. Wallahu a‘lam bi al-shawab. []

Respons Abū Āshī Terhadap Abū Zaid Tentang Kaidah al-‘Ibrah bi ‘Umūm al-Lafẓ

0

Perbedaan pemahaman ketika ada ayat umum yang diturunkan disebabkan oleh sebab yang khusus, ada yang berpatokan pada keumuman teks ada yang berpatokan pada kekhususan sebab. Dua kaidah ini dijelaskan secara detail dalam beberapa kitab ‘ulum al-Qur’an. Kaidah yang kerap kali mendapatkan kritikan adalah kaidah al-‘ibrah bi ‘umūm al-lafẓ, salah satu kritikusnya adalah Abū Zaid. Kritik ini tidak diamini saja oleh ulama lainnya, melainkan ada yang meresponsnya, seperti Abū Āshī. Berikut penjelasannya.

Baca Juga: Belajar Sabab Nuzul dalam Menafsirkan Al Quran Sangat Penting!

Pengertian al-‘Ibrah bi ‘Umūm al-Lafẓ

‘Umūm al-lafẓi tersusun dari dua kalimat isim yaitu ‘umūm dan al-lafẓi. ‘Umūm secara etimologi baik dari kata ‘ām atau ‘umūm berarti mencakup (mencakup pada semuanya). (Muhammad ‘Āsyūr, Qā’idah al-Ibrah bi ‘Umūm al-Lafżi lā bi Khuṣūṣ al-Sabab wa Taṭbīqātihā al-Fiqhiyyah, 304). Apabila menggunakan kata ‘ammāh maka yang dimaksud adalah antonim dari kata khāṣṣah. (Ibn Manżūr, Lisān al-‘Arab, 3112).

‘Umūm secara terminologi adalah teks yang mencakup pada semua sesuatu yang pantas pada semua individu sampai menghabiskannya tanpa batas. (‘Abd. al-Ilah Ḥawrī, Asbāb al-Iktilāf al-Mufassirīn fī Tafsīr Āyāt al-Ahkām, 179).

Dari penjelasan tersebut dapat dipahami bahwa ‘umūm adalah teks yang mencakup pada arti yang pantas bagi teks itu tanpa adanya batasan, sehingga bisa mencakup pada semua bagian dari teks tersebut. Apabila dihubungkan dengan kata al-‘ibrah, maka arti lengkapnya adalah “Ketika ada teks Alquran yang umum, sedangkan sebab dari turunnya teks tersebut khusus, maka yang menjadi tolak ukur atau yang diperhitungkan adalah keumuman teksnya.”

Baca Juga: Telusur Kaidah Asbabunnuzul dalam Kitab-Kitab ‘Ulūm al-Qur’ān

Kritik Abū Zaid terhadap Kaidah “al-‘Ibrah bi ‘Umūm al-Lafẓ”

Nasr Hāmid Abū Zaid mengkritisi pandangan ulama terkait kaidah ‘umūm al-lafẓi dan khuṣūṣ al-sabab, dia berkata bahwa ketaatan pada keumuman teks dan mengabaikan kekhususan sebab dalam semua teks Alquran akan membawa hasil yang sulit diterima oleh pemikiran keagamaan. Paling berbahaya dari hasil ini adalah tetap berpegang pada “‘umūm al-lafẓi”. Sementara menyia-nyiakan “khuṣūṣ al-sabab”, menurutnya, sikap ini membawa pengabaian terhadap hikmah al-tasyrī’ yang disyariatkan secara bertahap dalam masalah-masalah halal-haram khususnya dalam masalah makanan dan minuman, sebagaimana proses pengharaman khamr. (Naṣr Hāmid Abū Zaid, Mafhūm al-Naṣ Dirāsah fī ‘Ulūm al-Qur’ān, 105)

Dia memberi suatu contoh mengenai tahapan dalam pengharaman khamr, lalu menanggapinya dengan ucapan:

“Apakah logis setelah itu para ulama masih tetap berpegang pada keumuman teks tanpa memperhitungkan konteks khusus sebab turunnya ayat? Jika keumuman teks menjadi dasar untuk memahami nas, maka bisa saja ada yang berpegang pada ayat pertama atau ayat kedua (ayat-ayat tentang khamr), yang pada akhirnya bisa menghapus seluruh legislasi dan hukum syariat. Hal ini bukan sekedar asumsi, karena ada dari kalangan ulama fikih yang menghadapi situasi serupa dengan ini, seperti firman Allah QS. Al-An’am [6] ayat 145:

قُلْ لَّآ اَجِدُ فِيْ مَآ اُوْحِيَ اِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلٰى طَاعِمٍ يَّطْعَمُهٗٓ

“Katakanlah, “Tidak kudapati di dalam apa yang diwahyukan kepadaku sesuatu yang diharamkan memakannya bagi yang ingin memakannya,”

Imam Malik berpendapat dengan membatasi larangan berdasarkan struktur gramatikal ayat, sedangkan Imam Syafi’i mendasarkan pendapatnya pada asbab al-nuzul.” (Naṣr Hāmid Abū Zaid, 107)

Baca Juga: Kaidah Asbabun Nuzul: Manakah yang Harus didahulukan, Keumuman Lafaz atau Kekhususan Sabab?

Respons Abū ‘Āshī terhadap Kritik Abū Zaid

Terdapat dua respons yang disampaikan oleh Abū ‘Āshī terhadap pendapat Abū Zaid. Pertama, tentang apabila seseorang hanya melihat keumuman teks maka konsekuensinya mengabaikan hikmah al-tasyrī’ yang disyariatkan secara bertahap seperti syariat pengharaman khamr. Dalam hal ini, Abū ‘Āshī mengatakan bahwa ayat dalam surah Albaqarah (tentang khamr) sangat jelas berbicara tentang manfaat, dan orang yang bijak pasti memilih manfaat, sehingga tidak ada keumuman dalam ayat tersebut.

 Sedangkan ayat kedua bersifat terbatas (muqayyad), juga tidak ada keumuman di dalamnya:

لا تَقْرَبُوا الصَّلاةَ وَأَنْتُمْ سُكَارَى حَتَّى تَعْلَمُوا مَا تَقُولُونَ

“Janganlah kamu mendekati shalat ketika kamu dalam keadaan mabuk, sampai kamu sadar apa yang kamu ucapkan.” QS. An-Nisa’, [4]: 43.

 Oleh karena itu, maka tidak ada dasar untuk berpegang pada ayat ini dan ayat itu (Albaqarah), yang pertama menyebutkan manfaat dan mereka berpegang pada hal yang mengandung manfaat, sedangkan yang kedua bersifat terbatas dan mereka berpegang pada batasan tersebut.

Pada masa Rasulullah saw., khamr sangat meresap dalam kehidupan masyarakat saat itu dan menjadi bagian dari kebiasaan mereka. Oleh karena itu, hukum tentang keharaman khamr tidak diberlakukan secara langsung, akan tetapi secara bertahap, karena pembuatan hukum secara terburu-buru bisa menimbulkan dampak negatif, seperti penolakan dan ketidakpatuhan masyarakat. (Muhammad Sālim Abū ‘Āshī, 117-118).

Kedua, tentang pernyataannya bahwa dia tidak hanya berasumsi belaka tetapi itu terjadi pada ulama fikih yang hanya berpegang pada keumuman teks dalam memahami surah al-An’am [6]: 145. Dalam hal ini Abū ‘Āshī berkata:

“Ayat ini sudah dijelaskan oleh pendapat para ulama. Namun, demikian, sebab turunnya ayat ini bukanlah alasan yang mendorong mereka untuk memberikan pemahaman tersebut. Yang mendorong mereka adalah adanya dalil-dalil lain yang mengharuskan membawa makna ayat ini-maksudnya, firman Allah “قل لا اجد” kepada makna yang berbeda dari arti dhahirnya, makna dhahir ayat ini adalah pembatasan keharaman hanya pada bangkai, darah yang mengalir, dan daging babi sebagai pembatasan secara mutlak.”

Namun, dalil-dalil lain menambahkan keharaman-keharaman lain yang tidak disebutkan dalam ayat ini, sehingga tidak mungkin menggabungkan antara dalil-dalil tersebut dengan makna ayat ini kecuali dengan meninggalkan makna zahir ayat ini. Itu pun jika diterima, bagaiman jika tidak diterima, dan mengatakan bahwa makna zahirnya adalah pembatasan secara umum yang mungkin bermakna mutlak atau relative (tidak mutlak), yakni makna yang bersifat global (mujmal) di antara dua kemungkinan ini?

Dan kita mengatakan bahwa dalil-dalil lainlah yang menjelaskan makna global tersebut, sehingga menjadi jelas bahwa yang dimaksud adalah pembatasan relative (hasr idhāfī) secara khusus. Atau, kita katakan bahwa makna zahir ini memang pembatasan relative itu sendiri, sesuai dengan kebiasaan dalam Bahasa Arab, dimana sebagian besar pembatasan dalam ucapan mereka bersifat relative. Pembatasan secara mutlak dalam ucapan mereka hanya dapat dipahami dengan adanya dalil pendukung. (Muhammad Sālim Abū ‘Āshī, 128)

Kesimpulan

Akhir dari kesimpulan ini, penulis mengutip apa yang juga dikutip oleh Abū ‘Āshī dari perkataan gurunya, Muhammad Muhammad Abū Mūsā, dia berkata:

Al-‘ibrah bi ‘umūm al-lafẓ lā bi khuṣūṣ al-sabab”, maka, peristiwa-peristiwa yang melatarbelakangi turunnya ayat bukanlah batasan yang membatasi makna Alquran sehingga tetap terkungkung dalam lingkupnya. Akan tetapi, dengan keluasan dan keumumannya, Alquran berbicara kepada umat manusia di setiap waktu dan tempat, ia menyerukan kebenaran dan mengajak kepada jalan yang benar.” Allahu A’lam.

Mengenal Tradisi Namatang Masyarakat Lombok

0
ilustrasi tradisi namatang
ilustrasi tradisi namatang

Menjelang Magrib di berbagai daerah, masih dapat dijumpai sekawanan anak-anak yang pergi ke surau-surau atau rumah gurunya untuk mengaji Alquran. Di antara mereka, ada yang sudah pandai membaca Alquran, ada juga yang masih di jenjang Iqro’ (belum sampai tingkatan Alquran). Meski suasananya tidak sesyahdu dulu, yakni ketika anak-anak belum mengenal gawai, dan lainnya, tetapi semangat anak-anak untuk belajar membaca Alquran patut diapresiasi.

Di Lombok, pemandangan seperti ini juga masih sering dijumpai. Anak-anak kecil seusia anak Sekolah Dasar belajar Alquran di bawah bimbingan seorang guru. Dalam jangka waktu tertentu, mereka yang sudah hatam membaca Alquran di bawah bimbingan guru tersebut atau mereka yang dirasa sudah bagus bacaan Alqurannya akan melewati proses semacam demonstrasi atau uji publik yang disebut dengan Namatang.

Baca Juga: Membaca Surah-Surah Pilihan: Antara Amalan, Tradisi dan Doa

Namatang sebagai uji publik kelayakan bacaan Alquran

Salah satu tradisi yang sampai sekarang masih lestari di beberapa daerah di Lombok adalah tradisi Namatang. Namatang atau Namatan sendiri berasal dari kata tamat. Ia merupakan acara seremonial yang menjadi simbol bahwa anak yang mengaji Alquran kepada seorang guru tertentu telah khatam membaca Alquran dan dinyatakan lancar bacaan Alqurannya.

Dalam praktiknya, anak-anak yang mengaji kepada seorang guru terlebih dahulu akan diseleksi oleh guru yang bersangkutan. Mereka yang sudah hatam bacaan Alqurannya atau yang bacaannya sudah bagus dan fasih dianjurkan untuk mengikuti acara Namatang.

Namatang sendiri merupakan acara seremonial yang biasanya menjadi salah satu rangkaian dalam acara Maulid Nabi. Anak-anak yang sudah terpilih untuk ikut acara Namatang dipersiapkan sedemikian rupa dan dibawa ke tempat acara maulid nabi daerah setempat, biasanya di masjid atau di surau. Hal ini biasanya dilakukan sebelum uraian hikmah maulid Nabi Muhammad saw. dimulai.

Di hadapan jamaah dan tokoh agama (biasanya disebut TGH/Tuan Guru), mereka diminta untuk membaca surah-surah pendek, mulai dari surah ad-Dhuha sampai an-Nas secara bergiliran. Ketika mereka membacakan ayat-ayat tersebut, Tuan Guru akan menyimak dan membetulkan bacaan anak-anak yang Namatang tersebut bila terdapat kekeliruan. Selain sebagai simbol kemahiran anak-anak didik dalam membaca Alquran, acara seremonial ini juga sekaligus menjadi uji publik bacaan Alquran bagi anak-anak yang bersangkutan.

Acara Namatang ini menjadi kebanggaan tersendiri khususnya bagi orang tua yang anaknya ikut sebagai peserta Namatang. Maka dari itu, guna merayakan kebahagiaan karena anaknya sudah hatam Alquran, mereka mengadakan acara selametan dengan mengundang sanak keluarga dan tetangga sekitar. Kegiatan selametan seperti ini biasanya disebut dengan istilah Gawe Namatang.

Bahkan di beberapa daerah, para wali murid ini membuat sajian yang dirangkai sedemikian rupa untuk diantarkan ke rumah sang guru ngaji. Masing-masing orang tua murid membuat dua hantaran, satu untuk diantarkan kepada guru ngaji dan satunya lagi untuk Tuan Guru dan para jamaah yang hadir dalam acara Namatang (acara maulid nabi). Dalam tradisi masyarakat lombok, hantaran ini disebut sebagai Dulang Penamat.

Dulang Penamat sendiri merupakan tumpukan makanan yang disusun sedemikian rupa sehingga menjulang tinggi membentuk seperti gunung. Isinya pun bermacm-macam, terdiri dari buah-buahan, makanan kering bahkan uang kertas. Komponen-komponen Dulang Penamat tersebut disusun membentuk gunung dan dihias semenarik mungkin sehingga menjadi daya tarik tersendiri bagi banyak orang.

Baca Juga: Membaca Surah-Surah Pilihan: Antara Amalan, Tradisi dan Doa

Namatang sebagai ekspresi rasa syukur

Salah satu nikmat terbesar yang dianugerahkan kepada manusia adalah nikmat iman dan Islam beserta segala hal yang menjadi wasilah untuk memahami Islam itu sendiri. Dengan demikian, bisa membaca Alquran, kitab yang merupakan sumber ajaran Islam menjadi salah satu nikmat terbesar yang wajib disyukuri oleh setiap muslim. Sebab, tak dapat dipungkiri bahwa mahir membaca Alquran merupakan tangga awal untuk selanjutnya belajar memahami lautan ilmu dan hidayah dalam kitab suci Alquran.

Dalam Kitab Ta’lim al-Mutaallim, Syaikh az-Zarnuji menjelaskan bahwa ada empat cara yang dapat dilakukan seseorang untuk mengekspresikan rasa syukur. Pertama, syukur dengan lisan, yakni dengan menyebut-nyebut nikmat Allah swt. seraya dibarengi dengan puji-pujian kepada-Nya.

Kedua, syukur dengan hati, yakni dengan meyakini bahwa nikmat yang dipreolehnya didapat dari Allah swt. Ketiga, bersyukur dengan anggota badan, yakni dengan mempergunakan tubuh fisik dan fasilitas lain yang diberikan oleh Allah untuk beribadah dan menghambakan diri kepadaNya. Terakhir adalah syukur dengan harta, yakni mempergunakan harta benda untuk brsedekah dan berinfak sebagai bentuk rasa syukur atas nikmat yang Allah berikan.

Acara Namatang yang dilakukan masyarakat Lombok juga merupakan salah satu bentuk syukur atas pencapaian sang anak. Dulang Namatang yang dibuat sedemikian rupa menjadi ajang para wali murid untuk mengekspresikan syukur mereka dengan menginfakkan sebagian hartanya.

Terkait dengan syukur, menurut Syaikh Muhammad Abdul Latif Khotib dalam kitab Audhah at-Tafasir, syukur itu tidak cukup diucapkan dengan lisan tetapi juga harus dengan ibadah, sedekah, puasa dan amaliah lainnya. Wallah a’lam

Mus’ab bin Umair: Duta Alquran Pertama di Madinah

0
Mus'ab bin Umair
Mus'ab bin Umair

Sebelum Rasulullah saw. dan kaum muslimim hijrah ke Madinah, beliau telah menunjuk Mus’ab bin Umair sebagai duta atau utusan untuk pertama kali mendakwahkan Islam dan mengajarkan Alquran di Madinah. Mus’ab adalah sosok pemuda yang cerdas, fasih membaca Alquran, dan dikenal dengan julukan Muqri’ al-Madinah (pembaca Alquran bagi penduduk Madinah).

Biografi Mus’ab bin Umair

Lahir dan tumbuh besar di lingkungan keluarga hartawan di Makkah, Mus’ab bin Umair dikenal sebagai pemuda tampan dan sangat dikagumi oleh masyarakat khususnya para perempuan. Beliau hidup dalam kemewahan dan selalu dimanjakan dengan segala kemudahan yang ditawarkan oleh keluarganya.

Namun hal tersebut berubah ketika Mus’ab bin Umair mendengar ajaran Islam yang dibawa oleh Rasulullah saw. Dengan kecerdasannya, Mus’ab menyadari bahwa praktik agama yang dianut kaumnya tidaklah benar, sedang apa yang diusung oleh Nabi Muhammad kala itu merupakan suatu ajaran yang membawa kebenaran.

Tanpa ada yang mengajak Mus’ab bin Umair, beliau langsung datang ke rumah al-Arqam, tempat Rasulullah saw. dan para sahabat sering berkumpul untuk membaca dan mempelajari Alquran. Sebagaimana dikisahkan oleh Ibnu Sa’ad, tidak seorang pun dari keluarganya yang mengetahui hal itu, termasuk ibunya sendiri yang sangat memanjakannya. (Thabaqat al-Kubra 3/117)

Baca Juga: Kisah Hijrah Shuhaib bin Sinan yang Disinggung dalam Alquran

Ketika ayat-ayat Alquran dibacakan oleh Rasulullah saw, hatinya tersentuh dan beliau merasa damai. Mus’ab pun menyatakan keisalamannya, meskipun beliau tahu bahwa keputusannya akan membawa konsekuensi besar, terutama dari keluarganya. Oleh karena hal itulah Mus’ab bin Umair termasuk salah satu dari as-Sabiqun al-Awwalun yang dibanggakan oleh Allah dalam surah at-Taubah ayat 100.

Mereka adalah kelompok yang mendahului dalam menerima kebenaran Islam, meskipun harus mengorbankan berbagai kenikmatan duniawi dan menghadapi berbagai tantangan serta penderitaan. Begitu pula Mus’ab harus menghadapi berbagai derita dan siksaan sebagaimana sahabat lainnya, bahkan beliau mendapatkan siksaan yang lebih parah.

Hal tersebut membuat Rasul saw. sangat iba dan sedih. Sebagaimana dalam kitab Kanz al-Ummah (3/321), diriwayatkan oleh Ali bin Abi Thalib, “Kami sedang duduk bersama Rasulullah di masjid, kemudian Mus’ab bin Umair datang, dia tidak mengenakan apa pun kecuali jubahnya yang ditambal bulu.”

“Rasulullah saw. melihatnya dan meneteskan air mata sebab kondisi Mus’ab yang berubah drastis dan memprihatinkan. Beliau saw. bersabda, ‘Bagaimana keadaan kalian pada suatu hari ketika kalian pergi di waktu pagi dengan satu pakaian, dan pergi di waktu petang dengan pakaian yang lain. Dan bila diberikan satu hidangan, diletakkan pula satu hidangan yang lain. Dan kamu menutupi (menghias) rumah kamu sebagaimana kamu memasang kelambu Ka’bah?”

Sahabat menjawab, “Wahai Rasulullah, tentunya keadaan kami di waktu itu lebih baik dari pada keadaan kami di hari ini. Kami akan memberikan perhatian sepenuhnya kepada masalah ibadah saja dan tidak bersusah payah lagi untuk mencari rezeki.” Lalu beliau bersabda, ‘Tidak! Keadaan kamu hari ini adalah lebih baik daripada keadaan kamu pada hari tersebut.” (H.R. Tirmidzi)

Baca Juga: Para Tabi’in Utama Jebolan Madrasah Tafsir Ubay Ibn Ka’ab di Kota Madinah

Menjadi Utusan ke Madinah

Salah satu momen penting dalam hidup Mus’ab bin Umair adalah ketika Rasulullah saw. menunjuknya menjadi duta pertama yang mengajarkan Alquran ke Madinah. Amanah yang diberikan kepadanya ini tidak mudah, sebab saat itu Islam belum banyak dianut oleh penduduk Madinah. Namun, dengan karunia Allah, akhlak mulia, kejujuran, kesungguhan, dan kecerdasan yang dimilikinya, Mus’ab dapat menawan hati penduduk Madinah hingga berduyun-duyun masuk Islam.

Mus’ab mengenalkan Islam kepada mereka dengan membacakan ayat-ayat Alquran dan meneladankan akhlak mulia dalam praktik kehidupan. Perjalanan dakwahnya cukup mudah di kalangan budak, pekerja, serta rakyat miskin Madinah. Mereka tertarik masuk Islam karena mereka dipandang setara, tanpa dibeda-bedakan.

Meski demikian, Abu Nua’im al-Ashbahani dalam Dala’il an-Nubuwwah h, 108, menceritakan tantangan berat dihadapi yang dialami Mus’ab bin Umair ketika hendak berdakwah kepada Bani Abdul Asyhal dan Bani Zhafar dari suku Aus dan Khazraj. Mus’ab bin Umair tetap berusaha membacakan Alquran kepada para penguasa tersebut, sehingga hati kedua pembesar itu pun luluh tatkala mendengar lantunan Alquran. Keduanya memutuskan memeluk Islam, yang kemudian diikuti oleh rakyatnya.

Semangat, dedikasi dan ketulusan dakwah Mus’ab bin Umair ini terekam dalam surah Fusshilat ayat 33:

وَمَنْ أَحْسَنُ قَوْلًا مِّمَّنْ دَعَا إِلَىٰ اللَّهِ وَعَمِلَ صَالِحًا وَقَالَ إِنَّنِي مِنَ ٱلْمُسْلِمِينَ

Dan siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal saleh, dan berkata, ‘Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri’.

Keberhasilan Duta pertama Rasulullah tersebut menjalankan misi dakwah di Madinah menjadi pondasi penting bagi perkembangan Islam di wilayah yang sebelumnya di kenal dengan nama Yastrib.

Berkat dakwahnya, pada tahun berikutnya 70 orang Madinah datang ke Makkah untuk berbaiat kepada Rasulullah saw. di Bukit Aqabah. Hal ini menjadi awal dari hijrahnya Rasulullah saw. dan kaum muslimin ke Madinah. (Daulah Islam h. 37-38)

Baca Juga: Menelusuri Jejak Mufasir dari Kalangan Sahabat

Syuhada Perang Uhud

Selain dedikasi dan perjuangannya dalam berdakwah, Mus’ab juga turut terlibat dalam beberapa perang di awal-awal kebangkitan Islam, yakni perang Badar dan Uhud. Pada perang Uhud, Mus’ab wafat dan menjadi salah satu syuhada setelah memegang salah satu bendera panji peperangan.

Imam Al-Hakim meriwayatkan, ketika perang Uhud selesai, Rasulullah saw. menghampiri para korban perang dan ketika melihat Mus’ab, beliau berhenti di samping jasadnya kemudian membaca ayat 23 surah al-Ahzab. Hal ini menunjukkan bahwa beliau saw. memberi penghormatan kepada Mus’ab bin Umair sebagai seorang yang benar-benar menepati janjinya kepada Allah, bahkan sampai mengorbankan nyawanya di jalan-Nya.

Dalam tafsir an-Nukat wal ‘Uyun (1/47), Imam al-Mawardi memyebutkan bahwa ketika Mus’ab bin Umair wafat, surat an-Nazi’at ayat 40-41 turun menyinggung tentangnya. Beliau wafat di usia sekitar 40 tahun, namun kisah perjuangannya sangat berkesan dan memberikan teladan yang patut dicontoh, terutama bagi pemuda dalam hal keteguhan iman, kesabaran dan kegigihan menghadapi ujian serta tantangan, juga keikhlasan dalam memperjuangankan Islam. Wallah a’lam.

Fenomena Media Sosial dan FOMO dalam Kacamata Qur’ani

0
Fenomena Media Sosial dan FOMO dalam Kacamata Qur'ani
Fenomena Media Sosial dan FOMO dalam Kacamata Qur'ani

Berdasarkan laporan “Digital 2023” oleh We Are Social, jumlah pengguna media sosial di Indonesia mencapai 167 juta pada Januari 2023, yang setara dengan 60,4% dari total populasi (Data Indonesia). Pengguna internet di Indonesia menghabiskan rata-rata 3 jam 17 menit per hari untuk mengakses media sosial (Datareportal).

Selain itu, fenomena Fear of Missing Out (FOMO) semakin marak di kalangan generasi muda Indonesia. Sebuah studi menunjukkan bahwa sekitar 67% dari mereka mengalami kecemasan ketika tidak memeriksa media sosial selama beberapa jam (Tinta Hijau). Fenomena ini tentu memunculkan pertanyaan tentang bagaimana seharusnya kita menyikapi revolusi digital ini dari perspektif Islam.

Alquran, sebagai pedoman hidup yang relevan sepanjang masa, sebenarnya telah memberikan framework yang sempurna dalam menyikapi gejala sosial ini. Ketika algoritma media sosial terus mendorong kita untuk membandingkan diri dengan orang lain, Alquran justru mengajarkan sebaliknya. Allah Swt. menegaskan dalam surah An-Nisa ayat 32;

وَلَا تَتَمَنَّوْا مَا فَضَّلَ اللّٰهُ بِهٖ بَعْضَكُمْ عَلٰى بَعْضٍ ۗ لِلرِّجَالِ نَصِيْبٌ مِّمَّا اكْتَسَبُوْا ۗ وَلِلنِّسَاۤءِ نَصِيْبٌ مِّمَّا اكْتَسَبْنَ ۗوَسْـَٔلُوا اللّٰهَ مِنْ فَضْلِهٖ ۗ اِنَّ اللّٰهَ كَانَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيْمًا

Janganlah kamu berangan-angan (iri hati) terhadap apa yang telah dilebihkan Allah kepada sebagian kamu atas sebagian yang lain. Bagi laki-laki ada bagian dari apa yang mereka usahakan dan bagi perempuan (pun) ada bagian dari apa yang mereka usahakan. Mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (Q.S. An-Nisa [4]: 32).

Baca juga: Tafaqquh Fi Digital  dan Pedoman Bermedia Sosial dalam Alquran

Muhammad Rashid Rida dalam Tafsir Al-Manar (juz 5/hlm. 49–50) memberikan perspektif mendalam terkait ayat ini. Beliau menjelaskan bahwa firman Allah, “Janganlah kamu berangan-angan terhadap apa yang telah dilebihkan Allah kepada sebagian kamu atas sebagian yang lain”, menekankan larangan untuk iri hati terhadap kelebihan orang lain, baik yang bersifat bawaan maupun yang dihasilkan dari usaha. Menurut beliau, ada dua jenis kelebihan:

  1. Kelebihan bawaan (tidak bisa diusahakan): Misalnya, fisik, kekuatan, atau garis keturunan. Dalam konteks media sosial, ini bisa berupa gaya hidup yang terlihat lebih mewah atau tampilan fisik yang ideal. Rashid Rida mengingatkan bahwa tidak patut bagi seseorang merasa rendah diri atas hal ini, karena kelebihan tersebut adalah takdir Allah yang tidak bisa diubah.
  2. Kelebihan yang bisa diusahakan: Seperti ilmu, amal, atau keterampilan. Fokus utama manusia seharusnya adalah meningkatkan diri melalui usaha, bukan sibuk membandingkan diri dengan orang lain.

Lebih lanjut, beliau mengingatkan bahaya membiarkan diri larut dalam angan-angan kosong atau iri hati. Sikap seperti ini dapat mengalihkan seseorang dari upaya memperbaiki diri dan mendorongnya ke arah perilaku negatif, seperti kedengkian atau bahkan tindakan yang merugikan orang lain. Sebaliknya, Alquran mendorong manusia untuk “memohon kepada Allah sebagian dari karunia-Nya” sebagai langkah yang lebih produktif dan sesuai dengan ajaran Islam.

Pertanyaannya, bagaimana kita mengimplementasikan ajaran ini di era digital? Jawabannya terletak pada pemahaman dan penerapan beberapa prinsip fundamental.

Pertama, media sosial seharusnya menjadi wadah untuk memperkuat, bukan melemahkan iman. Setiap scroll, setiap konten yang kita konsumsi, idealnya mendekatkan kita kepada Allah, bukan menjauhkan. Ketika kita melihat prestasi atau pencapaian orang lain di timeline, responnya bukanlah iri atau merasa tertinggal, melainkan turut bahagia dan menjadikannya inspirasi. Seperti yang diingatkan dalam Alquran, setiap orang memiliki takdirnya masing-masing, dan Allah Maha Mengetahui apa yang terbaik untuk hamba-Nya.

Kedua, praktik verifikasi informasi menjadi kunci dalam bermedia sosial. Di era di mana hoaks dan misinformasi menyebar lebih cepat dari kebenaran, Alquran telah lebih dulu mengajarkan pentingnya tabayyun. “Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti” (Al-Hujurat: 6). Prinsip ini mengajak kita untuk tidak terburu-buru membagikan informasi tanpa verifikasi, sebuah kebijaksanaan yang sangat relevan di era viral culture.

Baca juga: Media Sosial dan Urgensi Tabayun Menurut Alquran dan Hadis

Ketiga, dalam hal interaksi digital, Islam mengajarkan adab yang sama pentingnya dengan interaksi fisik. Menjaga lidah dalam bertutur kata berlaku juga untuk jari yang mengetik komentar. Menghindari ghibah tidak hanya di majelis fisik, tapi juga di ruang-ruang chat. Prinsip “berkata baik atau diam” yang diajarkan Rasulullah saw. menjadi panduan sempurna dalam bermedia sosial.

Digital wellbeing dalam Islam bukan berarti menolak teknologi, melainkan memanfaatkannya dengan bijak. Membatasi waktu scrolling bukan karena media sosial itu haram, tapi karena waktu kita terlalu berharga untuk dihabiskan dalam aktivitas yang tidak produktif. Seperti diingatkan dalam Alquran, “Demi masa, sesungguhnya manusia berada dalam kerugian” (Al-‘Asr: 1-2).

Baca juga: Menjadi Seorang Asketis di Era Media Sosial

Implementasi praktisnya bisa dimulai dari hal-hal sederhana. Misalnya, menjadikan waktu salat sebagai momen digital detox, mengalokasikan waktu khusus untuk checking media sosial, atau mengaktifkan fitur screen time reminder. Yang terpenting adalah menjaga keseimbangan antara kehidupan digital dan spiritual.

Pada akhirnya, media sosial hanyalah wasilah, bukan ghayah (tujuan). Kebahagiaan sejati tidak diukur dari jumlah followers atau likes, melainkan dari kedekatan hati dengan Allah dan kemanfaatan bagi sesama. Dengan pemahaman ini, FOMO bisa berubah menjadi JOMO (Joy of Missing Out), alih-alih merasa gelisah karena “melewatkan sesuatu,” JOMO mengajarkan bahwa fokus pada hal-hal yang benar-benar penting, seperti hubungan dengan Allah, keluarga, dan manfaat bagi orang lain jauh lebih berharga. Wallahu ‘alam.