Beranda blog Halaman 22

Jami’ al-Bayan: Jejak Tafsir Periferal di Indonesia

0
Catatan interpolasi tafsir Jami‘ al-Bayan karya Al-Ijiy pada naskah Jalalain Museum MAJT
Catatan interpolasi tafsir Jami‘ al-Bayan karya Al-Ijiy pada naskah Jalalain Museum MAJT

Setelah menelaah hampir seluruh catatan yang diberikan oleh penyurat (istilah yang digunakan Bu Annabel untuk menyebut penyalin dan penulis naskah kuno) dalam naskah Jalalain koleksi Museum MAJT, penulis berkesimpulan bahwa catatan-catatan yang dikutip dalam naskah tersebut merefleksikan jejak tafsir periferal (pinggiran) dalam konteks ke-Indonesia-an. Alasannya, selain merujuk pada interpolasi Al-Wajiz karya Al-Wahidiy, catatan tersebut juga bersumber dari teks Jami‘ al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an karya Muhammad ibn ‘Abd al-Rahman ibn Muhammad ibn ‘Abdullah al-Ijiy al-Syiraziy.

Dalam tulisan berjudul Jejak Tafsir Al-Wahidiy di Indonesia: Penelusuran Awal, penulis menyebutkan setidaknya empat karya tafsir yang menjadi rujukan mainstream di Indonesia. Keempat karya tersebut adalah Ma‘alim al-Tanzil karya Al-Baghawiy (w. 529 H.), Anwar al-Tanzil wa Asrar al-Ta’wil karya Al-Baidlalwiy (w. 691 H.), Lubab al-Ta’wil karya Al-Khazin (w. 741 H.), dan Al-Jalalain karya Jalal al-Din al-Mahalliy (w. 864 H.) dan Jalal al-Din al-Suyuthiy (w. 911 H.).

Di luar itu, sejatinya ada beberapa karya yang juga menjadi bahan rujukan dan kajian tafsir di Indonesia yang boleh jadi tidak sepopuler karya-karya sebelumnya. Berdasarkan hasil telaah penulis paling tidak ada dua, yakni teks Al-Wajiz dan teks Jami‘ al-Bayan. Dua karya inilah yang penulis katakan sebagai tafsir-tafsir periferal.

Baca juga: Naskah Tafsir Jalalain di Museum Masjid Agung Jawa Tengah

Ulasan mengenai Al-Wajiz, baik dari sudut pandang kenaskahannya maupun dari sudut pandang karya tafsirnya telah penulis tulis dalam beberapa tulisan. Oleh karenanya, tulisan kali ini hanya akan berfokus pada Jami‘ al-Bayan dari sudut pandang kenaskahannya. Sebelum masuk pada ulasan, sebagai catatan sebelumnya bahwa yang dikehendaki dari Jami‘ al-Bayan di sini adalah Jami‘ al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an karya Muhammad ibn ‘Abd al-Rahman ibn Muhammad ibn ‘Abdullah al-Ijiy al-Syiraziy, bukan Jami‘ al-Bayan fi Ta’wil al-Qur’an karya Abu Ja‘far Muhammad ibn Jarir al-Thabariy (w. 310 H.).

Seperti halnya Al-Wajiz, interpolasi Jami‘ al-Bayan dituliskan pada bagian pias naskah dengan memberikan tanda tertentu yang merujuk teks utama naskah di bagian tengah. Interpolasi tersebut juga dituliskan dengan menambahkan huruf ha’ (هـ) yang menjadi inisial kata intaha sebagai tanda dari akhir kutipan.

Penanda bahwa kutipan tersebut diambil dari interpolasi Jami‘ al-Bayan adalah keterangan yang diberikan setelah huruf ha’ tersebut baik dalam keterangan utuh yang menyebutkan nama teks Jami‘ al-Bayan atau sekedar huruf jim (ج) yang menjadi inisial dari nama teks tersebut. Yang perlu dicermati dari keterangan tersebut adalah bahwa penyurat tampaknya telah melakukan kesalahan dalam penulisannya. Kata Jami‘ yang seharusnya dipanjangkan huruf jim-nya (جامع) justru dipanjangkan huruf mim-nya (جميع).

Baca juga: Terjemahan Tafsir Jalalain Berbahasa Madura

Kesalahan ini tentu akan menimbulkan masalah mengingat nama Jami‘ al-Bayan kurang begitu populer termasuk mungkin bagi pengkaji tafsir sekalipun. Sehingga nama keliru yang dituliskan tersebut akan memberikan arahan yang ‘menyesatkan’ dalam pencarian teks asli yang menjadi rujukan. Namun demikian, dari catatan yang diberikan dapat dipastikan bahwa itu merupakan interpolasi dari teks Jami‘ al-Bayan.

Satu hal yang cukup menarik dari kutipan-kutipan yang diambil dari interpolasi Jami‘ al-Bayan ini adalah bahwa banyak dari kutipan tersebut yang berisi penjelasan linguistik, tepatnya penjelasan tentang kedudukan suatu kata atau tarkib dalam ayat, sebagaimana dapat dilihat pada kutipan di bawah ini,

فاعل يهد جملة كم اهلكنا بواسطة مضمونها اى كثيرة اهلاكنا لان كم لا يعمل فيه ما قبله او فاعله ضمير الله والجملة في تأويل المفعول اى فلم يبين الله لهم مضمون هذا الجملة وعند البصريين فاعله مضمر يفسره كم اهلكنا هـ جميع البيان

Jika melihat kutipan-kutipan dari Jami‘ al-Bayan dan kemudian menempatkannya bersama-sama dengan kutipan dari teks lain akan ditemukan satu distribusi kutipan yang teratur dan menarik. Menurut hemat penulis sejauh ini, kutipan dalam naskah Jalalain Museum MAJT terbanyak dirujuk dari Al-Wajiz, Jami‘ al-Bayan, dan Anwar al-Tanzil. Tiga teks ini dikutip secara teratur pada masing-masing sepertiga bagian dari naskah yang berisi teks Jalalain juz kedua (juz 15-30 dari mushaf Alquran).

Baca juga: Mengenal Hasyiah al-Shawi, Kitab Penjelas Tafsir al-Jalalain

Sepertiga awal dari naskah didominasi oleh kutipan dari Al-Wajiz yang berisi keterangan tafsir atas ayat. Sepertiga tengah didominasi oleh kutipan dari Jami‘ al-Bayan yang kebanyakan berisi penjelasan linguistik sebagaimana telah disebutkan sebelumnya. Sedangkan sepertiga akhir didominasi kutipan dari Anwar al-Tanzil, tepatnya pada juz 30 dari mushaf Alquran dan berisi fadhilah atau keutamaan surah-surah berdasar riwayat dari Nabi saw.

Terkait keberadaan kutipan dari Jami‘ al-Bayan ini beberapa hal yang menjadi pertanyaan adalah dari manakah penyurat naskah mengutip teks tersebut? Pertanyaan ini sangat relevan diajukan mengingat teks tersebut, sekali lagi, tidak populer. Dan hingga saat ulasan ini ditulis, penulis belum menemukan sumber yang memberikan informasi terkait keberadaan teks tersebut di era naskah tersebut ditulis. Berbeda dengan Al-Wajiz yang meski sama-sama tidak populer, tetapi ada salinan naskahnya di Pamekasan, Madura.

Selain itu, apakah penyurat naskah menuliskan kutipan-kutipan dari tafsir yang tidak populer secara sengaja? Berikut dengan irama distribusinya? Ataukah memang kebetulan yang tidak terduga? Jawaban dari pertanyaan-pertanyaan ini semoga akan ada suatu hari nanti. Hingga saat itu datang, keberadaan kutipan Jami‘ al-Bayan dan Al-Wajiz ini dapat memberikan gambaran akan jejak tafsir periferal di Indonesia di masa lalu. Wallahu a‘lam bi al-shawab. []

Sejarah Legalitas Pungutan Pajak dalam Islam

0

Pajak merupakan salah satu kewajiban yang harus dibayarkan oleh rakyat kepada pemerintah. Dari aspek historis, kewajiban membayar pajak dimulai saat penerimaan negara dari minyak bumi dan gas alam (migas) mengalami penurunan di waktu Radius Prawiro menjabat sebagai Menteri Keuangan (1983-1988).
Pemerintah pada waktu itu memutar otak untuk mendapatkan sumber pendapatan lain, dan pilihan itu jatuh pada pajak. Dengan tidak menunggu waktu lama, pemerintah langsung bermusyawarah untuk menetapkan aturan dan regulasi terkait pungutan pajak. Hal ini penting untuk memenuhi keperluan pendapatan negara yang merupakan salah satu komponen penting dalam memenuhi kegiatan pemerintahan dan program pembangunan nasional.
Terlepas dari segala kontroversi yang terjadi, pajak merupakan penyumbang terbesar anggaran pendapatan yang diperoleh negara setiap tahunnya. Hal ini dapat dibuktikan berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) yang mengatakan bahwa pendapatan yang diperoleh dari pajak menjadi sumber utama dalam struktur penerimaan negara, yakni mencapai 82,4% dari total pendapatan. Pajak sendiri terdiri dari berbagai jenis seperti Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Bumi dan Bangunan, serta bea cukai.
Lantas, apakah Islam juga mengenal istilah pajak? Dan apakah tindakan pemerintah Indonesia yang mewajibkan rakyatnya untuk membayar pajak berdasarkan undang-undang mendapat legitimasi dari agama Islam?

Baca Juga: Jual Beli Emisi Karbon, Upaya Pencegahan Kerusakan Iklim
Perubahan Hukum Tentang Pajak 
Pada awalnya, Islam tidak mengenal pungutan yang diwajibkan negara kepada rakyatnya selain pajak, sebagaimana yang ditegaskan Nabi Muhammad saw. yang termuat dalam kitab Sunan Ibnu Majah (570 1/) sebagai berikut:

ليس في المال لحقا سوى الزكاة

Tidak ada hak dalam harta selain zakat.
Dari hadis di atas, Nabi saw. menyampaikan dengan lafal sharih yang mengindikasikan bahwa kewajiban seseorang untuk mengeluarkan hartanya hanya terbatas pada urusan zakat. Sedangkan, pajak itu berbeda sama sekali dari segi teknis dan kewajibannya dengan zakat. Apalagi, terdapat ayat yang berbunyi:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا تَأْكُلُوْٓا اَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ اِلَّآ اَنْ تَكُوْنَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِّنْكُمْۗ وَلَا تَقْتُلُوْٓا اَنْفُسَكُمْۗ اِنَّ اللّٰهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيْمًا ۝٢٩

Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan harta sesamamu dengan cara yang batil (tidak benar), kecuali berupa perniagaan atas dasar suka sama suka di antara kamu. Janganlah kamu membunuh dirimu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.
Sebagian ulama menganggap pajak adalah bagian dari upaya memakan harta dengan cara batil karena tidak sesuai norma-norma syariat. Ditambah adanya kaidah fikih yang mengatakan الأصل في الأموال التحريم, asal pada setiap harta adalah haram, semakin menegaskan bahwa pajak memanglah layak mendapatkan label haram. Dan pada akhirnya, ketika memahami hukum bayar pajak hanya dari nas-nas tersebut, maka akan muncul pemahaman bahwa rakyat tidak memiliki kewajiban untuk membayarkannya
Akan tetapi, sejarah Islam mengatakan bahwa dulu pernah terjadi praktik pemungutan pajak oleh pemerintah Islam yang bersifat wajib dan dibebankan pada seluruh rakyatnya. Seperti yang dikatakan oleh Muhammad Rajab Al-Bayumi dalam kitab Ulamau fi Wajhit Tughyan (hal. 73):
“Ketika bangsa Tatar menyerang wilayah Syam, Sulthan Al-Zahir pun bersiap untuk melawan mereka. Akan tetapi, ia membutuhkan banyak uang untuk mempersiapkan tentara beserta nafkahnya. Sayangnya, kas negara saat itu tidak memiliki cukup dana. Maka, ulama’ Syam memberikan legalitas pada Sulthan untuk mengambil uang rakyat (pajak) untuk memenuhi kebutuhan tersebut”.

Baca Juga: Progresivitas Umar Bin Khattab Terkait Ayat-Ayat Hukum (Bagian 3) 
Ini artinya, pada mulanya Islam memandang pajak sebagai sesuatu yang diharamkan. Akan tetapi, seiring berjalannya waktu, pajak berubah menjadi wajib dan mengikat bagi masyarakat ketika dalam kondisi darurat, semisal pemerintah membutuhkan biaya yang tidak dapat dipenuhi oleh kas negara kecuali dengan menarik pajak.
Lebih lanjut, Ibnu ‘Asyur, salah satu mufassir reformis menuturkan dalam kitabnya Al-I’tisham (hal. 619) terkait faktor utama yang melatarbelakangi kebolehan bagi pemimpin untuk memungut pajak terhadap rakyatnya sebagai berikut:
“Jika kita telah memutuskan seorang imam yang ditaati dan ia membutuhkan banyak pasukan beserta kebutuhannya untuk melindungi wilayah kekuasaan negara yang luas, sedangkan kas negara tidak mencukupi, maka Imam -jika adil- boleh menetapkan pungutan dari orang-orang kaya sesuai kebutuhan negara saat itu”
Tidak sampai di situ, dalam kitab Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu karya Wahbah az-Zuhaily disebutkan terdapat tiga syarat  terkait legalitas pemerintah menarik pajak dari rakyatnya. Pertama, adanya kebutuhan nyata dari pemerintah terhadap harta serta tidak ada kas negara yang dapat memenuhi. Kedua, pengelolaan pajak harus diatur dengan format yang adil. Ketiga, pajak harus didistribusikan terhadap kemaslahatan umat secara menyeluruh.
Kembali ke persoalan awal, dengan melihat penjelasan yang terdapat di kitab-kitab klasik maupun kontemporer di atas, maka dapat ditarik benang merah bahwa praktik pungutan pajak yang terjadi di Indonesia tidak jauh berbeda dari yang ada pada masa-masa pemerintahan Islam. Jika dulu biaya yang mewajibkan bayar pajak ialah untuk membiayai peralatan perang dan segala macamnya, maka saat ini Indonesia berada dalam kondisi darurat untuk memenuhi kebutuhan ekonomi masyarakat dan rencana pembangunan negara, lebih-lebih guna melunasi utang negara yang sudah mencapai angka triliunan.

Baca Juga: Ayat Zakat dan Isyarat tentang Sumber Pendapatan Negara
Tinggal bagaimana para aparatur negara menjaga dan melaksanakan amanah tersebut dengan adil dan bertanggung jawab. Serta, tidak lupa untuk mengalokasikan anggaran pajak pada sesuatu yang manfaatnya dapat dirasakan bersama-sama. Artinya, jika  syarat-syarat yang diberikan para ulama dilaksanakan dengan baik, maka membayar pajak menjadi kewajiban yang mengikat bagi seluruh rakyat Indonesia. Dan begitu pula sebaliknya, jika ada satu syarat saja yang tidak terpenuhi, maka hukum pajak akan kembali seperti sedia kala, yakni diharamkan.

Surah Al-Baqarah Ayat 274 dan Sedekah Ala Ali bin Abi Thalib 

0
surah al-Baqarah ayat 274 dan sedekah ala Ali bin Abi Talib
surah al-Baqarah ayat 274 dan sedekah ala Ali bin Abi Talib

Ali bin Abi Talib merupakan sepupu Nabi Muhammad saw. sekaligus suami dari putrinya, Sayyidah Fatimah az-Zahra. Beliau sangat terkenal dengan kemurahan hati dan kedermawanannya dengan senang bersedekah. Salah satu kisah yang sangat terkenal mengenai cara sedekah beliau sesuai dengan perintah Alquran termaktub dalam surah al-Baqarah ayat 274,

 اَلَّذِيْنَ يُنْفِقُوْنَ اَمْوَالَهُمْ بِالَّيْلِ وَالنَّهَارِ سِرًّا وَّعَلَانِيَةً فَلَهُمْ اَجْرُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْۚ وَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُوْنَ

Orang-orang yang menginfakkan hartanya malam dan siang hari (secara) sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan, mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya. Tidak ada rasa takut pada mereka dan mereka tidak bersedih hati.

Pada ayat sebelumnya, yakni ayat 273, Allah menunjukkan orang yang paling sempurna untuk diberikan sedekah, kemudian pada ayat 274 ini Allah menunjukkan bahwa bentuk sedekah yang paling sempurna adalah sedekah yang dilakukan sebagaimana firman Allah, “Orang-orang yang menafkahkan hartanya di waktu siang dan malam secara sembunyi-sembunyi dan terang-terangan.”

Adapun sebab turunnya ayat ini, banyak pendapat dari ulama. Dalam Tafsir Mafatih al-Ghaib (7/71) Imam ar-Razi menukil salah satu riwayat dari Sayyidina Ibnu Abbas. Bahwa Ali karramallah wajhah memiliki harta tidak lebih dari empat dirham. Beliau bersedekah dengan uangnya tersebut sebanyak satu dirham pada malam hari, satu dirham pada siang hari, satu dirham secara sembunyi-sembunyi, dan satu dirham secara terang-terangan.

Lalu Rasulullah saw. bertanya kepada menantunya tersebut, “Apa yang mendorongmu untuk melakukan hal ini?” Ali menjawab, “Aku ingin mendapatkan apa yang dijanjikan oleh Tuhanku kepadaku.” Rasulullah kemudian bersabda, “Engkau telah mendapatkannya.” Kemudian turunlah ayat tersebut.

Baca Juga: Cara Bersedekah yang Dianjurkan Alquran

Keutamaan Sedekah Secara Sirr dan Jahr

Menurut Syekh Wahbah al-Zuhaili (2/218) ayat ini merupakan pujian dari Allah terhadap orang-orang yang berinfak di jalan-Nya dan ikhlas hanya mencari ridha-Nya di setiap waktu dan keadaan, baik secara sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan.

Mengenai didahulukan kata al-lail (waktu malam) atas kata an-nahar (waktu siang) dan kata as-sirr (secara sembunyi-sembunyi) atas kata al-alaniyah (secara terang-terangan), hal ini memberikan sebuah isyarat bahwa sedekah secara sembunyi-sembunyi lebih utama daripada secara terang-terangan. Sebagaimana dalam Q.S al-Baqarah ayat 271, Allah telah berfirman,

إِن تُبْدُوا۟ ٱلصَّدَقَٰتِ فَنِعِمَّا هِىَ ۖ وَإِن تُخْفُوهَا وَتُؤْتُوهَا ٱلْفُقَرَآءَ فَهُوَ خَيْرٌ لَّكُمْ ۚ وَيُكَفِّرُ عَنكُم مِّن سَيِّـَٔاتِكُمْ ۗ وَٱللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ

Jika kamu menampakkan sedekah-sedekahmu, maka itu baik. Dan jika kamu menyembunyikannya dan memberikannya kepada orang-orang fakir, maka itu lebih baik bagimu dan Allah akan menghapus sebagian kesalahan-kesalahanmu. Dan Allah Maha teliti apa yang kamu kerjakan.

Dalam hadis, Rasulullah saw. juga pernah mewasiatkan terkait hal ini kepada Sayyidina Ali. Sebagaimana Syekh Abdul Wahab as-Sya’rani dalam kitabnya, Washiyat al-Musthofa,

يَا عَلِيُّ، صَدَقَةُ السِّرِّ تُطْفِئُ غَضَبَ الرَّبِّ وَتَجْلِبُ الْبَرَكَةَ وَالرِّزْقَ الْكَثِيْرَ وَبَاكِرْ بِالصَّدَقَةِ فَإِنَّ الْبَلَاءَ يَنْزِلُ قَبْلَ الْبُكُوْرِ فَتَرُدُّ

“Wahai Ali, sedekah dengan cara sirri  (tidak diperlihatkan pada orang lain) itu bisa memadamkan murka Allah, dan bisa menarik berkah serta rezeki yang banyak. Dan berpagi-pagilah dalam bersedekah, karena sesungguhnya bala itu turun sebelum pagi buta. Maka dengan sedekah itu menolak qadha buruk di udara.”

Imam al-Ghazali dalam kitab Ihya ‘Ulumuddin menjelaskan bahwa kedua metode dalam bersedekah, secara sirr ataupun jahr adalah sama baiknya. Menurut beliau yang terpenting dalam bersedekah ialah keikhlasan hati, jangan sampai ada rasa riya saat mengulurkan bantuan untuk orang lain.

Imam al-Ghazali menambahkan bahwa kedua cara sedekah tersebut sama-sama memiliki keutamaan. Sedekah secara sembunyi-sembunyi, di antaranya seperti dijelaskan dalam ayat dan hadis di atas.

Selain itu, sedekah secara sembunyi juga dapat menjaga kerahasiaan amal yang merupakan bagian dari adab. Di sisi lain, menimalisir kemungkinan si penerima merasa terhina dalam kekurangannya, dan meminimalisir kemungkinan si pemberi dari rasa riya dan sombong serta hasrat ingin masyhur di hadapan orang.

Sementara sedekah secara terang-terangan merupakan bagian dari kesunahan tahaddus bi an-ni’mah (menceritakan nikmat Allah) dan menampakkan rasa syukur kita kepada Allah. Hal tersebut juga membuktikan bahwa seseorang sudah sampai pada kondisi tidak peduli dengan apapun, karena baginya, beramal adalah semata karena Allah. Dan dengan memperlihatkan sedekah, akan membuat orang lain mengetahui betapa Islam merupakan agama yang mengajarkan untuk saling tolong menolong dalam kebaikan.

Baca Juga: Menampakkan Amal Sedekah Menurut Tafsir Surah Al-Baqarah Ayat 271

Sedekah Tidak Mengenal Waktu

Imam ar-Razi juga menjelaskan bahwa ayat di atas mendorong umat Islam untuk senantiasa berbuat baik, dalam konteks ini yaitu bersedekah di setiap waktu dan di setiap keadaan. Setiap kali ada orang yang membutuhkan, mereka hendaknya bersegera memenuhinya, tidak menunda-nundanya, dan tidak pula menangguhkannya dalam waktu yang lama.

Dengan demikian, keutamaan bersedekah di setiap waktu dan kesempatan sebagaimana cara sedekah Sayyidina Ali yang sesuai dengan surah al-Baqarah ayat 274 dapat dimaknai bahwa melakukan kebaikan tidak mengenal yang namanya momentum. Artinya bisa dilakukan kapan saja. Jika di satu waktu tidak bisa, maka dapat dilakukan di waktu lain.

Oleh sebab itu, jika seseorang tidak bersedekah pada malam hari, masih bisa untuk bersedekah pada siang hari. Sebaliknya, jika pada siang hari tidak sempat bersedekah, waktu malam pun tidak menjadi alasan untuk tidak bersedekah, sebab ada perintahnya dalam Alquran. Dalam arti lain, sedekah bisa dilakukan siang atau malam dan rahasia ataupun terang-terangan disaksikan banyak orang. Wallah a’lam.

Belajar ‘Parenting’ dari Dialog Nabi Yakub dan Nabi Yusuf

0
Belajar parenting dari dialog Nabi Yakub dan Nabi Yusuf
Belajar parenting dari dialog Nabi Yakub dan Nabi Yusuf

Dalam hal parenting, Islam mengajarkan bahwa perhatian orang tua kepada anak bukan hanya tentang memberi materi, akan tetapi, juga pendidikan mental dan spiritual yang bisa dilakukan melalui komunikasi yang terbuka dan penuh kasih sayang. Salah satu teladan dialog penuh kasih dan perhatian antara ayah dan anak dalam Alquran ialah dari kisah Nabi Yakub dan Nabi Yusuf.

Dalam surah Yusuf ayat 4-5, Allah berfirman:

 إِذْ قَالَ يُوسُفُ لأبِيهِ يَا أَبَتِ إِنِّي رَأَيْتُ أَحَدَ عَشَرَ كَوْكَبًا وَالشَّمْسَ وَالْقَمَرَ رَأَيْتُهُمْ لِي سَاجِدِينَ () قَالَ يَا بُنَيَّ لا تَقْصُصْ رُؤْيَاكَ عَلَى إِخْوَتِكَ فَيَكِيدُوا لَكَ كَيْدًا إِنَّ الشَّيْطَانَ لِلإنْسَانِ عَدُوٌّ مُبِينٌ

Ingatlah, ketika Yusuf berkata kepada ayahnya, “Wahai ayahku, Sesungguhnya aku bermimpi melihat sebelas bintang, matahari dan bulan; kulihat semuanya sujud kepadaku.” Ayahnya berkata: “Hai anakku, janganlah kamu ceritakan mimpimu itu kepada saudara-saudaramu, Maka mereka membuat makar (untuk membinasakan) mu. Sesungguhnya setan itu adalah musuh yang nyata bagi manusia.

Baca Juga: Belajar Keteguhan Hati Seorang Ayah dari Kisah Nabi Ya’kub

Teladan Nabi Yakub dan Putranya

Berdasar percakapan antara ayah dan anak pada ayat di atas, bisa dilihat bagaimana Nabi Yusuf menceritakan mimpinya kepada ayahnya, Nabi Yakub, dengan rasa percaya diri dan penuh ketenangan. Ini menunjukkan bahwa seorang anak merasa aman dan nyaman dalam berbagi perasaan atau harapan dengan orang tuanya, terutama seorang ayah yang penuh kasih dan perhatian.

Dialog mereka menggunakan panggilan “ya abati” dan “ya bunayya” yang maknanya wahai ayahku dan anakku tersayang. Panggilan tersebut menggambarkan rasa kasih sayang dan kedekatan antara ayah dan anak. Dan perkataan yang disampaikan Nabi Yakub tersebut menjadi kinayah dari tulusnya nasihat yang disampaikan kepada anaknya. (Tafsir Tahrir at-Tanwir 12/213)

Ketika Nabi Yusuf menceritakan mimpinya kepada ayahnya, Nabi Yakub tidak langsung merespons dengan rasa senang, meski beliau tahu bahwa mimpi tersebut memiliki makna besar. Sebab sebagaimana diterangkan Imam ar-Razi dalam Tafsir Mafatih al-Ghaib (18/420), sebelum putranya itu menceritakan perihal mimpi tersebut, Nabi Yakub sudah mengetahui adanya gelagat rasa iri dari anak-anaknya yang lain terhadap Nabi Yusuf.

Oleh karena itu, Nabi Yakub dengan bijaksana memperingatkan Nabi Yusuf untuk tidak menceritakan mimpi itu kepada saudara-saudaranya. Hal itu menunjukkan empati dan kepedulian beliau terhadap dinamika hubungan di antara anak-anaknya. Sebab andai mereka tahu bahwa arti mimpi itu adalah saudara mereka akan memperoleh kemuliaan lebih dari yang mereka peroleh, tentu rasa kecemburuan akan muncul. Dan memang itulah yang terjadi saat mimpi Nabi Yusuf tersebut diketahui oleh saudara-saudaranya.

Komunikasi yang Terbuka dan Dialogis

Di dalam dialog antara Nabi Yakub dan Nabi Yusuf, ada keterbukaan yang luar biasa dari anak kepada ayahnya. Ini menunjukkan bahwa ada komunikasi yang sehat dan terbuka antara mereka. Bukan tidak mungkin, saat ini tidak jarang anak-anak lebih nyaman bercerita dengan teman atau saudara daripada dengan orang tuanya sendiri. Hal ini bisa disebabkan oleh berbagai faktor, di antaranya kurangnya kedekatan emosional atau ketidakmampuan orang tua untuk menciptakan suasana yang mendukung terbentuknya komunikasi terbuka.

Oleh karena itu, penting bagi orang tua untuk selalu menjaga kedekatan dengan anak-anak, menciptakan ruang yang aman bagi anak untuk berbagi perasaan, serta mendengarkan mereka dengan penuh perhatian dan empati. Sebagai contoh, Nabi Yakub tidak hanya mendengarkan Nabi Yusuf, tetapi juga memberi nasihat yang bijaksana, yang menunjukkan peran orang tua tidak hanya sebagai pendengar, tetapi juga sebagai pembimbing yang penuh kasih sayang.

Baca Juga: Tafsir Surah Yusuf Ayat 7: Belajarlah dari Kisah Nabi Yusuf!

Menciptakan Hubungan Penuh Kasih

Zakiah Daradjat menerangkan bahwa pentingnya kasih sayang dari orang tua dalam pembentukan kepribadian anak. Rasa kasih dan perhatian dari orang tua merupakan kebutuhan jiwa yang paling mendasar dan berpengaruh terhadap perkembangan emosional dan sosial anak. (Ilmu Jiwa Agama h. 67)

Kasih sayang yang diberikan dengan tulus oleh orang tua akan memperkuat rasa percaya diri anak, membentuk karakter baik, serta meningkatkan kemampuannya untuk beradaptasi dengan lingkungan sekitarnya. Anak yang merasa dicintai dan diperhatikan cenderung lebih mampu mengelola perasaan dan emosi mereka dengan baik. Mereka juga lebih terbuka dalam berkomunikasi dengan orang tua atau orang lain di sekitar mereka, karena merasa dihargai dan dipahami.

Dengan demikian penting bagi orang tua untuk menciptakan kedekatan emosional dan rasa kasih sayang dengan dialog dan komunikasi efektif. Sebagaimana yang dicontohkan oleh Nabi Yakub dan Nabi Yusuf dalam ayat di atas. Hal ini karena dialog yang penuh kasih dan perhatian dari orang tua dapat menciptakan suasana yang aman dan nyaman bagi anak, memperkuat rasa percaya diri, dan membentuk karakter serta moral mereka. Selain itu komunikasi yang empatik membantu anak untuk mudah menerima dengan lapang hati akan nasihat tentang nilai-nilai agama dan kehidupan. Wallah a’lam.

Sikap al-Qurṭubī Terhadap Riwayat Isrāīliyyāt

0
Sikap al-Qurṭubī Terhadap Riwayat Isrāīliyyāt
Sikap al-Qurṭubī Terhadap Riwayat Isrāīliyyāt

Tema tentang Isrāīliyyāt ini sangat penting untuk dibahas, karena banyaknya riwayat-riwayat Isrāīliyyāt dalam beberapa kitab tafsir. Hal ini perlu dikaji secara kritis karena riwayat  tersebut tidak dapat dinalar dan diragukan keabsahannya. Salah satu ulama tafsir yang banyak mengkritik riwayat Isrāīliyyāt adalah Imam al-Qurṭubī. Kritik ini disampaikan dalam kitab al-Jāmi’ li Ahkām al-Qur’an, salah satu karyanya yang sampai hari ini banyak digunakan sebagai bahan rujukan oleh para pengkaji ilmu Alquran dan tafsir.
Definisi Isrāīliyyāt
Kata إسرائيليات adalah bentuk jamak dari إسرائيلية, artinya sesuatu yang berkaitan dengan Bani Israil. Dalam Bahasa Arab, istilah “Bani Israil” adalah bentuk murakkab idhafi yang dalam hal ini, kata yang merujuk ke kata tersebut mengambil bagian belakang dan bukan bagian depannya. Oleh karena itu, digunakan kata إسرائيلي  (Israili) untuk menggambarkan hal-hal yang berkaitan dengan Bani Israil, seperti dalam frasa قصة إسرائيلية  (kisah Israiliyah), خبر إسرائيلي  (berita Israiliyah), atau حادثة إسرائيلية  (insiden Israiliyah).

Baca Juga: Kritik al-Alusi Terkait Cerita Israiliyat dalam Tafsir Ruh al-Ma’ani
Secara terminologi, Isrāīliyyāt adalah cerita atau kejadian yang berasal dari sumber Bani Israil. Kata إسرائيلية dihubungkan dengan Bani Israel atau kepada bapak mereka yang pertama karena Bani Israil adalah keturunan dari Nabi Yakub. Al-Dzahabi mengatakan bahwa kata Isrāīliyyāt ini digunakan lebih luas oleh para ulama tafsir dan hadis, sehingga tidak hanya pada sumber dari Yahudi saja, melainkan juga mencakup pada sumber dari Israil. (Al-Dakhīl fī al-Tafsīr, 22-23).
Sikap al-Qurṭubī Terhadap Riwayat-Riwayat Isrāīliyyāt
Berbeda dengan ulama yang menerima kisah-kisah isrāīliyyāt, al-Qurṭubī termasuk ulama yang menolaknya. Ia mempunyai cara tersendiri dalam menyikapi. Ia dikenal karena tidak terlalu banyak memasukkan Isrāīliyyāt dalam tafsirnya. Bahkan, ia menjaga tafsirnya dari terlalu banyak menyebut Isrāīliyyāt dan hadis-hadis palsu (mawdhu’). Jika beliau mencantumkan riwayat Isrāīliyyāt, biasanya menyertakan sanadnya (rangkaian perawi) secara lengkap. 
Namun, setelah menyebutkannya, Imam al-Qurṭubī sering memberikan kritik dan tanggapan terhadap riwayat-riwayat tersebut dengan membawakan pendapat para ulama tafsir lainnya yang telah membahas atau menolak Isrāīliyyāt tersebut. Terkadang, ia meringkas penjelasannya dengan hanya menunjukkan kelemahan sanad riwayat tersebut atau secara langsung menolaknya tanpa banyak rincian, cukup dengan mengisyaratkan kelemahannya. (Musṭafā Ibrahīm al-Muthaynī, Madrasah al-Tafsīr fī Andalus, 560).

Baca Juga: Inilah Para Perawi Israiliyat yang Menjadi Sumber Rujukan di Kitab-Kitab Tafsir

Contoh Kritik al-Qurṭubī terhadap Riwayat-Riwayat Isrāīliyyāt
Ketika al-Qurṭubī menafsirkan Q.S. Albaqarah [02] ayat 102:

وَاتَّبَعُوْا مَا تَتْلُوا الشَّيٰطِيْنُ عَلٰى مُلْكِ سُلَيْمٰنَۚ وَمَا كَفَرَ سُلَيْمٰنُ وَلٰكِنَّ الشَّيٰطِيْنَ كَفَرُوْا يُعَلِّمُوْنَ النَّاسَ السِّحْرَ وَمَآ اُنْزِلَ عَلَى الْمَلَكَيْنِ بِبَابِلَ هَارُوْتَ وَمَارُوْتَۗ

Mereka mengikuti apa yang dibaca oleh setan-setan pada masa Kerajaan Sulaiman. Sulaiman itu tidak kufur, tetapi setan-setan itulah yang kufur. Mereka mengajarkan sihir kepada manusia dan apa yang diturunkan kepada dua malaikat di negeri Babilonia, yaitu Harut dan Marut.
Sebelum al-Qurṭubī mengkritik riwayat Isrāīliyyāt dalam tafsirnya, ia menyampaikan sanad-sanad dari riwayat itu. Seperti pada tafsir ayat ini, ia menyebutkan, diriwayatkan dari Ali, Ibnu Mas’ud, Ibnu Abbas, Ibnu Umar, Ka’b al-Ahbar, al-Suddi dan al-Kalbi, “Ketika maksiat meningkat di kalangan anak Adam – dan itu terjadi pada masa Nabi Idris – para malaikat mengkritik mereka”, dan Allah berkata, “Jika kalian berada di tempat mereka dan memiliki nafsu, maka kalian juga mungkin akan melakukan dosa seperti manusia”. Mereka berkata, “Maha Suci Engkau! Seharusnya hal ini tidak terjadi pada kami”. 
Allah berkata, “Pilihlah dua malaikat sesuai pilihanmu untuk turun ke bumi dan diuji dengan sifat manusiawi, termasuk nafsu. Mereka memilih Harut dan Marut. Dia menurunkan mereka ke bumi dan menciptakan nafsu dalam diri mereka. Belum genap satu bulan berlalu mereka tergoda oleh seorang wanita yang namanya dalam bahasa Nabataean adalah “Bidakht,” dan dalam bahasa Persia adalah “Nahil” dan dalam bahasa Arab “Al-Zahra.”

Baca Juga: Israiliyat Dalam Tafsir, Validkah? Berikut Pandangan Ibnu Khaldun
Untuk bisa bersama wanita tersebut, mereka harus melakukan beberapa perbuatan terlarang, termasuk minum khamr (arak) dan melakukan pembunuhan. Akibatnya, Harut dan Marut dihukum dan disiksa di Babel (dikatakan di sebuah lubang di bawah tanah di Babilonia).
Setelah kisah Isrāīliyyāt ini dijelaskan, maka al-Qurṭubī mengkritisi cerita tersebut;

قُلْنَا: هَذَا كُلُّهُ ضَعِيفٌ وَبَعِيدُ عَنِ ابن عمر وغيره، لا يصح منه شي، فَإِنَّهُ قَوْلٌ تَدْفَعُهُ الْأُصُولُ فِي الْمَلَائِكَةِ الَّذِينَ هُمْ أُمَنَاءُ اللَّهِ عَلَى وَحْيِهِ، وَسُفَرَاؤُهُ إِلَى رُسُلِهِ” لَا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ “.” بَلْ عِبادٌ مُكْرَمُونَ. لَا يَسْبِقُونَهُ بِالْقَوْلِ وَهُمْ بِأَمْرِهِ يَعْمَلُونَ “.” يُسَبِّحُونَ اللَّيْلَ وَالنَّهارَ لَا يَفْتُرُونَ

Semua itu lemah dan jauh dari pendapat Ibnu Umar dan yang lainnya, dan tidak ada satupun yang shahih, menurut prinsip-prinsip yang berlaku mengenai malaikat. Hal ini karena malaikat yang menjadi amanah Allah atas wahyu-Nya. Dan para duta-Nya kepada para Rasul-Nya, “Mereka tidak mendurhakai Allah atas apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka, melainkan mereka mengerjakan apa yang diperintahkan kepada mereka.” Sebaliknya, mereka adalah hamba-hamba yang dimuliakan. Mereka melakukan perintah-Nya, “Mereka memuliakan Dia siang dan malam tanpa ragu-ragu. (Al-Qurṭubī, al-Jāmi’ li Ahkām al-Qur’an, 51).
Ada banyak riwayat Isrāīliyyāt yang dikritisi oleh al-Qurṭubī dalam kitab tafsirnya, seperti yang terdapat pada tafsir surah Shad ayat 14 dan lain-lain. Contoh di atas merupakan gambaran bagaimana al-Qurṭubī mengkritisi riwayat Isrāīliyyāt. Allahu A’lamu.

Tiga Jenis Tafsir Tematik Menurut Shalāh Abd al-Fattāh al-Khālidi

0

Untuk memahami ayat-ayat al-Qur’ān, ada banyak pendekatan yang digunakan oleh ahli tafsir. Salah satu pendekatan yang populer digunakan oleh ahli tafsir adalah tafsir tematik atau maudhu’i. Tafsir tematik tidak hanya menggunakan model tafsir kata per kata atau ayat per ayat, tetapi juga melihat kesatuan tema yang dibahas dalam keseluruhan ayat atau surah. Tafsir Tematik mempunyai tiga jenis, berikut ketiga jenis tersebut.

  1. Tafsīr mauḍū’ī li al-musthalah al-Qur’ānī
  2. Tafsīr mauḍū’ī li al-mauḍū’ al-Qur’ānī
  3. Tafsīr mauḍū’ī li al-surah al-Qur’ānī

Tafsīr mauḍū’ī li al-musthalah al-Qur’ānī

Tafsir tematik ini berfokus pada istilah-istilah dan kosakata dalam al-Qur’ān. Peneliti memilih satu kata atau istilah yang ada dalam al-Qur’ān kemudian melacaknya dalam semua surah. Peneliti tersebut juga mengamati istiqaq atau derivasi dari kata yang sedang diteliti, dilanjutkan dengan mengkaji ayat-ayat yang di dalamnya terkandung istilah yang diteliti secara keseluruhan. Tujuannya adalah untuk mengungkap makna, keindahan, serta kebenaran yang ada di dalamnya. Ada banyak istilah dalam al-Qur’ān yang bisa dijadikan sebagai objek kajian, seperti: kata al-salam, al-jihād, al-ummah, al-‘adlu, dan lain sebagainya.

Beberapa ulama dan karya mereka yang menjadi sumber acuan dalam kajian tafsir ini berdasarkan analisis linguistik adalah kitab Imam Raghib Al-Isfahani yang berjudul Mufradāt Alfādz al-Qur’ān begitu juga kitab Al-Khatib Al-Damghani yang berjudul Islah Al-Wujūh Wa Al-Nadāir Fī al-Qur’ān, dan dalam kitab Umdat Al-Hufādz fī Tafsīr Ashraf Alfādz karya Al-Samin Al-Halabi.

Baca juga: Abdul Hayy Al-Farmawi: Pencetus Metode Tematik dalam Tafsir

Kemudian pendekatan penelitian ini beracuan pada kitab Al-Mu’jam Al-Mufahras li Alfādz al-Qur’ān karya Muhammad Fuād Abd al-Bāqī, sebuah indeks kata-kata Al-Qur’an yang membantu menemukan konteks penggunaan kata tertentu. Contoh kitabnya adalah kitab Ahmad Hassan Farhat, Musthalahāt al-Qur’ān. Farhat membuat studinya dengan judul Bahtsu Qur’ānī wa Darbun min al-Tafsīr Al-Mauḍū’ī.

Tafsīr mauḍū’ī li al-mauḍū’ al-Qur’ānī

Tafsir tematik jenis ini berfokus pada tema-tema umum yang ada dalam al-Qur’ān, dengan cara memilih salah satu tema, selanjutnya mengkaji ayat-ayat al-Qur’ān yang membicarakan tema tersebut lalu menggali makna yang terkandung di dalamnya. Peneliti memilih tema yang memiliki dimensi realistis yang bersifat reformasi, bidang ilmiah yang bersifat konseptual, atau wawasan pendidikan yang berkaitan dengan akhlak, juga tema-tema yang sangat dibutuhkan oleh umat muslim masa modern.

Ketika peneliti memilih tafsir tematik al-mauḍū’ al-qur’ānī, dia menyadari bahwa dengan penelitiannya ini, dia akan memberikan kontribusi ilmiah, pendidikan, budaya, dan dakwah kepada umat muslim. Dia berharap dapat membantu menyelesaikan masalah mereka, mengatasi penyakit sosial mereka, serta meningkatkan taraf kehidupan mereka. Tafsir tematik jenis ini yang memiliki karakter tersebut dan yang mencapat tujuan ini sangat banyak. Di antaranya: Nidzām al-Hukm min Khalāl al-Qur’ān, al-Dzulm wa al-Dzālimūn kamā tahaddatsa ‘anhum al-Qur’ān, al-Shabr fī al-Qur’ān, Tharīq al-Da’wah fī al-Qur’ān, al-Syakhsyiyyah al-Yahudiyyah min Khalāl al-Qur’ān, dan lain sebagainya.

Perbedaan al-musthalah al-Qur’ānī dengan al-Mauḍū’ al-Qur’ānī

Dalam tafsīr mauḍū’ī li al-musthalah al-Qur’ānī, peneliti lebih memfokuskan pada kata atau istilah tertentu yang ada dalam al-Qur’ān. Pendekatan ini meliputi: mengkaji makna istilah tersebut dalam kamus bahasa Arab, istiqaq dan tasrif-nya dalam al-Qur’ān, mengamati perubahan makna istilah tersebut dalam berbagai konteks ayat, menganalisis hikmah dan makna tersirat dari penggunaan istilah tersebut, dan menghubungkan makna istilah dengan realitas yang relevan dengan kehidupan muslim masa modern.

Adapun jenis tematik yang kedua, pendekatannya lebih luas dari pada pendekatan jenia yang pertama. Di sini peneliti mengkaji: ayat-ayat yang membahas tema tersebut. Ayat-ayat lain yang memiliki hubungan atau kesamaan dengan tema tersebut. Ayat-ayat yang memberikan penjelasan atau mendukung pemahaman tema tersebut. Pendekatan ini lebih fokus pada penggalian solusi untuk kebutuhan dan kemaslahatan umat melalui tema tersebut, walaupun sedikit mengurangi penekanan pada kajian bahasa dan gaya bahasa.

Tafsīr mauḍū’ī li al-surah al-Qur’ānī

Dalam menerapkan metode tafsir tematik ini, peneliti memilih salah satu surah dalam al-Qur’ān untuk diteliti secara detail. Surah tersebut ditelaah dengan pandangan yang objektif dan penuh perenungan, menelusuri posisi surah, maqashid/tujuan, dan garis besar tema-tema yang terkandung di dalamnya. Dari penelitian ini, dihasilkan analisis dan kajian tematik yang lengkap, sehingga surah tersebut tampak sebagai satu kesatuan tematik yang terorganisir. Seperti yang diketahui bahwa pada setiap surah dalam al-Qur’ān dihitung sebagai unit tematik (wahdah maudhu’iyyah) yang utuh dengan karakteristik unik. Surah-surah tersebut mengandung satu tema utama yang di dalamnya terdapat sub-tema yang saling berkaitan.

Baca juga: Mengenal Kitab Wa ‘Allama Adam Al-Asma’: Tafsir Tematik Karya Ahmad Yasin Asymuni

Sebagian mufasir terdahulu telah memiliki wawasan mengenai jenis tafsir tematik ini, dan kesadaran akan kesatuan tematik dalam surah-surah al-Qur’ān. Di anataranya Imam al-Zamakhsyarī, Imam Fakhr al-Dīn al-Rāzī, dan Imam al-Qummī al-Naisābūrī. Mereka memberikan analisis dan ungkapan tertentu terkait hal ini, tetapi masih belum menggunakan metode ilmiah yang sistematis seperti yang dikenal saat ini.

Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa ketiga jenis tafsir tematik ini memiliki ciri khas tersendiri dan mempunyai fokus berbeda-beda. Ada yang fokus pada istilah atau kosakata, ada juga yang fokus pada tema, dan terakhir dari tafsir tematik ini fokus pada surah tertentu dari al-Qur’ān. Allahu a’lam.

Literasi sebagai Fondasi Kemajuan Bangsa Perspektif Alquran

0
Literasi sebagai Fondasi Kemajuan Bangsa Perspektif Alquran
Literasi sebagai Fondasi Kemajuan Bangsa Perspektif Alquran

Dapat kita saksikan di berbagai negara, khususnya Indonesia, pembangunan infrastruktur seringkali diposisikan sebagai prioritas utama. Sementara pembangunan kualitas Sumber Daya Manusia seringkali acuh tak acuh, kurang menjadi perhatian pemerintah. Pembangunan jalan, gedung megah, jembatan, dan fasilitas umum secara giat dibangun-kembangkan, tak lain demi mendukung kelancaran aktivitas ekonomi dan aksesibilitas. Namun luputnya, pengembangan SDM melalui peningkatan pendidikan, kesehatan, dan lain sebagainya, terbilang kurang mendapat perhatian lebih.

Membaca kenyataan ini, bukankah infrastruktur bisa rusak seiring berjalannya waktu, dan kualitas SDM yang unggul mampu menjadi fondasi yang tetap berdiri tegak dalam perbaikan dan pembangunan untuk memajukan suatu negara? Apabila terjadi sebaliknya, bagaimana upaya pemeliharaan, pengembangan, dan pemaksimalan infrastruktur yang ada? Inilah pentingnya membangun kualitas anak bangsa, khususnya menggiatkan literasi, sebagaimana Islam mengajarkan tentang pentingnya mencari ilmu dan menjauhi kebodohan.

Literasi dalam Tinjauan Alquran

Terdapat banyak sekali ayat-ayat Alquran yang menggalakkan pentingnya belajar, berilmu, dan menolak kebodohan. Pertama-tama, yang paling dasar, adalah membaca. Disebutkan salah satunya dalam Q.S. al-Alaq ayat 1 berikut.

اِقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِيْ خَلَقَۚ

Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan!

Ayat di atas, merupakan perintah Allah kepada Rasulullah ﷺ untuk membaca. Dalam Tafsīr al-Munīr [30/316] dijelaskan bahwa meskipun beliau ‘ummi, tidak dapat membaca, atas kekuasaan dan kehendak Allah, Dzat yang menciptakan alam semesta, mampu menjadikan Rasulullah ﷺ seorang yang membaca meskipun sebelumnya belum pernah belajar membaca. Hal ini menunjukkan bahwa membaca adalah langkah paling dasar dalam literasi.

Baca juga: Spirit Literasi dalam Nama-Nama Al-Qur’an

Kedua, menulis. Setelah membaca, maka langkah berikutnya untuk mengabadikan dan mengembangkan ilmu pengetahuan yang dimiliki ialah dengan menulis. Karena membaca mengandalkan penyimpanan otak, maka menulis merupakan suatu cara supaya seseorang mampu mengingat kembali ilmu yang telah dipelajari. Berkenaan dengan ini, surah al-Alaq ayat 4-5 menyebutkan:

الَّذِي عَلَّمَ بِالْقَلَمِ

عَلَّمَ الْإِنسَانَ مَا لَمْ يَعْلَمْ

Yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam. Dia mengajari manusia apa yang tidak diketahuinya.

Shadiq Ahmad Khan menyebutkan surah al-‘Alaq ayat 4-5 mengandung makna bahwa Allah mengajarkan manusia menulis dengan pena, yang dengannya ia mampu mengetahui segala hal yang tertulis.

Baca juga: Tadabbur Al-Hujurat Ayat 6: Membangun Nalar Kritis di Tengah Krisis Literasi Digital

Dikutip dari perkataan al-Qatadah, al-qalam atau sarana menulis merupakan nikmat yang besar dari-Nya. Tanpanya, agama tidak akan tegak dan kehidupan tidak akan baik. Ini menunjukkan kesempurnaan-Nya dengan mengajarkan kepada hamba-hamba-Nya apa saja yang tidak mereka ketahui dan mengeluarkan mereka dari gelapnya kebodohan menuju cahaya ilmu. Serta menunjukkan keutamaan ilmu kepenulisan, sebab dengannya manusia bisa menuai manfaat besar [Fatḥ al-Bayān fī Maqāṣid al-Qur’ān, 15/311].

Begitu Islam sangat memperhatikan betapa pentingnya membaca dan menulis, sebagai unsur terpenting dalam menyelam luasnya ilmu. Tanpa membaca, seseorang tidak akan berpengetahuan. Tanpa diimbangi dengan menulis, maka ilmu yang dibaca bisa saja terlupakan. Oleh karenanya, kedua unsur literasi tersebut haruslah balance untuk memelihara dan mengembangkan keilmuan.

Kewajiban Menghilangkan Kebodohan

Menghilangkan kebodohan manusia bukanlah perkara yang mudah. Prasangka-prasangka yang menyelimuti akal pikiran mampu membawa ke dalam kesesatan. Dalam artian, manusia mengira telah memilih jalan yang benar, padahal nyatanya tersesat. Itu semua disebabkan karena kebodohan. Lebih-lebih, kebodohan yang dikuasai oleh hawa nafsu. Dikutip dari kitab Syajarah al-Ma’ārif [106], Allah menegaskan dalam Alquran supaya manusia menghilangkan kebodohannya, pada tiga ayat.

Pertama, Q.S. al-An’ām ayat 35: Falā takūnanna min al-jāhilīn (Janganlah sekali-kali engkau termasuk orang-orang yang bodoh).  Kedua, Q.S. Hūd ayat 46: Innī a’iżuka an takūna min al-jāhilīn (Sesungguhnya aku menasehatimu agar engkau tidak termasuk orang-orang bodoh). Ketiga, Q.S. al-Baqarah ayat 67, doa Nabi Musa supaya terlindung dari kejahilan: Qāla a’ūżu billāhi an akūna min al-jāhilīn (Aku berlindung kepada Allah agar tidak termasuk orang-orang yang jahil).

Urgensi Literasi dalam Membangun Masyarakat Berkualitas

Sejatinya, membiasakan diri untuk berliterasi dengan baik, seperti membaca dan menulis, secara tidak langsung dapat mengembangkan dan meningkatkan kualitas diri, bahkan sekaligus meningkatkan kualitas bangsa. Sebab, bangsa yang hebat terbentuk dari masyarakat yang melek dan sadar akan pentingnya literasi, dan menerapkannya dalam berbagai aspek kehidupan manapun. Masyarakat yang berdaya, memiliki kemampuan untuk berpikir kritis, memahami kondisi dan informasi yang ada, serta mampu bertindak dengan bijak.

Menariknya, ketika literasi dan pendidikan berkualitas digalakkan, pembangunan infrastruktur fisik dan pembangunan manusia akan balance, saling mendukung. Masyarakat yang berpengetahuan luas akan lebih bijak dalam memanfaatkan sumber daya, merawat infrastruktur, dan mampu bersikap kritis ketika dihadapkan suatu permasalahan sosial. Akhirnya, kita akan melihat bahwa infrastruktur luar yang kuat dan generasi muda yang cerdas adalah dua elemen yang mampu mendobrak kemajuan bangsa.

Baca juga: Indeks Literasi Alquran di Indonesia dan Nasihat Quraish Shihab

Hal ini senada dengan ungkapan I Made Ngurah Rai yang dikutip dalam buku Mengabdi Demi Meningkatkan Kualitas Literasi dan Numerasi (276), bahwa penguasaan literasi dalam segala aspek kehidupan memang menjadi tulang punggung kemajuan peradaban suatu bangsa. Tidak mungkin menjadi bangsa yang besar, apabila hanya mengandalkan budaya oral yang mewarnai pembelajaran lembaga sekolah maupun perguruan tinggi.

Sebaliknya, minimnya literasi masyarakat dapat menjerumuskan pada tidak cakapnya dalam mengelola dan menjaga infrastruktur pemerintah, mudahnya termakan hoaks, bertindak semena-mena tanpa dipikir matang-matang, dan jerumusan-jerumusan lain yang dapat merugikan negara. Apalagi dengan hadirnya perkembangan teknologi sekarang ini, khususnya media sosial, masyarakat minim literasi akan sangat mudah termakan informasi bodong. Inilah pentingnya literasi.

Penutup

Perintah Allah supaya manusia membaca dan menulis sebagaimana merupakan unsur paling utama dalam literasi, serta dengannya mampu menghilangkan kebodohan, tidak lain ditujukan untuk meningkatkan kualitas diri manusia. Ketika suatu negara memiliki kualitas literasi yang baik, maka akan unggul pula kualitas sumber daya manusia, sehingga negara akan mengalami kemajuan. Karena hal yang paling mendasari dalam memajukan suatu negara adalah mencerdaskan anak bangsa. Bukan terlebih dahulu pemerintah menyibukkan membangun infrastruktur sana-sini, tetapi luput membangun tunas yang unggul.

Kisah Heroik Nabi Daud a.s Mengalahkan Raja Jalut

0

Nabi Daud a.s. merupakan sedikit dari nabi-nabi yang dianugerahkan kenabian dan kekuasaan sekaligus. Beliau merupakan nabi yang diutus kepada Bani Israil setelah Nabi Samuel a.s. dan hidup pada saat Raja Thalut berkuasa.

Syahdan, Bani Israil yang dipimpin oleh Raja Thalut ketika itu sedang dalam situasi perang melawan pasukan dari Palestina yang dipimpin oleh Raja Jalut. Konon, Raja Jalut adalah raja yang kejam dan kuat. Ia tidak pernah kalah dalam setiap pertempuran yang dilakukannya. Hingga ia meminta agar Bani Israil yang saat itu dipimpin Raja Talut untuk mengutus orang berduel dengannya.

Baca Juga: Pandangan Ulama Seputar Kisah Nabi Daud As. (Bagian 1)

Sontak semua pasukan Raja Thalut gentar mendengar tantangan duel dari seorang raja yang tak terkalahkan itu. Sampai akhirnya, Raja Thalut berjanji akan memberikann hadiah kepada siapapun yang berhasil mengalahkan Raja Jalut. Disaat semua pasukan bergeming, majulah seorang anak muda yang tidak membawa pedang atau perlengkapan lainnya, tetapi hanya membawa ketapel dan beberapa butir kerikil.

Perjalanan Nabi Daud a.s. Melawan Raja Jalut

Dalam berbagai riwayat, diceritakan bahwa pada saat perang tersebut berlangsung Nabi Daud a.s. masih remaja. Kesibukan sehari-harinya adalah mengembala kambing. Guna memudahkan dalam mengatur dan menjaga kambing-kambingnya, beliau selalu membawa tongkat dan ketapel.

Nabi Daud a.s. memiliki ayah bernama Isya dan dua belas orang saudara. Beliau adalah anak bungsu yang memiliki postur tubuh relatif lebih kecil dari pada saudara-saudaranya. Karena alasan ini, hanya Nabi Daud a.s. yang tidak diutus ayahnya menjadi prajurit bersama kedua belas saudaranya.

Dalam Tafsir al-Baghawi, dikisahkan Nabi Samuel a.s. telah mendapat wahyu dari Allah Swt. bahwa kekalahan Raja Jalut ada di tangan putra Isya. Namun, selama beberapa waktu, kemenangan belum juga diraih meskipun Isya telah mengutus putra-putranya untuk berperang. Pada mulanya, Isya memang menyembunyikan keberadaan Nabi Daud a.s. Selain karena beliau masih terlalu muda, perawakannya yang kecil menjadi alasan Isya tidak mengutus Nabi Daud a.s. untuk ikut berperang bersama saudaranya yang lain.

Baca Juga: Ibrah Kisah Nabi Daud: dari Taubat hingga Manajemen Ibadah

Tetapi, atas petunjuk dari Allah yang diterima Nabi Samuel, akhirnya keberadaan Nabi Daud a.s. diketahui. Setelah dimintai izin kepada Isya, ayahnya, Nabi Daud a.s. akhirnya berangkat untuk bergabung menjadi tentara Raja Thalut.

Singkat cerita, setelah bertemu Raja Thalut, beliau akhirnya diutus untuk duel melawan Raja Jalut. Tidak seperti pasukan perang pada umumnya yang menggunakan perlengkapan perang semisal pedang, baju besi dan lain-lain, beliau hanya membawa tongkat dan ketapel. Hal ini karena memang postur tubunya yang mungil sehingga baju besi dan perlengkapan lainnya hanya akan memperlambat geraknya. Beliau juga memiliki keteguhan iman yang kuat sehingga mengatakan bahwa jika Allah Swt. tidak memberi pertolongan maka apa gunanya pedang dan perlengkapan perang.

Dalam perjalanannya, Nabi Daud a.s. memungut batu sebagai peluru ketapelnya untuk melawan Raja Jalut. Batu yang beliau pungut ada tiga dan semuanya memanggil Nabi Daud a.s. agar ikut dibawa bersamanya. Konon, batu pertama dan kedua adalah batu yang pernah digunakan Nabi Musa a.s. dan Nabi Harun a.s. untuk melawan raja zalim, sedangkan yang ketiga adalah batunya Nabi Daud a.s. yang akan digunakan untuk membunuh Raja Jalut.

Syahdan, akhirnya beliau bertemu dengan pasukan Raja Jalut dan akan melakukan duel bersamanya. Sontak Raja Jalut terawa dan menganggap Raja Thalut main-main karena mengutus seorang anak kecil yang hanya membawa tongkat dan ketapel. Akan tetapi, atas izin Allah, Nabi Daud yang dipersilahkan untuk menyerang duluan berhasil mengalahkan raja jalut pada lemparan pertama. Batu yang beliau lempar menggunakan ketapel tersebut berhasil menembus kepala Raja Jalut dan berhasil menewaskannya.

Baca Juga: Ketika Allah Mengajarkan Nabi Daud tentang Kepemimpinan

Tentara Raja Jalut yang kocar kacir akibat kematian pemimpinnya kemudian diserang Nabi Daud dan pasukan raja thalut yang lainnya. Atas izin Allah, kemenangan besar pada akhirnya berhasil diraih oleh Bani Israil berkat keberanian menantang duel Raja Jalut yang terkenal kejam dan begitu perkasa.

Kemenangan pasukan Bani Israil ini diabadikan oleh Allah dalam Alquran surah Albaqarah ayat 251:

فَهَزَمُوهُمْ بِإِذْنِ اللَّهِ وَقَتَلَ دَاوُودُ جَالُوتَ وَآتَاهُ اللَّهُ الْمُلْكَ وَالْحِكْمَةَ وَعَلَّمَهُ مِمَّا يَشَاءُ وَلَوْلَا دَفْعُ اللَّهِ النَّاسَ بَعْضَهُمْ بِبَعْضٍ لَفَسَدَتِ الْأَرْضُ وَلَكِنَّ اللَّهَ ذُو فَضْلٍ عَلَى الْعَالَمِينَ

Artinya: Maka mereka mengalahkannya dengan izin Allah, dan Daud membunuh Jalut. Kemudian, Allah memberinya (Daud) kerajaan, dan hikmah, dan mengajarinya apa yang dia kehendaki. Dan kalau Allah tidak melindungi sebagian manusia dengan sebagian yang lain, niscaya rusaklah bumi ini. Tetapi Allah mempunyai karunia (yang dilimpahkan-Nya) atas seluruh alam.

Detail kisah mengenai perjuangan Nabi Daud melawan raja jalut diceritakan panjang lebar dalam beberapa kitab tafsir, semisal Tafsir al-Thabari, Tafsir al-Khazin, Tafsir al-Baghawi dan beberapa tafsir lainnya. Bahkan dalam beberapa kitab tafsir, kisah ini sampai menghabiskan belasan halaman banyaknya. (Ad-Dakhil fi Tafsir)

Namun, yang perlu ditekankan adalah bahwa detail dari kisah tersebut merupakan kisah israiliat yang belum dapat divalidasi kebenarannya. Ada episode-epidode yang mungkin benar adanya, tetapi tidak sedikit pula yang berisi cerita fiktif dari umat terdahulu. Yang wajib kita yakini adalah apa yang dijelaskan oleh Alquran bahwa terbunuhnya Raja Jalut oleh Nabi Daud dan kemenangan bani israil.

Imam Abu Mansur al- Maturidi dalam kitab Ta’wilat Ahl al-Sunnah mengatakan,

والقصة طويلة فلا ندري كيف كانت القصة وليس لنا إلى معرفتها حاجة

Kisah ini sangat panjang. kita tidak mengetahui seperti apa kejadian sesungguhnya. Dan memang kita tidak perlu mengetahui detail kisah tersebut. 

Ibrah Dari Kisah Kepahlawanan Nabi Daud

Meski detail kisah di atas merupakan kisah israiliat yang belum jelas kebenarannya, tetapi ada banyak pelajaran yang dapat kita petik darinya. Di antaranya adalah keberanian dan kepahlawanan Nabi Daud dalam melawan dan mengalahkan Raja Jalut. Di usianya yang masih belia dan dengan peralatan seadanya, beliau berhasil menumbangkan raja yang kejam lagi perkasa.

Dari Nabi Daud a.s. kita belajar tentang arti dari sebuah perjuangan. Perjuangan tidak mengenal usia dan bentuk fisik, tetapi keteguhan hati dan kepasrahan pada ilahi adalah kunci utama dalam meraih kemenangan sejati.

Perjuangan juga memerlukan pengorbanan, baik pengorbanan secara fisik maupun finansial. Maka dari itu, guru kami Almagfurlahu K.H.R. As’ad Syamsul Arifin, yang juga seorang pahlawan nasional, pernah berdawuh, ”kalau kalian tidak mau repot, jangan berjuang, Karena perjuangan selalu membutuhkan pengorbanan”.

Waktu Pagi dan Keberkahannya dalam Alquran

0
waktu pagi dan keberkahannya.jpg
waktu pagi dan keberkahannya.jpg

Pagi hari merupakan waktu yang istimewa di antara waktu-waktu lainnya. Waktu antara subuh hingga matahari terbit (isyraq), di dalamnya terkandung banyak keberkahan, bahkan karena begitu mulianya, Rasulullah saw. secara khusus berdoa untuk umatnya yang senang bangun dari waktu subuh. Sebagaimana dalam hadis yang diriwayatkan oleh sahabat Shakhr al-Ghamidi:

اللَّهُمَّ بَارِكْ لأُمَّتِى فِى بُكُورِهَا

“Ya Allah, berkahilah umatku di waktu paginya.” (H.R. Tirmidzi)

Waktu pagi juga menjadi kesempatan untuk mendapatkan pahala dan rahmat-Nya sebagaimana disebutkan dalam banyak ayat Alquran bahwa Allah memerintahkan umat Islam untuk bertasbih di waktu pagi dan petang.

Dalam surah at-Takwir ayat 18, Allah secara khusus bersumpah dengan waktu subuh.

وَالصُّبْحِ اِذَا تَنَفَّسَۙ ١٨

Dan demi subuh apabila fajarnya mulai menyingsing.

Sumpah ini menarik, sebab dalam Alquran tidak ada benda yang tidak bernyawa dinyatakan ‘bernapas’ (hidup), kecuali waktu subuh. Syekh Mutawalli as-Sya’rawi (15/142) menerangkan bahwa kehadiran subuh di waktu pagi merupakan permulaan hari ketika cahaya mulai bersinar yang memberi nafas kehidupan bagi manusia.

Subuh juga menyemburkan udara segar yang sangat berguna bagi kesehatan manusia. Jika pada malam hari pohon-pohon dan tumbuh-tumbuhan mengeluarkan racun (karbon dioksida), saat subuh (pagi hari), pohon-pohon mengeluarkan oksigen yang memberi manfaat manusia ketika memulai aktivitasnya. Karenanya, banyak keberkahan di waktu pagi mulai dari subuh saat kegelapan malam telah menyingsing.

Baca Juga: Keutamaan Waktu antara Maghrib dan Isya

Keberkahan waktu pagi itu berdimensi fisik dan spiritual. Dari sisi fisik (duniawi), keberkahan (nafas) waktu subuh sebagaimana penjelasan di atas, dikaitkan dengan kesehatan, dan kesuksesan khususnya dalam segi ekonomi. Sementara dari sisi spiritual, sebagaimana Rasulullah saw. telah menjelaskan dalam sebuah hadis riwayat Abu Hurairah.

فَسَدِّدُوا وَقَارِبُوا وَأَبْشِرُوا ، وَاسْتَعِينُوا بِالْغَدْوَةِ وَالرَّوْحَةِ

“Perhatikanlah ada pahala di balik amal yang selalu kontinu. Lakukanlah ibadah (secara kontinu) di waktu al-ghadwah dan ar-rauhah.” Yang dimaksud ‘al-ghadwah’ adalah perjalanan di awal siang. Al-Jauhari mengatakan bahwa itu merupakan waktu antara salat fajar hingga terbitnya matahari. (Fath al-Bari 1/62)

Tuntunan Aktivitas di Waktu Pagi

Imam al-Ghazali dalam kitabnya memberikan tuntunan tentang aktivitas yang lebih utama untuk dikerjakan umat Islam setelah salat subuh. Yaitu memulai aktivitas di pagi hari dengan niat untuk beramal kebaikan.

Beliau berkata, “Niatkan berbuat baik kepada semua muslim. Niatlah untuk tidak sibuk sepanjang hari kecuali taat kepada Allah. Dan niatlah dalam hatimu untuk melaksanakan ketaatan yang engkau mampu untuk melakukannya, atau engkau memilih yang paling utama dari amal ketaatan itu, dan hendaknya engkau merencanakan persiapan sehingga engkau sibuk mengisi waktu dengan taat.”

Selain memperbanyak niat saleh, Imam al-Ghazali juga mengajarkan untuk mengawali pagi dengan banyak berdoa, membaca zikir dan tasbih serta mengulang-ulang zikir tersebut, membaca Alquran juga bertafakur. (Bidayah al-Hidayah h. 103-104)

Baca Juga: Hikmah Allah Bersumpah dengan Waktu Fajar dalam Surah Al-Fajr

Terkait dengan zikir khusus yang dapat dibaca di pagi hari ialah sebagaimana telah diajarkan Rasulullah saw. dalam hadis. Diriwayatkan oleh Sayyidah Juwairiyyah, bahwa Rasulullah saw. pernah keluar dari sisinya pada pagi hari setelah salat Subuh, sedangkan dirinya tetap berada di tempat salatnya. Setelah itu, beliau pulang ketika waktu Dhuha sedangkan beliau juga masih dalam keadaan duduk. Lalu beliau bertanya, “Apakah engkau tetap dalam keadaan ini ketika aku tinggalkan?” Beliau menjawab, “Ya.”

Rasulullah saw. kemudian bersabda, “Sungguh, aku telah mengucapkan setelahmu empat kalimat sebanyak tiga kali, yang jika ditimbang dengan yang engkau ucapkan sejak tadi tentu akan menyamai timbangannya” yaitu kalimat:

سُبْحانَ الله عَدَدَ خَلْقِهِ ، سُبْحَانَ الله رِضَا نَفْسِهِ ، سُبْحَانَ اللهِ زِنَةَ عَرْشِهِ ، سُبْحَانَ الله مِدَادَ كَلِمَاتِهِ

“Mahasuci Allah. Aku memuji-Nya sebanyak makhluk-Nya, sejauh kerelaan-Nya, seberat timbangan ‘Arsy-Nya, dan sebanyak tinta tulisan kalimat-Nya.” (H.R. Muslim)

Orang-orang terbaik dari generasi sahabat dan tabi’in tidak pernah tidur lagi setelah melakukan salat Subuh. Mereka berzikir dan membaca wirid hingga matahari terbit. Tak lama setelah itu, mereka melaksanakan salat sunnah isyraq dan dhuha, kemudian mereka memulai kerja dan aktivitas lainnya.

Hal tersebut sebab merupakan wasiat dari Rasulullah saw. untuk tidak tidur lagi atau tetap terjaga setelah menunaikan salat subuh. Sebagaimana suatu ketika beliau saw. pulang dari Masjid Nabawi usai jamaah salat subuh. Rasulullah saw. mendapati putrinya, Sayyidah Fatimah masih tidur-tiduran. Dengan penuh kasih sayang lantas beliau membangunkan putrinya itu sembari berkata,

“Wahai anakku, bangunlah, saksikan rezeki Tuhanmu dan janganlah kamu termasuk orang yang lalai karena Allah membagikan rezeki kepada hamba-Nya, antara terbit fajar dengan terbit matahari.” (H.R Ahmad dan Baihaqi)

Pada kesempatan lain, Rasulullah saw. juga sering mengingatkan sahabatnya agar bangun pagi dan giat mencari rezeki, “Bangunlah pagi hari untuk mencari rezeki dan kebutuhan-kebutuhanmu. Sesungguhnya, pada pagi hari terdapat berkah dan keberuntungan.” (H.R. Thabrani dan al-Bazzar). Wallah a’lam.

Telusur Kaidah Asbabunnuzul dalam Kitab-Kitab ‘Ulūm al-Qur’ān

0
kaidah Asbabunnuzul
kaidah Asbabunnuzul

Dalam ilmu Alquran, di bagian kaidah Asbabunnuzul terdapat suatu kaidah yang lebih khusus lagi, yaitu al-‘Ibrah bi ‘umūm al-lafdz dan al-‘Ibrah bi khuṣūṣ al-sabab. Mulanya kaidah ini banyak dijelaskan dalam kitab-kitab Uṣūl fiqh, kemudian pembahasan kaidah ini berlanjut ke dalam kitab-kitab ‘Ulūm al-Qur’ān.

Dalam kitab ‘Ulūm al-Qur’ān Ibn Jauzī  yang berjudul Funūn al-Afnān fī ‘Uyūn ‘Ulūm al-Qur’ān dan al-Mujtabā min al-Mujtanā masih belum ada pembahasan tentang kaidah ini, termasuk asbāb al-nuzūl yang merupakan akar dari adanya kaidah ini dalam pembahasan ‘Ulūm al-Qur’ān. Kemudian disusul oleh ulama setelahnya yaitu Abū Syamah al-Maqdīsī dengan nama kitabnya al-Mursyid al-Wajīz masih belum ada juga pembahasan tentang kaidah ini.

Selanjutnya Ibn Taimiyyah dengan nama kitabnya Muqaddimah fī Uṣūl al-Tafsīr (44-47) baru ilmu tentang kaidah ini dijelaskan walaupun masih sangat ringkas. Di sini sang pengarang lebih menjelaskan maksud dari pendapat al-‘ibrah bi khuṣūṣ al-sabab. Dari sini dapat dilihat bahwa kaidah tesebut baru masuk pada pembahasan Ulūm al-Qur’ān di masa Ibn Taimiyah secara tertulis.

Baca Juga: Tujuh Kitab Populer untuk Referensi Asbabunnuzul

Kemudian pada penjelasan al-Zarkasyī dalam kitabnya, al-Burhān fī ‘Ulūm al-Qur’ān, pembahasan tentang kaidah ini hanya 1/4 halaman saja (sangat sedikit). Dalam pembahasannya, ketika beliau mengungkap argumentasi kelompok yang berpendapat al-‘ibrah bi ‘umūm al-lafżi, beliau menukil pernyataan az-Zamakhsyarī yang disebutkan dalam kitab tafsirnya perihal surah al-Humazah dan juga pembahasan yang sangat ringkas terkait al-‘ibrah bi khuṣūṣ al-sabab.

Sementara itu, Jalāl al-Dīn al-Balqinī dalam kitabnya Mawāqi’ al-‘Ulūm min Mawāqi’ al-Nujūm, tidak membahas  tentang kaidah ini. Dilanjutkan dengan ulama yang bernama Muhammad bin Sulaiman al-Kafijī dalam kitabnya al-Taisīr fī Qawā’id al-Tafsīr juga tidak ada pembahasan terkait kaidah ini. Untuk selanjutnya, Jalāl al-Dīn al-Suyuṭī dalam kitabnya, al-Itqān fī ‘Ulūm al-Qur’ān, penjelasan tentang kaidah ini sudah lebih detail daripada penjelasan Ibn Taimiyyah sebelumnya.

Selanjutnya Ṭāhir bin Ṣālih dalam kitabnya al-Tibyān li Ba’ḍi al-Mabāhiṡ al-Muta’alliqah bi al-Qur’ān juga tidak ada pembahasan tentang kaidah tersebut.

Selanjutnya, az-Zarqānī dengan nama kitabnya, “Manāhil al-‘Irfān (74)” mulai kaidah ‘umūm al-lafẓi dan khuṣūṣ al-Sabab dijelaskan secara detail. Selanjutnya Muhammad Abu Syuhbah dengan nama kitabnya al-Madkhal li Dirāsah al-Qur’ān al-Karīm tidak jauh dengan penjelasan yang diuraikan oleh al-Zarqānī dan kemungkinan salah satu refrensinya adalah kitab al-Zarqānī.

Ṣabhi Ṣālih dalam kitabnya Mabāhiṡ fī ‘Ulūm al-Qur’ān juga tidak jauh berbeda penjelasannya dengan ulama sebelumnya. Abdullah Mahmūd dalam kitabnya ‘Ulūm al-Qur’ān menjelaskan lebih khusus pada pendapat yang memperhatikan keuniversalan teks.

Kemudian Manna’ al-Qaṭṭān dengan nama kitabnya Mabāhiṡ fī ‘Ulūm al-Qur’ān di dalamnya dijelaskan tentang kiadah ini secara global, terutama mengenai pendapat selain mayoritas ulama yang diistilahkan olehnya dengan jammā’ah.

Muhammad Hādī Ma’rafah dengan nama kitabnya, al-Tamhīd fī ‘Ulūm al-Qur’ān walaupun kitab ini ada 10 jilid tapi pembahasan tentang kaidah ini masih ada 3 halaman saja, yakni penjelasannya masih global.

Kemudian Fadl Hasan ‘Abbās dengan nama kitabnya Itqān al-Burhān fī ‘Ulūm al-Qur’ān penjelasan dalam kitab ini masih tidak jauh beda dengan ulama sebelumnya, beliau mengutip pendapat dari al-Zarkasyī dan al-Suyūṭī dalam menjelaskan kaidah ini.

Kemudian Musṭafa Dīb dan muhyi al-Dīn dalam kitab mereka, al-Wāḍih fī ‘Ulūm al-Qur’ān tidak ada pembahasan terkait pembahasan ini. Musā’id bin Sulaimān al-Ṭayyar dalam kitabnya al-Muharrar fī ‘Ulūm al-Qur’ān menjelaskan kedua kaidah ini masih secara global.

Kemudian Muhammad Sālim Abū ‘Āṣī yang terbilang salah satu ulama masa modern, dalam kitabnya, Asbāb al-Nuzūl Tajdīd Mafāhim wa Rad al-Syubhāt menjelaskan tentang kaidah ini sebagaimana penjelasan ulama sebelumnya, hanya beberapa tambahan penjelasan yang sedikit lebih rinci. Selain itu, beliau juga menjawab kemusykilan, kecurigaan dari para tokoh pemikir tentang ilmu ini, seperti Nasr Ḥāmid abū Zayd.

Baca Juga: Konteks Historis Penurunan Alquran dan Perannya bagi Asbabunnuzul

Sebagaimana disampaikan oleh beberapa pengkaji ilmu Alquran mengenai peran dan urgensi kaidah asbabunnuzul dalam penafsiran Alquran, meski demikian, ulasan di atas menunjukkan bahwa ternyata tidak semua pengkai ilmu Alquran memberi ruang yang sama untuk pembahasan kaidah tersebut.

Satu hal yang menarik untuk dicermati adalah kaidah asbabunnuzul ternyata lebih dahulu menjadi perhatian para ulama usul fiqh, baru kemudian menjadi bagian dari pembahasan ilmu Alquran. Wallah a’lam