Beranda blog Halaman 23

Meluruskan Paradigma Keliru tentang Konsep Ekonomi Islam

0
Meluruskan Paradigma Keliru tentang Konsep Ekonomi Islam
Meluruskan Paradigma Keliru tentang Konsep Ekonomi Islam

Ketika berbicara mengenai ekonomi, maka secara tidak langsung kita akan dibawa pada bermacam-macam aliran yang menghuni mazhab ekonomi dunia. Masing-masing mazhab ekonomi tersebut memiliki pandangan atau prinsip yang dapat membedakan dari satu kelompok dengan kelompok yang lain. Gagasan-gagasan itu muncul dari latar belakang dan sosio-kultural yang menyesuaikan kebutuhan zaman dan pemikiran para penggagasnya.

Kapitalisme, sosialisme, liberalisme, dan lain sebagainya hadir mewarnai corak perkembangan ekonomi dunia. Islam sendiri juga memiliki aturan dan batas-batas yang sudah terkonsep sedemikian rupa. Akan tetapi, banyak persepsi yang berkembang tentang masyarakat muslim sendiri yang tak mengindahkan konsep ekonomi Islam, dan lebih memilih untuk menggunakan konsep di luar Islam seperti yang disebutkan di atas.

Hal ini bisa kita saksikan dalam kehidupan masyarakat muslim yang menghuni daerah perkotaan yang menjalankan berbagai bisnis tanpa mengindahkan aturan-aturan halal-haram yang sudah ditentukan oleh syariah Islam. Oleh karena itu, sebelum masuk terlalu jauh membahas detail-detail yang ada dalam ekonomi Islam, alangkah lebih baiknya jika kita memperbaiki mindset maupun pemahaman tentang aturan Islam terkait masalah ekonomi.

Baca juga: Konsep Kepemilikan Harta dalam Islam

Kebanyakan orang menganggap bahwa mazhab ekonomi Islam memiliki pemahaman yang melarang seseorang untuk kaya, cinta dunia, dan menganjurkan pemeluknya untuk terus hidup dalam kesederhanaan (kemiskinan). Lebih dari itu, umat Islam seolah-olah tidak percaya dan merasa pesimis untuk bisa sukses dalam berbisnis jika memaksakan untuk menggunakan konsep ekonomi Islam.

Padahal, Allah menurunkan Alquran kepada Nabi Muhammad sebagai pedoman dan undang-undang yang seyogianya dijadikan pegangan umat Islam dalam mengarungi kehidupan di dunia, termasuk juga dalam urusan perekonomian. Sementara itu, ekonomi Islam sendiri berupa konsep-konsep yang telah diejawantahkan oleh para pakar dari nas-nas yang terkandung dalam Alquran dan hadis. Hal inilah yang seharusnya menjadi refleksi bagi umat Islam yang sudah sepantasnya menaati apa yang sudah ditetapkan dalam prinsip ekonomi Islam.

Kekeliruan dalam Memahami Ajaran Zuhud

Usut punya usut, kalangan yang tak percaya terhadap ekonomi Islam mendasarkan argumennya dengan nas-nas ayat maupun hadis yang secara eksplisit menganjurkan untuk hidup zuhud dan tidak terlalu serius memikirkan harta. Tampaknya mereka salah tangkap terkait makna tersurat dari nas-nas tersebut. Salah satu yang sering disalahpahami adalah surah Al-Ankabut [29] ayat 64:

وَمَا هٰذِهِ الْحَيٰوةُ الدُّنْيَآ اِلَّا لَهْوٌ وَّلَعِبٌۗ وَاِنَّ الدَّارَ الْاٰخِرَةَ لَهِيَ الْحَيَوَانُۘ لَوْ كَانُوْا يَعْلَمُوْنَ ۝٦٤

Kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah senda gurau dan permainan. Sesungguhnya negeri akhirat itulah kehidupan yang sebenarnya seandainya mereka mengetahui.

Ayat di atas secara eksplisit ingin mengatakan bahwa dunia dan seisinya hanyalah sebuah bayang-bayang yang tidak nyata. Hal ini sebagaimana yang dikatakan Syaikh Muhammad Asy-Syawi dalam tafsirnya, An-Nafahat Al-Makkiyah:

“Ketahuilah wahai manusia bahwa hakikat kehidupan di dunia ini hanyalah senda gurau dan permainan, manusia banyak tersibukkan darinya dan berpaling dari negeri akhirat yang ia adalah kehidupan sebenarnya yang tidak fana, sekiranya manusia mengetahui hakikat itu, maka mereka tidak akan mengutamakan yang fana atas yang kekal”.

Baca juga: Isyarat Larangan Monopoli Ekonomi dalam Alquran

Akan tetapi, apakah ayat di atas mengarah pada larangan untuk menjadi kaya? Untuk menemukan titik temu akan makna hakikat dari ayat di atas, setidaknya ada dua hal yang perlu untuk disampaikan.

Pertama, terkait banyaknya perintah dan larangan untuk menjauhi dunia seperti ayat di atas perlu dilakukan kajian ulang. Artinya, larangan yang dimaksud tidak lantas dipahami secara radikal yang membuahkan pemahaman bahwa tidak boleh mendekati dunia sama sekali. Yang dimaksud teks-teks tersebut ialah larangan untuk memasukkan dunia ke dalam hati seorang mukmin dan menjadikannya sebagai tujuan pokok. Manusia tidak boleh menjadikan hal-hal yang bersifat duniawi mengalahkan urusan ukhrawi. Karena memang, semua yang tampak oleh mata saat ini tidak lain hanyalah bayang-bayang semata.

Inilah yang diwanti-wanti oleh Nabi agar seseorang selalu semangat menjalani kehidupan duniawi sembari tetap bersikap qana’ah (menerima) dan tidak merasa memiliki akan harta yang diperoleh. Dengan sikap legowo, maka seorang muslim akan menerima dengan lapang dada apa pun hasil yang ia terima dari jerih payahnya. Tidak hanya itu, jika seseorang merasa bahwa kekayaan di dunia hanyalah titipan dari Tuhan, maka ia tidak akan merasa begitu kehilangan ketika menyalurkannya pada jalan kebaikan atau tertimpa sebuah musibah.

Islam Tidak Melarang Muslim Menjadi Kaya Raya

Kedua, tidak ada satu pun dalil dalam Islam yang melarang pemeluknya untuk menjadi kaya raya. Yang banyak ialah anjuran untuk mencari harta sebanyak-banyaknya sealah-olah ia akan hidup selamanya. Nabi pernah bersabda:

عَنْ سَعْدِ بْنِ أَبِي وَقَّاصٍ قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: إِنَّ اللهَ يُحِبُّ الْعَبْدَ التَّقِيَّ، الْغَنِيَّ، الْخَفِيَّ

“Sesungguhnya Allah mencintai seorang hamba yang bertakwa, yang kaya dan tersembunyi (tidak dilihat oleh banyak orang).” (H.R. Muslim).

Hadis ini di satu sisi menganjurkan umatnya untuk menjadi kaya agar memiliki mentalitas yang kuat. Dan di sisi yang lain, beliau menekankan bahwa sikap sombong dan ria merupakan tindakan yang tercela. Sehingga, ketika ada seseorang mendapat karunia menjadi kaya, hendaknya dia tidak berfoya-foya dan menghambur-hamburkan kekayaannya dengan tujuan pamer.

Baca juga: Legalitas Konsep ‘Hilah’ dalam Alquran

Dapat diambil kesimpulan bahwa Islam tidak melarang pemeluknya untuk menjadi kaya. Bahkan sebaliknya, Islam memerintahkan untuk bekerja keras dengan mencari harta sebanyak-banyaknya agar nantinya dapat membantu saudara-saudaranya melalui zakat, sedekah, wakaf, dan lain-lain.

Maka, sudah jelas bahwa Islam tidak menganjurkan untuk hidup miskin karena akan membuat seseorang lemah. Ditambah, Nabi pernah bersabda dalam sebuah hadis yang diriwayatkan Abu Na’im: “Kemiskinan itu dekat kepada kekufuran.”

Ketika doktrin seperti ini yang berkembang, maka diharapkan dapat membentuk mental masyarakat muslim yang kuat dan tangguh dengan tidak bergantung pada manusia lainnya. Dan rasa-rasanya, jika tidak dibarengi dengan menaati konsep ekonomi yang berlandaskan syariah Islam, maka kesuksesan tersebut tidaklah bermakna apa-apa.

Etika Islam di Ruang Publik

0
Etika Islam di Ruang Publik: Memadukan Adab dan Martabat dalam Relasi Sosial
Etika Islam di Ruang Publik: Memadukan Adab dan Martabat dalam Relasi Sosial

Di zaman sekarang, banyak pertemuan terjadi baik secara fisik maupun virtual. Kita sering berada dalam berbagai majelis, entah itu dalam seminar, diskusi, atau acara-acara lainnya yang mempertemukan orang-orang dengan latar belakang berbeda. Di situ, penting bagi kita untuk menjaga sikap agar pertemuan berjalan dengan baik dan semua orang merasa nyaman. Bagi seorang muslim, aturan dan sikap ini sebenarnya sudah diajarkan dalam Alquran, yang memberi panduan tentang bagaimana bersikap dengan baik di berbagai situasi.

Salah satu ayat yang berbicara tentang hal ini ada di Q.S. Al-Mujadalah: 11. Dalam ayat tersebut, Allah mengajarkan pentingnya memberikan kelapangan bagi sesama di dalam majelis atau di ruang publik, serta mengikuti arahan yang diberikan oleh pemimpin pertemuan. Dengan cara ini, suasana yang rapi dan tertib bisa tercipta, membuat pertemuan lebih menyenangkan bagi semua yang hadir. Allah Swt. berfirman:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِذَا قِيْلَ لَكُمْ تَفَسَّحُوْا فِى الْمَجٰلِسِ فَافْسَحُوْا يَفْسَحِ اللّٰهُ لَكُمْۚ وَاِذَا قِيْلَ انْشُزُوْا فَانْشُزُوْا يَرْفَعِ اللّٰهُ الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا مِنْكُمْۙ وَالَّذِيْنَ اُوْتُوا الْعِلْمَ دَرَجٰتٍۗ وَاللّٰهُ بِمَا تَعْمَلُوْنَ خَبِيْرٌ

Wahai orang-orang yang beriman, apabila dikatakan kepadamu “Berilah kelapangan di dalam majelis-majelis,” lapangkanlah, niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Apabila dikatakan, “Berdirilah,” (kamu) berdirilah. Allah niscaya akan mengangkat orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat. Allah Maha Teliti terhadap apa yang kamu kerjakan (Q.S. Al-Mujadalah [58]: 11).

Menariknya, ayat ini memadukan dua konsep sekaligus: empati dalam memberikan ruang publik kepada orang lain, dan penghargaan terhadap ilmu. Ini adalah nilai yang sangat mendasar dalam Islam, yang mengajarkan agar umat muslim selalu mengedepankan etika dalam pergaulan sosial serta menghargai orang lain tanpa memandang status atau kedudukan. Kedua konsep ini juga sangat relevan di dunia modern, di mana persaingan dan individualisme sering kali membuat seseorang lupa akan hak dan kenyamanan orang lain.

Baca juga: Keutamaan Ilmu dan Orang yang Berilmu Menurut Alquran dan Hadis

Menurut Sayyid Qutb, ayat ini mengandung pelajaran tentang bagaimana Allah menginginkan umat Islam untuk menciptakan suasana keterbukaan dan kerendahan hati dalam pertemuan. Beliau menyebutkan bahwa salah satu alasan turunnya ayat ini adalah karena beberapa sahabat enggan memberikan tempat bagi sahabat lainnya yang lebih berjasa, seperti pahlawan Perang Badar. Sikap ini kemudian dipandang tidak selaras dengan nilai keimanan dan keterbukaan yang harus dimiliki oleh seorang muslim. Allah Swt. kemudian menurunkan ayat ini sebagai peringatan untuk mengutamakan kelapangan hati dan kedudukan iman daripada sekadar kepentingan egoistik atau kenyamanan pribadi (Fi Zhilal al-Qur’an, vol. 11, hal. 193–194).

Selain itu, Sayyid Qutb menambahkan bahwa ayat ini juga menjadi ujian bagi kaum munafik, yang kemudian mempermasalahkan perintah Nabi Muhammad saw. untuk bangkit dan memberi tempat bagi sahabat yang lain. Bagi kaum munafik, perintah tersebut dianggap tidak adil, padahal Allah menghendaki setiap muslim untuk mendahulukan kepentingan orang lain di atas ego mereka, khususnya ketika hal tersebut diperintahkan oleh pemimpin yang bertanggung jawab.

Quraish Shihab dalam Tafsir al-Misbah (14/488–491) menambahkan dengan perspektif penting lainnya. Menurutnya, ayat ini mengajarkan keteraturan dan kedisiplinan dalam setiap majelis. Ketika seseorang diminta memberikan tempat, ia melakukannya dengan lapang dada, dan apabila diminta untuk berdiri atau bergeser, maka ia melakukannya tanpa merasa terpaksa. Ini menunjukkan betapa Islam sangat menganjurkan keteraturan dalam kegiatan sosial. Quraish Shihab juga menegaskan bahwa keimanan seseorang diukur dari ketaatannya terhadap perintah ini, yang sejatinya merupakan bentuk keikhlasan hati dan penghargaan terhadap sesama muslim.

Baca juga: Prinsip Saling Menghormati dalam Alquran

Selain itu, Quraish Shihab menyoroti bahwa ayat ini juga mengajarkan pentingnya menghargai orang yang lebih berjasa atau lebih membutuhkan tempat. Dalam konteks ini, beliau mengaitkannya dengan sistem protokoler modern di mana orang-orang yang memiliki peran penting diberikan tempat yang lebih terhormat di dekat pemimpin, seperti kepala negara. Jadi, penghargaan ini juga ada dalam syariat Islam dan telah diatur dengan sangat indah dalam ayat ini.

Kedua tafsir di atas menggambarkan pentingnya etika dalam interaksi di ruang publik, baik fisik maupun virtual. Dalam konteks kekinian, ayat ini dapat menjadi rujukan bagi semua umat Islam untuk bersikap terbuka, lapang dada, dan toleran dalam menerima kehadiran orang lain. Ayat ini juga menekankan nilai kedisiplinan dan penghargaan terhadap sesama yang bisa kita terapkan dalam berbagai aspek kehidupan sehari-hari, termasuk di tempat kerja, majelis ilmu, maupun ruang digital.

Pelajaran yang Dapat Diambil

  1. Mengutamakan Kepentingan Orang Lain: Dalam majelis ilmu, memberikan perhatian lebih pada orang lain merupakan wujud keimanan yang patut dicontoh. Ini mencerminkan sikap yang mulia dan menjadi bagian tak terpisahkan dari kepribadian seorang muslim yang sejati.
  2. Kepatuhan pada Pemimpin: Ketika pemimpin atau pihak yang bertanggung jawab memberi arahan, kita diingatkan untuk menaatinya dengan penuh keikhlasan. Sebab, di balik setiap perintah tersebut, pasti terkandung hikmah yang besar, baik untuk kebaikan kita maupun untuk masyarakat luas.
  3. Melapangkan Hati dalam Berbagi Ruang: Islam mengajarkan kita untuk selalu bersikap lapang dada, tidak hanya demi kenyamanan pribadi, tetapi juga untuk menciptakan suasana yang harmonis di antara sesama. Dengan mengutamakan kebaikan bersama, kita mengikuti janji Allah untuk melapangkan hidup kita dan memberikan kemudahan bagi orang lain.

Baca juga: Tafsir Surah Al-Ahzab Ayat 33: Perempuan sebagai Pemeran Domestik dan Publik

Pada akhirnya, ayat ini mengajarkan kepada kita bahwa kehidupan di dunia akan terasa lebih lapang jika kita dapat melapangkan hati untuk sesama. Kepatuhan dan penghormatan terhadap sesama merupakan aspek penting yang harus dibina dalam pertemuan maupun pergaulan di ruang publik. Dengan menanamkan sikap-sikap tersebut, kita tidak hanya memperoleh kedamaian dalam kehidupan sehari-hari. Akan tetapi, juga derajat yang lebih tinggi di sisi Allah Swt, sebagaimana dijanjikan dalam ayat ini. Wallahu a’lam.

Akad Ju’alah dan Legalitasnya dalam Alquran dan Hadis

0

Dinamika kehidupan manusia meniscayakan meningkatnya kebutuhan terdadap materi, baik berupa barang maupun jasa. Dari sini, manusia sering melakukan transaksi untuk memperjual berikan barang dan jasa guna memebuhi kebutuhan hidup. Prilaku ekonomi yang sering dilakukan manusia selain jual beli adalah ijarah dan ju’alah.

Jika jual beli merupakan prilaku ekonomi yang objeknya berupa barang, ijarah dan ju’alah adalah transaki finansial yang menjadikan manfaat barang atau jasa sebagai objek akadnya. Akad ijarah sendiri dapat dimaknai dengan akad sewa menyewa, dan ini telah lumrah diketahui dan dilakukan masyarakat pada umunya. Namun untuk ju’alah, namanya tidak sepopuler ijarah meski sejatinya ia sangat identik dengan ijarah itu sendiri.

Baca Juga: Dalil Al-Quran Tentang Akad Ijarah 

Agar memperoleh sedikit gambaran mengenai akad ju’alah dan legalitasnya dalam Islam, simak penjelasan berikut ini.

Pengertian Ju’alah

Secara bahasa, term ju’alah merupakan derivasi dari kata al-ja’lu yang berarti upah yang diberikan kepada seseorang sebagai reward atas suatu pekerjaan, baik melalui kesepakatan kontrak atau tidak. Secara terminologi, terdapat beberapa ungkapan yang mendefinisikan ju’alah, di antaranya:

التزام مطلق التصرف عوضا معلوما على عمل معين أو مجهول لمعين أو غيره

Kesanggupan seseorang yang kapabel untuk memberikan upah/komisi yang diketahui (kadar dan nominalnya) kepada seseorang atas prestasi atau pekerjaan yang berhasil dilakukan, baik pekerjaan yang diketahui (standarnya) maupun tidak. [Fath al-Qarib, hal. 36]

Sedangkan dalam Bidayah al-Mujtahid, Ibnu Rusyd dari kalangan Malikiyah mengemukakan definisi ju’alah sebagai berikut,

هو الإجارة على منفعة مظنون حصولها

Ju’alah adalah ijarah atau sewa-menyewa atas manfaat jasa yang realisasinya belum dapat dipastikan. [Bidayah al-Mujtahid, Juz 2, hal. 3]

Legalitas Akad Ju’alah

Jumhur ulama, yakni dari kalangan Malikiyah, Syafiiyah dan Hanabilah, melegalkan akad ju’alah sebagaimana akad ijarah. Keputusan ini didasarkan kepada aspek maslahat dan kebutuhan masyarakat terhadap akad ju’alah, meskipun sejatinya ada unsur gharar di dalamnya.

Berbeda dengan Mazhab Hanafiyah yang tidak memperbolehkan melakukan akad ju’alah. Alasannya, karena adanya spekulasi berupa ketidakjelasan ukuran pekerjaan dan waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan pekerjaan tersebut.

Baca Juga: Tafsir Surah An-Nisa’ ayat 29: Prinsip Jual Beli dalam Islam

Dalam Mazhab Hanafiyah, upah atau komisi (al-ju’lu) hanya berhak didapatkan ketika ada seseorang berhasil mengembalikan budak milik seseorang yang hilang. Batasannya adalah sampai tiga hari, dan upah yang diterima sebesar 40 dirham. Ketentuan ini, menurut mazhab Hanafi, didasarkan pada konsep istihsan. [Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, Juz 5, hal. 3965]

Selain karena kebutuhan manusia, kebolehan akad ju’alah juga didasarkan pada berbagai dalil, baik dari Alquran maupun Hadis. Di antaranya adalah firman Allah swt. dalam surah Yusuf ayat 72:

{ قَالُوا نَفْقِدُ صُوَاعَ الْمَلِكِ وَلِمَنْ جَاءَ بِهِ حِمْلُ بَعِيرٍ وَأَنَا بِهِ زَعِيمٌ}

Mereka menjawab, ‘Kami kehilangan piala (tempat minum) raja, dan siapa yang dapat mengembalikannya akan memperoleh (bahan makanan) seberat unta, dan aku jamin itu’. Q.S. Yusuf [12]: 72

Dalam Tafsir al-Qurthubi dijelaskan bahwa ayat di atas menjadi dalil yang menjustifikasi kebolehan memberikan upah untuk pekerjaan yang tidak tertentu. Secara aturan, kegiatan tersebut tidak boleh diakukan karena terdapat spekulasi berupa ketidakjelasan standar pekerjaan yang dilakukan. Namun, karena kesepakatan semacam ini dibutuhkan berbagai situasi, syariat akhirnya melegalkannya. [Tafsir al-Qurthubi, Juz 9, hal. 232]

Selain ayat di atas, ulama juga menjadikan hadis tentang kisah sejumlah sahabat yang berhasil mengobati seorang pimpinan klan sebagai dalil kebolehan ju’alah. Dalam Kitab Shahih Bukhari, redaksi hadisnya sebagai berikut:

عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الخُدْرِيِّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ نَاسًا مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَتَوْا عَلَى حَيٍّ مِنْ أَحْيَاءِ العَرَبِ فَلَمْ يَقْرُوهُمْ، فَبَيْنَمَا هُمْ كَذَلِكَ، إِذْ لُدِغَ سَيِّدُ أُولَئِكَ، فَقَالُوا: هَلْ مَعَكُمْ مِنْ دَوَاءٍ أَوْ رَاقٍ؟ فَقَالُوا: إِنَّكُمْ لَمْ تَقْرُونَا، وَلاَ نَفْعَلُ حَتَّى تَجْعَلُوا لَنَا جُعْلًا، فَجَعَلُوا لَهُمْ قَطِيعًا مِنَ الشَّاءِ، فَجَعَلَ يَقْرَأُ بِأُمِّ القُرْآنِ، وَيَجْمَعُ بُزَاقَهُ وَيَتْفِلُ، فَبَرَأَ فَأَتَوْا بِالشَّاءِ، فَقَالُوا: لاَ نَأْخُذُهُ حَتَّى نَسْأَلَ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَسَأَلُوهُ فَضَحِكَ وَقَالَ: «وَمَا أَدْرَاكَ أَنَّهَا رُقْيَةٌ، خُذُوهَا وَاضْرِبُوا لِي بِسَهْمٍ»

Dari sahabat abu said al-khudri ra., sesungguhnya sekelompok orang sahabat Nabi saw. singgah di salah satu perkampungan Arab, tetapi penduduknya tidak memberikan jamuan kepada mereka. pada saat itu, tiba-tiba kepala desa mereka digigit kalajengking. Kemudian mereka bertanya kepada para sahabat, “Apakah kalian memiliki obat atau seseorang yang bisa meruqyah?” para sahabat menjawab, “Kalian tidak menjamu kami. Kami tidak akan melakukannya sampai kalian meberikan kami imbalan. Kemudian penduduk kawasan tersebut memberikan mereka beberapa ekor kambing. Lalu, seorang sahabat membacakan al-Fatihah, sembari mengumpulkan ludah dan menyemburkannya kepada pimpinan tersebut. akhirnya, ia pun sembuh dan mereka memberikn kambing-kambing tersebut. para sahabat tadi berkata, “Kami tidak akan mengambil kambing tersebut sampai kita menanyakannya kepada Nabi saw. mereka lalu bertanya kepada rasulullah saw. beliau lalu tersenyum dan bersabda, “bagaimana kalian tahu kalau al-Fatihah adalah ruqyah? Ambillah kambing tersebut dan berikan saya juga bagian.” H.R. Bukhari Muslim.

Para ulama menjadikan hadis di atas sebagai argumentasi diakuinya akad ju’alah dalam Islam. Hal ini karena adanya timbal balik berupa imbalan atau komisi atas tindakan pengobatan yang dilakukan oleh sahabat nabi tersebut kepada pemimpin suku. Kejadian tersebut diafirmasi oleh Nabi saw., sehingga hal tersebut sudah cukup menjadi bukti legalitas akad ju’alah secara syara’.

Baca Juga: Praktik ‘Ju’alah’ atau Sayembara dalam Alquran

Ala kulli hal, akad ju’alah merupakan akad ijarah atau jual beli jasa dengn format yang lebih fleksibel. Disyariatkannya akad ju’alah adalah untuk memberikan kemudahan dalam memenuhi kebutuhan yang membutuhkan bantuan tenaga orang lain, tetapi tidak sah dilakukan dengan akad ijarah.

Hukum Mendoakan Pahlawan Non-Muslim

0

Kemerdekaan dan kenyamanan hidup bernegara yang dirasakan Bangsa Indonesia sampai detik ini tidak lepas dari jerih upaya dan jasa para pahlawan. Selama ratusan tahun, Bangsa Indonesia berjuang melepaskan diri dari kungkungan bangsa asing yang melakukan penjajahan dan penindasan. Para pejuang kemerdekaan dari berbagai latar belakang dan agama berjuang dalam satu tujuan, yaitu meraih kemerdekaan.

Sebagai rasa terimakasih untuk mengenang jasa para pahlawan tersebut, Pemerintah telah menetapkan tanggal 10 November sebagai Hari Pahlawan Nasional. Guna memeriahkan dan memperingati hari bersejarah tersebut, ada banyak kegiatan yang dilakukan masyarakat semisal upacara bendera, mengheningkan cipta, ziarah ke makam pahlawan dan melakukan doa bersama.

Baca Juga: Etika Bergaul dengan Non muslim dalam Pandangan Al-Qur’an

Agaknya, dari sekian banyak peringatan hari pahlawan yang dilakukan masyarakat Indonesia, acara doa bersama untuk para pahlawan merupakan kegiatan yang paling baik dan sejalan dengan prinsip agama. Selain menambah nilai spiritualitas masyarakat, kegiatan tersebut juga memberikan manfaat nyata kepada arwah para pahlawan bangsa dengan kiriman doa dan ayat-ayat Alquran yang dibacakan.

Mendoakan dan Memintakan Ampunan Untuk non-Muslim

Namun, yang menjadi problem adalah tidak semua pejuang kemerdekaan bangsa mati dalam keadaan Islam. Dalam Islam, mendoakan non muslim yang telah meninggal termasuk tindakan terlarang. Hal ini sebagaimana tersurat dalam firman Allah swt. surah Altaubah ayat 113,

مَا كَانَ لِلنَّبِيِّ وَالَّذِينَ آمَنُوا أَنْ يَسْتَغْفِرُوا لِلْمُشْرِكِينَ وَلَوْ كَانُوا أُولِي قُرْبَى مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُمْ أَصْحَابُ الْجَحِيمِ

Tidak pantas bagi Nabi dan orang-orang beriman memohonkan ampunan (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik sekalipun orang-orang itu kaum kerabat (nya) setelah jelas bagi mereka bahwa orang-orang musyrik itu penghuni Neraka Jahannam. 

Menurut sebagian ulama, ayat di atas menegaskan adanya larangan memintakan ampunan bagi orang-orang yang tidak beriman kepada Allah swt. Sebab turunnya ayat tersebut, menurut sebagian mufassir, adalah berkenaan dengan kisah Abu Thalib, paman Nabi saw. yang mati tidak dalam keadaan Islam. Pada saat itu, Rasulullah saw. bertekad bahwa beliau akan memintakan ampun kepada Allah swt. untuk pamannya tersebut. Lantas turunlah ayat di atas yang melarang hal tersebut. [Tafsir al-Thabari, Juz 12, hal. 19]

Terdapat perbedaan penafsiran terkait term istighfar dalam ayat di atas. Imam al-Thabari menukil sekurang-kurangnya tiga makna yang dikemukakan oleh para ulama. Mayoritas menafsiri kata istigfar dengan memohon ampunan, sebagaimana yang lumrah. Sebagian menafsiri dengan arti doa, dan sebagiannya lagi memaknai istighfar sebagai salat. [Tafsir al-Thabari, Juz 14, hal. 55-517]

Baca Juga: Toleransi Tidak Terbatas untuk non-Muslim

Menurut Imam Fakhruddin al-Razi, berangkat dari pendapat yang mengatakan istighfar dalam ayat di atas dimaknai sebagai salat, mendoakan ampunan bagi non-muslim boleh dilakukan. Meski dosa kekufuran mereka tidak akan pernah diampuni, paling tidak dengan doa tersebut barangkali Allah berkenan meringankan siska bagi mereka di Akhirat. Namun, pendapat ini dinilai lemah dan tidak masyhur di kalangan ulama. [Tafsir al-Razi, juz 16, hal. 159]

Perlu dicatat bahwa larangan mendoakan orang non-muslim berlaku apabila ia sudah jelas-jelas menjadi penghuni neraka. Artinya, larangan tersebut berlaku jika orang tersebut jelas-jelas mati dalam keadaan tidak beriman. Sehingga, boleh-boleh saja hukumnya mendoakan non muslim selagi ia masih hidup di dunia, misalnya doa agar ia memperoleh hidayah dan semacamnya. [Al-Bahr al-Madid, Juz 2, hal. 434]

Dalam Tafsir al-Kabir, Imam Fakhr Al-Din al-Razi menjelaskan bahwa ketidakbolehan mendoakan ampunan bagi orang kafir adalah karena Allah swt. telah menetapkan mereka sebagai penghuni neraka yang tidak akan pernah mendapat ampunanNya. Sehingga memintakan mereka ampunan berarti memohon agar Allah swt. menyalahi janji dan ketetapannya untuk mengazab orang-orang yang menyekutukannya.

Selain itu, doa ampunan bagi orang-orang yang mati dalam keadaan kafir juga sia-sia, sebab pasti tidak akan pernah dikabulkan. Hal ini dinilai dapat menurunkan martabat seorang nabi, berikut orang orang beriman, lantaran doanya ditolak oleh Yang Maha Kuasa.

Hukum melaksanakan acara doa bersama untuk para pahlawan

Sebagaimana keterangan di atas, dapat dipahami bahwa mendoakan pahlawan non-muslim tidak diperkenankan dalam agama. Akan tetapi, larangan tersebut berlaku jika yang didoakan adalah sosok tertentu. Semisal mengkhususkan doa atau surah Alfatihah untuk seorang pahlawan tertentu atau berziarah ke makam pahlawan yang non-muslim kemudian melakukan acara doa bersama disana.

Lain halnya jika doa dihadiahkan untuk para pahlawan secara umum tanpa menyebutkan identitas atau sosok tertentu. Hal semacam ini boleh dilakukan, lebih-lebih jika doa tersebut diniati untuk para pahlawan muslim yang telah gugur meperjuangkan kemerdekaan (syuhada). Kebolehan mendoakan pahlawan secara umum, baik yang muslim maupun tidak, didasarkan pada sebuah riwayat dari Usamah bin Zaid,

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَرَّ بِمَجْلِسٍ وَفِيهِ أَخْلاَطٌ مِنَ الْمُسْلِمِينَ وَاليَهُودِ فَسَلَّمَ عَلَيْهِمْ

Sesungguhnya Nabi Saw. pernah melewati sebuah majlis yang terdapat orang-orang Muslim dan Yahudi, lalu beliau mengucapakan salam kepada mereka. H.R. Tirmidzi

Baca Juga: Jangan Menghina dan Pilih Kasih Terhadap Non Muslim! Ini dalil Larangannya

Hadis di atas menjelaskan kebolehan mengucapkan salam kepada sekelompok orang meskipun di antara mereka terdapat non-musim. Meski berbicara mengenai ketentuan mengucap salam, tetapi dari hadis tersebut dapat kita ketahui hukum mengadakan acara doa bersama untuk para pahlawan meskipun ada di antara mereka yang gugur dalam keadaan tidak beriman, yakni melalui metode qiyas.

Ala kulli hal, mengadakan acara doa bersama untuk para pahlawan yang telah berjuang demi kemerdekaan bangsa dapat dibenarkan meskipun di antara para pahlawan ada yang non-muslim, yang tidak boleh dilakukan adalah mendoakan sesosok pahlawan non-muslim tertentu agar mendapatkan ampunan. Islam tidak melarang umatnya untuk mengenang jasa pahlawan. Namun untuk urusan keyakinan, tidak ada tawar menawar.

Walahu a’lam.

Afirmasi Alquran Atas Jasa Para Pahlawan

0
afirmasi Alquran atas jasa para pahlawan
afirmasi Alquran atas jasa para pahlawan

Tanggal 10 November menjadi salah satu hari yang paling penting dalam sejarah kemerdekaan bangsa Indonesia. Pada hari tersebut, di tahun 1945, terjadi pertempuran besar di Surabaya antara tentara Indonesia dengan tentara Belanda yang dibonceng oleh tentara Sekutu. Pemicu pecahnya pertempAuran tersebut adalah kedatangan bangsa asing yang ingin menjajah kembali bangsa indonesia yang baru merdeka.

Akhirnya, pemerintah menetapkan tanggal 10 November sebagai Hari Pahlawan untuk mengenang jasa para pahlawan, pejuang dan para syuhada yang gugur di medan pertempuran tersebut. Pengakuan terhadap jasa pahlawan merupakan hal yang seharusnya dilakukan karena jasanya yang telah mengorbankan jiwa, raga dan harta untuk kepentingan bangsa.

Baca Juga: Lima Tanda Kepahlawanan Perspektif Alquran

Sikap penghormatan kepada pahlawan sejatinya telah diajarkan oleh Alquran. Afirmasi Alquran atas jasa para pahlawan tersebut salah satunya disampaikan ketika menjelaskan tentang kedudukan pejuang jihad yang berada satu tingkat di atas mereka yang hanya duduk diam di rumah meski orangnya soleh.

Dalam surah an-Nisa ayat 95, Allah swt. berfirman:

لا يستوي القاعدون من المؤمنين غير أولي الضرر والمجاهدون في سبيل الله بأموالهم وأنفسهم فضل الله المجاهدين بأموالهم وأنفسهم على القاعدين درجة وكلا وعد الله الحسنى وفضل الله المجاهدين على القاعدين أجرا عظيما

Tidaklah sama antara orang beriman yang duduk (yang tidak ikut berperang) tanpa mempunyai uzur (halangan) dengan orang yang berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwanya. Allah melebihkan derajat orang-orang yang berjihad dengan harta dan jiwanya atas orang-orang yang duduk (tidak ikut berperang tanpa halangan). Kepada masing-masing, Allah menjajikan (pahala) yang baik (surga) dan Allah melebihkan orang-orang yang berjihad atas orang yang duduk dengan pahala yang besar. (Q.S. an-Nisa’ [4]: 95)

Terdapat perbedaan pendapat mengenai peperangan yang menjadi latar belakang ayat di atas. Menurut Ibnu Abbas ra., ayat di atas turun ketika perang badar, sedangkan menurut Imam Muqotil bin Sulaiman ayat tersebut turun berkenaan dengan peristiwa perang tabuk. (al-Bahr al-Muhith, juz 4, hal. 36)

Berdasarkan pendapat yang dikutip dari dari Abu Sulaiman ad-Dimasyqi, ayat di atas turun berkaitan dengan sekelompok orang yang minta izin untuk absen dari barisan perang. Mereka adalah orang-orang yang secara fisik dan finansial mampu melakukan jihad bersama pasukan lain, tetapi mereka lebih memilih untuk diam di rumah alih-alih ikut berperang melawan pasukan musuh.

Lain halnya dengan mereka yang tidak ikut berperang karena alasan tertentu, seperti ibnu ummi maktum yang tidak bisa ikut berperang karena buta. Meski tidak ikut berperang, mereka tetap mendapat ganjaran selagi memiliki komitmen dan niat yang tulus ingin ikut berjuang jika kondisi memungkinkan. (Zad al-Masir fi ‘Ilm al-Tafsir, juz 1, hal. 454)

Ayat di atas menjadi afirmasi tingginya kedudukan para mujahid atas orang-orang yang tidak ikut berjihad. Kedudukan mulia yang diperoleh, baik di dunia maupun di akhirat, merupakan penghargaan atas jasa yang mereka lakukan dalam menjaga agama, keutuhan bangsa dan tanah air. Hal ini yang dalam tulisan ini disebut dengan afirmasi Alquran atas jasa para pahlawan.

Selain itu, ayat di atas juga menjadi motivasi bagi orang-orang yang tidak ikut berperang agar mengambil bagian dalam perjuangan mempertahankan agama dan negara.

Tingginya kedudukan dan kebaikan yang didapatkan oleh para pahlawan pejuang bangsa dan agama tidak menafikan kedudukan orang-orang yang tidak ikut berjuang secara langsung. Ayat di atas menegaskan bahwa meski kedua golongan itu memiliki perbedaan kedudukan yang signifikan, tetapi Allah swt. juga tetap menjajikan kebaikan kepada mereka yang tidak ikut berperang.

Baca Juga: Tafsir Surah Al-Hasyr Ayat 9: Sifat-Sifat Kepahlawanan Kaum Ansar

Oleh karena itu, dari ayat ini, sebagian ulama mengambil kesimpulan bahwa berjihad hukumnya fardu kifayah, artinya gugur kewajiban yang lain manakala sebagian sudah ada yang berjihad. (Mafatih al-Ghaib, juz 11, hal. 194)

Sedangkan menurut sebagian ulama, firman Allah وكلا وعد الله الحسنى  tidak menunjukkan bahwa jihad hukumnya fardu kifayah. Pasalnya, dua golongan yang Allah swt. janjikan kebaikan itu adalah para pejuang di jalan Allah dan orang-orang yang tidak ikut berjuang karena ada keterbatasan fisik dan finansial, meski derajat para mujahid tentu lebih tinggi.

Para pejuang mendapat ganjaran tinggi karena perjuangan an pengorbanan yang dilakukan, sedangkan mereka yang tinggal di rumah kaena uzur akan mendapat ganjaran karena niat dan komitmennya yang kuat untuk ikut berjihad jika kondisi memungkinkan. (Tafsir Muqatil bin Sulaiman, juz 1, hal. 110)

Baca Juga: Kisah Thalut Dalam Al-Quran: Representasi Sosok Pahlawan Bangsa

Derajat Tinggi untuk Para Pahlawan

Selain memperoleh kehormatan sebagai pahlawan, dalam ayat di atas Allah menjanjikan ganjaran yang besar berupa kedudukan tinggi di akhirat nanti. Dalam sebuah hadis riwayat Imam al-Bukhari dari sahabat Abu Hurairah r.a., terdapat gambaran mengenai derajat yang disediakan untuk para pahlawan pejuang agama dan negara. Rasulullah Saw. bersabda,:

إِنَّ فِي الجَنَّةِ مِائَةَ دَرَجَةٍ، أَعَدَّهَا اللَّهُ لِلْمُجَاهِدِينَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ، مَا بَيْنَ الدَّرَجَتَيْنِ كَمَا بَيْنَ السَّمَاءِ وَالأَرْضِ

Sesungguhnya di dalam syurga ada seratus derajat yang Allah sediakan untuk para pejuang di jalan Allah. jarak antara satu derajat dengan derajat yang lain adalah seperti jarak bumi dan langit. H.R. Bukhari.

Demikianlah afirmasi Alquran atas jasa para pahlawan. Mereka mendapatkan penghargaan dan kedudukan yang tinggi di sisi Allah. Niat yang tulus karena Allah untuk berkorban demi agama dan negara akan membawa seseorang kepada kemuliaan tanpa batas. Di dunia mereka akan dikenang sebagai pejuang gagah berani dengan segudang jasa, dan di akhirat nanti mereka akan mendapat perlakuan mulia dan derajat tinggi di sisi Allah Swt. walahu a’lam.

Kajian Balaghah Surah al-Insyirah Ayat 5-6

0
kajian balaghah surah al-Insyirah ayat 5-6
kajian balaghah surah al-Insyirah ayat 5-6

Salah satu ayat Alquran yang populer dijadikan pengingat oleh para pembacanya adalah surah al-Insyirah ayat 5-6. Pada ayat ini, Alquran seakan mengingatkan manusia untuk selalu berpikir positif terhadap kehidupan, tidak putus asa, dan semacamnya.

Ujian dan cobaan adalah bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan manusia. Siapapun pasti menemuinya. Bahkan, Nabi Muhammad saw. yang merupakan al-insan al-kamil (manusia sempurna) juga tak luput dari cobaan, justru cobaannya lebih besar daripada yang lain. Pada kondisi tersebut, surah al-Insyirah ayat 5-6 sangat berkaitan.

Baca Juga: Setelah Kesulitan Pasti Ada Kemudahan: Tafsir Surah al-Insyirah Ayat 5-6

Uniknya, dua ayat ini seakan sengaja diulang oleh Allah swt. untuk maksud tertentu. Lebih spesifik pula, kata yang digunakan untuk mengekspresikan arti ‘kesulitan’ (‘usr) dan arti ‘kemudahan’ (yusr) berbeda bentuk.

Al-’usr (kesulitan) menggunakan bentuk ma’rifat (bisa dipahami dengan kata khusus dalam kaidah bahasa Indonesia), sedang yusr (kemudahan) menggunakan bentuk nakirah (bisa dipahami dengan kata umum dalam kaidah bahasa Indonesia). Hal ini memberi inspirasi kepada para ahli ilmu balaghah untuk mengkaji keda ayat tersebut dengan lebih mendalam.

فَإِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا (5) إِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا (6) (الإنشراح: 5-6)

“Sesungguhnya bersama kesulitan terdapat kemudian. Sesungguhnya bersama kesulitan terdapat kemudahan.” (Q.S al-Insyirah: 5-6)

Dalam Tafsir Mafatih al-Ghaib disebutkan bahwa ayat ini turun ketika Nabi saw. dan kaum muslimin dicela oleh orang-orang kafir karena faktor ekonomi. Celaan tersebut menyebabkan kesedihan dalam hati mereka. Lantas, turunlah ayat tersebut seraya membawa kabar gembira, mengingatkan bahwa dalam setiap kesulitan terdapat kemudahan.

Pesan implisit yang disampaikan ayat tersebut sangatlah mendalam. Berdasarkan gramatikanya, ayat tersebut mengandung makna bahwa dalam satu kesulitan terdapat dua kemudahan. Pemaknaan ini berdasarkan perbedaan diksi “al-usr” yang berstatus ma’rifat (tertentu) dan “yusran” yang berstatus nakirah (umum).

Dalam disiplin ilmu Balaghah (sastra Arab), bila ada kalimat ma’rifat yang diulang-ulang maka yang dikehendaki adalah satu hal. Sedangkan jika yang diulang-ulang adalah kalimat nakiroh maka yang dikehendaki adalah dua hal, kalimat yang pertama berbeda dengan kalimat yang kedua.

Syekh Abdullah al-Akhdlari dalam Nadzam al-Jauhar al-Maknun menjelaskan:

ثُمّ مِنَ الْقَوَاعِدِ الْمُشْتَهَرَهْ … إِذَا أَتَتْ نَكِرَةً مُكَرَّرَهْ

تَغَايَـرَتْ وَإنْ يُـعَرَّفْ ثَانِيْ … تَـوَافَقَا كَـذَا الْمُعَرَّفَانِ

“Kemudian, termasuk dari kaidah yang populer adalah (ketentuan) ketika terdapat kalimat nakiroh yang diulang-ulang maka yang pertama dan kedua itu berbeda. Dan jika kalimat yang kedua berbentuk makrifat maka keduanya adalah sesuatu sama, begitu juga dengan dua kalimat yang ma’rifat.”

Bila diterapkan pada ayat di atas, maka pengulangan “yusr” menunjukkan dua hal yang berbeda. “yusr” yang pertama berbeda dengan “yusr” yang kedua. Artinya, pengulangan tersebut memberikan makna adanya dua kemudahan. Sedangkan pengulangan lafadz “alusr” menunjukkan satu hal saja. “al-usr” yang kedua adalah keadaan dari “al-usr” yang pertama. Artinya, pengulangan tersebut memberikan makna adanya satu kesulitan.

Dengan menerapkan kaidah tersebut, seakan-akan ayat di atas hendak menyampaikan bahwa “Sesungguhnya setelah kesulitan terdapat kemudahan. Dan sesungguhnya setelah kesulitan itu terdapat kemudahan yang lain lagi.” Sederhananya, ayat di atas menunjukkan bahwa “setelah satu kesulitan terdapat dua kemudahan”. Demikian yang dipaparkan imam al-Baghawi dalam tafsirnya.

Pemaknaan ini sesuai dengan sabda Nabi saw. sesaat sebelum turunnya ayat tersebut. Nabi saw. bersabda:

لَنْ يَغْلِبَ عُسْرٌ يُسْرَيْنِ، (إِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا، إِنَّ مَعَ الْعُسْرَ يُسْرًا). (رواه البيهقي)

“Satu kesulitan tidak mengalahkan dua kemudahan. Sesungguhnya setelah kesuliltan terdapat kemudahan, sesungguhnya setelah kesulitan terdapat kemudahan. (HR. Baihaqi)

Selain itu, nakirah-nya kalimat “al-usr” juga mengandung makna lain yang sangat mendalam pula. Dalam disiplin ilmu balaghah, kalimat nakirah menunjukkan sesuatu yang dahsyat dan agung, melampaui hal yang sekadar biasa saja. Dalam Nadzam al-Jauhar al-Maknun disebutkan:

وَنَكَّرُوْا إِفْرَادًا أَوْ تَكْثِيْرَا   *   تَنْوِيْعًا أَوْ تَعْظِيْمًا أَوْ تَحْقِيْرًا

“Para ahli balaghah membuat musnad ilah nakiroh karena tujuan menyendirikan, memperbanyak, membuat variasi, mengagungkan, atau menghina.”

Jika diterapkan pada ayat di atas, maka kemudahan yang dikehendaki adalah kemudahan yang besar dan sempurna. Menurut imam Nawawi al-Bantani, seakan-akan ayat tersebut menyampaikan bahwa “sesungguhnya setelah kesulitan terdapat kemudahan yang besar dan sempurna”.

Baca Juga: Tafsir Surah Al-Insyirah Ayat 7-8: Masa Pandemi Tetap Harus Produktif

Kesimpulannya, melalui pendekatan balaghah, ayat ini mengandung makna bahwa “sesungguhnya setelah satu kesulitan terdapat dua kemudahan yang besar dan sempurna”. Pesan yang terkandung dalam surah al-Insyirah ayat 5-6 ini menekankan pentingnya harapan dan optimisme dalam menghadapi setiap ujian hidup. Kesulitan bukanlah akhir dari segalanya, melainkan awal dari datangnya kemudahan dan kebahagiaan yang agung serta berlipat ganda. Wallah a’lam

Stay Positive: Semua yang Datang dari Allah Adalah Baik

0

Berbagai kesulitan dan ujian dalam hidup seringkali membawa seseorang pada titik di mana dirinya merasa putus asa dan kehilangan harapan. Namun dalam ajaran Islam, Allah memerintahkan hamba-Nya untuk selalu berpikir positif dan yakin bahwa setiap ujian memiliki makna dan pelajaran berharga.

Seperti dalam Alquran diajarkan bahwa segala sesuatu berasal dari Allah adalah baik, sebab Dia adalah sumber segala kebaikan dan keadilan. Setiap hal seperti kenikmatan maupun cobaan dari-Nya, sekalipun terlihat buruk dan menyakitkan di sisi manusia sejatinya memiliki hikmah dan kebaikan tersendiri.

Baca Juga: Tafsir Surat Al-Hujurat Ayat 12: Larangan Berprasangka Buruk

Pandangan Terhadap Kebaikan dan Keburukan

Dalam firman-Nya Q.S. an-Nisa ayat 78-79:

قُلْ كُلٌّ مِنْ عِنْدِ اللَّهِ فَمالِ هؤُلاءِ الْقَوْمِ لَا يَكادُونَ يَفْقَهُونَ حَدِيثاً (78) مَا أَصابَكَ مِنْ حَسَنَةٍ فَمِنَ اللَّهِ وَما أَصابَكَ مِنْ سَيِّئَةٍ فَمِنْ نَفْسِكَ وَأَرْسَلْناكَ لِلنَّاسِ رَسُولاً وَكَفى بِاللَّهِ شَهِيداً (79)

Katakanlah, “Semuanya (datang) dari sisi Allah.” Maka mengapa orang-orang itu hampir-hampir tidak memahami pembicaraan sedikit pun? Apa saja nikmat yang kamu peroleh adalah dari Allah; dan apa saja keburukan yang menimpamu, maka dari dirimu sendiri. Kami mengutusmu menjadi rasul kepada segenap manusia. Dan cukuplah Allah menjadi saksi.

Diterangkan oleh mufassirin, salah satunya Syekh Wahbah al-Zuhaili (3/172) bahwa segala sesuatu di alam semesta terjadi sesuai dengan hukum Ilahi, maksudnya Allah-lah yang menciptakan segala sesuatu, meletakkan, dan menetapkan aturan. Kemudahan, kemenangan, kesulitan, dan kekalahan semua merupakan qadha dan qadar yang berdasar pada kebaikan dan kasih sayang-Nya. Dalam hal ini, keburukan dapat berasal dari pilihan, persepsi, dan tindakan manusia sendiri. Dengan tujuan agar individu dapat selalu introspeksi dan belajar dari tindakannya.

Dalam firman-Nya yang lain diterangkan:

مَآ أَصَابَ مِن مُّصِيبَةٍ إِلَّا بِإِذْنِ ٱللَّهِ ۗ وَمَن يُؤْمِنۢ بِٱللَّهِ يَهْدِ قَلْبَهُۥ ۚ وَٱللَّهُ بِكُلِّ شَىْءٍ عَلِيمٌ

Tidak ada suatu musibah pun yang menimpa seseorang kecuali dengan izin Allah; dan barangsiapa yang beriman kepada Allah niscaya Dia akan memberi petunjuk kepada hatinya. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. (Q.S. at-Taghabun: 11)

M. Quraish Shihab dengan mengutip Sayyid Quthb dan Thabathaba’i, ayat tersebut sejatinya menjelaskan bahwa tidak akan menimpa kepada seseorang suatu hal baik atau buruk, kecuali atas izin Allah. Hal tersebut selalu di bawah kontrol dan pengawasan-Nya. Dengan ini, individu akan merasakan ‘tangan Tuhan’ pada setiap peristiwa yang terjadi dan melihat ‘tangan-Nya pada’ setiap gerak sehingga hatinya menjadi tenang terhadap apa yang menimpanya, baik kesulitan maupun kesenangan. (Tafsir al-Misbah, 14/274)

Dari penjelasan dua ayat di atas, dapat dipahami bahwa semua yang datang dari Allah, berupa kenikmatan dan kemudahan ataupun ujian serta kesulitan adalah baik. Karena kedua hal tersebut sejatinya memberikan kesempatan individu untuk menggali potensi diri, seperti sikap bersyukur dan sabar dalam menghadapi setiap situasi. Adapun yang membuat buruk dan jelek adalah dari pikiran serta persepsi manusia sendiri. Keyakinan seperti ini dapat memperkuat iman dan membantu individu menjalani hidup dengan lebih positif.

Rasulullah saw. juga telah bersabda, sebagaimana diriwayatkan dari Sayyidina Anas bin Malik,

عَجِبْتُ لِلْمُؤْمِنِ، إِنَّ اللهَ لاَ يَقْضِي لِلْمُؤْمِنِ قَضَاءً إِلَّا كَانَ خَيْرًا لَهُ

Aku begitu takjub pada seorang mukmin. Sesungguhnya Allah tidaklah menakdirkan sesuatu untuk seorang mukmin melainkan pasti itulah yang terbaik untuknya. (HR. Ahmad)

Dijelaskan bahwa semua ketetapan dari Allah adalah kebaikan. Yang buruk hanya pada yang ditakdirkan (al–maqdur, artinya manusia atau makhluk yang merasakan jelek). Jika dilihat dari perbuatan Allah, semua yang dianugerahkan kepada manusia itu baik. Sebagaimana disebutkan dalam hadits, ‘Kejelekan tidak disandarkan kepada-Mu.’ Karena ketetapan itu ada sebab rahmat dan hikmah-Nya. Dan Allah itu hanya berbuat baik saja selama-lamanya.” (Syarah Arba’in an-Nawawiyyah, h. 88)

Baca Juga: Solusi Alquran dalam Menghadapi Tekanan Hidup

Cobaan, Tanda Kasih Sayang Allah untuk Kebaikan Hamba

Allah memberikan ujian dan cobaan kepada manusia tidak lain adalah sebagai wujud rasa kasih sayang-Nya kepada setiap hamba. Di mana semakin tinggi tingkat keimanan seseorang maka akan bertambah berat pula ujian dan cobaan yang akan dihadapinya. Seperti para nabi dan rasul yang tentu memiliki kedudukan tinggi di sisi-Nya, mereka menghadapi banyak jalan terjal dalam mengemban risalah Allah.

Selain para nabi dan rasul, orang-orang saleh juga tidak luput dari ujian Allah. Akan tetapi mereka selalu lapang dada dan bersikap optimis. Ini mengajarkan bahwa orang beriman tidak boleh berpikir sempit dan negatif dalam menghadapi musibah dan masalah. Seperti Allah menguji Nabi Ayyub as. dengan kemiskinan dan penyakit yang sangat berat selama berpuluh-puluh tahun, namun beliau selalu teguh dan sabar. Pada akhirnya beliau sembuh atas pertolongan-Nya dan Allah mengabulkan doa-doa beliau.

Di samping itu, ujian kesulitan hidup juga merupakan tanda bahwa Allah menginkan kebaikan kepada hamba-Nya, sebagaimana Rasulullah saw. pernah bersabda:

مَنْ يُرِدْ اللَّهُ بِهِ خَيْرًا يُصِبْ مِنْهُ

Apabila Allah menghendaki kebaikan kepada seseorang, maka Dia akan mengujinya. (HR. Bukhari)

Kebaikan yang dimaksud bisa seperti, ujian dapat menjadi wasilah untuk mendekatkan diri kepada Allah atau lebih meningkatkan empati terhadap orang lain yang mengalami kesulitan serupa. Proses melewati ujian ini juga melatih ketahanan mental, setiap kali seseorang berhasil melewati suatu ujian, dirinya akan menjadi lebih kuat dan bijaksana.

Dengan demikian, umat Islam seharusnya belajar untuk tidak hanya melihat ujian sebagai beban berat, tetapi sebagai kebaikan dari Allah. Hal tersebut akan membuat jiwa lebih tenang dan siap untuk menghadapi hal-hal lain di masa depan. Dengan cara ini, individu juga dapat menjalani hidup dengan lebih bermakna dan penuh harapan.

Wallahu a’lam.[]

Istidraj: Jebakan Nikmat bagi Mereka yang Tak Taat

0
Istidraj: Jebakan Nikmat bagi Mereka yang Tak Taat
Ilustrasi nikmat duniawi.

Allah tidak hanya menguji manusia dengan kesulitan, tetapi juga dengan kemudahan. Kemudahan hidup, kekayaan, kesenangan, dan kemewahan yang terus-menerus dialami seseorang bisa jadi merupakan bentuk dari istidraj, terutama ketika semua itu membuat mereka semakin jauh dari Allah dan semakin sombong terhadap sesama manusia. Istidraj terjadi ketika seseorang atau sekelompok orang terus melakukan dosa dan maksiat, tetapi mereka tetap mendapatkan nikmat dunia.

Nikmat yang diberikan ini bukanlah tanda cinta atau rahmat dari Allah, melainkan bentuk ujian. Sebagian manusia sering kali berpikir bahwa kesuksesan atau keberhasilan dalam hidup adalah bukti bahwa Allah merestui langkah-langkahnya. Padahal, jika tidak berhati-hati, itu bisa jadi adalah tanda istidraj. Kesuksesan yang tidak diimbangi dengan ketaatan kepada Allah justru bisa menjadi jalan menuju kebinasaan.

Peringatan Allah terhadap Istidraj

Allah berfirman dalam surah Al-An’am ayat 44 sebagai berikut.

فَلَمَّا نَسُوْا مَا ذُكِّرُوْا بِهٖ فَتَحْنَا عَلَيْهِمْ اَبْوَابَ كُلِّ شَيْءٍۗ حَتّٰٓى اِذَا فَرِحُوْا بِمَآ اُوْتُوْٓا اَخَذْنٰهُمْ بَغْتَةً فَاِذَا هُمْ مُّبْلِسُوْنَ ۝٤٤

Maka, ketika mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kami pun membukakan pintu-pintu segala sesuatu (kesenangan) untuk mereka, sehingga ketika mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka secara tiba-tiba, maka ketika itu mereka terdiam putus asa (Q.S. Al-An’am [6]: 44).

Baca juga: Surah Ar-Ra’d Ayat 26: Rezeki Harus Diusahakan

Disebutkan dalam Tafsir Al-Misbah (4/97-98) bahwa kaum kafir itu enggan berdoa, bahkan hati mereka membatu. Tatkala mereka melupakan, yakni mengabaikan apa yang diperingatkan kepada mereka. Allah membukakan pintu-pintu segala sesuatu yang berkaitan dengan kesenangan dan gemerlap dunia untuk mereka. Sehingga apabila mereka bergembira melampaui batas dan mereka merasa tidak butuh lagi kepada siapa pun, maka Allah siksa mereka dengan sekonyong-konyong, dengan demikian tidak ada lagi kesempatan bagi mereka untuk bertobat dan berdoa.

Ibnu Jarir Ath-Thabari (6/1014-1015) menjelaskan bahwa ayat ini mengisahkan tentang orang-orang yang melupakan peringatan Allah dan larut dalam kesenangan duniawi, sehingga Allah membiarkan mereka terus dalam kemaksiatan. Allah menunda hukuman bagi mereka sebagai ujian. Ketika mereka merasa aman dan menikmati semua karunia itu, Allah kemudian menyiksa mereka secara tiba-tiba, dalam keadaan lengah.

Baca juga: Surah Al-Baqarah Ayat 216: Yang Tidak Disukai Belum Tentu Tidak Baik

Apa yang diinformasikan ayat ini merupakan salah satu cara Allah menyiksa para pembangkang. Allah mencurahkan aneka kenikmatan kepada mereka dengan terbukanya pintu-pintu perbendaharaan Ilahi. Ia dibuka bukan untuk sementara tetapi terus menerus hingga mereka benar-benar bergelimang di dalamnya. Anugerah ini bukan nikmat, tetapi istidraj, yakni Allah mengulur-ulur mereka, sehingga mereka mencapai puncak kedurhakaan yang pada gilirannya menjadikan mereka wajar mendapat siksaan yang amat pedih.

Seperti yang disebut dalam ayat ini, di saat mereka merasa paling nyaman, azab Allah bisa datang kapan saja. Ini adalah peringatan yang sangat keras bagi kita semua. Bukan berarti setiap orang yang mendapatkan kenikmatan dunia sedang dalam istidraj, tetapi jika nikmat tersebut menjauhkan seseorang dari Allah Swt., maka ada baiknya kita mulai mempertanyakan apakah ini adalah berkah atau istidraj. Kesadaran spiritual yang tinggi adalah kunci untuk mencegah diri jatuh ke dalam jebakan ini.

Menghindari Istidraj dengan Kembali kepada Allah

Langkah utama untuk menghindari istidraj adalah dengan selalu mengingat Allah dan bersyukur atas setiap nikmat yang diberikan. Kita harus senantiasa memeriksa diri kita sendiri, apakah nikmat yang kita terima mendekatkan kita kepada Allah atau justru menjauhkan kita dari-Nya.

Diriwayatkan dari Uqbah bin Amir bahwa Nabi Muhammad saw. bersabda: “Jika kalian melihat Allah memberikan dunia kepada seorang hamba pelaku maksiat dengan sesuatu yang ia sukai, maka sesungguhnya itu hanyalah merupakan istidraj.” (H.R. Ahmad).

Baca juga: Keutamaan Syukur: Tafsir Surah Ibrahim Ayat 7

Oleh karena itu, penting bagi kita untuk selalu menjaga hubungan kita dengan Allah, memperbanyak istighfar, dan berusaha menjalankan perintah-Nya dengan sebaik-baiknya. Nikmat dunia memang bisa sangat menggoda, tetapi jika tidak disikapi dengan bijak, nikmat tersebut bisa menjadi malapetaka.

Keutamaan Waktu antara Maghrib dan Isya

0
Keutamaan Waktu antara Maghrib dan Isya
Ilustrasi ibadah dalam masjid.

Dalam Islam, setiap waktu memiliki keutamaan dan keberkahan tersendiri. Salah satunya ialah waktu antara Maghrib dan Isya. Di waktu yang singkat tersebut umat Islam dianjurkan untuk mengisinya dengan amal kebaikan dan meninggalkan segala aktivitas yang menyebabkan lupa kepada Allah. Waktu yang dikenal dengan sebutan ma baina al-Isyaain (waktu antara Maghrib dan Isya) ini juga telah disinggung dalam Q.S. as-Sajdah ayat 16:

تَتَجَافٰى جُنُوْبُهُمْ عَنِ الْمَضَاجِعِ يَدْعُوْنَ رَبَّهُمْ خَوْفًا وَّطَمَعًاۖ وَّمِمَّا رَزَقْنٰهُمْ يُنْفِقُوْنَ

Lambung mereka jauh dari tempat tidurnya dan mereka selalu berdoa kepada Rabb-nya dengan penuh rasa takut dan harap, serta mereka menafkahkan rezeki yang Kami berikan.

Ayat di atas turun berkaitan dengan keutamaan waktu antara Maghrib dan Isya, sebagaimana disebutkan dalam riwayat Qatadah, Ikrimah, al-Wahidi, dan an-Naisaburi. Bahwa Malik bin Dinar pernah bertanya kepada Anas bin Malik tentang ayat ini, “Menyangkut siapakah ayat ini turun?” Lalu dia berkata “Ada sejumlah sahabat Rasulullah saw. mengerjakan salat dari Maghrib sampai Isya, lalu Allah Swt. pun menurunkan ayat ini menyangkut diri mereka.” (H.R. Tirmidzi).

Baca juga: Lailatulqadar dan Sa’atul Ijabah

Sementara sahabat Muadz bin Jabal meriwayatkan dari Rasulullah, beliau bersabda perihal ayat ini, “Itu adalah salatnya seorang hamba di awwal al-lail (awal waktu malam).”

Syekh Wahbah al-Zuhaili dalam Tafsir al-Munir (11/226) menjelaskan bahwa ayat tersebut mengapresiasi sifat orang mukmin yang beribadah, bertasbih, dan bertahmid kepada Allah, di saat kebanyakan orang tengah sibuk atau istirahat dan bersantai setelah seharian bekerja. Mereka dengan penuh semangat menghidupkan waktu malam dengan amal saleh dan jiwa-jiwa mereka merasa nyaman, tenteram, dan damai dengan beribadah serta bermunajat kepada Allah.

Menghidupkan Malam dengan Amal Saleh

Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad menjelaskan bahwa sebagian sunah Rasulullah adalah menghidupkan waktu antara Maghrib dan Isya. Telah banyak hadis dan atsar sahabat tentang keutamaan menghidupkan waktu tersebut. Dalam kitabnya, Risalatul Muawanah, dikisahkan bahwa ada seorang murid bernama Ahmad bin Abi Al-Hawariy bertanya pada gurunya, Syekh Abu Sulaiman.

Ahmad berkata: “Wahai Syekh, aku ini sangat ingin beribadah puasa di pagi hari dan juga ingin menghidupkan waktu antara Maghrib dan Isya dengan ibadah. Akan tetapi, jika aku lakukan keduanya itu sangat susah. Jika paginya aku berpuasa, tentu di waktu Maghrib aku akan sibuk untuk masak, makan, dan lain-lain. Lalu bagaimana?

Baca juga: Sejarah Awal Kewajiban Puasa dan Turunnya Surah al-Baqarah Ayat 187

Syekh Sulaiman menjawab: “Kau lakukan keduanya. Itulah yang afdhal. Pagi harinya berpuasa, dan ketika azan Maghrib, engkau berbuka sebentar kemudian langsung beribadah.” Muridnya pun mengadu bahwa kesusahan melakukan dua hal tersebut. Syekh Sulaiman menjawab, “Kalau demikian tinggalkan puasa dan isilah waktu antara Maghrib dan Isya dengan amal saleh.”

Begitu agungnya waktu tersebut, hingga Habib Abdullah bin Abu Bakar Alaydrus berkata:

الكنوز كل الكنوز فيما بين المغرب و العشاء

Pusaka (hal yang paling berharga) dari segala pusaka terdapat pada waktu antara Maghrib dan Isya.

Durasinya memang terasa singkat, akan tetapi pada waktu tersebut penuh dengan kucuran rahmat dari Allah (Shilah al-Aqrabin).

Amalan yang Disunahkan

Imam ar-Razi menerangkan bahwa redaksi ayat di atas, “mereka menyeru Tuhannya” yakni dengan ibadah salat, karena doa dan salat memiliki makna yang sama. Atau mereka memohon kepada-Nya, di mana ini tidak bertentangan dengan salat, karena memohon dapat dilakukan dengan salat. Namun, lebih utama jika dipahami dengan makna ibadah salat, karena disebutkan setelahnya: “mereka menafkahkan rezeki” di mana salat seringkali disebutkan sebelum zakat (Tafsir Mafatih al-Ghaib, 25/146).

Karena itu, salat sunah menurut sebagian ulama menjadi amal ibadah yang dianjurkan untuk dilakukan di waktu antara Maghrib dan Isya. Sebagaimana dalam atsar, Sayyidah Aisyah berkata:

مَادَخَلَ رَسُوْلُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَيْتِىْ بَعْدَالْعِشَاءِ الْآخِرَةِ إِلَّا صَلَّى أَرْبَعًاأَوْسِتَّا

Rasulullah saw. tidak memasuki rumahku sesudah salat Isya, kecuali Beliau sudah salat empat atau enam rakaat (Beliau kerjakan antara Maghrib dan Isya).

Baca juga: Bacaan Amin dan Keutamaan Membacanya Setelah Surah Al-Fatihah

Diterangkan oleh Syekh Zainuddin al-Malibari (1/283) bahwa salat sunah yang dikerjakan pada waktu itu adalah salat Awwabin. Jumlah rakaatnya paling sedikit dua, bisa juga empat, atau enam rakaat, dan maksimal 20 rakaat dilakukan tanpa berjamaah. Dinamakan Awwabin, sebab orang yang melaksanakan salat ini kembali kepada Allah ketika banyak orang melupakannya disebabkan kesibukan duniawi.

Selain salat sunah, ibadah yang dapat dilakukan dalam rangka mendapatkan keberkahan waktu antara Maghrib dan Isya adalah dengan melakukan i’tikaf, zikir, ataupun membaca Alquran sambil menunggu masuknya waktu Isya. Hal ini telah diteladankan oleh salafuna saleh, bahkan sebelum menjelang Maghrib mereka telah menyiapkan diri untuk beribadah dan berzikir hingga waktu Isya.[]

Penafsiran Esoterik Peristiwa Eksodus Nabi Musa as. dalam Tafsir al-Alusi

0

Peristiwa eksodus adalah peristiwa meninggalkan tempat asal; kampung halaman, kota, atau negara. Dalam kisah Nabi Musa, ayat yang menjelaskan tentang peristiwa ini salah satunya terdapat dalam Q.S al-Baqarah/2:50. Menurut al-Alusi, ayat tersebut tidak hanya mengandung sisi eksoterik, akan tetapi juga esoterik.

وَإِذْ فَرَقْنَا بِكُمُ الْبَحْرَ فَأَنْجَيْنَاكُمْ وَأَغْرَقْنَا آلَ فِرْعَوْنَ تَنْظُرُونَ

Dan (ingatlah) ketika Kami membelah laut untukmu, sehingga kamu dapat Kami selamatkan dan Kami tenggelamkan (Fir‘aun dan) pengikut-pengikut Fir‘aun, sedang kamu menyaksikan. (Al-Baqarah/2:50)

Baca Juga: Tafsir Surat Al Baqarah Ayat 49-50

Ayat ini menceritakan bahwa ketika Nabi Musa dan Bani Israil terusir dari Mesir dan terpaksa harus berpindah dari tempat itu secara besar-besaran, di tengah jalan mereka terhalang oleh lautan. Maka, Allah memisahkan lautan itu, lalu menyelamatkan mereka dan menenggelamkan Fir’aun serta bala tentaranya.

Selain mempunyai makna zahir yang diungkap lewat penafsiran eksoterik, ayat ini juga mempunyai makna batin yang diungkap oleh Imam al-Alūsī dalam kitab tafsirnya Rūh al-Ma’āni fī Tafsīr al-Qur’an al-Aẓīm wa Sab’al-Maṡānī.

Baca Juga: Perdebatan Nabi Musa dengan Fir’aun tentang Hakikat Tuhan

Penafsiran Eksoterik ayat

Ketika menafsirkan ayat ini, al-Alūsi mengungkap makna masing-masing kata dari ayat ini seperti makna dari kata al-farq yang mempunyai asal kata yang sama dengan kata faraqnā yang ada di dalam ayat.

Al-Alūsī juga menjelaskan posisi kalimat pada ayat ini dalam gramatika ilmu bahasa Arab dan juga memberikan penjelasan yang mendalam terkait penggunaan huruf jar pada ayat ini. Yaitu, pada kata bikum.

Al-Alūsī menyebutkan bahwa huruf ba’ digunakan karena yang menjadi sebab dari kata kerja sebelumnya adalah orang yang sudah tidak ada bukan orang yang masih ada ketika ayat tersebut turun. Jika yang dimaksud oleh ayat itu adalah orang-orang yang masih ada dan masih hidup, maka ayat tersebus akan menggunakan redaksi lakum. (al-Alusi, Rūh al-Ma’ānī)

Selain itu, dalam mengungkap penafsiran eksoterik ayat ini, al-Alūsī juga mengutip penafsiran Fakhr al-Dīn al-Rāzi yang menjelaskan tentang bagaimana air laut itu terpisah saat Nabi Musa dan Bani Israil menyebrang. Dalam penafsiran itu, air laut yang diinjak oleh Nabi Musa dan Bani Israil langsung terpisah sehingga membentuk suatu jalan.(al-Razi, Mafātīh al-Gaib) Selain itu, al-Alūsī juga menyampaikan penafsiran lain yang menjelaskan bagaimana proses mukjizat ini terjadi.

Al-Alūsī juga menjelaskan penafsiran terkait kata al-bahr dan menyampaikan beberapa pendapat terkait laut mana yang dimaksud. Ia menyampaikan bahwa ada yang mengatakan bahwa laut itu adalah al-Qulzum (laut merah), dan ada yang mengatakan bahwa laut itu adalah Sungai Nil yang karena lebarnya Sungai Nil diungkapkan sebagai laut oleh orang Arab. Dan, al-Alūsī menyebutkan syair yang menjadi landasan penggunaan kata al-bahr untuk sungai yang sangat luas.

Baca Juga: Etika Kritik Terhadap Penguasa Ala Nabi Musa

Penafsiran Esoterik ayat

Kata al-bahr juga memiliki isyarat yang menjadi dasar bagi al-Alūsī untuk mengungkapkan penafsiran esoterik terhadap ayat ini. Al-Alūsī mengatakan bahwa al-bahr itu adalah isyarat atas nafsu dan kenikmatan dunia. Al-Alūsī menyampaikan bahwa penyelamatan Allah adalah dengan memisahkan nafsu dunia dan juga kenikmatannya dari hati hambanya. Al-Alūsī juga menyebutkan bahwa Nabi Musa dan kaumnya yang menyebrangi laut ini adalah simbol dari hati dan sifat-sifat hati yang terpisah dari nafsu dan juga dunia.(al-Alusi, 2010, hlm. 168)

Hati dan sifat-sifatnya yang dilambangkan dengan Musa dan kaumnya harus lari dari kejaran nafs al-‘ammārah yang dilambangkan dengan Firʽaun dan bala tentaranya di belakang mereka. Kemudian, di depan mereka terhalangi oleh lautan yang menjadi lambang dari dunia dan kenikmatannya yang menghalangi hati untuk sampai kepada tujuannya.

Agar hati sampai kepada tujuannya, yaitu Allah Ta’ālā, maka ada dua syarat yang harus dipenuhi yaitu adanya tingkat yang digunakan untuk memukul lautan itu dan juga tongkat itu harus berada di tangan Nabi Musa dan dipukulkan olehnya. Tongkat yang digunakan untuk memukul ini adalah lambang dari ungkapan Lā ilāha illā Allāh yang harus dipukulkan oleh hati untuk menjauhkan hati dari syahwat dunia dan kenikmatannya.

Al-Alūsi dalam ayat yang mengisahkan tentang peristiwa eksodus ini mengungkapkan empat isyarat penting yaitu Nabi Musa sebagai simbol hati, Fir’aun sebagai simbol hawa nafsu, lautan sebagai simbol dunia dan tongkat sebagai simbol zikir. Hati dan zikir menjadi kunci dalam perjalanan menuju Allah. Seandainya tidak ada zikir maka hati akan tenggelam dalam syahwat dunia dan akan celaka seperti Fir’aun dan bala tentaranya.

Dan seandainya zikir ini tidak berasal dari hati maka tidak akan mampu untuk memisahkan diri dari syahwat dan kenikmatan dunia yang menipu. Al-Alūsi kemudian mengutip ayat Alquran yang selaras dengan penafsiran ini yaitu bahwa tujuan seorang hamba adalah Allah sebagai Tuhannya. Ayat yang dikutip al-Alūsi adalah Q.S al-Najm/53:42:

 وَاَنَّ اِلٰى رَبِّكَ الْمُنْتَهٰىۙ

dan sesungguhnya kepada Tuhanmulah kesudahannya (segala sesuatu) (An-Najm/53:42)

Kemudian, untuk mendukung penafsiran terkait Firʽaun dan bala tentaranya yang tenggelam dan tidak berhasil mencapai tujuan, al-Alūsī mengutip Q.S Hud/11:44:

 وَقِيْلَ يٰٓاَرْضُ ابْلَعِيْ مَاۤءَكِ وَيٰسَمَاۤءُ اَقْلِعِيْ وَغِيْضَ الْمَاۤءُ وَقُضِيَ الْاَمْرُ وَاسْتَوَتْ عَلَى الْجُوْدِيِّ وَقِيْلَ بُعْدًا لِّلْقَوْمِ الظّٰلِمِيْنَ

Dan difirmankan, “Wahai bumi! Telanlah airmu dan wahai langit (hujan!) berhentilah.” Dan air pun disurutkan, dan perintah pun diselesaikan dan kapal itupun berlabuh di atas gunung Judi, dan dikatakan, ”Binasalah orang-orang zalim.” (Hud/11:44)

Baca Juga: Religious Hate Speech dan Perlunya Model Dakwah Qaulan Layyina Nabi Musa

Relevansi Penafsiran Esoterik al-Alūsī dengan Masa Kekinian

Penafsiran esoterik yang diungkap oleh al-Alūsī sangat relevan dengan masa kekinian. Relevansi ini dilihat dari segi kondisi spiritual manusia yang semakin dikendalikan oleh al-nafs al-‘ammārah. Selain itu, kecintaan terhadap dunia dan kenikmatan-kenikmatannya semakin memperburuk kondisi manusia.

Dari penafsiran esoterik yang diungkap al-Alūsī dapat disimpulkan bahwa solusi atas masalah ini adalah dengan zikir dan memerangi hawa nafsu. Dari penafsiran ini pula, bisa diketahui bahwa jika manusia terus menerus mengikuti hawa nafsunya untuk mendapatkan kenikmatan dunia, maka mereka tidak akan sampai kepada Allah dan akan tenggelam selayaknya Fir’aun dan bala tentaranya yang tenggelam di laut merah.