Beranda blog Halaman 24

Ketika Nabi Adam Diprotes Nabi Musa karena Terusir dari Surga

0
ketika nabi Adam diprotes nabi Musa_tafsir surah Taha ayat 120-122
ketika nabi Adam diprotes nabi Musa_tafsir surah Taha ayat 120-122

Seandainya Nabi Adam dan Siti Hawa tidak memakan buah khuldi, pasti kita sekarang sedang bersantai di surga.  Kiranya itulah angan-angan yang terbesit di benak pikiran kebanyakan orang sebagai ekspresi ‘komplain’ terhadap Nabi Adam dan Siti Hawa.

Skenario Allah tidak menghendaki alur cerita berjalan dengan sederhana, Nabi Adam ditakdirkan memakan buah Khuldi karena tergoda dengan janji manis godaan Iblis, hingga akhirnya nenek moyang kita, Nabi Adam dan Siti Hawa harus terusir dari surga dan menjalani cobaan di dunia yang fana ini.

Baca Juga: Doa Penyesalan Nabi Adam as dalam Surah Al-A’raf Ayat 23

Tidak hanya manusia umum yang pernah komplain akan hal tersebut, seorang Nabi Musa pun pernah menyayangkan dan memprotes Nabi Adam atas keputusannya memakan buah terlarang tersebut hingga harus terusir dari surga.

Keterangan Nabi Adam diprotes Nabi Musa ini dinukil oleh Ibn Katsir dalam penafsirannya atas surah Taha [20]: 120-122

فَوَسْوَسَ إِلَيْهِ الشَّيْطَانُ قَالَ يَا آدَمُ هَلْ أَدُلُّكَ عَلَى شَجَرَةِ الْخُلْدِ وَمُلْكٍ لَا يَبْلَى . فَأَكَلا مِنْهَا فَبَدَتْ لَهُمَا سَوْآتُهُمَا وَطَفِقَا يَخْصِفَانِ عَلَيْهِمَا مِنْ وَرَقِ الْجَنَّةِ . وَعَصَى آدَمُ رَبَّهُ فَغَوَى . ثُمَّ اجْتَبَاهُ رَبُّهُ فَتَابَ عَلَيْهِ وَهَدَى

Maka, setan membisikkan (pikiran jahat) kepadanya. Ia berkata, “Wahai Adam, maukah aku tunjukkan kepadamu pohon khuldi (keabadian) dan kerajaan yang tidak akan binasa?” (120) Lalu, mereka berdua memakannya sehingga tampaklah oleh keduanya aurat mereka dan mulailah keduanya menutupinya dengan daun-daun (yang ada di) surga. Adam telah melanggar (perintah) Tuhannya dan khilaflah dia. (121) uhannya kemudian memilihnya (menjadi rasul). Maka, Dia menerima tobatnya dan memberinya petunjuk. (122)

Syaikh Wahbah Zuhaili dalam kitabnya, Tafsir Al Munir menjelaskan bahwa latar belakang iblis menggoda Nabi Adam untuk memakan buah khuldi berakar dari kedengkiannya terhadap Nabi Adam. Iblis merasa tidak terima karena Allah memuliakan Adam dengan memberinya kedudukan istimewa, hingga para penghuni surga, termasuk iblis, diperintahkan untuk bersujud sebagai bentuk penghormatan kepada Adam. Iblis, yang diciptakan dari api, merasa lebih tinggi derajatnya daripada Adam yang terbuat dari tanah liat.

Selain itu, Ibnu Katsir dalam kitabnya Tafsir Ibnu Katsir ketika menafsirkan ayat tersebut, beliau menulis dialog perdebatan antara Nabi Musa dan Nabi Adam. Nabi Musa mempertanyakan keputusan Nabi Adam untuk menuruti godaan iblis yang mengakibatkan umat manusia harus hidup di dunia yang penuh cobaan.

Ibnu katsir menuliskan kisah tersebut dengan menukil hadis dari kitab Sahih al-Bukhari, beliau menuliskan;

عَنْ يَزِيدَ بْنِ هُرْمُزَ قَالَ: سَمِعْتُ أَبَا هُرَيْرَةَ يَقُولُ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: “حَجَّ آدمُ وَمُوسَى عِنْدَ رَبِّهِمَا، فَحَجَّ آدَمُ مُوسَى، قَالَ مُوسَى: أَنْتَ الَّذِي خَلَقَكَ اللَّهُ بِيَدِهِ، وَنَفَخَ فِيكَ مِنْ رُوحِهِ، وَأَسْجَدَ لَكَ مَلَائِكَتَهُ، وَأَسْكَنَكَ فِي جَنَّتِهِ، ثُمَّ أَهْبَطْتَ النَّاسَ إِلَى الْأَرْضِ بِخَطِيئَتِكَ؟ قَالَ آدَمُ: أَنْتَ مُوسَى الَّذِي اصْطَفَاكَ اللَّهُ بِرِسَالَتِهِ وَكَلَامِهِ، وَأَعْطَاكَ الْأَلْوَاحَ فِيهَا تِبْيَانُ كُلِّ شَيْءٍ، وَقَرَّبَكَ نَجِيًّا، فَبِكَمْ وجدتَ اللَّهَ كَتَبَ التَّوْرَاةَ [قَبْلَ أَنْ أُخْلَقَ]) قَالَ مُوسَى: بِأَرْبَعِينَ عَامًا. قَالَ آدَمُ: فَهَلْ وجدتَ فِيهَا {وَعَصَى آدَمُ رَبَّهُ فَغَوَى} قَالَ: نَعَمْ. قَالَ: أَفَتَلُومُنِي عَلَى أَنْ عملتُ عَمَلًا كَتَبَ اللَّهُ عَلَيَّ أَنْ أَعْمَلَهُ قَبْلَ أَنْ يَخْلُقَنِي بِأَرْبَعِينَ سَنَةً”. قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: “فَحَجَّ آدَمُ مُوسَى

Dari Yazid bin Hurmuz, yang berkata: “Aku mendengar Abu Hurairah berkata, Rasulullah Saw bersabda, ‘Pada suatu waktu, Nabi Adam dan Nabi Musa berdebat di hadapan Allah.

Maka berkatalah Nabi Musa kepada Nabi Adam, “Engkau adalah orang yang Allah ciptakan dengan tangan-Nya, lalu Dia meniupkan ruh-Nya ke dalam dirimu. Allah juga memerintahkan para malaikat-Nya untuk bersujud kepadamu, dan Allah menempatkanmu di surga-Nya. Namun, karena kesalahanmu, engkau membuat manusia diturunkan ke bumi.”

Nabi Adam pun menjawab, “Engkau adalah Musa yang Allah pilih dengan risalah-Nya dan perkataan-Nya. Allah memberimu lembaran-lembaran yang berisi penjelasan tentang segala sesuatu, dan Dia mendekatkanmu untuk berbicara langsung. Berapa lama sebelum aku diciptakan engkau mendapati bahwa Allah telah menulis Taurat?”

Nabi Musa menjawab, “Empat puluh tahun sebelum aku diciptakan.”

Nabi Adam bertanya lagi, “Apakah engkau menemukan di dalam Taurat itu ayat yang berbunyi Dan Adam melanggar perintah Tuhannya dan tersesat’?”

Nabi Musa menjawab, “Ya, benar.”

Kemudian Nabi Adam berkata, “Lalu, apakah engkau mencela aku atas perbuatan yang telah Allah tetapkan untuk kulakukan empat puluh tahun sebelum aku diciptakan?”

Rasulullah Saw bersabda, “Maka Nabi Adam mengalahkan Nabi Musa dalam perdebatan tersebut.”

Baca Juga: Belajar Memperbaiki Kesalahan dari Kisah Nabi Adam

Dari kisah ini dapat diambil pelajaran bahwa hidup di dunia adalah bagian dari rencana besar Allah. Ujian yang dialami sebagai keturunan Nabi Adam merupakan sarana untuk meningkatkan keimanan dan mendekatkan diri kepada Allah. Jika hal tersebut dijalani dengan sabar dan ikhlas, kelak akan ada balasan yang jauh lebih indah di akhirat. Wallahu a’lam.

Halaqah ‘Ahl as-Suffah’: ‘Pesantren’ Awal di Masa Rasulullah

0
masjid Nabawi_tempat halaqah ahl as-suffah
masjid Nabawi_tempat halaqah ahl as-suffah

Sejarah pendidikan Islam saat ini sangat erat kaitannya dengan tradisi pembelajaran di masa Rasulullah saw. Salah satunya adalah tradisi ahl as-suffah, yaitu sekelompok sahabat Nabi yang memilih tinggal di serambi masjid dan mengabdikan diri untuk beribadah, mendalami ilmu agama, serta menyebarkannya kepada umat Islam yang lain.

Karakteristik dan Keadaan Ahl as-Suffah 

Menurut Abu Nu’aim Asbahani (Hilyah al-Auliya 1/337) dan Ibnu Hajar (Fath al-Bari 6/688), ahl as-suffah adalah para ‘santri’ Rasul yang tinggal di bagian belakang Masjid Nabawi, mereka dikenal menjaga kehormatan diri mereka dari perilaku maksiat. Kebanyakan dari mereka adalah para fakir yang menjaga ‘iffah diri mereka dari meminta-minta. Ini sebagaimana disinggung dalam surah al-Baqarah ayat 273.

Sementara Wahbah al-Zuhaili (2/102) mendeskripsikan, mereka adalah sahabat yang hijrah dari Makkah yang tidak memiliki kerabat juga tempat tingal, sehingga mereka tinggal di masjid Rasulullah saw. Pada malam hari, mereka belajar Alquran, dan di siang hari, mereka memiliki kesibukan memecah biji-bijian. Jika ada seseorang dari umat Islam yang memiliki kelebihan makanan, maka pada sore hari, sahabat Nabi tersebut membawanya untuk diberikan kepada mereka.

Dapat dipahami bahwa awalnya penghuni ash-Shuffah adalah sahabat Muhajirin yang fakir. Namun selain dihuni oleh mereka, as-Suffah juga dihuni oleh penduduk asli Madinah, seperti Ka’ab bin Malik al-Anshari, Hanzalah bin Abi ‘Amir, dan Haritsah bin an-Nu’man yang sejatinya hidupnya berkecukupan, namun mereka memilih untuk hidup zuhud dan mempelajari agama. Selain itu, ada juga tamu-tamu Rasulullah yang datang dari berbagai negara untuk masuk Islam dan mendalami keilmuan Islam bergabung dengan para ahl as-suffah.

Baca Juga: Metode Pembelajaran Alquran pada Zaman Rasulullah

Jumlah ‘santri’ Rasulullah saw. tersebut berubah-ubah menyesuaikan situasi dan kondisi. Oleh karena itu, terdapat perbedaan pendapat terkait jumlah mereka. Riwayat dari Abu Hurairah sebagai salah satu dari mereka pernah mengatakan: “Saya melihat 70 orang dari ahl as-suffah, tidak seorang pun di antara mereka yang memakai rida‘ (sejenis kain penutup bagian atas tubuh). Mereka hanya mengenakan sarung atau kisa’ (potongan kain).”

Sementara menurut keterangan dalam Tafsir al-Qurthubi (3/337), jumlah mereka mencapai 400 orang. Al-Qurthubi juga menerangkan bahwa mereka tinggal di tsaqifah masjid (papan lebar yang dibuat rumah) dan mereka belajar Alquran dan Ilmu-ilmu keislaman di malam hari serta berjihad di siang hari.

Orang yang ditunjuk Rasul sebagai penanggung jawab ashab as-suffah adalah Abu Hurairah. Ketika Rasulullah ingin memanggil mereka biasanya melalui perantara dirinya. Abu Hurairah sendiri merupakan sahabat Nabi yang berasal dari kalangan berkecukupan. Namun beliau  lebih senang tinggal di Suffah agar dapat bergaul secara intensif dengan Rasulullah. Berkat hal ini, Abu Hurairah menjadi sahabat yang paling banyak meriwayatkan hadis dari beliau saw.

Baca Juga: Pendidikan Moral dan Etika Sosial dalam Kisah Nabi Musa as. Dalam Q.S. al-Qashshash: 23-28

Kesungguhan dalam Beribadah dan Menuntut Ilmu

Salah satu mufasir menjelaskan bahwa ahl as-suffah adalah sekelompok sahabat Nabi yang tidak diperintahkan untuk berangkat ke medan perang. Mereka tidak berangkat karena sibuk mengajarkan Alquran dan dasar-dasar ilmu agama kepada kaumnya. Orang-orang munafik pun melontarkan kritiknya, “Sungguh, masih ada orang-orang yang tertinggal di Madinah, maka celakalah mereka itu.” Setelah itu, turun firman Allah dalam surah at-Taubah: 122. (Tafsir al-Munir 6/94)

Ar-Razi dalam tafsirnya menambahkan bahwa mereka tinggal bersama Rasulullah untuk mempelajari hukum-hukum Islam, menghafalnya, dan menyampaikannya kepada sahabat yang tidak hadir. (Mafatih al-Ghaib 16/172)

Selain aktivitas menuntut ilmu, mereka juga dikenal semangat dalam melakukan ibadah. Mereka senantiasa melaksanakan salat, beri’tikaf di masjid, tadarus Alquran, berdzikir, puasa di siang harinya, dan terbiasa dengan hidup zuhud. Satu lagi, mereka juga terkenal dengan semangat jihad yang tinggi. Bahkan, beberapa mereka terlibat dan gugur syahid dalam perang Badar, seperti Salim bin Umair, dan Haritsah bin An-Nu’man. Selain perang Badar, beberapa orang gugur dalam perang Uhud, perang Khaibar, perang Tabuk, dan perang Yamamah.

Sebab kesungguhan mereka, baik dalam menuntut ilmu maupun dalam hal lainnya, banyak alumni as-suffah yang sukses di bidangnya masing-masing. Seperti Abu Hurairah yang telah disebutkan di awal. Selain itu, ada Abu Ubaidah bin Jarrah yang dipercaya mengelola keuangan negara di masa kepemimpinan Sayidina Abu Bakar. Ada juga, Abu Darda’ yang menjadi guru dan mendirikan madrasah bersama istrinya di Syam. Beliau mengajarkan Alquran, hadis, tafsir, dan fikih. Tercatat lebih dari 1600 ‘santri’ yang pernah belajar dan singgah di ‘pesantren’ yang diasuhnya.

Baca Juga: Cara Rasulullah Saw Mengevaluasi Sahabatnya

Ahl as-suffah memainkan peran terbesar mereka ketika perluasan wilayah Islam mencapai puncaknya di masa Amirul Mukminin, Umar bin Khattab. Di masa itu, mereka dikirim ke seluruh penjuru dunia untuk menyebarkan ilmu, warisan dari Rasulullah saw. kepada masyarakat yang baru mengenal dan memeluk agama Islam. Komitmen ahl as-suffah yang tinggi terhadap ilmu menjadi teladan bagi ‘santri’ dan umat Islam pada umumnya untuk terus bersungguh-sungguh menuntut ilmu Allah.

Ahl as-suffah menjadi contoh awal dari komunitas belajar yang menekankan pentingnya ilmu pengetahuan dan spiritualitas. Mereka fokus pada pengkajian ilmu agama yang mendalam dan interaksi langsung dengan Rasulullah, di mana tidak hanya mendapatkan materi pelajaran tetapi juga contoh langsung akhlak Rasulullah saw. dalam kehidupan sehari-hari.

Tradisi ini bisa jadi menginspirasi lembaga pendidikan Islam, khususnya di Indonesia, yaitu pesantren, tempat para diajarkan untuk mengutamakan ilmu, akhlak, displin, serta hidup sederhana. Wallah a’lam

Peran Alquran dalam Membangun Karakter Pemuda di Era Digital

0
Peran Alquran dalam Membangun Karakter Pemuda di Era Digital
Ilustrasi pemuda masa kini.

Pada era digital yang serba cepat ini, pemuda berada di garis depan kemajuan teknologi dan informasi. Sayangnya, perkembangan ini tak hanya membawa kemudahan, tetapi juga tantangan serius yang mempengaruhi karakter dan perilaku mereka. Dari hoaks hingga cyberbullying, pemuda kerap terpapar konten negatif yang bisa mempengaruhi pola pikir dan tindakan mereka sehari-hari.

Alquran, kitab suci umat Islam, hadir sebagai sumber pedoman dengan nilai-nilai moral dan etika yang sangat relevan untuk menghadapi situasi ini. Nilai-nilai seperti kejujuran, tanggung jawab, dan empati dapat menjadi landasan yang kokoh bagi pemuda dalam berinteraksi di dunia maya. Misalnya, dalam menghadapi hoaks dan ujaran kebencian, pemuda yang memahami ajaran Alquran diharapkan akan lebih bijak dan tanggap dalam menggunakan teknologi, mengedepankan etika dan sikap positif.

Penelitian menunjukkan bahwa keterlibatan pemuda dalam kegiatan keagamaan, khususnya yang berhubungan dengan pembelajaran Alquran, memiliki dampak signifikan dalam meningkatkan kesadaran sosial dan membangun karakter positif. Lewat pengajian, diskusi, dan pelatihan berbasis nilai-nilai Alquran, mereka dibekali keterampilan untuk berinteraksi secara sehat di dunia digital yang penuh tantangan. Kegiatan-kegiatan ini membantu pemuda tidak hanya memahami nilai-nilai luhur dalam Alquran, tetapi juga mengamalkannya dalam lingkungan modern.

Dalam konteks ini, muncul pertanyaan mendasar: Apakah nilai-nilai Alquran masih relevan untuk membentuk karakter pemuda di tengah derasnya arus informasi dan teknologi masa kini?

Menanamkan Nilai-nilai Moral dalam Diri Pemuda

Alquran mengandung ajaran yang kaya akan nilai-nilai moral dan etika, yang dapat menjadi pedoman bagi generasi muda. Dalam dunia yang semakin kompleks ini, penting bagi pemuda untuk memiliki fondasi moral yang kuat. Salah satu ayat yang menekankan pentingnya akhlak yang baik adalah:

۞ اِنَّ اللّٰهَ يَأْمُرُكُمْ اَنْ تُؤَدُّوا الْاَمٰنٰتِ اِلٰٓى اَهْلِهَاۙ وَاِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ اَنْ تَحْكُمُوْا بِالْعَدْلِ ۗ اِنَّ اللّٰهَ نِعِمَّا يَعِظُكُمْ بِهٖ ۗ اِنَّ اللّٰهَ كَانَ سَمِيْعًاۢ بَصِيْرًا

Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanah kepada pemiliknya. Apabila kamu menetapkan hukum di antara manusia, hendaklah kamu tetapkan secara adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang paling baik kepadamu. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat (Q.S. An-Nisa [4]: 58).

Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Misbah menjelaskan bahwa ayat ini menekankan pentingnya amanah dan keadilan dalam interaksi sosial. Dalam konteks pemuda, hal ini berarti mereka harus mengembangkan karakter yang jujur dan dapat dipercaya, baik dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam penggunaan teknologi informasi.

Baca juga: Ashabul Kahfi: Representasi Perjuangan Pemuda dalam Alquran

Nilai-nilai seperti kejujuran, tanggung jawab, empati, dan keadilan yang terkandung dalam Alquran dapat membantu pemuda menghadapi berbagai tantangan, termasuk dalam interaksi di dunia maya. Dengan menanamkan nilai-nilai Alquran, mereka diharapkan dapat lebih bijak dalam menggunakan teknologi dan menghindari perilaku yang merugikan diri sendiri maupun orang lain.

Studi menunjukkan bahwa keterlibatan pemuda dalam kegiatan keagamaan dan pembelajaran Alquran dapat meningkatkan kesadaran sosial dan karakter positif. Ini menunjukkan bahwa semakin banyak pemuda yang aktif dalam mempelajari dan mengamalkan ajaran Alquran, semakin tinggi pula kemungkinan mereka untuk menjadi individu yang memiliki karakter yang kuat dan positif.

Menggali Makna Alquran Melalui Pendekatan Sastrawi

Pendekatan sastrawi dalam memahami Alquran menjadi penting, terutama bagi pemuda yang hidup di era digital. Pemuda diajak untuk menggali makna mendalam dari ayat-ayat Alquran dengan cara yang relevan dan sesuai dengan konteks modern. Menggunakan pendekatan ini, mereka dapat menemukan keindahan dan kedalaman pesan-pesan Alquran, sehingga membangkitkan minat dan cinta terhadap kitab suci tersebut. Salah satu ayat yang mengajak untuk merenungkan ciptaan dan makna hidup adalah:

قُلْ هُوَ الَّذِيْٓ اَنْشَاَكُمْ وَجَعَلَ لَكُمُ السَّمْعَ وَالْاَبْصَارَ وَالْاَفْـِٕدَةَۗ قَلِيْلًا مَّا تَشْكُرُوْنَ

Katakanlah, “Dialah Zat yang menciptakanmu dan menjadikan bagimu pendengaran, penglihatan, dan hati nurani. (Akan tetapi,) sedikit sekali kamu bersyukur.” (Q.S. Al-Mulk [67]: 23).

Baca juga: Bani Israil dan Kisah Pemuda Pemilik Sapi

Buya Hamka dalam Tafsir Al-Azhar menerangkan, ayat ini menunjukkan bahwa manusia diciptakan dengan tujuan dan anugerah yang besar. Pemuda diingatkan untuk menggunakan potensi yang diberikan, termasuk akal dan hati, untuk bersyukur dan menjalani hidup yang bermakna.

Melalui diskusi kelompok, pelatihan, dan pengajian, pemuda dapat saling berbagi pandangan dan pengalaman mengenai bagaimana nilai-nilai Alquran dapat diterapkan di dunia digital. Ini dapat menjadi kesempatan untuk memperkuat ikatan sosial dan membangun komunitas yang saling mendukung.

Kegiatan-kegiatan ini juga dapat memfasilitasi dialog antara generasi muda dan para ulama atau pemikir muslim kontemporer, yang dapat memberikan perspektif baru dalam memahami Alquran. Dengan cara ini, pemuda tidak hanya menjadi pembaca, tetapi juga pelaku aktif dalam menerapkan nilai-nilai Alquran dalam kehidupan mereka.

Peran Lembaga Pendidikan dan Komunitas dalam Membangun Karakter Pemuda

Untuk memastikan bahwa nilai-nilai Alquran dapat diterapkan secara efektif dalam kehidupan pemuda, peran lembaga pendidikan dan komunitas sangat penting. Sekolah, perguruan tinggi, dan organisasi keagamaan perlu bekerja sama untuk menciptakan program-program yang mendukung pemuda dalam mengekspresikan nilai-nilai Alquran di era digital.

Program-program seperti pelatihan kepemimpinan berbasis nilai-nilai Alquran, tentang penggunaan media sosial yang bijak, dan kegiatan sosial yang melibatkan komunitas dapat membantu pemuda mengembangkan keterampilan dan karakter yang diperlukan. Dengan mengintegrasikan ajaran Alquran ke dalam kurikulum pendidikan dan aktivitas komunitas, pemuda diharapkan dapat menjadi agen perubahan yang positif dalam masyarakat.

Sebagai contoh, Alquran mengajarkan pentingnya kolaborasi dan saling membantu dalam komunitas.  Allah berfirman:  “Dan tolong-menolonglah kamu dalam kebaikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam dosa dan permusuhan.” (Q.S. Al-Ma’idah [5]:  2).

Baca juga: Kisah Pemuda dan Raja Pembuat Parit: Kekejaman atas Dasar Agama yang Ditentang Nabi Saw.

Quraish Shihab mengatakan ayat ini menunjukkan bahwa kerja sama dalam kebaikan adalah suatu hal yang diperintahkan, sementara tindakan yang merugikan orang lain harus dihindari. Ini relevan dalam konteks dunia digital di mana informasi dapat digunakan untuk tujuan baik maupun buruk.

Selain itu, media sosial juga dapat dimanfaatkan sebagai sarana untuk menyebarluaskan nilai-nilai positif Alquran. Pemuda yang memiliki kemampuan dalam bidang teknologi dapat berperan sebagai duta yang menyebarkan pesan-pesan Alquran dengan cara yang kreatif dan menarik. Ini bisa meliputi pembuatan konten yang inspiratif, video edukatif, atau kampanye di media sosial yang mengedukasi masyarakat tentang pentingnya karakter yang baik sesuai ajaran Alquran.

Kesimpulan

Di era digital yang serba cepat ini, Alquran tetap memiliki relevansi yang tinggi dalam membangun karakter pemuda. Melalui nilai-nilai moral yang terkandung di dalamnya, pendekatan sastrawi yang kreatif, serta dukungan dari lembaga pendidikan dan komunitas, pemuda dapat dibekali dengan karakter yang kuat dan positif. Dengan cara ini, mereka diharapkan dapat menghadapi tantangan zaman dengan bijak dan bertanggung jawab, serta menjadi generasi yang membawa perubahan positif bagi masyarakat.

Integrasi Ilmu Wujuh wa Nazhair dan Semantik dalam Tafsir

0
Dialektika Makna: Integrasi Ilmu Wujuh wa Nazhair dan Semantik dalam Tafsir
Salah satu kitab yang membahas ilmu Wujuh wa Nazhair

Alquran memiliki keunikan dalam penggunaan bahasa dan istilah, yang seringkali sulit dipahami. Hal ini disebabkan oleh penggunaan istilah yang maknanya bisa berbeda dari makna aslinya. Satu bentuk kemukjizatan Alquran dari aspek susunan bahasa (Charisma, 1991: 14-15).

Perubahan makna tersebut juga dapat terjadi seiring dengan perkembangan zaman, sehingga pemahaman Alquran memerlukan kajian yang lebih mendalam, bukan sekadar penguasaan linguistik. Dalam kajian Alquran, dibutuhkan perangkat ilmu yang memadai untuk membantu pemahaman tentang makna kata atau istilah yang akan dikaji.

Berbagai disiplin ilmu muncul untuk menjawab tantangan ini, di antaranya adalah ilmu wujuh wa nazhair (Wahyudi, 2019: 22-23) dan ilmu semantik. Keduanya memiliki fokus dan metodologi yang berbeda. Namun, jika diintegrasikan, dapat memberikan pemahaman yang lebih komprehensif terhadap Alquran.

Ilmu wujuh (satu kata banyak makna) dan nazhair (satu makna banyak kata) berfokus pada penjelasan tentang variasi makna dari suatu kata atau istilah dalam konteks tertentu (Sarwat, 2019: 11).

Sementara ilmu semantik menekankan pada studi makna kata dan hubungan antarkata dalam bahasa (Izutsu, 1964: 10). Melalui dialektika antara kedua ilmu ini, dapat dipahami kekayaan dimensi makna dalam Alquran.

Definisi dan Ruang Lingkup

Ilmu wujuh wa nazhair merupakan ilmu yang mempelajari perbedaan dan persamaan makna dari kata atau frasa dalam Alquran (Shihab, 2015: 119). Dalam konteks tafsir, ilmu ini sangat penting untuk memahami konotasi dan denotasi dari istilah yang digunakan.

Misalnya, istilah “rahmah” dan “maghfirah” dalam Alquran memiliki nuansa makna yang berbeda meskipun keduanya berkaitan dengan kasih sayang Allah. Pemahaman wujuh wa nazhair dapat membantu penafsir memberikan konteks yang lebih baik dalam tafsir kata tertentu.

Sementara ilmu semantik ialah cabang linguistik yang mempelajari makna dasar dan relasional. Dalam konteks Alquran, semantik berperan penting dalam menggali makna di balik kata dan frasa yang digunakan (Izutsu, 1997: 12).

Misalnya analisis semantik terhadap istilah hidayah dalam Alquran dapat membuka wawasan tentang bagaimana petunjuk Tuhan diberikan kepada manusia.

Pentingnya Integrasi

Integrasi antara ilmu wujuh wa nazhair dan semantik sangat penting dalam konteks pemahaman Alquran. Setiap ayat memiliki lapisan makna yang dapat diungkap melalui analisis dari kedua ilmu ini. Wujuh wa nazhair memberikan konteks historis dari perubahan kata dan memilih maknanya yang tepat (Chirzin, 2003: 207).

Adapun semantik nantinya akan memberikan analisis hubungan antarkata dengan memperhatikan aspek sinkronik dan diakroniknya (Izutsu, 1997: 12). Dengan mengintegrasikan kedua ilmu ini, para pengkaji dapat menggali lebih dalam makna ayat yang terdiri dari beberapa kata.

Misalnya, ketika menganalisis ayat tentang perintah salat, pengkaji tidak hanya melihat kata salat dari sudut pandang semantik, tetapi juga mengeksplorasi variasi makna dan penggunaan kata tersebut dalam konteks yang berbeda.

Aplikasi Penafsiran

Berikut adalah beberapa contoh aplikasi mengenai integrasi ilmu wujuh wa nazhair dan semantik dalam memahami ayat-ayat Alquran:

Q.S. Al-Baqarah [2]: 177

لَيْسَ الْبِرَّ أَنْ تُوَلُّوا وُجُوهَكُمْ قِبَلَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ وَلكِنَّ الْبِرَّ مَنْ آمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَالْمَلائِكَةِ وَالْكِتابِ وَالنَّبِيِّينَ…

“Bukanlah kebajikan itu menghadap wajahmu ke arah timur dan barat, tetapi kebajikan itu adalah orang yang beriman kepada Allah, hari kiamat, malaikat, kitab-kitab, dan para nabi…”

Dalam konteks nazhair, istilah kebajikan (al-birr) memiliki berbagai makna dan konotasi yang membedakannya dengan al-ihsan. Ayat ini menjelaskan bahwa kebajikan tidak terbatas pada tindakan fisik (seperti menghadap kiblat), tetapi mencakup aspek moral, spiritual, dan kontinuitas.

Baca juga: Al-Wujuh dan Al-Nazhair Kata Shalat pada Alquran

Penggunaan istilah kebajikan di sini memperlihatkan bahwa tindakan ibadah harus disertai dengan keyakinan dan tindakan baik terhadap orang lain. Sementara semantik memandang kata kebajikan mencakup lebih dari sekadar perilaku lahiriah; ia menyiratkan keseluruhan karakter seseorang yang beriman.

Dengan menganalisis kata-kata yang menyertainya, seperti iman dan amal, dapat dipahami hubungan yang harmonis antara keyakinan dan tindakan. Pemahaman ini menunjukkan bahwa kebajikan harus diwujudkan dalam bentuk perilaku etis dan moral yang terus menerus (Al-Asfahani, 1992: 114).

Q.S. Al-Maidah [5]: 32

مِنْ أَجْلِ ذلِكَ كَتَبْنا عَلى بَنِي إِسْرائِيلَ أَنَّهُ مَنْ قَتَلَ نَفْساً بِغَيْرِ نَفْسٍ أَوْ فَسادٍ فِي الْأَرْضِ فَكَأَنَّما قَتَلَ النَّاسَ جَمِيعاً…

“Oleh karena itu, Kami tetapkan atas Bani Israil, bahwa siapa yang membunuh satu jiwa, maka seolah-olah dia telah membunuh manusia seluruhnya…”

Term jiwa selain menggunakan nafs, juga terkadang menggunakan ar-ruh, dan asy-syakhsy (pribadi). Dalam konteks ini, wujuh wa nazhair menunjukkan bahwa tindakan membunuh tidak hanya dilihat sebagai tindakan individual, tetapi juga memiliki dampak sosial yang luas (Al-Asfahani, 1992: 818).

Baca juga: Memahami Kata Kafir dalam Alquran

Namun, maksud jiwa pada ayat di atas menunjukkan bahwa kehidupan itu berharga. Sehingga dapat dipahami bahwa ayat ini juga berfungsi sebagai peringatan bagi umat manusia tentang pentingnya menjaga kehidupan (Sarwat, n.d.: 68-69).

Dari perspektif semantik, hubungan antara kata membunuh dan manusia menegaskan bahwa tindakan kekerasan terhadap satu orang menciptakan dampak yang lebih besar terhadap masyarakat.

Di sini, semantik membantu pemahaman bahwa membunuh bukan hanya tindakan kekerasan fisik, tetapi juga memiliki konsekuensi moral dan sosial yang dalam.

Q.S.  An-Nahl [16]: 90

إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإِحْسانِ وَإِيتاءِ ذِي الْقُرْبى…

Sesungguhnya Allah menyuruh kamu untuk berlaku adil, berbuat kebajikan, memberi kepada kerabat…

Konsep wujuh wa nazhair dapat digunakan untuk menjelaskan perbedaan makna dari kata adil dan kebajikan. Adil (al-adl) di sini bermaksud pada keadilan dalam hubungan sosial yang berbeda dengan al-qisthu yang bercorak ekonomi.

Sedangkan al-ihsan mencakup tindakan baik yang lebih luas, termasuk membantu kerabat dan orang-orang yang membutuhkan. Analisis ini menciptakan pemahaman bahwa keadilan dan kebajikan merupakan dua aspek yang saling melengkapi dalam interaksi sosial.

Dari sudut pandang semantik, kata adil menunjukkan pentingnya keseimbangan dan proporsional baik dalam bidang sosial, ekonomi maupun penegakan hukum. Dalam hal ini, semantik dapat mengungkapkan makna yang lebih dalam dari keadilan, yang bukan hanya tentang membagi sesuatu secara merata, tetapi juga mempertimbangkan konteks dan kebutuhan individu.

Baca juga: Penggunaan Model Bahasa Tersurat dalam Alquran

Ini memberikan wawasan bahwa perilaku adil adalah bagian dari kebajikan yang lebih besar, karena al-ihsan berarti memperlakukan orang lain lebih dari perlakuan terhadap diri sendiri (Shihab, 2002: 326).

Melalui contoh-contoh di atas, integrasi ilmu wujuh wa nazhair dan semantik memberikan pemahaman yang mendalam tentang makna ayat-ayat Alquran. Dengan menganalisis variasi makna serta hubungan antarkata, tidak hanya didapatkan tafsir yang akurat, tapi juga pemahaman konteks sosial dan moral yang terkandung di dalamnya.

Integrasi kedua ilmu ini dapat memperkaya pemahaman dalam studi Alquran. Dengan pendekatan yang komprehensif, para pengkaji dapat menginterpretasikan ayat-ayat Alquran dengan lebih baik dan mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari.

Ngaji Gus Baha: Di Balik Turunnya Syariat Selawat atas Nabi Muhammad Saw

0

Allah menurunkan syariat dan memerintahkan kaum muslimin untuk berselawat kepada Nabi Muhammad saw. Selain merupakan doa dan pujian untuk Nabi saw., selawat juga merupakan bentuk penghormatan kepada beliau sebab agunnya kemuliaan dan keutamaan yang dianugerahkan Allah kepada Nabi saw.

Sebagaimana dijelaskan Imam al-Qurtubi bahwa perintah selawat atas Nabi Muhammad saw. menunjukkan kedudukannya di sisi Allah, dan membersihkannya dari prasangka buruk orang yang memiliki pikiran buruk terhadap beliau, atau terhadap istri-istrinya, dan sebagainya. Sehingga umat Islam diperintahkan berselawat sebagai bentuk pengahgungan terhadap Nabi saw. (Tafsir Jami li Ahkam al-Quran, 16/232)

Baca Juga: Tafsir Surat Al-Ahzab Ayat 56: Selawat adalah Bentuk Terima kasih

Dalam surah Alahzab ayat 56, Allah berfirman:

 اِنَّ اللّٰهَ وَمَلٰۤىِٕكَتَهٗ يُصَلُّوْنَ عَلَى النَّبِيِّۗ يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا

Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya berselawat untuk Nabi. Wahai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam dengan penuh penghormatan kepadanya.

K.H. Ahmad Bahauddin Nursalim atau lebih dikenal dengan Gus Baha dalam ceramahnya pernah menerangkan bahwa ada hikmah di balik turunnya syariat selawat khusus bagi umat Nabi Muhammad saw. Yaitu, sebab diangkatnya Nabi saw sebagai utusan pembawa risalah Allah yang setelah Nabi Isa as., yang sebelumnya juga telah didahului Nabi Musa as.

Umat dari kedua Nabi tersebut pada waktu itu sudah melakukan kesalahan fatal, Kaum Nasrani terlalu mengagung-agungkan nabinya yaitu menganggap Nabi Isa as. sebagai tuhan. Sedangkan orang Yahudi merendahkan Nabinya, seperti menuduh Nabi Isa sebagai anak hasil zina, bahkan juga membunuh nabi-nabinya dari kalangan Bani Israil.

Nabi Muhammad dalam sebuah hadisnya pernah berpesan agar umat tidak berlebihan dalam memujinya saw. Dikatakan: “Jangan berlebihan dalam memujiku, sebagaimana orang-orang Nasrani telah berlebihan dalam memuji Isa putra Maryam. Aku hanyalah hamba-Nya, maka katakanlah, ‘Abdullāh wa Rasūluhu (hamba Allah dan Rasul-Nya).” (HR. Bukhari)

Baca Juga: Tafsir Ahkam: Benarkah Baca Selawat Kepada Nabi Wajib Ketika Salat?

Dalam beberapa riwayat lain, Nabi saw. juga pernah mewanti-wanti agar umat Islam tidak melecehkan beliau sebagaimana orang Yahudi melecehkan utusan-utusan Allah yang dikirimkan untuk mereka.

Imam Al-Bushiri dalam karya masterpiece-nya, Qasidah Burdah di fashl ke-3: Pujian-pujian kepada Baginda Nabi, beliau juga menuliskan syair yang dasarnya dari hadis di atas. Yaitu, “Da’ madda’atshun nashāra fī nabiyyihimi, waḫkum bi mā syi’ta madḫan fîhi waḫtakimi,” artinya, jauhilah kesalahan yang diperbuat umat Nasrani terhadap nabi mereka, dan sanjunglah Nabi Muhammad sesukamu.

Sehingga turunnya syariat selawat kepada umat Nabi Muhammad saw, di mana redaksi selawat sebagaimana dalam salah satu riwayat, yaitu Allāhumma shalli ‘alā sayyidinā Muhammad. Gus Baha menjelaskan bahwa di dalamnya terdapat dua unsur pengakuan yang agung; pertama adalah mengakui bahwa Allah sebagai Dzat yang Maha Pemberi, dan kedua mengakui bahwa Nabi Muhammad saw. sebagai kekasih Allah yang bagaimanapun sangat tinggi kemuliannya, akan tetapi kedudukannya tetap sebagai hamba Allah.

Ulama ahli tafsir dengan kesederhanaanya yang khas ini menerangkan bahwa dengan mengucapkan selawat, seseorang sudah mengikrarkan bahwa Allah adalah pemberi dan Nabi Muhammad saw. adalah penerima. Artinya, “Saya memohon ya Allah, Engkau adalah pemberi, anugerahkanlah selawat-Mu kepada Nabi saw.”

Hal ini menurut Gus Baha sebagaimana keterangan dari Syekh Az-Zabidi dalam kitabnya, Ithafu a-Sadat al-Muttaqin, beliau menjelaskan, “Wannabiyyu shallāhu ‘alaihi wasallam wa in jalla qodruhu muḫtājun ilā rahmatihī ta’ālā wa fadhlih”, maknanya betapapun tingginya kedudukan Nabi Muhammad, ia beliau saw. membutuhkan kasih sayang dan kemurahan Allah.

Baca Juga: Tafsir Surah Al-Ahzab Ayat 56: Perintah Bershalawat Kepada Nabi Muhammad Saw

Dengan demikian, umat Islam tetap bisa menganggungkan Nabi Muhammad saw. bahwa beliau sebagai makhluk terbaik yang paling layak mendapat selawat dari Allah, yang juga memiliki status sebagai hamba Allah. Maksudnya tidak mendudukkan beliau saw setingkat dengan Allah, sebagaimana kaum Nasrani telah menuhankan nabi mereka. Atau sebaliknya jauh dari perilaku tidak menghormati nabi sebagaimana kaum Yahudi yang menghinakan para utusan-Nya.

M. Quraish Shihab menambahkan umat Islam tidak hanya diwajibkan untuk tidak merendahkan Nabi Muhammad, tetapi diperintakan menghormati dan mengakui jasa-jasa beliau saw. Sehingga selawat umat yang dihaturkan untuk Nabi saw sebagai ungkapan rasa syukur atas jasa dan pengorbanannya, serta sebagai bentuk penghormatan yang sepatutnya, Allah Swt menurunkan rahmat-Nya, para malaikat memohonkan ampunan untuk beliau, dan umat Islam dianjurkan untuk menyampaikan salam dan shalawat kepada Nabi Muhammad serta keluarganya.

Wallahu a’lam.[]

Pelajaran dari Musibah Kehilangan dalam Kisah Nabi Yakub

0
pelajaran dari musibah kehilangan dalam kisah Nabi Yakub
pelajaran dari musibah kehilangan dalam kisah Nabi Yakub

Dalam pandangan manusia, adakalanya kehilangan menjadi suatu hal yang buruk dan menyedihkan, akan tetapi, Alquran mengajarkan untuk percaya bahwa musibah kehilangan akan selalu diiringi dengan hikmah. Salah satunya ialah Allah berjanji bahwa setiap sesuatu yang hilang baik harta, kesehatan, ataupun orang yang dicintai, Dia akan menggantinya dengan yang lebih baik.

Kisah Nabi Yakub Diuji Kehilangan Nabi Yusuf

Dalam Alquran, terdapat satu kisah yang mengajarkan hikmah tentang kehilangan, yaitu kisah Nabi Yakub yang diuji kehilangan putranya, Nabi Yusuf, sebab perbuatan makar yang dilakukan oleh putra-putranya yang lain. Hal tersebut terjadi karena kecemburuan mereka, bahwa di antara 12 putra Nabi Yakub, Yusuf menjadi anak kesayangan beliau.

Dalam riwayat lain, sebagaimana yang tertulis dalam surah Yusuf ayat 1-7, penyebab iri dengki saudara-saudara Nabi Yusuf yaitu karena berita tentang mimpi Yusuf telah sampai kepada mereka (sebelas saudaranya), kemudian mereka merencanakan persengkongkolah untuk menjauhkan Nabi Yusuf dari ayah mereka. (Tafsir al-Munir 6/457)

Mereka menyiasatinya dengan berbohong agar tidak dimarahi dan tetap mendapatkan kasih sayang dari ayah mereka dengan mengabarkan kepada Nabi Yakub bahwa Yusuf kecil telah dimakan oleh serigala. Mereka pun membawa baju milik Nabi Yusuf yang telah dilumuri darah palsu sebagai bukti untuk menguatkan kebohongan mereka. Ini sebagaimana termaktub dalam surah Yusuf ayat 16-18.

Baca Juga: Tafsir Surah Yusuf Ayat 9-10: Sifat Manusia dalam Rencana Saudara-Saudara Nabi Yusuf

Kabar tersebut membuat Nabi Yakub sedih bahkan menangis berkepanjangan. Meski kehilangan putra tercintanya, Nabi Yakub berusaha untuk tetap teguh dan sabar. Nabi Yakub tidak mencela anak-anaknya atas perbuatan yang mereka lakukan, beliau memilih berserah diri dan memohon pertolongan kepada Allah atas ujian kehilangan tersebut.

قَالَ بَلْ سَوَّلَتْ لَكُمْ أَنْفُسُكُمْ أَمْرًا فَصَبْرٌ جَمِيلٌ وَاللَّهُ الْمُسْتَعَانُ عَلَى مَا تَصِفُونَ …..

Yakub berkata: “Sebenarnya diri kalian berbuat sesuatu yang membuat diri kalian nyaman; Maka kesabaran yang baik Itulah (kesabaranku). Dan Allah sajalah yang dimohon pertolongan-Nya terhadap apa yang kamu ceritakan.” (Q.S. Yusuf: 18)

Belum sembuh kepedihan akan kerinduannya kepada putra tersayangnya itu, Nabi Yakub kembali diterpa musibah kehilangan putranya untuk kedua kalinya, yaitu Bunyamin. Kesedihan Nabi Yakub ini menyebabkan matanya menjadi putih, kabur dan tidak mampu melihat dengan sempurna. Hal ini seperti yang diabadikan dalam surah Yusuf: 83-84.

Peristiwa ini mengingatkan kembali Nabi Yakub perihal Yusuf. Kesedihan atas hilangnya Nabi Yusuf sulit terlupakan hingga membuat kedua matanya memutih. Kesedihan Nabi Yakub adalah hal yang wajar, bukan maknanya tidak menerima takdir. Sebagaimana dijelaskan dalam Lathaif at-Tafsir min Surah Yusuf h. 107.

Kendati dapat dibilang mampu bertahan dalam kesedihan yang amat panjang, Nabi Yakub tidak meminta agar dibukakan pengetahuan gaib untuk mengetahui keadaan anak-anaknya, melainkan beliau menyerahkan semua urusanya kepada Allah dengan bertawakal. Beliau percaya bahwa akan ada hikmah dan kebijaksanaan Allah atas segala ujian yang sedang beliau hadapi.

Baca Juga: Kisah Kesabaran Nabi Ya’kub : Tafsir Surat Yusuf ayat 18

Keteguhan Iman Sebagai Bekal

Kalimat صَبْرٌ جَمِيلٌ sebagaimana di ayat 18 dan 83 diucapkan oleh Nabi Yakub tatkala kehilangan dua anak yang dicintainya, yaitu Yusuf dan Bunyamin. Ibnu Katsir (4/402) menerangkan bahwa Nabi Yakub bersabar dengan sebaik-baiknya kesabaran dan hanya mengharapkan pertolongan dari Allah atas musibah kehilangan kedua putranya.

Hal ini bermakna bahwa kesabaran Nabi Yakub adalah bentuk kesabaran yang indah, yang di dalamnya tidak pernah mengeluh. Beliau tidak membiarkan kesedihan mengalahkannya, melainkan mengingatkan dirinya sendiri bahwa sabar dan tabah adalah sikap terbaik dalam menghadapi cobaan.

Kemudian dalam ayat 87, dikisahkan bahwa Nabi Yakub menegaskan keyakinannya akan rahmat Allah. Bahwa meskipun ujian kehilangan yang dialaminya sangat berat baginya, beliau tetap optimis bahwa Allah akan memberikan pertolongan. Ini menunjukkan pentingnya menjaga harapan meskipun dalam situasi yang tampak suram.

Baca Juga: Belajar Keteguhan Hati Seorang Ayah dari Kisah Nabi Ya’kub

Rencana Allah yang Sempurna dalam Kisah Nabi Yakub

Kehilangan yang dialami Nabi Yakub terasa sangat menyakitkan, tetapi pada akhirnya, Allah mengatur segalanya dengan sempurna. Nabi Yakub bisa bertemu kembali dengan kedua putranya, bahkan Yusuf kecil yang telah dipisahkan selama kurang lebih 20 tahun lamanya itu telah menjadi orang yang sukses dan berpengaruh di negeri Mesir.

Pertemuan kembali antara ayah dan anak itu diabadikan dalam Alquran surah Yusuf ayat 99-100:

فَلَمَّا دَخَلُوا عَلَىٰ يُوسُفَ آوَىٰ إِلَيْهِ أَبَوَيْهِ وَقَالَ ادْخُلُوا مِصْرَ إِنْ شَاءَ اللَّهُ آمِنِينَ وَرَفَعَ أَبَوَيْهِ عَلَى الْعَرْشِ وَخَرُّوا لَهُ سُجَّدًا ۖ وَقَالَ يَا أَبَتِ هَٰذَا تَأْوِيلُ رُؤْيَايَ مِنْ قَبْلُ قَدْ جَعَلَهَا رَبِّي حَقًّا ۖ وَقَدْ أَحْسَنَ بِي إِذْ أَخْرَجَنِي مِنَ السِّجْنِ وَجَاءَ بِكُمْ مِنَ الْبَدْوِ مِنْ بَعْدِ أَنْ نَزَغَ الشَّيْطَانُ بَيْنِي وَبَيْنَ إِخْوَتِي ۚ إِنَّ رَبِّي لَطِيفٌ لِمَا يَشَاءُ ۚ إِنَّهُ هُوَ الْعَلِيمُ الْحَكِيمُ

Maka tatkala mereka masuk ke (negeri) Yusuf, Yusuf merangkul orang tuanya, dan dia berkata, ‘Masuklah kalian ke negeri Mesir, insya Allah dalam keadaan aman.’ Dan ia menaikkan keduanya ke atas singgasana. Dan mereka (semuanya) merebahkan diri seraya sujud kepada Yusuf. Dan Yusuf menyampaikan, ‘Wahai ayahku, inilah ta’bir mimpiku yang dahulu itu; sesungguhnya Tuhanku telah menjadikannya suatu kenyataan. Dan sesungguhnya Tuhanku telah berbuat baik kepadaku, ketika Dia membebaskan aku dari rumah penjara dan ketika membawa kalian dari dusun padang pasir, setelah setan merusakkan (hubungan) antara aku dan saudara-saudaraku. Sesungguhnya Tuhanku Mahalembut terhadap apa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana.

Kisah nabi Yakub ini menunjukkan bahwa meskipun ujian kehilangan itu berat, namun ada pelajaran di dalamnya. Sebab melalui ujian kehilangan, seseorang sering kali menjadi lebih dekat kepada Allah, memohon dan berharap akan pertolongan-Nya.

Kehilangan tidak selamanya berarti hilang dan tidak akan kembali, karena rencana Allah tidak ada yang tahu, dan yakini bahwa Allah selalu mempunyai rencana yang sempurna terhadap hambaNya. Dalam kisah ini, Nabi Yusuf akhirnya kembali dan mengangkat derajat keluarganya.

Sebagai penutup, Syekh Mutawalli as-Sya’rawi pernah menasehatkan, “Jika Allah mengambil darimu sesuatu yang tidak pernah engkau sangka kehilangannya, maka Allah akan memberimu sesuatu yang tidak pernah engkau sangka akan memilikinya.” Wallah  a’lam.

Mengangkat Alquran: Peran Performatif dan Simbolisme dalam Pelantikan Pemimpin

0

Alquran tidak hanya berfungsi sebagai pedoman ajaran agama, tetapi juga memiliki dimensi performatif yang terwujud dalam berbagai tradisi dan ritual sosial-keagamaan. Salah satu manifestasi dari peran performatif Alquran adalah tradisi pengangkatan Alquran dalam pelantikan pejabat (Zakariya, 2018: 165).

Seperti yang baru saja terjadi dalam pelantikan presiden di Indonesia, tradisi ini tidak hanya sebagai simbolisme keagamaan, tetapi juga mencerminkan hubungan antara agama dan kepemimpinan dalam budaya politik Islam.

Baca Juga: Kriteria Pemimpin Ideal dalam Alquran (Bagian 1)

Sejarah Pengangkatan Alquran dalam Pelantikan

Mengangkat Alquran dalam prosesi pelantikan pejabat, kini menjadi tradisi yang marak di Indonesia. Namun, ternyata praktik ini tidak memiliki dasar yang jelas dalam sejarah awal Islam.

Pada masa Khulafaur Rasyidin, pelantikan seorang khalifah dilakukan melalui baiat yaitu sumpah kesetiaan dari umat kepada pemimpin terpilih. Pun Khalifah Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib dilantik tanpa prosesi formal yang melibatkan Alquran secara fisik.

Mereka memperoleh kekuasaan melalui kesepakatan para sahabat dan masyarakat Muslim, yang mana Alquran lebih berperan sebagai pedoman dalam memerintah daripada elemen ritual pelantikan.

Namun demikian, seiring berjalannya waktu, simbol-simbol keagamaan pun mulai diintegrasikan ke dalam ritual politik. Alquran lambat laun mulai diangkat sebagai simbol otoritas ilahi yang harus dijunjung tinggi oleh setiap pemimpin.

Pengangkatan Alquran dalam pelantikan menjadi salah satu cara untuk mempertegas bahwa kepemimpinan harus berlandaskan pada hukum Allah dan menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan serta kesejahteraan umat. Dengan harapan dapat mentaati segala keharusan dan menjauhi segala larangan yang telah ditentukan (Direktorat Urusan Agama Islam dan Pembinaan Syariah, 2013: 30).

Baca Juga: Tafsir al-Nahl Ayat 94: Penyalahgunaan Sumpah Sebagai Alat untuk Menipu

Peran Performatif Alquran dalam Pelantikan

Peran performatif Alquran dalam tradisi pelantikan mencerminkan dimensi ritualistik yang mendalam. Ketika Alquran diangkat di atas kepala seorang pejabat yang dilantik, tindakan ini membawa pesan yang lebih dari sekadar simbol agama.

Ini adalah pengakuan publik bahwa hukum Allah harus menjadi dasar bagi kepemimpinan dan bahwa pemimpin tersebut bertanggung jawab tidak hanya kepada rakyat, tetapi juga kepada Allah (Direktorat Urusan Agama Islam dan Pembinaan Syariah, 2013: 30). Tindakan fisik yang dilakukan di depan umum ini, memperlihatkan komitmen pemimpin untuk menjalankan tugasnya sesuai dengan ajaran Islam.

Ritual ini juga memiliki dimensi performatif yang mempengaruhi masyarakat. Melalui tindakan mengangkat Alquran, pejabat yang dilantik tidak hanya sekadar menjalani upacara formal, tetapi juga melibatkan elemen spiritual yang juga melibatkan seluruh komunitas.

Rakyat yang menyaksikan pelantikan tersebut akan menginternalisasi bahwa Alquran tidak hanya sebuah teks yang dibaca dan dipahami, tetapi juga sesuatu yang dihormati dan dijadikan pegangan dalam setiap aspek kehidupan (Dewi, 2018: 200), termasuk dalam pemerintahan.

Peran performatif ini mengingatkan pada konsep speech act (tindak tutur) dalam teori linguistik, di mana suatu tindakan melalui kata-kata atau simbol tidak hanya mengomunikasikan pesan, tetapi juga menciptakan realitas baru (Suryawin, Wijaya, and Isnaini, 2022: 40).

Dalam konteks ini, pengangkatan Alquran mengesahkan otoritas pemimpin dan menghubungkannya dengan nilai-nilai yang lebih tinggi yaitu nilai-nilai ketuhanan dan keadilan.

Baca Juga: Konsep Fungsi Informatif dan Performatif Alquran ala Sam D. Gill

Simbolisme Alquran dalam Pelantikan

Dalam praktiknya, interaksi manusia dengan Alquran mengalami perkembangan dan perluasan makna (Amiroh, 2022: 36). Simbolisme Alquran dalam pelantikan pejabat tidak bisa dilepaskan dari statusnya sebagai wahyu Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw.

Sebagai sumber hukum tertinggi dalam Islam, mengangkat Alquran dalam pelantikan pejabat merupakan perwujudan bahwa setiap keputusan dan kebijakan yang diambil oleh pemimpin harus sesuai dengan ajaran yang terkandung di dalamnya.

Dengan demikian, sumpah yang diucapkan dengan Alquran di atas kepala menjadi lebih dari sekadar komitmen politik, tetapi juga komitmen religius. Simbol ini juga memberikan legitimasi tambahan bagi pemimpin yang baru dilantik, terutama dalam masyarakat yang sangat menghormati agama (Direktorat Urusan Agama Islam dan Pembinaan Syariah, 2013: 22).

Dengan melibatkan Alquran dalam sumpah jabatan, pemimpin tersebut secara simbolis mengafirmasi tanggung jawabnya untuk menegakkan kebenaran dan keadilan sebagaimana yang diperintahkan dalam Islam.

Karena dalam pandangan masyarakat, ini memperkuat keyakinan bahwa kepemimpinan yang diambil sumpahnya dengan Alquran adalah kepemimpinan yang berakar pada prinsip-prinsip moral yang tinggi dan tidak semata-mata mengejar kekuasaan duniawi (Direktorat Urusan Agama Islam dan Pembinaan Syariah, 2013: 14).

Baca Juga: Kisah Diangkatnya Thalut sebagai Raja dan Realitas Politik Modern

Relevansi dan Tantangan dalam Kepemimpinan Modern

Dalam konteks modern, terutama di negara mayoritas Muslim seperti Indonesia, tradisi mengangkat Alquran dalam pelantikan pejabat tetap relevan. Berdasarkan penelusuran video dokumenter di kanal YouTube, semua presiden dan wakil presiden Indonesia diambil sumpahnya dengan Alquran sejak era presiden Soekarno hingga yang baru terlaksana, Prabowo Subianto.

Praktik ini menunjukkan bahwa agama terus menjadi bagian integral dari politik, meskipun negara tersebut beroperasi dalam kerangka negara yang berdasarkan Pancasila dan bukan negara Islam.

Namun, relevansi praktik ini juga menimbulkan sejumlah tantangan, terutama dalam masyarakat yang semakin plural. Bagi kelompok non-Muslim bahkan muslim sekalipun, pengangkatan Alquran dalam pelantikan bisa saja dianggap sebagai eksklusivitas agama dalam politik yang bertentangan dengan prinsip-prinsip kebhinekaan dan sekularisme.

Hal ini menimbulkan pertanyaan tentang bagaimana mempertahankan inklusivitas dalam sistem politik yang menghargai pluralisme agama, sementara tradisi keagamaan tetap dijaga.

Selain itu, ada juga kekhawatiran bahwa ritual mengangkat Alquran dalam pelantikan bisa menjadi sekadar formalitas tanpa makna mendalam, terutama jika pejabat yang dilantik tidak menjalankan tugasnya sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Alquran.

Praktik yang simbolik ini harus diiringi dengan implementasi nyata dalam kebijakan dan tindakan pemimpin yang dilantik, sehingga sumpah jabatan yang diambil dengan Alquran tidak hanya menjadi ritual hampa, tetapi benar-benar mencerminkan komitmen terhadap keadilan, integritas, dan kesejahteraan masyarakat.

Dengan demikian, tradisi ini tidak hanya akan tetap relevan, tetapi juga menjadi pengingat bahwa kekuasaan sejati harus berakar pada prinsip-prinsip yang melayani semua lapisan masyarakat, tanpa memandang latar belakang agama atau etnis.

Meratukan Istri: Antara Gaya Hidup Modern dan Pandangan Alquran

0
Meratukan Istri: Antara Gaya Hidup Modern dan Pandangan Alquran
Meratukan Istri: Antara Gaya Hidup Modern dan Pandangan Alquran

Beberapa tahun terakhir hadir sebuah tren baru di kalangan selebriti dan influencer, yakni fenomena “meratukan istri”. Fenomena ini merujuk pada perlakuan suami terhadap istinya dengan memberikan banyak kasih sayang dan perhatian. Sekilas tren ini nampak positif, tetapi sering dikaitkan dengan gaya hidup yang mewah dan perlakuan istimewa yang berlebihan kepada istri.

Gaya hidup ini hadir sebagai bentuk perhatian suami yang ingin memperlakukan istrinya layaknya seorang “ratu” dengan memberinya hadiah-hadiah mahal dan mewah. Tren ini akhirnya menimbulkan pertanyaan: Apakah gaya hidup seperti ini selaras dengan ajaran Islam, atau justru gaya hidup ini mendekati hedonisme yang bertentangan dalam Islam?

Kedudukan Istri dalam Perspektif Islam

Islam telah memberikan kedudukan yang sangat mulia bagi seorang istri. Seorang suami diwajibkan untuk memperlakukan istrinya dengan penghormatan, keadilan, dan penuh kasih sayang. Rasulullah saw. telah bersabda yang artinya: “Orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya. Dan sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap istrinya.” (H.R. At-Tirmidzi). Akan tetapi, sebuah bentuk penghormatan kepada istri tidak selalu dapat direalisasikan dalam hal kemewahan serta materi semata.

Islam datang untuk memuliakan kaum wanita yang sebelumnya dipandang hina. Alquran telah mengangkat derajat kaum wanita, termasuk istri agar diberikan penghormatan, perhatian, dan rasa kasih sayang terhadapnya. Islam sangat menekankan kehidupan yang seimbang antara dunia dan akhirat. Memberikan gift kepada istri tidaklah dilarang dalam Islam, bahkan sangat dianjurkan. Akan tetapi, hal ini harus dilakukan sesuai dengan proporsional serta tidak berlebih-lebihan. Keserasian dalam memenuhi kebutuhan istri, baik itu secara material maupun spiritual adalah pokok dari ajaran Islam, khususnya dalam hubungan pernikahan.

Meratukan Istri: Antara Kasih Sayang, Gaya Hidup Modern, dan Bahaya Hedonisme

Meratukan istri merupakan sikap yang positif apabila dilaksanakan dengan niat yang tulus demi kebahagiaan istri dan untuk menunjukkan kasih sayang suami. Namun, tren ini menimbulkan masalah karena berubah menjadi bagian dari gaya hidup yang berlebihan, bahkan dapat dikatakan hedonisme yang bertitik fokus pada kemewahan dan tampilan di mata publik semata.

Hedonisme adalah pandangan yang mengatakan bahwa kesenangan untuk menikmati segalanya adalah tujuan dari hidup manusia di dunia, sehingga mereka akan mementingkan sifat konsumtif semata dengan hura-hura dan berfoya-foya. Saat kehidupan glamor dan kemewahan menjadi standar kebahagian pernikahan, maka esensi dari hubungan antara suami-istri akan hilang yang fitrah-nya berlandaskan cinta, tanggung jawab, dan kepercayaan.

Baca juga: Self Reward Berujung Pemborosan, Begini Manajemen Harta ala Alquran

Gaya hidup seperti ini akan membuat kehidupan terjebak dalam lingkar hidup hedonis yang akan mendorong mereka untuk mengejar kenikmatan dunia saja demi “meratukan” istri dengan memberikan hadiah-hadiah yang mewah, sehingga mereka akan mengesampingkan tugas-tugasnya sebagai kepala keluarga yang memiliki tanggung jawab pada aspek spiritual keluarganya juga.

Kehidupan Hedonisme dan Batasan dalam Islam

Islam mengajarkan umatnya untuk menjauhi segala sifat yang berlebihan, khususnya dalam hal materi. Allah telah berfiman dalam Alquran surah Al-Isra’ ayat 26-27:

وَءَاتِ ذَا ٱلۡقُرۡبَىٰ حَقَّهُۥ وَٱلۡمِسۡكِينَ وَٱبۡنَ ٱلسَّبِيلِ وَلَا تُبَذِّرۡ تَبۡذِيرًا إِنَّ ٱلۡمُبَذِّرِينَ كَانُوٓاْ إِخۡوَٰنَ ٱلشَّيَٰطِينِۖ وَكَانَ ٱلشَّيۡطَٰنُ لِرَبِّهِۦ كَفُورٗا 

Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan; dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara setan dan setan itu sangat ingkar kepada Tuhannya (Q.S. Al-Isra’ [17]: 26-27).

Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Misbah mengatakan janganlah seseorang menghamburkan hartanya secara boros, yaitu pada hal-hal yang bukan pada tempatnya serta tidak mendatangkan kemaslahatan. Sebab, perbuatan menghamburkan harta ini termasuk sifat-sifatnya setan. Pemborosan ini menurut ulama berarti pengeluaran yang bukan haq. Karena itu, seseorang yang menafkahkan atau membelanjakan hartanya dalam kebaikan ataupun haq, maka ia bukanlah termasuk pemboros.

Baca juga: Perilaku Konsumtif Masyarakat Jahiliah

Kemewahan yang berlebihan sangat tidak selaras dengan ajaran Islam, bahkan hal ini dapat menimbulkan sifat cinta dunia dan sombong yang akan mengesampingkan nilai-nilai spiritual yang sudah seharusnya dijaga dalam rumah tangga. Pernikahan bukanlah sebuah ikatan yang berlandaskan pada materi saja. Akan tetapi, pernikahan adalah sebuah komitmen spiritual dengan pondasi cinta, kasih sayang, dan support untuk mencapai rida Allah. Dengan demikian, konsep “meratukan istri” yang menekankan kemewahan dapat melanggar konsep kesederhanaan yang telah dianjurkan dalam Islam.

Solusi Alquran dalam Menghadapi Tekanan Hidup

0
Solusi Alquran dalam Menghadapi Tekanan Hidup
Solusi Alquran dalam Menghadapi Tekanan Hidup

Hidup di bawah tekanan adalah bagian dari kehidupan manusia yang tak dapat terhindarkan. Tekanan bisa datang dari arah mana saja, baik dari pekerjaan, ekonomi, keluarga, atau bahkan harapan yang kita ciptakan sendiri. Kadang kita bertanya “Apakah aku bisa berhasil?” atau “Akankah aku gagal lagi?” Perasaan seperti ini bisa membuat kita terpuruk, bahkan dapat merasa hidup ini tidak berguna.

Di era modern sekarang, media sosial sering memperburuk tekanan tersebut, terutama melalui tren seperti For You Page (FYP) TikTok. Standar kesempurnaan yang ditampilkan di platform ini membuat banyak orang merasa harus selalu mengikuti gaya hidup yang terlihat ideal. Hal ini memengaruhi semua kalangan, terutama generasi muda seperti Gen Z, yang kerap merasa terbebani oleh ekspektasi hidup sempurna yang sebenarnya tidak realistis.

Sebagai solusi, Alquran menawarkan bagi mereka yang terjepit dalam tekanan hidup dengan memberikan ketenangan, harapan, dan cara pandang baru untuk menghadapi setiap tantangan. Salah satu ayat yang memberi kekuatan adalah surah Al-Baqarah ayat 286, ayat ini mengingatkan kita bahwa Allah tidak akan membebani seseorang melebihi batas kemampuannya. Ketika tekanan terasa begitu besar, kita bisa mengambil napas dan mengingat bahwa Allah mengetahui batas kemampuan kita, dan kita mampu untuk melewati setiap ujian yang diberikan-Nya.

Allah Tidak Membebani Hamba-Nya di Luar Batas Kemampuan

Allah Swt. berfirman dalam surah Al-Baqarah ayat 286 sebagai berikut.

لَا يُكَلِّفُ اللّٰهُ نَفْسًا اِلَّا وُسْعَهَا ۗ لَهَا مَا كَسَبَتْ وَعَلَيْهَا مَا اكْتَسَبَتْ ۗ

Allah tidak membebani seseorang, kecuali menurut kesanggupannya. Baginya ada sesuatu (pahala) dari (kebajikan) yang diusahakannya dan terhadapnya ada (pula) sesuatu (siksa) atas (kejahatan) yang diperbuatnya (Q.S. Al-Baqarah [2]: 286).

Dalam Tafsir Al-Mishbah (1/620-621) disebutkan bahwa setiap tugas yang dibebankan kepada seorang tidak keluar dari tiga kemungkinan; pertama, mampu dan mudah dilaksanakan; kedua, tidak mampu dia laksanakan; dan ketiga, dia mampu melaksanakannya tapi dengan susah payah dan terasa sangat berat. Tugas-tugas yang dibebankan Allah kepada manusia adalah tugas-tugas yang lapang. Mudah untuk dilaksanakan, bahkan setiap seorang mengalami kesulitan dalam pelaksanaan satu tugas, oleh satu dan lain faktor, maka kesulitan tersebut melahirkan kemudahan.

Baca juga: Solusi Alquran Atasi Quarter Life Crisis

Salat diwajibkan berdiri, tetapi kalau sulit berdiri, maka boleh duduk. Seseorang yang sulit mendapat air untuk berwudu atau khawatir mengalami kesulitan menyangkut kesehatannya, maka dia boleh bertayamum. Demikianlah, Allah tidak menghendaki sedikit pun kesulitan menimpa manusia. Dan dijelaskan bahwa kebaikan, walau baru dalam bentuk niat dan belum wujud dalam kenyataan, sudah mendapat imbalan dari Allah. Berbeda dengan keburukan. Ia baru dicatat sebagai dosa setelah diusahakan dengan kesungguhan dan lahir dalam kenyataan.

Al-Thabari dalam tafsirnya (4/884-886) menyebutkan bahwa Allah Swt. membebankan kepada hamba apa yang dia sanggupi. Allah Swt. tidak menyempitkannya dan tidak menyusahkannya. Allah tidak akan menghukum karena satu keinginan yang diingininya dan rasa waswas yang muncul dalam hatinya. Allah hanya menghukum yang dia kerjakan dengan sengaja, baik atau buruk.

Allah mengetahui batas kemampuan manusia. Allah memberikan ujian ataupun beban dalam hidup tidak lepas dari kemampuan kita. Ayat di atas dapat menjadi sebuah pengingat dan pendorong untuk kita ketika mendapatkan berbagai ujian dan tekanan hidup yang terasa berat, bahwa Allah tau kita mampu menghadapi dan menjalaninya.

Kekuatan Doa dan Tawakal dalam Menghadapi Ujian Hidup

Doa memiliki kedudukan yang sangat penting dalam Islam, karena merupakan bentuk pengakuan bahwa manusia membutuhkan pertolongan dan kekuatan dari Allah. Doa dapat membuat hati dan pikiran menjadi tenang, serta penambahs semangat untuk menjalani hidup. Demikian karena dia sudah yakin bahwa Allah akan memberikan kemudahan kepada-Nya. Pada bagian akhir ayat 286 di atas, terdapat doa yang bisa kita panjatkan untuk memohon pertolongan, kemudahan, dan ampunan kepada Allah.

Allah telah berjanji dalam Alquran bahwa Dia akan mengabulkan doa hamba-Nya yang beriman, sebagaimana disebutkan dalam surah Al-Baqarah ayat 186:

وَاِذَا سَاَلَكَ عِبَادِيْ عَنِّيْ فَاِنِّيْ قَرِيْبٌ ۗ اُجِيْبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ اِذَا دَعَانِۙ فَلْيَسْتَجِيْبُوْا لِيْ وَلْيُؤْمِنُوْا بِيْ لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُوْنَ

Apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu (Nabi Muhammad) tentang Aku, sesungguhnya Aku dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila dia berdoa kepada-Ku. Maka, hendaklah mereka memenuhi (perintah)-Ku dan beriman kepada-Ku agar mereka selalu berada dalam kebenaran (Q.S. Al-Baqarah [2]: 186).

Baca juga: Mental Illness dalam Kajian Semantik Alquran

Dengan kita yakin bahwa Allah selalu mendengar dan mengabulkan doa, maka kita akan mendapatkan ketenangan dan kekuatan dalam menghadapi cobaan. Setelah berdoa dan berusaha, tawakal juga akan membantu kita menjaga hati agar tetap tenang dan tidak gelisah menunggu hasil. Tawakal mengajarkan ketenangan dalam menghadapi ujian hidup, karena seseorang yang bertawakal percaya bahwa Allah akan memberikan yang terbaik, meskipun situasinya terlihat sangat sulit.

Dengan memadukan doa dan tawakal, seorang muslim tidak hanya mengatasi tekanan hidup secara fisik dan mental, tetapi juga mendapatkan ketenangan batin, karena mereka yakin bahwa Allah tidak akan meninggalkan hamba-Nya berjuang sendirian.

Surah as-Syams: Pesan dan Hikmah yang Dikandungnya

0

Surah asy-Syams adalah salah satu surah dalam Alquran yang mengandung pesan mendalam dan hikmah melalui sumpah-sumpah dengan makhluk-Nya. Dalam surah ini, Allah bersumpah sebanyak 11 kali, dan ini menjadi jumlah qasam terbanyak dalam satu surah. Hal ini menunjukkan betapa agungnya pesan yang hendak disampaikan, yaitu tentang keberuntungan bagi orang yang menyucikan diri dan orang yang merugi sebab mengotori jiwanya. 

Baca Juga: Unsur Teologis dalam Keindahan Surah Asy-Syams

Sumpah Allah dengan Makhluk dan Femona Alam

Demi matahari dan sinarnya pada pagi hari, demi bulan apabila mengiringinya, demi siang apabila menampakkannya, demi malam apabila menutupinya (gelap gulita). (Q.S. as-Syams: 1-4)

Empat ayat awal ini sesungguhnya berbicara tentang matahari dan waktu dari empat keadaannya yang berbeda-beda. Yang pertama ketika ia naik sepenggalahan, kedua ketika bulan memantulkan cahayanya, yang ketiga ketika sempurna penyebaran cahayanya, yakni di siang hari, dan yang keempat ketika cahayanya tidak tampak lagi, yakni di salah satu bagian bumi. (Tafsir al-Mishbah, 15/296)

Allah bersumpah dengan matahari, dan sinarnya secara khusus di pagi hari (dhuha), serta bulan yang memancar di malam hari menandakan pentingnya cahaya dalam kehidupan. Ini mengajak manusia untuk merenungkan bagaimana cahaya bimbingan Allah dapat mengarahkan hidup mereka. Sebagaimana Ibnu ‘Asyur, matahari sebagai permisalan bagi ajaran Islam yang memancar cahayanya ke seluruh penjuru dunia, Islam juga mengusir kesesatan dan kegelapan hati, diibaratkan dengan bulan yang sinarnya mengusik kegelapan malam.

Baca Juga: Dua Potensi Manusia yang Dijelaskan dalam Al-Quran: Tafsir Surat Asy-Syams Ayat 7 – 10

Sumpah dengan siang dan malam menegaskan pentingnya waktu dalam kehidupan manusia. Siang adalah waktu untuk beraktivitas, sedangkan malam adalah saat untuk istirahat. Ini mengingatkan manusia tentang siklus kehidupan dan pentingnya memanfaatkan waktu dengan bijak.

Demi langit serta pembinaannya (yang menakjubkan), demi bumi serta penghamparannya. (Q.S. asy-Syams: 5-6)

Allah bersumpah dengan langit dan pembangunannya. Seakan-akan langit bagaikan atap kubah yang dihiasi dengan bintang-bintang, banyak rahasia dan hakikat langit yang bahkan belum diungkap oleh ilmu pengetahuan. Allah juga bersumpah dengan bumi yang merupakan planet tempat kehidupan manusia yang dibentangkan dari segala sisi dan dipersiapkan untuk para penghuninya. (Tafsir as-Sya’rawi, 30/315-316)

Sumpah langit dan bumi mencerminkan kebesaran ciptaan Allah. Langit yang tinggi dan kokoh serta bumi yang luas hamparannya menunjukkan kekuasaan dan kasih sayang Allah kepada makhluk-Nya, agar manusia bersyukur atas segala nikmat yang telah dianugerahkan untuknya.

Baca Juga: Tafsir Surah Asy Syams Ayat 1-10

Hakikat Jiwa Manusia

Kemudian, sumpah dengan alam semesta tersebut diakhiri dengan penyebutan jiwa manusia yang merupakan sebab diciptakannya makhluk-makhluk tersebut. Menurut Wahbah al-Zuhaili (15/548) hal itu sebab manusia merupakan alat untuk memanfaatkan alam semesta dan sarananya untuk peningkatan dan kemajuan dalam kehidupan. 

Sementara menurut Mutawalli as-Sya’rawi (30/316), dikaitkannya jiwa dengan alam merupakan kesatuan pesan kepada manusia untuk menggunakan jiwa dan hati sebaik mungkin, sehingga selaras dengan makhluk-makhluk tersebut yang bertasbih kepada Allah. 

Allah berfirman, “Dan demi langit serta pembinaannya, dan bumi serta penghamparannya, dan demi jiwa serta penyempurnaannya lalu Allah mengilhaminya kedurhakaan dan ketakwaannya.” (Q.S. asu-Syam: 7-8)

Pentingnya jiwa yang diungkapkan melalui sumpah ini mengingatkan manusia agar menyadari dirinya dan potensinya. Sayyid Quthb menerangkan bahwa fitrah manusia mampu membedakan mana yang baik dan yang buruk, lalu Allah mengilhaminya yakni memberi potensi dan kemampuan bagi jiwa itu untuk menelusuri jalan kedurhakaan dan ketakwaannya. Terserah yang mana di antara keduanya yang dipilih serta diasah dan diasuhnya. (Tafsir Fi Zhilalil Quran, 12/281)

Setelah bersumpah dengan sekian banyak hal, Allah menjelaskan apa yang hendak ditekankan-Nya dengan sumpah-sumpah di atas, yaitu: Sungguh telah beruntunglah siapa yang menyucikan dengan mengikuti tuntunan Allah dan Rasul serta mengendalikan nafsunya, dan rugi siapa yang mengotori kesucian jiwanya dengan mengikuti rayuan nafsu dan godaan setan, atau menghalangi jiwa itu mencapai kesempurnaan dan kesuciannya dengan melakukan kedurhakaan. (As-Syams: 9-10)

Dengan merenungkan hikmah dan pesan dalam surah asy-Syams ini, umat manusia diharapkan dapat lebih memahami tujuan penciptaan dan pentingnya menjalani hidup dengan kesadaran akan tanggung jawab mereka sebagai hamba Allah. Wallahu a’lam.[]