Beranda blog Halaman 25

Konsep Kesetaraan Ras dalam Alquran

0
konsep kesetaraan ras dalam Alquran
konsep kesetaraan ras dalam Alquran

Di zaman teknologi yang telah berkembang pesat, manusia dengan situasi sosialnya masih saja berkutat dengan diskursus yang berulang bahkan seperti sebelum datangnya Islam. Beberapa kalangan manusia pada zaman ini masih menganggap ras lain lebih rendah daripada rasnya. Hal ini terbukti dengan masih maraknya praktik penghinaan terhadap ras tertentu yang terjadi di ruang publik, media sosial misalnya.

Alquran, surah al-Hujurat ayat 17 menjadi pertanda penting bagi umat masa kini untuk berkaca dari krisis yang telah diselesaikan oleh Nabi Muhammad saw. 14 abad lalu. Ayat ini juga menjadi panduan tentang konsep kesetaraan ras. Imam al-Qurthubi dalam tasirnya menyebutkan bahwa terdapat beberapa riwayat yang menjadi sebab turunnya ayat ini.

Baca Juga: Konsep Lita’arofu dalam QS. Al-Hujurat Ayat 13 dalam Menyikapi Keberagaman

Pertama, ayat ini turun berkaitan dengan Abu Hind. Riwayat ini disebutkan oleh Abu Dawud, bahwasanya Rasulullah saw. menyuruh Bani Bayadhah untuk menikahkan salah satu perempuan mereka dengan Abu Hind. Namun mereka menolak perintah Rasul tersebut dan mempertanyakan apakah mereka harus menikahkan puteri mereka dengan orang yang mereka anggap sebagai budak? Maka kemudian turunlah ayat ini.

Riwayat kedua menyebutkan bahwa ayat ini turun berkaitan dengan seseorang yang tidak berkenan untuk melapangkan tempat duduk dalam majelis Nabi saw. Ketika ditanyai oleh Nabi saw. tentang asal mana saja orang yang duduk dalam majelis beliau tersebut, orang itu menjawab bahwa terdapat orang berkulit putih, hitam, pun merah berada di situ. Maka kemudian Nabi saw. bersabda kepadanya,

فَإِنَّكَ لَا تَفْضُلُهُمْ إِلَّا بِالتَّقْوَى

Maka sesungguhnya engkau tidak lebih baik dari mereka kecuali dengan takwa.

Riwayat ketiga berasal dari Ibnu Abbas yang menceritakan bahwa pada saat penaklukan Makkah, Nabi saw. memerintahkan Bilal untuk mengumandangkan azan di atas Ka’bah. Melihat hal ini tokoh-tokoh Quraisy yang belum beriman sepenuhnya berpendapat negatif. Ada yang menyebut bahwa ayahnya beruntung telah meninggal sehingga tidak menyaksikan peristiwa orang berkulit hitam naik Ka’bah.

Ada pula yang mempertanyakan apakah tidak ada orang lain, selain Bilal yang berkulit hitam, untuk mengumandangkan azan di atas Ka’bah? Maka kemudian Jibril memberitahukan hal ini kepada Nabi saw. dan beliau pun menanyai mereka tentang pernyataan masing-masing dan mereka mengakuinya.

Setelah peristiwa ini turunlah ayat 17 surat al-Hujurat ini yang menegur mereka akan kebanggaan rasial, kesombongan harta, dan kesewenangan terhadap orang-orang marjinal.

Riwayat keempat dari Ibn Umar bahwa ketika Rasulullah saw. berkhutbah di Makkah beliau bersabda,

يَا أَيُّهَا النَّاسُ إن الله قد أذهب عنكم عيبة الْجَاهِلِيَّةِ وَتَعَاظُمَهَا بِآبَائِهَا. فَالنَّاسُ رَجُلَانِ: رَجُلٌ بَرٌّ تَقِيٌّ كَرِيمٌ عَلَى اللَّهِ، وَفَاجِرٌ شَقِيٌّ هَيِّنٌ عَلَى اللَّهِ. وَالنَّاسُ بَنُو آدَمَ وَخَلَقَ اللَّهُ آدَمَ مِنْ تُرَابٍ قَالَ اللَّهُ تَعَالَى

Wahai sekalian manusia sesungguhnya Allah telah menghilangkan aib zaman kebodohan dari kalian yang membangga-banggakan ras keturunan moyangnya. Bahwasanya hanya terdapat dua jenis manusia yakni yang baik bertakwa mulia di hadapan Allah dan selainnya yakni pendosa celaka yang hina dihadapan Allah. Seluruh manusia adalah keturunan Adam yang diciptakan dari tanah. Allah berfirman;

: “يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْناكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثى وَجَعَلْناكُمْ شُعُوباً وَقَبائِلَ لِتَعارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ”

 Wahai manusia sesungguhnya kami ciptakan kalian dari lelaki dan Perempuan dan kami jadikan kalian bangsa-bangsa serta suku-suku untuk saling mengenali. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kalian adalah yang paling bertakwa. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui Maha Teliti.

Riwayat yang terakhir yakni dari al-Thabari bahwa ketika Rasulullah saw berkhutbah di Mina pada hari tasyrik beliau bersabda.

يا أَيُّهَا النَّاسُ أَلَا إِنَّ رَبَّكُمْ وَاحِدٌ وَإِنَّ أَبَاكُمْ وَاحِدٌ أَلَا لَا فَضْلَ لِعَرَبِيٍّ عَلَى عَجَمِيٍّ وَلَا عَجَمِيٍّ عَلَى عَرَبِيٍّ وَلَا لِأَسْوَدَ عَلَى أَحْمَرَ وَلَا لِأَحْمَرَ عَلَى أَسْوَدَ إِلَّا بِالتَّقْوَى أَلَا هَلْ بَلَّغْتُ؟ – قَالُوا نَعَمْ قَالَ- ليبلغ الشاهد الغائب

Wahai sekalian manusia ingatlah bahwa Tuhan kalian Esa dan moyang kalian adalah satu (baca: Adam). Ingatlah bahwa tiada keutamaan bagi bangsa Arab atas selainnya, pun juga sebaliknya. Tiada juga keunggulan orang kulit hitam atas orang kulit merah pun juga sebaliknya kecuali dengan ketakwaan. Adakah telah kusampaikan? Mereka pun menjawab, iya. Maka yang menyaksikan agar menyampaikan kepada yang tidak hadir.

Baca Juga: Body Shaming, Repetisi Histori al-Hujurat Ayat 11 Sebagai Budaya Jahiliyah Modern

Riwayat-riwayat di atas meskipun berbeda namun memiliki substansi yang sama yakni kesetaraan setiap ras manusia. Tiada yang perlu dibanggakan untuk kemudian menjadi dalih atas penghinaan ras lain yang juga sesama keturunan Adam.

Sebagai manusia modern kita perlu berkaca kembali pada moral egaliter, misal tentang konsep kesetaraan ras yang telah disebutkan dalam Alquran dan diajarkan oleh Nabi saw untuk menghormati setiap bangsa yang ada meskipun berbeda dari berbagai aspeknya.

Antara Impian dan Keluarga: Refleksi Qur’ani Film “Home Sweet Loan”

0
Antara Impian dan Keluarga: Refleksi Qur’ani Film “Home Sweet Loan”
Poster Film “Home Sweet Loan” (instagram/@homesweetloanfilm).

Dalam kehidupan modern yang serba cepat, dilema antara mengejar impian pribadi dan memenuhi harapan keluarga sering kali menjadi perbincangan. Film “Home Sweet Loan” menggambarkan kehidupan Kaluna, seorang pegawai kantoran yang merupakan anak bungsu dari keluarga sederhana.

Dia menghadapi tantangan besar dalam mengejar impian memiliki rumah sendiri sambil menanggung beban tanggung jawab keluarganya. Dilema yang dihadapi Kaluna -antara mengejar cita-cita pribadi dan memenuhi kewajiban keluarga- adalah tema yang sangat relevan dalam konteks kehidupan yang dialami oleh tiap individu saat ini.

Film “Home Sweet Loan” tidak hanya menghibur, tetapi juga mengajak penonton untuk merenungkan nilai-nilai yang terkandung dalam Alquran, yang menjadi pedoman kehidupan sehari-hari. Dengan menelusuri hubungan antara impian dan keluarga, esai ini akan mengeksplorasi bagaimana film tersebut merefleksikan ajaran Alquran dalam konteks sosial saat ini.

Tanggung Jawab terhadap Keluarga

Salah satu nilai utama yang diajarkan dalam Alquran adalah pentingnya berbakti kepada orang tua dan menjaga hubungan baik dalam keluarga. Dalam Surah al-Isra [17]: 23, Allah berfirman, Dan Tuhanmu telah menetapkan agar kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik kepada kedua orang tua...

Ayat ini menegaskan bahwa berbakti kepada orang tua adalah salah satu kewajiban moral yang harus diutamakan (Shihab, 2002: 442-445). Sementara dalam film ini, Kaluna merasa tertekan untuk membantu keluarganya yang mengalami krisis finansial. Dua kakaknya yang sudah menikah dan memiliki anak juga bergantung padanya.

Tanggung jawab ini menciptakan dilema. Satu sisi, Kaluna ingin mengejar impiannya memiliki rumah, tetapi di sisi lain, ia merasa berkewajiban untuk membantu keluarganya. Situasi ini mencerminkan kenyataan banyak generasi sandwich yang harus berjuang untuk memenuhi harapan keluarga sambil tetap berusaha mengejar impian pribadi.

Kemandirian dan Aspirasi Pribadi

Kemandirian menjadi tema sentral film ini. Sosok Kaluna yang menginginkan rumah sendiri menjadi simbol kebebasan dan identitas. Dalam Surah Al-Mulk [67]: 15, Allah berfirman, Dia yang menjadikan bumi untuk kamu, maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah rezeki-Nya. Dan hanya kepada-Nya-lah kamu akan dibangkitkan.

Ayat ini menekankan pentingnya usaha dan kerja keras dalam mencapai tujuan dan mensyukurinya (Shihab, 2002: 356-357). Usaha dan kerja keras dibuktikan Kaluna dengan mengelola pengeluaran dan mencari pekerjaan sampingan. Dia bahkan mempertimbangkan untuk mengambil pinjaman agar bisa membeli rumah.

Meskipun terhalang oleh banyak rintangan, semangatnya untuk meraih kemandirian tetap membara. Hal ini menunjukkan bahwa cita-cita pribadi tidak bisa dipisahkan dari usaha dan ketekunan, yang dalam bahasa saat ini “usaha tidak akan mengkhianati hasil.”

Dilema antara Diri dan Keluarga

Konflik batin yang dialami Kaluna antara mengejar impian dan memenuhi tanggung jawab keluarga menciptakan ketegangan yang menjadi inti cerita. Dilema ini merefleksikan situasi yang dihadapi banyak orang dewasa muda saat ini, yang sering kali terjebak antara harapan pribadi dan tuntutan keluarga.

Dalam Alquran, keseimbangan dalam hidup sangat ditekankan. Surah al-Baqarah [2]: 177 menyatakan, “Bukanlah kebaikan itu hanya menghadap wajahmu ke timur dan ke barat, tetapi kebaikan itu adalah (beriman) kepada Allah, hari kiamat, malaikat, kitab, dan nabi…”

Baca juga:Keluarga Imran sebagai Potret Keluarga Ideal dalam Alquran

Ayat ini seolah menegaskan bahwa kebaikan mencakup tanggung jawab terhadap diri sendiri dan orang lain yang membutuhkan perjuangan seperti keimanan (Shihab, 2002: 389-391). Dalam konteks ini, Kaluna harus menemukan cara untuk menyeimbangkan antara mengejar cita-citanya dan memenuhi kewajiban terhadap keluarganya.

Dilema ini juga mencerminkan kenyataan di masyarakat yang lebih luas, di mana banyak individu berjuang untuk memenuhi harapan orang tua sambil mencari jati diri mereka sendiri. Hal ini menunjukkan bahwa pencarian identitas dan aspirasi pribadi tidak selalu berjalan seiring dengan tanggung jawab terhadap keluarga.

Dukungan Sosial dan Kerja Sama

Dukungan sosial menjadi elemen penting dalam film ini. Kaluna tidak berjuang sendirian. Artinya dia memiliki teman-teman yang mendukungnya dalam pencarian rumah impian. Ini mencerminkan nilai solidaritas yang diajarkan dalam Alquran.

Allah menegaskan dalam surah Al-Maidah [5]: 2 yang artinya “..Dan tolong-menolonglah kamu dalam kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam dosa dan permusuhan…”

Baca juga: Bagaimana Relasi Gender dalam Keluarga Dibangun: Perspektif Tafsir Feminis

Ayat ini menunjukkan pentingnya kerja sama dan dukungan kepada kebajikan dalam mengatasi kesulitan (Shihab, 2002: 14). Dalam film, dukungan dari teman-teman Kaluna menjadi sumber kekuatan baginya untuk terus berjuang. Ini menunjukkan bahwa dalam menghadapi tantangan, memiliki lingkungan yang mendukung sangat penting.

Sebab, melalui dukungan sosial dapat membantu mengurangi beban emosional dan finansial yang dihadapi individu, sehingga dapat lebih fokus pada pencapaian tujuan yang hendak digapai.

Kesabaran dan Ketekunan

Ketika Kaluna berjuang untuk mencapai tujuannya, film ini menyoroti pentingnya kesabaran dan ketekunan. Meskipun dihadapkan pada berbagai rintangan, semangatnya untuk tidak menyerah menjadi pelajaran berharga. Dalam Alquran, kesabaran adalah nilai yang sangat dihargai.

Surah Al-Baqarah [2]: 153 menyatakan, Hai orang-orang yang beriman, mintalah pertolongan kepada Allah dengan sabar dan shalat. Sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang sabar.

Sikap Kaluna yang terus berusaha, meskipun harus mengorbankan banyak hal, mencerminkan kesabaran dan ketekunan (Shihab, 2002: 362-363). Dua hal ini menjadi kunci untuk mengatasi kesulitan dalam mencapai impian. Film ini memberikan inspirasi kepada penonton untuk tetap optimis dan tidak menyerah, meskipun berada dalam situasi yang sulit.

Kesimpulan

Film “Home Sweet Loan” menggambarkan dilema yang dihadapi oleh generasi sandwich, di mana individu harus menyeimbangkan antara impian pribadi dan tanggung jawab keluarga. Melalui analisis film ini dalam potret Alquran, penulis melihat bagaimana ajaran agama dapat memberikan panduan dalam menghadapi tantangan hidup.

Baca juga: Peran Ayah dalam Keluarga Menurut Alquran

Tanggung jawab terhadap keluarga, pentingnya kemandirian, keseimbangan antara kepentingan pribadi dan keluarga, dukungan sosial, serta kesabaran dan ketekunan adalah pelajaran berharga yang dapat diambil dari film ini.

Dengan memahami dan menerapkan nilai-nilai ini, diharapkan dapat menemukan cara untuk mengejar impian sambil tetap menghargai ikatan keluarga.

Gaya Hidup Zero Waste sebagai Manifestasi Nilai-nilai Alquran

0
Gaya Hidup Zero Waste sebagai Manifestasi Nilai-nilai Alquran
Ilustrasi sampah yang menumpuk.

Kota-kota metropolitan seperti Jakarta dan Surabaya penuh dengan gemerlap dan gedung-gedung mewah menjulang tinggi. Namun, di balik keindahannya tersebut ada pemandangan tak indah, yaitu pemandangan sampah yang terus berdatangan ke beberapa TPA di pinggiran jalan raya. Pemandangan yang tak hanya mengurangi keindahan kota, tetapi juga berbahaya bagi kualitas udara dan kesehatan lingkungan.

Salah satu penyebab fenomena tersebut terjadi adalah jumlah penduduk yang terlalu banyak. Pelajar atau mahasiswa serta pekerja dari berbagai daerah datang merantau ke kota-kota metropolitan. Semakin meningkat jumlah penduduk, semakin meningkat pula sampah yang dihasilkan. Berangkat dari fakta ini, maka penulis tertarik untuk mengulas lebih dalam tentang gaya hidup zero waste sebagai salah satu langkah meminimalisasi jumlah sampah dan apa saja nilai-nilai Alquran yang terdapat di dalamnya.

Secara bahasa, zero waste berarti nol sampah atau bebas sampah. Zero waste adalah gaya hidup yang berupaya mendorong masyarakat untuk lebih bijak dalam menggunakan produk-produk sekali pakai seperti plastik. Tujuan utamanya ialah untuk mengurangi jumlah sampah dan menjaga lingkungan serta sumber daya alam.

Baca juga: Refleksi Q.S. Annaml Ayat 17-18: Etika Berlalu Lintas Qur’ani

Menurut Zero Waste International Alliance, gaya hidup zero waste memilki konsep yang berfokus pada pengelolaan secara menyeluruh terhadap suatu produk. Mulai dari cara produksi, konsumsi, hingga penggunaan kembali tanpa melibatkan pembakaran atau pembuangan sampah ke lingkungan. Secara umum, terdapat tiga hal yang dapat diterapkan dalam zero waste, yaitu reduce (mengurangi), reuse (menggunakan kembali) dan recycle (mendaur ulang).

Disebutkan dalam buku Zero Waste Home karya Johnson tiga hal tersebut dikembangkan menjadi lima. Yang pertama refuse (menolak), yaitu sebisa mungkin menolak penggunaan sampah plastik atau hal-hal yang tidak diperlukan. Artinya kita berusaha untuk mencari alternatif lain selain menggunakan plastik. Yang kedua reduce (mengurangi), yaitu mengurangi pembelian, penggunaan, dan konsumsi barang sekali pakai dan barang-barang lain yang tidak bisa diolah melalui pengomposan.

Ketiga reuse (menggunakan kembali), yaitu menggunakan kembali barang-barang yang masih mungkin untuk digunakan. Keempat recycle (mendaur ulang), yaitu mengubah bentuk dan fungsi suatu barang. Contohnya mengubah kantong plastik atau botol plastik menjadi barang-barang lain yang lebih bermanfaat seperti tas, sendal, dan lain-lain. Kelima rotting (membusukkan), yaitu mengubah sampah-sampah organik menjadi kompos atau pupuk tanaman. Lima hal yang telah disebutkan di atas adalah penerapa gaya hidup zero waste sebagai upaya meminimalisasi jumlah sampah.

Baca juga: Hubungan Manusia dan Lingkungan Hidup dalam Surah Albaqarah Ayat 30

Jika dilihat dari beberapa penerapannya, gaya hidup zero waste merupakan gaya hidup yang mendorong kita untuk senantiasa hidup hemat, sederhana, dan tidak berlebih-lebihan. Berusaha semaksimal mungkin membeli dan menggunakan sesuatu sesuai kebutuhan. Hal ini senada dengan ajaran Islam yang tertuang dalam firman Allah sebagai berikut.

وَاٰتِ ذَا الْقُرْبٰى حَقَّهٗ وَالْمِسْكِيْنَ وَابْنَ السَّبِيْلِ وَلَا تُبَذِّرْ تَبْذِيْرًا اِنَّ الْمُبَذِّرِيْنَ كَانُوْٓا اِخْوَانَ الشَّيٰطِيْنِ ۗوَكَانَ الشَّيْطٰنُ لِرَبِّهٖ كَفُوْرًا

Berikanlah kepada kerabat dekat haknya, (juga kepada) orang miskin, dan orang yang dalam perjalanan. Janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya para pemboros itu adalah saudara-saudara setan dan setan itu sangat ingkar kepada Tuhannya (Q.S. Al-Isra: 26-27).

Ayat ini menunjukkan bahwa kegiatan pemborosan dan menghambur-hamburkan harta adalah hal yang dilarang dalam Islam. Quraish Shihab dalam kitab Tafsir Al-Misbah (7/451) memberikan keterangan bahwa yang dimaksud menghamburkan harta secara boros adalah membelanjakan harta tidak pada tempatnya dan membeli barang-barang yang tidak mendatangkan kemaslahatan. Membeli dan memakai barang-barang dari plastik secara berlebihan tidak mendatangkan kemaslahatan dan malah menimbulkan kerusakan.

Gaya hidup zero waste juga salah satu bentuk dari menjaga lingkungan dan sumber daya alam. Hal ini juga sesuai dengan ajaran Islam lainnya yang disinggung dalam firman-Nya sebagai berikut.

وَلَا تُفْسِدُوْا فِى الْاَرْضِ بَعْدَ اِصْلَاحِهَا وَادْعُوْهُ خَوْفًا وَّطَمَعًاۗ اِنَّ رَحْمَتَ اللّٰهِ قَرِيْبٌ مِّنَ الْمُحْسِنِيْنَ

Dan janganlah kamu membuat kerusakan di bumi setelah diatur dengan baik. Berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut dan penuh harap. Sesungguhnya rahmat Allah sangat dekat dengan orang-orang yang berbuat baik (Q.S. Al-A’raf: 56).

Baca juga: Tafsir Almu’minun Ayat 18: Konsep Bumi sebagai Reservoir Air

Dijelaskan dalam Tafsir al-Misbah (5/123-124) bahwa ayat ini berisi tentang larangan merusak bumi atau alam. Yang artinya kita diperintahkan untuk menjaga dan melestarikannya.

Upaya menjaga alam ini terwujud dalam gaya hidup zero waste. Zero waste sebagai gaya hidup adalah salah satu solusi yang relevan untuk menghadapi permasalahan sampah yang semakin kompleks terutama di kota-kota besar. Prinsip-prinsip dalam gaya hidup zero waste seperti refuse (menolak), reduce (mengurangi), reuse (menggunakan kembali), recycle (mendaur ulang) dan rotting (membusukkan sampah organik) akan berdampak signifikan apabila dilakukan secara konsisten dan bersama-sama.

Maka diharapkan kesadaran dari masing-masing individu dan kelompok untuk mulai menerapkan gaya hidup ini dalam kehidupan sehari-hari untuk mencapai tujuan dan menfaat Bersama-sama. Prinsip-prinsip dalam gaya hidup zero waste yang berkaitan dengan nilai-nilai Alquran adalah hidup hemat dan sederhana serta menjaga lingkungan. Dengan adanya keterkaitan antara keduanya menunjukkan bahwasanya gaya hidup zero waste bukan hanya sekadar tren, tetapi bisa menjadi sarana beribadah bagi seorang muslim kepada Allah Swt.

Tafsir Surah Ath-Thur Ayat 48: Teladan Nabi Muhammad Saw Ketika Merasa Kecewa

0

Dalam beberapa riwayat disebutkan bahwa Nabi Muhammad saw. pernah merasa kecewa karena selalu mendapat berbagai penentangan dan ejekan dari kaum kafir Quraisy ketika berdakwah. Sehingga Allah mendidik dan mengingatkan Nabi saw. dengan menurunkan ayat Alquran, sebagai cara untuk menghadapi tantangan dan penolakan dari kaum musyrikin. Di antara ayat yang diwahyukan kepada Nabi saw. adalah sebagai berikut:

وَاصْبِرْ لِحُكْمِ رَبِّكَ فَإِنَّكَ بِأَعْيُنِنَا وَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ حِينَ تَقُومُ

Dan bersabarlah dalam menunggu ketetapan Tuhanmu, maka sesungguhnya kamu berada dalam pengawasan Kami. Dan bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu ketika engkau bangun. (Q.S. ath-Thur [52]: 48)

Baca Juga: Ngaji Gus Baha’: Cara Agar Tidak Mudah Kecewa dengan Orang

Penjelasan Tafsir

Wahbah al-Zuhaili menerangkan bahwa Allah mengingatkan Nabi saw. untuk tidak merasa kecewa atau putus asa karena penolakan yang dihadapinya. Dalam konteks ayat ini, Allah mengajarkan Nabi Muhammad dan umatnya tentang pentingnya kesabaran dan keteguhan hati dalam menghadapi setiap ujian dan tantangan sekalipun itu terasa berat. Dengan bersabar dan bertasbih, Allah akan selalu memberi dukungan dan perlindungan-Nya. (Tafsir al-Munir, 14/119)

Menurut Fakhruddin ar-Razi dalam Tafsir Mafatih al-Ghaib, (28/228) menambahkan tafsir ayat tersebut adalah “wa baddil laknat bi at-tasbih” maknanya perintah Allah untuk mengganti laknat dengan tasbih. Sebab, sebagaimana diterangkan Imam ar-Razi bahwa zaman dahulu ketika para Nabi sebelum Nabi Muhammad kecewa dengan kaumnya yang tidak mau beriman, mereka melaknat kaumnya, seperti Nabi Nuh atau seperti Nabi Yunus yang lari dari kaumnya ketika kecewa.

Doa permohonan Nabi Nuh agar kaumnya yang kafir ini dihancurkan sebagaimana termaktub dalam surat Nuh ayat 26:

وَقَالَ نُوْحٌ رَّبِّ لَا تَذَرْ عَلَى الْاَرْضِ مِنَ الْكٰفِرِيْنَ دَيَّارًا

Nuh berkata, “Ya Tuhanku, janganlah Engkau biarkan seorang pun di antara orang-orang kafir itu tinggal di atas bumi.”

Baca Juga: Tafsir Surat An-Nur Ayat 22 dan Kisah Kekecewaan Abu Bakar As-Siddiq

Allah memerintahkan Nabi Muhammad untuk bersabar dan mengganti cacian dengan pujian dan tasbih kepada Allah. Dia juga melarang Nabi berdoa seperti perkataan, “Ya Allah, binasakanlah mereka.” Sehingga, inilah yang mendorong Nabi untuk tidak berdoa sebagaimana doa Nabi Nuh ketika mendapat penolakan dalam dakwahnya.

Akan tetapi, Nabi saw. memberikan teladan baik, seperti salah satunya ketika menghadapi masyarakat Thaif yang menentang dan memusuhinya. Nabi saw. tidak sakit hati ataupun dendam. Namun, Nabi saw. mendoakan orang-orang Thaif agar diberi petunjuk dan tidak mendapatkan azab dari Allah, sebagaimana umat-umat terdahulu yang langsung diazab manakala mereka menolak utusan Allah. “Ya Allah berikanlah petunjuk kepada umatku (masyarakat Thaif) dan janganlah Engkau mengazab mereka, sebab mereka berbuat seperti itu karena tidak mengetahui.”

Oleh karenanya, solusi bagi kekecewaan bukanlah meminta pihak lain dihancurkan, tetapi menggantinya dengan tasbih. Sebab sejatinya kekecewaan dalam hati akan membuat hidup terasa lebih berat. Namun, mengganti perasaan kecewa dengan tasbih, mengajarkan umat untuk lebih rileks dalam menghadapi masalah kehidupan. Sebagaimana menurut Ibnu Asyur bahwa dengan bertasbih dan mengingat Allah merupakan cara untuk mendapatkan ketenangan dan kekuatan.

Baca Juga: Surat Al-Ankabut Ayat 2: Agar Tidak Berputus Asa dari Rahmat Allah Swt

Teladan dari Nabi Muhammad dalam Menghadapi Kekecewaan

Nabi Muhammad saw. menjadi teladan utama tentang kesabaran dan keteguhan hati dalam menghadapi berbagai ujian dan tantangan. Sebagaimana telah dijelaskan di atas ketika menghadapi penentangan, Nabi Muhammad saw. tidak meminta azab untuk kaumnya, melainkan berdoa agar mereka diberi petunjuk. Ini mengajarkan kepada umat Islam agar bersikap pemaaf dan optimis akan perubahan, sekalipun dalam situasi berat dan sulit.

Dalam ayat ini, Allah mengajarkan Nabi Muhammad saw. untuk mengganti laknat dengan tasbih. Hal ini mengajarkan bahwa menyikapi dan bereaksii terhadap kekecewaan dengan hal positif, yakni dengan memperbanyak tasbih dan mengingat Allah sebagai cara untuk menenangkan hati. Ini juga menunjukkan bahwa dengan mengingat Allah, umat Islam dapat mendapatkan kekuatan dan ketenangan dalam menghadapi ujian hidup.

Dengan demikian sikap Nabi Muhammad saw. dalam menghadapi kekecewaan, memberikan teladan tentang bagaimana bersikap positif, berdoa untuk kebaikan orang lain, dan tetap sabar dalam menunggu ketentuan Allah. Ketenangan dan kekuatan yang didapat dari kesabaran dan tasbih dapat menjadi pegangan dalam menghadapi berbagai tantangan kehidupan.

Wallahu musta’an.[]

Keserasian Nilai-Nilai Pancasila dengan Alquran

0
keserasian nilai-nilai pancasila dengan Alquran
keserasian nilai-nilai pancasila dengan Alquran

Pancasila sebagai hasil kristalisasi dari gagasan brillian para pejuang kemerdekaan dari berbagai kalangan telah menjadi suatu identitas yang melekat pada jati diri bangsa Indonesia. Segala keputusan yang diambil oleh pemegang kebijakan di pemerintahan harus selaras dengan nilai-nilai Pancasila.

Menariknya, nilai-nilai Pancasila tersebut memiliki keserasian dengan nilai-nilai yang terkandung di beberapa ayat Alquran. Jika mengingat kembali proses penentuan Pancasila sebagai dasar negara Indonesia maka akan diketahui bahwa para tokoh agama Islam, salah satunya adalah KH. Hasyim Asy’ari juga terlibat dalam penentuannya. Dalam sebuah keterangan, disampaikan bahwa kiyai asal Jombang, Jawa Timur ini turut mentashih rumusan Pancasila.

Bisa jadi hal inilah yang membuat nilai-nilai dalam sila Pancasila tidak bertentangan, bahkan sejalan dengan ajaran dan nilai-nilai di beberapa ayat dalam Alquran. Beberapa kutipan ayat dan tafsir yang disinggung dalam tulisan ini kurang lebih mempunyai kandungan dan maksud yang sama dengan Pancasila.

Baca Juga: Surat Al-Hujurat Ayat 13: Dalil Sila Kedua Pancasila

Sila Pertama: Ketuhanan yang Maha Esa

Gema “Ketuhanan yang Maha Esa”, merupakan nilai yang paling fundamental di atas segalanya. Hal ini menjadi sebuah prinsip hidup, yakni mengabdi dan menyembah hanya kepada Tuhan yang Esa. Dalam Islam kita mengenal konsep Tauhid, yaitu mengesakan Allah Swt. Sila pertama ini sejalan dengan ajaran yang terkandung dalam Alquran, surah al-Ikhlas [112]:1-4.

Quraish Shihab menjelaskan dalam kitab tafsirnya bahwa tujuan utama kehadiran Alquran adalah memperkenalkan Allah dan mengajak manusia untuk mengesakan-Nya serta patuh kepada-Nya.

Surah al-Ikhlas ini memperkenalkan Allah dengan memerintahkan Nabi Muhammad untuk menyampaikan sekaligus menjawab pertanyaan orang-orang tentang Tuhan yang beliau sembah. (Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, Jilid 15, 607.)

Indonesia dengan prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa ingin menunjukkan bahwa bangsa Indonesia merupakan bangsa yang beragama, yang berketuhanan Yang Maha Esa.

Sila ke-2: Kemanusiaan yang Adil dan Beradab

Salah satu ayat Alquran yang dinilai selaras dengan kandungan sila ke-2 dari Pancasila adalah surah an-Nahl [16]: 90. Keselarasan yang paling jelas terlihat pada ayat ini adalah sama-sama menyinggung tentang keadilan.

Dalam tafsirnya, Buya Hamka menjelaskan bahwa adil adalah salah satu perintah Allah yang harus dilakukan sepanjang waktu sebagai tanda ketaatan kepada Allah. Hamka memaknai adil dengan menimbang yang sama berat, menyalahkan yang salah dan membenarkan yang benar, serta memberikan hak kepada siapapun yang berhak menerimanya dan jangan sampai berlaku zalim dan aniaya.

Pada ayat 90 tersebut, kata adil bersanding dengan perintah ihsan (kebaikan) atau yang sangat erat kaitannya dengan keberadaban. Dalam hal ini Hamka menjelaskan bahwa ihsan memiliki dua maksud, yaitu menjunjung mutu dari amal yang dilakukan oleh seseorang sehingga mampu memperteguh kadar keimanan, dan ihsan terhadap sesama mahluk. (Hamka, Tafsir Al-Azhar, Jilid 5, 3951.)

Baca Juga: Tafsir Surat Ali Imran Ayat 103: Dalil Sila Ketiga Pancasila, Persatuan Indonesia

Sila ke-3: Persatuan Indonesia

Inti dari sila ke-3 adalah menjunjung tinggi prinsip persatuan, utamanya persatuan dalam berbangsa dan bernegara. Bangsa Indonesia terdiri dari banyak dan beragam ras, suku bangsa, budaya bahkan agama, namun semua itu tidak akan pernah tercipta kehidupan yang harmonis tanpa kekuatan persatuan.

Poin persatuan di atas banyak perbedaan ini disinggung oleh Alquran dalam surah al-Hujurat ayat 13. Pada ayat ini manusia dipandu untuk menjadi manusia yang bijak dan toleran. Di ayat ini pula manusia diingatkan kembali bahwa mausia itu tidak sama.

Manusia terdiri dari dari jenis laki-laki dan perempuan; suku yang berbeda-beda; bangsa yang bermacam-macam dan lainnya. Namun demikian, tujuan dari asal yang beragam ini satu, yakni untuk saling mengenal. Dengan begitu manusia akan mampu untuk saling membangun peradaban bersama atas dasar kesatuan dan persatuan.

Sila ke-4: Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan

Berdasarkan sila ini, bangsa Indonesia telah memilih dan menentukan bahwa musyawarah adalah jalan yang harus ditempuh ketika hendak memutuskan sesuatu, baik dalam skala kecil maupun besar.

Islam juga mengajarkan tentang musyawarah. Tuntunan itu juga disampaikan dalam Alquran, antara lain di surah asy-Syura [42] ayat 38.

Salah satu poin tentang musyawarah dalam ayat tersebut yang diterangkan dalam kitab Zubdatut Tafsir Min Fathil Qadir yaitu hendaknya merundingkan urusan tanpa terburu-buru; tidak mementingkan pandapat masing-masing dalam setiap masalah.

Baca Juga: Tafsir Surat Al-Maidah Ayat 8: Dalil Sila Kelima Pancasila, Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia

Sila ke-5: Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia

Sila ini menjadi bukti autentik bahwa ibu pertiwi kita menjunjung tinggi prinsip keadilan bagi seluruh lapisan rakyatnya. Tidak peduli konglomerat, ataupun rakyat jelata yang melarat. Semuanya berhak untuk menerima keadilan atas dasar komitmen kenegaraan.

Banyak ayat Alquran yang mengyinggung tentang keadilan, salah satunya adalah Alquran, surah an-Nisa’ ayat 135.

Inilah dasar keselarasan “keadilan” antara pacasila dan Alquran, yaitu perintah untuk berbuat adil itu adalah keharusan yang tersyari’atkan. Meskipun “Tidak ada keadilan sejati di dunia ini”, namun hal itu tidak berarti menafikan usaha untuk berbuat adil.

Hamka menjelaskan apa yang telah dikatakan oleh Abdullah bin Mas’ud, bahwa ketika beliau mendengar atau membaca ayat-ayat yang dimulai dengan menggunakan seruan yang ditujukan kepada orang-orang beriman (sebagaimana surah an-Nisa’ ayat 135), perhatian Abdullah bin Mas’ud semakin terpusat, sebab ayat-ayat yang demikian adalah ayat penghargaan dan penghormatan tertinggi kepada umat yang percaya kepada Allah.

Selain bermakna adil, Hamka juga memahami istilah al-Qist dalam ayat tersebut dengan jalan tengah atau dengan kata lain tidak berat sebelah. (Hamka, Tafsir Al-Azhar Jilid 2, 1466).

Beberapa kutipan ayat yang dianggap mempunyai argumentasi keserasian dengan kandungan nilai-nilai Pancasila di atas, bisa dijadikan sebagai salah satu bukti bahwa memang tidak ada yang bertentangan antara nilai-nilai Pancasila dengan Alquran. Wallah a’lam.

Kisah Diangkatnya Thalut sebagai Raja dan Realitas Politik Modern

0
Ilustrasi pemimpin.

Wafatnya Nabi Musa membuat Bani Israil kehilangan sosok pemimpin. Kondisi semakin genting dengan adanya ancaman penyerangan Raja Jalut yang dikenal sebagai raja yang kuat dan kejam. Bani Israil lantas meminta kepada Nabi Syamuelnabi baru merekauntuk berdoa kepada Allah supaya mengangkat seseorang sebagai raja bagi mereka. Doa sang nabi terkabul, ditunjukkanlah Thalut sebagai raja Bani Israil.

Kisah diangkatnya Thalut sebagai raja ini memiliki relevansi dengan realitas politik masa kini terkait kriteria ideal dalam memilih pemimpin. Kisah tersebut telah diabadikan dalam Alquran, tepatnya di dalam surah Al-Baqarah ayat 247 berikut.

وَقَالَ لَهُمْ نَبِيُّهُمْ اِنَّ اللّٰهَ قَدْ بَعَثَ لَكُمْ طَالُوْتَ مَلِكًاۗ قَالُوْٓا اَنّٰى يَكُوْنُ لَهُ الْمُلْكُ عَلَيْنَا وَنَحْنُ اَحَقُّ بِالْمُلْكِ مِنْهُ وَلَمْ يُؤْتَ سَعَةً مِّنَ الْمَالِۗ قَالَ اِنَّ اللّٰهَ اصْطَفٰىهُ عَلَيْكُمْ وَزَادَه بَسْطَةً فِى الْعِلْمِ وَالْجِسْمِۗ وَاللّٰهُ يُؤْتِيْ مُلْكَه مَنْ يَّشَاءُۗ وَاللّٰهُ وَاسِعٌ عَلِيْمٌ

Nabi mereka berkata kepada mereka, “Sesungguhnya Allah telah mengangkat Talut menjadi rajamu.” Mereka menjawab, “Bagaimana (mungkin) dia memperoleh kerajaan (kekuasaan) atas kami, sedangkan kami lebih berhak atas kerajaan itu daripadanya dan dia tidak diberi kekayaan yang banyak?” (Nabi mereka) menjawab, “Sesungguhnya Allah telah memilihnya (menjadi raja) kamu dan memberikan kepadanya kelebihan ilmu dan fisik.” Allah menganugerahkan kerajaan-Nya kepada siapa yang Dia kehendaki. Allah Mahaluas (kekuasaan dan rezeki-Nya) lagi Maha Mengetahui.

Penolakan Bani Israil atas Pengangkatan Thalut sebagai Raja

Mengenai ayat di atas, Abu Ja’far dalam tafsirnya menyebutkan bahwa Nabi Syamuel berkata kepada para pemuka Bani Israil, “Sesungguhnya Allah telah memberikan kepada kalian apa yang kalian minta, dan Dia telah mengutus Thalut sebagai raja bagi kalian.”

Sebagai umat yang terkenal suka membantah, begitu mengetahui hal itu, mereka segera menentang pengangkatan Thalut sebagai raja. Mereka berkata, “Bagaiamana Thalut bisa menduduki kerajaan atas kami, padahal ia berasal dari suku Bunyamin bin Ya’qub—sebuah suku yang tidak memiliki kekuasaan dan kenabian—sedangkan kami lebih berhak atas kerajaan tersebut karena kami berasal dari suku Yahudza bin Ya’qub.” [Tafsīr al-abarī Jāmi’ al-Bayān, 5/306]. Suku Bunyamin ini tergolong sebagai suku terendah dari Bani Israil [al-Nukat wa al-‘Uyūn, 1/314].

Baca juga: Kisah Thalut dalam Alquran: Representasi Sosok Pahlawan Bangsa

Alasan lain, disebutkan bahwa Thalut tidak memiliki banyak harta, karena dia adalah seorang penjual air, dan dikatakan bahwa dia juga bekerja sebagai tukang penyamak kulit [Tafsīr al-Ṭabarī Jāmi’ al-Bayān, 5/306].

Al-Sya’rawi menegaskan, karena Talut adalah seorang dari kalangan biasa, Allah ingin menekankan kepada setiap mukmin bahwa dalam memilih seorang pemimpin, janganlah tertipu oleh silsilah, keturunan, atau status sosial. Namun, pilihlah orang yang paling cocok berdasarkan keahlian, bukan hanya berdasarkan keyakinan pribadi. Mereka lupa bahwa masalah yang mereka mintakan dari Nabi Syamuel membutuhkan dua karakteristik, yakni seseorang yang kuat dan berpengetahuan. Allah memilih Talut bagi mereka, yang memiliki keduanya—dia adalah orang yang kuat secara fisik dan cerdas [Tafsīr al-Sya’rawī, 2/1047].

Baca juga: Kriteria Pemimpin Ideal dalam Alquran (Bagian 1)

Al-Quthubi menambahkan, bahwa pemilihan Talut bukanlah secara cuma-cuma, melainkan berdasarkan kualitas diri yang dimilikinya, yakni keluasan ilmu dan kekuatan fisik. Ilmu komponen terdepan dalam menentukan kualitas seseorang, sementara kekuatan fisik merupakan komponen penting dalam pertempuran dan kekuatan saat menghadapi musuh. Ini menjelaskan kriteria seorang pemimpin, bahwa kelayakan seorang pemimpin diberikan kepada mereka yang memiliki ilmu, agama, dan kekuatan, bukan semata-mata berdasarkan keturunan. Keturunan tidak memiliki peran penting dibandingkan dengan kualitas ilmu dalam diri seseorang.

Ibnu Abbas berkata bahwa pada saat itu, Thalut adalah orang yang paling berilmu di kalangan Bani Israil, paling tampan, dan paling sempurna. Kekuatan fisik Talut membuat musuh merasa gentar. Ada yang mengatakan bahwa Thalut diberi nama demikian karena tinggi badannya. Ada juga yang berpendapat bahwa kekuatan fisiknya bukan sekadar ukuran tubuh, melainkan karena kebaikan hati dan keberaniannya [Tafsīr al-Qurṭubī, 3/246].

Status Sosial dan Kekayaan Bukanlah Syarat Menjadi Pemimpin

Penolakan Bani Israil terhadap Thalut karena alasan status sosial dan kekayaan menyoroti betapa manusia sering kali salah dalam mengaitkan kekuasaan dengan kekayaan materi. Mereka beranggapan bahwa seorang pemimpin harus berasal dari keluarga terpandang dan memiliki kekayaan berlimpah. Hal ini menunjukkan kecenderungan mereka untuk mengukur kelayakan seseorang berdasarkan materi, bukan kualitas kepemimpinan yang sebenarnya dibutuhkan. Padahal, sebagaimana yang dijelaskan dalam ayat tersebut, Allah memilih Thalut bukan karena kekayaannya, melainkan karena keilmuannya dan kekuatannya yang dibutuhkan dalam pertempuran melawan Jalut.

Fenomena ini mencerminkan pola pikir materialistik yang tidak jarang dijumpai dalam politik modern. Banyak pejabat atau calon pemimpin yang terpilih bukan karena kecakapannya, tetapi karena kekayaan dan pengaruh sosial yang dimiliki. Tanpa memikirkan dampak ke depannya, amplop kampanye paling teballah yang dipilih kebanyakan orang. Praktik permainan politik seperti ini mengabaikan pentingnya kualitas kepemimpinan, integritas, dan kapasitas intelektual yang sebenarnya sangat diperlukan untuk menghadapi tantangan dalam suatu negara.

Baca juga: Epidemiologi Alquran (1): Wabah dalam Kisah Raja Thalut dan Pasukanya

Di dalam masyarakat modern, jabatan politik sering kali dikuasai oleh mereka yang memiliki kekayaan besar, meskipun tidak selalu memiliki kemampuan yang memadai untuk memimpin. Hal ini memperkuat kecenderungan bahwa kekuasaan telah bergeser menjadi semata-mata permainan uang dan status, sementara rakyat sering kali terjebak dalam pola pikir ini, mengabaikan nilai-nilai kepemimpinan yang sebenarnya. Seperti halnya Bani Israil yang mempertanyakan kelayakan Thalut, sebagian masyarakat saat ini juga masih terjebak dalam pandangan materialistik, meskipun sebetulnya kualitas kepemimpinan dan integritas ialah dua hal yang paling penting.

Kesimpulan

Kisah Thalut dalam Alquran mengajarkan bahwa kriteria pemimpin ideal terletak ilmu dan kekuatan, bukan kekayaan atau status sosial. Meski Thalut ditolak masyarakatnya karena bukan dari kalangan terpandang, Allah tetap memilihnya karena keahliannya yang dibutuhkan saat itu. Fenomena ini relevan dengan politik modern ketika kelayakan pemimpin sering diukur dari materi, padahal kualitas sesungguhnya terletak pada kecakapan dan integritas dalam memimpin.

Wallāhu a’lamu.

Solusi Alquran dalam Pencegahan Stunting

0
Solusi Alquran dalam Pencegahan Stunting
Solusi Alquran dalam Pencegahan Stunting

Stunting merupakan suatu problematika kesehatan masyarakat yang menjadi perbincangan hangat saat ini. Bagaimana tidak? Stunting termasuk bagian dari masalah penting suatu negara yang berdampak besar bagi kualitas sumber daya manusia. Bahkan, berdasarkan data dari WHO (2017), dinyatakan bahwa setidaknya terdapat 155 juta balita di dunia mengalami stunting, tak terkecuali di Indonesia.

Sebagai solusi, Alquran menawarkan bagaimana penanganan stunting dengan hanya makan makanan yang halal lagi ṭayyib. Ini sebagaimana dinyatakan dalam banyak ayat Alquran. Di antaranya surah al-Maidah ayat 88, al-Anfal ayat 69, al-Baqarah ayat 168, serta an-Nahl ayat 114. Dari banyak ayat tersebut, penulis akan fokus membahas surah al-Maidah ayat 88 berikut.

وَكُلُوْا مِمَّا رَزَقَكُمُ اللّٰهُ حَلٰلًا طَيِّبًاۖ وَّاتَّقُوا اللّٰهَ الَّذِيْٓ اَنْتُمْ بِه مُؤْمِنُوْنَ

Makanlah apa yang telah Allah anugerahkan kepadamu sebagai rezeki yang halal lagi baik, dan bertakwalah kepada Allah yang hanya kepada-Nya kamu beriman.

Ayat ini menegaskan pentingnya memakan rezeki yang halal dan baik (ṭayyib) sebagai bentuk ketaatan kepada Allah. Makanan halal, telah jelas disebutkan dalam Alquran dan hadis, seperti selain daging babi, anjing, dan bangkai-bangkai selain ikan dan belalang. Adapun halal dari segi cara memperolehnya, ialah apa yang didapatkan dengan cara yang halal, bukan dari mencuri, merampok, atau sejenisnya. Terkait bagaimana kualifikasi makanan dapat disebut ṭayyib, akan dijelaskan pada ragam penafsiran berikut.

Penafsiran Makanan Tayyib dalam Surah al-Maidah Ayat 88

Al-Baghawi, mengutip perkataan Abdullah bin al-Mubārak, menjelaskan makanan halal didapat dari muasal yang jelas, serta bukan makanan yang diharamkan syariat. Sementara makanan ṭayyib adalah apa yang memberikan nutrisi dan menumbuhkan, atau berefek pada perkembangan manusia, baik nabati maupun hewani. Adapun makanan yang diambil dari benda mati seperti lumpur, tanah, atau apapun yang tidak memberikan nutrisi bagi tubuh, maka makruh hukumnya untuk dikonsumsi, kecuali digunakan sebagai obat [Tafsīr al-Baghawī, 2/78].

Pandangan di atas sama halnya dengan pandangan Quraish Shihab dalam tafsirnya, bahwa makanan ṭayyib adalah yang baik menurut penelitian para ahli, atau dalam istilah lain ialah bergizi [Membumikan Alquran, 187].

Baca juga: Stunting dan Kajian Tafsir Surah Al-Baqarah Ayat 233

Begitu pula dalam penafsiran Kementerian Agama Republik Indonesia (RI), disebutkan bahwa makanan yang tergolong ṭayyib ialah harus bergizi, bermanfaat, menyehatkan, serta tidak mengandung penyakit. Selain itu, juga tidak disarankan mengonsumsi makanan secara berlebihan, meskipun berstatus ṭayyib. Dengan kata lain, mengonsumsi jenis makanan ṭayyib haruslah seimbang sesuai kebutuhan tubuh. Karena, meskipun sesuatu itu baik, jika berlebihan akan menimbulkan sebaliknya.

Makanan yang dikonsumsi hendaknya memberikan manfaat bagi tumbuh kembang manusia, serta berefek terhadap kesehatan, bukan yang menimbulkan dampak buruk bagi tubuh. Oleh karena itu, makanan ṭayyib tidak hanya dilihat dari aspek kehalalan secara syariat, tetapi juga kualitas nutrisi yang terkandung di dalamnya. Makanan yang bernutrisi baik akan mendukung pertumbuhan, serta menjaga kesehatan manusia. Penekanan pada makanan yang bergizi, seimbang, dan tidak berlebihan menunjukkan bahwa Islam sangat memperhatikan kesehatan umatnya.

Pentingnya Makanan Halal dan ayyib dalam Tumbuh Kembang Anak

Refleksi ayat tentang makanan halal dan ṭayyib dalam konteks pencegahan stunting ini menunjukkan bahwa salah satu langkah nyata yang ditawarkan oleh Alquran ialah dengan menjaga asupan pola makan yang tidak hanya halal, tetapi juga harus ṭayyib, yaitu makanan yang baik, bernutrisi, dan bergizi. Dalam kaitannya dengan pencegahan stunting, penting bagi manusia, khususnya ibu hami maupun orang tua yang memiliki anak yang sedang dalam masa tumbuh kembangnya, supaya memilih makanan yang baik demi memenuhi kebutuhan nutrisi dan gizi.

Stunting merupakan hasil dari kekurangan nutrisi kronis yang terjadi pada periode awal kehidupan anak, khususnya dalam 1.000 hari pertama, yaitu sejak masa kehamilan hingga usia dua tahun. Selama periode ini, asupan gizi yang tepat dan seimbang sangat krusial untuk memastikan pertumbuhan dan perkembangan yang optimal [Melek Stunting: Program Penumbuhan Pengetahuan dan Kesadaran Keluarga Mengenai Pentingnya Kesehatan dan Gizi, 124].

Baca juga: Tafsir Surah Al-Mu’minun Ayat 51: Perihal Makanan dan Amal Saleh

Sebagaimana tercermin dalam ayat yang telah disebutkan, makanan yang baik dan halal harus diperhatikan agar tumbuh kembang anak tidak terganggu dan terhambat. Hal ini juga menjadi pedoman untuk para ibu hamil agar memperhatikan jenis makanan yang mereka konsumsi demi kesehatan janin.

Lebih lanjut, konsep ṭayyib juga mengarahkan manusia pada kesadaran untuk mengonsumsi makanan yang tidak hanya bernutrisi, tetapi juga aman, bebas dari zat berbahaya seperti pestisida, bahan pengawet kimia, atau racun lainnya yang dapat merusak kesehatan. Makanan yang diolah dengan cara alami, tanpa bahan tambahan berbahaya, akan lebih menjaga kesehatan dan memastikan asupan yang aman bagi anak-anak.

Baca juga: Manna dan Salwa: Makanan Bersejarah  yang Diabadikan dalam Alkitab dan Alquran

Dengan demikian, perintah makan makanan halal dan ṭayyib menggarisbawahi pentingnya menjaga kualitas makanan dalam kehidupan sehari-hari, yang dalam hal ini dapat menjadi upaya strategis dalam pencegahan stunting. Mengonsumsi makanan halal dan ṭayyib secara seimbang juga merupakan salah satu bentuk ketakwaan kepada Allah, sebagaimana yang disebutkan dalam akhir ayat, sehingga aspek kesehatan menjadi bagian integral dari ibadah dan ketaatan kita kepada-Nya.

Wallāhu a’lamu.

Pelajaran dari Perang Khandaq

0
pelajaran dari perang Khandaq
pelajaran dari perang Khandaq

Dalam surah al-Ahzab, Allah mengabarkan tentang peristiwa perang Ahzab atau biasa dikenal dengan perang Khandaq. Di pertempuran tersebut, kaum Mukminin menghadapi pasukan Ahzab atau sekutu dari golongan Yahudi Bani Nadhir, kaum kafir Quraisy, dan beberapa kelompok pembesar kaum kafir paganis.

Latar belakang terjadinya perang Khandaq adalah ulah dari kelompok Yahudi Bani Nadhir. Mereka tidak terima atas pengusiran yang dilakukan oleh Rasulullah dari Madinah ke tanah Khaibar. Mereka memprovokasi orang-orang Quraisy di Makkah untuk memerangi Rasulullah. Mereka berkata kepada kaum musyrikin Quraisy, “Sesungguhnya agama kalian lebih baik dari agama Muhammad”.

Selain itu mereka juga mengajak Bani Ghatafan, Kaisan, Ilan, Marrah, dan Asja’, sehingga mereka bersepakat untuk membentuk tentara di bawah kepemimpinan Abu Sufyan dengan pasukan berjumlah 10.000 orang. Kemudian, mereka bergerak menuju Madinah dan berkumpul membuat kamp. militer di depan kota Madinah. (Tafsir al-Munir 21/263)

Baca Juga: Kisah Pengkhianatan Bani Quraizhah di ‘Bulan Haram’

Strategi Pertahanan Perang Khandaq

Mendengar rencana serangan pasukan sekutu musyrikin, Rasulullah berpikir betapa mengerikan jika pasukan itu berhasil masuk kota Madinah, tentu umat Islam akan hancur di kandang sendiri. Sebab saat itu kaum Muslimin hanya memiliki 3000 personil. Kemudian beliau saw. mengajak para sahabat untuk musyawarah tentang siasat menghadapi pasukan aliansi tersebut.

Hasil musyawarah tersebut, antara lain yaitu saran dari Salman al-Farisi agar di tempat yang bisa diterobos oleh musuh hendaknya dibuat khandaq atau parit pertahanan. Rasulullah saw. pun segera menginstruksikan untuk membuat parit di sekeliling Madinah. Beliau sendiri yang memimpin menggali parit bersama kaum Muslimin di sebuah dataran yang terletak di bagian barat laut Madinah.

Dataran tersebut merupakan kawasan yang cukup terbuka dan berpotensi rawan dijadikan sebagai pintu masuk oleh musuh untuk melakukan serangan. Adapun sisi-sisi yang lain, kondisinya cukup aman karena dilindungi oleh pegunungan. (Tafsir al-Munir 21/263-264)

Tantangan dan Ketegangan

Selama peperangan berlangsung, pada mulanya pasukan umat Islam mengalami berbagai kesulitan, termasuk kelaparan, dan ketidakpastian. Kondisi tersebut seperti tergambar dalam firman-Nya,

إِذْ جَآءُوكُم مِّن فَوْقِكُمْ وَمِنْ أَسْفَلَ مِنكُمْ وَإِذْ زَاغَتِ ٱلْأَبْصَٰرُ وَبَلَغَتِ ٱلْقُلُوبُ ٱلْحَنَاجِرَ وَتَظُنُّونَ بِٱللَّهِ ٱلظُّنُونَا۠

(Yaitu) ketika mereka datang kepadamu dari atas dan dari bawahmu, dan ketika tidak tetap lagi penglihatan(mu) dan hatimu naik menyesak sampai ke tenggorokan dan kamu menyangka terhadap Allah dengan bermacam-macam prasangka. (Q.S. al-Ahzab: 10)

as-Syaukani (9/24-25) dan at-Thabari (21/27) menerangkan bahwa keadaan pasukan umat Islam saat itu terdesak, terutama ketika musuh berkumpul dan mengepung mereka. Mereka mengalami tekanan mental dan fisik melihat jumlah musuh yang besar, terlebih ketika kelompok Bani Quraidzah bergabung dengan pasukan sekutu untuk menyerang kaum Muslimin. Namun, meskipun dalam keadaan genting, mereka tetap bersandar kepada Allah dan berdoa memohon pertolongan-Nya.

Dalam Tafsir al-Munir juga dijelaskan bahwa perang ini menguji keimanan pasukan Rasulullah saw. Orang-orang yang beriman meyakini bahwa mereka pasti akan mendapatkan pertolongan dan kemenangan. Sementara orang-orang munafik berpikir bahwa pasukan muslim akan hancur di peperangan ini. (Tafsir al-Munir 21/267)

Baca Juga: Tafsir Surah Al-Ahzab Ayat 10-13

Kepastian Pertolongan Allah

Dalam surah ini, Allah menyebutkan bahwa Dia akan memberikan bantuan kepada umat Islam, sebagaimana ayat 9 surah al-Ahzab,

يا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اذْكُرُوا نِعْمَةَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ، إِذْ جاءَتْكُمْ جُنُودٌ، فَأَرْسَلْنا عَلَيْهِمْ رِيحاً وَجُنُوداً لَمْ تَرَوْها، وَكانَ اللَّهُ بِما تَعْمَلُونَ بَصِيراً

Wahai orang-orang yang beriman! Ingatlah akan nikmat Allah (yang telah dikaruniakan) kepadamu ketika bala tentara datang kepadamu, lalu Kami kirimkan kepada mereka angin topan dan bala tentara yang tidak dapat terlihat olehmu. Allah maha melihat apa yang kamu kerjakan.

Pertolongan Allah yang dijanjikan kepada nabi-Nya datang, berupa badai pasir yang meluluhlantakkan tenda-tenda dan menakut-nakuti tunggangan musuh, sehingga mereka tidak dapat melanjutkan serangan dan harus kembali ke negerinya masing-masing dengan kekalahan yang memalukan. Ibnu Katsir mengatakan, bahwa angin yang Allah kirimkan saat itu adalah angin saba, yaitu angin yang sangat dingin dan keras tiupannya. (Tafsir al-Quran al-Adzim 6/384)

Akhirnya, berkat strategi yang tepat, keimanan yang kuat, serta pertolongan dari-Nya umat Islam berhasil mengalahkan musuh. Kemenangan ini memperkuat posisi umat Islam di Madinah dan menandai pergeseran kekuatan dalam perjuangan mereka.

Baca Juga: Quraish Shihab: Ada Isyarat Kedamaian Pada Ayat-Ayat Perang

Ibrah dari Peperangan Ahzab

Dari peristiwa ini, banyak pelajaran yang dapat diambil, di antaranya pentingnya strategi yang mengajarkan umat Islam untuk selalu mempersiapkan diri dalam menghadapi setiap tantangan. Perang ini juga mengajarkan persatuan dan kerjasama di antara pasukan umat Islam. Ketika bersatu, mereka mampu menghadapi musuh yang jauh lebih besar.

Kepemimpinan Rasulullah saw. dalam perang Khandaq juga menjadi teladan. Sebagai pemimpin, beliau mengajak umat Islam untuk bermusyawarah, dan beliau bukan hanya memerintahkan para sahabat, namun beliau saw. juga ikut turun langsung bergotong royong menggali parit sebagai siasat pertahanan.

Umat Islam ketika itu menghadapi berbagai kesulitan. Ketabahan dan ketguhan mereka dalam menghadapi ujian mengajarkan bahwa umat Islam harus selalu bersabar dan teguh dalam iman ketika menghadapi cobaan.

Satu lagi poin penting dari perang ini adalah bahwa perang yang dilakukan oleh Rasulullah selalu dalam rangka melawan serangan musuh, tidak pernah melakukan penyerangan terlebih dahulu. Wallah a’lam.

Tafsir Surah Ali Imran Ayat 3: Hubungan Alquran dengan Taurat dan Injil

0
hubungan Alquran dengan Taurat dan Injil_tafsir surah Ali Imran ayat 3
hubungan Alquran dengan Taurat dan Injil_tafsir surah Ali Imran ayat 3

Dalam beberapa ayat Alquran, disampaikan tentang status Alquran sebagai kitab suci sebagai rangkain dari kitab suci dari agama samawi sebelumnya; dan juga tentang hubungan Alquran dengan Taurat dan Injil. Salah satu ayat yang menyinggung hal tersebut yaitu surah Ali Imran ayat 3,

نَزَّلَ عَلَيْكَ ٱلْكِتَٰبَ بِٱلْحَقِّ مُصَدِّقًا لِّمَا بَيْنَ يَدَيْهِ وَأَنزَلَ ٱلتَّوْرَىٰةَ وَٱلْإِنجِيلَ

“Dia menurunkan Kitab (Al-Qur’an) kepadamu dengan sebenarnya; membenarkan kitab yang telah diturunkan sebelumnya dan menurunkan Taurat dan Injil.” (Q.S. Ali Imran [3]: 3)

Selain tentang hubungan Alquran dengan Taurat dan Injil, ayat ini memberikan penegasan mengenai tiga hal penting lainnya, yaitu kebenaran Alquran, pembenaran kitab-kitab suci terdahulu, serta kesinambungan wahyu ilahi dari Allah.

Salah satu aspek penting dalam ayat ini adalah pembenaran terhadap Taurat dan Injil. Alquran membenarkan ajaran pokok yang terkandung dalam kedua kitab tersebut. Menurut para ulama, pembenaran di sini tidak berarti bahwa seluruh isi Taurat dan Injil yang ada saat ini masih asli, tetapi merujuk pada wahyu aslinya yang diwahyukan kepada Nabi Musa dan Nabi Isa.

Baca Juga: Bagaimana Sikap Kita Terhadap Ajaran dalam Kitab Taurat dan Injil?

Ibn Katsir dalam tafsirnya menyatakan bahwa Alquran datang untuk mengafirmasi kebenaran ajaran tauhid yang juga disampaikan dalam Taurat dan Injil, sekaligus meluruskan penyimpangan yang terjadi di dalamnya seiring berjalannya waktu. Demikian kurang lebih penjelasan Ibn Katsir dalam Tafsir al-Qur’an al-Azim.

Dalam kitab Al-Majmu’ karya Imam An-Nawawi, disebutkan bahwa pembenaran terhadap kitab-kitab terdahulu adalah bagian dari ajaran Islam yang mengakui adanya rangkaian wahyu Allah sebelum kedatangan Alquran. Hal ini menjadi salah satu bukti tentang adanya hubungan antara Alquran dengan Taurat dan Injil. Namun, penting untuk dicatat bahwa Islam meyakini bahwa Alquran merupakan wahyu terakhir yang tidak akan mengalami perubahan dan penyimpangan seperti yang terjadi pada wahyu sebelumnya.

Alquran bukan hanya membenarkan kitab-kitab terdahulu, tetapi juga berperan sebagai penyempurna wahyu ilahi. Sudah jamak diketahui bahwa Islam sebagai agama terakhir membawa ajaran yang lengkap dan sempurna, sesuai dengan kebutuhan umat manusia sepanjang masa. Alquran menyempurnakan ajaran moral, hukum, dan spiritual yang ada dalam kitab-kitab sebelumnya.

Baca Juga: Laknat Isa kepada Yahudi Perspektif Alquran dan Injil

Asal Kebenaran yang Satu dan Penerimanya yang Berbeda-beda

Perlu diingat juga, Alquran mengingatkan umat manusia bahwa kebenaran dari Allah itu satu, tetapi diterima oleh berbagai bangsa dan generasi melalui Nabi-Nabi yang berbeda. Sebagai contoh, Taurat mengandung hukum-hukum yang tegas, sementara Injil lebih berfokus pada aspek spiritual dan kasih sayang. Alquran hadir untuk menggabungkan kedua pendekatan ini, dengan memberikan hukum yang seimbang antara keadilan dan belas kasih. Ini sesuai dengan firman Allah dalam surah al-Maidah ayat 48:

 وَأَنزَلْنَآ إِلَيْكَ ٱلْكِتَٰبَ بِٱلْحَقِّ مُصَدِّقًا لِّمَا بَيْنَ يَدَيْهِ مِنَ ٱلْكِتَٰبِ وَمُهَيْمِنًا عَلَيْهِ

“Dan Kami telah turunkan kepadamu Alquran dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan sebagai batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain itu…” (Q.S. Al-Maidah [5]: 48)

Ayat ini memperkuat argumen bahwa Alquran datang bukan hanya sebagai wahyu baru, tetapi juga sebagai ukuran kebenaran terhadap ajaran sebelumnya. Artinya, jika ada bagian dari kitab terdahulu yang tidak sesuai dengan Alquran, maka Alquran menjadi penentu kebenarannya.

Dalam ajaran Islam semua wahyu yang diturunkan kepada para nabi berasal dari Tuhan yang sama, yaitu Allah Swt. Pesan inti dari seluruh wahyu tersebut adalah tauhid, hanya ada satu Tuhan yang berhak disembah. Menurut Al-Baghawi dalam kitab Al-Tahdhib fi Fiqh Al-Imam Al-Syafi’i, wahyu-wahyu yang dibawa oleh para nabi sebelumnya sebenarnya memiliki esensi yang sama, yaitu untuk mengajak umat manusia kepada pengabdian yang tulus kepada Allah.

Jadi Alquran datang untuk mempertegas dan memperjelas ajaran tauhid bagi seluruh umat manusia. Meskipun pesan intinya sama, setiap kitab suci memiliki hukum dan aturan yang disesuaikan dengan kondisi umat pada zamannya. Alquran diturunkan untuk seluruh umat manusia hingga akhir zaman. Hal ini disebabkan karena ajarannya bersifat universal dan komprehensif, mencakup semua aspek kehidupan, baik spiritual, sosial, maupun hukum.

Baca Juga: Keterkaitan Al-Quran, Kitab-Kitab Terdahulu dan Keragaman Syariat

Salah satu hal yang sering kali diabaikan dalam diskusi mengenai Alquran dan kitab-kitab terdahulu adalah penghormatan Islam terhadap Taurat dan Injil. Meskipun Islam meyakini bahwa kitab-kitab tersebut telah mengalami distorsi (tahrif), Islam tetap memandangnya sebagai bagian dari rangkaian wahyu ilahi yang penting. Dalam Sunan Al-Tirmidhi, terdapat riwayat yang menunjukkan bahwa Nabi Muhammad SAW menempatkan kedudukan tinggi bagi wahyu-wahyu sebelumnya, namun tetap menegaskan bahwa Alquran adalah penyempurna dan penutup dari seluruh wahyu.

Alquran sebagai wahyu terakhir datang untuk memastikan bahwa pesan tauhid tetap terjaga dan dapat dijadikan pedoman bagi seluruh umat manusia. Dalam berbagai tafsir dan kitab-kitab fiqh, dijelaskan bahwa Alquran tidak hanya membenarkan kitab-kitab sebelumnya, tetapi juga menegaskan bahwa wahyu terakhir ini adalah yang paling sempurna. Dengan demikian, Alquran menjadi panduan yang shahih dan komprehensif bagi umat Islam.

Dengan menghormati wahyu terdahulu dan menyempurnakan ajaran-ajaran tersebut, Alquran menciptakan kesatuan dalam rangkaian pesan ilahi yang datang dari Tuhan yang sama. Sebagai umat Islam, memahami hubungan antara Alquran dan kitab-kitab sebelumnya adalah langkah penting untuk melihat kesinambungan pesan tauhid dan hikmah yang dibawa oleh setiap nabi Allah. Wallahu A’lam.

Kemuliaan Ummahat al-Mukminin

0

Istri-istri Rasulullah merupakan perempuan mulia, yang terpilih untuk mendampingi Nabi saw. Istri-istri Rasulullah juga menjadi Ummahat al-Mukminin (Ibunda bagi orang-orang yang beriman), di mana kaum mukminin wajib untuk memuliakan dan menghormati mereka. Keutamaan dan kemuliaan mereka disebutkan dalam Alquran, dengan sebab tidak terlepas dari luhurnya kedudukan Rasulullah. Beberapa kemuliaan tersebut sebagaimana berikut:

Baca Juga: Hikmah Dibalik Kisah Kecemburuan Ummahat al-Mukminin 

Mendapat Gelar Tinggi Sebagai Ibunda Orang Beriman

اَلنَّبِيُّ اَوْلٰى بِالْمُؤْمِنِيْنَ مِنْ اَنْفُسِهِمْ وَاَزْوَاجُهٗٓ اُمَّهٰتُهُمْ

Nabi itu (hendaknya) lebih utama bagi orang-orang mukmin dari diri mereka sendiri dan istri-istrinya adalah ibu-ibu mereka. (Q.S. Al Ahzab [33]: 6)

Imam at-Thabari dalam Tafsir Jami’ al-Bayan (11/122) menerangkan bahwa dengan (kedudukan) sebagai istri Rasulullah, Allah mengagungkan hak-hak mereka. Dalam Tafsir al-Qurtubi (13/82) dijelaskan, maksud ayat tersebut adalah Allah memuliakan istri-istri Rasulullah dengan menjadikan mereka sebagai Ummahat al-Mukminin, sehingga wajib memuliakan, berbuat baik, mengagungkan, serta haramnya kaum mukminin untuk menikahi Ummahat al-Mukminin sebagaimana dalam surah al-Ahzab ayat 53.

Hal itu sebagaimana dikatakan bahwa sebab kasih sayang Ummahat al-Mukminin kepada umatnya Rasulullah itu sama seperti kasih sayang ibu kandung kepada anak-anaknya, maka mereka diposisikan sebagai ibu bagi kaum Mukminin. Kedudukan para istri Rasulullah sebagai Ummahat al-Mukminin tidak lantas menyebabkan saling waris mewarisi sebagaimana dengan ibu kandung. Juga keharaman menikahi mereka tidak menyebar kepada anak perempuan atau saudari-saudari mereka. Oleh karena itu halal bagi para sahabat untuk menikahi anak atau saudari-saudari istri-istri Rasulullah.

Baca Juga: Teladan Baginda Nabi dalam Membangun Relasi Suami-Istri

Kemuliaan Mereka di atas Kaum Perempuan Lainnya

يٰنِسَاۤءَ النَّبِيِّ لَسْتُنَّ كَاَحَدٍ مِّنَ النِّسَاۤءِ اِنِ اتَّقَيْتُنَّ

Hai istri-istri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita yang lain, jika kamu bertakwa. (Q.S. al-Ahzab ayat 32)

Istri-istri Rasulullah dianugerahi Allah dalam hal keutamaan, kedudukan, kehormatan, dan kemuliaan yang menjadikan mereka istimewa dan berbeda dari segenap kaum perempuan lain pada umumnya. Karena mereka adalah Ummu al-Mukminin dan istri dari sebaik-baik Rasul, wahyu Alquran turun di rumah mereka, dan adanya sejumlah ayat Alquran yang khusus turun berkenaan dengan diri mereka. (Tafsir al-Munir, 11/325)

Akan tetapi, sebagaimana diterangkan di ayat 32 tersebut, kemuliaan itu ada syaratnya, yaitu ketakwaan dan amal saleh. Demikian pula, kaum muslimat juga memiliki keistimewaan dan keutamaan lebih dibandingkan kaum perempuan lainnya dengan ketakwaan dan amal saleh. Akan tetapi, tentunya derajat mereka di bawah derajat para Ummahat al-Mukminin, istri-istri Rasulullah saw.

Janji Allah Akan Pahala yang Berlipat untuk Mereka dari Pahala Kaum Mukminin 

وَمَن يَقْنُتْ مِنكُنَّ لِلهِ وَرَسُولِهِۦ وَتَعْمَلْ صٰلِحًا نُؤْتِهَآ أَجْرَهَا مَرَّتَيْنِ وَأَعْتَدْنَا لَهَا رِزْقًا كَرِيمًا

Dan barangsiapa di antara kamu sekalian (istri-istri Rasul) tetap taat pada Allah dan Rasul-Nya dan mengerjakan amal yang saleh, niscaya Kami memberikan kepadanya pahala dua kali lipat dan Kami sediakan baginya rezeki yang mulia. (Q.S. al-Ahzab [33]: 31)

Ketika Allah menggandakan hukuman atas istri-istri Rasulullah jika mereka melakukan suatu perbuatan keji yang nyata (surah al-Ahzab: 30), keadilan dan rahmat-Nya tentu menghendaki untuk memberikan kompensasi berupa penggandaan pahala amal saleh mereka. Karena itu kemuliaan yang diberikan kepada Ummahat al-Mukminin juga berupa penggandaan pahala bagi mereka atas amal saleh yang mereka kerjakan, serta menyiapkan untuk mereka rizki yang mulia.

Ibnu Katsir menafsirkan rizki atau pahala tersebut, yaitu kedudukan di surga. Sesungguhnya mereka (para istri Rasulullah) sesuai dengan tingkatan Rasulullah. Allah menjanjikan mereka pada maqam tertinggi, di atas kedudukan seluruh makhluk, yakni dalam kedudukan al-washilah yang merupakan tempat di surga yang terdekat dengan arsy-Nya.

Baca Juga: Tafsir Surat Al-Ahzab Ayat 28-29: Didikan Allah Swt Kepada Istri-Istri Nabi

Allah Berkeinginan Menyucikan Mereka dari Dosa 

Allah mencintai, menghendaki, dan memudahkan, serta menetapkan para istri Rasulullah untuk condong kepada jalan kebaikan. Di samping itu juga menjauhkan dari perbuatan buruk dan menyucikan serta membersihkannya dari noda kemaksiatan dan perbuatan dosa, serta menyemarakkan hati mereka dengan nur keimanan. Hal ini sebagaimana dalam surah al-Ahzab ayat 33:

وَقَرْنَ فِى بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجٰهِلِيَّةِ الْأُولَىٰ ۖ وَأَقِمْنَ الصَّلَوٰةَ وَءَاتِينَ الزَّكَوٰةَ وَأَطِعْنَ اللهَ وَرَسُولَهُۥۚ إِنَّمَا يُرِيدُ اللهُ لِيُذْهِبَ عَنكُمُ الرِّجْسَ أَهْلَ الْبَيْتِ وَيُطَهِّرَكُمْ تَطْهِيرًا

Dan hendaklah kalian (wahai istri-istri Nabi) tetap di rumah kalian dan janganlah kalian berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu dan dirikanlah salat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kalian, wahai ahlul bait dan membersihkan kalian sebersih-bersihnya.

Wahbah al-Zuhaili dalam Tafsir al-Munir (11/330) menerangkan bahwasanya semua perintah dan adab tersebut adalah dengan maksud untuk membersihkan keluarga rumah tangga kenabian dari kotoran kemaksiatan-kemaksiatan dan noda perbuatan-perbuatan kemungkaran, serta menjadikan mereka sebagai kaum perempuan terdepan dalam hal keiffahan serta ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya.

Wallahu a’lam bis-shawwab.[]