Beranda blog Halaman 26

Fitrah Manusia sebagai Homo Religiosus

0
Fitrah Manusia sebagai Homo Religiosus
Ilustrasi seseorang beribadah.

Manusia telah dibekali dengan berbagai potensi (fitrah) yang tersandang sejak lahir. Salah satu fitrah tersebut adalah kecenderungan untuk beragama dan ber-Tuhan. Dalam istilah psikologi, hal inilah yang disebut dengan Homo Religiosus. Kalaupun ada yang tidak percaya terhadap agama, sejatinya ia menyalahi sifat asalnya. Bisa jadi hal itu erat kaitannya dengan pengaruh lingkungan yang meliputi diri beserta cara berfikirnya.

Alquran sebagai pedoman hidup umat Islam telah menjelaskan tentang adanya fitrah tersebut, yaitu termaktub dalam Q.S. Ar-Rum ayat 30 juga disebutkan di ayat lain, tepatnya dalam Q.S. Al-A’raf ayat 172 bahwa sebelum takdir kelahiran manusia di dunia ini, ruh mereka terlebih dahulu bersaksi agar sekali-kali tidak akan menyembah kecuali hanya kepada Allah, Tuhan Semesta Alam.

Tafsir Ayat Homo Religiosus

Buya Hamka memaparkan penjelasan yang berkaitan dengan ayat tersebut, bahwa sebenarnya jiwa seluruh manusia pada dasarnya ialah sama-sama mengakui adanya Tuhan Pencipta Alam, meskipun berbeda bangsa dan agama yang mereka peluk. Orang yang menolak kepercayaan tentang adanya Tuhan, seperti mulhid atau ateis, hal itu tak lain hanyalah gejala yang datang di kemudian hari tersebab pengaruh setan. Beliau menegaskan bahwa sebenarnya dalam jiwa dan nurani mereka yang mengaku tak percaya itu masih tersimpan kepercayaan kepada Sang Pencipta Alam. Oleh sebab itu, seruan yang dibawa oleh rasul, sejatinya bertujuan untuk memanggil dan menggugah jiwa fitrah tersebut, untuk semakin meyakini tentang adanya Tuhan (Buya Hamka, Tafsir Al-Azhar Jilid 5, 213).

Maka, kesimpulan sederhananya bahwa ‘agamis’ merupakan potensi dasar yang dimiliki setiap manusia. Namun, sebagaimana kata Komaruddin Hidayat bahwa seiring dengan berjalannya waktu kebanyakan manusia cenderung lupa dengan perjanjian primordial (dasar) yang agung tersebut. Sebab ia telah terjerat oleh kenikmatan duniawi yang sejatinya fana ini, sehingga ruhaninya sulit untuk terbang ke alam Ilahi yang Maha Luas lagi Maha Indah (Komaruddin Hidayat, Psikologi Kematian, 19).

Baca juga: Tafsir Surat Ar-Rum Ayat 30: Agama Sebagai Fitrah Manusia

Sesukses apapun manusia memimpin dan mengendalikan bermacam sektor kehidupan, ia tetaplah mahluk yang penuh keterbatasan. Sejenius apapun para profesor dan cendekiawan di dunia ini, nyatanya hingga sekarang tak ada yang mampu menjawab berapa jarak kematian dengan dirinya, ataukah apa warna ruh yang melekat pada jasadnya dan bagaimanakah bentuknya. Tentu hal itu amat mustahil, karena manusia bukanlah Tuhan.

Homo Religiosus dalam Pandangan Psikologi

Seorang psikolog yang bernama Robert S. Woodworth menguatkan padangan manusia sebagai mahluk beragama melalui teori insting keagamaan yang ia kemukakan. Ia berpandangan bahwa setiap bayi yang terlahir ke dunia ini sejatinya telah memiliki beberapa insting, salah satunya adalah insting keagamaan (Jalaluddin, Psikologi Agama, 65). Oleh karenanya, insting sebagai homo religiosus akan berfungsi setelah mendapat pengaruh pendidikan, pengajaran, pembimbingan, dan pembinaan dari yang lebih dewasa beserta lingkungan sekitar.

Dalam pemaknaan manusia sebagai homo religiosus, Micrea Eliade sebagai pencetus pertama istilah tersebut, memberlakukannya untuk semua manusia, bukan hanya untuk kelompok atau individu tertentu. Bagi Eliade, homo religiosus menunjukkan suatu kualitas dari kondisi manusia (David Cave, Mircea Eliade’s Vision for a New Humanism, 92). Hal ini ternyata juga didukung oleh pandangan Karen Armstrong, berdasakan kajiannya tentang sejarah agama, ia menyatakan bahwa manusia adalah makhluk spiritual. Armstrong juga menyatakan bahwa ada alasan kuat untuk mengemukakan pendapat bahwa homo sapiens juga merupakan homo religiosus (Karen Armstrong, Sejarah Tuhan).

Baca juga: Surah Ala‘raf (189): Berpasangan dan Memiliki Keturunan Adalah Fitrah

Seorang psikolog yang bernama Robert H. Touless mengemukakan dua faktor yang menyebabkan manusia berkecenderungan sebagai mahluk religius. Pertama, ketidakberdayaan manusia dalam memenuhi segala kebutuhannya. Hal ini bisa kita lihat dari keterbatasan untuk memenuhi kebutuhan hidup, jaminan keselamatan, ketenangan, perlindungan, dan yang lain sejenisnya.

Kedua, Keterbatasan kekuatan rasio yang dimiliki oleh manusia. Pada kenyataannya hingga saat ini, manusia dengan segala kecanggihan rasionya masih belum mampu dan tidak akan pernah mampu untuk memahami secara komprehensif serta  menaklukkan alam semesta ini.

Hal tersebut ternyata memiliki kaitan dengan teori yang dikemukakan oleh W.H. Thomas,  yaitu  four wishes. Ia berpendapat bahwa sejak manusia lahir ke dunia mereka telah diliputi dengan empat keinginan dasar, yaitu: keinginan untuk keselamatan (security), keinginan akan pengetahuan atau pengalaman baru (new experience), keinginan untuk ditanggapi (response), dan keinginan untuk dikenal (recognition) (Jalaluddin, Psikologi Agama, 62).

Baca juga: Tafsir Surah Al-Baqarah Ayat 144: Cinta Tanah Air Fitrah Manusia

Begitulah fitrah manusia, yaitu sebagai mahluk yang membutuhkan dan akan kembali pada Tuhan. Oleh karena itulah, sangat benar ungkapan yang dituangkan oleh Komaruddin Hidayat dalam tulisan beliau, bahwasanya bila rida dari Tuhan tidak lagi menjadi pusat orientasi manusia, maka kualitas motivasi kehidupan akan menjadi rendah. Bahkan, bisa jadi manusia akan terperangkap pada posisi bermusuhan melawan alam, sedangkan manusia kemungkinan besar menempati posisi yang kalah.

Justru, dengan menjadikan Tuhan sebagai destinasi akhirnya, manusia akan terbebaskan dari derita alienasi (pengasingan). Sebab, Tuhanlah yang Maha Hadir (omnipresent) dan Maha Mutlak. Maka, keyakinan dan perasaan tentang ke-Maha Hadiran Tuhan inilah yang memberikan kekuatan, pengendalian, sekaligus kedamaian hati pada seseorang, sehingga ia senantiasa hadir dalam orbit Tuhan, bukan putaran dunia yang tidak jelas ujung pangkalnya lagi membingungkan (Komaruddin Hidayat, Psikologi Kematian, 34).

Berbaik Sangka Sebagai Cerminan Ketakwaan: Tafsir Surah an-Nur Ayat 12

0
berbaik sangka sebagai cerminan ketakwaan
berbaik sangka sebagai cerminan ketakwaan

Salah satu cara untuk tidak terlibat dalam sebuah hoaks adalah dengan berbaik sangka terhadap orang lain, terutama terhadap sesama orang beriman yang memang dikenal tidak pernah melakukan cela.

Dalam sebuah tafsir atas surah al-Hujurat ayat 12, dijelaskan bahwa berburuk sangka bisa jadi merupakan penyebab awal tindakan buruk lainnya yang lebih fatal, seperti tajassus (mencari-cari kesalahan orang lain), dan ghibah (membicarakan keburukan orang lain). Oleh sebab itu, sebagai kebalikan dari berburuk sangka, berbaik sangka mungkin saja menjadi langkah preventif awal atas tindakan buruk lainnya.

Terlebih lagi, di era yang serba media sosial, hoaks bisa dengan sangat mudah menyebar. Sebagai tameng dari hal ini, salah satunya dengan tetap berbaik sangka terlebih dahulu sembari mencari validitas sebuah kabar tersebut.

Jika di surah al-Hujurat ayat 12 secara jelas memberikan alarm kewaspadaan terhadap burung sangka, maka di surah an-Nur ayat 12, Alquran menyiratkan bahwa berbaik sangka sebagai salah satu awal perilaku baik dan konsekuensi keimanan seseorang.

Baca Juga: Jangan Berprasangka Buruk! Renungkanlah Pesan Surat Al-Hujurat Ayat 12

Peristiwa Kabar Hoaks atas Sayyidah Aisyah

Salah satu kisah penting dalam sejarah Islam yang mengajarkan nilai berbaik sangka (ḥusnuẓan) ialah peristiwa ḥadīth al-ifki, atau fitnah yang menimpa Ummul Mukminin, Sayyidah Aisyah r.a., istri Rasulullah ﷺ. Kisah ini menunjukkan teguran Allah atas sebagian kaum mukmin yang mudah terpengaruh oleh berita bohong (hoaks) tanpa melakukan verifikasi terlebih dahulu. Kemudian turunlah surah al-Nur ayat 12 sebagai peringatan bagi umat muslim supaya berbaik sangka, khususnya kepada orang-orang berintegritas dan berkedudukan mulia sebagaimana Sayyidah Aisyah.

لَوْلَآ اِذْ سَمِعْتُمُوْهُ ظَنَّ الْمُؤْمِنُوْنَ وَالْمُؤْمِنٰتُ بِاَنْفُسِهِمْ خَيْرًاۙ وَّقَالُوْا هٰذَآ اِفْكٌ مُّبِيْنٌ

Mengapa orang-orang mukmin dan mukminat tidak berbaik sangka terhadap kelompok mereka sendiri, ketika kamu mendengar berita bohong itu, dan berkata, “Ini adalah (berita) bohong yang nyata?”

Pada ayat ini, Allah menegur kaum mukmin supaya mereka berbaik sangka manakala mendengar tuduhan yang menimpa Sayyidah Aisyah r.a. Dalam kasus fitnah ini, mereka diminta untuk merenungkan tuduhan itu dan bercermin dengan diri mereka sendiri. Mana mungkin, seorang istri Nabi yang mulia, Ummul Mukminin yang jauh lebih suci terlibat dalam perbuatan yang dituduhkan?

Diriwayatkan pada suatu hadis, bahwa ada seorang mukmin dalam peristiwa itu yang secara yakin tidak membenarkan gosip tersebut, yakni Kholid bin Zaid al-Anshari. Ketika istrinya bertanya mengenai berita yang beredar mengenai Aisyah r.a., Kholid bin Zaid al-Anshari menjawab bahwa itu merupakan kebohongan. Dia bertanya kepada istrinya apakah dia melakukan perbuatan tercela seperti itu, dan ketika istrinya menjawab tidak, dia menegaskan bahwa Aisyah lebih baik daripada mereka berdua, oleh karena itu Aisyah pasti terbebas dari tuduhan tersebut [Mukhtaṣar Tafsīr Ibnu Kathīr, 591].

Baca Juga: Tafsir Surat An-Nur Ayat 22 dan Kisah Kekecewaan Abu Bakar As-Siddiq

Berbaik Sangka Sebagai Manifestasi Ketakwaan

Mengutip perkataan Syekh Izzuddin Abdussalam dalam menafsirkan ayat di atas, bahwa ketakwaan orang mukmin mencegah prasangka buruk, sebab ketakwaannya mampu melemahkan perbuatan fasik dan perbuatan durhaka [Syajārah al-Ma’ārif, 92]. Kekuatan takwa seorang mukmin mampu menjadi benteng yang kuat dalam mencegah perbuatan-perbuatan buruk, termasuk salah satunya berprasangka buruk.

Senada dengan penjelasan Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Mishbah ketika menafsirkan surah an-Nur ayat 12. Berdasar ayat tersebut, disimpulkan bahwa konsekuensi keimanan adalah pembelaan terhadap kaum beriman, paling tidak pembelaan pasif dengan membantah berita kebohongan tersebut.

Ketakwaan seorang mukmin melemahkan dorongan untuk melakukan segala perbuatan yang dimurkai Allah, seperti menyebarkan berita bohong atau terlibat dalam gosip yang tak berdasar atas bukti yang jelas. Ketika seseorang bertakwa, hatinya dipenuhi dengan cahaya keimanan yang menghalangi segala bentuk kecurigaan dan buruk sangka terhadap saudara seiman, sebagaimana tercermin dalam perintah Allah untuk berbaik sangka dalam surah an-Nur ayat 12.

Dengan demikian, ketakwaan merupakan penggerak utama dalam menjaga seseorang dari terjebak fitnah. Sebab, orang bertakwa akan selalu mengedepankan kebenaran, memeriksa informasi yang diterima, dan tidak mudah terpedaya oleh berita bohong yang merusak persaudaraan, lebih-lebih terhadap sesama muslim. Inilah wujud manifestasi dari ketakwaan. Seorang mukmin yang bertakwa ditandai dengan selalu berbaik sangka kepada siapapun. Wallāhu A’lam.

Cara Bersedekah yang Dianjurkan Alquran

0
cara bersedekah yang dianjurkan Alquran
cara bersedekah yang dianjurkan Alquran

Salah satu amal baik yang diajarkan oleh Islam adalah bersedekah. Melalui Alquran, Islam tidak hanya mengabarkan tentang anjuran bersedekah, namun juga lengkap dengan tuntunan dan cara bersedekah. Keterangan ini antara lain terdapat dalam surah al-Baqarah ayat 263:

قَوْلٌ مَّعْرُوفٌ وَمَغْفِرَةٌ خَيْرٌ مِّن صَدَقَةٍ يَتْبَعُهَآ أَذًى ۗ وَٱللَّهُ غَنِىٌّ حَلِيمٌ

Perkataan yang baik dan pemberian maaf lebih baik daripada sedekah yang diiringi dengan sesuatu yang menyakitkan. Allah Maha Kaya lagi Maha Penyantun. (Q.S. al-Baqarah [2]: 263).

Ayat ini memberikan pesan tentang cara bersedekah yang seharusnya. Berdasarkansurah al-Baqarah ayat 263, sedekah tidak hanya dilihat sebagai tindakan fisik, tetapi juga mencakup aspek emosional dan spiritual. Perkataan yang baik dan lembut, menurut ayat tersebut statusnya lebih baik dibandingkan dengan sedekah yang diikuti oleh perilaku atau ucapan yang menyakiti hati si penerima. Demikian penjelasan dalam Faharis Ulum alQuran alKarim li Makhtutat Dar al-Kutub az-Zahiriyah (juz 3. Hal. 220).

Baca Juga: Tafsir Surah Alisra Ayat 26: Prioritas dalam Bersedekah

Perkataan yang baik juga menjadi salah satu perhatian Nabi Muhammad saw. dalam salah satu hadisnya. Seperti hadis berikut ini,

 مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ

Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah dia berkata yang baik atau diam.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Hadis yang didokumentasikan oleh al-Bukhari dan Muslim ini mengajarkan bahwa menjaga lisan adalah bentuk ibadah dan realisasi dari keimanan. Perkataan yang baik memiliki kemampuan untuk meredakan amarah, memberikan ketenangan, bahkan memperbaiki hubungan yang retak.

Dalam konteks sedekah, perkataan baik akan memperkuat ikatan antara pemberi dan penerima, serta menjadikan sedekah sebagai amal yang diterima oleh Allah. Sebaliknya, jika sedekah diberikan dengan kata-kata kasar atau dengan niat menyombongkan diri, nilai sedekah tersebut menjadi ternoda.

Mengapa demikian? Karena sedekah bukan hanya tentang materi, melainkan juga tentang menjaga harga diri dan perasaan orang lain. Dalam Islam, menjaga kehormatan sesama manusia sangat penting. Jika suatu pemberian disertai dengan sikap yang merendahkan atau menyakiti, maka hal tersebut dapat melukai harga diri orang yang kita beri, yang pada akhirnya bisa membuat orang tersebut merasa hina dan tidak dihargai. Hal ini berlawanan dengan tujuan dari sedekah itu sendiri.

Surah al-Baqarah ayat 263 menekankan bahwa perkataan yang baik dan pemberian maaf lebih baik daripada sedekah yang diikuti dengan kata-kata yang menyakitkan. Ini menunjukkan bahwa Allah mengutamakan kualitas interaksi sosial yang baik di atas sekadar pemberian materi. Dengan kata lain, hubungan yang baik antara sesama lebih penting daripada tindakan memberi yang dilakukan dengan cara yang tidak tepat. Kurang lebih demikian keterangan Tafsir Al-Muyassar dan Tafsir Ibn Katsir.

Baca Juga: Tafsir Surah Albaqarah Ayat 215: Skala Prioritas dalam Sedekah

Dalam kehidupan modern, pesan dari ayat ini sangat relevan, terutama di era di mana media sosial menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari. Sering kali kita melihat orang-orang yang mempublikasikan kebaikannya di media sosial, baik dalam bentuk sedekah atau bantuan sosial lainnya, tetapi diiringi dengan komentar atau sikap yang merendahkan pihak penerima. Bisa jadi hal ini nantinya menjadi sebab tidak diterimanya pahala sedekah.

Demikian salah satu tuntunan cara bersedekah yang dianjurkan oleh Alquran. Jadi, berdasar pada tuntunan ayat Alquran tersebut, dapat diketahui bahwa bersedekah erat kaitannya dengan perkataan yang baik dan tidak baik.

Satu hal lain yang juga diketahui dari ayat tersebut yaitu, Alquran sangat relate dalam mendeskripsikan dan menyampaikan kebiasaan yang terjadi pada interaksi sosial manusia. Barangkali ini menjadi salah satu data bahwa Alquran memang sangat dekat dengan cara bermasyarakat. Wallah a’lam.

Kisah Sahabat Abu Ubaidah Al-Jarrah yang Diabadikan dalam Alquran

0
Kisah Sahabat Abu Ubaidah Al-Jarrah yang Diabadikan dalam Alquran

Salah satu sahabat Nabi yang patut diapresiasi ialah Abu Ubaidah al-Jarrah. Ia banyak terlibat dalam berbagai pertempuran penting, seperti Perang Badar dan Perang Uhud, juga menjadi pemimpin militer yang ulung selama periode ekspansi Islam. Dengan kepemimpinan dan keberaniannya itu, Abu Ubaidah memiliki pengaruh besar terhadap sejarah peradaban Islam. Sehingga, Allah mengapresiasinya dengan mengabadikan kisahnya dalam Alquran.

Dedikasi Abu Ubaidah pada Islam

Memiliki nama asli Amir bin Abdullah bin Jarrah al-Quraisyi al-Fihri, Abu Ubaidah lahir di Mekah. Ia termasuk dari salah satu dari golongan as-Sabiqun al-Awwalun (orang-orang pertama masuk Islam) yang berbaiat langsung kepada Rasulullah. Kelompok inilah yang di banggakan Allah dalam surah at-Taubah ayat 100.

Sebagaimana dari Yazid bin Ruman, “Ibnu Madz’un, Ubaidah bin Harits, Abdurrahman bin Auf, Abu Salamah bin Abdul Asad, dan Abu Ubaidah al-Jarrah pernah berangkat dalam misi menemui Rasulullah. Ketika bertemu, beliau saw. menganjurkan mereka agar memeluk agama Islam sekaligus menjelaskan tentang syariat kepada mereka. Seketika itu pula, secara bersamaan mereka memeluk agama Islam dengan mengucapkan dua kalimat syahadat di hadapan beliau.”

Ketika Abu Ubaidah bin al-Jarrah berbaiat kepada Rasululah untuk mengorbakan dirinya di jalan Allah, ia telah memiliki persiapan sempurna dengan segala upaya dan pengorbanan yang telah dibutuhkan di jalan Allah. Abu Ubaidah berikrar bahwa amanah yang dititipkan Allah kepadanya harus diperjuangkan demi mencapai keridhaan-Nya, bukan untuk kepentingan pribadinya sendiri. (Biografi 60 Sahabat Nabi, h. 247-248)

Berkat tanggungjawab, dedikasinya, intregitas, serta sifat amanah dalam memperjuangkan agama Islam, Abu Ubaidah ibn al-Jarrah mendapat gelar mulia dari Rasulullah, “Amin al-Ummah”. Diriwayatkan dari Anas bin Malik bahwa Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya setiap umat ada Amin (orang yang terpercaya),  dan sesungguhnya orang yang terpercaya dari kalangan umat ini yaitu Abu Ubaidah bin Jarrah.” (HR.Bukhari)

Sebagai pemimpin yang dapat dipercaya, Abu Ubaidah selalu mengutamakan kepentingan umat, serta bertindak dengan bijaksana dalam mengambil setiap keputusan. Penghormatan yang diberikan Rasulullah kepadanya tersebut mencerminkan keyakinan bahwa ia adalah sosok yang layak untuk memimpin dan melindungi masyarakat.

Baca Juga: Kisah Kedermawanan Dua Sahabat Nabi Saw yang Diabadikan Al-Qur’an

Perjuangannya di Medan Perang

Dalam perang Badar (2 H.), ia menjadi salah satu panglima penting dalam pasukan Muslim yang tampil dengan gagah berani. Karena kepawaiannya dalam peperangan Abu Ubaidah bin Jarrah berhasil menyusup ke barisan lawan tanpa takut mati atau dihadang oleh musuh.

Namun, tentara berkuda pasukan musuh melihat posisinya yang dapat membahayakan kaum musyrikin. Kemanapun ia berlari, tentara itu terus mengejarnya dengan beringas. Dan ternyata yang mengejarnya adalah ayah kandungnya sendiri, Abdullah bin Jarrah. Berkenaan dengan peristiswa ini, turunlah firman-Nya dalam surah al-Mujadilah ayat 22.

Wahbah al-Zuhaili menukil riwayat dari Ibnu ‘Abbas, dari Abdullah bin Syaudzab menerangkan bahwa ayat di atas turun berkenaan dengan Abu Ubaidah bin al-Jarrah yang membunuh ayah kandungnya sendiri (dari golongan Kafir Quraisy) ketika perang Badar. Ayat ini menegaskan bahwa seorang mukmin akan mencintai Allah melebihi  cintanya kepada sanak keluarganya sendiri. (Tafsir al-Munir, 15/57)

Baca Juga: Kisah Kecintaan Sahabat Nabi Muhammad Saw Terhadap Surah Al-Ikhlas

Sayyid Qutb (11/198) menerangkan, Abu Ubaidah termasuk dari orang-orang yang disebutkan bahwa Allah telah mengokohkan keimanan dalam hati mereka. Maka, keimanan itu dapat terjaga dan tidak bisa terpengaruh oleh kedekatan mereka kepada orang-orang yang mendurhakai Allah. Meskipun itu orang tua, anak, saudara, ataupun kerabat mereka.

Seperti Abu Ubaidah, terlepas dari kasih sayangnya kepada ayah kandungnya, ia tidak membiarkan hal itu memengaruhi komitmennya terhadap Islam. Dia berperang dengan gagah berani melawan musuh Allah dan membawa kemenangan bagi kaum muslim. Abu Ubaidah al-Jarrah tidak membunuh ayahnya, melainkan ia membunuh kemusyrikan yang bersarang di tubuh pribadi ayahnya.

Tafsir al-Maraghi (28/29) menambahkan bahwa kelompok tersebut digelari sebagai hizbullah atau para penolong dan tentara Allah. Dan sebagaimana diterangkan di akhir ayat bahwa Allah akan membalasnya dengan keridhaan, kemenangan, dan kebahagiaan, serta pertolongan di dunia maupun di akhirat.

Selain keberaniannya dalam peperangan Badar. Ketika di perang Uhud (3 H.), perannya lebih fokus untuk melindungi Rasulullah dari serangan musuh. Abu Ubaidah al-Jarrah mempertaruhkan nyawanya untuk menyelamatkan Rasul. Ia menolong Rasul yang terkena lemparan musuh dengan mencabut mata rantai satu per satu dengan giginya, hingga dua giginya tanggal. Rasulullah sangat menyayanginya sebagai orang kepercayaan umat, dan beliau sangat terkesan kepadanya. (Biografi 60 Sahabat Nabi, 249)

Baca Juga: Kisah Kedermawanan Dua Sahabat Nabi Saw yang Diabadikan Al-Qur’an

Kisah kepemimpinan, keberanian, dan kesetiaan Abu Ubaidah memberikan pelajaran berharga bagi umat Islam. Ia mengajarkan tentang pentingnya untuk tetap teguh terhadap agama Islam, kesetiaan kepada Allah dan Rasul-Nya harus diprioritaskan di atas semua hubungan lainnya. Kesediaannya untuk mengorbankan dirinya dan melindungi Rasul menunjukkan pentingnya loyalitas dalam kepemimpinan. Dan perjuangannya di medan perang mengajarkan kaum muslimin untuk menghadapi tantangan dengan tekad dan keberanian.

Wallah a’lam.[]

Telaah Konsep Tolong-menolong dalam Asuransi Syariah

0
Telaah Konsep Tolong-menolong dalam Asuransi Syariah
Telaah Konsep Tolong-menolong dalam Asuransi Syariah

Perusahaan asuransi saat ini sudah jamak ditemui, baik di pedesaan maupun di perkotaan. Tercatat dalam Badan Pusat Statistik Indonesia, jumlah perusahaan asuransi di Indonesia pada tahun 2022 mencapai 152 perusahaan. Hal ini menunjukkan bahwasanya masyarakat saat ini mulai berpikir tentang solusi untuk mendapatkan jaminan dan keselamatan yang tinggi dari risiko-risiko yang akan terjadi di masa mendatang, seperti kematian, kecelakaan, kerusakan, dan lain semacamnya. Entah hal itu menimpa pada jiwa, pekerjaan, maupun barang berharga yang dimiliki.

Oleh karenanya, para intelektual muslim banyak mengkaji hal-hal terkait asuransi ini secara detail mulai dari konsep, akad, serta prosedural yang sesuai dengan syariah Islam. Sebab, konsep asuransi juga terkait dengan banyaknya seruan-seruan dalam Alquran yang menyeru manusia untuk saling melindungi dan menolong satu sama lain ketika ada yang tertimpa musibah.

Di samping itu, kebutuhan masyarakat terkait adanya sebuah instansi atau lembaga yang dapat menjamin keberlangsungan hidup mereka sangat dibutuhkan pada zaman modern. Hingga pada akhirnya, kajian yang dilakukan memunculkan sebuah terobosan yakni perusahaan asuransi syariah (meski masih sedikit jumlahnya) yang diklaim banyak pihak telah sesuai dengan norma-norma Islam.

Akan tetapi, muncul sebuah kegelisahan dalam benak sebagian umat Islam, yakni apakah asuransi syariah sudah sesuai dengan konsep dan nilai-nilai Alquran, yakni anjuran untuk menolong semua orang dalam hal-hal baik, serta terhindar dari unsur-unsur yang diharamkan seperti riba, penipuan, dan lain-lain? Hal ini dapat diketahui dengan menelaah motivasi berdirinya perusahaan asuransi syariah, serta apakah telah memenuhi aturan-aturan dalam akad serta asas saling tolong-menolong dalam Alquran.

Substansi Berdirinya Asuransi Syariah

Asuransi merupakan sesuatu yang menjadi kebutuhan dasar manusia. Karena, semisal seseorang tertimpa suatu musibah seperti kematian tiba-tiba, kecelakaan, kebakaran, dan lain-lain, serta biaya yang dibutuhkan tidak sesuai dengan harta yang dimiliki, maka hal tersebut dapat memakan korban lain seperti keluarga yang akan menanggung beban tersebut. Namun, ketika seseorang berasuransi, ia setidaknya memiliki cadangan atau telah bersiap-siap untuk menghadapi berbagai risiko yang akan terjadi.

Oleh karenanya, asuransi menjadi sebuah pilihan yang tepat untuk menemukan sebuah jawaban dari kekhawatiran tersebut. Alasannya, karena substansi dari berdirinya sebuah perusahaan asuransi adalah menjalankan perintah Tuhan untuk tidak diam dan saling bahu membahu menolong orang-orang yang sedang tertimpa musibah, sebagaimana pesan Q.S. Al-Maidah [5]: 2 yang berbunyi:

وَتَعَاوَنُوْا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوٰىۖ وَلَا تَعَاوَنُوْا عَلَى الْاِثْمِ وَالْعُدْوَانِ ۖوَاتَّقُوا اللّٰهَ ۗاِنَّ اللّٰهَ شَدِيْدُ الْعِقَابِ

Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.

Baca juga: Empat Landasan Dasar Asuransi dalam Alquran

Dijelaskan dalam Taisîrul Karîmir Rahmân bahwa al-birru (kebajikan) adalah sebuah nama yang mencakup segala yang Allah Azza wa Jalla cintai dan ridai, dari perbuatan-perbuatan yang zhâhir maupun batin, yang berhubungan dengan hak Allah Azza wa Jalla atau hak sesama manusia.

Ayat di atas mengindikasikan bahwa untuk mewujudkan perintah Allah tersebut, butuh upaya dan tindakan nyata yang selaras dengan petunjuk yang tidak bertentangan dengan agama. Artinya, perintah untuk berbuat baik dalam ayat di atas juga harus berpegang pada prinsip yang baik pula, yakni merealisasikannya sembari tetap mematuhi aturan syariah. Karena, ketika berbuat baik tapi dengan perantara hal-hal yang tidak di ridai oleh Allah, diibaratkan sama dengan menolong orang lain dengan harta hasil curian, yakni sama-sama melakukan perbuatan yang dilarang.

Sehingga bisa disimpulkan bahwa berdirinya perusahaan asuransi yang berbasis syariah memiliki visi misi untuk dapat meringankan beban yang menimpa masyarakat sewaktu-waktu, di samping tidak mengabaikan aturan-aturan bermuamalah dalam Islam yang akan dijelaskan di bawah ini.

Prinsip-prinsip dalam Asuransi Syariah

Berbeda dengan asuransi konvensional, asuransi syariah sangat memperhatikan akad serta praktik yang digunakan. Karena tidak cukup hanya mengandalkan sebuah konsep tolong-menolong tanpa memperhatikan prosedural yang berlaku, sebagaimana disinggung dalam ayat di atas.

Dalam kitab Muamalah Mu’ashirah (hal. 170-173) dijelaskan perbedaan antara asuransi yang dilarang dan yang dilegalkan dengan kriteria masing-masing. Dalam kitab tersebut, asuransi terbagi menjadi dua:

Pertama, jaminan berdasarkan prinsip tolong-menolong (ta’min ta’awuni) adalah berkongsinya sekelompok orang dengan menyerahkan uang (premi) yang telah ditentukan untuk kemudian diserahkan pada kalangan yang tertimpa mudarat atau musibah, entah itu dari kalangan yang berserikat atau bukan.

Baca juga: Surah Al-Maidah Ayat 2: Perintah Berbuat Adil dan Saling Tolong-menolong

Kedua, jaminan berdasarkan bagian tetap (ta’min tijari) adalah menyerahkannya sekelompok orang berupa harta pada perusahaan asuransi dengan tujuan instansi tersebut dapat meringankan beban penderitaan orang yang telah berserikat. Dan ketika orang yang berserikat tidak tertimpa musibah, maka harta yang telah diserahkan menjadi hangus.

Dapat dipahami perbedaan antara kedua jenis asuransi di atas, bahwa asuransi pertama yang merupakan konsep dalam asuransi syariah menekankan konsep tabarru’ (tidak mengharapkan timbal balik), ta’awun (tolong-menolong), serta diterapkan secara adil. Sehingga, hal ini menjadikan tujuan seseorang berasuransi adalah agar dapat meringankan beban yang akan menimpa diri sendiri maupun orang lain.

Karena, ketika anggota dari mereka yang berserikat sama-sama sepakat untuk memberikan bagiannya ketika ada yang tertimpa musibah. Hal ini meniscayakan tidak adanya unsur penipuan (maysir) dan kerugian (gharar) semisal seseorang tersebut tidak mendapatkan lagi hartanya.

Berbeda dengan konsep kedua yang digunakan oleh asuransi konvensional. Di sini tujuan asal dari orang yang berasuransi adalah semata-mata agar ia mendapatkan keuntungan ketika tertimpa musibah, tanpa mau memberikan hartanya pada orang lain.

Baca juga: Memahami Makna Menolong (Agama) Allah Swt. dalam Alquran

Tidak hanya itu, perbedaan lainnya yang mencolok dari dua jenis asuransi di atas adalah bahwa seluruh mekanisme dan operasional asuransi syariah dibuat dengan menerapkan kaidah-kaidah dalam syariat Islam. Nurul Ihsan dalam bukunya, Asuransi Syariah: Teori, Konsep, Sistem Operasional, dan Praktik mengatakan bahwa asuransi syariah mengandung dua akad, yakni kafalah (tanggungan) dan mudharabah (bagi hasil).

Sistem kafalah sendiri berarti perjanjian antara beberapa orang untuk bertanggung jawab dan melindungi satu sama lain. Sementara konsep mudharabah meniscayakan bahwa kerugian dan keuntungan dalam asuransi syariah dibagi sama rata antaranggota. Dua konsep ini tidak akan ditemukan dalam asuransi non-syariah (konvensional) yang menganut sistem laba atau keuntungan semata. Hal inilah yang mengakibatkan pelarangan terhadap asuransi konvensional sendiri karena berisi komponen-komponen yang diharamkan seperti riba, penipuan, dan lain-lain.

Dapat disimpulkan bahwa jika asuransi syariah yang berlaku saat ini telah menerapkan aturan-aturan yang telah ditetapkan para ulama, yakni berdasarkan prinsip tolong-menolong, melindungi, dan tabarru’, maka dapat dikatakan bahwa berdirinya perusahaan-perusahaan asuransi syariah sama halnya dengan mewujudkan konsep ta’awun (tolong-menolong) yang terpampang dalam Alquran.

Wallahu a’lam

Keutamaan Menjadi Umat Nabi Muhammad

0
Keutamaan Menjadi Umat Nabi Muhammad
Keutamaan Menjadi Umat Nabi Muhammad

Berkah menjadi umat Nabi Muhammad saw, Allah tidak hanya menganugerahkan kemuliaan kepada beliau saja. Namun, kaum muslimin juga kecipratan mendapat berbagai keutamaan dan keistimewaan dari Allah. Di antara keutamaan tersebut ialah sebagaimana yang pernah disabdakan oleh Nabi saw. sendiri.

Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan at-Tirmidzi, dari Imam Qatadah, Rasulullah saw. berkata, “Umatku telah diberi tiga hal yang tidak diberikan kecuali kepada para nabi saja. Pertama, dahulu jika mengutus seorang nabi, Allah berfirman kepadanya, ‘Berdoalah engkau kepada-Ku, niscaya akan Aku kabulkan.’ Untuk umat ini, Allah juga berfirman, ‘Berdoalah kalian kepada-Ku, niscaya akan Aku kabulkan.’

Kedua, dulu jika mengutus nabi, Allah berfirman kepadanya, ‘Aku tidak menjadikan kesulitan padamu dalam agama ini.’ Untuk umat ini, Dia juga menyatakan, ‘Aku tidak menjadikan kesulitan kepada kalian dalam agama ini.’ Ketiga, dahulu jika mengutus nabi, Allah menjadikannya sebagai saksi atas umatnya. Sedangkan untuk umat ini, Allah menjadikan mereka sebagai saksi atas manusia lainnya.” (Tafsir al-Munir, 9/291-292).

Jaminan dikabulkannya doa

Dalam Alquran Allah berfirman sebagai berikut.

   اُدْعُوْنِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ

Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagi kalian (Q.S. Ghafir [40]: 60).

Ayat ini mengisyaratkan bahwa Allah mengundang hamba-hamba-Nya untuk berdoa dan memohon kepada-Nya, dengan janji bahwa doa dan permohonan mereka akan dikabulkan. Hal ini menunjukkan keutamaan yang diberikan kepada umat Nabi Muhammad, bahwa setiap doa yang dipanjatkan dengan tulus akan didengar dan dikabulkan. Keistimewaan ini tidak hanya terletak pada pengabulan doa, tetapi juga mencerminkan kasih sayang Allah yang melimpah kepada umat Nabi saw.

Baca juga: Keistimewaan Rasulullah dalam Alquran

Syekh Ali as-Shabuni (3/99) menerangkan bahwa umat Islam diberikan kemuliaan yang luar biasa. Mereka memiliki akses langsung kepada Allah melalui doa, tanpa perantara. Ini menjadi salah satu bukti nyata dari kedudukan tinggi mereka di sisi Allah. Sebagai umat dari Nabi Muhammad, mereka seharusnya memanfaatkan keutamaaan ini, yaitu dengan berdoa tidak hanya untuk kepentingan diri sendiri, tetapi juga untuk kebaikan umat manusia secara keseluruhan.

Kemudahan dalam beragama

Sabda Nabi saw. di atas, bahwa Allah akan memberikan kemudahan kepada umatnya adalah sebagaimana dinyatakan dalam ayat berikut.

  وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ

Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kalian kesempitan dalam agama (Q.S. al-Hajj [22]: 78).

Menurut Wahbah al-Zuhaili (2/291), maksud ayat ini adalah untuk mempertegas sekaligus memotivasi kaum muslimin bahwa Allah tidak menginginkan kesulitan, kesukaran, dan keberatan bagi manusia dalam tuntutan-tuntutan syariat. Ia juga menerangkan bahwa kemudahan dalam menjalankan agama merupakan salah satu hal yang spesial bagi umat Nabi Muhammad dan nikmat sangat agung yang mesti disyukuri dengan cara menjalankan kewajiban dan menjauhi larangan-larangan-Nya.

Baca juga: Tafsir At-Taubah 128: Potret Cinta Nabi Muhammad pada Umatnya

Sayyid Muhammad bin Alawi al-Maliki menambahkan, sebagai contoh dari kemudahan itu adalah dalam ibadah salat, yang merupakan ibadah paling penting dan utama, bahkan menjadi pilar dan pondasi agama yang kokoh. Di antara kemudahan dalam salat adalah adanya keringanan dalam kondisi-kondisi khusus seperti sakit, perjalanan, perang, tidak adanya pakaian yang menutup aurat, tidak mengetahui arah kiblat, lupa kiblat, atau tidur saat waktu salat (Khashais Ummat al-Muhammadiyyah, h. 17).

Menjadi saksi untuk para nabi sebelumnya di akhirat

  وَكَذَلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا لِتَكُونُوا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُونَ الرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيدًا

Demikian (pula) Kami telah menjadikan kalian (umat Islam) umat yang adil dan pilihan agar kalian menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kalian (Q.S. al-Baqarah [2]: 143).

Diriwayatkan oleh Zaid bin Aslam bahwa di hari akhir nanti, Allah akan mengumpulkan seluruh manusia dan makhluk-Nya untuk ditahkim (diadili). Akan tetapi, umat-umat nabi terdahulu enggan untuk diadili dan berdalih tidak mendapatkan peringatan dan ajakan dari para utusan-Nya. Mereka semuanya ingkar (Tafsir al-Kassyaf, 1/199).

Baca juga: Puasa Umat Nabi Muhammad dan Umat para Nabi Sebelumnya

Allah pun meminta bukti kepada para nabi-Nya untuk mendatangkan saksi. Maka para nabi itu datang kepada Nabi Muhammad saw. dan umatnya agar menjadi saksi untuk para nabi yang telah dituduh oleh kaumnya tidak menyampaikan risalah yang diemban. Kemudian umat Islam bersaksi dan menyampaikan ayat Al-Baqarah: 143 (Safwah at-Tafasir, 1/91).

Demikian beberapa keutamaan yang Allah berikan kepada umat Nabi Muhammad saw. Dengan memahami dan mengamalkan keutamaan ini, diharapkan umat Islam dapat semakin bertambah rasa cinta dan syukurnya kepada Allah dan Nabi-Nya. Di samping itu, sebagai umat Nabi Muhammad diharapkan untuk selalu berpegang pada prinsip-prinsip yang diajarkan oleh beliau, sehingga bisa menjadi contoh yang baik bagi yang lain dan mendapatkan keridaan Allah. Wallah al-muwaffiq.[]

Amal Saleh yang Ternilai Sia-sia di Akhirat

0
Amal Saleh yang Ternilai Sia-sia di Akhirat

Manusia selama hidup di dunia ditugaskan untuk memperbanyak amal saleh menuju kehidupan berikutnya yang abadi, yakni akhirat. Atau, secara garis besar, amal saleh sering dianggap sebagai tiket menuju keselamatan di akhirat kelak. Manusia beriman berbondong-bondong memperbanyak amal saleh sebagai bentuk ketaatan kepada Rabb-nya dengan harapan memperoleh balasan dari-Nya.

Akan tetapi, perlu diketahui bahwasanya tidak semua amal saleh mampu membawa kebaikan di akhirat, namun hanya diperoleh di dunia saja. Sebagaimana firman-Nya dalam surah Hud ayat 15 berikut.

مَنْ كَانَ يُرِيْدُ الْحَيٰوةَ الدُّنْيَا وَزِيْنَتَهَا نُوَفِّ اِلَيْهِمْ اَعْمَالَهُمْ فِيْهَا وَهُمْ فِيْهَا لَا يُبْخَسُوْنَ

Siapa yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, pasti Kami berikan kepada mereka (balasan) perbuatan mereka di dalamnya dengan sempurna dan mereka di dunia tidak akan dirugikan.

Baca Juga: Amalan Mempermudah Melewati Sakratulmaut

Ayat ini menggambarkan bahwa orang-orang yang hanya menginginkan kenikmatan dunia melalui amal-amal mereka akan mendapatkan balasan dari Allah di dunia dengan sempurna, namun amal-amal tersebut tidak akan membawa manfaat di akhirat.

Berkenaan ayat di atas, Abu Ja’far mengomentari bahwa barangsiapa yang melakukan amal hanya demi memenuhi keinginan dunia dan perhiasannya, maka Allah akan memberikan balasan perbuatan mereka selama di dunia. Mereka tidak akan dikurangi balasannya, tetapi mereka akan mendapatkan balasan amal mereka sepenuhnya di dunia [Tafsīr al-abarī Jāmi’ al-Bayān, 15/262]. Hal ini menggiring artian bahwa amal yang dilakukan semata-mata di dunia akan dibalas di dunia, namun tidak akan memberikan manfaat di akhirat.

Sebagai misal, apabila seseorang melaksanakan ibadah-ibadah sunnah, seperti salat tahajud, puasa senin-kamis, dan sebagainya, yang ditujukan sebagai wujud pengharapan kepada-Nya untuk meraih keinginan dunianya, maka dunia memang akan ia peroleh atas kehendak takdir dari-Nya. Namun disayangkan, di akhirat kelak ia akan merugi sebab tujuan ibadahnya hanya demi dunia semata.

Akan tetapi, apabila seseorang beramal dengan ikhlas semata-mata hanya untuk mengharap ridha-Nya, di akhirat kelak akan memperoleh balasan yang berlipat ganda. Sebagaimana firman-Nya dalam surah al-Syura ayat 20 berikut.

Baca Juga: Tafsir Surah Al-Muminun ayat 51: Perihal Makanan dan Amal Saleh

مَنْ كَانَ يُرِيْدُ حَرْثَ الْاٰخِرَةِ نَزِدْ لَهٗ فِيْ حَرْثِهٖۚ وَمَنْ كَانَ يُرِيْدُ حَرْثَ الدُّنْيَا نُؤْتِهٖ مِنْهَاۙ وَمَا لَهٗ فِى الْاٰخِرَةِ مِنْ نَّصِيْبٍ

Siapa yang menghendaki balasan di akhirat, akan Kami tambahkan balasan itu baginya. Siapa yang menghendaki balasan di dunia, Kami berikan kepadanya sebagian darinya (balasan dunia), tetapi dia tidak akan mendapat bagian sedikit pun di akhirat.

Rasyid Ridha dalam tafsrinya mengutarakan bahwa amal yang dilakukan manusia meski hanya untuk kesenangan dunia semata, Allah tidak akan mengurangi sedikit-pun dari hasil usaha mereka. Meskipun mereka kafir sekalipun. Sebab, di dunia ini, rezeki bergantung pada usaha dan kerja, bukan pada niat dan tujuan agama.

Tidak sekadar demikian, petunjuk ajaran agama memiliki pengaruh dalam kehidupan dunia, seperti bersikap amanah, keteguhan, kejujuran, nasihat yang baik, menjauhi pengkhianatan, kebohongan, dan penipuan, serta sifat-sifat lain seperti kesabaran dan kerja sama dalam kebaikan dan ketakwaan. Bagi orang yang mengamalkan petunjuk tersebut, mereka akan mengalami progres yang sehat kinerjanya di dunia [Tafsīr al-Munīr, 12/41].

Baca Juga: Murtad Dapat Menghapus Amal Perbuatan

Dalam Tafsir al-Maraghi, diungkapkan bahwa balasan atas amal di dunia bergantung pada dua faktor, yaitu usaha manusia dan ketetapan Allah serta takdir-Nya atas usaha tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa dalam konteks duniawi, hasil dari amal sering kali berhubungan dengan upaya yang dikerahkan oleh manusia serta bagaimana Allah menetapkan hasil dari upaya tersebut. Namun, balasan di akhirat sepenuhnya merupakan kehendak Allah yang didasarkan pada amal yang dilakukan dengan niat untuk mendapatkan ridha-Nya, tanpa perantara siapa pun [Tafsīr al-Maraghī, 12/16].

Penutup

Amal saleh yang dilakukan tanpa niat untuk akhirat hanya akan mendatangkan balasan di dunia saja. Maka, penting bagi kita sebagai manusia supaya beramal ikhlas hanya untuk meraih ridha-Nya, demi meraih balasan di akhirat kelak. Tanpa niat yang benar, amal tersebut akan sia-sia di akhirat meskipun membawa manfaat di dunia. Oleh karena itu, penting bagi setiap muslim untuk senantiasa memperbaiki niat dalam setiap amal yang dikerjakan agar tidak hanya memperoleh balasan di dunia, tetapi juga di akhirat.

Wallāhu A’lamu.

Keistimewaan Rasulullah dalam Alquran

0
keistimewaan Rasulullah dalam Alquran
keistimewaan Rasulullah dalam Alquran

Bulan Rabiulawal merupakan momentum untuk merenungkan dan meneladani nilai-nilai agung dalam diri Rasulullah saw. Salah satu cara untuk merenungkan kembali keistimewaan Rasulullah adalah dengan merujuk kitab suci umat Islam. Dalam Alquran diterangkan, Rasulullah memiliki banyak keistimewaan yang tidak hanya terletak pada gelar kenabiannya, tetapi juga pada misi risalah dan ajaran yang beliau bawa.

Baca Juga: Di Balik Yatimnya Seorang Nabi Muhammad Saw

Keistimewaan dari Para Nabi Terdahulu

Setiap nabi itu istimewa. Hal ini disampaikan dalam Alquran, antara lain dalam ayat berikut,

تِلْكَ الرُّسُلُ فَضَّلْنَا بَعْضَهُمْ عَلَىٰ بَعْضٍۘ مِّنْهُم مَّن كَلَّمَ اللَّهُۖ وَرَفَعَ بَعْضَهُمْ دَرَجَاتٍۚ

Para rasul itu Kami lebihkan sebagian mereka atas sebagian (yang lain). Di antara mereka ada yang Allah berbicara (langsung) dengannya dan sebagian lagi Dia tinggikan beberapa derajat. (Q.S. al-Baqarah: 253)

Menurut sebagian mufasir, ayat ini menerangkan menerangkan tentang keistimewaan kalangan para nabi dan rasul, yakni bahwa Allah telah memilih dan melebihkan di antara mereka, yaitu ulul ‘azmi, dan dari ulul ‘azmi tersebut Allah mengutamakan sayyid al-anbiya’ wa al-mursalin, yakni Rasulullah Muhammad saw. Beliau memiliki keistimewaan dan kekhususan sendiri dibandingkan dengan nabi yang lain.

At-Thabari dalam Tafsir Jami’ul Bayan (4/519-520) dalam bahasan yang terkait dengan keistimewaan Rasulullah dibanding para utusan terdahulu menerangkan dengan merujuk sebuah hadis,

“Aku diberi lima hal yang tidak diberikan kepada siapa pun sebelumku. Aku diutus pada bangsa Arab dan ‘Ajam dari golongan manusia dan jin, aku ditolong dengan kepanikan, karena musuh pasti panik padaku sejauh perjalanan satu bulan, dan bumi dijadikan untukku sebagai tempat sujud dan suci, dihalalkan untukku harta rampasan perang yang tidak pernah halal bagi seorangpun sebelumku. Terakhir, aku diberi lisensi dan izin untuk memberi syafaat.” (HR. Bukhari Muslim)

Baca Juga: Diplomasi Ala Nabi Muhammad Saw.

Kerasulannya Bersifat Universal

Selain keistimewaan yang diungkapkan di atas, dalam ayat-ayat lain juga diungkap keistimewaan Rasulullah atas para nabi dan rasul sebelum beliau saw.

وَمَآ اَرْسَلْنٰكَ اِلَّا كَاۤفَّةً لِّلنَّاسِ بَشِيْرًا وَّنَذِيْرًا

Tidaklah Kami mengutus engkau (Nabi Muhammad), kecuali kepada seluruh manusia sebagai pembawa berita gembira dan pemberi peringatan. (Q.S. Saba’: 28)

Para nabi dan rasul terdahulu diutus untuk berdakwah khusus kepada kaumnya saja, sedangkan Rasulullah saw. diutus kepada semua manusia. Tidak hanya kaum beliay saja, kerasulannya yang bersifat universal (menyeluruh). Allah menerangkan universalitas risalah dan kerasulan beliau saw. kepada seluruh umat manusia semuanya karena risalah beliau sama sekali tidak mengandung unsur tendensi rasialisme, primodialisme dan tidak pula monopoli hanya bagi bangsa Arab saja.

Sebagaimana penjelasan ar-Razi bahwa pengutusan Rasulullah mencakup seluruh umat manusia sepanjang zaman. Ajarannya tidak terbatas pada satu kelompok atau bangsa tertentu, melainkan menjadi rahmat bagi seluruh alam. (Mafatih al-Ghaib 25/206)

Penutup Para Nabi dan Rasul

Satu lagi keistimewaan Rasulullah, dan hal ini dapat dikatakan sebagai keistimewaan yang paling utama, yaitu status penutup para nabi dan rasul. Dalam Surah Al-Ahzab ayat 40, Allah berfirman:

“مَّا كَانَ مُحَمَّدٌ أَبَا أَحَدٍ مِّن رَّجَالِكُمْ وَلَكِن كَانَ رَسُولَ اللَّهِ وَخَاتَمَ النَّبِيِّينَ ۗ وَكَانَ اللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمًا”

Muhammad itu bukanlah bapak dari seorang pun di antara kamu, tetapi ia adalah utusan Allah dan penutup para nabi.

Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, bahwasanya Rasulullah telah bersabda, “Perumpamaanku dan para nabi sebelumku adalah seperti orang yang membangun sebuah bangunan yang dibaguskan dan diperindah, kecuali satu batu bata di salah satu sudutnya yang belum terpasang. Orang-orang segera mengelilingi bangunan itu dan merasa kagum seraya bertanya, ‘Duhai seandainya batu bata ini dipasang?” Rasulullah berkata, “Akulah batu itu dan akulah penutup para nabi.” (HR. Muslim)

Ayat dan hadis di atas menegaskan bahwa tidak ada lagi nabi setelah beliau saw, sehingga Rasulullah membawa wahyu terakhir untuk seluruh umat manusia. Risalahnya akan terus relevan, dapat digunakan dan diamalkan oleh semua umat hingga hari akhir kelak.

Risalah terdahulu yang dibawa oleh para nabi dan rasul mempunyai pendekatan dakwah yang sesuai dengan pendekatan kaumnya, misalnya pendekatan dakwah Nabi Daud dengan kekuatan fisikal. Adapun Nabi Sulaiman pandai bercakap dengan hewan, pohon, jin dan mempunyai kekuatan memindahkan kerajaan dan sebagainya. Sementara Nabi Ibrahim berdakwah dengan memotong semua kepala berhala. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa pendekatan-pendekatan dakwah dan risalah yang dibawa oleh nabi sebelumnya tidaklah sesuai dengan perkembangan zaman.

Baca Juga: Memahami Ummi sebagai Gelar Istimewa Nabi Muhammad

Alquran Sebagai Mukjizat yang Kekal dan Terpelihara

Allah telah menurunkan Alquran kepada Rasulullah sebagai mukjizat terbesar dan kekal karena Allah telah menjamin untuk menjaganya.

إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ

Sesungguhnya Kami telah menurunkan Al-Quran dan sesungguhnya Kami benar-benar menjaga (keasliannya). (Q.S. al-Hijr: 9)

Quraish Shihab menerangkan bahwa janji Allah tentang Alquran yang akan tetap utuh dan terpelihara, membuat Alquran berbeda dengan kitab-kitab sebelumnya yang mengalami perubahan seiring waktu. Jaminan ini menjadi salah satu mukjizat Alquran.

Hal ini membuktikan bahwa kitab yang diturunkan kepada Rasulullah tersebut bukan hanya sekadar teks, tetapi juga memiliki nilai keabadian yang tidak dapat ditandingi oleh karya manusia lainnya. Selain itu juga membuktikan kebenaran wahyu dan otoritas Allah dalam memberikan petunjuk kepada umat manusia. Keberadaan jaminan ini memberikan keyakinan kepada umat Islam akan keaslian dan relevansi Alquran sepanjang zaman. Wallah a’lam

Hafalan Alquran dan Kesalehan Penghafalnya

0
Hafalan Alquran dan Kesalehan Penghafalnya
Hafalan Alquran dan Kesalehan Penghafalnya

Salah satu keistimewaan Alquran yang pernah disampaikan oleh M. Quraish Shihab, pakar tafsir Alquran dari Indonesia, yaitu bisa dihafal oleh umat Islam dari semua kalangan dalam bahasa aslinya, yaitu bahasa Arab.

Sudah menjadi anggapan umum bahwa menghafal Alquran termasuk dari amal kebajikan yang begitu diistimewakan. Demikian ini sebab menghafal Alquran bukanlah perkara mudah untuk dijalani. Perlu komitmen yang kuat dan niat yang tepat serta perangai yang baik untuk menyandang status hamalatul qur’an. Sebab, sebagaimana nasihat mayoritas para pengkaji Alquran, niat menghafal Alquran yang tepat adalah bertujuan meraih rida Allah Swt, bukan sekadar berhasil merampungkan hafalan 30 juz saja.

Ketika niat menghafal Alquran sudah tepat, maka penghafal Alquran akan senantiasa merawat amanah hafalannya sebaik-baiknya dengan disertai menjaga diri dari segala perbuatan yang mencerminkan akhlak madzmumah dan gemar menghiasi diri dengan berbagai tindakan yang mencerminkan akhlak mahmudah.

Imam Fudhail bin Iyadh menganjurkan kepada seorang penghafal Alquran untuk menjaga sikapnya, sebab dia diibaratkan sebagai pembawa bendera Islam. Hal ini sebagaimana dikutip oleh Imam Nawawi dalam Kitab At-Tibyan fii Adabi Hamalat Alquran berikut:

وعنه أيضا قال حامل القرآن حامل راية الإسلام لا ينبغي أن يلهو مع من يلهو ولا يسهو مع من يسهو ولا يلغو مع من يلغو تعظيما لحق القرآن

Dan (diriwayatkan) dari Imam Fudhail bin Iyadl pula, beliau berkata: ‘para penghafal Alquran adalah pembawa bendera Islam, tidak patut dia bermain-main bersama orang yang bermain-main dan lupa bersama orang yang lupa, serta tidak berbicara yang sia-sia bersama orang yang berbicara sia-sia demi mengagungkan haq-nya Alquran’.” (At-Tibyan fii Adabi Hamalat Alquran, hlm. 55).

Selain itu, Syaikh Al-Ajurri Al-Baghdadi juga berkomentar sebagai berikut:

فَأَوَّلُ مَا يَنْبَغِي لَهُ أَنْ يَسْتَعْمِلَ تَقْوَى اللَّهِ فِي السِّرِّ وَالْعَلَانِيَةِ، بِاسْتِعْمَالِ الْوَرَعِ فِي مَطْعَمِهِ وَمَشْرَبِهِ وَمَلْبَسِهِ وَمَسْكَنِهِ، بَصِيرًا بِزَمَانِهِ وَفَسَادِ أَهْلِهِ، فَهُوَ يَحْذَرُهُمْ عَلَى دِينِهِ

“Perkara pertama yang seyogyanya dilakukan oleh para penghafal Alquran adalah ia harus mengamalkan sifat takwa kepada Allah, baik  dalam kondisi sendirian maupun ketika bersama khalayak ramai; mengamalkan sifat wara’ dalam makanannya, minumannya, pakaiannya, dan tempat tinggalnya; paham dengan situasi zamannya dan kerusakan (moralitas) penduduknya dan ia semestinya memperingatkan mereka tentang perkara agamanya.” (Akhlaq Ahl Alquran, hlm. 77).

Baca Juga: Etika Membaca Alquran Menurut Abdullah Al-Haddad (Bagian I)

Berdasarkan keterangan di atas, seorang penghafal Alquran semestinya berperangai baik, agar kemuliaan Alquran yang dia bawa tidak luntur dan diremehkan oleh orang lain (awam). Sebisa mungkin dia harus mampu menjaga Alquran dari segi lafadnya, maknanya, dan mengamalkan isi kandungannya yang tercermin dari perilaku baikny, sebagaimana Rasulullah Saw. yang disebut oleh Sayyidah Aisyah ra. sebagai sosok yang ‘kaana khuluquhu Alquran’

Lebih lanjut, saat berbicara soal hafalan Alquran dan penghafalnya, seringkali ekspektasi yang muncul dari kebanyakan orang Islam yaitu penghafal Alquran adalah sosok yang pasti saleh dan sedikit sekali atau bahkan sangat jarang berbuat hal-hal yang dimakruhkan, apalagi diharamkan oleh syariat Islam.

Bagaimana kemudian jika kenyataannya tidak demikian? Misal ada penghafal Alquran yang berhasil tuntas hafalannya, tapi tidak berperangai baik.

Hafal Alquran adalah satu hal, sementara kesalehan penghafalnya adalah hal lain. Maka dari itu, banyak hamilul qur’an yang saleh, tetapi tidak semua hamilul qur’an pasti saleh. Hafalan Alquran ini erat hubungannya dengan aspek kognitif, sementara kesalehan erat kaitannya dengan aspek afektif dan psikomotorik. Aspek kognitif merupakan perilaku yang menekankan pada kecerdasan intelektual, seperti pengetahuan dan keterampilan berpikir (mengingat). Adapun aspek afektif lebih menekankan pada aspek perasaan, seperti minat dan sikap, sedangkan aspek psikomotorik lebih menekankan pada keterampilan gerakan atau tindakan.

Baca Juga: Tradisi Hafalan Alquran di Indonesia

Nah, bila semua aspek tersebut dapat berjalan seimbang dalam diri seorang penghafal Alquran, maka selain berhasil menghafal Alquran, dia juga pasti pandai menempatkan diri dan berperangai baik, akan tetapi, bila ketiganya tidak seimbang, khususnya aspek afektif dan psikomotoriknya kurang, maka yang terjadi seorang penghafal Alquran mungkin berhasil menghafal Alquran, tapi belum tentu ia pandai menempatkan diri dan berperangai baik, atau bahkan malah jauh dari kata saleh.

Terlepas dari hal itu, seorang penghafal Alquran semestinya meneladani para sahabat nabi zaman dulu dalam menghafal Alquran. Tidak seperti yang banyak terjadi sekarang ini, dahulu para sahabat menghafal sekaligus mengamalkan isi Alquran, dan tidak akan menambah hafalan selagi belum mampu mengamalkan isi kandungan ayat-ayat Alquran yang dihafal.

Demikian itu adalah upaya yang dilakukan para sahabat agar tidak hanya hafal, namun juga paham dan dapat mengamalkan kandungan Alquran, sehingga mereka dapat berperangai saleh dan dekat kepada Allah swt. sekaligus mendapatkan ridha-Nya sebagaimana niat menghafal Alquran yang tepat. Semoga Allah SWT menganugerahi kita kekuatan untuk menjaga firman-Nya, baik dengan istiqamah membaca maupun menghafalkannya, mampu memahami & mengamalkan kandungan-Nya. Wallah a’lam.

Hikmah Sumpah Allah dalam Surah Al-Lail

0
tafsir surah al lail
Surah Al-Lail

Setiap sumpah (qasam) dalam Alquran memiliki tujuan, di antaranya sebagai isyarat atas keutamaan sesuatu yang dijadikan sumpah tersebut supaya manusia dapat mengambil pelajaran darinya. Demikian pula, terdapat hikmah dari ayat-ayat sumpah dalam surah Al-Lail yang manusia diharapkan dapat mengambil ibrah darinya. Allah berfirman sebagai berikut.

وَاللَّيْلِ إِذَا يَغْشَى (1) وَالنَّهَارِ إِذَا تَجَلَّى (2) وَمَا خَلَقَ الذَّكَرَ وَالْأُنْثَى (3)

Demi malam apabila menutupi (cahaya siang), dan siang apabila terang benderang, dan (demi) penciptaan laki-laki dan perempuan (Q.S. Al-Lail: 1-3).

Malam dan Siang, Laki-laki dan Perempuan

Allah bersumpah dengan malam dan siang beserta sifat masing-masing sebagaimana dilukiskan dalam ayat, “Demi malam apabila menutupi, dan siang apabila terang-benderang”. Keduanya merupakan hal yang sangat bertolak belakang dalam peredaran planet, berlawanan dalam bentuknya, bekas, dan pengaruhnya.

Demikian pula sumpah yang menyebutkan penciptaan makhluk-Nya dengan dua jenisnya berlawanan, “Demi penciptaan laki-laki dan perempuan,” tidak lain untuk melengkapi fenomena keberlawanan dalam nuansa surah ini dan seluruh hakikatnya (Tafsir Fi Zhilalil Quran, 30/286).

Baca juga: Keistemawaan Abu Bakar Ash-Shiddiq dalam Tafsir Surah Al-Lail

Syekh Muhammad Ali as-Shabuni terkait tiga ayat pertama menjelaskan bahwa hikmah Allah bersumpah dengan pergantian malam dan siang itu tidak terhitung. Salah satunya dapat dilihat dari bagaimana Allah mengatur peralihan waktu yang digunakan untuk istirahat dan yang digunakan untuk mencari penghidupan (Shafwatut Tafasir, 3/569).

Syekh Mutawalli as-Sya’rawi (15/323) menambahkan, sifat laki-laki dan perempuan tidak saja dimiliki oleh manusia, semua makhluk hidup termasuk di dalamnya hewan dan tumbuhan bahkan benda-benda lain juga memiliki unsur jantan dan betina. Ini merupakan keagungan ciptaan Tuhan.

Diterangkan dalam Awwal al-Marrah fi Atadabburil al-Quran (h. 300) bahwa Allah sengaja menyebutkan sumpah malam sebelum siang, karena waktu penciptaan dan keberadaan malam lebih dahulu daripada siang. Sama halnya laki-laki (Nabi Adam) diciptakan sebelum perempuan (Sayyidah Hawa).

Baca juga: Keistimewaan Surah Ala’la: Surah Favorit Rasulullah

Pergantian siang dan malam yang terus menerus dan tidak akan berhenti yang dijadikan sumpah di ayat ini, menurut mufassirin mengisyaratkan apa yang ada di belakangnya, yaitu kekuasaan yang memutar waktu di alam semesta. Allah yang Maha Kuasa tidak akan membiarkan makhluk-Nya sia-sia (tanpa tugas dan tanggung jawab). Hal ini sebagaimana Allah tidak menciptakan manusia dengan tiada guna.

Penciptaan laki-laki dan perempuan dengan garis jalan kehidupan masing-masing dan jaminan kelestarian dan perkembangannya dengan jalan keturunan tidak ada yang kebetulan. Jika terjadi secara kebetulan, niscaya tidak akan terjadi kesesuaian dan keteraturan di alam semesta. Karenanya, semua ini ada kuasa Allah yang memiliki hikmah dan tujuan di balik penciptaan tersebut.

Usaha Manusia Beraneka Macam

Mayoritas ulama tafsir seperti Wahbah al-Zuhaili (30/557) menerangkan fenomena siang-malam dan lelaki-perempuan menjadi bingkai untuk menjelaskan hakikat amal dan balasannya di dunia dan di akhirat. Allah bersumpah dengan kedua hal itu untuk menegaskan bahwa usaha manusia itu bermacam ragam, hingga balasan dari setiap usaha itu pun beragam. Hal ini sebagaimana disinggung dalam surah Al-Lail ayat 4, “Sungguh, usahamu memang berbeda-beda.”

Dalam Tafsir as-Sya’rawi (15/323) diterangkan, perbedaan tersebut ialah dalam hakikat, berbeda dalam visi, misi, dan motivasi, hingga berbeda pula dalam hasil. Manusia memiliki karakter yang berbeda satu sama lain, berbeda sumber pendapatannya, berbeda sudut pandangnya, berbeda pula sudut perhatiannya, hingga seakan-akan tiap individu manusia itu hidup di alam yang khusus di planet yang khusus baginya.

Baca juga: Keunikan dan Rahasia Lailatulqadar

Menurut Sayyid Qutb bahwa manusia memiliki karakter, pemikiran, dan cita-cita yang beragam, sehingga kemungkinan untuk terjadinya perbedaan sangat besar (Tafsir fi Zhilalil Quran, 30/287). Setiap orang diberikan kebebasan untuk menempuh jalan sesuai dengan pilihannya. Allah sebagai Sang Pencipta yang maha adil akan mengantarkan hamba-Nya pada jalan yang mereka inginkan, baik itu dengan kemudahan maupun dengan kesukaran.

Akan tetapi, setiap orang yang mengikuti suatu satu jalan yang dipilihnya akan meraih konsekuensinya. Yang baik tidak akan sama dengan yang buruk, yang mendapat hidayah tidak sama dengan yang memilih kesesatan. Yang reformis tidak sama dengan perusak, tidak sama antara dermawan yang takwa dengan orang yang pelit dan angkuh. Dan yang jujur dan menenteramkan tidak sama dengan pendusta dan menakutkan, sebagaimana telah ditegaskan di ayat selanjutnya dalam surah Al-Lail. Wallah a’lam bis-shawwab.[]