Beranda blog Halaman 27

Kisah Tubba’ dan Kaumnya (Bagian 1)

0
Kisah Tubba’ Askad dan Kaumnya (Bagian ke-2)
Kisah Tubba’ Askad dan Kaumnya (Bagian ke-2)

Salah satu kisah kaum terdahulu yang disebutkan dalam Alquran adalah kisah kaum Tubba’, sebagaimana dalam surah Addukhan ayat 37 dan surah Qaf ayat 14. Tubba’ sendiri bukanlah nama seseorang, melainkan gelar yang disematkan untuk seorang raja di Yaman yang memerintah wilayah Himyar, Saba’, dan Hadhramaut.

Menurut Ibnu Ishaq, Tubba’ yang dimaksud dalam Alquran adalah As’ad atau dipanggil dengan sebutan Abu Karb, yang pada waktu itu kekuasaannya sangat besar. (Kisah-Kisah dalam Al-Qur’an, 726) Dalam Tafsir Ibnu Katsir (Jilid 7/326-327) , Tubba’ As’ad berkuasa atas kaumnya selama 326 tahun. Dan tidak ada pemimpin yang berkuasa di Himyar yang lebih lama darinya. Ia meninggal 700 tahun sebelum Nabi Muhammad saw diutus.

Beberapa kisah menarik terkait Tubba As’ad yang terekam dalam sirah dan riwayat sebagaimana berikut;

Baca Juga: Kaum Madyan dalam Al-Qur’an: dari Asal Usul Penamaan Hingga Silsilah Keturunan

Mengurungkan niatnya untuk menghancurkan Madinah

Menurut Ibnu Hisyam dalam Sirah Nabawiyah (hal. 13) diceritakan bahwa suatu waktu Tubba’ As’ad menuju Madinah dari arah timur. Selama perjalanan, ia merasa aman tanpa adanya gangguan. Maka dari itu, ia menjadikan anaknya sebagai wakil di situ. Namun tak disangka, ternyata anaknya dibunuh. Dari peristiwa inilah, ia bermaksud untuk menyerbu Madinah, menghabisi penduduknya, dan menebang pohon kurmanya. Akan tetapi, keinginan mereka berhasil dihalang oleh kaum Anshar di bawah komando Amru bin Thallah.

Selain itu, ternyata juga tersiar berita bahwa seorang lelaki dari Bani Adi bin Najjar yang bernama Ahmar telah membunuh pengikut Tubba’ sebab ia memotong pelepah kurma miliknya. Peristiwa ini tentu membangkitkan amarah kaum Tubba’, dan peperangan pun tak terbendung lagi. Dikisahkan bahwa pada siang hari Bani Adi bin Najjar memerangi pasukan Tubba’, sedangkan di malam hari Bani Adi menjamunya. Perilaku dan sikap mereka membuat Tubba’ merasa takjub.

Di tengah-tengah peperangan yang terjadi, datanglah dua orang Rabi Yahudi dari Bani Qaraidzah. Keduanya mendengarkan keinginan dari Tubba’ yang hendak membumihanguskan Madinah. Kedua Rabi tersebut berkata, “Tuan Raja jangan teruskan niat Tuan itu. Walaupun bersikeras, Tuan tidak akan mampu memasuki Madinah dan kami tidak bisa menjamin keselamatan Tuan dari azab.”

Tubba’ berkata, “mengapa demikian?”

Keduanya menjelaskan, “Madinah adalah tempat hijrah seorang nabi dari Quraish yang keluar dari Tanah haram pada akhir zaman. Kota ini akan menjadi rumah dan tempat tinggalnya.”

Tubba’ pun akhirnya mengurungkan niatnya untuk menghancurkan Madinah.

Baca Juga: Mengenal Istilah Kaum dan Umat dalam al-Quran, Samakah Keduanya?

Tubba’ adalah yang pertama kali menyelimuti Ka’bah

Menurut Ibnu Hisyam (hal. 14-15), Tubba’ dan kaumnya adalah penyembah berhala. Suatu saat, mereka melintasi Mekkah dalam perjalanan kembali Yaman. Ketika sampai di wilayah antara Usfan dan Amaj, mereka didatangi oleh sejumlah orang dari suku Hudzail bin Mudrikah yang berniat untuk membinasakan Tubba’.

Mereka berkata kepadanya, “Baginda Raja, maukah baginda kami tunjukkan gudang harta yang tidak diketahui oleh raja-raja sebelum baginda? Gudang itu berisi permata, zabarjad, yaqut, emas dan perak.”

Tubba’ menjawab, “Tentu saja.”

Mereka berkata, “Sebuah rumah di Mekkah yang disembah oleh penduduknya dan mereka melaksanakan ibadah di sana.”

Tentu saja ini hanya tipu muslihat mereka agar Tubba’ binasa. Sebab, siapapun yang lalim terhadap rumah (Ka’bah) itu pasti akan hancur. Akan tetapi ia terselamatkan, karena ia terlebih dulu meminta saran dari dua Rabbi Yahudi.

Keduanya menjelaskan kepada Tubba’ bahwa, “Sebenarnya mereka menghendaki kehancuran Tuan dan pasukan. Sepanjang pengetahuan kami, tidak ada rumah di muka bumi ini yang dijadikan Allah sebagai rumah-Nya, kecuali Baitullah. Jika melakukan apa yang mereka katakana, Tuan dan para pasukan Tuan pasti binasa.”

“Menurut kalian berdua, apa yang harus aku lakukan setibanya di situ?”

“Tuan harus mengerjakan seperti yang dikerjakan oleh penduduknya, yakni berthawaf, mengagungkan, memulian, mencukur rambut dan bersikap merendah sampai keluar dari situ.”

Tubba’ bertanya, “Lalu apa yang menghalangi kalian untuk mengunjunginya?”

Keduanya menjawab, “Demi Allah, Ka’bah adalah rumah Ibrahim, nenek moyang kami. Juga sebagaimana berita yang telah kami kabarkan kepada Tuan tadi. Namun, penduduk Mekkah menodai kehormatan rumah itu dengan berhala-berhala yang mereka letakkan di sekelilingnya dan darah yang mereka tumpahkan di sisinya. Mereka adalah orang-orang najis pelaku kemusyrikan.”

Baca Juga: Belajar dari Kehancuran Kaum ‘Ad dan Kota Iram

Tubba’ menerima saran dan nasihat dari kedua Rabbi tersebut. Ia pun bertolak menu mekkah untuk melakukan thawaf, menyembelih hewan kurban untuk dibagi-bagikan kepada penduduk sekitar dan menghadiahkan madu. Ia menetap di sana selama enam hari.

Saat berada di sana, Tubba’ menutupi Ka’bah dengan anyaman pelepah kurma. Namun, ia menggantinya dengan kain ma’afir setelah mendapatkan mimpi agar menutupi Ka’bah dengan yang lebih baik dari pelepah kurma. Selepas itu, ia bermimpi Kembali agar menutupinya dengan yang lebih baik dari pada itu. Ia pun menyelubungi Ka’bah dengan kain mula’ dan washail yakni kain tenah bergaris-garis khas Yaman. Ia juga membuat pintu ka’bah lengkap dengan kuncinya.

Sejak saat itulah tradisi menutupi Ka’bah dengan kain atau kiswah mulai diterapkan. Tubba’ melarang orang menyembelih kurban menaruh bangkai ataupun membuang kain-kain bekas darah haid di Ka’bah. Ia juga berpesan kepada para gubernur dari kabilah-kabilah agar terus mempertahankan tradisi itu serta selalu menjaga kesucian Ka’bah.

Mengenal Marwan Hadidi dan Karyanya, Hidayatul Insan bi Tafsiri Al-Qur’an

0
Mengenal Marwan Hadidi dan Karyanya, Hidayatul Insan bi Tafsiri Al-Qur'an

Munculnya keragaman tafsir baik dari segi pendekatan dan bahasa merupakan bentuk upaya ulama menyampaikan pesan Alquran kepada umat Islam. Itulah sebabnya mengapa tafsir ditulis dengan beragam bahasa. Satu dari sekian banyak tafsir di Indonesia adalah Hidayatul Insan bi Tafsiri Al-Qur’an karya Abu Yahya Marwan Hadidi. Pada kesempatan kali ini, tulisan ini mengulas kitab tersebut, sekaligus dengan profil pengarangnya. Berikut ulasannya:

Biografi Intelektual Marwan Hadidi

Melansir dari artikel berjudul Analisis Pandangan Ahmad Hassan Terhadap Nasakh Dalam Alquran, Marwan Hadidi merupakan seorang pendakwah yang aktif baik di bidang tulis maupun oral.

Memiliki nama lengkap Abu Yahya Marwan Hadidi bin Musa. Abu Yahya merupakan nama kuniyah (julukan), adapun Musa merupakan nama ayah beliau. Marwan lahir pada Kamis, 3 Januari 1985 M (11 Rabi’ul Akhir 1405 H) dan merupakan putra dari pasangan Musa dan Saira.

Berdasarkan penelusuran penulis, ia aktif sebagai pendakwah baik itu melalui media tulis dan oral. Ia aktif sebagai penulis di media online; bimbinganislam.com dan muslim.or.id.  Adapun dalam kajian oral, beliau juga aktif mengisi kajian yang dapat ditemukan melalui media Facebook dan Youtube.

Baca Juga: Mengenal Kitab Tafsir Indonesia yang Lahir dari Ruang Akademik

Riwayat Pendidikan Marwan Hadidi

Kecintaannya terhadap Alquran telah nampak sejak SD. Dibuktikan dengan menghafalkannya, dan berhasil menyelesaikan hafalan tersebut saat menginjak pendidikan SMA.

Pendidikan SD Marwan Hadidi tempuh di Sekolah Dasar Negeri Karang Satria. Perjalanan intelektualnua berlanjut ke jenjang berikutnya di MTS Negeri Kodya Bekasi. Sedangkan tingkat Menengah Atas ia tempuh dengan persamaan paket C, sebagaimana melansir dari laman wawasankeislaman.blogspot.com.

Di tingkat perguruan tinggi, Marwan menempuh S1 di STAI Siliwangi Bandung dengan jurusan Pendidikan Agama Islam tahun 2011. Tiga tahun setelahnya, 2014, ia melanjutkan pendidikan dengan jurusan yang sama di Pascasarjana Universitas Islam Jakarta.

Pendidikan keagamaan bukan hanya ia tempuh melalui jalur formal. Cabang-cabang ilmu keislaman lainnya ia tempuh melalui jalur non-formal yang nantinya sedikit banyak turut berkontribusi dalam terbitnya tafsir Hidayatul Insan bi Tafsiri Al-Qur’an.

Beberapa ustadz yang pernah ia temui seperti: kepada Yazid bin Abdul QadirJawaz ia belajar akidah, kepada Syaikh Ahmad Muhammad Hasan Nafi ia belajar Tajwid, Romli Qomaruddin ia belajar Tsaqafah Islamiyyah, dan masih banyak lagi.

Baca Juga: Jejak Tafsir Al-Wahidiy di Indonesia: Penelusuran Awal

Kiprah Pasca Pendidikan

Seusai menuntut ilmu, Marwan hadidi aktif sebagai dosen pengajar di STAI Al-Barokah, Depok, Jawa Barat. Ia mengajar di unit kerja Pendidikan Agama Islam sebagaimana melansir dari laman siladiktis.kemenag.go.id.

Sebelum itu, ia juga memiliki pengalaman mengajar di beberapa instansi pendidikan, mulai dari pendidikan dasar, sampai universitas. Contohnya seperti mengajar di SDIT Salsabila YAKPI, Bekasi sebagai guru PAI dan Tahfiz.

Adapun di luar kesibukannya sebagai tenaga pengajar, Marwan Hadidi juga seorang penulis aktif. Tercatat beberapa karya telah ia terbitkan seperi modul ajar untuk anak-anak sekolah, terjemah Bulughul Maram karya Ibnu Hajar Al-Asqalani, menerjemahkan Musalahatul Hadis, dan masih banyak lagi.

Karya terbesarnya di bidang kepenulisan ialah kitab tafsir yang ia namakan  Hidayatul Insan bi Tafsiri Al-Qur’an. Kitab ini menjadi bahasan utama tulisan ini.

Profil Tafsir Hidayatul Insan bi Tafsiri Al-Qur’an

Tidak banyak informasi tentang kapan dan dengan motif apa kitab ini ditulis. Namun, bila melihat dari nama kitab ini, Hidayatul Insan bi Tafsiri Al-Qur’an, kitab ini memiliki makna hidayah untuk manusia dengan Alquran.

Secara umum, kitab ini bertujuan memberi pemahaman kepada pembaca atas makna Alquran supaya mendapat hidayah.

Boleh jadi, atas dasar hal itu, tafsir ini ditulis dengan bahasa Indonesia, bahasa yang lebih mudah dipahami audiens. Secanggih apapun kitab tafsir ditulis dengan bahasa Arab, bila penerimanya masyarakat ‘ajam, mereka tetap kesulitan memahami makna Alquran.

Baca Juga: Khazanah Tafsir Tarbawi di Indonesia (2): Background Keilmuan Mufassir

Tampilan Fisik

Tafsir Hidayatul Insan bi Tafsiri Al-Qur’an ditulis sesuai tartib mushafi, yakni bersarkan urutan surah. Kitab tafsir ini ditulis lengkap dalam 30 juz, meski terdapat perbedaan tampilan tentang informasi berapa jilid.

Melansir dari laman alkhoirot.org, jilid pertama berisi penafsiran surah Al-Fatihah sampai Al-An’am dengan jumlah halaman 448.

Jilid kedua tersusun atas surah Al-A’raf sampai At-Taha setebal 492 halaman. Sedangkan jilid ketiga tersusun atas surah Al-Anbiya sampai Al-Mu’minun dengan jumlah halaman 514 mulai dari sampul sapai daftar isi.

Pada jilid keempat dimulai dari surah Fushilat sampai An-Nas setebal 510 halaman. Itu artinya ada 20 surah yang tidak menjadi bahasan, sebab Al-Mu’minun menempati surah ke 23, sedangkan Al-Fushilat surah ke 41.

Namun, melansir dari sumber yang sama, jilid ke lima dimulai dari surah Ar-Rum sampai Al-Jatsiyah setebal 449 halaman. Susunan surah tersebut nampak kacau, pada bagian jilid satu yang tertera di website tersebut merupakan kumpulan tafsir seluruh ayat setebal 1964 halaman.

Tampilan Penafsiran

Mulai dari surah Al-Fatihah sampai An-Naas, penafsiran Marwan lakukan dalam bentuk footnote (catatan kaki). Jadi, ayat dan terjemahan menjadi tampilan utama dalam halaman, adapun tafsir ayat berada di tempat terpisah. Hal ini serupa dengan penulisan tafsir Jami’ al-Bayan tulisan Thabari.

Ia memulai penafsirannya dengan menjelaskan makna isti’adzah. Pertama-tama, Marwan mengutip perintah membaca isti’adzah (An-Nahl ayat 98), kemudian ia tafsirkan dengan mengutip ayat lain (Al-Maidah ayat 6). Ia juga menambahkan kesunahannya menurut riwayat hadis.

Tahap selanjutnya, Marwan menjelaskan pendapat ulama tentang perintah isti’adzah. Tak lupa, ia juga menjelaskan terkait keutamaan membaca kalimat tersebut. Untuk lebih lengkapnya, dapat dibaca pada Hidayatul Insan bi Tafsiri Al-Qur’an jilid 1 halaman 2-3.

Corak dan Metode Penafsiran

Dari segi penafsiran, tafsir ini tergolong dalam tafsir bil ma’tsur, karena banyak mengambil refrensi melalui hadis. Beberapa kesempatan ia juga mengutip mufasir lain yang menjadikan hadis sebagai landasan penafsirannya.

Hasil penelitian Muzakkir dalama artikel yang berjudul Penafsiran Marwan bin Musa Terhadap Ayat-Ayat Sifat dalam Tafsir Hidayatul Insan bi Tafsir Alquran mengungkapkan, tafsir ini bercorak I’tiqady (teologis). Ia menjelaskan, tafsir ini mengikuti metode dan pemahaman penafsiran Salafus Salih.

Hal ini selaras dengan rujukan kitab yang penulis temukan dalam bagian daftar pustakan kitab ini yang banyak merujuk pada ulama salaf (baca halaman 514).

Sedangkan metodologi yang ia gunakan, bila menggunakan klasifikasi Al-Farmawi dalam Al-Bidayah fi at-Tafsiri al-Mawdhu’i, ialah antara ijmali (umum) dan tahlili (analitik). Contoh penafsiran ijmali dapat dilihat tatkala menafsirkan surah Al-Kafirun (baca halaman 1955) yang mana ia hanya menjelaskan makna seperlunya.

Sebaliknya, metode tahlili Marwan Hadidi gunakan untuk membedah ayat-ayat yang memerlukan penjelasan rinci. Contohnya ketika ia menafsirkan surah An-Nisa ayat 114-115 (baca halaman 303) tentang berbisikan yang utama dan balasan bagi orang yang menyelisihi Rasulullah saw.

 

Keistemawaan Abu Bakar Ash-Shiddiq dalam Tafsir Surah Al-Lail

0
Keistimewaan Abu Bakar dalam Tafsir Surah al-Lail
Keistimewaan Abu Bakar dalam Tafsir Surah al-Lail

Sayyidina Abu Bakar ash-Shiddiq yang merupakan sahabat terdekat Rasulullah dan menjadi khalifah pertama setelah wafatnya Rasul. Beliau memiliki banyak keutamaan yang diakui dalam sejarah Islam. Keutamaan dan keistimewaan Abu Bakar bahkan disinggung oleh Alquran, salah satunya dalam surah al-Lail.

Riwayat yang menyatakan bahwa sebagian besar isi surah al-Lail turun untuk mengabadikan akhlak mulia dan keistimewaan Abu Bakar di antaranya disampaikan oleh al-Hakim dalam kitabnya. Beliau menyebutkan bahwa ayat kelima hingga ayat terakhir surah tersebut turun berkenaan dengan kedermawanan Abu Bakar yang memerdekakan para budak yang lemah.

فَأَمَّا مَنْ أَعْطَى وَاتَّقَى (5) وَصَدَّقَ بِالْحُسْنَى (6) فَسَنُيَسِّرُهُ لِلْيُسْرَى (7) وَأَمَّا مَنْ بَخِلَ وَاسْتَغْنَى (8) وَكَذَّبَ بِالْحُسْنَى (9) فَسَنُيَسِّرُهُ لِلْعُسْرَى (10) وَمَا يُغْنِي عَنْهُ مَالُهُ إِذَا تَرَدَّى (11) إِنَّ عَلَيْنَا لَلْهُدَى (12) وَإِنَّ لَنَا لَلْآخِرَةَ وَالْأُولَى (13) فَأَنْذَرْتُكُمْ نَارًا تَلَظَّى (14) لَا يَصْلَاهَا إِلَّا الْأَشْقَى (15) الَّذِي كَذَّبَ وَتَوَلَّى (16) وَسَيُجَنَّبُهَا الْأَتْقَى (17) الَّذِي يُؤْتِي مَالَهُ يَتَزَكَّى (18) وَمَا لِأَحَدٍ عِنْدَهُ مِنْ نِعْمَةٍ تُجْزَى (19) إِلَّا ابْتِغَاءَ وَجْهِ رَبِّهِ الْأَعْلَى (20) وَلَسَوْفَ يَرْضَى (21)

5. Maka barangsiapa memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertakwa, 6. dan membenarkan (adanya pahala) yang terbaik (surga), 7. maka akan Kami mudahkan baginya jalan menuju kemudahan (kebahagiaan), 8. dan adapun orang yang kikir dan merasa dirinya cukup (tidak perlu pertolongan Allah), 9. serta mendustakan (pahala) yang terbaik, 10. maka akan Kami mudahkan baginya jalan menuju kesukaran (kesengsaraan), 11. dan hartanya tidak bermanfaat baginya apabila dia telah binasa. 12. Sesungguhnya Kamilah yang memberi petunjuk, 13. dan sesungguhnya milik Kamilah akhirat dan dunia itu. 14. Maka Aku memperingatkan kamu dengan neraka yang menyala-nyala, 15. yang hanya dimasuki oleh orang yang paling celaka, 16. yang mendustakan (kebenaran) dan berpaling (dari iman). 17. Dan akan dijauhkan darinya (neraka) orang yang paling bertakwa, 18. yang menginfakkan hartanya (di jalan Allah) untuk membersihkan (dirinya), 19. dan tidak ada seorang pun memberikan suatu nikmat padanya yang harus dibalasnya, 20. tetapi (dia memberikan itu semata-mata) karena mencari keridaan Tuhannya Yang Mahatinggi. 21. Dan niscaya kelak dia akan mendapat kesenangan (yang sempurna).

Dalam Tafsir Ibnu Katsir (14/376-377) dijelaskan bahwa sifat dermawan Abu Bakar tersebut hingga mendapat protes dari ayahnya, Abu Quhafah. Ayah Abu Bakar tersebut berkata kepada sang anak, “Wahai anakku, aku melihatmu membeli budak yang lemah dan memerdekakannya. Sekiranya yang engkau beli dan merdekakan adalah budak yang kuat, niscaya dia mampu berusaha sendiri tanpa butuh bantuanmu dan di kemudian hari dia bisa menjadi pengawal dan pelindungmu.”

Sayyidina Abu Bakar ash-Shiddiq kemudian menjawab, “Wahai ayahku, aku hanya mengharapkan ganjaran berupa pahala di sisi Allah.” Lalu turunlah ayat, yang artinya, “Maka barang siapa memberikan hartanya di jalan Allah dan bertakwa…” (Q.S. al-Lail ayat 5 hingga akhir surah). (Tafsir at-Thabari 26/701)

Baca Juga: Tafsir Surah at-Taubah Ayat 40: Kisah Hijrah Abu Bakar

Ketakwaan dan Kedermawanan Abu Bakar

Tidak dipungkiri bahwa sahabat Abu Bakar as-Shiddiq adalah orang yang paling bersemangat untuk mengambil kesempatan dalam ketakwaan dan beramal. Terbukti dalam sejarah bahwa setiap yang diajarkan Rasulullah melalui turunnya ayat atapun hadis, beliau langsung mengimaninya dan melaksanakan amal saleh tersebut, termasuk untuk menafkahkan hartanya di jalan Allah. Dalam ayat lain seperti diriwayatkan pula oleh Ibnu Katsir, Alquran menyinggungnya dalam hal sedekah di surah al-Baqarah: 271.

Allah mengapresiasi Sayyidina Abu Bakar dalam surah al-Lail dengan menyebutnya sebagai seorang yang memiliki sifat a’tha yang berarti orang yang memberi dalam jumlah banyak. Itu karena sebagaimana dikatakan oleh Abdullah ibnu Zubair bahwa Abu Bakar adalah sahabat Nabi yang paling banyak memerdekakan budak. Kebanyakan dari budak-budak tersebut adalah budak yang lemah, orang tua, dan dari kalangan perempuan.

Sifat kedermawanan yang dimiliki Abu Bakar tersebut sejatinya sebab ketakwaannya kepada Allah sehingga Allah memberi beliau kelapangan rizki. Beliau membelanjakan hartanya bukan untuk kepentingan pribadi melainkan semata untuk memperjuangkan urusan agama-Nya. Di antaranya membebaskan budak-budak yang lemah.

Baca Juga: Belajar Kepada Abu Bakar tentang Ikhlas Memaafkan

Allah Memuliakan dan Mensucikan Abu Bakar

Lebih lanjut lagi, dalam ayat yang ketujuh belas hingga kedua puluh satu, Allah menyinggung Abu Bakar tentang balasan dari hal yang telah dilakukan oleh Abu Bakar. Inilah keistimewaan Abu Bakar berikutnya.

Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari Urwah bahwasanya ayat itu turun berkenaan dengan Abu Bakar ash-Shiddiq yang memerdekakan tujuh orang hamba sahaya. Mereka semua mendapat siksaan (dari orang kafir) karena beriman kepada Allah. Hal itu dilakukannya bukan karena mengharapkan balasan dan ucapan terimakasih dari mereka. (Tafsir al-Quran al-Adzim 10/341)

Sementara dalam Tafsir al-Munir (15/561), Ibnu Abbas menerangkan bahwa ayat ini turun menyangkut Abu Bakar yang membeli Bilal Ibn Rabbah yang kemudian menjadi muadzin Rasul. Beliau membelinya dengan harga yang sangat mahal dari Umayyah Ibn Khalaf yang sering kali menyiksanya.

Diriwayatkan bahwa Bilal saat itu bertanya kepada Abu Bakar, “Kamu membebaskanku untuk kepentinganmu atau untuk kepentingan Allah?” Dan jelas bahwa apa yang dilakukan Abu Bakar as-Siddiq itu adalah semata-mata untuk mencari ridha Tuhannya.

Sungguh hanya orang-orang yang mulia sebagaimana Sayyidina Abu Bakar yang dapat memiliki hati tersebut, dengan keimanan yang kuat menumbuhkan rasa berbagi kepada saudaranya, tidak ada keraguan ketika memberikan seluruh hartanya untuk tegaknya agama Islam.

Melalui ayat-ayat ini, umat Islam dapat mengambil beragam pelajaran dan teladan sifat-sifat mulia sahabat terkasih Rasulullah, yakni Abu Bakar ash-Shiddiq. Beliau menjadi contoh dalam ketulusan dan ikhlas, Abu Bakar dikenal karena kedermawanan dan ketulusan dalam menginfakkan hartanya dalam jumlah banyak. Beliau tak pernah khawatir sedikit pun akan ditimpa kebangkrutan dan kefakiran sebagaimana termaktub dalam ayat 18-20 surah al-Lail, kedermawanannya dilandaskan pada keikhlasan yang sangat dijiwainya.

Berkat semua amal dan ketakwaan Abu Bakar, Allah Allah menganugerahinya banyak kemuliaan dan bahkan beliau dijanjikan taman surga yang luas juga berada di sisi Rasulullah. Wallah a’lam.

Etika Tilawah Alquran Menurut Imam Abdullah Al-Haddad (Bagian 2)

0
etika membaca Alquran menurut Abdullah al-Haddad
etika membaca Alquran menurut Abdullah al-Haddad

Termasuk perbuatan agung dalam Islam sehingga perlu bagi setiap orang untuk menjaga sikap, yakni ketika membaca Alquran. Akhir-akhir ini, ada kalangan yang menganggap enteng dan tidak peduli terhadap norma yang berlaku, dan mengakibatkan mereka menyamakan membaca Alquran dengan membaca buku, novel, maupun bacaan-bacaan lain. Padahal, kualitas dan kuantitas Alquran dengan yang lain tentu memiliki disparitas yang signifikan. Sehingga, perlu kiranya mengulas kembali norma-norma yang hilang melalui petuah Abdullah Al-Haddad dalam kitab An-Nasha`ih ad-Diniyyah wa al-Washaya al-Imaniyyah.

Tulisan ini ingin melanjutkan pembahasan sebelumnya, dengan membahas bagian kedua dan ketiga terkait etika-etika yang perlu dipraktikkan ketika membaca Alquran:

Baca Juga: Etika Membaca Alquran Menurut Abdullah Al-Haddad (Bagian I)

Kedua, Merenungi Kandungan Ayat Alquran

Membaca Alquran dengan metode tadabbur (merenungi kandungan ayat), dan tafahhum (memahami kata per kata lafal Alquran) merupakan etika yang harus diterapkan. Ini karena perintah Allah yang termaktub dalam surah  Shad [38]: 29:

 كِتٰبٌ اَنْزَلْنٰهُ اِلَيْكَ مُبٰرَكٌ لِّيَدَّبَّرُوْٓا اٰيٰتِهٖ وَلِيَتَذَكَّرَ اُولُوا الْاَلْبَابِ ۝٢٩

(Alquran ini adalah) kitab yang Kami turunkan kepadamu (Nabi Muhammad) yang penuh berkah supaya mereka menghayati ayat-ayatnya dan orang-orang yang berakal sehat mendapat pelajaran.

Ath-Thabari dalam tafsirnya Tafsir Ath-Thabari menyatakan bahwa ayat di atas merupakan perintah Allah yang mengingatkan pada Nabi Muhammad agar menyuruh umatnya untuk merenungi isi dan kandungan, serta dalil-dalil yang terdapat dalam Alquran, serta segala hal yang telah disyariatkan kepada umat Muhammad, agar mereka mengetahui  sesuatu yang telah Allah janjikan.

Sedangkan dalam Tafsir Ibnu Katsir menafsiri ayat di atas sebagai perintah sebab turunnya Alquran agar manusia merenungkan ayat-ayatnya, dengan cara memahaminya, menalarnya, dan mengkajinya dengan cermat, hingga mereka memahami jenis-jenis petunjuk di dalam Alquran, dan apa yang ada di dalamnya. Tak luput pula dalam ayat di atas terdapat anjuran bagi orang-orang yang berakal sehat untuk mengambil pelajaran guna menjauhi segala perbuatan maksiat yang mencacatkannya.

Baca Juga: Pesan al-Ḥaddād untuk Penanya dan Orang yang Ditanya

Ibnu Katsir mengatakan bahwa selain ayat di atas, masih banyak ayat-ayat yang menyinggung pentingnya bertadabbur dalam membaca Alquran, seperti ayat yang mencela golongan yang tidak menghayati Alquran yang dijelaskan dalam surah Muhammad [47]: 24:

اَفَلَا يَتَدَبَّرُوْنَ الْقُرْاٰنَ اَمْ عَلٰى قُلُوْبٍ اَقْفَالُهَا

Maka tidakkah mereka menghayati Alquran ataukah hati mereka sudah terkunci.

Abdullah Al-Haddad melanjutkan nasihatnya dengan mengutip perkataan Sayyidina Ali:

Tidak ada kebaikan bagi bacaan Alquran orang-orang yang tidak merenung”

Beliau membenarkan pepatah tersebut dengan alasan bahwa Alquran diturunkan tidak lain agar menjadi tempat perenungan atau meditasi bagi manusia. Karena, hanya dengan cara demikian maksud dari Alquran akan tersampaikan, sehingga manusia dapat mengamalkan isi dari Alquran secara baik.

Sebagian ulama salaf mengatakan bahwa membaca Alquran dengan kadar yang sedikit sembari meratapi kandungan ayatnya lebih baik dari pada membaca banyak namun tidak direnungkan. Dalam kitab ini juga dikisahkan terdapat dua orang yang sedang membaca Alquran dalam waktu yang sama. Satu orang membaca surah Al-Baqarah, sedangkan yang lain mampu membaca Al-Baqarah dan Ali-‘Imran, padahal kadar waktu mereka berdua tidak berbeda, lalu ditanyalah mana yang lebih utama?

Abdullah Al-Haddad menjawab pertanyaan di atas bahwa yang lebih utama ialah orang yang pertama. Alasannya, karena tentu orang pertama tidak hanya sekedar membaca, melainkan juga merenungi dan mencoba menangkap maksud dari Tuhan, dan ini yang membuatnya lebih unggul. Sementara, dapat diketahui bahwa pembaca kedua tidaklah melakukan seperti pembaca pertama yang membaca Alquran sembari diresapi ayat per ayatnya, dikarenakan durasi waktu yang dijalani oleh keduanya tidak berbeda.

ketiga, Metode Abdullah Al-Haddad Bertadabbur Melalui Ayat Alquran

Oleh karena itu, dalam kitab Nasihat Agama dan Wasiat Iman, Abdullah Al-Haddad ini sangat menganjurkan setiap Muslim tatkala membaca Alquran untuk merenungi, memahami, serta menangkap maksud dari setiap ayat yang dibacanya. Cara efisiennya menurut beliau, yakni ketika selesai membaca satu ayat, ia berhenti untuk memikirkan apakah kandungan ayat tersebut berisi sebuah perintah, larangan, nasihat, dll.

Baca Juga: Adab Lahiriah dan Adab Batiniah dalam Membaca Al-Quran

Jika ayat tersebut berisi sebuah perintah atau larangan, maka seseorang harus merefleksikan isi dari ayat tersebut kepada perbuatan diri sendiri. Apakah, ia sudah termasuk golongan orang-orang yang menaati perintah-Nya, orang yang menjauhi larangan-Nya, serta orang yang sudah selaras dengan apa yang dikatakan Alquran?

Jika ia sudah sesuai dengan kandungan Alquran tersebut, maka hendaknya ia bersyukur pada Allah karena selama ini telah diberikan pertolongan dan penjagaan. Sementara, jika ia bertentangan dengan isi ayat, dalam artian ia termasuk orang-orang yang tidak melaksanakan perintah Tuhan (lalai), maka ia diharuskan untuk memohon ampunan pada Allah dari segala perbuatannya serta bertekad untuk memperbaiki kesalahan-kesalahan yang telah diperbuat.

Dan jika ia membaca ayat-ayat yang berisi menyucikan atau menguduskan Tuhan (tauhid), maka ia dianjurkan berhenti untuk merenungi betapa agung dan mulianya Allah dengan menghadirkan perasaan yakin bahwa tidak ada Tuhan yang pantas disembah kecuali Allah semata.

Demikian pula jika seseorang ketepatan membaca ayat yang membahas orang-orang yang saleh, serta dijelaskan karakteristik, akhlak, serta kepribadian dari kekasih Allah tersebut, maka ia dianjurkan untuk memperhatikan itu semua untuk kemudian menirunya dengan mengaplikasikan pada semua tingkah lakunya.

Sementara, jika seseorang membaca ayat yang mengulas tentang sifat buruk dari musuh-musuh Allah berupa orang-orang kafir atau munafik, maka ia juga dianjurkan untuk melihat perbuatan-perbuatan mereka kemudian direnungkan, apakah ia sama atau tidak dengan mereka. Jika sama, tentu ia harus bersegera menghilangkan sifat tersebut. Dan apabila berbeda, maka ia dapat mengambil pelajaran untuk tidak mengikuti jejak orang-orang yang durhaka pada-Nya.

Hal itu semua, menurut Abdullah Al-Haddad tidak lain sebagai wujud dari bentuk syukur seorang hamba terkait tujuan dari turunnya Alquran itu sendiri, yakni menjadi petunjuk bagi segala hal yang berkaitan dengan urusan-urusan duniawi maupun duniawi, untuk kemudian menjadi bahan perenungan bagi mereka yang mau berpikir. Sebagaimana yang dijelaskan oleh ayat

 وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْكِتٰبَ تِبْيَانًا لِّكُلِّ شَيْءٍ وَّهُدًى وَّرَحْمَةً وَّبُشْرٰى لِلْمُسْلِمِيْنَࣖ ۝

“Kami turunkan Kitab (Alquran) kepadamu untuk menjelaskan segala sesuatu sebagai petunjuk, rahmat, dan kabar gembira bagi orang-orang muslim.”

Wallahu A’lam.

Perkawinan Dini Bukan Berarti Kehamilan Dini

0
Perkawinan Dini Bukan Berarti Kehamilan Dini

Ketika membicarakan masalah usia perkawinan dalam tulisan berjudul Polemik Batas Usia Perkawinan Anak, ada yang luput dari ulasan penulis. Dalam tulisan tersebut, penulis hanya mengulas seputar penyebab, pendapat mufasir, regulasi serta pendapat ahli terkait batas usia yang ditetapkan dalam perkawinan dini/anak.

Sebelumnya, perlu diketahui bahwa dalam tulisan ini frasa perkawinan dini dan perkawinan anak dimaksudkan untuk arti yang sama. Tulisan Angelina Nindiarti Jematu yang merujuk pada data Badan Pusat Statistik (BPS) dan WHO mengartikan perkawinan dini (early merried) sebagai pernikahan yang dilakukan oleh pasangan atau salah satunya masih terkategori anak-anak atau remaja di bawah usia 19 tahun.

Perkawinan dini umumnya dilangsungkan dengan dalil mencegah terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan dari hubungan dua insan, laki-laki dan perempuan, yang terlanjur dekat dibiarkan begitu saja. Satu hal yang amat sangat dihindari adalah terjadinya perzinaan di antara keduanya. Kendati muqaddimah (hal-hal yang mengantarkan kepada)-nya sejatinya juga masuk pada kriteria kemaksiatan yang semestinya mendapat perhatian yang sama.

Dalam keputusan yang dikeluarkan oleh Pengadilan Agama tentang dispensasi perkawinan, legitimasi yang digunakan dalam membolehkan perkawinan dini adalah kaidah fikih yang berbunyi,

دَرْءُ الْمَفَاسِدِ مُقَدَّمٌ عَلَى جَلْبِ الْمَصَالِحِ

“Menolak mafsadah (kerusakan) lebih didahulukan daripada menarik maslahat (kebaikan).”

Dalam bahasa Jalal al-Din al-Suyuthi pada Al-Asybah wa al-Nadza’ir-nya terdapat sedikit perbedaan redaksi sebagai berikut,

دَرْءُ الْمَفَاسِدِ أَوْلَى مِنْ جَلْبِ الْمَصَالِحِ

“Menolak mafsadah (kerusakan) lebih utama daripada menarik maslahat (kebaikan).”

Baca juga: Polemik Batas Usia Perkawinan Anak (Bagian 1)

Kaidah ini menurut Al-Suyuthi menjadi sub kaidah dari bagian kaidah utama al-dlarar yuzal, bahwa setiap kemudaratan harus dihilangkan. Sub kaidah ini memiliki isi kandungan yang sama dengan kaidah lain yang berbunyi,

إذَا تَعَارَضَ مَفْسَدَتَانِ رُوعِيَ أَعْظَمُهُمَا ضَرَرًا بِارْتِكَابِ أَخَفِّهِمَا

“Ketika terjadi pertentangan antara dua mafsadah maka dipilihlah mafsadah yang lebih kecil untuk menghindar dari mafsadah yang lebih besar.”

Perkawinan anak dalam konteks kaidah yang digunakan oleh Pengadilan Agama sejatinya memiliki muatan kemaslahatan di dalamnya, tetapi ia harus ditinggalkan demi menolak terjadinya mafsadah, yakni kemaksiatan yang berlarut-larut atau bahkan sampai terjadi perzinaan. Namun demikian, penulis memandang bahwa baik melangsungkan perkawinan anak atau pun menundanya sama-sama memiliki muatan mafsadah.

Baca juga: Pemikiran Musdah Mulia tentang Pernikahan Anak

Hanya saja, mafsadah dalam pelaksanaan perkawinan anak dianggap lebih kecil ketimbang harus menundanya. Hal ini karena perzinaan merupakan salah satu dosa besar yang sangat dihindari dalam syariat sebagaimana dijelaskan oleh Al-Suyuthi.

Bukti bahwa perkawinan anak juga memuat mafsadah adalah dampak negatif yang timbul darinya. Salah satunya adalah tingginya angka kematian dan keadaan tidak normal bagi ibu dan anak yang timbul dari kehamilan dan persalinan dini. Data BPS menunjukkan bahwa perempuan usia 10-14 tahun memiliki risiko kematian lima kali lebih besar daripada perempuan usia 20-24 tahun. Selain itu, dari total 8773 kelahiran di tahun 2019, 6404 kelahiran di tahun 2020, dan 7600 kelahiran di tahun 2021, persentase bayi lahir mati berada di atas 1% dan terus mengalami kenaikan.

Padahal, perkawinan dini yang terjadi tidak seharusnya meniscayakan kehamilan dan persalinan dini. Kecuali pada kasus tertentu ketika pihak perempuan telah hamil sebelum melangsungkan perkawinan. Kehamilan dini dapat dicegah melalui program KB. Sehingga tujuan dari perkawinan tetap dapat tercapai tanpa mengorbankan keselamatan ibu dan anak.

Baca juga: Childfree dan Tujuan Pernikahan dalam Tafsir Surah Ar-Rum Ayat 21

Dalam pandangan penulis, penundaan usia kehamilan yang juga berimbas pada penundaan persalinan dini ini memiliki landasan teologis yang cukup kuat. Sebuah kaidah fikih yang juga masih dalam satu rumpun kaidah al-dlarar yuzal menyebutkan,

مَا أُبِيْحَ لِلضَّرُوْرَةِ يُقَدَّرُ بِقَدْرِهَا

“Sesuatu yang boleh dilakukan dalam keadaan mendesak, dilakukan sesuai dengan kadar kebolehannya.”

Sehingga jika perkawinan dini dilakukan karena berada pada keadaan mendesak (darurat), maka jangan sampai merembet pada masalah lain, seperti kehamilan dan persalinan dini.

Persesuaian kaidah ini dengan masalah penundaan kehamilan bagi pasangan pernikahan dini didasarkan pada keharusan menyiapkan generasi yang unggul di masa depan sebagaimana dijelaskan dalam Q.S. An-Nisa’ [4]: 9,

{وَلْيَخْشَ الَّذِينَ لَوْ تَرَكُوا مِنْ خَلْفِهِمْ ذُرِّيَّةً ضِعَافًا خَافُوا عَلَيْهِمْ فَلْيَتَّقُوا اللَّهَ وَلْيَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا} [النساء: 9]

“Hendaklah merasa takut orang-orang yang seandainya (mati) meninggalkan setelah mereka, keturunan yang lemah (yang) mereka khawatir terhadapnya.”

Oleh karenanya, mereka yang terlanjur melangsungkan perkawinan dini tidak harus menjalani kehamilan dan persalinan dini karena pemberlakuan masing-masing kebijakan memiliki landasan, alur dan implikasi yang berbeda-beda sehingga tidak perlu dipertemukan. Wallahu a‘lam bi al-shawab. []

Tidur Panjang Ashabul Kahfi dalam Perspektif Medis

0
Tidur Panjang Ashabul Kahfi dalam Perspektif Medis

Ashabul Kahfi merupakan sebutan bagi sekelompok pemuda muslim yang mengasingkan diri ke sebuah gua karena tidak tahan dengan masyarakat lingkungannya yang enggan menyembah Allah. Yakni negara Amman, tepatnya di Sahab, hampir keseluruhan masyarakat masih kekeh menyembah berhala dan enggan mengikuti ajaran Islam. Menghadapi kondisi demikian, sekelompok pemuda beriman berjumlah tujuh tersebut pada akhirnya mengasingkan diri ke sebuah gua.

Berdasarkan surah al-Kahfi ayat 25, selama pengasingan diri di dalam gua, mereka tidur pulas dalam jangka waktu bertahun-tahun lamanya, lebih tepatnya 300 tahun Syamsiyah atau 309 tahun Qomariyah [Tafsīr Jalālayn, 384].

وَلَبِثُوْا فِيْ كَهْفِهِمْ ثَلٰثَ مِائَةٍ سِنِيْنَ وَازْدَادُوْا تِسْعًا

Mereka tinggal dalam gua selama tiga ratus tahun dan ditambah sembilan tahun.

Allah Membolak-balikkan Badan Mereka

Selama tidur panjang bertahun-tahun lamanya itu, Ashabul Kahfi tidak terlepas dari kasih sayang-Nya. Dalam kondisi terlelap panjang, badan mereka dibolak-balikkan oleh Allah, sebagaimana diceritakan dalam surah al-Kahfi ayat 18 berikut.

وَتَحْسَبُهُمْ اَيْقَاظًا وَّهُمْ رُقُوْدٌۖ وَّنُقَلِّبُهُمْ ذَاتَ الْيَمِيْنِ وَذَاتَ الشِّمَالِۖ وَكَلْبُهُمْ بَاسِطٌ ذِرَاعَيْهِ بِالْوَصِيْدِۗ لَوِ اطَّلَعْتَ عَلَيْهِمْ لَوَلَّيْتَ مِنْهُمْ فِرَارًا وَّلَمُلِئْتَ مِنْهُمْ رُعْبًا

Engkau mengira mereka terjaga, padahal mereka tidur. Kami membolak-balikkan mereka ke kanan dan ke kiri, sedangkan anjing mereka membentangkan kedua kaki depannya di muka pintu gua. Seandainya menyaksikan mereka, tentu engkau akan berpaling melarikan (diri) dari mereka dan pasti akan dipenuhi rasa takut terhadap mereka.

Pada bagian ayat wa nuqallibuhun żāt al-yamīn wa żāt al-syimāl, yang menjelaskan bahwa Allah membolak-balikkan badan mereka ke kanan dan ke kiri, menurut sebagian ulama salaf ialah badan mereka dibolak-balikkan setiap satu tahun dua kali. Adapun Ibnu Abbas mengatakan bahwa bilamana mereka tidak dibolak-balikkan oleh-Nya, niscahya mereka akan tertelan oleh bumi [Mukhtaṣar Tafsīr Ibnu Kathīr, 2/412] Karena gravitasi bumi dan gaya tektonik yang terus bekerja, bahkan dalam keadaan tubuh diam-pun, mampu memicu kerusakan struktur tubuh manusia.

Ibnu ‘Asyur dalam tafsirnya mengatakan bahwa Allah telah menjadikan mereka mengubah posisi mereka dari kanan ke kiri ataupun sebaliknya. Hal ini merupakan hikmah yang dapat berpengaruh terhadap kelangsungan hidup tubuh mereka dalam keadaan utuh [AlTaḥrīr wa al-Tanwīr, 15/281]. Sebagaimana dikatakan oleh al-Zuhaili dalam tafsirnya, hal ini supaya tanah tidak menyentuh tubuh mereka, dan kulit mereka terkena udara [Tafsīr al-Munīr, 15/223].

Selain itu, tindakan Allah yang membolak-balikkan tubuh Ashabul Kahfi menunjukkan bagaimana Allah menjaga mereka dari kerusakan fisik. Jika seseorang tidak bergerak dalam waktu lama, tubuhnya bisa mengalami berbagai masalah seperti tulang yang melemah atau aliran darah yang terhambat. Dengan membolak-balikkan tubuh mereka secara berkala, Allah memastikan tubuh mereka tetap dalam kondisi baik dan aliran darah tetap lancar.

Hikmah Medis dalam Pembalikan Tubuh Ashabul Kahfi

Proses tidur panjang Ashabul Kahfi dan pembalikan tubuh mereka yang dilakukan oleh Allah memiliki pelajaran penting yang dapat dikaitkan dengan ilmu medis modern, terutama dalam kaitannya dengan imobilitas jangka panjang. Ketika seseorang tidak bergerak dalam waktu lama, atau menetap badannya terlalu lama, seperti pada kondisi tidur atau koma, risiko terjadinya luka tekan (pressure ulcers) sangat tinggi.

Luka tekan atau luka baring merupakan luka di area kulit atau terkadang juga jaringan di bawahnya yang menjadi rusak akibat tekanan. Luka ini dapat muncul di area bertulang yang berhimpitan dengan kulit. Terbentuknya luka baring ini dipicu oleh pasokan darah ke kulit berkurang, sehingga kulit menjadi kekurangan oksigen dan nutrisi. Duduk maupun berbaring dalam posisi yang sama dalam jangka waktu yang sangat panjang, menjadi penyebab umum kondisi yang menyakitkan ini [Alzheimer dalam Setiap Tahapannya, 139].

Dalam kasus Ashabul Kahfi, khususnya di surah al-Kahfi menekankan bahwa tubuh mereka dibolak-balikkan oleh Allah. Ini menunjukkan perhatian khusus untuk mencegah efek negatif yang mungkin terjadi jika tubuh mereka tetap dalam satu posisi terlalu lama. Menurut medis, perpindahan posisi secara berkala memang penting dalam perawatan pasien yang tidak bergerak untuk menghindari komplikasi seperti infeksi, luka tekan, dan kerusakan jaringan.

Lebih dari itu, tindakan pembalikan tubuh mereka juga berperan dalam menjaga sirkulasi darah tetap lancar. Jika seseorang tidur dalam waktu lama tanpa bergerak, fungsi otot dan pembuluh darah bisa menurun. Dengan dibolak-balik, aliran darah ke seluruh tubuh tetap terjaga, kulit tidak rusak, dan risiko kerusakan otot maupun tulang dapat dihindari.

Wallāhu A’lamu.

Etika Membaca Alquran Menurut Abdullah Al-Haddad (Bagian I)

0
etika membaca Alquran menurut Abdullah al-Haddad
etika membaca Alquran menurut Abdullah al-Haddad

Imam Abdullah bin Alawi bin Muhammad Al-Haddad merupakan seorang wali Allah dan ulama’ dalam bidang fikih dan akidah berkebangsaan Yaman.  Beliau lahir di Tarim, pada tanggal 5 Safar 1044 H.

Tingkat kewalian Al-Imam Al-Haddad telah mencapai tingkatan Quthbul Ghauts (tingkat wali tertinggi), yang beliau pikul selama ± 60 tahun. Derajat ini beliau dapatkan karena kegigihan, keistikamahan, dan kebersihan hatinya. Karangan-karangan beliau juga cukup banyak dan bertebaran di pelosok nusantara, salah satunya yang sering dijadikan wiridan dan amalan sehari-hari yakni “Ratibul Haddad”.

Selain itu, beliau juga banyak menuangkan petuah-petuahnya dalam menggapai kebahagiaan dunia dan akhirat ke dalam bentuk kitab, salah satunya yakni An-Nasha`ih ad-Diniyyah wa al-Washaya al-Imaniyyah beberapa nasihat agama dan wasiat iman”.

Dalam kitab ini terdapat penjelasan tentang perkara-perkara yang wajib diketahui, semisal tentang akidah, hukum, hingga akhlak seorang Muslim. Untuk pembagian yang terakhir, beliau membahas etika yang seharusnya dipakai ketika mengerjakan sebuah pekerjaan. Salah satu yang ditekankan oleh beliau adalah etika membaca Alquran.

Baca Juga: Belajar Membaca Alquran; Dulu dan Sekarang

  • Anjuran Pentingnya Membaca Alquran

Sebelum masuk ke pembahasan terkait etika terhadap Alquran, Abdullah Al-Haddad merangsang umat Islam agar bisa mengerti terkait pentingnya membaca Alquran. Beliau menegaskan bahwa  membaca Alquran merupakan ibadah yang paling utama, bentuk pendekatan diri pada Tuhan yang paling agung, serta sebuah ketaatan yang tidak terhingga.

Untuk menguatkan argumennya, beliau mengutip banyak dalil, mulai dari ayat Alquran seperti surah Fathir [35] ayat 29 dan beberapa hadis seperti berikut.

قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَفْضَلُ عِبَادَةِ أُمَّتِي قِرَاءَةُ الْقُرْآنِ

 “Ibadah yang paling utama dilakukan oleh umatku adalah membaca Alquran” (H.R. al-Baihaqi)


عن عَبْدَ اللَّهِ بْنَ مَسْعُودٍ، يَقُولُ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَنْ قَرَأَ حَرْفًا مِنْ كِتَابِ اللَّهِ فَلَهُ بِهِ حَسَنَةٌ، وَالحَسَنَةُ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا، لَا أَقُولُ الم حَرْفٌ، وَلَكِنْ أَلِفٌ حَرْفٌ وَلَامٌ حَرْفٌ وَمِيمٌ حَرْفٌ

Diriwayatkan dari ‘Abdullah ibn Mas‘ud, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Siapa saja membaca satu huruf dari Kitabullah (Alquran), maka dia akan mendapat satu kebaikan. Sedangkan satu kebaikan dilipatkan kepada sepuluh semisalnya. Aku tidak mengatakan alif lâm mîm satu huruf. Akan tetapi, alif satu huruf, lâm satu huruf, dan mîm satu huruf,” (H.R. At-Tirmidzi).

Baca Juga: Tradisi Membaca Ayat Alquran secara Berulang-ulang

  • Dua Hal Yang Harus Di Perhatikan Ketika Membaca Alquran

Imam al-Haddad melanjutkan karangannya dengan menjelaskan tentang etika-etika dan adab yang perlu diperhatikan seorang Muslim tatkala membaca Alquran. Hal ini beliau bagi menjadi dua bagian. Dua bagian inilah yang akan diulas secara komprehensif.

Pertama, Meluruskan Niat.

Etika membaca Alquran yang pertama yaitu meluruskan niat. Menurut ulama asal Tarim ini, meluruskan niat adalah yang paling harus diperhatikan sejak awal. Niat yang dianjurkan tiada lain yaitu mengharap keridaan dan rahmat Tuhan, mendekatkan diri pada-Nya, atau mendapatkan keagungan pahala membaca Alquran.

Dengan kata lain, seseorang harus ikhlas ketika membaca  Alquran, tanpa ada embel-embel semisal mengharap mendapat pujian manusia, atau tujuan-tujuan duniawi lainnya yang malah menghilangkan kesakralan dari membaca Alquran.

Jiwa orang yang sedang membaca Alquran juga harus menyatu dengan kalam-Nya saat membaca Alquran sehingga disebut sebagai orang yang khusyuk. Caranya, yakni dengan menetralkan hati serta pikiran dari urusan-urusan duniawi dan fokus pada ayat Alquran yang sedang dibaca. Saking pentingnya khusyuk, sampai-sampai seseorang diperintahkan pada tingkatan seolah-olah ia sedang duduk di hadapan Tuhannya. Dan menurut Abdullah Al-Haddad, hal tersebut tidaklah sulit untuk diwujudkan, memandang manusia memiliki akal yang dapat digunakan untuk bernalar, sebagaimana sindiran dalam ayat Al-Hasyr [59] ayat 21,

لَوْ اَنْزَلْنَا هٰذَا الْقُرْاٰنَ عَلٰى جَبَلٍ لَّرَاَيْتَهٗ خَاشِعًا مُّتَصَدِّعًا مِّنْ خَشْيَةِ اللّٰهِۗ وَتِلْكَ الْاَمْثَالُ نَضْرِبُهَا لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُوْنَ ۝

“Seandainya Kami turunkan Alquran ini kepada sebuah gunung, pasti kamu akan melihatnya tunduk terpecah belah karena takut kepada Allah. Perumpamaan-perumpamaan itu Kami buat untuk manusia agar mereka berpikir.”

Dalam Tafsir Ibnu Katsir (hal. 79), Imam Al-Aufi meriwayatkan dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa “seandainya Allah menurunkan Alquran pada sebuah gunung lalu gunung tersebut memikulnya, maka niscaya akan retak dan hancur karena berat dan takutnya kepada Allah. Oleh karena itu, Allah memerintahkan manusia ketika Alquran diturunkan padanya, untuk khusyuk ketika membaca atau mengamalkan dengan menggunakan nalar, rasa, dan nuraninya dalam memahami Alquran.”

Artinya, gunung saja yang tercipta dari benda-benda kasar dan padat akan tunduk dan khusuk ketika dibacakan Alquran padanya, apalagi manusia yang hanya tercipta dari air dan lumpur tidak bisa sungguh-sungguh menjiwai dalam membaca Alquran?

Baca Juga: Perintah dan Keutamaan Membaca dalam Alquran

Selain itu, dalam kitab Nasihat Agama dan Wasiat Iman ini juga dijelaskan bahwa Allah memberikan karakteristik bagi mereka yang syahdu, khusyuk, serta merendahkan hati dengan petunjuk yang terdapat dalam surah Az-Zumar ayat 23:

اَللّٰهُ نَزَّلَ اَحْسَنَ الْحَدِيْثِ كِتٰبًا مُّتَشَابِهًا مَّثَانِيَۙ تَقْشَعِرُّ مِنْهُ جُلُوْدُ الَّذِيْنَ يَخْشَوْنَ رَبَّهُمْۚ ثُمَّ تَلِيْنُ جُلُوْدُهُمْ وَقُلُوْبُهُمْ اِلٰى ذِكْرِ اللّٰهِۗ ذٰلِكَ هُدَى اللّٰهِ يَهْدِيْ بِهٖ مَنْ يَّشَاۤءُۗ وَمَنْ يُّضْلِلِ اللّٰهُ فَمَا لَهٗ مِنْ هَادٍ ۝

Allah telah menurunkan perkataan yang terbaik, (yaitu) Kitab (Alquran) yang serupa (ayat-ayatnya) lagi berulang-ulang. Oleh karena itu, kulit orang yang takut kepada Tuhannya gemetar. Kemudian, kulit dan hati mereka menjadi lunak ketika mengingat Allah. Itulah petunjuk Allah yang dengannya Dia memberi petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki. Siapa yang dibiarkan sesat oleh Allah tidak ada yang dapat memberi petunjuk.

Penting untuk diketahui bahwa khusyuk merupakan perbuatan hati yang sulit untuk dapat diketahui secara kasat mata. Sehingga ayat di atas secara eksplisit ingin merepresentasikan ciri-ciri jiwa orang yang khusyuk, yakni mereka yang kulit dan hatinya gemetar sehingga menjadi lunak ketika mengingat Allah. Hal ini dapat terjadi kepada orang-orang yang membaca Alquran denngan niat yang ikhla dan lurus hanya untuk rida Allah.

Meskipun demikian, ternyata etika membaca Alquran yang pertama ini benar-benar harus diusahakan, tidak bisa datang begitu saja, karena Abdullah Al-Haddad dalam karyanya ini menganjurkan siapa pun untuk memohon kepada Allah agar dianugerahi sebagai orang yang khusyuk dalam melakukan semua ritual ibadah (termasuk membaca Alquran), karena Allah memberikan sifat khusyuk hanya pada mereka yang menjadi pilihan-Nya. Bersambung ke bagian II. Wallahu a’lam

Hukum Azimat dari Alquran untuk Doa Rabu Wekasan

0
hukum azimat dari Alquran
hukum azimat dari Alquran (sumber ilustrasi gambar: nu online)

Menjelang bulan Maulid, tepatnya di rabu terakhir bulan Safar (bulan sebelum Maulid), dalam tradisi masyarakat Islam Indonesia dikenal rabu wekasan, yakni waktu yang diduga diturunkan bala atau ujian.

Dalam rangka memohon keselamatan kepada Allah atas rabu wekasan ini, di samping melaksanakan ibadah seperti salat hajat dan berdoa, sebagian masyarakat ada yang membuat azimat dari Alquran (biasa di sebut jimat) dengan aturan tertentu dan ditulis di  sebuah benda seperti piring atau kertas lalu dicelupkan pada wadah air dengan harapan melindungi mereka dari segala musibah yang Allah turunkan pada hari tersebut.

Definisi Azimat menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia merupakan barang atau tulisan yang dianggap memiliki kekuatan gaib dan kesaktian untuk melindungi pemiliknya. Azimat juga dapat digunakan untuk menangkal penyakit dan tolak bala.

Azimat biasa digantungkan pada bagian anggota tubuh tertentu, kendaraan, bangunan, atau diaplikasikan seperti kasus yang disampaikan di awal. Hal yang ingin dibahas dalam tulisan ini adalah hukum terkait membuat azimat dari lafal Alquran, apakah dibenarkan menurut Islam, atau malah dikafirkan dengan alasan mengharap pada selain Tuhan?

Baca Juga: Rasm Alquran dalam Penulisan Rajah

Pro dan kontra ulama tentang kebolehan azimat dari Alquran

Pendapat ulama berbeda mengenai hal tersebut, terdapat pro kontra terkait kebolehan membuat azimat dari Alquran. Pihak yang menentang mengatakan bahwa membuat azimat dari Alquran itu dilarang karena hal tersebut dapat mengurangi keagungan dari Alquran itu sendiri, pasalnya, sering kali azimat yang dibuat dibawa ke tempat-tempat yang kotor atau najis.

Ketika seseorang ingin mendapat perlindungan dari Allah melalui Alquran, maka menurut kelompok ini cukup dengan membacanya dan mengamalkan dalam kehidupan sehari-hari.

Selain itu, membuat azimat sama halnya dengan mengharap pada selain Allah. Kalangan kontra mendasarkan argumennya dengan menyamakan azimat dengan tamimah (jimat) yang memang dilarang keras oleh Nabi, seperti dalam hadis yang didokumentasikan dalam al-Mustadrak Imam Al-Hakim:

عَنْ عُقْبَةَ بْنِ عَامِرٍ الْجُهَنِيِّ، أَنَّهُ جَاءَ فِي رَكْبِ عَشَرَةٍ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَبَايَعَ تِسْعَةً وَأَمْسَكَ عَنْ بَيْعَةِ رَجُلٍ مِنْهُمْ، فَقَالُوا: مَا شَأْنُ هَذَا الرَّجُلِ لَا تُبَايِعُهُ؟ فَقَالَ: «إِنَّ فِي عَضُدِهِ تَمِيمَةً» فَقَطَعَ الرَّجُلُ التَّمِيمَةَ، فَبَايَعَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ قَالَ: «مَنْ عَلَّقَ فَقَدْ أَشْرَكَ»

“Diriwayatkan dari Uqbah bin Amir ra, ada sepuluh orang lelaki datang menghadap Rasulullah Saw. dengan mengendarai kendaraan. Lalu Rasulullah membaiat sembilan orang di antara mereka, sedang yang satu tidak dibaiat. Para sahabat kemudian bertanya: “Ya Rasulullah mengapa yang satu orang itu tidak dibaiat?” Jawab Rasulullah: “Sebab di lengannya terdapat jimat.” Kemudian lelaki itu melepas jimatnya, dan Rasulullah pun membaiatnya. Kemudian Rasulullah Saw. bersabda: “Barang siapa memakai jimat maka dia telah musyrik.” (HR. al-Hakim)

Sementara, terdapat ulama lain yang menyangkal tuduhan di atas dengan memperbolehkan membuat azimat asalkan tujuan awalnya ialah bertabarruk dengan hal tersebut. Sebagaimana yang dikatakan Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam kitabnya Fathul Bari (6/124):

Semua hadis yang melarang menggantung azimat dan semacamnya adalah karena tidak ada penyebutan nama Allah. Adapun ketika terdapat penyebutan nama Allah, maka tidak ada larangannya. Selama, hal tersebut bertujuan untuk media bertabarruk dan berta’awwudz dengan nama Allah.”

Baca Juga: Beragam Bentuk Rajah dan Pandangan Para Ulama, Simak Penjelasannya

Ibnu Hajar Al-Haitami pernah mendapat pertanyaan terkait kebolehan membuat azimat yang tidak diketahui maknanya. Lantas beliau menjawabnya dalam kitab Fatawi al-Imam an-Nawawi,  dinukil dari pendapat imam al-Ghazali:

Bagi seseorang tidak dihalalkan melaksanakan sebuah perkara, sampai ia mengetahui tentang hukum Allah yang terkandung pada perkara tersebut”.

Pendapat demikian juga difatwakan oleh Syekh Izzuddin Ibn Abdissalam, beliau berfatwa: “Sesungguhnya menulis huruf-huruf yang masih tidak diketahui maknanya, untuk mengobati orang yang sakit hukumnya tidak boleh”.

Dari jawaban tersebut dapat diketahui bahwa menulis azimat haruslah dilakukan oleh orang yang mengetahui makna serta maksud dari ayat yang ditulis. Karena, jika orang awam yang menulis dikhawatirkan terjadi penyelewengan atau penyimpangan dari makna ayat Alquran.

Namun, hukum tidak diperbolehkannya ini, sebatas karena ditakutkan apabila ada sebagian azimat yang di dalamnya terdapat kata-kata kufur. Sedangkan apabila di dalamnya tidak terdapat kata-kata kufur maka hukumnya diperbolehkan.

Hal ini ditunjukkan oleh Nabi Saw. yang pernah mengizinkan rukyah (الرق) yang dilakukan oleh para sahabat. Saat itu Nabi SAW. ditanya tentang rukyah (الرق), beliau bersabda, “jelaskanlah padaku suwukmu sekalian”, lantas para sahabat pun menjelaskan. Setelah dijelaskan, Lalu Nabi SAW. bersabda “tidak masalah” [Fatawa al-Imam an-Nawawi. H. 200].

Argumen ulama yang memperbolehkan beralasan karena azimat merupakan ilmu hikmah yang lahir berbarengan dengan Islam itu sendiri. Menurut beberapa literatur sejarah, Alquran selain menjadi sebuah pedoman bagi kehidupan, ada pula yang dituliskan sebagai azimat. Dengan spesifik Imam Malik seperti yang dinukil dalam at-Tibyan fi Adabi Hamlatil Qur’an menerangkan bahwa:

وأما كتابة الحروف من القرأن فقال مالك لا بأس به إذا كان فى قصبة أو جلد وخرز عليه وقال بعض أصحابنا اذا كتب فى الخرز قرأنا مع غيره فليس بحرام ولكن الأولى تركه لكونه يحمل على الحدث واذا كتب يصان بما قاله الامام مالك رحمه الله

Menulis huruf-huruf Alquran itu tidak dilarang (tidak diharamkan), manakala di letakkan dalam botol atau ditaruh dalam bungkus kulit. Sebagian ulama berkata “bahwa tidak dilarang menuliskan Alquran bersamaan dengan yang lain sebagai sebuah azimat, akan tetapi lebih baik dihindari karena akan terbawa ketika hadas. Kecuali jika memang dapat dijaga dan tidak disia-siakan sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Malik”. Jika menuliskan huruf-huruf Alquran sebagai sebuah azimat diperolehkan dengan syarat tetap dijaga kehormatannya, maka menggunakan azimat itu sendiri pastilah tidak dilarang.

Baca Juga: Pengamalan Ayat Kursi: Era Nabi Muhammad hingga Kontemporer

Dalil lain yang menegaskan kebolehan membuat azimat datang dari ahli hadis dan ahli fikih dari Madinah sekaligus pembesar Tabi’in, yakni Said bin Musayyib yang tertera dalam karangan An-Nawawi Majmu’ Syarah Muhadzzab:

Imam Baihaqi meriwayatkan dengan sanad yang sahih dari Said bin Musayyib, bahwa dulunya Said bin Musayyib menyuruh menggantungkan azimat yang berisikan Alquran, dan dia berkata bahwa membuat azimat yang berisikan Alquran tidaklah dilarang”.

Dapat ditarik kesimpulan dari dalil-dalil di atas bahwa menulis azimat yang dilakukan oleh mayoritas kalangan umat Islam Indonesia merupakan sebuah tradisi yang sudah ada sejak dulu. Artinya, seseorang boleh-boleh saja membuat azimat, dengan beberapa catatan:

  1. Isi dari azimat ditulis menggunakan ayat Alquran
  2. Bertujuan untuk sekedar bertabarruk memohon perlindungan kepada Allah
  3. Ditulis oleh orang yang memahami maksud dari ayat yang ditulis, agar terhindar dari salah menafsiri ayat.
  4. Azimat tersebut tidak dibawa ke tempat-tempat yang hina atau mengandung unsur hadas.

Wallahu a’lam.

Manajemen Organisasi dalam Surah al-Shaff Ayat 4

0
Manajemen Organisasi dalam Surah al-Shaff Ayat 4

Kehidupan bermasyarakat selalu mengajarkan pentingnya hubungan antar sesama manusia untuk saling bantu-membantu. Ini menekankan bahwa manusia memang makhluk sosial yang tidak dapat hidup sendirian dalam menjalankan aspek kehidupan apapun. Sebagai salah satu bukti, ialah adanya sejumlah organisasi yang digerakkan masyarakat dengan beragam bidang masing-masing.

Dalam konteks ini, Islam juga memberikan pedoman mengenai pentingnya organisasi dan manajemen yang baik. Organisasi dalam Alquran identik dengan shaff dan ummat. Shaff dapat diartikan sebagai sebuah perkumpulan orang yang melakukan berbagai kegiatan dengan tujuan yang sama [Organisasi Manajemen Kesehatan, 3]. Allah menyukai orang yang terorganisir yang diumpamakan sebagai sebuah bangunan yang kokoh, sebagaimana diisyaratkan dalam surah al-Shaff ayat 4 berikut.

اِنَّ اللّٰهَ يُحِبُّ الَّذِيْنَ يُقَاتِلُوْنَ فِيْ سَبِيْلِه صَفًّا كَاَنَّهُمْ بُنْيَانٌ مَّرْصُوْصٌ

Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berperang di jalan-Nya dalam satu barisan, seakan-akan mereka suatu bangunan yang tersusun kukuh.

Baca Juga: Belajar Organisasi dari Semut dalam Surat An-Naml Ayat 18-19

Ayat di atas menceritakan tentang bagaimana strategi perang yang ideal.  Allah mencintai dalam artian menolong dan memuliakan, [Tafsīr Jalālayn, 738] bagi orang-orang yang berperang di jalan-Nya dalam satu barisan. Abu Ja’far dalam tafsirnya, barisan lurus tersebut seakan-akan mereka seperti bangunan yang ditumpuk, dikuatkan, dan disempurnakan sehingga tidak ada yang tertinggal [Tafsīr al-abarī, 22/611].

Dalam konteks ini, strategi perang yang ideal dalam ayat ini menekankan pentingnya kesatuan dan kedisiplinan dalam barisan. Allah memberikan pertolongan dan kemuliaan bagi siapapun yang berjihad di jalan-Nya dengan rapi dan teratur, seakan-akan mereka adalah satu bangunan yang kuat dan kokoh.

Abu Ja’far dalam Tafsir al-Ṭabarī menggambarkan bahwa barisan yang lurus dan terorganisir ini seperti bangunan yang tersusun sempurna, di mana setiap bagian saling menguatkan tanpa ada yang tertinggal. Hal ini menunjukkan bahwa dalam manajemen perang, kekompakan dan keteraturan menjadi kunci dalam meraih kemenangan dan mendapatkan ridha Allah.

Senada dengan al-Sa’di dalam tafsirannya, keteraturan barisan dalam berperang yang diorganisir oleh Rasulullah kepada para sahabat sesuai posisinya masing-masing, ditujukan supaya tidak ada ketergantungan antara satu dengan lainnya. Setiap kelompok memperhatikan posisinya dan menjalankan tugasnya masing-masing. Dengan demikian, pekerjaan menjadi lebih efisien dan berjalan dengan sempurna [Tafsīr al-Sa’dī, 858].

Dalam konteks manajemen organisasi, prinsip-prinsip yang diterapkan oleh Rasulullah dalam mengatur barisan perang dapat diadaptasi ke dalam pengelolaan sebuah organisasi. Keteraturan dan penempatan setiap individu sesuai dengan kemampuan masing-masing menunjukkan pentingnya perencanaan dan alokasi tugas yang sesuai dan juga tepat dalam sebuah organisasi.

Baca Juga: Ngaji Gus Baha’: Manajemen Keuangan dalam Perspektif Al Quran

Setiap anggota organisasi memiliki spesifikasi peran dan tanggung jawab masing-masing, yang bilamana dijalankan dengan baik, akan mengurangi ketergantungan berlebihan antara satu dengan yang lain dan memastikan bahwa setiap tugas diselesaikan dengan efisien. Sama seperti dalam perang, di mana setiap posisi dalam barisan harus kuat dan kokoh untuk menjaga keseluruhan formasi, dalam organisasi, setiap bagian harus menjalankan fungsinya secara optimal untuk sampai pada tujuan bersama.

Sejalan dengan Wahbah al-Zuhaili dalam tafsirnya, Allah memberikan petunjuk kepada orang-orang beriman tentang bagaimana mereka seharusnya bersikap dalam menghadapi musuh, yakni dengan memperlihatkan kekuatan, kesungguhan, dan tekad yang tidak tergoyahkan dalam melaksanakan perintah-Nya [Tafsīr al-Munīr, 28/163]. Sama seperti dalam peperangan, di mana kekuatan, kesatuan, dan keteguhan hati diperlukan, dalam organisasi pun diperlukan disiplin dan keteraturan agar setiap individu dapat menjalankan tugasnya dengan baik.

Hal ini menunjukkan bahwa organisasi yang sukses adalah organisasi yang memiliki manajemen yang baik, di mana setiap individu memahami peran masing-masing, serta mampu bekerja dengan disiplin dan teratur. Dengan demikian, kekompakan dan kesatuan dalam organisasi dapat terjaga, yang pada akhirnya akan membawa kepada efisiensi dan kesempurnaan dalam pencapaian tujuan. Prinsip ini tidak hanya relevan dalam konteks perang, tetapi juga dalam setiap aspek pengelolaan organisasi, baik dalam skala kecil maupun besar.

Wallāhu A’lamu.

Keadilan Ekonomi Nabi Syuaib: Pelajaran untuk Dunia Modern

0
Prinsip Keadilan Ekonomi Nabi Syuaib: Pelajaran untuk Dunia Modern
Prinsip Keadilan Ekonomi Nabi Syuaib: Pelajaran untuk Dunia Modern

Dalam zaman yang serba cepat dan penuh kompetisi ini, sering kali prinsip-prinsip etika bisnis terabaikan dalam upaya mengejar keuntungan. Namun, jika kita meluangkan waktu untuk menyelami kisah-kisah dari masa lalu, seperti kisah Nabi Syuaib, kita mungkin menemukan pelajaran yang mendalam dan relevan untuk tantangan-tantangan bisnis kontemporer. Kisah Nabi Syuaib yang diabadikan dalam Alquran, tidak hanya menawarkan narasi sejarah, tetapi juga memberikan refleksi yang tajam tentang keadilan dan integritas ekonomi.

Nabi Syuaib diutus kepada kaum Madyan dengan misi yang jelas, yaitu memperbaiki praktik perdagangan mereka yang tidak jujur. Dalam Q.S. Asy-Syu’ara [26]: 181-183), Nabi Syuaib mengingatkan kaumnya:

وَلَا تَبْخَسُوا۟ ٱلنَّاسَ أَشْيَآءَهُمْ وَلَا تَعْثَوْا۟ فِى ٱلْأَرْضِ مُفْسِدِينَ وَزِنُوا۟ بِٱلْقِسْطَاسِ ٱلْمُسْتَقِيمِ أَوْفُوا۟ ٱلْكَيْلَ وَلَا تَكُونُوا۟ مِنَ ٱلْمُخْسِرِينَ

“Sempurnakanlah takaran dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang merugikan orang lain. Timbanglah dengan timbangan yang adil. Janganlah merugikan manusia dengan mengurangi hak-haknya dan janganlah membuat kerusakan di muka bumi.”

Pesan ini jelas dan langsung. Nabi Syuaib mengecam penipuan dalam timbangan dan takaran, yang pada masa itu merupakan bentuk penipuan yang umum dalam perdagangan. Namun, inti dari pesan ini adalah tentang keadilan dan integritas yang seharusnya menjadi dasar setiap transaksi bisnis.

Baca juga: Kisah Nabi Syuaib dan Penduduk Madyan dalam Alquran

Di dunia modern, bentuk penipuan telah berkembang menjadi berbagai bentuk manipulasi yang lebih kompleks, seperti kecurangan laporan keuangan atau insider trading. Walaupun alat dan tekniknya telah berubah, prinsip dasar dari kisah ini tetap relevan. Justru, dengan kompleksitas dan globalisasi ekonomi saat ini, pentingnya menjaga kejujuran dalam bisnis menjadi semakin mendesak.

Misalnya, skandal keuangan besar-besaran seperti krisis subprime mortgage atau manipulasi pasar saham menunjukkan betapa bahayanya ketika prinsip-prinsip keadilan diabaikan. Keadilan ekonomi tidak hanya tentang mematuhi hukum atau peraturan, tetapi juga tentang etika dan tanggung jawab sosial. Ketika individu atau perusahaan mengabaikan prinsip keadilan demi keuntungan sesaat, dampaknya bisa sangat luas—mulai dari kerugian finansial bagi pihak lain hingga kerusakan pada kepercayaan publik terhadap sistem ekonomi.

Mengacu pada buku Fiqh al-Islami wa Adillatuhu oleh Dr. Wahbah al-Zuhaili, prinsip-prinsip keadilan dalam Islam bukan hanya tentang memenuhi kewajiban religius, tetapi juga tentang membangun masyarakat yang berfungsi secara adil dan harmonis. Dalam konteks bisnis, ini berarti menjalankan praktik yang transparan, adil, dan menghormati hak-hak semua pihak yang terlibat.

Baca juga: Kisah Nabi Syuaib dan Jihad Melawan Korupsi

Dalam argumen ini, saya percaya bahwa penerapan prinsip keadilan ekonomi yang diajarkan oleh Nabi Syuaib tidak hanya akan mencegah praktik-praktik penipuan, tetapi juga berkontribusi pada pembangunan ekonomi yang berkelanjutan. Keadilan dalam perdagangan menciptakan lingkungan yang mendukung inovasi dan investasi, yang pada gilirannya berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi yang sehat.

Dalam buku “Etika Bisnis Islam” oleh Prof. Dr. A. Karim Amrullah, dijelaskan bagaimana penerapan prinsip-prinsip etika dalam bisnis dapat menciptakan reputasi yang solid dan membangun kepercayaan di pasar. Perusahaan yang berkomitmen terhadap kejujuran dan transparansi lebih cenderung memperoleh loyalitas pelanggan dan kepercayaan investor, yang merupakan aset berharga dalam ekonomi global yang kompetitif.

Namun, tantangan terbesar dalam menerapkan prinsip-prinsip ini adalah perubahan budaya. Dalam banyak kasus, norma-norma bisnis yang sudah mengakar dan tekanan untuk mencapai target finansial dapat menyebabkan kompromi terhadap etika. Oleh karena itu, pendidikan etika bisnis, kepemimpinan yang berkomitmen terhadap nilai-nilai integritas, dan sistem pelaporan yang efektif sangat penting untuk menciptakan lingkungan yang mendukung keadilan ekonomi.

Baca juga: Perempuan dan Hak untuk Bekerja dalam Kisah Dua Putri Nabi Syu’aib

Kisah Nabi Syuaib menawarkan pelajaran yang tidak lekang oleh waktu tentang pentingnya keadilan dan integritas. Meskipun konteksnya mungkin berbeda, prinsip-prinsip yang diajarkan oleh Nabi Syuaib tetap relevan untuk dunia bisnis modern. Mengadopsi prinsip-prinsip ini tidak hanya membantu menghindari praktik penipuan, tetapi juga berkontribusi pada pembangunan ekonomi yang lebih adil dan berkelanjutan.

Dengan memahami dan menerapkan nilai-nilai ini, kita tidak hanya menghormati warisan kearifan kuno, tetapi juga berusaha untuk menciptakan dunia yang lebih adil dan harmonis untuk generasi mendatang. Keadilan ekonomi yang diilhami oleh kisah Nabi Syuaib dapat menjadi pilar utama dalam mencapai kesejahteraan yang lebih luas dan berkelanjutan dalam masyarakat global saat ini.