Beranda blog Halaman 28

Manusia Modern: Refleksi Qurani

0
Manusia Modern: Refleksi Qurani
Manusia Modern: Refleksi Qurani

Bagaimana memahami definisi manusia dalam konteks perkembangan zaman saat ini? Salah satu sumber yang memberikan panduan mendalam tentang esensi manusia adalah Alquran. Alquran memberikan arahan spiritual, yang juga mencakup nilai-nilai yang relevan untuk kehidupan sehari-hari. Dalam artikel ini, kita akan mengeksplorasi bagaimana Alquran mendefinisikan manusia dan relevansi definisi ini dalam konteks dunia modern.

Alquran menyebutkan dengan jelas martabat dan kehormatan yang diberikan kepada manusia. Dalam surah Al-Isra Allah berfirman, “وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِي آدَمَ” yang artinya, “Dan sesungguhnya Kami telah memuliakan anak-anak Adam.” (Q.S. Al-Isra [17]: 70). Penegasan ini menunjukkan bahwa manusia, sebagai ciptaan Allah, diberikan martabat dan kehormatan yang tinggi. Martabat ini mencakup dimensi moral dan spiritual.

Jadi nilai manusia tidak hanya terletak pada kemampuan intelektual atau pencapaian material. Akan tetapi, juga pada kapasitas untuk hidup sesuai dengan nilai-nilai moral yang ditetapkan oleh Allah. Dalam konteks manusia modern, peringatan ini relevan sebagai pengingat bahwa meskipun kita hidup di tengah kemajuan teknologi dan material, nilai-nilai kemanusiaan dan etika harus tetap menjadi pusat perhatian.

Baca juga: Penafsiran Strukturalis Semiotik Surah Al-Kahfi: Lima Model Manusia

Lebih jauh lagi, Alquran menggambarkan manusia sebagai khalifah di bumi. Seperti dinyatakan dalam surah Al-Baqarah ayat 30, وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَائِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي الْأَرْضِ خَلِيفَةً “Dan ketika Tuhanmu berfirman kepada malaikat, ‘Aku hendak menjadikan seorang khalifah di bumi.” Definisi ini menekankan tanggung jawab manusia untuk mengelola dan memelihara bumi dengan bijaksana.

Di tengah isu lingkungan global yang semakin mendesak, seperti perubahan iklim dan krisis sumber daya, tanggung jawab ini semakin relevan. Manusia modern dihadapkan pada tantangan besar dalam menjaga keseimbangan ekologis dan memastikan bahwa sumber daya alam digunakan secara berkelanjutan. Sebagai khalifah, manusia diharapkan untuk bertindak dengan tanggung jawab, tidak hanya demi kepentingan saat ini, tetapi juga untuk kesejahteraan generasi mendatang.

Alquran juga menekankan pentingnya akal sebagai alat untuk membuat keputusan moral yang baik. Dalam surah Al-Mulk (67: 2), Allah berfirman, الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا “(Dia) yang menciptakan kematian dan kehidupan untuk menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya.” (Q.S. Al-Mulk [67]: 2). Ayat ini menegaskan bahwa kehidupan adalah ujian dan manusia diberikan akal untuk membedakan antara yang baik dan yang buruk.

Baca juga: Alquran dan Problem Sosial Kemanusiaan Perspektif Cendekiawan Muslim Kontemporer

Dalam dunia modern yang kompleks, kemampuan untuk menggunakan akal secara bijaksana sangat penting. Ini mencakup pengambilan keputusan yang etis dan bertanggung jawab di berbagai bidang, mulai dari bisnis hingga hubungan sosial. Dalam konteks ini, Alquran mengajarkan bahwa kecerdasan harus diarahkan untuk kebaikan bersama dan tidak hanya untuk keuntungan pribadi.

Selain itu, Alquran mengakui kebebasan individu dan tanggung jawab pribadi. Dalam surah Al-Kahf ayat 29 diوَقُلْ الْحَقُّ مِنْ رَبِّكُمْ فَمَنْ شَاءَ فَلْيُؤْمِنْ وَمَنْ شَاءَ فَلْيَكْفُرْ. Artinya, “Dan katakanlah, ‘Kebenaran itu adalah dari Tuhanmu, maka barang siapa yang mau, hendaklah ia beriman, dan barang siapa yang mau, hendaklah ia kafir.” (Q.S. al-Kahf [18]: 29). Ayat ini menunjukkan bahwa kebebasan dalam memilih adalah hak setiap individu. Namun, dengan kebebasan tersebut datanglah tanggung jawab untuk memilih jalan yang benar.

Dalam konteks manusia saat ini, kebebasan ini mencakup hak untuk berpikir dan bertindak sesuai dengan keyakinan pribadi. Dan  harus diimbangi dengan kesadaran akan dampak dari keputusan tersebut terhadap diri sendiri dan orang lain.

Baca juga: Karya-karya Tafsir Bercorak Sosial di Era Modern

Dari perspektif ulama dan literatur Islam, kitab-kitab seperti Tafsir Al-Jalalain dan Fath al-Bari memberikan penjelasan mendalam mengenai ayat-ayat ini. Misalnya, dalam Tafsir Al-Jalalayn, penjelasan mengenai martabat manusia sering kali dikaitkan dengan tanggung jawab moral dan etika yang harus dipenuhi.

Kemudian dalam Fath al-Bari dijelaskan bahwa sebagai khalifah, manusia memiliki tugas untuk menjaga dan memelihara bumi serta mengelola sumber daya secara adil dan bijaksana. Buku-buku ini menggarisbawahi bahwa meskipun manusia diberikan kebebasan, kebebasan tersebut harus digunakan dengan tanggung jawab dan kesadaran penuh akan implikasinya.

Secara keseluruhan, definisi manusia menurut Alquran memberikan panduan yang relevan bagi kita di era modern. Dengan menekankan martabat, tanggung jawab, penggunaan akal, dan kebebasan dengan tanggung jawab, Alquran menawarkan kerangka kerja untuk menghadapi tantangan zaman modern sambil tetap berpegang pada nilai-nilai kemanusiaan yang fundamental. Panduan ini penting untuk memastikan bahwa kemajuan teknologi dan material tidak mengabaikan prinsip-prinsip etika dan moral yang mendasari keberadaan manusia.

Pola Ideal Rakyat dan Pemerintah Tentang Kebebasan Berpendapat

0
Pola Ideal Rakyat dan Pemerintah Tentang Kebebasan Berpendapat

Stabilitas pemerintah Indonesia saat ini sedang berada dalam fase yang tidak baik-baik saja. Pasalnya, banyak berita bertebaran yang mengabarkan bahwa banyak dari kalangan pemuda berbondong-bondong turun ke jalan untuk melancarkan aksi demo. Setelah ditelusuri, tujuan mereka berdemo yakni menyuarakan aspirasinya pada pemerintah agar konsisten dengan visi misinya, dan tidak gampang mengubah suatu aturan negara hanya demi kepentingan satu pihak. Hal ini mengindikasikan bahwa negeri ini menganut sistem demokrasi dimana seluruh elemen berhak untuk menyuarakan aspirasinya terhadap pemerintah.

Lantas, seperti apa moral etika yang seharusnya dipakai oleh rakyat sebagai pihak yang mengoreksi, dan pemerintah sebagai objek yang dikritik?

Baca Juga: Relasi Pemerintah dan Rakyat dalam Perspektif Alquran

Anjuran dan Kode Etik dalam Kebebasan Berpendapat

Di Indonesia, sistem pemerintah yang digunakan ialah demokrasi. Dalam kamus al-Ma’any, demokrasi diartikan sebagai salah satu bentuk kekuasaan di mana segala penetapan hukumnya diserahkan pada rakyat. Hal ini meniscayakan tumbuhnya keberanian dalam benak masyarakat Indonesia untuk mengoreksi segala tindakan yang dimunculkan pemerintah. Maka tidak salah jika protes bermunculan jika (semisal) kebijakan pemerintah bertentangan dengan Pancasila dan UUD 45 yang menjadi asas hukum Republik Indonesia.

Terkait kebebasan berpendapat sendiri memang telah mendapat legitimasi dalam Alquran surah An-Nisa’ [4]: 83:

وَاِذَا جَاۤءَهُمْ اَمْرٌ مِّنَ الْاَمْنِ اَوِ الْخَوْفِ اَذَاعُوْا بِهٖۗ وَلَوْ رَدُّوْهُ اِلَى الرَّسُوْلِ وَاِلٰٓى اُولِى الْاَمْرِ مِنْهُمْ لَعَلِمَهُ الَّذِيْنَ يَسْتَنْۢبِطُوْنَهٗ مِنْهُمْۗ وَلَوْلَا فَضْلُ اللّٰهِ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَتُهٗ لَاتَّبَعْتُمُ الشَّيْطٰنَ اِلَّا قَلِيْلًا ۝٨٣

Apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan (kemenangan) atau ketakutan (kekalahan), mereka menyebarluaskannya. Padahal, seandainya mereka menyerahkannya kepada Rasul dan ululamri (pemegang kekuasaan) di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya (secara resmi) dari mereka (Rasul dan ululamri). Sekiranya bukan karena karunia dan rahmat Allah kepadamu, tentulah engkau mengikuti setan, kecuali sebagian kecil saja (di antara kamu).

Imam Al-Qurtubi dalam tafsirnya Al-Jami’ lil Ahkam Alquran mengatakan bahwa jika dilihat dari konteksnya, ayat tersebut mengindikasikan bahwa seseorang diberi kebebasan untuk menyampaikan aspirasinya kepada pihak yang berwenang, dalam hal ini yakni umara’ (pemerintah).

Baca Juga: Kewajiban Taat Kepada Pemerintah dalam Tafsir Surat An-Nisa ayat 59

Selain itu, keharusan memberikan kritik dalam Islam agar bisa menjadi lebih baik sudah tertulis dalam Alquran. Allah swt berfirman dalam surah Ali ‘Imran ayat 104:

وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ

Dan hendaklah di antara kamu ada segolongan orang yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar. Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.

Meski begitu, ada beberapa etika yang harus dipakai oleh rakyat dalam mengkritik pemerintah. Kewajiban pertama bagi orang yang mengkritik adalah kritiknya harus berupa nasihat; bertujuan untuk melakukan amar makruf nahi mungkar; menyampaikan kritik dengan cara bijaksana, lemah lembut, dan prasangka yang baik; apa yang disampaikan harus berupa kejujuran dan kebenaran; menghindari prasangka buruk, memaki, mengutuk, mengejek, dan mencemooh, karena semua ini merupakan bagian dari dosa besar.” (Tim Fatwa, Darul Ifta Jordan, nomor fatwa: 3725, tanggal fatwa: 08-09-2022).

Etika Penguasa Ketika Menerima Sebuah Kritik

Tidak hanya rakyat yang harus sopan dalam menasihati, pemerintah pun juga harus bersikap legowo ketika menerima kritikan yang disampaikan relevan tanpa memandang kelas dan derajat orang yang mengkritik. Hal ini sebenarnya sudah praktikkan oleh Salafuna as-shalih, seperti Nabi Muhammad dan para Khulafa ar-Rasyidin yang merasa perlu mendapat kritik ketika mereka menjabat sebagai pemimpin.

Dalam buku 9 Resep Hidup Rasulullah karya Abdillah F. Hasan, diceritakan bahwa saat terjadi perang Badar, pasukan Muslimin berhenti di sebuah sumur yang bernama Badar dan Beliau memerintahkan untuk menguasai sumber air tersebut sebelum dikuasai musuh.

Baca Juga: An-Nisa Ayat 58: Menelusuri Pesan Al-Quran Untuk Para Pemimpin

Salah seorang sahabat yang pandai strategi perang, Khahab ibn Mundzir berdiri menghampiri Rasulullah SAW dan bertanya, “Wahai Rasulullah apakah penentuan posisi ini adalah wahyu dari Allah atau hanya strategi perang?”

Beliau menjawab, “Tempat ini kupilih berdasarkan pendapat dan strategi perang.” Kemudian Khahab menjelaskan, “Wahai Rasulullah, jika demikian tempat ini tidak strategis. Lebih baik kita pindah ke tempat air yang terdekat dengan musuh. Kita membuat markas di sana dan menutup sumur-sumur yang ada di belakangnya.”

“Kita buat lubang-lubang dekat perkemahan dan kita isi dengan air sampai penuh, sehingga kita akan berperang dan mempunyai persediaan air yang cukup. Sedangkan musuh tidak mempunyai persediaan air minum,” kata Khahab.

Ketika mendengar ada saran dan kritik terhadap pendapatnya, Rasul bukannya marah melainkan malah tersenyum dan menyetujui pendapat orang lain sembari berkata “Pendapatmu sungguh baik.”

Contoh lainnya datang dari keterbukaan Sayyidina Abu Bakar dalam menerima saran dan kritik yang termuat dalam pidatonya ketika ia baru saja dilantik, seperti dikutip dari Ahmad Sya’labi dalam Mausuah Tarikh al-Islami wa al-Hadharah al-Islamiyyah, sebagai berikut:

Wahai manusia, sesungguhnya aku telah diangkat menjadi pemimpinmu. Aku bukanlah orang yang terbaik di antara kalian. Jika aku berbuat baik, bantulah aku. Dan jika aku berbuat salah, maka luruskanlah. Taatlah kalian kepadaku selagi aku taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Bila aku durhaka kepada  Allah dan Rasul-Nya, maka aku tidak berhak untuk kalian taati.

Tidak sampai di situ, dikisahkan dalam Jami’ Al-Ahadis bahwa Sayyidina Ali pernah ditegur oleh seseorang menyangkut suatu persoalan, lalu beliau berkata:

Kamu benar, dan saya salah. Setiap orang yang punya ilmu, masih ada orang yang lebih berilmu”.

Dapat diambil kesimpulan bahwa seyogyanya para pemimpin mengambil teladan dari kisah-kisah inspiratif di atas. Mereka tidak boleh bersikap anti-kritik ketika menjadi seorang pemimpin. Di samping karena mereka ialah manusia biasa yang tak luput dari kesalahan, pada dasarnya, Islam merupakan agama yang mengandung unsur saling mengingatkan.

Hal ini terbukti ketika Alquran sangat menganjurkan untuk melakukan amar ma’ruf nahi mungkar dengan menjadikan muslim satu dengan yang lain ibarat sebuah teman yang harus diberikan nasihat ketika yang lain melakukan kesalahan, seperti dijelaskan dalam surah at-Taubah [9]: 71:

وَالْمُؤْمِنُوْنَ وَالْمُؤْمِنٰتُ بَعْضُهُمْ اَوْلِيَاۤءُ بَعْضٍۘ يَأْمُرُوْنَ بِالْمَعْرُوْفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَيُقِيْمُوْنَ الصَّلٰوةَ وَيُؤْتُوْنَ الزَّكٰوةَ وَيُطِيْعُوْنَ اللّٰهَ وَرَسُوْلَهٗۗ اُولٰۤىِٕكَ سَيَرْحَمُهُمُ اللّٰهُۗ اِنَّ اللّٰهَ عَزِيْزٌ حَكِيْمٌ ۝٧

Orang-orang mukmin, laki-laki dan perempuan, sebagian mereka menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh (berbuat) makruf dan mencegah (berbuat) mungkar, menegakkan salat, menunaikan zakat, dan taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka akan diberi rahmat oleh Allah. Sesungguhnya Allah Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.

Wallahu A’lam.

Kisah Nabi Zakariya dalam Alquran

0
Kisah Nabi Zakariya dalam Alquran
Kisah Nabi Zakariya dalam Alquran

Salah satu kisah Nabi yang disinggung dalam Alquran adalah kisah Nabi Zakariya. Setidaknya tiga surah dalam Alquran menceritakan cuplikan dari kisah tersebut. Tiga surah yang dimaksud adalah surah Ali Imran ayat 37-41; Maryam ayat 4-11, dan surah al-Anbiya’ ayat 89-90.

Berdasar pada tiga surah tersebut, diketahui bahwa narasi kisah Nabi Zakariya dalam Alquran selalu beriringan (baik setelah maupun sebelum) dengan kisah Maryam. Sebagai misal yaitu narasi kisah Nabi Zakariya di surah Ali Imran ayat 37-41,

فَتَقَبَّلَهَا رَبُّهَا بِقَبُولٍ حَسَنٍ وَأَنْبَتَهَا نَبَاتًا حَسَنًا وَكَفَّلَهَا زَكَرِيَّا كُلَّمَا دَخَلَ عَلَيْهَا زَكَرِيَّا الْمِحْرَابَ وَجَدَ عِنْدَهَا رِزْقًا قَالَ يَا مَرْيَمُ أَنَّى لَكِ هَذَا قَالَتْ هُوَ مِنْ عِنْدِ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يَرْزُقُ مَنْ يَشَاءُ بِغَيْرِ حِسَابٍ (37) هُنَالِكَ دَعَا زَكَرِيَّا رَبَّهُ قَالَ رَبِّ هَبْ لِي مِنْ لَدُنْكَ ذُرِّيَّةً طَيِّبَةً إِنَّكَ سَمِيعُ الدُّعَاءِ (38) فَنَادَتْهُ الْمَلَائِكَةُ وَهُوَ قَائِمٌ يُصَلِّي فِي الْمِحْرَابِ أَنَّ اللَّهَ يُبَشِّرُكَ بِيَحْيَى مُصَدِّقًا بِكَلِمَةٍ مِنَ اللَّهِ وَسَيِّدًا وَحَصُورًا وَنَبِيًّا مِنَ الصَّالِحِينَ (39) قَالَ رَبِّ أَنَّى يَكُونُ لِي غُلَامٌ وَقَدْ بَلَغَنِيَ الْكِبَرُ وَامْرَأَتِي عَاقِرٌ قَالَ كَذَلِكَ اللَّهُ يَفْعَلُ مَا يَشَاءُ (40) قَالَ رَبِّ اجْعَلْ لِي آيَةً قَالَ آيَتُكَ أَلَّا تُكَلِّمَ النَّاسَ ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ إِلَّا رَمْزًا وَاذْكُرْ رَبَّكَ كَثِيرًا وَسَبِّحْ بِالْعَشِيِّ وَالْإِبْكَارِ (41)

Dia (Allah) menerimanya (Maryam) dengan penerimaan yang baik, membesarkannya dengan pertumbuhan yang baik, dan menyerahkan pemeliharaannya kepada Zakaria. Setiap kali Zakaria masuk menemui di mihrabnya, dia mendapati makanan di sisinya. Dia berkata, “Wahai Maryam, dari mana ini engkau peroleh?” Dia (Maryam) menjawab, “Itu dari Allah.” Sesungguhnya Allah memberi rezeki kepada siapa yang Dia kehendaki tanpa perhitungan. (37) Di sanalah Zakaria berdoa kepada Tuhannya. Dia berkata, “Wahai Tuhanku, karuniakanlah kepadaku keturunan yang baik dari sisi-Mu. Sesungguhnya Engkau Maha Mendengar doa.” (38) Lalu, Malaikat (Jibril) memanggilnya ketika dia berdiri melaksanakan salat di mihrab, “Allah menyampaikan kabar gembira kepadamu dengan (kelahiran) Yahya yang membenarkan kalimat dari Allah, (menjadi) anutan, menahan diri (dari hawa nafsu), dan seorang nabi di antara orang-orang saleh.” (39) Dia (Zakaria) berkata, “Wahai Tuhanku, bagaimana aku bisa mendapat anak, sedangkan aku sudah sangat tua dan istriku pun mandul?” (Allah) berfirman, “Demikianlah, Allah melakukan apa yang Dia kehendaki.” (40) Dia (Zakaria) berkata, “Wahai Tuhanku, berilah aku suatu tanda (kehamilan istriku).” Allah berfirman, “Tandanya bagimu adalah engkau tidak (dapat) berbicara dengan manusia selama tiga hari, kecuali dengan isyarat. Sebutlah (nama) Tuhanmu sebanyak-banyaknya dan bertasbihlah pada waktu petang dan pagi hari.” (41)

Hubungan kerabat Nabi Zakariya dengan Maryam

Ibn Katsir dalam tafsir surah Maryam ayat 2 memberikan sedikit informasi tentang sosok Nabi Zakariya. Dijelaskan bahwa Nabi Zakariya adalah salah satu nabi dari Bani Israil, beliau seorang tukang kayu yang memenuhi kebutuhan hidupnya dari profresinya tersebut.

Dalam surah Ali Imran ayat 37 diinformasikan bahwa Nabi Zakariya lah perawat Maryam. Dijelaskan dalam Tafsir aṭ-Ṭabari bahwa ibu Maryam (Hanna bint Fāqūdz) wafat setelah melahirkan Maryam, sementara ayah Maryam wafat terlebih dahulu sebelum Maryam dilahirkan. Dengan demikian, Maryam sudah yatim piatu sejak kecil.

Selain sebagai perawat dan yang bertanggung jawab atas Maryam, Nabi Zakariya juga diceritakan dalam tafsir sebagai paman dari Maryam. Istri Nabi Zakariya adalah saudari perempuan dari ibi Maryam. Dengan demikian, Maryam masih kerabat dari Nabi Zakariya, yaitu keponakannya.

Baca Juga: Belajar Tentang Keteguhan Hati dari Doa-doa Nabi Zakaria

Termotivasi oleh kejadian yang dialami Maryam

Jika melihat dari cerita tentang doa Nabi Zakariya, yakni doa memohon untuk diberikan keturunan, dapat dipahami bahwa Nabi Zakariya hingga usia lanjut (dalam salah satu tafsir diterangkan usianya ketika itu adalah 70 tahun) belum mempunyai anak.

Kejadian ‘aneh’ yang dialami Maryam, yaitu selalu didapati makanan di sisinya, padahal tidak pernah diketahui ada yang keluar-masuk dari ruangan tersebut, membuat Nabi Zakariya bertanya-tanya, dan ketika dijawab oleh Maryam bahwa hal tersebut adalah rezeki dari Allah, Nabi Zakariya pun menjadi termotivasi untuk berdoa, memohon sesuatu yang menurutnya mustahil, tapi beliau yakin bagi Allah tidak ada sesuatu yang mustahil sepertu halnya memberi makanan kepada Maryam.

Nabi Zakariya kemudian berdoa dengan membawa segala kelemahannya, perihal dirinya yang sudah tua, istrinya yang mandul, memohon untuk diberikan keturunan yang baik.

Memohon seorang putra, dikaruniai seorang Nabi

Setelah dikabari bahwa Allah mengabulkan doanya, Nabi Zakariya masih juga belum percaya akan hal tersebut, karena mengingat usianya yang sudah lanjut, istri beliau juga dikatakan mandul. Namun lagi-lagi Allah menunjukkan kemahakuasaanNya. Bahkan di surah Maryam ayat 9 disampaikan bahwa hal yang demikian bagi Allah merupakan hal yang mudah,

قَالَ كَذَلِكَ قَالَ رَبُّكَ هُوَ عَلَيَّ هَيِّنٌ وَقَدْ خَلَقْتُكَ مِنْ قَبْلُ وَلَمْ تَكُ شَيْئًا (9)

Dia (Allah) berfirman ”Demikianlah.” Tuhanmu berfirman, ”Hal itu mudah bagi-Ku; sungguh, engkau telah Aku ciptakan sebelum itu, padahal (pada waktu itu) engkau belum berwujud sama sekali.”

Lebih dari itu, Nabi Zakariya yang hanya memohon keturunan untuk jadi penerusnya, Allah mengabulkannya dan menganugerahkannya tidak hanya seorang putra, tapi juga seorang Nabi yang diberi nama Yahya. Dijerlaskan pula dalam tafsir, seperti Tafsir aṭ-Ṭabari dan Tafsir Ibn Katsīr bahwa Nabi Yahya kelak adalah orang pertama yang mengimani kenabian Nabi Isa. Ini yang dimaksud dengan frasa muṣaddiq bi kalimat min Allah dalam ayat.

Baca Juga: Kisah Keluarga ‘Imran (Bag. 2): Nabi Zakariya dan Pengasuhan atas Maryam

Memperbanyak dzikir, syukur dan tasbih

Dalam Tafsir al-Qurtubi dijelaskan bahwa ketika istri Nabi Zakariya mengandung Nabi Yahya, Nabi Zakariya mulai tidak berbicara dengan seseorang, beliau saat itu lebih banyak membaca Taurat. Sementara dalam Tafsir Ibn Katsir, berdasar pada bunyi ayat, ketika istri Nabi Zakariya hamil, Nabi Zakariya diperintahkan untuk memperbanyak berdzikir, bersyukur dan bertasbih.

Demikian sedikit kisah Nabi Zakariya yang disinggung oleh Alquran. Kesabaran, ketabahan dan kepasrahan beliau kepada Allah dapat menjadi contoh dan teladan untuk kita semua. Wallah a’lam.

Tanggung Jawab Manusia atas Lingkungan dalam Surah al-Mulk Ayat 15

0
tanggung jawab manusia atas alam dalam surah al-Mulk ayat 15
tanggung jawab manusia atas alam dalam surah al-Mulk ayat 15

Surah al-Mulk ayat 15 menawarkan wawasan mendalam tentang hubungan antara manusia dan bumi, serta tanggung jawab yang menyertainya.

هُوَ الَّذِي جَعَلَ الْأَرْضَ ذَلُولًا لَّكُمْ فَامْشُوا فِي مَنَاكِبِهَا وَكُلُوا مِنْ رِزْقِهِ ۗ وَإِلَيْهِ النُّشُورُ

Dialah yang menjadikan bumi untuk kamu dalam keadaan mudah dimanfaatkan. Maka, jelajahilah segala penjurunya dan makanlah sebagian dari rezeki-Nya. Hanya kepada-Nya kamu (kembali setelah) dibangkitkan. (Q.S. al-Mulk [67] :15)

Surah al-Mulk ayat 15 menggambarkan bumi sebagai tempat yang telah diciptakan dengan kemudahan untuk memenuhi kebutuhan manusia. Allah menyatakan bahwa bumi telah dibuat “tunduk” atau “mudah” untuk manusia, menunjukkan desain ilahi yang harmonis dan memperhatikan kesejahteraan manusia. Kata “ذَلُولًا” (dhalūlan) menunjukkan bahwa bumi dilengkapi dengan segala yang dibutuhkan manusia, mulai dari makanan hingga tempat tinggal.

Tidak hanya kemudahan, dalam Tafsir Al-Jalalain dijelaskan bahwa ayat ini memberi pesan tentang tanggung jawab manusia terhadap bumi, yaitu menggunakannya dengan bijaksana. Segala rezeki dan kehidupan berasal dari-Nya, dan akan dipertanggungjawabkan di hari kiamat. Demikian lanjutan penjelasan dalam tafsir tersebut.

Baca Juga: Tafsir Surah Al-Mulk ayat 15 part 1

Dalam konteks ini, surah al-Mulk ayat 15 tidak hanya memberikan izin untuk menggunakan sumber daya bumi tetapi juga menekankan bahwa penggunaan tersebut harus dilakukan dengan kesadaran penuh akan tanggung jawab dan dampaknya.

Ibn Katsir juga memberikan pemahama yang hamper sama dengan Tafsir al-Jalalain. Dalam tafsir tersebut, penjelasan tentang ayat ini menekankan bahwa penggunaan bumi harus selalu disertai dengan kesadaran akan pertanggungjawaban akhirat.

“Ayat ini menunjukkan bahwa Allah telah menciptakan bumi dengan segala kemudahannya untuk kepentingan manusia dan bahwa manusia diperintahkan untuk memanfaatkannya sambil selalu ingat bahwa mereka akan dikembalikan kepada-Nya dan segala perbuatan mereka akan dipertanggungjawabkan.” Demikian penjelasan lebih lanjut dalam Tafsir Ibn Katsir.

Surah al-Mulk ayat 15 mengajarkan bahwa kita harus memanfaatkan sumber daya bumi dengan prinsip keberlanjutan dan tanggung jawab. Ini kemudian memunculkan prinsip pemanfaataan sumber daya alam dalam Islam, yaitu penggunaannya harus memperhatikan dampaknya terhadap lingkungan dan kesejahteraan manusia. Artinya, tindakan yang merusak lingkungan, seperti penebangan hutan secara ilegal atau pencemaran udara, bertentangan dengan ajaran ayat ini.

Prinsip ini sangat relevan dalam konteks masalah global saat ini, seperti perubahan iklim dan krisis biodiversitas. Surah al-Mulk ayat 15 mendorong kita untuk berpikir jangka panjang dan memperhitungkan dampak tindakan kita terhadap alam dan lingkungan di sekitar kita. Hal ini menekankan pentingnya mengadopsi praktik pengelolaan sumber daya yang berkelanjutan, seperti energi terbarukan dan teknologi ramah lingkungan untuk mengurangi dampak negatif pada ekosistem.

Ayat ini juga mengajarkan tentang konsep amanah dalam Islam. Konsep amanah ini tidak hanya berlaku pada hubungan antara sesama manusia, tapi juga hubungan manusia dengan alam. Sehala praktik dan tindakan manusia yang terkait dengan alam dan lingkungan, apa pun itu harus dipikirkan maslahat dan mudaratnya. Sebut saja praktik industry. Pertimbangan yang dilakukan tidak hanya kemaslahatan secara ekonomi, tetapi juga kemaslahatan ekologis, dan lainnya.

Dalam menghadapi tantangan lingkungan global, ajaran surah al-Mulk ayat 15 menawarkan panduan yang sangat berharga. Penggunaan sumber daya alam harus dilakukan dengan penuh kesadaran bahwa kita akan dimintai pertanggungjawaban di akhirat. Ini menegaskan pentingnya integritas dalam setiap keputusan yang diambil oleh setiap individu tentang pengelolaannya.

Baca Juga: Tafsir Surah Al-Mulk ayat 15 part 2

Surah al-Mulk ayat 15 menawarkan panduan yang sangat relevan dalam era modern, di mana tantangan pelestarian lingkungan menjadi semakin kompleks. Ayat ini mengajak kita untuk mengevaluasi kembali cara kita berinteraksi dengan bumi dan sumber daya alam lainnya. Kesadaran akan tanggung jawab spiritual dan etis yang diajarkan oleh ayat ini harus diterjemahkan ke dalam tindakan nyata yang mendukung keberlanjutan dan pelestarian lingkungan.

Sebagai contoh, dalam praktik sehari-hari, ini berarti mengadopsi kebiasaan yang mendukung keberlanjutan, seperti mengurangi konsumsi energi, mengelola limbah dengan bijaksana, dan mendukung inisiatif pelestarian lingkungan. Secara kolektif, ini juga berarti mendukung kebijakan dan praktik yang mempromosikan pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan dan bertanggung jawab.

Hal ini juga mengingatkan tentang tugas manusia terhadap alam, yaitu sebagai penjaga dan pelindungnya, bukan malah sebaliknya. Wallah a’lam.

Tafsir Q.S Albaqarah 2: 256 Perspektif Gus Dur: Kebebasan Beragama dan Toleransi dalam Islam

0
Tafsir Q.S Albaqarah 2: 256 Perspektif Gus Dur: Kebebasan Beragama dan Toleransi dalam Islam

Dengan memahami penafsiran Gus Dur terhadap surah Albaqarah ayat 256, tidak hanya memperkaya wawasan tentang prinsip kebebasan beragama dalam Islam, tapi juga mendapatkan panduan praktis untuk membangun masyarakat yang lebih adil dan harmonis di era global.

 لَا إِكْرَاهَ فِي الدِّينِ ۗ قَد تَّبَيَّنَ الرُّشْدُ مِنَ الغَيِّ ۗ فَمَن يَكْفُرْ بِالطَّاغُوتِ وَيُؤْمِنْ بِاللَّهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَىٰ لَا انْفِصَامَ لَهَا ۗ وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ

Tidak ada paksaan dalam agama. Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang salah. Maka barang siapa yang kafir kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, sesungguhnya dia telah berpegang pada tali yang sangat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Q.S Albaqarah [2]: 256)

Baca Juga: Tafsir Surah Al Baqarah Ayat 256: Islam Menjunjung Tinggi Kebebasan Beragama

Ayat di atas sering kali dijadikan dasar untuk mendiskusikan kebebasan beragama dalam Islam. Dalam konteks ini, penafsiran Abdurrahman Wahid (Gus Dur) memberikan perspektif yang sangat progresif dan relevan dengan tantangan kontemporer. Lalu, bagaimana Gus Dur menafsirkan ayat ini, dan apa kontribusinya terhadap pemahaman kebebasan beragama dalam Islam, serta tantangan dan argumen terkait penerapannya di dunia modern?

Gus Dur menawarkan tafsir yang mendalam dan inovatif terhadap surah Albaqarah ayat 256. Dengan menekankan bahwa ayat ini mencerminkan prinsip kebebasan beragama yang fundamental dalam Islam. Beberapa poin kunci dari penafsiran Gus Dur adalah: Pertama, kebebasan beragama sebagai hak asasi.

Menurut Gus Dur, ayat ini menegaskan bahwa kebebasan beragama adalah hak asasi manusia yang harus dihormati. Ia berpendapat bahwa iman dan praktik agama haruslah berdasarkan keyakinan pribadi, bukan paksaan. Menurutnya, “Kebebasan beragama dalam Islam adalah hak yang tidak bisa ditawar-tawar dan harus dihormati sebagai bagian dari hak asasi manusia.” (Wahid, Abdurrahman, Islam dan Pluralisme, 45).

Kedua, pluralisme dan toleransi. Islam, menurut Gus Dur, mengakui hak individu untuk memilih agama mereka dan mendukung kehidupan berdampingan dengan berbagai keyakinan dalam masyarakat. Ia menjelaskan, “Ayat ini seharusnya dipahami sebagai dasar untuk membangun masyarakat yang plural dan toleran, di mana perbedaan keyakinan harus dihargai.” (Wahid, Abdurrahman, Islam dan Pluralisme, 52).

Baca Juga: Tafsir Surat al-Baqarah Ayat 256: Arti Kata Tagut dalam Al-Quran

Dan ketiga, implementasi dalam konteks modern. Gus Dur mengaitkan tafsirnya dengan konteks sosial dan politik modern. Ia berpendapat bahwa prinsip kebebasan beragama dalam masyarakat kontemporer harus mencerminkan nilai-nilai pluralisme dan hak asasi manusia. Maka dari itu, perlu kiranya untuk menafsirkan ayat di atas sesuai dengan prinsip kebebasan beragama dengan standar hak asasi manusia internasional. (Wahid, Abdurrahman, Islam dan Pluralisme, 67).

Sebenarnya, penafsiran Gus Dur terhadap surah Albaqarah ayat 256 ini, berakar pada pemahaman bahwa kebebasan beragama adalah nilai inti dalam Islam. Gus Dur melihat ayat ini sebagai pernyataan bahwa iman tidak boleh dipaksakan, yang mendasari prinsip toleransi dan pluralisme dalam masyarakat.

Penekanan Gus Dur pada pluralisme dan hak asasi manusia menunjukkan bahwa ayat ini relevan dalam konteks modern, di mana kebebasan beragama menjadi isu global yang penting. Dalam Pemikiran Gus Dur dalam Perspektif Al-Qur’an (hlm. 89) Muhammad Ali mencatat, “Gus Dur membawa perspektif baru dengan menekankan pentingnya pluralisme sebagai bagian dari ajaran Islam yang autentik”.

Penafsiran Gus Dur yang lebih fleksibel dan inklusif terhadap ayat ini mengajukan argumen bahwa kebebasan beragama harus diterjemahkan dalam konteks pluralisme modern. Penafsiran ini mengusulkan bahwa masyarakat harus mengadopsi sikap terbuka dan menghargai perbedaan keyakinan.

Jadi, menurut penulis Ini penting untuk menciptakan lingkungan yang lebih harmonis dan adil, yang mendukung hak-hak individu dalam kerangka nilai-nilai universal hak asasi manusia. Mohammad Hashim Kamali dalam Prinsip-Prinsip Fikih Islam (hlm. 133) menjelaskan, “Penafsiran yang inklusif terhadap ayat ini berkontribusi pada pembentukan masyarakat yang lebih adil dan harmonis dengan mengakui hak individu untuk kebebasan beragama”.

Dalam dunia yang semakin global dan pluralistik, penting untuk menafsirkan ayat ini dengan pendekatan yang adaptif dan responsif terhadap perkembangan sosial dan budaya. Penafsiran Gus Dur menawarkan wawasan yang penting dalam memahami bagaimana prinsip kebebasan beragama dapat diterapkan dalam masyarakat yang beragam, sambil tetap menghormati prinsip-prinsip dasar Islam.

Baca Juga: Tafsir Kontekstual Gus Dur Seputar Moderasi Islam

Jadi, penafsiran Gus Dur terhadap surah Albaqarah ayat 256 menawarkan panduan yang penting dalam memahami kebebasan beragama dalam Islam. Dengan penekanan pada hak asasi manusia, pluralisme, dan toleransi, tafsir Gus Dur menjadi relevan dengan tantangan dan dinamika kontemporer. Meskipun penerapan prinsip kebebasan beragama dapat menghadapi tantangan, penafsiran progresif seperti yang diusulkan Gus Dur memberikan dasar untuk menciptakan masyarakat yang lebih inklusif dan harmonis.

Dengan demikian, menyelami tafsir Gus Dur terhadap surah Albaqarah (2:256) membawa pada pemahaman yang lebih dalam tentang esensi kebebasan beragama dalam Islam. Gus Dur mengajukan perspektif bahwa kebebasan beragama bukan hanya sebuah prinsip normatif, tetapi merupakan hak asasi manusia yang harus dihormati dan dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari.

Ekologi Qurani: Beralih dari Tafsir Teosentris ke Antroposentris

0
Ekologi Qurani: Beralih dari Tafsir Teosentris ke Antroposentris
Ekologi Qurani: Beralih dari Tafsir Teosentris ke Antroposentris

Krisis ekologi di Indonesia akhir-akhir semakin mengkhawatirkan. Ini karena manusia sebagai pemegang kekuasaan tertinggi (khalifah) mulai kehilangan hati nurani untuk menjaga lingkungan sebagai tugas yang diembannya. Mereka lebih mementingkan hawa nafsu dan hasrat pribadi dengan mengeksploitasi besar-besaran pada hasil bumi, tanpa mempertimbangkan dampak dan risiko yang dimunculkan.

Memang terdapat dua faktor dari kerusakan lingkungan, peristiwa alam dan ulah manusia. Akan tetapi, kerusakan lingkungan akibat manusia lebih sering terjadi karena dipicu oleh aktivitas manusia yang tidak ramah lingkungan dan menerapkan prinsip keberlanjutan. Kejadian tersebut semakin menguatkan perlunya mengkaji ulang ayat-ayat ekologi yang memerintahkan manusia untuk melestarikan habitatnya sebagai tempat ia melakukan segala aktivitas.

Metode yang digunakan ialah mengubah mindset dalam menafsirkan ayat-ayat dengan corak teosentris menggunakan metodologi antroposentris. Metode yang saat ini banyak digunakan para intelektual muslim kontemporer dalam menangani kasus-kasus aktual. Tujuannya adalah untuk menemukan konsep yang lebih ideal dan relevan terhadap kebutuhan zaman.

Memahami Teosentrisme dan Antroposentrisme

Menurut Nur Cholis Majid dalam bukunya “Islam Doktrin dan Peradaban Sebuah Telaah Kritis Tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan dan Kemodernan”, Teosentrisme berasal dari bahasa Yunani, theos, yang memiliki arti Tuhan; dan dari bahasa Inggris, center, yang berarti pusat. Teosentrisme mengacu pada pandangan bahwa sistem keyakinan dan nilai terkait ketuhanan secara moralitas lebih tinggi dibandingkan dengan sistem lainnya. Jelasnya teosentrisme di sini menjelaskan bahwa Tuhan sebagai pusat dari alam semesta. Teosentris di sini adalah kebalikan dari antroposentris. Manusia tidak mempunyai daya apa pun untuk melakukan perbuatannya karena semuanya sudah dikendalikan oleh Tuhan

Sementara, antroposentris atau anthropocentric berasal dari bahasa Yunani anthropikos, dari anthropos (manusia) dan kentron (pusat). Istilah ini membentuk sebuah pandangan yang mempertahankan bahwa manusia merupakan pusat dan tujuan akhir dari alam semesta. Mengacu kepada pandangan bahwa manusia merupakan pusat untuk berfungsinya alam semesta dan alam semesta menopang dan secara tahap demi tahap mendukung nilai-nilai itu.

Definisi di atas menjelaskan bahwa manusia menjadi pusat dari alam semesta. Artinya, pemahaman antroposentris mengindikasikan bahwa manusia diberi kebebasan dalam melakukan perbuatannya tanpa campur tangan Tuhan. Pandangan antroposentrisme beranggapan bahwa kehidupan manusia tidak berpangku tangan terhadap keputusan Tuhan, melainkan manusialah yang menentukan nasib dirinya sendiri.

Baca juga: Dakwah Berwawasan Ekologi sebagai Solusi Pelestarian Lingkungan

Namun, penting untuk dicatat bahwa antroposentris yang dimaksud dalam dunia tafsir modern bukan antroposentris sekuler seperti yang dianut orang-orang Barat, yakni yang mengklaim manusia sebagai penguasa tunggal yang dapat berbuat semena-mena. Melainkan, antroposentris yang diinginkan ialah antroposentris dialogis yang menghubungkan peran dan wewenang manusia dengan sekitarnya.

Pada umumnya, para penganut pemikiran teosentris cenderung tekstualis dan kaku dalam menafsirkan ayat-ayat Alquran. Berbeda dengan mufasir yang menggunakan metode antroposentris yang lebih menekankan pentingnya melihat asbab an-nuzul, kondisi dan situasi empiris, serta kebutuhan yang diinginkan saat ini.

Aplikasi dari Dua Konsep Tafsir

Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Misbah telah mempraktikkan corak tafsir yang lebih memihak pada manusia (antroposentrisme), daripada mufasir lain yang cenderung lebih mengarah pada pembelaan terhadap Tuhan (teosentrisme). Ini dapat dilihat ketika Quraish Shihab menafsiri ayat-ayat ekologi, seperti Alquran surah Ar-Rum[30] ayat 41:

ظَهَرَ الْفَسَادُ فِى الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ اَيْدِى النَّاسِ لِيُذِيْقَهُمْ بَعْضَ الَّذِيْ عَمِلُوْا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُوْنَ ۝٤١

Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan tangan manusia. (Melalui hal itu) Allah membuat mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka agar mereka kembali (ke jalan yang benar).

Imam al-Qurtubi dalam tafsirnya, “al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an”  (hal. 140), menjelaskan bahwa ada perbedaan ulama dalam menafsiri kata فساد pada ayat di atas. Menurut Qatadah arti lafal فساد adalah syirik dan itu adalah kerusakan yang paling tinggi. Sedangkan البر فساد menurut Ibnu Abbas, Ikrimah dan Mujahid diartikan sebagai Ibnu Adam yang membunuh saudaranya sendiri seperti Qabil yang membunuh Habil, sedangkan البحر فساد diartikan sebagai seorang raja yang mengambil setiap kapal yang ada di laut dengan paksa. Sedangkan Ibnu Abbas mengartikan فساد dengan hilangnya keberkahan atau berkurangnya keberkahan pada amal perbuatan seorang hamba.

Baca juga: Tugas Khalifah dan Krisis Ekologi: Tafsir Kiai Sahal Mahfudh [Bagian 1]

Sementara, Quraish Shihab dalam Tafsir al-Misbah (hlm. 76) memaknai ayat di atas lebih ramah dengan memaksudkan bahwa kerusakan di darat adalah kekeringan, paceklik, dan hilangnya rasa aman. Sedangkan kerusakan di laut adalah kekurangan hasil laut dan sungai. Makna فساد menurut Asfihani, seperti yang dikutip oleh Quraish Shihab adalah keluarnya sesuatu dari keseimbangan, baik sedikit maupun banyak. Beliau juga memberikan penafsiran tambahan yakni kekurangan dari segala hal yang dibutuhkan makhluk. Kata ini mutlak digunakan untuk menunjukkan apa saja baik jasmani, rohani, jiwa, maupun hal lain.

Dapat dirasakan perbedaan penafsiran dua ulama di atas, bahwa metode yang digunakan mufasir pertama masih sarat akan hegemoni “membela Tuhan” daripada “membela manusia”. Berbeda dengan mufasir kedua yang telah mengontekstualkan pemahaman ayat dengan realitas yang terjadi pada lingkungan saat ini. Hal ini dimaklumi, karena bisa saja konteks lingkungan para mufasir belum separah dengan konteks mufasir kedua.

Sementara, mufasir kedua menafsiri ayat di atas dengan paradigma ekologis, bahwa kerusakan di darat adalah paceklik dan kekeringan. Dan kerusakan di laut adalah hancurnya ekosistem laut. Makna ini cukup logis diterapkan melihat fenomena saat ini ketika manusia sudah tak segan-segan untuk mengeksekusi kekayaan alam secara membabi buta, sehingga muncullah kerusakan-kerusakan lingkungan.

Baca juga: Revitalisasi Nilai-Nilai Keagamaan dalam Upaya Melestarikan Lingkungan

Masih dalam kitab yang sama, Quraish Shihab menguatkan pandangannya untuk menjadikan manusia sebagai tokoh utama (antroposentris) dalam menafsirkan ayat-ayat ekologis, dengan mengutip potongan surah al-Araf [7] ayat 56:

وَلَا تُفْسِدُوْا فِى الْاَرْضِ

Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi.

Perintah ini, menurut beliau jelas mengarah pada “manusia” sebagai biang kerok adanya kerusakan di muka bumi. Ayat ini juga mengandung visi ekologis bahwa kelestarian lingkungan tergantung bagaimana manusia merawat dan menjaganya. Maka makna kerusakan (dalam ayat di atas) yang dimaknai Quraish Shihab sebagai sesuatu yang keluar dari keseimbangan bisa dimaknai secara ekologis bahwa sesuatu yang menghasilkan ketidakseimbangan maka akan rusak, semisal air sungai yang jernih akan tercemar akibat adanya praktik pertambangan yang dilakukan manusia.

Kesimpulannya, fenomena yang terjadi saat ini merupakan dampak yang dilakukan oleh manusia. Sehingga, perlunya beralih dari menafsirkan ayat-ayat ekologi menggunakan metode teosentris menuju antroposentris yang lebih memusatkan manusia sebagai objek kajian sehingga menciptakan nilai-nilai moral. Nilai moral yang telah diformulasikan diistilahkan dengan ekologi Qurani, yaitu nilai-nilai lingkungan yang diinspirasi dari kandungan Alquran. Ekologi Qurani ini menjadi basis sebagai acuan untuk berperilaku ramah lingkungan yang berdasarkan nilai Alquran.

Perdebatan Terkait Alasan Penetapan Hukum Islam

0
Maqasid al-Qur'an karya Abdul Karim Hamidi
Maqasid al-Qur'an karya Abdul Karim Hamidi

Alquran diturunkan menjadi sebuah pedoman dan tuntunan bagi seluruh umat manusia. Salah satu yang termuat dalam Alquran ialah penjelasan hukum-hukum Allah yang harus dipatuhi oleh umat Islam. Hukum tersebut menurut penjelasan Abdul Wahab Khalaf dalam kitab Ilmu Ushul al-Fikih terbagi menjadi tiga bagian, hukum keyakinan, moralitas atau etika, serta praktisi (amaliah).

Dalam dua pembagian awal, tak banyak ditemukan perdebatan ulama terkait pencarian alasan mengapa Allah mencantumkannya sebagai isi dari Alquran, yang lantas menjadi sebuah kewajiban untuk dipatuhi oleh manusia. Sementara, dalam hukum praktisi atau biasa disebut hukum fikih yang tersusun dari hukum peribadatan dan muamalah, barulah bermunculan seabrek perdebatan antaraliran mengenai pencarian alasan penetapan hukum (ta’lil al-ahkam).

Konsep ta’lil al-ahkam adalah sebuah konsep yang membimbing manusia untuk menangkap maksud dari Syari’ (Tuhan) secara benar, karena memang sebagian dari hukum Tuhan mengandung sebuah ‘illat yang bermuara pada maqashid as-syari’ah al-khams (lima tujuan utama syariat). Salah satu contohnya, alasan tentang adanya hukum qishas, yakni agar manusia terpelihara jiwa dan raganya (hifdu an-nafs). Selain itu, pencarian ‘illat atau alasan penetapan hukum di sini tak lain untuk mengetahui hikmah disyariatkannya hukum Tuhan, yang menjadikan kualitas ketaatan seseorang dalam beragama menjadi lebih kokoh.

Baca juga: Tujuan Hukum dan Perluasan Alat Bayar Fidiah Puasa

Penting untuk diketahui, bahwa penentuan ‘illat hukum merupakan objek kajian usul fikih yang hingga kini menjadi bahan perdebatan para ulama. Perdebatan ini menurut Alauddin dalam Mizan Al-Usul muncul dengan dilatarbelakangi perbedaan teologi atau usuluddin para mujtahid, yang menurut kalangan Hanafiyah, usul fikih merupakan cabang dari teologi tersebut. Perbedaan tersebut mengakar kuat ketika mereka membahas persoalan usul fikih. Sehingga, cara berpikir masing-masing tokoh tetap dengan keyakinannya meski sudah berbeda pembahasan.

Perdebatan muncul ketika ulama kalam memberikan pertanyaan-pertanyaan: bolehkah kita menentukan ‘illat dalam ketentuan/perbuatan Allah dengan maslahat atau hikmah? apakah Allah menetapkan sesuatu karena ada tujuan yang dicapai? atau apakah perbuatan Allah murni kehendak-Nya, tanpa terikat oleh ‘illat, tujuan, maupun hikmah?

Empat Pendapat tentang ‘Illat dalam hukum Islam

Dijelaskan dalam kitab Ta’lil Al-Ahkam (hal. 95-97) karangan Muhammad Musthafa Tsa’laby, terdapat empat aliran besar yang merespons hal ini dengan pendapat yang berbeda-beda. Aliran pertama diprakarsai oleh ulama Asya’irah yang meyakini bahwa tidak ada ta’lil dalam hukum Allah. Allah berbuat sesuatu semata-mata murni karena kehendak-Nya, tanpa memiliki tujuan yang membuat-Nya berbuat demikian. Selain itu, kelompok Asya’irah memandang perbuatan Allah tidak terikat dengan sesuatu. Sebab, ketika perbuatan-Nya terikat oleh sesuatu, maka sama halnya dengan membatasi kekuasaan Allah. Padahal, Allah telah menegaskan dalam surah Al-Maidah [5] ayat 1:

اِنَّ اللّٰهَ يَحْكُمُ مَا يُرِيْدُ ۝١

Sesungguhnya Allah menetapkan hukum sesuai dengan yang Dia kehendaki.

Setali tiga uang, Aliran kedua yang diisi oleh para filsuf juga meyakini bahwa tidak ada ta’lil dalam perbuatan Tuhan. Namun, mereka menyatakan ketika Allah mengerjakan sesuatu itu karena hal itu sudah menjadi kewajiban-Nya. Allah tidak mempunya pilihan lain selain berbuat demikian. Mereka menafikan sifat ikhtiyar dalam kuasa Allah.  Dibanding kelompok pertama, aliran ini lebih keras dalam menentang adanya ta’lil pada hukum Allah, sebab sebuah hikmah yang dapat diketahui dengan ta’lil al-ahkam hanya bisa terwujud ketika perbuatan tersebut bersifat bebas dan tanpa adanya paksaan.

Baca juga: Antara Maslahat dan Nas Alquran

Golongan ketiga, yang dipelopori oleh kalangan Mu’tazilah hadir sebagai antitesis dari kalangan Asya’irah. Mereka berpendapat bahwa wajib memberikan sebuah alasan pada seluruh aktivitas Allah. Oleh karenanya, ketika Allah menciptakan, berbuat, ataupun memerintahkan sesuatu pasti berdasarkan sebuah alasan. Lebih dari itu, Mu’tazilah meyakini bahwa Allah terikat hanya untuk mendatangkan manfaat pada makhluk-Nya. Maha suci Allah ketika muncul dari-Nya perbuatan hina. Allah maha adil yang ketika berbuat sesuatu harus mendatangkan yang terbaik bagi manusia. Demikian pandangan Mu’tazilah,

Mu’tazilah berani mengatakan demikian karena di samping memberikan porsi akal yang lumayan besar, mereka juga menampilkan ayat-ayat yang mengindikasikan bahwa Allah tidak akan mensyariatkan sesuatu yang merugikan manusia, seperti dinyatakan secara tersirat dalam surah At-Thalaq [65] ayat 1:

يٰٓاَيُّهَا النَّبِيُّ اِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاۤءَ فَطَلِّقُوْهُنَّ لِعِدَّتِهِنَّ وَاَحْصُوا الْعِدَّةَۚ وَاتَّقُوا اللّٰهَ رَبَّكُمْۚ لَا تُخْرِجُوْهُنَّ مِنْۢ بُيُوْتِهِنَّ وَلَا يَخْرُجْنَ اِلَّآ اَنْ يَّأْتِيْنَ بِفَاحِشَةٍ مُّبَيِّنَةٍۗ وَتِلْكَ حُدُوْدُ اللّٰهِۗ وَمَنْ يَّتَعَدَّ حُدُوْدَ اللّٰهِ فَقَدْ ظَلَمَ نَفْسَهٗۗ لَا تَدْرِيْ لَعَلَّ اللّٰهَ يُحْدِثُ بَعْدَ ذٰلِكَ اَمْرًا ۝١

Wahai Nabi, apabila kamu menceraikan istri-istrimu, hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) idahnya (yang wajar), dan hitunglah waktu idah itu, serta bertakwalah kepada Allah Tuhanmu. Janganlah kamu keluarkan mereka dari rumahnya dan janganlah (diizinkan) keluar kecuali jika mereka mengerjakan perbuatan keji yang jelas. Itulah hukum-hukum Allah. Siapa melanggar hukum-hukum Allah, maka sungguh, dia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri. Kamu tidak mengetahui boleh jadi setelah itu Allah mengadakan suatu ketentuan yang baru.

Baca juga: Progresivitas Umar bin Khattab Terkait Hukum dalam Alquran (Bagian 1)

Kelompok terakhir, direpresentasikan oleh aliran Maturidiyah. Kelompok ini diklaim sebagai aliran yang menjembatani dua poros pemikiran, antara Asya’irah dan Mu’tazilah. Jika Asya’irah lebih condong menggunakan naql, dan Mu’tazilah dengan akalnya, maka Maturidiyah hadir dengan mengombinasikan keduanya (naql dan akal) dalam porsi yang seimbang dalam memahami hukum Tuhan pada manusia.

Ini terbukti ketika mereka meyakini bahwa seluruh perbuatan Tuhan bersifat mu’allal, muncul karena suatu alasan dan berdasarkan tujuan, yakni menciptakan kemaslahatan bagi kehidupan manusia, baik di dunia maupun di akhirat. Kemaslahatan tersebut ada yang bisa dinalar oleh akal secara jelas (ma’qul al-ma’na), dan ada yang masih remang-remang atau tidak bisa dinalar sama sekali (goiru ma’qul al-ma’na). Berbeda dengan Asya’irah yang mengatakan bahwa perintah Tuhan tidak bisa dinalar sama sekali, dan Mu’tazilah yang melazimkan perintah Tuhan harus bisa dilogikakan.

Sehingga, menurut Maturidiyah, alasan penetapan hukum (‘illat) tetap berposisi sebagai tanda semata, tidak lebih. Sebuah alasan tidak lantas melarang perbuatan Tuhan untuk menciptakan hal yang buruk, atau malah mewajibkan Tuhan mendatangkan sesuatu yang bermanfaat bagi manusia. Sebab, bila itu terjadi, sama halnya dengan mengikat kuasa Tuhan dan ini bertentangan dengan prinsip Q.S. Al-Maidah [5]: 1 yang sudah dipaparkan di awal.

Wallahu a’lam.

Nilai-nilai Kemanusiaan dalam Puisi Jalaluddin Rumi

0
Nilai-nilai Kemanusiaan dalam Puisi Jalaluddin Rumi

Jalaluddin Rumi telah mewariskan sumbangan yang sangat besar bagi peradaban manusia dengan pemikirannya melalui syair-syair. Banyak ilmuan dan sarjana yang mencoba menggali pemikirannya dari berbagai sudut pandang keilmuan masing-masing, terutama dari sisi kemanusiaan.

Menurut Rumi, manusia pada hakikatnya bukan hanya sebagai diri yang bebas berkehendak (will to power) untuk menentukan keberlangsungan hidupnya melalui pemenuhan kebutuhan-kebutuhan biologis, tetapi juga sebagai cerminan Tuhan yang senantiasa diliputi oleh nilai-nilai Ilahiyah.

Baca Juga: Hakikat Perbuatan Baik terhadap Sesama Menurut Jalaluddin Rumi

Rumi dalam syairnya mengatakan

“Wahai engkau yang menjadi lembaran Tuhan,

dan wahai engkau yang menjadi cerminan keindahan Tuhan.”

(Diwan Syams Tabrizi, 1759)

Melalui baitnya di atas, Rumi sedang memberi isyarat bahwa manusia adalah manifestasi Tuhan yang paling sempurna. Hal ini sebagaimana dalam Q.S. Al-Hijr ayat 28, manusia adalah satu-satunya makhluk yang mendapatkan ruh Ilahi. Jiwa Ilahiyah ini kemudian menyatu dengan jasad dan membentuk kesatuan manusia yang dinyatakan oleh Allah dalam bentuk sebaik-baiknya ciptaan.

Kedua unsur ini (jasad dan jiwa) sama-sama pentingnya, namun secara spesifik Rumi menekankan hakikat manusia yang sebenarnya terletak pada aspek jiwanya. Rumi dalam hal ini mengutip Alquran yang menyatakan bahwa nilai kemanusiaan manusia ditentukan oleh jiwanya.

فَأَلْهَمَهَا فُجُورَهَا وَتَقْوَاهَا (8) قَدْ أَفْلَحَ مَنْ زَكَّاهَا (9) وَقَدْ خَابَ مَنْ دَسَّاهَا (10)

Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya. Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu. Dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya. (Q.S. as-Syams [91]: 8-10)

Baca Juga: Jalaluddin Rumi: Seni Mengatasi Patah Hati

Manusia adalah makhluk yang dianugerahi Allah dengan tabiat, potensi, dan kecenderungan ganda. Meskipun ia merupakan makhluk yang sempurna, yang ditiupkan ruh Allah ke dalamnya, tetapi manusia memiliki potensi yang sama kuat untuk melakukan tindakan positif atau negatif, mengikuti petunjuk atau kesesatan. (Tafsir as-Sya’rawi, 15/317)

Dalam puisinya, Rumi juga menjelaskan bahwa dalam diri manusia terdapat kekuatan yang kontradiksi, yaitu kecenderungan untuk berbuat jahat dan juga ada kecenderungan untuk bersikap baik.

“Terkadang manusia menyerupai sifat serigala,

di lain waktu manusia menjelma keindahan Yusuf”

(Matsnawi, bait 1420)

Annemarie Schimmel mengatakan bahwa menurut Jalaluddin Rumi, kedua potensi tersebut merupakan amanah dan tanggung jawab terhadap kebebasan individu untuk memilih tindakannya, karena ia telah dianugrahkan dengan kemampuan membedakan jalan mana yang benar dan salah. Adapun mereka yang mengabaikan anugrah berharga yang menjadi tanggung jawabnya, diibaratkan sebagai “cawan emas yang tersimpan di dalam kantung yang dipenuhi jerami”, dirinya tidak akan mendapatkan keuntungan. (I am Wind You are Fire, h. 92)

Sebab notabene-nya manusia memiliki potensi kemuliaan lebih daripada malaikat atau lebih buruk daripada binatang dan setan. Di samping itu amanah kedua potensi yang ada dalam diri dapat mengangkat derajat kemanusiaan manusia. Yaitu pada saat individu memiliki kesempatan untuk melakukan perbuatan fasik, tapi dia malah melakukan kebaikan, tentu saja kondisi ini, ia adalah makhluk yang mulia. Pilihan baik ini merupakan cerminan dari ruh yang ditiupkan Allah pada diri manusia. Kebaikan yang dilakukan manusia merupakan kemuliaan dibandingkan seluruh makhluk di alam ini termasuk malaikat.

Baca Juga: Tafsir Kemanusiaan Syekh Abdul Latif Syakur

Di samping potensi yang terdapat di dalam diri setiap individu, maka pada ayat 9-10 surah as-Syams juga diterangkan konsekuensi dari setiap tindakan. Berdasarkan ayat yang termaktub diatas, Allah mengilhami bahwa jalan kefasikan akan membawa pada kerusakan, sedangkan jalan ketakwaan akan mangantarkan pada hal-hal yang baik.

Sebagaimana pula diterangkan Wahbah al-Zuhaili, orang yang menyucikan, mendidik, dan meningkatkan dirinya dengan ketaatan dan amal kebaikan, maka dia beruntung. Sebaliknya, merugi bagi orang yang membiarkan dirinya mengikuti potensi negatif. (Tafsir al-Munir, 15/549) Tujuan dari disebutkannya konsekuensi ini untuk menegaskan bahwa setiap tindakan tidak lepas dari konsekuensinya. Di sisi lain, agar benih-benih kebaikan dapat tumbuh subur di bumi ini.

Maka dari itu, dengan jiwa yang di dalamnya ditiupkan unsur-unsur Ilahiyah hendaknya seseorang meniru sifat keindahan dengan memaksimalkan potensi untuk berbuat kebaikan. Di antaranya dengan memanusiakan manusia, mencurahkan kasih sayang kepada sesama, baik dengan bantuan materi maupun nonmateri kepada yang membutuhkan. Dan inilah pokok dari ajaran thariqah yang dirintis oleh Jalaluddin Rumi.[]

Kisah di Balik Surah al-Baqarah Ayat 58

0
kisah di balik surah al-Baqarah ayat 58
kisah di balik surah al-Baqarah ayat 58

Kisah di balik surah al-Baqarah ayat 58 ini bermula ketika Allah swt. memerintahkan Nabi Musa dan kaumnya, Bani Israil, untuk keluar dari Mesir menuju ke Baitul Maqdis. Allah telah mempersilakan mereka untuk menetap di sana. Namun sebelum itu, mereka harus mengalahkan suku yang mendiami wilayah itu.

Dengan kata lain, Allah memberikan kesempatan kepada Bani Israil untuk melakukan perang terlebih dahulu. Sebab, sebelumnya, mereka sering melakukan pembangkangan dan penyelewengan. Namun ternyata mereka menolak perintah itu dengan alasan suku Kan’an yang mendiami wilayah itu memiliki fisik yang lebih kuat sehingga tidak mungkin bisa mengalahkannya. Padahal jika mereka bertekad, tentu Allah akan menolongnya melalui Nabi Musa, sebagaimana Allah menolong mereka dari kejaran Fir’aun dan pasukannya di tengah lautan.

Bani Israil berkata kepada Nabi Musa bahwa mereka tidak akan memasuki wilayah itu, sebelum suku Kan’an keluar dari sana. Mereka menyuruh Nabi Musa dan Allah untuk memerangi mereka. Sedangkan mereka berdiam diri menunggu hasilnya. Keterangan ini terdapat di surah al-Maidah ayat 24.

Lagi-lagi perilaku mereka telah membuat sedih hati Nabi Musa. Dengan demikian, Allah pun mengharamkan mereka memasuki Baitul Maqdis. Sebagai balasannya, Allah menghukum Bani Israil di Padang Tih selama 40 tahun. Demikian kurang lebih penjelasan dalam buku Dahsyatnya Doa Para Nabi, 235-237.

Baca Juga: Jejak Bani Israil dan Tanah Palestina yang Dijanjikan

Dalam Taurat Tuhan Sempurna disinggung tentang Padang Tih. Tih berasal dari bahasa Arab yang artinya pengembaraan. Padang Tih adalah salah satu zona wilayah dataran tinggi yang cukup terpencil di Semenanjung Sinai. Secara geografis, Padang Tih merupakan bentangan alam yang kompleks, terdiri dari berbagai topografi, di antaranya rangkaian bebatuan kapur yang besar serta oasis.

Selama 40 tahun lamanya Bani Israil kebingungan di Padang Tih. Seperti kebanyakan padang pasir lainnya, tidak ada air dan tanaman, kecuali sangat sedikit sekali. Saat mereka mulai lelah, ke sana kemari tidak menemukan jalan keluar dan dibarengi dengan rasa lapar yang tiada henti, mereka memohon kepada Nabi Musa agar diberi makanan.

Nabi Musa akhirnya berdoa kepada Allah, dan Allah mengabulkannya. Bani Israil dinaungi dengan awan-awan agar mereka tidak kepanasan. Mereka juga dirizkikan Manna; makanan yang manis seperti madu dan berwarna putih yang setiap pagi mudah didapati karena ia melekat di batu-batu dan daun-daun kayu,  Salwa; sebangsa burung puyuh penuh daging yang datang berbondong-bondong sehingga mudah ditangkap, (Tafsir al-Azhar) dan mata air; yang bersumber dari batu yang dipukul dengan tongkat Nabi Musa. (Kisah-Kisah dalam al-Qur’an, 518-519)

Dalam kurun waktu 40 tahun itu, kepemimpinan Bani Israil telah dilimpahkan kepada Nabi Yusya’ bin Nun. Di bawah kepemimpinannya, Bani Israil berhasil menuju Baitul Maqdis. Sesuai dengan perintah Allah dalam surah al-Baqarah ayat 58, ketika memasuki pintunya mereka harus sujud seraya berkata hiṭṭatun (bebaskanlah kami dari dosa).

وَإِذْ قُلْنَا ادْخُلُوا هَٰذِهِ الْقَرْيَةَ فَكُلُوا مِنْهَا حَيْثُ شِئْتُمْ رَغَدًا وَادْخُلُوا الْبَابَ سُجَّدًا وَقُولُوا حِطَّةٌ نَغْفِرْ لَكُمْ خَطَايَاكُمْ ۚ وَسَنَزِيدُ الْمُحْسِنِينَ

Dan (ingatlah), ketika Kami berfirman: “Masuklah kamu ke negeri ini (Baitul Maqdis), dan makanlah dari hasil buminya, yang banyak lagi enak dimana yang kamu sukai, dan masukilah pintu gerbangnya sambil bersujud, dan katakanlah: “Bebaskanlah kami dari dosa”, niscaya Kami ampuni kesalahan-kesalahanmu, dan kelak Kami akan menambah (pemberian Kami) kepada orang-orang yang berbuat baik”.

Baca Juga: Runtuhnya Bani Israil: Ibrah Untuk Memulai dari Diri Sendiri 

Dalam Tafsir ath-Thabari, pintu hiṭṭah yang dimaksud adalah salah satu pintu Iliya’ di Baitul Maqdis. Sujud yang dimaksud adalah dengan rukuk, khusyuk dan tunduk. Sedangkan makna dari hiṭṭatun (bebaskanlah kami dari dosa) adalah kalimat lā ilāh illallāh, bisa juga yang dimaksud adalah kalimat istighfar.

Namun kenyataannya, Bani Israil lagi-lagi melakukan pembangkangan dan penyelewengan. Mereka tidak melaksanakan perintah Allah. Dalam penjelasan tafsir ayat selanjutnya, al-Baqarah ayat 59, Tafsir Ibnu Katsir menjelaskan bahwa mereka memasuki pintu itu dengan membelakangi dari arah pantat mereka, ada juga yang sambil mengangkat kepalanya. Tidak sampai di situ, mereka juga mengubah kalimat hiṭṭah menjadi hinṭatun fii syi’iiratin (biji-bijian di dalam gandum).

Kata hiṭṭah yang maknanya permohonan ampun kepada Allah diubah menjadi hinṭah yang artinya minta gandum kepada Allah. Menurut Hamka, hal itu menggambarkan bahwa mereka menundukkan kepala bukan bermaksud kerendahan hati kepada Allah karena wilayah itu sudah ditaklukkan, melainkan mereka hanya mengingat berepa puluh gandum yang akan mereka dapatkan dari merampas kekayaan penduduknya. Wallah a’lam.

Kodifikasi Tafsir Jalalain; Kritik Terhadap Penulis Kasyf al-Zunnun

0
Kodifikasi Tafsir Jalalain; Kritik Terhadap Penulis Kasyf al-Zunnun

Tafsir Jalalain merupakan kitab tafsir bi al-ra’yi yang masuk dalam kategori ja’iz. Bahkan para ulama sepakat bahwa kitab yang ditulis oleh guru dan murid—Jalal al-Mahalli dan Jalal al-Suyuthi—ini termasuk kitab tafsir bi al-ra’yi yang paling penting.

Hal ini didukung oleh apa yang disampaikan Manna al-Qattan dalam kitabnya Mabahits fi Ulum al-Qur’an. Al-Zarqani juga menulis pernyataan senada pada Manahil al-’Irfan fi Ulum al-Qur’an ketika mengomentari Tafsir Jalalain.

Baca Juga: Mengenal Dua Jalaluddin dalam Tafsir al-Jalalain

Sebagaimana lazim diketahui, al-Mahalli dan al-Suyuthi tidak memberi nama secara khusus pada tafsir karya keduanya. Penyematan nama Jalalain merupakan nisbat dari para ulama untuk kedua penulis tafsir ini.

Muhammad Abdurrahman al-Mara’isyili, guru besar tafsir Universitas Imam Awza’i, Lebanon, dalam tahkiknya terhadap Hasyiyah Shawi menyebutkan bahwa sebagian ulama memberi nama pada tafsir ini dengan Kitab al-Jalalain fi Tafsir al-Qur’an al-Adzim.

Kesalahpahaman Haji Khalifa Terhadap Penulisan Tafsir Jalalain

Haji Khalifa, seorang cendekiawan masyhur asal Ottoman dalam kitabnya Kasyf al-Zunnun an Asma’ Kutub wa al-Funun jatuh dalam kesalahpahaman ketika menjelaskan bagian masing-masing dari al-Mahalli dan al-Suyuthi dalam penulisan Tafsir Jalalain.

Baca Juga: Mengenal Hasyiah al-Shawi, Kitab Penjelas Tafsir al-Jalalain

Dalam kitabnya, Khalifa menulis bahwa bagian awal Tafsir Jalalain hingga surah Al-Isra’ merupakan tulisan dari al-Mahalli. Setelah wafatnya al-Mahalli, penafsiran tersebut kemudian dilanjutkan oleh muridnya, al-Suyuthi.

Pernyataan ini dibantah Husein al-Dzahabi dalam karya magnum opusnya, al-Tafsir wa al-Mufassirun. Al-Dzahabi menyatakan bahwa penulis Kasyf al-Zunnun itu telah keliru dalam memahami pernyataan al-Suyuthi pada kata pengantar Tafsir Jalalain.

Al-Dzahabi lantas mengutip dan mengomentari kata pengantar Tafsir Jalalain dari al-Suyuthi, “…dan ini adalah penyempurna dari apa yang ditinggalkan oleh al-Mahalli—dan al-Suyuthi akan menyempurnakannya—dari awal surah Al-Baqarah hingga akhir surah Al-Isra’.”

Penafsiran al-Dzahabi terhadap kata pengantar tersebut didukung oleh pernyataan al-Suyuthi sendiri di akhir surah Al-Isra’, “Ini adalah akhir dari penyempurnaanku terhadap tafsir yang ditinggalkan oleh syekh al-Mahalli.”

Baca Juga: Tafsir Jalalain dan Sederet Fakta Penting Tentangnya

Tulisan di akhir tafsir Al-Isra’ ini yang luput diperhatikan Khalifa sehingga membuatnya keliru dalam memahami bagian-bagian yang ditulis oleh al-Mahalli dan al-Suyuthi. Khalifa juga menyatakan bahwa penulisan tafsir Al-Fatihah dilakukan oleh al-Suyuthi, bukan al-Mahalli.

Pernyataan Khalifa tersebut terbantahkan oleh tulisan Sulaiman bin Umar al-Jamal dalam al-Futuhat al-Ilahiyah, “Adapun Al-Fatihah ditafsirkan oleh al-Mahalli. Penempatan Al-Fatihah di bagian belakang oleh al-Suyuthi bertujuan agar tafsir tersebut tergabung dengan penafsiran al-Mahalli,”

Al-Jamal kemudian melanjutkan, “Sesungguhnya—al-Mahalli—ketika memulai tafsir separuh pertama, ia memulainya dari Al-Fatihah. Namun, kematian lebih dulu menimpanya sebelum melanjutkan tafsir Al-Baqarah dan surah-surah selanjutnya.”

Poin Penjelasan Haji Khalifa yang Faktual

Setelah menulis klaim-klaim yang tidak faktual di atas, Khalifa melanjutkan komentarnya terhadap tafsir ini. Ia menuliskan bahwa guru dan murid—al-Mahalli dan al-Suyuthi—ini tidak berbicara tentang tafsir lafaz basmalah sama sekali.

Pernyataan ini dibenarkan oleh al-Dzahabi dalam al-Tafsir wa al-Mufassirun berdasarkan fakta yang ada. Al-Mahalli tidak pernah menyinggung tentang tafsir basmalah sedikitpun dalam bagian yang ia tafsirkan, baik dari surah Al-Fatihah ataupun awal surah Al-Kahfi.

Sebagaimana yang dilakukan gurunya, al-Suyuthi juga tidak membahas tafsir basmalah secara mutlak dalam penafsirannya yaitu di awal surah Al-Baqarah hingga akhir bagian yang ia sempurnakan dari tafsir al-Mahalli.

Ahmad al-Khalwati al-Shawi dalam Hasyiyahnya menjelaskan alasan al-Mahalli dan al-Suyuthi tidak menafsirkan lafaz basmalah adalah karena keduanya sudah maklum pada kemasyhuran makna yang beredar.

Wallahu a’lam.