Beranda blog Halaman 29

Perang Bani Qainuqa’: Respons Melawan Kekerasan Seksual

0
kekerasan dan pelecehan seksual
Ilustrasi pelecehan seksual.

Setelah hijrah ke Madinah, Rasulullah bersama umat Islam melakukan perjanjian damai dengan orang-orang Yahudi Madinah yang dikenal dengan Piagam Madinah. Ada tiga klan Yahudi terkemuka di Madinah saat itu, yaitu Bani Qainuqa’, Bani Nadhir, dan Bani Quraidzah. Akan tetapi, pada akhirnya para Yahudi berkhianat dan merusak kesepakatan tersebut.

Ibn Ishaq dalam Sirah an-Nabawiyyah (3/70) mengutip ‘Asim bin Amar bin Qatadah yang menceritakan bahwa Bani Qainuqa’ menjadi kabilah Yahudi pertama yang berani dan secara terang-terangan melanggar perjanjian dengan Nabi. Ketika itu mereka melecehkan seorang perempuan dari kaum Anshar. Rasulullah kemudian mendeklarasikan perlawanan terhadap kelompok yang bersekutu dengan Abdullah bin Ubay bin Salul tersebut. Hal ini sebagaimana disinggung dalam firman Allah:

هُوَ الَّذِيْٓ اَخْرَجَ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا مِنْ اَهْلِ الْكِتٰبِ مِنْ دِيَارِهِمْ لِاَوَّلِ الْحَشْرِۗ

Dialah yang mengeluarkan orang-orang yang kufur di antara ahlu kitab dari kampung halaman mereka pada saat pengusiran yang pertama (Q.S. al-Hasyr: 2).

Peristiwa ini terjadi pada saat al-hasyr (pengusiran) yang pertama yang dilakukan Rasulullah terhadap kaum Yahudi, yakni Bani Qainuqa’. Sebelumnya pasukan muslim melakukan blokade hingga akhirnya mereka menyerah dan melakukan eksodus dari Madinah ke Adzra’at di daerah Syam. Peristiwa tersebut terjadi pasca perang Badar pada tahun kedua Hijriah (Tafsir al-Munir, 14/445).

Baca juga: Menjaga Pandangan, Langkah Pencegahan Kekerasan Seksual

Menurut Ibnu Hisyam (2/48), Perang Bani Qainuqa’ dipicu oleh insiden di pasar Bani Qainuqa’. Pasar milik kaum Yahudi tersebut adalah salah satu pasar Arab paling terkenal yang diadakan beberapa kali sepanjang tahun dan mereka berbangga-bangga karenanya. Di Madinah, mereka tidak mempunyai lahan pertanian atau kebun kurma. Kebanyakan pekerjaan Bani Qainuqa’ adalah sebagai pandai emas dan pandai besi (Tarikh at-Thabari, 2/481).

Diriwayatkan oleh Abdullah bin Ja’far al-Miswar dari Abu ‘Aun, suatu ketika seorang perempuan muslimah mengunjungi toko perhiasan di pasar Bani Qainuqa’ dan meminta dibuatkan perhiasan untuknya. Saat perempuan itu duduk, salah seorang Yahudi Madinah mengganggunya dengan mengikatkan ujung pakaian bagian belakang muslimah tersebut ke bagian yang lainnya. Sehingga ketika perempuan itu bangkit dari duduknya tersingkaplah aurat bagian belakangnya. Hal itu membuat orang-orang yang ada di pasar melihat perempuan tersebut dan menertawakan serta menghinanya.

Baca juga: Zakat untuk Korban Kekerasan Perempuan, Tinjauan Tafsir Alquran

Berita tentang kekerasan seksual yang dialami perempuan dari golongan Anshar itupun akhirnya sampai kepada Rasullullah. Beliau saw. segera mengambil tindakan tegas terhadap Bani Qainuqa’ atas pelanggaran besar yang mereka lakukan dan membatalkan perjanjian yang telah disepakati itu sebagaimana perintah Allah:

وَإِمَّا تَخَافَنَّ مِنْ قَوْمٍ خِيَانَةً فَانْبِذْ إِلَيْهِمْ عَلَىٰ سَوَاءٍ ۚ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْخَائِنِينَ

Dan jika kamu khawatir akan (terjadinya) pengkhianatan dari suatu golongan, maka kembalikanlah perjanjian itu kepada mereka dengan cara yang jujur. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berkhianat (Q.S. al-Anfal: 58).

Rasulullah mengirim tentaranya dan memberikan bendera perang kepada Sayyidina Hamzah bin Abdul Muththalib. Dengan dimulainya perang Bani Qainuqa’, orang-orang Yahudi segera berlindung di balik benteng mereka. Pasukan Rasulullah sebanyak 700 orang mengepung mereka dengan rapat selama 15 hari pada bulan Syawal hingga awal Zulkaidah tahun ke-2 Hijriyah (Sirah Nabawiyah, 313-316).

Baca juga: Alasan Pentingnya Perspektif Kesetaraan Gender dalam Tafsir

Bani Qainuqa’ akhirnya menyerah sebab ketakutan melanda mereka dan memutuskan untuk tunduk dengan apapun keputusan dari Rasulullah. Di sini ada peran Abdullah bin Ubay bin Salul sebagai negosiator demi kepentingan Bani Qainuqa’. Dengan gaya kemunafikannya, ia membujuk Rasulullah agar tidak membunuh mereka. Hasilnya, Nabi membebaskan dan memerintahkan Bani Qainuqa’ untuk pergi dari kota Madinah agar tidak tinggal berdampingan dengan kaum Muslimin (Fath al-Bari, 15/203-204).

Keputusan Rasulullah yang membatalkan perjanjian damai dan tidak memberi perlindungan kepada kelompok pelaku pelecehan menjadi isyarat bahwa kekerasan seksual kepada siapapun, tidak hanya terhadap perempuan, merupakan bentuk kezaliman dan kemungkaran yang diharamkan Islam serta harus dilawan. Karena itu, sudah selayaknya kasus pelecehan harus diupayakan dengan segala cara agar tidak terjadi dalam masyarakat. Demikian pula perlindungan hukum bagi orang-orang yang rawan menjadi korban pelecehan seksual harus dimaksimalkan, agar korban tidak semakian berjatuhan. Wallah a’lam bis-shawwab.[]

Filosofi Kuda dalam Tafsir Surah Al-‘Adiyat

0
Filosofi Kuda dalam Tafsir Surah Al-'Adiyat
Ilustrasi kuda perang.

Sebagaimana kebanyakan nama surah dalam Alquran, nama Al-‘Adiyat diambil dari ayat pertama surah ini, di mana Allah bersumpah dengan kuda. Kemudian diikuti ayat sumpah (qasam) atas sifat-sifat kuda yang digunakan untuk perang dan diiringi dengan jawab sumpah berupa penegasan tentang tabiat manusia.

 Allah berfirman:

وَالْعٰدِيٰتِ ضَبْحًاۙ (1) فَالْمُوْرِيٰتِ قَدْحًاۙ (2) فَالْمُغِيْرٰتِ صُبْحًاۙ (3) فَاَثَرْنَ بِهٖ نَقْعًاۙ (4) فَوَسَطْنَ بِهٖ جَمْعًاۙ (5)

Demi kuda-kuda perang yang berlari kencang terengah-engah, yang memercikkan bunga api (dengan entakan kakinya), yang menyerang (dengan tiba-tiba) pada waktu pagi, sehingga menerbangkan debu, lalu menyerbu ke tengah-tengah kumpulan musuh (Q.S. Al-‘Adiyat [100]: 1-5).

Menurut jumhur ulama, termasuk di antaranya Ibnu Abbas dan Mujahid, al-‘Adiyat artinya adalah kuda. Sebab sifat-sifat yang dijelaskan di ayat selanjutnya dalam surah ini ada pada kuda, bukan unta atau binatang lain (Tafsir at-Thabari, 26/864). Kuda akan mengeluarkan dengusan nafas saat berlari, hingga kuku kakinya dapat mengeluarkan percikan api. Sehingga pendapat inilah yang lebih kuat.

Al-‘Adiyat yang dijadikan sumpah oleh Allah ini bukan tanpa arti, melainkan untuk memberikan penegasan dan pengukuhan atas berita, juga agar manusia dapat mengambil hikmah darinya. Sebagaimana disampaikan oleh Manna al-Qattan bahwa sumpah dalam Alquran digunakan untuk menghilangkan keraguan, membatalkan syubhat, menegakkan argumentasi, menetapkan berita dan hukum. Selain itu, sumpah Allah dalam Alquran juga dapat menjadi isyarat atas keutamaan dan kemanfaatan makhluk yang dibuat sumpah tersebut supaya manusia mendapat pelajaran darinya (Mabahits fi ‘Ulum al-Qur’an, h. 302-303).

Keistemawaan Kuda

Sayyid Thanthawi dalam Tafsir al-Wasith (15/484) menerangkan bahwa sumpah atas nama kuda ini untuk mengingatkan keutamaannya dan keutamaan memeliharanya, yang kaitannya dengan manfaat diniyah (agama) dan duniawiyah (dunia). Salah satunya seperti dijelaskan dalam surah ini, bahwa kuda untuk jihad akan mendatangkan pahala, ghanimah (rampasan perang), serta dapat memecah belah dan mengacaukan barisan musuh.

Dalam hadis dikatakan bahwa kuda mempunyai keistimewaan yang tidak dimiliki oleh hewan-hewan lainnya, bahkan Rasulullah pernah bersabda, “Kuda akan senantiasa memiliki kebaikan hingga hari kiamat.” (H.R. Bukhari, Muslim, Ahmad, Nasa’i, dan Ibnu Majah, dari Abu Hurairah)

Baca juga: Tiga Fase Kehidupan Jiwa dalam Perspektif Tafsir al-Razi

Sementara penjelasan dari Wahbah al-Zuhaili, sumpah tersebut adalah untuk mengangkat urgensi kuda di kalangan kaum Muslimin, bahwa kuda yang memiliki badan tangguh serta punggung yang kukuh, dan secara tradisi sangat berharga bagi kaum Arab sebab telah digunakan untuk berperang sejak zaman dahulu, yakni agar umat menjaganya dan berlatih menungganginya di jalan Allah.

Selain itu, agar umat Islam terbiasa untuk melakukan hal-hal besar dan terus bersungguh-sungguh dan beramal. Dalam hal ini menurut al-Zuhaili terdapat sebuah targhib (motivasi) untuk menggunakan kuda untuk tujuan-tujuan yang mulia. Bukan untuk sum’ah, berbangga-bangga, dan riya’ (Tafsir al-Munir 30/380).

Al-‘Adiyat: Peringatan bagi Jiwa yang Ingkar 

Allah bersumpah dengan kuda yang digunakan untuk jihad fi sabilillah. Dia mensifati kondisi kuda itu dari satu tahap ke tahap berikutnya. Dimulai dari gerakannya, nafasnya yang terengah-engah, deru suaranya yang khas saat lari, hingga gambaran bagaimana pertempuran yang berbaur dengan debu hingga menyebabkan suasana kacau dan musuh kocar-kacir.

Adapun yang disumpahkan oleh Allah (jawab qasam) menurut mufassirin ialah tabiat dalam jiwa manusia, ketika hatinya kosong dari motif-motif iman. Mereka mengufuri kenikmatan dan ingkar untuk bersyukur kepada Yang Maha Pemberi Kenikmatan, serta tidak mau tunduk kepada syariat dan hukum-hukum-Nya.

إِنَّ الْإِنْسَانَ لِرَبِّهِ لَكَنُودٌ

Sesungguhnya manusia itu sangat ingkar, tidak berterima kasih kepada Tuhannya (Q.S. Al-‘Adiyat: 6).

Asy-Sya’rawi (15/394) dan al-Zuhaili (30/382) menerangkan bahwa kuda perang sebagai nama sumpah dan jiwa manusia yang disumpahi sangat terkait erat. Secara tabiat, manusia diciptakan sangat mencintai hawa nafsunya, berat untuk berjuang, dan membantu orang lain, terlebih berterima kasih kepada Tuhan. Manusia tanpa iman bagaikan binatang yang hina tabiatnya dan kerdil visinya.

Baca juga: Maqashid Ayat-Ayat Perang [3]: Menghormati Jiwa Hingga Menjaga Alam

Sumpah Allah dengan kuda perang dalam surah ini dalam rangka mengingatkan dan menyindir manusia. Sebagaimana diketahui, kuda dulunya merupakan binatang yang liar. Namun kemudian, karena didomestikasi, dipelihara, dan dididik oleh manusia, ia menjadi jinak dan bersedia melakukan apapun. Salah satunya sebagai tunggangan perang, seperti yang dijelaskan di atas.

Meskipun kuda sampai terengah-engah ia rela melakukan apapun demi mendapatkan rida tuannya. Sebab ia paham bahwa sang tuan telah memberinya makan dan memeliharanya. Sementara manusia juga telah mendapat demikian banyak perhatian dan nikmat dari Allah, tetapi mengapa banyak dari mereka justru ingkar kepada-Nya dan tidak melakukan apa yang diperintahkan demi mendapat rida-Nya? Wallah a’alam.[]

Argumen Syekh Ali ash-Shabuni Terhadap Praktik Poligami Nabi Muhammad Saw

0
Argumen Syekh Ali ash-Shabuni Terhadap Praktik Poligami Nabi Muhammad Saw

Sejarah mencatat bahwa Nabi Muhammad saw melakukan poligami dengan memiliki istri yang berjumlah 11 orang. Tindakan Nabi saw ini mendapat kritik dari para orientalis. Menurut mereka, Nabi saw adalah seorang lelaki yang bersyahwat atau bernafsu birahi yang tinggi, tidak merasa cukup memiliki 1 istri atau 4 sebagaimana yang diwajibkan atas umatnya.

Menyikapi permasalahan ini, Syekh Ali ash-Shabuni mengingatkan dua hal yang perlu diperhatikan. Pertama, Nabi saw tidak beristri banyak kecuali setelah menginjak usia tua, yakni lebih 50 tahun. Kedua, semua istri Nabi saw berstatus janda, kecuali ‘Aisyah. Jika memang tujuan Nabi saw menikah adalah memenuhi nafsu birahi atau bersenang-senang, pasti Nabi saw memilih menikah diusia muda dengan wanita-wanita yang masih muda pula. (Mukhtasar Tafsir Ayatil Ahkam, 257-259)

Baca Juga: Surah An-Nisa Ayat 3, Praktik Poligami Menurut Mufasir Indonesia

Hikmah Dibalik Nabi Muhammad Saw Berpoligami

Syekh Ali ash-Shabuni dalam Tafsir Ayatil Ahkam menyebutkan terdapat empat hikmah besar yang bisa dipetik dalam praktik poligami yang dilakukan Nabi saw.

Aspek Pembelajaran

Tujuan utama yang mendasari Nabi saw berpoligami adalah menyiapkan perempuan sebagai konsultan atau penjelas hukum-hukum syari’at, terutama yang berkaitan kewanitaan. Sebab, tidak sedikit tuntutan hukum syariat yang hanya tertuju kepada kaum perempuan yang tidak diwajibkan kepada kaum lelaki.

Umumnya, kebanyakan perempuan merasa malu jika ingin bertanya kepada Nabi saw seputar hal-hal yang berkaitan dengan mereka, seperti hukum-hukum haid, nifas, jinabah (hadas besar), kekeluargaan, dan selainnya. Begitu juga Nabi saw yang seorang lelaki, terkadang tidak mampu menjawab persoalan kewanitaan dengan bahasa yang sempurna dan jelas. Sehingga terkadang apa yang beliau sampaikan tidak dapat dipahami oleh penanya.

Contohnya, kisah yang diriwayatkan oleh ‘Aisyah bahwa ada seorang wanita dari kalangan Ansar bertanya kepada Nabi saw tentang tata cara mandi dari haid, lantas Nabi saw mengajarkannya bagaimana ia harus mandi, kemudian berkata kepadanya, “Ambillah sepotong kapas yang telah dilumuri wewangian, lalu bersucilah dengan itu,”

Baca Juga: Telaah Dalil Poligami: Poligami Boleh Saja, Tapi Afdhal-nya Tetap Monogami

Kemudian dia bertanya,”Bagaimana cara aku bersuci dengannya?”, Nabi saw berkata:” bersucilah dengan kapas itu,” ia bertanya lagi, “Bagaimana aku bersuci dengannya, wahai Rasulullah?” Nabi saw menjawab, “Subhanallah, bersucilah dengannya!.” ‘Aisyah berkata, “Aku tarik tangannya, lalu aku berkata kepadanya, “Letakkan kapas itu di sini, kemudian bersihkan bekas darah itu,”. aku jelaskan kepadanya tempat yang semestinya ia bersihkan. (H.R an-Nasa’i)

Aspek Tasyri’

Hikmah kedua Nabi saw berpoligami adalah untuk membatalkan sebagian tradisi jahiliyyah masyarakat Arab saat itu, yakni mengakui anak hasil adopsi sebagai anak kandung. Mereka memperlakukan anak hasil adopsi sebagaimana anak kandung sendiri dari segala aspek, mulai dari hak waris, talak, pernikahan, dan lain-lain.

Untuk menguji itu semua, Allah swt memerintahkan Nabi saw (sebelum masa kenabian berlangsung) agar mengadopsi salah satu anak yang bernama Zaid bin Haritsah.  Diceritakan dari Abdullah bin Umar, ia berkata, “Sesungguhnya Zaid bin Haritsah (anak yang dimerdekakan Nabi saw) aku tidak memanggilnya kecuali Zaid bin Muhammad, sehingga turun Q.S al-Ahzab [33]: 5 (H.R Bukhari dan Muslim)

Pada suatu saat, Nabi saw menjodohkan Zaid dengan anak pamannya yang bernama Zainab binti Jah}sy. Namun tidak berlangsung lama, Zaid mentalak istrinya itu. Setelah keduanya bercerai, Allah swt memerintahkan Nabi saw untuk menikahi Zainab binti Jahsy dengan tujuan membatalkan tradisi pemberlakuan anak hasil adopsi sebagai anak kandung.

Jika memang secara syariat benar bahwa Zaid bin Haristah adalah anak kandung Nabi saw (sebagaimana tradisi masyarakat Arab), maka Nabi saw tidak akan menikahi Zainab binti Jahsy yang statusnya mantan istri anaknya itu. Sebab, syariat Islam tidak memperbolehkan menikahi perempuan mantan istri anak kandungnya atau sering disebut mahram bil musoharoh (mahram sebab perkawinan).

Baca Juga: Tafsir Ayat Poligami yang Tidak Pernah Usai dan Kisah Imam Abu Hanifah Membela Perempuan

Aspek Sosial

Hikmah yang ketiga dari paktik poligami Nabi saw adalah aspek sosial. Aspek ini tampak jelas ketika Nabi saw menikahi ‘Aisyah putri Abu Bakar as-Siddiq dan Hafsah putri Umar bin Khattab, yang keduanya adalah teman dekat beliau. Tentu pernikahan Nabi saw ini menjadikan hubungan dengan kedua teman dekatnya semakin erat dan kuat, yang semula teman dekat menjadi keluarga. Terlebih Abu Bakar dan Umar adalah tokoh berpengaruh pada masyarakat saat itu, yang pertama kali masuk islam, mengerahkan jiwa raga dan hartanya untuk membantu perjuangan Nabi saw.

Aspek Politik

Tujuan Nabi saw  melakukan poligami selanjutnya adalah untuk melunakkan hati dan memperbanyak keluarga dari berbagai suku. Telah menjadi rahasia bersama jika seseorang menikah dengan suatu suku atau keluarga lain, maka kedua belah pihak akan menjadi kerabat dekat. Secara tabiat, hubungan tersebut akan menjadikan penguat dan pembela dalam perjuangan.

Contohnya, Nabi saw menikahi Ummu Habibah putri Abu Sufyan yang merupakan tokoh orang kafir serta paling memusuhi Nabi saw. Suatu saat Ummu Habibah bepergian bersama suami pertamanya ke Habasyah (sekarang Etiopia). Namun, dalam perjalanan suaminya meninggal, akhirnya ia seorang diri tanpa ada pendamping.

Saat tiba di Madinah, Nabi saw menikahinya. Mendengar kabar tersebut, Abu Sufyan merestui pernikahan itu dan akhirnya masuk islam. Berkat masuk Islamnya Abu Sufyan, para pengikut-pengikutnya pun berbondong-bondong masuk islam. (Mukhtasar Tafsir Ayatil Ahkam, hlm. 259-266). Wallahu A’lam

Pemuda Beriman dalam Kisah Ashabul Ukhdud

0
kisah ashabul ukhdud
kisah ashabul ukhdud

Dalam surah al-Buruj [85] ayat 4 disinggung temtag Ashabul Ukhdud. Ashabul Ukhdud diartikan dengan orang-orang yang mempunyai parit. Dalam Tafsir Ibnu Katsir, bentuk jamak dari ukhdud adalah akhaadiid, artinya parit yang ada di bumi. Ayat ini merupakan pemberitahuan tentang satu kaum dari orang-orang kafir yang mengintimidasi orang-orang beriman. Kaum itu memaksa orang-orang beriman agar kembali pada agama sebelumnya, namun karena orang mukmin menolak, maka dilemparkanlah mereka ke dalam parit yang penuh api.

Dalam Tafsir ath-Tabari disebutkan bahwa ada perbedaan ulama terkait keterangan siapa ashabul ukhdud. Sebagian dari mereka memahami bahwa ashabul ukhdud dahulunya adalah ahli kitab dari sisa-sisa kaum Majusi. Ada pula yang mengatakan kalau mereka berasal dari kalangan Bani Israil.  Dalam literatur yang lain disebutkan bahwa peristiwa dalam surah al-Buruj [85] ayat 4 ini terjadi di Najran, sekitar pertengahan abad ke 6 M. Ashabul Ukhdud yang dimaksud yaitu pemuda bernama Abdullah bin Tsamir, pemeluk agama al-Masih bin Maryam. Sedangkan rajanya bernama Dzu Nuwas seorang pemeluk agama Yahudi.

Dalam cuplikan kisah itu, Ibnu Katsir menguraikan sebuah riwayat yang cukup panjang dari Syuhaib bahwa Rasulullah saw. bersabda yang substansinya menceritakan seorang raja dan pemuda. Raja itu memiliki seorang tukang sihir yang sudah tua. Agar ilmu-ilmunya tetap lestari, dia pun meminta kepada sang Raja agar dicarikan pemuda untuk diajarkan ilmu-ilmi sihir, Raja akhirnya membawakannya seorang pemuda.

Selain berinteraksi dengan seorang penyihir, pemuda itu juga dekat dengan seorang Rahib, yang pada akhirnya dia lebih memilih untuk mengikuti ajaran Rahib. Setelah itu, tersiar berita bahwa pemuda itu dapat menyembuhkan berbagai penyakit.

Baca Juga: Tafsir Surah Al Buruj Ayat 1-10

Suatu ketika, pembantu Raja yang buta meminta pemuda itu untuk menyembuhkannya. Pemuda itu berkata, “Aku tidak dapat menyembuhkan seorang pun. Sesungguhnya yang menyembuhkan itu adalah Allah Yang Maha Mulia. Jika engkau beriman kepada-Nya, maka aku akan berdoa, sehingga Dia pun akan menyembuhkanmu.” Pembantu itu pun beriman, lalu pemuda tersebut mendoakan, dan Allah pun memberikannya kesembuhan.

Saat Raja mengetahui kalau pembantunya telah sembuh, dia bertanya siapa yang menyembuhkannya. Pembantu itu menjawab,

Rabb-ku”

“Aku?!”, kata Raja

“Tidak, Rabb-ku dan Rabb-mu”

“Apakah engkau mempunyai Rabb selainku?”

Rabb-ku dan Rabb-mu adalah Allah”

Maka Raja menyiksanya, hingga dia mengatakan tentang pemuda itu. Raja pun mencarinya, dan dia menyiksa pemuda tersebut. Ketika Raja bertanya, dia menjawab sebagaimana pembantu tadi, hingga akhirnya pemuda itu memberikan informasi tentang Rahib. Rahib pun disiksanya, dan dia tetap teguh pada keimanannya. Akhirnya pembantu dan Rahib tersebut dibunuh oleh Raja.

Si pemuda tadi juga tidak luput dari kejaran Raja. Namun, Raja selalu gagal untuk melenyapkannya. Dia mencoba menghilangkan nyawanya di gunung dan lautan, namun pemuda itu selamat, sebab dia berdoa kepada Allah.

Baca Juga: Tafsir Surah Al Buruj Ayat 11-22

Kemudian, pemuda tersebut berkata pada Raja, “Sesungguhnya engkau tidak dapat membunuhku sampai engkau mengerjakan apa yang aku perintahkan kepadamu.” “Apa itu?”, sahut Raja. Pemuda itu menjelaskan, “Engkau harus mengumpulkan orang-orang di tanah lapang, lalu engkau menyalip diriku di batang pohon, lalu engkau ambil panah di tas milikku, kemudia ucapkan, ‘Dengan menyebut nama Allah, Rabb pemuda itu.’ Jika engkau telah melakukan hal tersebut, maka engkau akan dapat membunuhku.”

Tentu saja Raja melakukan perintah itu. Anak panah pun melesat dan meluncur tepat dipelipisnya. Dan ternyata tak disangka, kerumunan orang yang menyaksikan peristiwa tersebut justru berbondong-bondong beriman kepada Allah swt.

Atas peristiwa tersebut Raja marah, dan memerintahkan untuk membuat parit-parit yang di dalamnya telah disiapkan api. Mereka yang tetap pada keimanannya kepada Allah akan dilemparkan ke dalam parit tersebut.

Dari kisah ashabul ukhdud di atas, ibrah yang bisa diteladani yaitu tentang keteguhan iman. Sebagaimana yang dilakukan oleh pemuda tersebut. Tidak ada yang bisa menggoyahkan keimannya, sekalipun nyawa yang menjadi taruhannya. Selain itu, kita juga diingatkan bahwa harus selalu menyandarkan segala urusan hanya kepada Allah swt. Wallah a’lam.

Hikmah Dibalik Kisah Kecemburuan Ummahat al-Mukminin 

0
Hikmah Dibalik Kisah Kecemburuan Ummahat al-Mukminin

Seperti perempuan pada umumnya, istri-istri Rasulullah juga pernah mengalami kecemburuan terhadap suaminya. Hal itu sangat manusiawi karena Allah hendak mendidik umat dengan contoh langsung dalam kehidupan Rasul saw. bersama ummahat al-mukminin. Sebagaimana di permulaan surah at-Tahrim diterangkan konflik rumah tangga Rasul ketika istrinya terlampau cemburu.

Kecemburuan Ummahat al-Mukminin

Ada beberapa riwayat berkenaan dengan turunnya ayat-ayat ini. Di antaranya diterangkan dalam Tafsir Fi Zhilal al-Quran (11/332) riwayat dari Ubaid bin Umair, Aisyah menceritakan bahwa Rasulullah menyukai kue yang manis-manis dan madu. Setiap selesai dari salat Ashar, beliau menemui para istrinya. Suatu ketika, beliau berada bersama Zainab binti Jahsy dalam waktu yang cukup lama, lalu beliau minum madu di rumahnya.

Aisyah dan Hafshah yang cemburu mengetahui hal itu, keduanya bersekongkol bahwa siapa di antara mereka yang didatangi Rasul, ia berkata kepada beliau, “Saya mencium bau maghafir dari engkau”. Maghafir itu semacam manisan yang lezat, berbentuk getah, diambil dari pohon Ramats atau pohon Urfuth. Meskipun bisa dinikmati dan enak rasanya, maghafir mempunyai bau tak sedap dan menyengat.

Baca Juga: Perbuatan yang Menyebabkan Istri Menjadi Durhaka: Tafsir Surat At-Tahrim Ayat 10

Ketika Rasulullah datang kepada Aisyah, maka ia mengatakan hal itu. Rasul saw. menjawab, “Tidak, namun aku meminum madu dirumah Zainab.” Selang beberapa lama, beliau mendatangi rumah Hafshah. Percakapan serupa pun terjadi. Pada akhirnya, Rasulullah berkata, “Aku tidak akan mengulanginya lagi, aku bersumpah, dan tolong jangan kamu beritahukan hal itu kepada siapa pun.” (Bukhari Muslim) Sumpah tersebut tidak lain dan tidak bukan hanya untuk membahagiakan kedua istrinya yang sedang cemburu.

Riwayat lain, mengenai sebab turunnya at-Tahrim sebagaimana disebutkan oleh mufasir seperti Jalaluddin as-Suyuthi, al-Baghawi, dan Wahbah al-Zuhaili, ialah berkaitan dengan suatu peristiwa yang menyebabkam kecemburuan berlebihan dari istri-istri Rasul terhadap Mariyah al-Qibtiyyah.

Diriwayatkan oleh Daruquthni dari Umar, suatu ketika Rasulullah sedang bersama Mariyah di rumah Hafshah. Setelah putri al-Faruq melihat langsung pemandangan yang tidak mengenakan hatinya itu, ia marah, tersinggung, dan menganggapnya sebagai penghinaan terhadapnya. Kemudian Rasulullah menjanjikannya bahwa beliau akan mengharamkan Mariyah al-Qibtiyyah atas diri beliau dan beliau bersumpah dengan itu. Rasulullah meminta jaminan dan janji kepadanya untuk merahasiakannya. (Tafsir al-Munir, 14/679)

Maka Allah menegur halus Rasululullah dengan menurunkan firman-Nya, “Wahai Nabi, mengapa kamu mengharamkan apa yang Allah halalkan bagimu; kamu mencari kesenangan hati isteri-isterimu?…” dan seterusnya. (Q.S. at-Tahrim: 1-5)

Baca Juga: Tiga Tipe Istri yang Dijelaskan dalam Surah At-Tahrim Ayat 10-12

Hafshah yang telah diminta Rasul untuk merahasiakan sebuah pembicaraan yang beliau sampaikan secara rahasia kepada dirinya berjanji untuk melaksanakannua. Namun, ia malah menceritakan kepada Aisyah sebab kecemburuan begitu berkecamuk dalam hatinya, sehingga dia tidak sanggup lagi menyimpan perasaannya.

Aisyah dan Hafshah kemudian menghasut istri-istri yang lain agar membenci Mariyah. Hal yang membuat ummahat al-mukminin cemburu dan tidak menyukai Mariyah karena melahirkan putra dari Rasul saw. Hingga tersiar kabar bahwa mereka membantah Rasul dan bahkan ada seorang di antara mereka yang menjauhkan diri dan mendiamkan Rasulullah sejak siang hingga malam hari.

Tentu saja Rasulullah merasa kecewa dan marah. Maka, Rasul memutuskan mengisolasi mereka selama sebulan. Desas-desus pun beredar di kalangan umat Islam bahwa Rasulullah sudah menceraikan istri-istrinya. Pada saat yang sama, para istri Rasulullah pun gelisah pula. Mereka menyesal, yang karena rasa cemburu mereka yang berlebihan hingga menyakiti hati suami yang tadinya sangat lemah-lembut kepada mereka.

Hikmah Kisah dari Kecemburuan Ummahat al-Mukminin

Hikmah dari kisah rumah tangga Rasulullah tersebut di antaranya, sebagaimana pernah diungkapkan Gus Baha, merupakan fitrah bahwa seorang perempuan memiliki rasa cemburu dan Allah tidak mempersoalkannya, namun tentu saja tidak boleh berlebihan.

Islam mengajarkan bahwa mengelola rasa cemburu dalam  hubungan sangat penting untuk menjaga keharmonisan kebahagiaan rumah tangga. Rasulullah dan para istri beliau memberikan teladan bagaimana mengatasi perasaan cemburu dengan sabar, kejujuran, dan komunikasi, sebagaimana yang dilakukan beliau saw kepada Aisyah dan Hafshah.

Baca Juga: Kriteria Perempuan Salihah dalam Surah At-Tahrim Ayat 11-12

Namun, sebagaimana teguran Allah terhadap Rasulullah di ayat 1-2 QS. at-Tahrim. Tidak boleh seorang mukmin mengharamkan atas dirinya sendiri apa-apa yang telah dihalalkan oleh Allah atas dirinya dari segala kenikmatan secara sengaja dan dengan maksud menyenangkan seseorang dan membuatnya ridha. Hal ini mengisyaratkan bahwa pengharaman itu dapat menyebabkan jatuhnya hukuman yang pasti. Namun, seperti redaksi akhir ayat disebutkan, “….Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” Maknanya, ia masih berpeluang mendapatkan ampunan dan rahmat Allah.

Adapun untuk melepaskan diri dari sumpah adalah dengan membayar kafaratnya. Dalam kasus tersebut, disamping Rasulullah bersumpah mengharamkan diri beliau dari mengonsumsi madu dan Mariyah, bahwa menurut keterangan yang lebih shahih, beliau waktu itu membayar kafarat sumpah beliau itu. Kafarat berfungsi menambal dan memperbaiki celah yang terjadi.

Jika ada seorang laki-laki mengharamkan istrinya, ia harus membayar kafarat sumpah. Berdasarkan hadits dari Ibnu Abbas, “Barangsiapa mengharamkan istrinya bagi dirinya, maka itu adalah sumpah yang ia kafarati. Abdullah bin Abbas r.a. membaca ayat dua puluh satu surah al- Ahzaab, “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu.” (HR. Muslim)

Jika rumah tangga menghadapi masalah, cerai bukan satu-satunya pintu keluar, ada banyak pintu lain yang mesti dilalui, maka didiklah istri salah satunya dengan pisah ranjang, untuk memberinya kesempatan berfikir dan untuk menimbulkan kerinduan dengan pasangan.

Terakhir, sebagaimana diterangkan dalam ayat 4, Allah memberi panduan ummahat al-mukminin untuk bertaubat, bertawakal, berdoa, dan memperbaiki hubungan dengan suami dengan penuh kesabaran dan kebijaksanaan. Dengan demikian, kita dapat memahami bahwa keutamaan bertobat sangatlah penting dalam menjalani kehidupan, baik dalam hubungan pernikahan maupun dalam hubungan dengan Allah.

Wallah musta’an.[]

Mempertanyakan Klaim Tertua Naskah Jalalain Museum MAD

0
Mempertanyakan Klaim Tertua Naskah Jalalain Museum MAD
Catatan kolofon pada naskah tafsir Jalalain Museum Masjid Agung Demak

Temuan naskah tafsir Jalalain di Museum Masjid Agung Demak (selanjutnya disingkat MAD) sebagaimana pernah penulis ulas di Temuan Tafsir Jalalain Tertua di Museum Masjid Agung Demak agaknya masih menyisakan pertanyaan, benarkah naskah Jalalain tersebut naskah tafsir tertua atau bahkan naskah pegon tertua? Kebenaran atas jawaban pertanyaan ini memiliki implikasi yang cukup tinggi.

Pasalnya klaim ‘tertua’ atas naskah ini sangat bernilai karena ‘membatalkan’ status tertua yang disandang beberapa naskah berdasar segmen yang dimiliki. Segmen tafsir misalnya, yang tertua saat ini diketahui adalah naskah berkode MS Li. 6.45 koleksi Thomas Erpenius yang tersimpan di Perpustakaan Universitas Cambridge.

Dari segmen Jalalain, naskah ini lebih tua dari naskah asal Cirebon yang disalin oleh Haji Muhammad Hasan Basri tertanggal 1033 H. atau setara 1624 M. sebagaimana telah diulas oleh Ahmad Ginanjar Sya’ban. Sedangkan dari segmen pegon, naskah Museum MAD ini lebih tua dari naskah Muqaddimah al-Hadlromiyyah berkode Sloane 2645 tertanggal 1545 tahun Jawa atau setara 1623 sebagaimana telah diulas Nur Ahmad.

Baca juga: Manuskrip Tafsir Jalalain Sunan Bonang di Masjid Agung Demak

Klaim tertua naskah Jalalain Museum MAD ini didasarkan pada catatan kolofon yang menyebut sanah alf, yang kemudian ditulis kembali pada tulisan yang tertera pada display naskah “Selesai ditulis pada saat terbitnya Matahari (waktu dhuha) / Hari Sabtu, tanggal 20 bulan Sa’ban tahun 1000 Hijriah”. Termasuk tambahan tulisan “Karangan : Sunan Bonang, Tuban”, yang entah didasarkan dari mana.

Spesifik pada usia naskah Jalalain tersebut-karena hanya usia saja yang hendak penulis ulas pada tulisan kali ini-agaknya perlu dikaji kembali. Hal ini karena menurut informasi yang diberikan Anasom pada upaya digitalisasi yang telah ia lakukan pada tahun 2022 silam disebutkan bahwa naskah tersebut menggunakan alas kertas Eropa dengan countermark (cap tandingan) tertulis B.D.G & Zn (posisi huruf n berada di atas huruf Z).

Dari sini, menarik untuk dicermati apakah penggunaan kertas Eropa telah dijumpai di masa itu, yakni pada tahun 1000 Hijriah atau setara dengan 1590-an Masehi. Karena jika merujuk pada keterangan yang dikutip oleh Uka Tjandrasasmita dari Pigeaud, penggunaan kertas Eropa di Indonesia baru dimulai pada abad ke-17 Masehi dan terus meningkat sampai abad ke-19 Masehi sebab adanya pendudukan pemerintah kolonial yang turut memberikan dampak pada lingkungan keraton. Sehingga besar kemungkinan bahwa pada masa tersebut kertas Eropa belum digunakan.

Baca juga: Terjemahan Tafsir Jalalain Berbahasa Madura

Penelusuran terhadap cap tandingan kertas juga mengalami kesulitan karena katalog kertas yang penulis punya hanya didasarkan pada watermark (cap kertas), dan bukan countermark (cap tandingan), yakni milik W. A. Churchill berjudul Watermark in Paper in Holland, England, France, etc. in the XVII and XVIII Centuries and their Interconnection dan milik Edward Heawood berjudul Watermarks Mainly of the 17th dan 18 th Centuries. Ini juga berarti bahwa katalog yang tersedia hanya berkisar pada abad ke-17 dan 18 Masehi.

Analisis terhadap pemaknaan antar baris (interlinear translation) juga tampaknya tidak dapat dilakukan karena tinta yang digunakan agaknya berbeda dengan tinta yang digunakan pada teks utama, yakni teks Alquran dan teks tafsir yang dituliskan pada naskah. Namun jika dipaksakan, model pemaknaan yang digunakan agaknya menunjukkan pada model pemaknaan abad ke-16 Masehi, tetapi belakangan.

Penggunaan beberapa diksi yang identik dengan tarkib (posisi kata dalam kalimat) tertentu, seperti utawi, iku, ing, hale, dan derapun menjadi alasan yang cukup kuat. Model pemaknaan di abad ke-16, sebagaimana informasi Nur Ahmad tidak demikian. Tidak ada penggunaan diksi semacam ini, kecuali dalam kondisi yang sangat terbatas. Apalagi dalam naskah Jalalain Museum MAD ini model pemaknaan yang demikian digunakan secara konsisten.

Baca juga: Analisis Makna Pegon pada Naskah Tafsir Jalalain

Jika penggunaan kertas pada naskah dipertanyakan, lantas bagaimana dengan catatan kolofon yang menyebutkan sanah alf? Mengenai hal ini penulis belum menemukan jawaban pasti kecuali hanya menawarkan takwil pembacaan catatan tersebut. Bukan dibaca alf yang berarti seribu melainkan dibaca alif yang berarti tahun Alif sebagaimana tahun Jawa atau mungkin dalam penanggalan lain.

Akan tetapi, takwil ini pun harus dilakukan kajian terhadap perhitungan tahun tersebut dan hal itu di luar kemampuan penulis. Oleh karenanya, penulis mengajak pembaca sekalian untuk bersama-sama menelaah naskah Jalalain koleksi Museum MAD ini. Wallahu a‘lam bi al-shawab. []

Prinsip Molimo Sunan Ampel dalam Perspektif Alquran

0
Prinsip Molimo Sunan Ampel dalam Perspektif Al-Qur’an
Makam Sunan Ampel (sumber: NU Online).

Walisongo merupakan sosok penting yang memerankan tugas dakwah di tanah Jawa secara pada masa-masa awal. Aneka cara unik dan kreatif mereka lakukan dalam rangka melancarkan dakwahnya, seperti mengintegrasikan budaya Jawa ke dalam nilai-nilai keislaman. Dengan begitu, mempermudah bagi Walisongo untuk menyebarkan Islam ke beberapa penjuru wilayah Jawa. Ada yang menggunakan gamelan, syair, tembang, dan lain sebagainya.

Sunan Ampel, salah satu anggota Walisongo menggaungkan satu prinsip hidup bagi masyarakat Jawa dengan istilah unik. Prinsip tersebut berbunyi: molimo. Istilah berbahasa Jawa ini dapat diartikan dengan “tidak mau melakukan lima perkara yang terlarang”, di antaranya: emoh main (tidak mau main judi), emoh ngombe (tidak mau minum minuman yang memabukkan), emoh madat (tidak mau minum atau mengisap candu atau ganja), emoh maling (tidak mau mencuri), dan emoh madon (tidak mau berzina).

Apabila ditelisik secara saksama, prinsip molimo Sunan Ampel ternyata berasal dari ajaran Islam dan disebutkan dalam beberapa ayat-ayat Alquran, sebagai berikut.

Emoh Main, Emoh Ngombe, dan Emoh Madat: Q.S. al-Maidah Ayat 90

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْاَنْصَابُ وَالْاَزْلَامُ رِجْسٌ مِّنْ عَمَلِ الشَّيْطٰنِ فَاجْتَنِبُوْهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ

Wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya minuman keras, berjudi, (berkurban untuk) berhala, dan mengundi nasib dengan anak panah adalah perbuatan keji (dan) termasuk perbuatan setan. Maka, jauhilah (perbuatan-perbuatan) itu agar kamu beruntung.

Ayat ini mengandung larangan Allah untuk melakukan perbuatan keji seperti minum minuman keras, berjudi, menyembah berhala, dan mengundi dengan anak panah. Terdapat tiga poin di ayat ini yang termasuk dalam prinsip molimo, yaitu emoh main (tidak mau main judi), emoh ngombe (tidak mau minum minuman memabukkan), dan emoh madat (tidak mau mengonsumsi zat-zat adiktif).

Baca juga: Mengenal Mushaf Sunan Ampel di Museum Al-Quran PTIQ Jakarta

Dijelaskan dalam Tafsir Jalālayn [154], al-khamru atau khamr merupakan minuman memabukkan yang menumpulkan akal pikiran. al-Zuhaili menuturkan dalam Tafsīr al-Munīr [7/38], jumhur ulama bersepakat bahwasanya khamr merujuk pada setiap minuman yang memabukkan yang mengaburkan dan menutupi akal.

Khamr tidak hanya sebatas mentahan air anggur yang direbus, mengeras, dan berbusa, sebagaimana pengertian khamr secara historis. Hal ini merujuk pada hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Muslim, dan lainnya: Kullu muskirin khomrun, wa kullu khamrin ḥarāmun (Setiap yang memabukkan adalah khamr, dan setiap khamr hukumnya haram).

Maka dari itu, meminum minuman memabukkan seperti arak, wiski, dan semacamnya, serta mengonsumsi narkoba merupakan perbuatan yang keji dan diharamkan. Sebab kesemuanya itu disebut dengan khamr, yang ‘illat-nya ialah sama-sama menghilangkan akal. Menjauhi perkara ini adalah menerapkan dua dari prinsip Sunan Ampel, yakni emoh ngombe dan emoh madat.

Baca juga: Judi yang Merusak, Sejak Dulu hingga Sekarang

Al-Zuhaili menambahkan, khamr atau minuman/zat memabukkan dan menghilangkan akal memiliki banyak madarat, baik kepada diri sendiri maupun orang lain. Selain berbahaya bagi kesehatan dan merugi sebab membuang-buang harta untuk hal yang membahayakan, juga berdampak pada kerugian sosial yang dimunculkan dari akibat khamr itu sendiri (Tafsīr al-Munīr, 7/40).

Seperti halnya khamr, perjudian juga memiliki banyak bahaya, mulai dari aspek neuropsikologis dengan menyebabkan ketegangan saraf, kecemasan, bahaya sosial, agama, hingga keuangan. Inilah wujud dari prinsip emoh main, menghindari segala bentuk perjudian.

Emoh Maling: Q.S. al-Baqarah 188

وَلَا تَأْكُلُوْٓا اَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُوْا بِهَآ اِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوْا فَرِيْقًا مِّنْ اَمْوَالِ النَّاسِ بِالْاِثْمِ وَاَنْتُمْ تَعْلَمُوْنَ

Janganlah kamu makan harta di antara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada para hakim dengan maksud agar kamu dapat memakan sebagian harta orang lain itu dengan jalan dosa, padahal kamu mengetahui.

Baca juga: Kisah Nabi Syu’aib dan Jihad Melawan Korupsi

Al-Baghawi menuturkan, memakan harta dengan jalan batil tidak hanya berupa hasil merampok dan merampas; bisa jadi dengan cara hiburan seperti perjudian; serta bisa jadi dengan cara suap yang diberikan kepada penguasa maupun hakim [Tafsīr al-Baghawī, 1/233].

Mencuri ialah salah satu bentuk memakan harta orang lain dengan cara yang batil. Entah mencuri dengan cara merampas, merampok, mengambil barang diam-diam, atau cara lainnya. Mencuri tergolong sebagai perbuatan keji yang dicela oleh Allah, serta dikutuk dan dihina oleh masyarakat. Maka, seseorang yang menghindari perbuatan mencuri, telah menerapkan prinsip emoh maling (tidak mau mencuri).

Emoh Madon: Q.S. al-Isra’ Ayat 32

وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنٰىٓ اِنَّهٗ كَانَ فَاحِشَةًۗ وَسَاءَ سَبِيْلًا

Janganlah kamu mendekati zina. Sesungguhnya (zina) itu adalah perbuatan keji dan jalan terburuk.

Dijelaskan dalam Mukhtatsar Tafsīr Ibnu Kathīr [2/376], Allah melarang hamba-Nya untuk mendekati zina, yaitu dengan sebab-sebab dan motif-motif yang mengantarkan pada zina. Demikian karena berzina merupakan perbuatan keji yang mendapatkan dosa amat besar. Seseorang yang memegang prinsip menjauhi zina, adalah orang-orang yang menerapkan prinsip emoh madon.

Kesimpulan

Prinsip molimo yang digagas oleh Sunan Ampel merupakan bentuk nyata dari upaya dakwah yang mengintegrasikan nilai-nilai Islam dengan budaya lokal Jawa. Melalui larangan untuk tidak berjudi (emoh main), tidak minum minuman memabukkan (emoh ngombe), tidak mengonsumsi zat adiktif (emoh madat), tidak mencuri (emoh maling), dan tidak berzina (emoh madon), Sunan Ampel sebenarnya mengajak masyarakat untuk menjauhi perilaku-perilaku terlarang yang telah jelas disebutkan dalam Alquran.

Setiap poin dalam molimo merujuk kepada perintah dan larangan yang termaktub dalam ayat-ayat suci, seperti dalam Q.S. al-Maidah ayat 90, al-Baqarah ayat 188, dan al-Isra’ ayat 32. Dengan demikian, molimo tidak hanya sekadar pedoman moral bagi masyarakat Jawa, tetapi juga merupakan cerminan dari upaya penegakan nilai-nilai Islam yang berlandaskan Alquran dalam kehidupan sehari-hari. Prinsip ini membuktikan bahwa ajaran Islam dapat disampaikan dengan cara yang kontekstual dan relevan dengan budaya setempat tanpa mengurangi esensi dan kemurnian ajaran tersebut.

Wallāhu a’lamu.

 

Q.S Albaqarah Ayat 286 Perspektif Ibnu ‘Asyur: Menegakkan Keadilan dan Kemudahan

0
Q.S Albaqarah Ayat 286 Perspektif Ibnu ‘Asyur: Menegakkan Keadilan dan Kemudahan

Dalam Tafsir al-Tahrir wa al-Tanwir karya Ibn ‘Asyur dijelaskan bahwa surah Albaqarah ayat 286 menegaskan keadilan dan kebijakan Allah Swt dalam membebani individu sesuai dengan kapasitas mereka.

لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا ۗ لَهَا مَا كَسَبَتْ وَعَلَيْهَا مَا اكْتَسَبَتْ ۗ رَبَّنَا لَا تُؤَاخِذْنَا إِن نَّسِينَا أَوْ أَخْطَأْنَا ۗ رَبَّنَا وَلَا تَحْمِلْ عَلَيْنَا إِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهُ عَلَى الَّذِينَ مِن قَبْلِنَا ۗ رَبَّنَا وَلَا تُحَمِّلْنَا مَا لَا طَاقَةَ لَنَا بِهِ ۗ وَاعْفُ عَنَّا وَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنَا ۗ أَنتَ مَوْلَانَا فَانصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِينَ

Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia memperoleh pahala (dari kebaikan) yang dikerjakannya dan ia mendapat siksaan (dari kejahatan) yang dikerjakannya. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami bersalah. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Ya Tuhan kami, dan janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tidak sanggup kami memikulnya. Dan maafkanlah kami, dan ampunilah kami, dan rahmatilah kami. Engkaulah Pelindung kami, maka tolonglah kami terhadap kaum kafir.” (Q.S Albaqarah [2]: 286).

Baca Juga: Al-Baqarah Ayat 286: Allah Swt Tidak Akan Membebani Seseorang Melebihi Kemampuannya

Ibn Ashur menjelaskan bahwa “لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا” adalah  يُعْرَفُ مِنْهُ أَنَّ اللَّهَ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى لَا يُكَلِّفُ النَّفْسَ إِلَّا وُسْعَهَا، وَإِنَّمَا يُقَدِّرُ عَلَيْهَا مِنَ الْأَمْرِ وَالتَّكْلِيفِ مَا يَكُونُ فِي طَاقَتِهَا yang artinya bahwa Allah swt. hanya memberikan ujian dan tanggung jawab yang sesuai dengan kemampuan setiap individu.  (Tafsir al-Tahrir wa al-Tanwir, Jilid 1, 289-291). Jadi, ayat ini mencerminkan prinsip keadilan dan belas kasihan Allah, serta bagaimana hukum Islam harus mempertimbangkan konteks individu dan sosial.

Kemudian, Ibnu ‘Asyur juga menambah keterangan bahwa ayat ini menunjukkan prinsip bahwa Allah swt. menghendaki kemudahan bagi umat-Nya dan tidak menginginkan kesulitan فَيَتَّبِعُ اللَّهُ هَدْيَكُمْ فِي الْحَالِ الَّتِي تَكُونُ عَلَيْهَا وَيُبَيِّنُ لَكُمْ أَنَّهُ يُرِيدُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ. Ketentuan ini berlaku dalam semua aspek ibadah dan hukum Islam. Ia menekankan bahwa penyesuaian terhadap kondisi tertentu, seperti sakit atau perjalanan, mencerminkan sifat belas kasihan dan kemudahan Allah dalam menerapkan hukum-Nya (Tafsir al-Tahrir wa al-Tanwir, Jilid 1, 450-452).

Baca Juga: Serba-serbi Seputar Surah Albaqarah

Ibn ‘Asyur berpendapat bahwa makna doa dalam ayat ini menggambarkan kesadaran manusia akan kelemahan dan ketergantungan kepada Allah swt. Makna dari ayat itu berupa permohonan untuk tidak dihukum jika lupa atau bersalah, serta permohonan untuk tidak dibebani lebih dari kapasitas merupakan bentuk tawadhuk dan pengakuan atas keterbatasan seorang hamba. Ibn ‘Asyur kemudian menyoroti pentingnya memahami konteks ini dalam menghadapi tantangan hidup dan mendapatkan ampunan dan rahmat Allah.

Ibnu ‘Asyur mengatakan dalam kitabnya, وَدُعَاؤُهُمْ فِي هَـٰذِهِ ٱلْآيَةِ تَصْرِيفٌ لِكُلِّ مَا يُحْتَمَلُ أَنْ يَكُونَ مِنَ الإِثْمِ وَالتَّخْطِيئَاتِ الَّتِي تَحْدُثُ مِنْهُمْ  “doanya mereka dalam ayat ini adalah sebagai wanti-wanti, takutnya apa yang dilakukan dari mereka ada yang berupa dosa dan kekeliruan.” (Tafsir al-Tahrir wa al-Tanwir, Jilid 1, 293-295). Jadi dengan mengadopsi prinsip kemudahan, pembuat kebijakan dapat memastikan bahwa peraturan dan prosedur dirancang untuk mendukung semua individu, termasuk mereka yang menghadapi tantangan atau kesulitan.

Ada yang menarik, Tafsir al-Tahrir wa al-Tanwir juga mengaitkan ayat ini dengan prinsip-prinsip hukum Islam, di mana tanggung jawab dan beban harus sesuai dengan kemampuan individu. Ibn ‘Asyur menunjukkan bahwa ayat ini mendukung prinsip keadilan dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk hukum dan kebijakan sosial, dengan menyesuaikan kewajiban dengan kapasitas individu. “الآية تَدُلُّ عَلَى أَنَّ مَا يُحَمَّلُ النَّفْسَ مِنَ التَّكْلِيفِ يَكُونُ وَفْقًا لِمَا تَقْدِرُ عَلَيْهِ وَتَسْتَطِيعُهُ. (Tafsir al-Tahrir wa al-Tanwir, Jilid 1, 297-299).

Ibn ‘Asyur juga menekankan penerapan prinsip-prinsip ini dalam konteks modern, seperti dalam pendidikan dan kebijakan sosial. “إِذَا كَانَ التَّكْلِيفُ وَالْبَاءِ عَلَى النَّفْسِ يَكُونُ حَسَبَ مَا يُمْكِنُهُ أَنْ يَحْتَمِلَ” “prinsipnya bahwa tidak ada yang dibebani melebihi kapasitas mereka mendukung kebijakan inklusif dan adil, serta memastikan bahwa sistem sosial dan hukum berfokus pada kesejahteraan individu.” (Tafsir al-Tahrir wa al-Tanwir, Jilid 1, 305-307).

Dalam penyusunan kebijakan kesehatan atau pendidikan, penting untuk memastikan bahwa aturan dan prosedur disesuaikan dengan kebutuhan dan kemampuan individu, mencerminkan kemudahan dan bukan kesulitan (Khatib, Contemporary Issues in Islamic Jurisprudence, 2015).

Baca Juga: Doa Al-Quran: Doa Agar Diringankan Dari Beban Kehidupan

Dalam praktiknya, prinsip ini memungkinkan fleksibilitas dalam pelaksanaan ibadah. Sebagai contoh, puasa Ramadhan diwajibkan bagi mereka yang mampu, namun mereka yang mengalami kesulitan fisik atau berada dalam perjalanan diberi kelonggaran untuk menggantinya di hari lain. Ini menunjukkan bahwa hukum Islam sangat mempertimbangkan kondisi khusus individu. Sehingga, tidak ada satu pun yang tertekan oleh kewajiban agama. Ini mencerminkan pandangan yang humanistik dan inklusif dalam hukum Islam, memastikan bahwa kewajiban tidak menjadi beban yang tidak tertanggung.

Wallahu a’lam bish shawab.

Doa Nabi Ibrahim a.s dalam Alquran

0
Doa Nabi Ibrahim a.s dalam Alquran

Nabi Ibrahim as. diutus oleh Allah untuk menjadi nabi bagi kaumnya di wilayah Babylon. Pada saat itu, negeri Babylon dipimpin oleh seorang raja bernama Namrud bin Kan’an bin Kusyi yang menyembah berhala, bahkan ia mengaku sebagai tuhan. Penduduknya pun menyembahnya.

Melihat penduduknya yang sedemikian itu, Nabi Ibrahim kerap berdebat dengan mereka tentang siapa tuhan yang sebenarnya. Dari peristiwa-peristiwa tersebut, ada beberapa doa yang dilantunkan Nabi Ibrahim yang tertera dalam Alquran, sebagaimana berikut:

Baca Juga: Deskripsi Alquran tentang Nabi Ibrahim di Beberapa Surah

Doa Tawajjuh (Berhadap Diri kepada Allah)

Kalimat doa ini diucapkan oleh Nabi Ibrahim setelah melewati proses yang begitu panjang dalam pencariannya mencari Tuhan. Maka, setelah ia menemukan keyakinannya bahwa Tuhan adalah Dia yang kekal dan Maha Esa, yang menciptakan bintang, bulan, matahari, serta seluruh alam semesta, ia berdoa sebagaimana termaktub dalam surah al-An’am ayat 79.

إِنِّي وَجَّهْتُ وَجْهِيَ لِلَّذِي فَطَرَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ حَنِيفًا ۖ وَمَا أَنَا مِنَ الْمُشْرِكِينَ

Sesungguhnya aku menghadapkan diriku kepada Rabb yang menciptakan langit dan bumi, dengan cenderung kepada agama yang benar, dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan.

Dalam Tafsir al-Mishbah (Jilid 4, 169), pernyataan Nabi Ibrahim as. bahwa ia menghadapkan wajahnya kepada Pencipta langit dan bumi sebenarnya telah disinggung dalam awal surah ini bahwa, Allah adalah Pencipta langit dan bumi (ayat 1). Dan ajaran yang dibawa olehnya adalah hanif.

Hanif artinya tidak bengkok, tidak memihak kepada pandangan hidup yang hanya memenuhi kebutuhan jasmani, tidak juga semata-mata mengarah kepada kebutuhan rohani. Al-Biqa‘i juga berpendapat bahwa hanif  bermakna kecenderungan kepada fitrah atas dasar dalil dan dengan mudah lagi lemah lembut, bukan atas dasar taklid.

Baca Juga: Tafsir Surah Albaqarah Ayat 260: Belajar Berpikir Kritis dari Nabi Ibrahim

Doa agar diberi hikmah, kesalehan, dan menjadi ahli surga

Ketika Nabi Ibrahim memantapkan keimanannya, ia juga berkeinginan mengajak ayah dan kaumnya agar meninggalkan sesembahannya yakni berhala, dan hanya menyembah Allah semata. Perdebatan dengan kaumnya tersebut diceritakan dalam dalam surah asy-Syu’ara ayat 69-82.

Setelah berseru demikian, ia pun berdoa sebagaimana dalam surah asy-Syu’ara ayat 83-85. Ia memohon agar diberikan hikmah, yakni hakikat kebenaran dari sebuah pengetahuan, serta tindakan dan sikap yang benar.

رَبِّ هَبْ لِي حُكْمًا وَأَلْحِقْنِي بِالصَّالِحِينَ

(Ibrahim berdoa): “Ya Tuhanku, berikanlah aku hikmah dan masukkanlah aku ke dalam golongan orang-orang yang saleh.

Dalam Tafsir ath-Thabari (Jilid 19/619), “berikanlah aku hikmah” maksudnya adalah berilah kenabian kepadaku. Nabi Ibrahim memohon agar dijadikan utusan kepada makhluk-makhluk Allah swt, sehingga ia menjadi bagian dari para utusan dan penerima wahyu.

Baca Juga: Kisah Nabi Ibrahim As dalam Q.S al-An’am Ayat 75-79 dan Ajaran Tauhid

Doa keberpasrahan saat dibakar

Dakwahnya untuk menyebarkan agama Tauhid selalu mendapatkan penolakan, bukan hanya dari kaumnya saja, namun juga ayahnya. Dengan keadaan yang demikian, Nabi Ibrahim merasa tidak perlu lagi berdebat dengan mereka yang sangat keras kepala. Hingga pada satu waktu, ia bertekad untuk menghancurkan berhala-berhala yang mereka sembah.

Aksi itu dilancarkan oleh Nabi Ibrahim ketika kaumnya pergi keluar kota untuk merayakan hari raya/hari yang mereka keramatkan. Mereka pergi berhari-hari dengan membawa bekal makanan. Dengan begitu, kondisi wilayah yang mereka tinggalkan dalam keadaan sepi, maka ia pun mulai menghancurkan patung-patung tersebut. Sebanyak 73 patung telah dihancurkan, dan tersisa satu patung besar yang dikalungi kapak.

Ketika kaumnya kembali, mereka menemukan bahwa patung-patung itu sudah berserakan, hancur. Di antara mereka pun saling bertanya siapakah pelakunya. Salah seorang dari kaumnya berpendapat pasti yang melakukan ini adalah Nabi Ibrahim. Sebab, ia selalu berselisih tentang sesembahan mereka. Ditambah lagi, hanya Nabi Ibrahim yang tidak ikut serta dalam hari perayaan tersebut.

Singkat cerita, Nabi Ibrahim pun diadili. Para hakim sepakat bahwa ia harus dibakar hidup-hidup. Ketika hendak dilemparkan ke gunungan api, malaikat datang ingin menolong, namun Nabi Ibrahim menolaknya. Ia yakin bahwa Allah swt. pasti akan menolongnya tanpa perantara siapapun.

Menurut Ibnu ‘Abbas ra., akhir dari ucapan Nabi Ibrahim saat dilemparkan ke kobaran api adalah kalimat,

حَسْبُنَا اللَّهُ وَنِعْمَ الْوَكِيلُ

Cukuplah Allah menjadi Penolong kami dan Allah adalah sebaik-baik Pelindung. (Ali ‘Imran ayat 173) (Syamsuddin Noor, Doa Para Nabi, 96-122)

Wallahu a’lam bish shawab.

Imam Al-Thabari: Mufasir Besar yang Dipersekusi di Akhir Hayatnya

0
Ibn Jarir At-Thabari
Tafsir Ibn Jarir At-Thabari

Imam Ibn Jarir al-Thabari merupakan seorang bapak tafsir yang karyanya dianggap sebagai ensiklopedia pengetahuan paling kaya di bidang tafsir bi al-ma’tsur. Bahkan para sarjana Timur dan Barat sepakat untuk memberikan nilai yang sangat tinggi pada tafsir tersebut.

Sebagaimana dikutip dalam Thabaqat al-Mufassirin karya al-Suyuthi, Abu Hamid al-Isyfarayni mengatakan, “Andai saja seseorang pergi ke negeri Cina dan mampu melahirkan tafsir Ibn Jarir al-Thabari, maka itu bukanlah sebuah pekerjaan yang besar.”

Theodor Nöldeke, seorang orientalis Jerman juga menulis dalam bukunya, Geschichte des Qorans—ketika mengumpulkan manuskrip asli dari Tafsir al-Thabari—“Apabila kita dapat menghasilkan kitab tafsir ini, maka kita tidak akan membutuhkan tafsir-tafsir yang muncul selanjutnya.”

Baca juga: Ibn Jarir At-Thabari: Sang Bapak Tafsir

Al-Thabari juga dikenal sebagai ulama yang kompeten dalam multidisiplin keilmuan, seperti fikih, hadis, sejarah, dan lain-lain. Bahkan, sebagai seorang mujtahid ia membangun mazhab fikih dengan kajian yang independen, meskipun mazhabnya tidak bertahan hingga saat ini.

Namun, kementerengan ilmu al-Thabari nyatanya tidak dapat menghindarkannya dari berbagai konflik teologis. Bahkan ia dianggap kontroversial karena menafikan mazhab Hambali sebagai aliran yang sah, sebab Ahmad bin Hanbal merupakan ahli hadis dan bukan seorang yang kompeten dalam yurisprudensi Islam.

Bermula dari peristiwa itulah konfliknya dengan pengikut Hambali dimulai dan semakin memanas karena merembet hingga perdebatan tafsir ayat antropomorfisme. Dalam Mazahib al-Tafsir al-Islami, disebutkan bahwa pernah terjadi keributan yang memakan banyak korban di kota Baghdad akibat perselisihan memaknai Q.S. Al-Isra’ (17): 79:

وَمِنَ ٱلَّيْلِ فَتَهَجَّدْ بِهِۦ نَافِلَةً لَّكَ عَسَىٰٓ أَن يَبْعَثَكَ رَبُّكَ مَقَامًا مَّحْمُودًا

Pengikut Hambali menafsirkan bahwa maqam mahmud pada ayat di atas bermakna Allah mendudukkan Nabi Muhammad bersama-Nya di Arsy. Sedangkan kelompok lain yang dipengaruhi Mu’tazilah—dan dijadikan pegangan Ahlussunnah—memahami istilah tersebut sebagai peninggian derajat Nabi Muhammad.

Baca juga: Mengenal Jami’ al-Bayan Karya Ibnu Jarir At-Thabari

Al-Thabari yang terlibat dalam perdebatan itu memberi komentar, “Pembicaraan mengenai duduk di kursi adalah sesuatu yang mustahil,” seraya mendendangkan sebuah syair:

سُبْحَانَ مَنْ لَيْسَ لَهُ أَنِيْس         وَلَا لَهُ فِي عَرْشِهِ جَلِيْس

Maha Suci Ia yang tidak memiliki teman

Dan di arsy-Nya tidak ada teman duduk baginya

Pernyataan itu sontak memancing amarah pengikut fanatik Hambali disusul amukan massa yang terprovokasi melempari Al-Thabari dengan batu, membuat pemerintahan saat itu mengerahkan ribuan pasukan demi melindunginya. Bahkan diceritakan dalam Mu’jam al-Adibba’ bahwa batu-batu tersebut menjadi tumpukan bukit di depan rumah Al-Thabari.

Lebih lanjut, Yaqut al-Hamwi, penulis Mu’jam al-Adibba’ menceritakan bahwa amukan massa terhadap Al-Thabari berlangsung lama hingga ia tidak bisa keluar untuk sekadar memberikan pelajaran kepada murid-muridnya. Ia juga dituduh sebagai Syiah Rafidhah oleh pengikut Hambali yang dipelopori Abu Bakar Ibn Dawud, petinggi Mazhab Hambali di Baghdad.

Baca juga: Perkembangan Tafsir Kawasan Mesir Era Klasik

Sebenarnya pemerintah telah mengatur debat antara al-Thabari dan pengikut Hambali untuk menyelesaikan konflik kedua belah pihak. Pada kesempatan itu al-Thabari bersedia hadir, sedangkan para pengikut Hambali enggan datang kecuali untuk melemparinya dengan batu.

Pengepungan Al-Thabari terus berlangsung hingga akhir hayatnya. Ia wafat di kediamannya dengan meninggalkan duka yang amat mendalam. Mazhab fikih yang dibangunnya pun ikut lenyap seiring berjalannya waktu dan hanya meninggalkan sejarah bagi para pembacanya.

Itulah akhir hidup dari sang mufasir mujtahid yang diberikan ujian cukup berat di akhir hayatnya. Meskipun tidak sedikit kitab Imam al-Thabari yang hilang, tetapi beberapa karya monumentalnya seperti Jami’ al-Bayan dan Tarikh al-Umam wa al-Muluk masih tersisa hingga saat ini dan menjadi oasis segar bagi peradaban Islam.