Beranda blog Halaman 30

Dua Nabi Satu Doa

0
dua nabi satu doa
dua nabi satu doa

Beberapa kisah Nabi dalam Alquran, dua di antaranya selalu dinarasikan secara beriringan, yaitu kisah Nabi Nuh a.s. dan kisah Nabi Hud a.s. Kisah keduanya antara lain terdapat di surah al-A’raf, surah Hud, surah al-Mu’minun, dan asy-Syu’ara’. Tidak banyak mufasir yang membahas rahasia urutan narasi ini, hanya saja keterangan di Mafatih al-Ghaib disampaikan bahwa ada persamaan dari kisah dua nabi ini, yaitu azab yang ditimpakan terhadap kaum mereka sama-sama berupa ṣayḥah (suara yang sangat keras dan menggelegar).

Khusus di surah al-Mu’minun, terdapat persamaan lain dari kisah dua nabi ini, yaitu doa yang dilantunkan oleh Nabi Nuh dan Nabi Hud. Dua nabi satu doa ini tercatat dalam Alquran, surah al-Mu’minun ayat 26 (doa Nabi Nuh) dan ayat 39 (untuk doa Nabi Hud).

Doa yang dimaksud adalah  terambil dari ayat berikut,

  قَالَ رَبِّ انْصُرْنِيْ بِمَا كَذَّبُوْنِ

Dia (Hud atau Nuh) berdoa, “Ya Tuhanku, tolonglah aku karena mereka telah mendustakanku.”

Baca Juga: Doa Nabi Nuh ketika Berlayar di Kapal yang Diajarkan Allah

Konteks Doa

Nabi Nuh diutus oleh Allah terhadap kaumnya untuk mengajak ketauhidan kepada Allah selama hampir seratus tahun, namun hanya sedikit yang beriman. Ketika Allah kemuadian memerintah Nabi Nuh untuk membuat kapal karena aka nada azab hujan badai yang akan diturunkan oleh Allah, kaumnya kemudian tidak hanya mendustakan dakwah Nbai Nuh, tapi juga menganggapnya gila. Setelah itu, beliau memanjatkan doa seperti yang tertera dalam Alquran.

Demikian pula dengan kisah Nabi Hud. Ketika beliau diutus oleh Allah terhadap kaum yang tidak lain adalah kabilahnya sendiri, yakni kaum ‘Ād, untuk mendakwahkan ketauhidan, beliau malah dianggap mengada-ada. Singkat cerita, Nabi Hud kemudian merasa putus asa dan berdoa dengan doa yang sama dengan Nabi Nuh.

Meski berbeda figur, masa dan tempat dari dua nabi tersebut, sepertinya para mufasir, mulai dari at-Tabari, Ibn Katsir, Ibn ‘Aṭiyyah, as-Samarqandī, az-Zamkhsyari, ar-Razi, al-Baghawi, al-Baidhawi, al-Qurṭūbī hingga Ibn ‘Āsyūr  tidak mempertimbangkan hal itu. Dua nabi satu doa ini dianggap mempunyai konteks yang sama, yakni sama-sama sebagai reaksi atas respon kaum keduanya yang juga sama-sama mendustakan, bahkan menghina dan mengejek kedua nabi tersebut.

Berdasar pada konteks ini, ar-Rāzī dalam Mafātih al-Ghaib menerangkan bahwa jika nabi atau rasul sudah berputus asa dengan tindakan kaumnya, maka beliau pun lantas mengadu dan minta tolong keapada Allah. Untuk konteks Nabi Nuh dan Nabi Hud, redaksi aduan dan permintaan tolong keduanya berupa seperti yang tertulis dalam ayat. Pernyataan yang sama juga disampaikan oleh Ibn ‘Aṭiyyah dalam tafsirnya.

Beberapa mufasir yang telah disebutkan sebelumnya, sebagian memahami maksud dari doa tersebut sebagai permintaan pertolongan Nabi Nuh dan Nabi Hud atas kelakuan kaum mereka dan meminta azab untuk mereka sebagaimana yang telah mereka sampaikan jauh hari di awal dakwah mereka. Sebagian mufasir yang lain, seperti ar-Rāzī, az-Zamaksyari masih memberi pilihan makna dalam memahami doa tersebut.

Menurut kedua mufasir tersebut, doa ini mengandung tiga kemungkinan pemahaman. Pertama, pertolongan Allah dengan membinasakan kaum mereka, itu berarti memang disebabkan dusta kaum terhadap nabi mereka. Kedua, doa kedua nabi tersebut bermakna ‘gantikanlah kepada saya (Nabi Nuh atau Nabi Hud), dari dusta mereka dengan kemuliaan kemenangan atas mereka. Ketiga, tolonglah saya (Nabi Nuh atau Nabi Hud) dengan menimpakan azab yang telah Allah siapkan terhadap mereka (yang mendustakan).

Baca Juga: Kisah Nabi Hud As dan Kaum ‘Ad Dalam Al-Quran

Jika membaca penafsiran doa ini, akan terasa sangat berbeda dengan kisah Nabi Muhammad yang berdakwah di Ṭāif dan kemudian ditolak oleh penduduk Ṭāif, beliau didustakan, dan dilempari batu hingga pelipisnya berdarah. Ketika Malaikat Jibril datang untuk menawarkan hukuman bagi penduduk Ṭāif tersebut, Nabi Muhammad malah melaragnya dan berdoa ‘semoga Allah memberi petunjuk terhadap kaumku, karena sesungguhnya mereka tidak mengetahui’. Bisa jadi, inilah salah satu keistimewaan Nabi Muhammad melebihi Nabi-Nabi yang lain.

Dua nabi satu doa ini terdapat dalam satu narasi kisah dalam Alquran, yakni di surah al-Mu’minūn, masih banyak narasi-narasi lain dengan topik yang sama dalam tiga surah Alquran lainnya. Sangat mungkin bagian lain atau bahkan doa Nabi Nuh dan Nabi Hud yang lain juga disampaikan dalam surah lainnya yang melengkapi narasi kisah dua nabi tersebut. Wallah a’lam.

‘Royalti’ Perintis Amal Perbuatan; Tafsir Surah Yasin Ayat 12

0
tafsir surah yasin ayat 12
tafsir surah yasin ayat 12

Dalam surah Yasin ayat 12 diterangkan bahwa Allah akan memberikan ‘royalti’ amal kepada setiap muslim yang mengawali amal perbuatan kemudian diikuti orang lain. Balasan tersebut berupa aliran pahala bagi perintis perbuatan baik, dan sebaliknya dosa bagi perintis kefasikan yang akan terus mengalir meskipun dia telah wafat.

Redaksi ayat tersebut sebagai berikut,

اِنَّا نَحْنُ نُحْيِ الْمَوْتٰى وَنَكْتُبُ مَا قَدَّمُوْا وَاٰثَارَهُمْۗ وَكُلَّ شَيْءٍ اَحْصَيْنٰهُ فِيْٓ اِمَامٍ مُّبِيْنٍ

“Sesungguhnya Kami-lah yang menghidupkan orang-orang yang mati dan Kami (pulalah) yang mencatat apa yang telah mereka kerjakan dan bekas-bekas yang mereka (tinggalkan). Segala sesuatu Kami kumpulkan dalam kitab induk yang nyata.” (QS. Yasin [36]: 12)

Ketika hari akhir kelak, Allah akan membangkitkan kembali orang-orang yang telah mati dan menulis segala apa yang telah mereka kerjakan di dunia untuk di perhitungkan di akhirat. Tidak hanya perbuatan mereka yang ditulis, tetapi juga segala amal yang mereka tinggalkan (atsar).

Baca Juga: Tafsir Surah Yasin Ayat 12

Atsar: Amal yang Mendatangkan Royalti Bagi Pelakunya

Menurut Ibnu Katsir (7/635) yang di maksud dengan atsar dalam ayat ini bisa jadi dua hal. Pertama, yang dimaksud atsar ialah jejak langkah kaki seseorang ketika menuju pada ketaatan atau kemaksiatan. Sebagaimana hadis dari Jabir bin Abdillah, “Daerah sekitar masjid kosong. Bani Salamah bermaksud pindah ke dekatnya. Rencana itu sampai kepada Rasulullah.”

“Beliau saw bertanya kepada mereka, Aku mendapat kabar bahwa kalian akan pindah ke dekat masjid, benarkah?” Mereka menjawab, “Benar, wahai Rasulullah, kami bermaksud demikian.” Mendengar hal ini, Nabi kemudian bersabda,

يَا بَنِي سَلِمَةَ دِيَارَكُمْ تُكْتَبْ آثَارُكُمْ دِيَارَكُمْ تُكْتَبْ آثَارُكُمْ

“Hai Bani Salamah, tempat tinggalmu mencatat jejakmu. Tempat tinggalmu mencatat jejakmu”. Kemudian Nabi membaca ayat 12 ini, dan akhirnya pun mereka mengurungkan niatnya untuk pindah. (HR. Ahmad)

Kedua, amal jariah yang ditinggalkan untuk orang-orang pada masa berikutnya. Jika amal kebaikan maka akan dibalas dengan kebaikan dan begitu pula sebaliknya. Pendapat ini didasarkan pada sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Hatim dari Jarir bin Abdillah al-Bajali,

مَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً حَسَنَةً، فَلَهُ أَجْرُهَا، وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ، مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْءٌ، وَمَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً سَيِّئَةً، كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ، مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْءٌ

“Barangsiapa yang menciptakan tradisi yang baik dalam Islam, maka baginya pahala tradisi itu dan pahala orang yang mengerjakannya sepeninggalnya tanpa dikurangi sedikitpun dari pahala mereka. Barangsiapa yang menciptkan tradisi yang buruk dalam Islam, maka baginya dosa tradisi itu dan dosa orang yang mengerjakannya sepeninggalnya tanpa dikurangi sedikitpun dari dosa mereka.” (HR. Muslim).

Adapun mufasir yang lain, mayoritas dari mereka berpendapat sebagaimana pendapat kedua. Jalaluddin as-Suyuthi misalnya, beliau menerangkan bahwa yang dimaksud dengan jejak yang ditinggalkan adalah segala sesuatu yang diikuti oleh orang lain sepeninggal pelaku amal tersebut. Memang pada ayat ini, Alquran tidak menyebut kata jariah tetapi dengan kata atsar (bekas-bekas yang ditinggalkan).  (Lubab an-Nuqul fi Asbab al-Nuzul h. 217)

Sementara itu, al-Maraghi menafsirkan ayat ini sebagai dasar dari adanya perbuatan sumbangsih yang negatif atapun positif. Sumbangsih dalam hal positif ialah seperti orang-orang yang mengajarkan ilmu, mewakafkan harta di jalan Allah, membagun fasilitas umum seperti rumah sakit, dan lainnya. Sedangkan dalam hal negatif adalah mereka yang memulai kebencian, permusuhan di antara manusia sehingga banyak yang mengikuti mereka. (Tafsir al-Maraghi 23/147)

Baca Juga: Mengenal Mushaf Surah Yasin Kementerian Agama

Kesimpulan

Dari penjelasan diatas, dapat dipahami bahwa di antara amal perbuatan seorang muslim, ada catatan nilai pahala yang berhenti ketika amal ibadah tersebut selesai dilakukan, ada amalan yang nilai pahalanya tidak berujung, terus mengalir meskipun orang yang melakukan sudah wafat (atsar)

Hal tersebut dapat berupa tradisi baik atau tradisi buruk yang dimulai oleh seseorang kemudian diikuti dan dimanfaatkan orang lain. Berdasar pada surah Yasin ayat 12, nilai pahala dan dosa sebagai jejak dari perbuatan tersebut akan tetap mengalir, baik kepada orang pertama yang memulai maupun kepada orang-orang yang mengikuti setelahnya.

Dalil teologis lain yang menguatkan tesis tersebut adalah hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah,

مَنْ دَعَا إِلَى هُدًى كَانَ لَهُ مِنَ الْأَجْرِ مِثْلُ أُجُوْرٍ مَنْ تَبِعَهُ لَا يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ أَجُوْرِهِمْ شَيْئًا وَمَنْ دَعَا إِلَى ضَلَالَةٍ كَانَ عَلَيْهِ مِنَ الْإِثْمِ مِثْلُ آثَامِ مَنْ تَبِعَهُ لَا يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ آثَامِهِمْ شَيْئًا

“Barangsiapa mengajak (manusia) pada petunjuk maka baginya pahala seperti pahala orang yang mengikutinya tanpa mengurangi pahala mereka sedikit pun. Barangsiapa mengajak (manusia) pada kesesatan maka dia mendapatkan dosa seperti dosa-dosa orang yang mengikutinya tanpa mengurangi dosa mereka sedikit pun.”

Berdasar pada surah Yasin ayat 12 ini, dapat diambil pemahaman bahwa cukup bisa dijadikan pertimbangan oleh seseorang untuk mempraktikkan amal perbuatan yang tidak hanya bernilai (pahala) untuk diri sendiri, tetapi juga berusaha untuk meninggalkan atsar yang dapat diikuti dan dimanfaatkan oleh banyak orang. Selain itu, ayat ini juga menjadi pengingat untuk menjauhi perbuatan buruk, terlebih menjadi perintis bagi perbuatan buruk yang dimungkinkan bisa mempengaruhi atau ditiru oleh orang lain, sebab hal tersebut juga akan berbekas untuk dirinya. Wallah a’lam

Dimensi Manusia dalam Alquran: Biologis, Psikologis, dan Sosial

0
Dimensi Manusia dalam Alquran: Biologis, Psikologis, dan Sosial
Berbagai dimensi manusia dalam Alquran

Dalam Alquran, kata manusia ditunjukkan dengan tiga istilah, yaitu basyar, insan, dan an-nas. Penggunaan kata basyar dalam Alquran adalah untuk menjelaskan manusia dari segi biologis. Sebagaimana firman Allah yang mengatakan bahwa Nabi Muhammad adalah basyar seperti manusia pada umumnya yang memiliki nafsu, hasrat, makan, minum, berpasangan, dan lain-lain. Hanya saja bedanya beliau diberikan wahyu oleh Allah untuk menyampaikan ajaran tauhid dan sebagainya.

Jadi, Nabi Muhammad dari sisi biologis sama dengan manusia lainnya, sebagaimana firman Allah:

 قُلْ إِنَّمَآ أَنَا۠ بَشَرٌ مِّثْلُكُمْ يُوحَىٰٓ إِلَىَّ أَنَّمَآ إِلَٰهُكُمْ إِلَٰهٌ وَٰحِدٌ ۖ فَمَن كَانَ يَرْجُوا۟ لِقَآءَ رَبِّهِۦ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَٰلِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِۦٓ أَحَدًۢا

Katakanlah: “Sesungguhnya aku ini manusia biasa seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku bahwa sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah Tuhan yang Esa. Barang siapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadah kepada Tuhannya.” (Q.S. al-Kahfi [18]: 110).

Baca juga: Multidimensional Manusia dalam Alquran Versi Murtadha Muthahhari

Kemudian ada kata insan yang itu lebih mengarah pada sisi psikologis manusia. Contohnya ketika dia mendapatkan kasih sayang dia senang dan pada saat dapat cacian atau makian dia benci. Oleh sebab itulah manusia atau insan diberikan tanggung jawab sebagai khalifah, diperintah ibadah, seperti salat, puasa, dan lainnya. Dan insan juga dalam hal ini tidak labil, meskipun insan diciptakan dalam keadaan lemah, sebagaimana firman Allah:

يُرِيْدُ اللّٰهُ اَنْ يُّخَفِّفَ عَنْكُمْ ۚ وَخُلِقَ الْاِنْسَانُ ضَعِيْفًا

Allah hendak memberikan keringanan kepadamu, karena manusia diciptakan (bersifat) lemah. (Q.S. an-Nisa’ [4]:28).

Karena manusia/insan memiliki sifat lemah, maka Allah memberikan keringanan dan kemudahan dalam memikul tanggung jawab, seperti haji yang hanya diwajibkan bagi yang mampu secara fisik, psikis, maupun ongkos (Manajemen Manusia: Refleksi Diri Meraih Kesempurnaan Hidup, hal. 9).

Baca juga: Isyarat Kreativitas Manusia dalam Kisah Nabi Nuh

Kata kunci manusia dalam Alquran yang terakhir yaitu an-nas yang mengacu pada manusia sebagai makhluk sosial. Konsep an-nas yang dikemukakan dalam Alquran banyak sekali, seperti untuk mengenal dan berbuat baik kepada yang lain, juga saling menghargai. Itu semua tidak lain karena kodrat-Nya yang menciptakan an-nas bersuku-suku dan berbangsa-bangsa. Allah berfirman:

 يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ اِنَّا خَلَقْنٰكُمْ مِّنْ ذَكَرٍ وَّاُنْثٰى وَجَعَلْنٰكُمْ شُعُوْبًا وَّقَبَاۤىِٕلَ لِتَعَارَفُوْاۚ اِنَّ اَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللّٰهِ اَتْقٰىكُمْۗ اِنَّ اللّٰهَ عَلِيْمٌ خَبِيْرٌ

Wahai manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan perempuan. Kemudian, Kami menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Mahateliti (Q.S. Al-Hujarat [49]: 13).

Ahmadi (1999) mengatakan bahwa “manusia tidak mungkin dapat hidup dengan baik tanpa mengadakan hubungan dengan manusia lain, baik hubungan maupun pergaulan dengan orang tuanya, kawan-kawan sebaya atau kelompok-kelompok sosial yang lain. Bahkan S. Freud menegaskan bahwa pribadi manusia yang sering disebut ego tidak mungkin terbentuk dan berkembang tanpa pergaulan dengan manusia lain dengan demikian tidak dapat berkembang sebagai manusia dalam arti selengkap-lengkapnnya.” (Abu Ahmadi. Psikologi Sosial, hal. 18).

Baca juga: Surah Alma’un dan Ibadah Dimensi Sosial

Manusia sebagai makhluk sosial kalau pengertian yang lebih umumnya yaitu berarti ia tidak bisa hidup sendirian tanpa orang lain. Seperti yang dikatakan oleh Aristoteles (384-322 SM), bahwa manusia adalah zoon politicon. Artinya, manusia pada dasarnya makhluk yang ingin selalu bergaul dan berkumpul dengan manusia yang lain, atau makhluk yang bermasyarakat dan bersosial. Menurut Cooley dalam Faesal (1976) dikatakan bahwa kepribadian dan masyarakat merupakan satu kesatuan yang harmonis.

Jadi seperti itulah kurang lebih gambaran manusia dalam Alquran dengan segala dimensinya melalui penyebutan yang berbeda-beda. Manusia sebagai makhluk yang memiliki nafsu, hasrat, makan, minum, dan lainnya ditunjukkan oleh kata basyar. Kata insan itu menunjukkan bahwa manusia diberi amanah oleh Sang Pencipta sebagai khalifah untuk membawa kedamaian, dan diperintahkan untuk senantiasa beribadah kepada-Nya. Kemudian yang terakhir kata an-nas yang mengindikasikan bahwa manusia itu makhluk sosial; makhluk yang pasti saling membutuhkan, dan tidak bisa hidup dengan nyaman, tentram, aman tanpa manusia lainnya. Wallahu a’lam

Persesuaian Tobat Pendosa

0
Persesuaian Tobat Pendosa

Tidak semua kesalahan akan diampuni hanya cukup dengan meminta maaf. Demikian setidaknya penjelasan yang penulis tangkap dari salah satu mau’idzah Gus Baha’. Dalam penjelasannya tersebut, Gus Baha’ menyitir ayat 160 dari surah Albaqarah [2] yang menjelaskan tentang pentingnya tobat.

إِلَّا الَّذِينَ تَابُوا وَأَصْلَحُوا وَبَيَّنُوا فَأُولَئِكَ أَتُوبُ عَلَيْهِمْ وَأَنَا التَّوَّابُ الرَّحِيمُ

Kecuali orang-orang yang telah bertobat, mengadakan perbaikan, dan menjelaskan(-nya). Mereka itulah yang Aku terima tobatnya. Akulah Yang Maha Penerima Tobat lagi Maha Penyayang.

Secara rangkaian, ayat sitiran Gus Baha’ ini merupakan istitsna’ dari ayat sebelumnya, yakni surah Albaqarah [2] ayat 159,

إِنَّ الَّذِينَ يَكْتُمُونَ مَا أَنْزَلْنَا مِنَ الْبَيِّنَاتِ وَالْهُدَى مِنْ بَعْدِ مَا بَيَّنَّاهُ لِلنَّاسِ فِي الْكِتَابِ أُولَئِكَ يَلْعَنُهُمُ اللَّهُ وَيَلْعَنُهُمُ اللَّاعِنُونَ

Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah Kami turunkan berupa keterangan-keterangan dan petunjuk, setelah Kami jelaskan kepada manusia dalam Kitab (Alquran), mereka itulah yang dilaknat Allah dan dilaknat (pula) oleh mereka yang melaknat.

Baca Juga: Kunci Ketigabelas Menggapai Kebahagiaan: Bertaubat dari Segala Dosa

Salah satu ulasan ayat ini telah ditulis oleh Fahmi Azhar berjudul Tafsir Surah Al-Baqarah Ayat 160: Dosa dan Cara Taubatnya Orang Alim. Hanya saja, ulasan Azhar tersebut membatasi pada seorang alim yang melakukan ‘tindak kriminal’ dengan menyembunyikan kealiman yang dimilikinya. Padahal, menurut Wahbah al-Zuhailiy, ayat tersebut berlaku umum (‘amm) dan tidak khusus (khash) pada sebab turunnya.

Lebih lanjut, Wahbah al-Zuhailiy menjelaskan bahwa ke-‘amm-an ayat tersebut berlaku bagi setiap katim-maktum, yakni perkara-perkara yang disembunyikan, dirahasiakan, didustakan, dan atau sebagainya yang mengharuskan adanya transparansi bagi setiap individu. Alim, yang menjadi fokus utama penjelasan Azhar, hanya sebagian dari perkara tersebut.

Penonjolan perkara ilmu dalam beberapa tafsir dari ayat tersebut, seperti dilakukan oleh Ibn Katsir dalam Tafsir al-Qur’an al-‘Adzim, Al-Khazin dalam Lubab al-Ta’wil fi Ma‘ani al-Tanzil, dan Wahbah al-Zuhailiy dalam Al-Tafsir al-Munir, agaknya dikarenakan sebab turunnya ayat tersebut yang menyoal perilaku ulama Yahudi dan Nasrani yang menyembunyikan dan mendistorsi tanda-tanda kenabian Muhammad saw., penjelasan tentang rajam, dan hukum-hukum lainnya. Itulah mengapa dalam rangkaian ayatnya secara eksplisit menyebut diksi tabyin (wa bayyanu).

Kembali pada penjelasan Gus Baha’, pilihan diksi tabyin sebagaimana tertera dalam ayat menunjukkan adanya keharusan persesuaian dalam tobat seorang pendosa berdasar pada kesalahan yang telah ia perbuat.

Baca Juga: Tafsir Surah Yasin Ayat 66-67: Kuasa Allah atas Para Pendosa

Pada ayat 159 di atas kesalahan yang dilakukan adalah kitman, yang menurut Al-Khazin merupakan,

وَمَعْنَى الكِتْمَانِ تَرْكُ إِظْهَارِ الشَّيءِ مَعَ الْحَاجَةِ إِلَى بَيَانِهِ وَإِظْهَارِهِ

Perkara yang seharusnya ditunjukkan kejelasannya malah ditinggalkan untuk tetap berada dalam ketidakjelasan.

Sehingga bentuk persesuaian dari tindakan kitman adalah tabyin yang dalam definisi Al-Khazin sebelumnya secara eksplisit digunakan diksi bayan dan idzhar. Kata bayan sendiri secara harfiah berarti ittidlah atau jelas; menjadi jelas.

Hal ini juga berlaku pada berbagai bentuk kesalahan yang lain. Dan oleh karenanya, tidak akan cukup dalam setiap tindakan kesalahan hanya ditebus dengan meminta maaf. Hutang misalnya. Seseorang yang berhutang kemudian tidak membayar dan melunasinya lantas dengan enteng hanya mengucapkan maaf dan kemudian melupakan tanggungannya tidak akan dianggap cukup dalam tobatnya.

Maka tiga syarat tobat yang diungkapkan oleh Syekh Abdul Qadir al-Jailainiy, misalnya, yakni menyesali tindakannya, meninggalkan setiap kesalahan di mana pun dan kapan pun, serta berjanji dan berusaha tidak mengulangi, adalah terkait hubungan vertikal si pendosa dan Allah Swt. supaya tobatnya diterima di sisi-Nya.

Sedangkan kandungan dari ayat 160 surah Albaqarah, kendati juga berisi unsur vertikal juga turut menyertakan unsur horizontal sesama manusia, yakni hubungan si pendosa di pihak pelaku dengan orang lain di pihak korban. Sehingga sekali lagi, tidak cukup hanya dengan meminta maaf meskipun itu tulus dan bahkan disertai dengan ‘jilat’ isak tangis. Wallahu a‘lam bi al-shawab. []

Haji Hasan Mustapa, Pengarang Tafsir Sunda Qur’anul Adhimi

0
Haji Hasan Mustapa_Pengarang Tafsir Qur'anul Adhimi
Haji Hasan Mustapa_Pengarang Tafsir Qur'anul Adhimi

Hasan Mustapa merupakan seorang Penghulu Besar, ulama, dan dianggap salah satu Pujangga Sunda terbesar di Tatar Pasundan.  Mustapa lahir di Cikajang, Garut pada tahun 1852 dan meninggal di Bandung pada tahun 1930. Ayahnya, Mas Sastramanggala (Haji Usman). Ibunya bernama Nyi Mas Salpah (Emeh), putri dari Mas Kartapraja dan masih keturunan Dalem Sunan Pagerjaya dari Suci, Garut.

Mustapa berasal dari keluarga yang taat beragama dan budayawan. Banyak keluarganya yang menjadi ulama dan menjadi bujangga Sunda, panayagan, dan pencipta lagu. Pada tahun 1965 ahli waris Mustapa menerima piagam penghargaan atas nama dirinya dari Gubernur Jawa Barat. Tahun 1977 dan 2013, Presiden RI memberikan anugerah seni dan kebudayaan kepadanya sebagai sasterawan daerah Sunda.

Selain itu, Mustapa juga menguasai bahasa Arab dan Melayu. Pada masa remajanya (17 tahun) Beliau belajar menuntut ilmu di Makkah selama sepuluh tahun. Tidak hanya belajar di Makkah, beliau juga berguru pada kyai-kyai di Indonesia seperti KH Hasan Basri, Kyai Muhammad, Raden Haji Yahya, Ajengan Abdul Hasan, Muhamnad Ijra’i, dan Kyai Khalil, Bangkalan Madura.

Baca Juga: Mengenal Tafsir Nurul Bajan: Kitab Tafsir Berbahasa Sunda Karya Muhammad Romli

Sekitar tahun 1880 M. setelah beliau menikah dan mempunyai anak, Mustapa berangkat lagi beserta anak dan istrinya ke Makkah dan menjadi pengajar di Masjidil Haram. Sejarawan asal Belanda, Christiaan Snouck Hurgronje berkesempatan berkenalan dengan Hasan Mustapa di Makkah.

Hurgronje mengatakan bahwa Mustapa di sana diikuti oleh beberapa lusin murid setiap kali beliau mengajar. Pun demikian menurut Abubakar Djajadiningrat bahwa Mustapa mempunyai murid di Masjidil Haram lebih kurang 30 orang. Menurut Jajang A Rohmana dalam bukunya, Sejarah Tafsir al-Qur’an di Tatar Sunda, Mustapa merupakan salah satu informan pribumi yang membuka informasi bagi Snouck Hurgronje untuk memperoleh pengetahuan tentang Islam lokal.

Pada tahun 1895 Mustapa menjadi penghulu besar di Bandung setelah sebelumnya dua setengah tahun menjadi Penghulu Besar di Aceh. Selama beliau menjadi penghulu sampai dengan pensiun (1918), beliau banyak menulis karangan dalam bahasa Sunda dan juga bahasa Jawa baik berupa prosa maupun puisi.

Mustapa dianggap oleh khalayak umum sebagai orang yang benar-benar paham dengan adat istiadat Sunda. Oleh karenanya beliau diminta menulis buku yang menghasilkan Bab Adat-adat Urang Priangan Jeung Sunda Lianna ti Eta (Bab adat-adat orang Priangan dan Sunda selain dari itu) diterbitkan di Jakarta pada tahun 1913.

Tulisan-tulisan Mustapa antara lain mencakup bidang keagamaan, tasawuf, filsafat, dan adat istiadat orang Sunda. Di antara karya tulisanya yaitu: Dangding Djilid Anu Kaopat (1960), Aji Wiwitan Qur’an Sutji (1920), Dangding Djilid Anu Kaopat (1960). Tafsir Qur’anul Adhimi merupakan salah satu karya prosanya yang berkaitan dengan keagamaan.

Tulisannya banyak, namun sayangnya banyak juga karyanya yang tidak diterbitkan sebagai buku. Sekretarisnya, Wangsadiredja membuat salinan karangan Mustapa dan dikirimkan kepada Snouck Hurgronje di Leiden dan sampai sekarang di simpan di perpustakaan Universitas Leiden. Termasuk karyanya yang berjudul Injazu’l-Wa’d, fi ithfa-i-r-Rad yang merupakan hasil karnyanya untuk membantah tuduhan sebagai pengikut Wihdatul Wujud juga tersimpan di  perpustakaan Universitas Leiden.

Baca Juga: Jajang A Rohmana: Penguak Ekspresi Lokalitas Tafsir Al-Quran di Sunda

Sekilas tentang Tafsir Qur’anul Adhimi

Menurut Prof Jajang A Rohmana (Guru Besar yang banyak meneliti tafsir Sunda) tafsir Qur’anul Adhimi, (1921-1922) karya Hasan Mustapa berbeda dengan sistematika tafsir standar. Pengarang kitab tafsir tersebut terkadang hanya menerjemahkan ayat secara bebas atau menafsirkan sesuai visinya dan memberi cacatan tentang maksud ayat. Namun, Mustapa hanya memilih menafsirkan 105 ayat yang menurutnya dianggap cocok dan paling penting untuk orang Sunda.

Beliau menganggap bahwa cukup 105 ayat yang dipilihnya itu saja untuk dipelajari orang Sunda karena yang lainnya terlalu terikat dengan budaya dan sejarah Arab yang (dianggapnya) tidak akan dipahami oleh orang Sunda (pada masa Mustapa hidup).

Jumlah yang disebutkan Mustapa 105 ayat, sebetulnya perhitungan dari ayat-ayat yang utuh saja. Menurut perhitungan Ajip Rosidi jumlah sebenarnya adalah 352 ayat dari 56 surat (dihitung seluruh ayat termasuk yang hanya penggalan). Ayat-ayat yang dipilih adalah ayat tentang akidah dan akhlak, tidak berhubungan dengan masalah syariat atau hukum.

Sesuai dengan background mufasir, yaitu seorang Bujangga Sunda, hal tersebut kerap menghiasi gaya penafsirannya. beliau seringkali menggunakan ungkapan tradisional yang berasal dari cerita pantun, sehingga diperlukan penafsiran tertentu untuk memahami kata-kata yang digunakan Mustapa dalam tafsirnya.

Baca Juga: K.H. Choer Affandi: Santri Kelana Pemilik Tafsir Sunda Choer Affandi

Corak penafsirannya cenderung termasuk ke dalam corak tafsir bil ishari atau sufi. Sedangkan metode penyanjiannya menggunakan metode ijmali meski tidak selalu berurutan, karena hanya memilih 105 ayat. Ciri khas dari tafsir sufistik Mustapa adalah aspek lokalitas Sunda yang menghiasi tafsirnya dan kepiawaiannya dalam menggunakan metafor alam kesundaan dan bahasa sastra Sunda.

Beliau seringkali menggunakan nuansa alam sunda dan bahasa sastrawi ketika menjelaskan makna batin ayat. Cerita seperti Babad Demak, Ciung Wanara dan nuansa alam kesundaan digunakannya secara spontan yang dipertemukan dengan tafsir sufistik Al-Qur’an.

Salah satu metafor cantik yang digunakan Mustapa dalam tafsirnya yaitu ketika beliau mengambarkan kasih sayang orang tua ketika menafsirkan surah al-Ahqaf ayat 15. Hasan Mustapa meminjam peribahasa Sunda yang berbunyi: Indung teu muguran bapa teu ngarangrangan (kasih ibu tidak berguguran, kasih ayah tidak pernah kering). Ayat tersebut berbicara mengenai keharusan berbuat baik kepada orangtua karena betapa susahnya seorang ibu ketika mengandung. Mustapa juga secara puitis meminjam bahasa pantun bahasa Sunda untuk menggambarkan nasihat bakti untuk keduanya.

 “Nya munjung kudu ka indung, indung nu teu muguran; nya muja kudu ka bapa, bapa nu teu ngarangrangan. Indung nurunkeun wawatek pepek, bapa nurunkeun napsu pangala. Karek pantes boga basa tuang ibu tuang rama. Hartina tuang ibu perwatek jalma, tuang rama perwatek napsu manusa. Duanana tedak ti indung ti bapa, pendekna indung tuang bapa tuang, nu ngahuapkeun putrana”

(Mintalah kepada Ibu (yang kasih sayangnya) tidak pernah berguguran, memintalah pada ayah, kasih sayangnya tidak pernah mengering. Ibu menurunkan watak kecukupan, ayah menurunkan nafsu mencari nafkah. Maka baru pantas memiliki Ibu dan ayah. Artinya ibu menjadi watak manusia, ayah watak nafsu manusia. Keduanya asli keturunan ibu dan ayah. Pendeknya ibu makan, ayah makan dan yang memakannya anaknya).

Hal yang unik lainnya adalah Hasan Mustapa membumbui tafsirnya dengan menyebutkan kebiasaan orang Sunda untuk memperjelas makna ayat Alquran. Seperti ungkapan Lalab yang merupakan tradisi orang Sunda dan tidak ada dalam tradisi Arab. Selain itu, dalam menafsir, Mustapa sering menggunakan ungkapan tradisional seperti sisindiran, pantun, dan lainnya. Demikian sekilas tentang tafsir Sunda, setidaknya kita bisa melihat bagaimana Islam dapat beradaptasi dengan berintegrasi dengan beragam budaya, tanpa kehilangan esensi ajarannya. Wallah a’lam.

Konsep Iman dalam Beberapa Dalil yang Digunakan oleh Ulama

0
konsep iman dalam beberapa dalil Alquran
konsep iman dalam beberapa dalil Alquran

Satu ayat Alquran beragam penafsiran, satu konsep bahasan dengan beragam dalil ayat Alquran. Hal yang demikian lumrah terjadi dalam dunia penafsiran Alquran. Salah satu contohnya yaitu pembahasan tentang konsep iman yang disampaikan oleh beberapa ulama. Konsep iman yang mereka tawarkan terkadang berbeda, uniknya, perbedaan itu tidak jarang datang dari dalil ayat Alquran yang sama.

Iman, sederhananya dipahami dengan ‘percaya’. Apakah iman hanya terbatas pada pembenaran dalam hati, ataukah iman juga harus mencakup pengetahuan, daya pikir, dan pengalaman nyata dalam kehidupan? Dengan kata lain, apakah iman itu hanya tashdiq (pembenaran terhadap apa yang didengar), ataukah ia juga harus mencapai makrifah (pengetahuan tentang kebenaran yang diyakini) dan amal (perbuatan)?

Menurut pemikiran kalam (teologi) rasional, iman memberikan kekuatan yang signifikan kepada akal, sehingga iman tidak hanya sebatas tashdiq, tetapi juga harus mencakup makrifah dan amal (perbuatan yang muncul dari pengetahuan tentang Tuhan). Hal ini disampaikan oleh Harun Nasution dalam bukunya, Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah hlm. 89. Berbeda dengan pemikiran kalam tradisional yang memberikan peran kecil kepada akal, iman hanya dianggap sebagai tashdiq.

Aliran kalam rasional berpendapat bahwa akal manusia dapat mengetahui adanya Tuhan, kewajiban berterima kasih kepada Tuhan, memahami baik dan buruk, serta kewajiban untuk mengerjakan yang baik dan meninggalkan yang buruk. Oleh karena itu, iman tidak hanya sebatas tashdiq, melainkan harus meningkat menjadi makrifah dan amal.

Baca Juga: Surat al-Anfal [8] Ayat 2: Ciri-Ciri Orang Yang Beriman Menurut Al-Qur’an

Dalil yang digunakan oleh ulama tentang konsep iman

Menurut Maturidiyyah Samarkand, sebagaimana dijelaskan oleh Imam Abu Mansur Al-Maturidi, iman adalah tashdiq bukan sekadar ucapan lisan. Abu Mansur Muhammad bin Muhammad bin Mahmud Al-Maturidi dalam Kitab at-Tauhid (Ed. Fathullah Khalifah, hlm. 372) menjelaskan bahwa iman tidak cukup hanya dengan ucapan, sedangkan hati tidak percaya.

Pernyataan iman dari lisan menjadi batal jika hati tidak mengakui apa yang diucapkan. Al-Maturidi mengacu pada firman Allah dalam surah al-Hujurat ayat 14,

قَالَتِ الْاَعْرَابُ اٰمَنَّاۗ قُلْ لَّمْ تُؤْمِنُوْا وَلٰكِنْ قُوْلُوْٓا اَسْلَمْنَا وَلَمَّا يَدْخُلِ الْاِيْمَانُ فِيْ قُلُوْبِكُمْۗ وَاِنْ تُطِيْعُوا اللّٰهَ وَرَسُوْلَهٗ لَا يَلِتْكُمْ مِّنْ اَعْمَالِكُمْ شَيْـًٔاۗ اِنَّ اللّٰهَ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ

“Orang-orang Arab Badui berkata, ‘Kami telah beriman.’ Katakanlah (kepada mereka), ‘Kamu belum beriman, tetapi katakanlah, ‘Kami baru berislam’ karena iman (yang sebenarnya) belum masuk ke dalam hatimu. Jika kamu taat kepada Allah dan Rasul-Nya, Dia tidak akan mengurangi sedikit pun (pahala) amal perbuatanmu.’ Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Q.S. al-Hujurat [49]: 14).

al-Maturidi memandang ayat ini sebagai penegasan bahwa iman tidak hanya sekadar ucapan sedang hati belum mengakui. Tashdiq yang dipahami oleh Al-Maturidi adalah tashdiq yang dihasilkan melalui makrifah, dan bukan hanya berdasarkan as-sam’u (pendengaran). Al-Maturidi mendasarkan pandangannya pada surah al-Baqarah ayat 260:

وَإِذْ قَالَ إِبْرَٰهِيمُ رَبِّ أَرِنِى كَيْفَ تُحْيِ الْمَوْتَىٰ ۖ قَالَ أَوَلَمْ تُؤْمِن ۖ قَالَ بَلَىٰ وَلَٰكِن لِّيَطْمَئِنَّ قَلْبِي ۖ قَالَ فَخُذْ أَرْبَعَةً مِّنَ الطَّيْرِ فَصُرْهُنَّ إِلَيْكَ ثُمَّ اجْعَلْ عَلَىٰ كُلِّ جَبَلٍ مِّنْهُنَّ جُزْءًا ثُمَّ ادْعُهُنَّ يَأْتِينَكَ سَعْيًا ۚ وَاعْلَمْ أَنَّ ٱللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ

“Dan (ingatlah) ketika Ibrahim berkata: ‘Ya Tuhanku, perlihatkanlah kepadaku bagaimana Engkau menghidupkan orang-orang mati.’ Allah berfirman: ‘Belum yakinkah kamu?’ Ibrahim menjawab: ‘Aku telah meyakinkannya, akan tetapi agar hatiku tetap mantap (dengan imanku).’ Allah berfirman: ‘Kalau demikian, ambillah empat ekor burung, lalu cincanglah semuanya olehmu. Letakkan di atas tiap-tiap satu bukit satu bagian dari bagian-bagian itu, kemudian panggillah mereka, niscaya mereka datang kepadamu dengan segera. Dan ketahuilah bahwa Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.’” (Q.S. Al-Baqarah [2]: 260).

Menurut al-Maturidi, ayat ini menunjukkan bahwa permintaan Nabi Ibrahim untuk melihat bukti bukan berarti dia belum beriman, tetapi untuk meningkatkan iman yang sudah dimilikinya ke tingkat makrifah. (Kitab at-Tauhid, hlm. 381)

Baca Juga: Ragu yang Diperbolehkan, Tafsir Surah Al-Baqarah Ayat 260

Di sisi lain, aliran Mu’tazilah berpendapat bahwa iman juga bukan hanya tashdiq dan makrifah, tetapi harus diiringi dengan amal. Mu’tazilah menyatakan bahwa iman adalah pelaksanaan perintah Tuhan. Seseorang tidak disebut beriman jika hanya mengetahui Tuhan tanpa melaksanakan perintah-Nya atau malah menentangnya. (Teologi Islam, hlm. 147)

Konsep iman tersebut didasarkan pada surah al-Anfal ayat 2,

اِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ إِذَا ذُكِرَ ٱللَّهُ وَجِلَتْ قُلُوبُهُمْ وَإِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ آيَاتُهُ زَادَتْهُمْ إِيمَانًا وَعَلَىٰ رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman adalah mereka yang apabila disebut nama Allah gemetar hatinya, dan apabila dibacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, bertambah (kuat) imannya dan hanya kepada Tuhan mereka bertawakal.” (Q.S. Al-Anfal [8]: 2).

Abd Al-Jabbar menilai bahwa ayat ini menunjukkan iman tidak hanya pembenaran dalam hati, tetapi juga berbentuk pengalaman jasmani. Bagian di akhir ayat menunjukkan bahwa tawakkal kepada Allah adalah wajib yang menuntut manusia untuk melaksanakan usaha sesuai tuntunan Allah, bukan mengabaikan usaha atau menyia-nyiakan diri. (Mutasyabbib, hlm. 314).

Di kalangan para pemikir kalam tradisional, iman dianggap sebagai tashdiq. Sejalan dengan pandangan kalam rasional yang memberikan peran kecil kepada akal, iman dalam konteks agama terutama berlandaskan wahyu. Oleh karena itu, tashdiq berarti pembenaran terhadap wahyu yang diterima.

Asy’ari dalam kitab al-Luma’, hlm. 123 memberikan konsep iman sebagai “al-iman huwa al-tashdiq bi Allah” (menerima informasi tentang adanya Allah). Al-Bazdawi dari aliran Maturidiyyah Bukhara mengatakan iman adalah menerima dalam hati dengan lidah bahwa tidak ada selain Allah dan tidak ada yang serupa dengan-Nya. (kitab Ushul, hlm. 142).

Aliran Asy’ariyyah, sebagaimana dijelaskan oleh Asy’ari, menggunakan dalil naqli dari surah Ibrahim ayat 4, surah asy-Syu’ara ayat 195, dan surah Yusuf ayat 17. Ayat-ayat tersebut menjelaskan bahwa informasi perihal agama harus disampaikan dalam bahasa kaum tempat seorang rasul diutus dan dalam bahasa Arab yang jelas. Oleh karena itu, iman berarti tashdiq atas wahyu Allah. Sementara itu, Asy’ari mengaitkan ayat 17 surah Yusuf dengan hubungan antara kata mu’min dan shadiqin, sehingga iman adalah tashdiq bi al-qalb (pembenaran dengan hati atas berita yang dibawa oleh nabi dan rasul).

Kurang lebih demikian pemahaman tentang konsep iman dari beberapa ulama. Jika dibaca ulang, meski tidak selalu sama, penjelasan yang disampaikan oleh mereka saling melengkapi dan menyempurnakan, tidak ada yang bertentangan. Wallah a’lam

Di Balik Yatimnya Seorang Nabi Muhammad Saw

0
Di Balik Yatimnya Seorang Nabi Muhammad Saw

Nabi Muhammad sebagaimana riwayat masyhur terlahir pada hari Senin sebelum fajar, tanggal 12 Rabi al-Awal. Beliau dilahirkan sebagai anak yatim, ayahnya Sayyid Abdullah bin Abdul Muthallib meninggal dunia saat Nabi berusia dua bulan dalam kandungan. Sementara ibunya, Siti Aminah binti Wahab wafat beberapa tahun kemudian.

Keadaan yatim yang dialami Nabi Muhammad saat kecil ini membuat malaikat merasa iba dan mengadu kepada Allah. Sebagaimana dikatakan Ibnu Abbas, mereka mengadu, “Ya Allah, Nabi-Mu tinggal dalam keadaan yatim.” Allah kemudian menjawab, “Aku yang akan menjaga dan membelanya.”

Baca Juga: Kisah Perhatian Nabi Muhammad Terhadap Anak Yatim Terutama di Hari Raya

Imam Nawawi mengatakan, ratapan malaikat ini berangkat dari keprihatinan atas nasib anak-anak yatim yang pada umumnya tidak memiliki tempat perlindungan, tanpa pengayoman dan sentuhan kasih sayang dari orang tuanya. Tetapi Allah menjamin langsung pemeliharaan Nabi Muhammad kecil di tengah situasi yatimnya dan hal ini disebutkan pula dalam QS. Ad-Dhuha ayat 6:

أَلَمْ يَجِدْكَ يَتِيمًا فَآوَىٰ

“Bukankah Dia mendapatimu sebagai seorang yatim, lalu Dia melindungi(mu).”

Ad-Dhuha Ayat 6: Pengalaman Nabi saw Kecil Menjadi Seorang Yatim

Ayat ini sebagai penetapan (istifham taqriri), ‘Bukankah Dia mendapatimu sebagai seorang yatim yang membutuhkan perlindungan sebab kehilangan orangtua sebelum engkau dilahirkan atau setelahnya, dengan menyerahkan engkau kepada kakek dan pamanmu.’ (Tafsir Jalalain h. 912) Allah yang melunakkan hati mereka agar merasa iba kepada Nabi Muhammad kecil, bahkan Abu Thalib yang tidak seagama dengannya.

M. Quraish Shihab (15/334-335) menerangkan kata yatim dalam Alquran memiliki makna kepapaan. Yatim digambarkannya sebagai seseorang yang nelangsa dan sebagai seorang yang tidak memperoleh pelayanan yang layak. Kemudian, Allah menjamin perlindungan yang melahirkan rasa aman dan ketentraman, baik langsung dari-Nya maupun dari makhluk seperti manusia atau lainnya.

Ibn Asyur memahami perlindungan yang dimaksud di sini adalah menjadikan beliau mencapai kesempurnaan dan istiqamah serta pendidikan dan pemeliharaan yang sempurna— padahal biasanya anak-anak yatim tidak memperoleh pendidikan, sehingga dianggap sebagai kelompok yang lemah (mustadh’afin).

Baca Juga: Pembelaan Al-Quran terhadap Dhu’afa dan Mustadh’afin

Sementara dalam Tafsir al-Munir (30/285) diterangkan bahwa Allah memberikan tempat berlindung, yakni rumah kakek dan pamannya.  Nabi saw kehilangan ayahnya saat masih dalam kandungan ibunya atau setelah dilahirkan. Kemudian saat beliau baru berusia enam tahun, ibunya meninggal dunia.

Ketika itu pengasuhan Nabi saw kecil diambil alih oleh kakeknya, Sayyidina Abdul Muthalib sampai beliau wafat. Saat itu Nabi saw berusia delapan tahun, kemudian diasuh oleh pamannnya, Abu Thalib. Ia selalu menjaga dan menolong Nabi saw setelah Allah mengangkatnya menjadi nabi dan rasul pada awal usia 40 tahun.

Hikmah Dibalik Yatimnya Nabi Saw

Hikmah Nabi saw dijadikan seorang yatim menurut Al-Qurthubi (20/96) dengan mengutip keterangan Ja’far as-Shadiq, ialah supaya tidak ada makhluk yang berhak menguasai​nya. Sementara Imam Nawawi menukil pendapat Ibnul Imad, Nabi Muhammad dipersiapkan oleh Allah untuk menjadi orang besar di kemudian hari. Oleh karena itu, beliau ditempatkan dalam situasi yatim agar kelak di kemudian hari Nabi saw menyadari bahwa kemuliaan dirinya berasal dari Allah, bukan karena orang tua ataupun hartanya. (Syarh Nur adz-Dzalam 26-27)

Baca Juga: Mengurusi Harta Anak Yatim, Perhatikan Pesan Surat An-Nisa Ayat 6

Pendapat serupa disampaikan Al-Maraghi, yang menerangkan, bahwa sejak kecil Nabi saw memang sudah dikader menjadi seorang nabi lewat penjagaan Allah. Jika orang-orang merenungkan tentang perlindungan dan bagusnya penjagaan-Nya kepada Nabi saw.

Biasanya keyatiman seorang anak dapat menjadi sebab kehancuran akhlaknya, karena tidak ada pembimbing yang bertanggung jawab. Terlebih lagi, suasana dan sikap penduduk Mekah saat itu lebih dari cukup untuk menyesatkan beliau. Akan tetapi, perlindungan Allah dapat mencegah Nabi dari hal tersebut.

Dengan demikian, jadilah beliau seorang pemuda yang sangat jujur, terpercaya, tidak pernah berdusta, dan tidak pernah bergelut dengan dosa sebagaimana orang-orang  Jahiliah. (Tafsir al-Maraghi, 30/148)

Satu lagi keterangan dari al-Zuhaili, hikmah di balik situasi yatim yang dialami Rasulullah saw ini agar beliau mengetahui kondisi anak yatim sehingga kemudian dapat berempati terhadap anak yatim dan orang-orang fakir sebagai kelompok lemah, menurut adat kebanyakan manusia.

Allah juga memerintahkan beliau agar tidak berbuat zalim kepada anak yatim dan memberikan haknya, serta mengingatkan bahwa beliau dahulu adalah seorang anak yatim seperti mereka. Ayat ini sejatinya juga mengajarkan kepada umat Nabi Muhammad agar mengasihi dan bersikap lemah lembut kepada anak yatim sebagaimana Rasul berbuat baik kepadanya.

Rasulullah bersabda, “Kasihanilah anak-anak yatim dan muliakanlah orang-orang asing karena aku saat kecil dahulu juga mengalami situasi yatim dan saat dewasa menjadi orang asing. Allah memandang belas kasih kepada orang asing setiap hari seribu kali pandangan.”

Keutamaan mengasihi anak yatim sebagaimana diriwayatkan Abu Hurairah, Nabi saw bersabda, “Aku dan orang yang menyantuni anak yatim baginya atau orang lain, seperti dua benda ini.” Beliau mengisyaratkan dengan jari telunjuk dan jari tengah. (HR. Bukhari)

Demikian, hikmah keyatiman Nabi dapat menjadi pelajaran penting bagi umatnya untuk meneladani Nabi saw perihal sikapnya terhadap kelompok mustadhafin, termasuk di dalamnya anak yatim, fakir, miskin, dan mereka yang dilemahkan dalam struktur sosial.

Wallah a‘lam.[]

Tafsir Ilmi Q.S. An-Nur Ayat 34: Proses Terbentuknya Awan

0
Tafsir Ilmi Q.S. An-Nur Ayat 34: Proses Terbentuknya Awan
Tafsir Ilmi Q.S. An-Nur Ayat 34: Proses Terbentuknya Awan

Proses terbentuknya awan merupakan fenomena alam yang menakjubkan, kompleks, dan menjadi tanda-tanda kebesaran Allah. Jauh sebelum ilmuwan Barat seperti Luke Howard, Francis Beaufort, dan Vilhelm Bjerknes berhasil menemukan kajian tentang meteorologi dan geofisika yang di antaranya membahas tentang awan ini, Alquran berabad-abad lalu sejatinya telah mengisyaratkan hal tersebut. Ini sebagaimana dalam surah an-Nur ayat 43, Allah berfirman:

اَلَمۡ تَرَ اَنَّ اللّٰهَ يُزۡجِىۡ سَحَابًا ثُمَّ يُؤَلِّفُ بَيۡنَهٗ ثُمَّ يَجۡعَلُهٗ رُكَامًا فَتَرَى الۡوَدۡقَ يَخۡرُجُ مِنۡ خِلٰلِهٖ‌ۚ وَيُنَزِّلُ مِنَ السَّمَآءِ مِنۡ جِبَالٍ فِيۡهَا مِنۡۢ بَرَدٍ فَيُـصِيۡبُ بِهٖ مَنۡ يَّشَآءُ وَ يَصۡرِفُهٗ عَنۡ مَّنۡ يَّشَآءُ‌ ؕ يَكَادُ سَنَا بَرۡقِهٖ يَذۡهَبُ بِالۡاَبۡصَارِؕ

Tidakkah engkau melihat bahwa Allah menjadikan awan bergerak perlahan, kemudian mengumpulkannya, lalu Dia menjadikannya bertumpuk-tumpuk, lalu engkau lihat hujan keluar dari celah-celahnya dan Dia (juga) menurunkan (butiran-butiran) es dari langit, (yaitu) dari (gumpalan-gumpalan awan seperti) gunung-gunung, maka ditimpakan-Nya (butiran-butiran es) itu kepada siapa yang Dia kehendaki dan dihindarkan-Nya dari siapa yang Dia kehendaki. Kilauan kilatnya hampir-hampir menghilangkan penglihatan (Q.S. an-Nur [24]: 43).

Penjelasan Tafsir Ayat tentang Proses Terciptanya Awan

Awan (sahab) secara bahasa artinya menarik kembali. Dimaknai demikian karena ada angin yang mendorongnya atau karena satu sama lain saling berkejaran. Adapun menurut istilah ialah kumpulan partikel-partikel kecil air yang melayang di atmosfer. Menurut Zaghlul an-Najjar ukurannya hampir tidak lebih dari satu micron dengan diameter (0,001 milimeter) yang ada di atmosfer.

Musthafa al-Maraghi dan Wahbah Zuhaili menjelaskan bahwa Allah mengarak dan mengumpulkan awan yang berserakan menjadi bertumpuk satu sama lain, lalu keluarlah darinya hujan. Kemudian di masa kontemporer ini, terdapat mufasir yang mencoba meneliti dan mempelajari tentang kesesuaian antara ayat-ayat Alquran dengan ilmu pengetahuan yang berkembang di era modern ini. Di antaranya ialah Tanthawi dan Zaghlul.

Adapun pendapat Tanthawi Jauhari terkait tahapan pembentukan awan sebagaimana ayat di atas, ia menjelaskan bahwa awalnya awan-awan yang berukuran kecil bergerak karena digerakkan oleh Allah dengan angin menuju awan lainnya, sehingga darinya berkumpul membentuk gumpalan awan lebih besar mengandung titik-titik air yang kemudian tersusun lapisan-lapisan. Hingga pada waktunya, gumpalan-gumpalan tersebut menurunkan hujan ke bumi (Tafsir Jawahir, 8/21-44).

Baca juga: Mencari Titik Temu Sains dan Alquran

An-Najjar (2/291) menjelaskan lebih detail bahwa proses terbentuknya awan merupakan akibat penguapan air dari daratan maupun lautan. Uap air itu didorong oleh angin secara horizontal dan vertikal dalam bentuk udara lembab menuju ke kawasan yang lebih dingin atau bertekanan rendah. Di sini mulailah proses kondensasi di dalam bentuk bintik-bintik air yang sangat halus hingga membentuk awan. Kemudian arus angin mendorong serbuk debu dan neklus kondensasi lain ke dalam awan, sehingga membantu proses pemadatan uap air dan pertumbuhan bintik-bintik air sampai menjadi massa yang membuatnya turun ke bumi dalam bentuk hujan.

Gerak angin memiliki peran penting pada proses pembentukan awan. Hal ini juga diterangkan oleh sains bahwa ada beberapa faktor yang mempengaruhi, salah satunya ialah angin. Apabila angin berhembus dengan kencang maka proses penguapan akan menjadi lebih cepat yang ujungnya berdampak pula pada cepatnya pembentukan awan (Awan, Matahari, Kelembapan, h. 10).

Komparasi Alquran dan Sains dalam Fenomena Pembentukan Awan

Penjelasan tafsir yang telah diuaraikan di atas terkait ayat tentang proses pembentukan awan ternyata selaras dengan sains modern. Para ilmuwan menjelaskan awan merupakan kumpulan uap air berdiameter 0,02 sampai 0,06 mm di atmosfer yang berasal dari penguapan air laut, danau, ataupun sungai yang terkena sinar matahari. Proses tersebut dinamakan kondensasi, yaitu berubahnya cairan menjadi gas (Earth Science, 5/370).

Baca juga: Zaghlul al-Najjar, Geolog Asal Mesir Pakar Tafsir Sains Alquran

Semakin tinggi suhu udara, maka semakin banyak pula uap air yang terkandung di dalamnya. Kumpulan uap air tersebut naik ke atmosfer dan menyatu dengan zat lainnya yang beterbangan di udara seperti debu. Apabila uap air tersebut berada pada ketinggian lebih dari 1km dari permukaan laut, maka uap air akan berubah menjadi awan. Dan jika suhu udara disekitarnya sangat dingin hingga dibawah titik beku, maka uap air akan menjadi hujan yang turun ke bumi (Sains dalam Alquran, h. 509-590).

Awan merupakan salah satu rahmat Allah yang dikaruniakan untuk manusia. Sebagaimana fungsi dan manfaat awan pada kehidupan di muka bumi, tidak hanya untuk memperindah langit, tetapi juga memainkan peran penting dalam sistem cuaca dan iklim. Dengan memahami tentang awan, terutama dalam hal ini proses terbentuknya awan, seorang muslim dapat menghargai keindahan dan pentingnya benda langit tersebut dalam menjaga keseimbangan planet bumi. Wallahu a’lam bis-shawwab.[]

Kitab Al-Mashabih An-Nuraniyyah: Pensyairan (Nazam) Hadis Tentang Alquran

0
Kitab Al-Mashabih An-Nuraniyyah: Penazaman Hadis Tentang Alquran

Para ulama dalam menuangkan gagasannya dalam sebuah karya setidaknya ada dua macam model, yaitu prosa (natsar) dan puisi atau syair (nazam). Penggunaan nazam lebih memudahkan untuk mengingat materi pelajaran dari pada yang berbentuk natsar. Walaupun masing-masing dari keduanya punya kelebihan dan kekurangan. Maka tak jarang kedua model tersebut digunakan bersamaan, baik oleh penulisnya sendiri atau ulama lain.

Misalnya, dalam bidang akidah Islam dikenal kitab ‘Aqidatul Awam yang disusun oleh Sayyid Ahmad Al-Marzuqi. Kitab tersebut berupa nazam. Lalu, penyusunnya mensyarahi/meberikan penjelasan untuk memudahkan pemahaman dengan judul Tahsilu Nailil Maram. Tradisi keilmuan semacam ini juga berkembang di Nusantara, baik berbahasa Arab, maupun bahasa daerah. Seperti halnya Kiai Abdullah Umar dengan salah satu karyanya Al-Mashabih An-Nuraniyyah. Karya ini merupakan penazaman hadis-hadit seputar keutamaan Alquran.

Biografi Pengarang

Kiai Abdullah Umar bin Baidhawi dilahirkan pada 16 Februari 1929 M dari seorang ibu yang bernama Zari’ah. Seorang ulama yang konsen dalam bidang Alquran. Lebih dari 50 tahun mengabdikan diri untuk menghidupkan Alquran di tengah-tengah masyarakat.

Baca Juga: Kiai Ihsan Jampes dan Tafsirnya

Pada tahun 1971 Kiai Abdullah Umar mendirikan PP. Tahaffuzh Alquran sebagai sarana mengaji dan tempat tinggal para santri yang ingin menghafal dan memperdalam Alquran. Selain itu, dia juga aktif bermasyarakat, terlebih dalam memajukan kegiatan ibadah di Masjid Besar Kauman Semarang. Salah satu kegiatan yang digagas oleh Kiai Abdullah Umar adalah sema’an Alquran.

Kiai Abdullah Umar termasuk ulama yang produktif. Di antara karyanya adalah Mustalahut Tajwid fil Qur’anil Majid, Risalatul Qurra’ Wal Khuffadz fi Gharaibil Qira’ah Wal Alfadz, Al-Jawahir Al-Furqaniyyah ‘Ala Nazmi Taisir Al-Gharaib Alquraniyyah, dan Al-Mashabih An-Nuraniyah fi Nazmi Al-Ahadits Alquraniyyah, dll.

Kiai Abdullah Umar meninggal pada hari Jum’at 21 Dzulhijjah 1421 / 16 Maret 2001. Di makamkan di pemakaman umum Desa Penanggulan Kec. Pegandon Kabupaten Kendal Jawa Tengah.

Deskripsi Kitab

Kitab yang berjudul lengkap Al-Mashabih An-Nuraniyah fi Nazmi Al-Ahadits Alquraniyyah ini berisi hadis dan atsar seputar Alquran yang disusun dalam bentuk nazam (syair) berbahasa Arab yang disyarahi dengan Bahasa Jawa aksara pegon. Kitab ini memuat 30 hadis dan 4 atsar. Di antara referensi dalam penulisan kitab ini adalah Jami’ Al-Shaghir, Durratun Nasihin, Riyadus Shalihin, Ihya’ Ulumiddin, Khazinatul Asrar, Asy-Syatibi, dan Irsyadul Ibad.

Baca Juga: Kiai Zaini Mun’im dan Naskah Tafsirnya

Kitab ini mendapat taqrizh (endorsement) dari dua ulama pakar Alquran yaitu KH. Muhammad Arwani Kudus dan KH. Muslih bin Abdurrahman Mranggen. Dalam kolofon dikatakan bahwa penulisan kitab Al-Mashabih An-Nuraniyah selesai pada tanggal 10 Syawal 1392 H / 16 November 1972 M. Kitab ini diterbitkan oleh percetakan Karya Thoha Putra Semarang.

Sistematika Penulisan

Kitab Al-Mashabih An-Nuraniyah terdiri dari 53 bait. Diawali dengan 2 bait pembuka, dilanjutkan nazam nazam terkait keutamaan Alquran, dan diakhiri dengan 3 bait penutup. Setiap nazam   diterjemahkan perkata (terjemah gandul). Kemudian di bawah setiap baitnya diberi syarah atau penjelasan dan disertai dengan hadis atau atsar. Selain itu dilengkapi dengan tanbih, muhimmat, keterangan, dan fa’idah sebagai keterangan tambahan.

Otokritik Sang Kiai

Dalam kitab tersebut Kiai Abdullah Umar menulis keheranannya terhadap keadaan umat Islam saat itu, dia berkata:

“Para saudaraku muslimin dan muslimat yang saya cintai. Semua keterangan dari awal sampai akhir ini kesimpulannya menunjukkan besarnya fadhilah dan keutamaan Alquran, besarnya syafaat Alquran, begitu tingginya kedudukan Alquran, begitu mulianya orang yang hafal Alquran, begitu tingginya derajat orang yang hafal Alquran, begitu hebatnya sikap Allah, malaikat, langit, bumi, dan surga terhadap orang yang ahli dan hafal Alquran. Tapi kenapa masih banyak sekali saudara-saudara Islam yang masih ragu-ragu, tidak yakin terhadap Alquran? Tidak suka kalau anaknya ingin mondok menghafal Alquran?”

Baca Juga: Mengenal Kiai Dahlan Khalil, Ahli Alquran dari Rejoso Jombang

“Khawatir kalau nanti anaknya tidak bisa kerja sehingga jadi orang yang miskin. Bahkan terkadang kalau memaksa untuk pergi mondok orang tuanya tidak mau memberi uang saku dan tidak mau membiayai. Padahal hasilnya bisa diambil manfaat, dari mulai dunia sampai akhirat, selain untuk dirinya sendiri, juga bisa menyebar kepada orang tua dan masyarakatnya. Sedangkan, kalau hanya murni mencari kepintaran umum saja berani membiayai beratus ratus ribu rupiah, hasilnya hanya cukup manfaat di dunia saja. Bahkan terkadang bisa jadi musuh orang tuanya. Seperti inilah yang namanya kemunduran (degradasi) agama Islam akibat perilaku orang Islamnya sendiri.”

Akhirnya, sebagai khazanah ilmiyah warisan ulama Nusantara, kitab ini sangat penting untuk dikaji. Semoga kita dikumpulkan bersama para rasul, para nabi dan para Ahlul Qur’an, sebagaimana doa Kiai Abdullah Umar di akhir kitabnya.

Wallahu a’lam.

Kisah Pengkhianatan Bani Quraizhah di ‘Bulan Haram’

0
kisah pengkhianatan bani Quraizhah
kisah pengkhianatan bani Quraizhah

Di antara peristiwa yang terjadi di bulan haram (mulia) dan disinggung oleh Alquran adalah pengkhianatan Bani Quraizhah terhadap Rasulullah saw. dan umat Islam. Hal ini pula yang menjadi salah satu pertimbangan dibolehkan untuk berperang di bulan haram jika memang sangat diperlukan, misal kondisi melawan dan mempertahankan keamanan wilayah dari serangan musuh.

Saat perang Khandaq (Ahzab) terjadi, orang-orang Yahudi Bani Quraizhah memiliki perjanjian dengan Rasulullah untuk membela dan mempertahankan kota Madinah dari serangan kaum kafir. Namun, karena pemimpin mereka, Ka’ab bin Asad al-Quraizhi berhasil diprovokasi oleh tokoh Yahudi Bani Nadhir, Huyai bin Akhtab, akhirnya mereka melanggar perjanjian dan bersekutu dengan pasukan Ahzab menyerang orang-orang Islam.

Baca Juga: Konteks Penyebutan asy-Syahr al-Harām atau al-Asyhur al-Hurm dalam Alquran

Kronologi Pengkhianatan Bani Quraizhah

Mendengar kabar pengkhianatan ini, kemudian Rasulullah saw. mengirim utusan untuk memeriksa kebenarannya. Sebab pelanggaran dari Bani Quraizhah ini lebih membahayakan bagi orang-orang Islam daripada serangan musuh dari luar. Sayyid Quthb dalam tafsirnya (9/247) menjelaskan bahwa tindakan Rasulullah saw. pada saat itu adalah mengutus Sa’ad bin Muadz, pemimpin suku Aus yang dekat dengan Bani Quraizhah untuk menyelediki hal tersebut. Uniknya, beliau memerintahkan penugasan itu dengan bahasa isyarat. Hal itu menggambarkan kekhawatiran Rasul akan pengaruh berita itu pada pasukan muslimin.

Benar saja, Sa’ad mengkonfirmasi bahwa yang dilakukan oleh kelompok Yahudi lebih buruk dari kabar yang diterima, mereka bahkan menghina Rasulullah, “Siapa Muhammad itu? Tidak pernah ada perjanjian damai antara kami dengannya.” Bukti ini kemudian Sa’ad bawa kembali dan dia sampaikan kepada Nabi. Mendengar berita ini, Nabi bersabda, “Allah Mahabesar, bergembiralah wahai kaum muslimin dengan kemenangan dari Allah dan bantuan-Nya.” Pernyataan Nabi tersebut untuk menguatkan kaum muslimin agar tidak takut dalam menghadapi musuh.

Meskipun dalam perang Ahzab, pasukan umat Islam sempat kacau karena serangan dari atas dan bawah oleh pihak lawan sebagaimana digambarkan dalam surah Al-Ahzab ayat 10, pada akhirnya Allah memberikan kemenangan bagi pasukan Islam dan memaksa musuh kembali dengan kekecewaan, kegagalan, dan kerugian yang sangat besar. Rasulullah saw. dan kaum muslimin pun kembali pulang ke Madinah. (at-Tafsir al-Munir 11/300)

Baca Juga: Mengapa Empat Bulan Ini Disebut Bulan Haram? Simak Penjelasannya

Rasulullah dan Pasukan Muslim Mendeklarasikan Perang

Sesaat setelah itu, Rasulullah menerima wahyu untuk mengepung Bani Quraizhah dan bergegas untuk melaksanakannya dengan menginstruksikan para sahabat agar segera bergerak menuju Bani Quraizhah. Bahkan supaya cepat sampai tujuan, Rasul bersabda, “Janganlah ada satupun yang salat ‘Ashar kecuali di perkampungan Bani Quraizhah.” (HR. Bukhari, Fath al-Baari, 15/293)

Waktu Ashar datang saat pasukan muslimin masih di perjalanan. Sebagian dari mereka salat di jalan, dan mengatakan, “Maksud Rasulullah agar kita bersegera dan bergerak dengan cepat.” Sementara yang lain berkata “Kami tidak akan salat Ashar kecuali ketika kita telah mencapai Bani Quraizhah.”

Rasulullah menyusul pasukan setelah menunjuk Ibnu Umm Maktum untuk bertanggung jawab atas Madinah selama kepergian beliau. Sementara panji perang beliau serahkan kepada Ali bin Abi Thalib. Pasukan muslimin membuat markas dan memblokade Bani Quraizhah selama 25 hari. Peristiwa ini direkam oleh Alquran dalam surah al-Ahzab ayat 26-27.

Lamanya pengepungan tersebut membuat Bani Quraizhah tidak tahan dan takut. Mereka pun akhirnya sepakat untuk bertahkim kepada Sa’ad bin Mu’adz. Mereka mengira Sa’ad akan berbuat sebagaimana Abdullah bin Salul kepada sekutunya, Bani Qainuqa’ sehingga melepaskan mereka dari hukuman Rasul. (Tafsir Ibnu Katsir 21/471-472)

Ketika itu Rasulullah meminta Sa’ad agar memutuskan perkara Bani Quraizhah, dia segera datang dengan mengendarai keledai. Setiba Sa’ad di dekat masjid, Rasulullah berseru kepada kaum Anshar, “Berdiri dan sambutlah pemimpin terbaik kalian.” Lalu sahabat pun berdiri untuknya dan menyambutnya sebagai bentuk  penghormatan di wilayah otoritasnya.

Kemudian Rasulullah berkata kepadanya, “Mereka (Bani Quraizhah) akan tunduk pada keputusan hukum darimu.” Sa’ad berkata, “Setiap orang dari mereka yang ikut perang Khandaq harus dibunuh dan keturunan mereka dijadikan tawanan.” Mendengar keputusan tersebut, Rasulullah menyahut, “Engkau telah memutuskan perkara mereka sesuai hukum Allah.” (Tafsir Fi Zhilalil Quran 9/248-249)

Al-Mubarakfuri dalam Sirah Nabawiyah h. 201-205 menerangkan keputusan Sa’ad adalah keputusan yang tepat sebab selain telah melakukan pelanggaran, Bani Quraizhah telah menyiapkan 1500 pedang, 2000 tombak, 300 baju besi, dan 500 perisai untuk menghancurkan kaum muslimin.

Bani Quraizhah mengalami kekalahan yang sangat pahit dan begitu tragis setelah mereka berkhianat dan bersekutu kepada pasukan al-Ahzab. Bani Quraizhah dibuat terpaksa turun dari benteng dan kastil mereka. Ketakutan dan kekalutan yang luar biasa menyelimuti barisan mereka. Nasib mereka berakhir dengan begitu tragis, yaitu kaum laki-laki mereka dieksekusi mati, kaum perempuan dan anak-anak dijadikan tawanan, rumah, perkebunan, dan harta kekayaan mereka diwariskan kepada kaum Muslimin.

Baca Juga: Islam Melarang Berperang di Bulan Haram

Ibrah dari Kisah Perang Bani Quraizhah

Dari peristiwa Bani Quraizhah terdapat hikmah diperbolehkannya perang di bulan Haram. Pada surah al-Baqarah ayat 217 memang menegaskan bahwa Allah melarang umat Islam untuk berperang di bulan-‘bulan haram’. Namun, sebagaimana penjelasan al-Buthi larangan itu tidak berlaku secara umum. Sebab, perang pada ‘bulan haram’ diperbolehkan memerangi pihak yang melanggar perjanjian. Seperti kaum muslimin diperbolehkan memerangi Bani Quraizhah pada bulan Zulkaidah.

Mengenai pesan Rasulullah agar salat Ashar di daerah Bani Quraizhah, mengutip Wahbah al-Zuhaili menerangkan waktu itu Rasulullah tidak menyalahkan salah satu dari kedua kelompok sahabat yang memahami sabda Rasul. Hal ini mengandung sebuah pengetahuan, yaitu diperbolehkan untuk berijtihad dalam persoalan (furu’iyah) dan keniscayaan perbedaan pendapat di dalamnya. Ini juga mengajarkan kepada setiap Muslim bahwa boleh memilih hasil ijtihad yang sesuai dengan tuntutan zaman dan kemaslahatan mereka masing-masing. Inilah salah satu wujud rahmat Allah bagi hamba-hamba-Nya di setiap tempat dan zaman.

Ibrah yang terakhir, tentang perintah Rasul kepada para sahabat untuk berdiri memyambut Sa’ad bin Muadz, Imam Nawawi dalam syarahnya Kitab Shahih Muslim menerangkan bahwa ini menunjukkan anjuran untuk menghormati orang-orang yang memiliki kemuliaan, dan penyambutan mereka dengan berdiri kepadanya ketika berhadapan. Hal ini pula yang dijadikan dalil oleh para ulama perihal kesunnahan berdiri (untuk orang mulia). Wallah a’lam