Beranda blog Halaman 31

‘Rasm’ Alquran, Apakah ‘Tauqifi’ atau ‘Ijtihadi’?

0
rasm alquran_tauqifi atau ijtihadi
rasm alquran_tauqifi atau ijtihadi

Rasm Alquran adalah penulisan lafaz-lafaz Alquran. Sebagai sebuah cabang kajian ilmu Alquran, fokus bidang ini adalah tentang penulisan Alquran mulai dari masa Rasulullah saw. hingga berbentuk mushaf utuh seperti sekarang. Bidang ilmu ini merupakan salah satu upaya penjagaan Alquran dari kesalahan dan perubahan lafaz Alquran. Dalam Sejarah penjagaan Alquran, rasm merupakan upaya penjagaan Alquran dalam bentuk tulisan.

Upaya penjagaan Alquran melalui tulisan terbagi menjadi tiga masa, yakni masa Rasulullah SAW, masa khalifah Abu Bakar, dan masa khalifah Utsman bin Affan. Dari ketiga masa ini, kemudian timbul pertanyaan, apakah rasm Alquran sebagaimana terlihat pada mushaf Alquran yang kita ketahui sekarang dan beredar di seluruh dunia ini tauqifi atau ijtihadi?

Tauqifi dimaksudkan sebagai istilah untuk menamai bahwa penulisan lafaz Alquran itu berasal dari ketetapan Rasulullah yang berdasarkan wahyu dari Allah, sedangkan ijtihadi adalah bersifat hasil dari ijtihad para sahabat.

Dalam Kitab Al-Mukhtashar Al-Lathif Fii ‘Ilm Rasm Al-Mushaf Al-Syarif  (hal 29-34) karya Ahmad Samir Ahmad Abdul Ghaniy, tepatnya pada pembahasan mengenai persoalan penting yang terkait dengan rasm, dijelaskan bahwa para ulama berbeda pendapat mengenai sifat rasm Alquran, tauqifi atau ijtihadi.

Baca Juga: Mengenal Rasm Alquran sebagai Bentuk Resepsi Alquran dan Hadis

Ulama muta’akhirin (setelah abad ketiga hijriyah) mengatakan bahwa mayoritas ulama memahami bahwa rasm Alquran sebagai sesuatu yang bersifat tauqifi dan tidak diperbolehkan menyelisihinya. Oleh karena itu, muncul konsensus berikutnya yaitu dengan mengikuti rasm Alquran ini, baik dalam tulisan maupun bacaan dianggap sebagai kewajiban.

Hal tersebut senada dengan keterangan Az-Zarqani dalam Manahil al-Irfan (hal. 310) bahwa mayoritas ulama berpendapat bahwa rasm Alquran itu tauqifi dan tidak diperbolehkan menyelisihinya, sehingga konsekuensi yang ditimbulkan adalah rasm mushaf usmani yang sampai pada kita sekarang juga bersifat tauqifi karena merupakan ketetapan Rasulullah saw.

Namun, berdasarkan kesepakatan para ulama pula, kewajiban ittiba’ (pengikutan) terhadap rasm tidak berarti menyatakan rasm bersifat tauqifi. Hal ini karena persoalan tauqifi dan ittiba’ merupakan dua persoalan yang berbeda.

Sedangkan ulama mutaqaddimin (masa awal hingga abad ketiga hijriyah) tidak mengatakan rasm itu bersifat tauqifi. Mereka hanya mengatakan bahwa ittiba’ terhadap rasm adalah sebuah kewajiban dan tidak boleh menyelisihinya baik dalam tulisan maupun bacaan. Ulama masa ini lebih mengunggulkan pendapat yang mengatakan bahwa rasm Alquran adalah ijtihadi.

Komentar Syaikh Samir terhadap dua pendapat para pendahulunya, terutama untuk ulama yang memahami bahwa rasm Alquran adalah tauqifi bisa jadi karena bertujuan untuk menakut-nakuti orang-orang yang menganggap mudah persoalan rasm, agar tidak terjadi penggantian rasm usmani yang ditulis dan disepakati oleh para sahabat dengan rasm qiyasi yang memiliki kaidah kesesuaian tulisan dengan lafaznya.

Pendapat yang mengompromikan kedua pendapat di atas, menyatakan bahwa rasm Alquran adalah tauqifi pada masa Rasulullah saw. dan khalifah Abu Bakar. Kemudian pada masa Khalifah Utsman bin Affan terjadi ijtihad dalam penyalinan mushaf.

Baca Juga: Membedah Takrif Rasm Mushaf Alquran Standar Indonesia

Rasm Alquran pada masa Rasulullah Saw

Alquran pada masa ini ditulis di bawah arahan dan pantauan Rasulullah. Sebagaimana riwayat yang disebutkan dari Zaid bin Tsabit:

  كُنْتُ أَكْتُبُ الْوَحْي عِنْدَ رَسُوْلِ الله صلى الله عليه وسلم وَهُوَ يُمْلِي عَلَيَّ فَإذَا فَرَغْتُ قَالَ صلى الله عليه وسلم اقْرَأْ فَأَقْرَؤُهُ فَإِذا كَانَ فِيْهِ سَقْطٌ أَقَامَهُ ثُمَّ أَخْرُجُ بِهِ إِلَى النَّاسِ

Rasulullah mendiktekan suatu ayat kepada Zaid bin Tsabit untuk ditulis. Ketika selesai, Rasul meminta Zaid membaca ulang tulisan tersebut dan Zaid melakukannya. Apabila ada yang terlewat, Rasul membenarkannya. Kemudian Zaid keluar menuju orang-orang untuk menyampaikan ayat tersebut. Riwayat lain juga menyebutkan bahwa Rasulullah memerintahkan sahabat penulis wahyu untuk meletakkan ayat ini dalam surat ini dan seterusnya hingga seluruh ayat Alquran berhasil ditulis meskipun tidak terkumpul dalam satu mushaf.

Rasm Alquran pada masa Khalifah Abu Bakar

Pada masa ini, terjadi peperangan melawan kelompok yang mengaku-ngaku sebagai nabi yang disebut dengan Perang Yamamah dan berakibat gugurnya para sahabat penghafal Alquran. Hal ini menimbulkan kekhawatiran pada Umar bin Khattab akan habisnya qurra’. Atas dasar inilah, Khalifah Abu Bakar menyetujui adanya penjagaan Alquran melalui tulisan.

Abu Bakar memerintahkan tugas ini kepada para sahabat yang dipimpin oleh Zaid bin Tsabit untuk mengumpulkan dan menyalin serta mengurutkan tulisan Alquran yang telah ada pada zaman Rasulullah saw. ke dalam suhuf-suhuf atau lembaran-lembaran.

Ketentuan yang berlaku pada masa ini adalah tulisan yang telah ditetapkan oleh sahabat penghafal Alquran dan disaksikan oleh dua orang saksi serta tulisan tersebut adalah yang pernah ditulis dihadapan Rasulullah saw. Inilah yang menjadikan alasan rasm Alquran pada masa khalifah Abu Bakar masih bersifat tauqifi.

Baca Juga: Rasm Alquran dalam Penulisan Rajah

Rasm Alquran pada masa Khalifah Usman bin Affan

Pada masa ini, terjadi perselisihan di internal umat Islam mengenai bacaan Alquran yang disebabkan beragamnya qiraat yang muncul dari berbagai kalangan dan menimbulkan kebingungan umat Islam akan qiraat mana yang sahih dan mana yang tidak sahih.

Berdasar situasi tersebut, khalifah Usman bin Affan memerintahkan sahabat di bawah pimpinan Zaid bin Tsabit untuk menyalin tulisan Alquran yang sudah dikumpulkan pada masa Abu Bakar dengan menggunakan satu rasm. Apabila ditemukan beberapa macam qiraat pada suatu lafaz yang tidak memungkinkan ditulis dalam satu rasm, maka para sahabat berijtihad untuk memilih rasm mana yang paling sesuai.

Penyalinan rasm Alquran pada masa ini tetap berpedoman pada aturan rasm Alquran sebelumnya. Adapun hal yang membedakan adalah pesan Usman bin Affan kepada para penyalin bahwa jika terdapat perbedaan antara bacaan mereka (para penyalin) dengan bacaan Zaid bin Tsabit (selaku penulis wahyu senior) dalam proses penyalinan Alquran ini, maka tulis atau salinlah dengan berdasar pada lisan (dialek bacaan) Arab, karena sesungguhnya Alquran itu diturunkan berdasarkan lisan mereka.

Rasm Alquran pada masa Usman tersebut dikenal dengan rasm usmani dan seakan menjadi rasm Alquran yang baku, jadi pedoman penulisan Alquran setelahnya.

Selain rasm usmani, penulisan Alquran juga menggunakan rasm qiyasi. Pada rasm qiyasi, kaidah penulisan Alquran lebih variatif, membuka peluang terjadinya perubahan dan penggantian (cara penulisannya). Oleh karena itu, setelah masa khalifah Usman bin Affan tidak diperbolehkan berijtihad terhadap rasm Alquran dan tidak diperbolehkan menulis Alquran dengan rasm selain rasm usmani. Hal ini juga berimplikasi terhadap syarat qiraat yang diterima, dimana salah satunya adalah sesuai dengan rasm mushaf usmani. Wallahu a’lam

Hikmah dan Pelajaran dari Kekalahan Umat Islam di Perang Uhud

0
Hikmah dan Pelajaran dari Kekalahan Umat Islam di Perang Uhud

Kekalahan pasukan umat Islam dalam Perang Uhud menjadi musibah yang pelik. Padahal di peperangan sebelumnya, tidak pernah pasukan yang diberangkatkan di masa Nabi saw kecuali mereka pulang dengan membawa kemenangan. Namun pada Perang Uhud, mereka harus menerima kekalahan karena tidak menaati perintah Rasul saw.

Banyak sahabat yang terluka, bahkan Nabi saw sendiri pipinya sobek dan giginya tanggal, serta 70 personil Islam mati syahid, termasuk di antaranya sahabat utama seperti, Hamzah bin Abdul Muthalib, Mush’ab bin Umair, dan Nadhr bin Anas. Namun, dari kekalahan pada Perang Uhud tersebut sejatinya Allah hendak memberikan hikmah dan pelajaran khususnya kepada para sahabat dan juga umat Islam keseluruhan. Hal itu sebagaimana dalam QS. Ali Imran 139-140.

Baca Juga: Kisah Thalhah Bin Ubaidillah di Perang Uhud

وَلا تَهِنُوا وَلا تَحْزَنُوا وَأَنْتُمُ الْأَعْلَوْنَ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ (139) إِنْ يَمْسَسْكُمْ قَرْحٌ فَقَدْ مَسَّ الْقَوْمَ قَرْحٌ مِثْلُهُ وَتِلْكَ الْأَيَّامُ نُداوِلُها بَيْنَ النَّاسِ وَلِيَعْلَمَ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا وَيَتَّخِذَ مِنْكُمْ شُهَداءَ وَاللَّهُ لَا يُحِبُّ الظَّالِمِينَ (140)

Janganlah kalian bersikap lemah, dan jangan (pula) kalian bersedih hati, padahal kalianlah orang-orang yang paling tinggi (derajatnya), jika kalian orang-orang yang beriman. Jika kalian (pada Perang Uhud) mendapat luka, maka sesungguhnya kaum (kafir) itu pun (pada Perang Badar) mendapat luka yang serupa. Dan masa (kejayaan dan kehancuran) itu Kami pergilirkan di antara manusia (agar mereka mendapat pelajaran); dan supaya Allah membedakan orang-orang yang beriman (dengan orang-orang kafir) dan supaya sebagian kalian dijadikan-Nya (gugur sebagai) syuhada. Dan Allah tidak menyukai orang-orang yang zalim.

Sebab Turunnya Ayat

Al-Qurthubi (4/539-540) dan at-Thabari (3/103) mengutip penjelasan dari Ibnu Abbas yang menerangkan bahwa saat Perang Uhud, pasukan muslim kocar-kacir karena dipukul mundur oleh pasukan kafir. Dalam keadaan seperti itu, pemimpin mereka Khalid bin Walid datang dengan pasukan berkuda ingin menguasai gunung hingga posisinya berada di atas para pasukan muslim. Karena kekhawatirannya, Nabi saw hingga berdoa,

اللهم لا يعلون علينا، اللهم لا قوة لنا إلا بك، وليس يعبدك بهذه البلدة غير هؤلاء النفر

“Ya Allah, jangan sampai dia menguasai atas kami. Ya Allah, tidak ada kekuatan kecuali dengan-Mu. Ya Allah, tidak ada yang menyembah-Mu di negeri ini selain mereka ini.”

Maka Allah menurunkan ayat-ayat ini. Ketika itu juga, sejumlah pemanah kaum muslimin segera berlari menaiki gunung dan menghujani pasukan berkuda kaum musyrik dengan anak panah, hingga akhirya mereka kalah.

Baca Juga: Tafsir Surah Ali Imran Ayat 139: Larangan Bersikap Pesimis

Hikmah Bagi Kaum Muslimin

Allah swt kemudian memberikan hiburan dan hikmah kepada kaum muslimin yang dilanda kegelisahan luar biasa.

“Dan janganlah kamu (merasa) lemah, dan jangan (pula) bersedih hati, sebab kamu paling tinggi (derajatnya), jika kamu adalah orang yg benar-benar beriman. Jika kamu (pada perang Uhud) mendapat luka, maka mereka pun (pada perang Badar) mendapat luka yang serupa. Dan, masa (kejayaan dan kehancuran) itu, Kami pergilirkan di antara manusia (agar mereka mendapat pelajaran).” (QS. Ali Imran: 139-140)

M. Quraish Shihab menghubungkan ini dengan dua ayat sebelumnya (Ali Imran 137-138) yang menguraikan tentang adanya hukum-hukum alam (sunnatullah) yang berlaku terhadap semua manusia. Jika dalam Perang Uhud mereka kalah dan dalam perang Badar mereka dengan gemilang meraih kemenangan maka itu adalah bagian dari sunnatullah. Karena itu, umat muslim tidak perlu berputus asa dan bersedih hati dari kekalahan perang Uhud atau peristiwa lain yang serupa. (Tafsir al-Misbah, 2/226-227)

Wahbah al-Zuhaili (2/435) menerangkan  jika kaum mukminin telah mengetahui hakikat ini, maka seharusnya tidak perlu bersikap lemah, takut, dan bersedih dikarenakan apa yang menimpa mereka pada Perang Uhud, begitu juga dalam musibah dan luka. Karena orang-orang beriman derajatnya lebih tinggi, sebagaimana mereka yang gugur adalah para syuhada yang dimuliakan oleh Allah dan tempatnya adalah surga, sedangkan para korban yang terbunuh dari kaum kafir tempatnya neraka. Kejadian itu merupakan sebuah pelajaran dan wahana penempaan diri bagi kaum Muslimin.

Kemudian di ayat 140, terdapat konsep mudawalah untuk mengajarkan kaum muslim bahwa memang kekalahan di pertempuran Uhud banyak menyisakan luka dan pasukan gugur, tetapi kelompok kafir juga mengalami hal serupa bahkan mendapat luka yang jauh lebih besar pada perang Badar. Roda kehidupan selalu berputar; dalam peperangan terkadang menang terkadang kalah, hari ini bisa jadi merupakan hari kemenangan dan kesuksesan, tetapi esok mungkin kalah dan rugi, begitu seterusnya roda kehidupan selalu berputar yang menjadi sunnatullah.

Adapun pesan tersirat dari penjelasan di atas bahwa dalam kehidupan pasti ada kegembiraan, kesusahan, sehat, sakit, kaya, ataupun miskin yang berganti. Silih bergantinya keadaan dan nasib tersebut adalah supaya adil, juga sistem atau aturan yang ada bisa tetap berjalan, serta supaya orang yang mau merenung dan memahami sunnatullah.

Baca Juga: Tuntunan Alquran dalam Menghadapi Masa Sulit

Karenanya, orang-orang yang beriman tidak perlu larut dalam kesedihan, ataupun merasa hina, bahkan berputus asa ketika mendapat musibah sekalipun itu memang terasa berat. Karena sebagaimana disampaikan Fakruddin ar-Razi, bahwa kesenangan dan duka lara di dunia hanyalah bunga kehidupan yang semu. Sebab, bahagia dan sakitnya tiada dapat dibandingkan dengan kehidupan akhirat. Kalau memang kebahagiaan akhirat adalah prioritas kaum mukminin, maka apalah artinya pilu yang dirasakan di dunia.

Wallahu a’lam.[]

Konsep Continuous Activity dalam Surah Al-Insyirah Ayat 7

0
Konsep Continuous Activity dalam Surah Al-Insyirah Ayat 7
Pentingnya memaksimalkan waktu.

Modernitas kehidupan semakin menyuguhkan beragam tantangan bagi generasi kini yang tengah melakukan proses bertumbuh dan berkembang, apabila tidak disikapi secara bijak. Khususnya media sosial yang begitu akrab digenggam di mana pun dan kapan pun. Sebagai solusi, tindakan continuous activity atau melakukan aktivitas secara berkesinambungan merupakan sebuah upaya efektif dalam mengatasi hal ini.

Manusia memang membutuhkan jeda dari segala aktivitas yang dilakukan. Namun, menjadi fatal apabila memperpanjang waktu jeda dengan hal-hal yang kurang bermanfaat. Maka tidak salah, jika ini menjadi penghambat seseorang bertumbuh dan berkembang di masa-masa emasnya. Berkenaan dengan persoalan ini, Allah menegaskan dalam Alquran surah Al-Insyirah ayat 7 berikut

فَاِذَا فَرَغْتَ فَانْصَبْۙ

Apabila engkau telah selesai (dengan suatu kebajikan), teruslah bekerja keras (untuk kebajikan yang lain).

Continuous Activity dalam Ibadah Mahdah

Ibnu ‘Abbas, Qatadah, al-Dahhak, Muqatil, dan al-Kalbi mengarahkan makna ayat di atas bahwa jika seseorang telah melaksanakan salat fardu, hendaknya ia melanjutkannya dengan memohon pertolongan kepada Allah. Adapun al-Sya’bi menafsirkan bahwa apabila seseorang telah selesai tasyahud akhir, hendaknya ia berdoa untuk urusan dunia dan akhiratnya [Tafsīr al-Baghawī, 8/466].

Dalam artian, hendaknya setelah melaksanakan ibadah salat, seseorang tidak tergesa-gesa beranjak seolah tidak membutuhkan permohonan-Nya. Melainkan aktivitas tersebut disambung dengan bersimpuh memanjatkan doa-doa kepada-Nya.

Baca juga: Tafsir Surah Al-Ashr: Waktu yang Hilang Tidak Akan Kembali Lagi

Sebagaimana disampaikan oleh Ali al-Shabuni dalam tafsirnya, manakala seseorang telah menyelesaikan urusan-urusan dunia dan beragam kesibukannya, dan telah menjeda atas hal-hal itu, maka hendaknya ia beralih dan bangkit untuk beribadah dengan gairah serta pikiran yang jernih. Kemudian ia mencurahkan niat dan keinginan kepada-Nya [Muhktaṣar Tafsīr Ibnu Kaṡīr, 2/553].  Dalam kondisi demikian, seorang hamba dapat benar-benar merasakan kedekatan dengan-Nya dan memanfaatkan waktu tersebut untuk introspeksi serta memperkuat hubungan spiritual.

Lebih jauh lagi, momen setelah ibadah salat merupakan waktu khusus untuk merenungi dan memohon pertolongan-Nya dalam segala aspek kehidupan, baik dunia maupun akhirat. Dengan begitu, ibadah salat tidak hanya menjadi rutinitas wajib setiap muslim, tetapi dapat pula menjadi sarana menguatkan iman dan ketakwaan, serta meningkatkan kualitas hidup secara komprehensif. Di sinilah letak moralitas terbentuk.

Continuous Activity sebagai Upaya Manajemen Waktu

Melihat penggunaan huruf fa’ pada lafaz fanṣab menggiring makna bahwa sebaiknya menyisakan waktu istirahat sesingkatnya atau secukupnya; tidak terlalu lama. Sebab, dalam kaidah bahasa Arab, huruf fa’ ini merupakan huruf ‘aṭaf (kata sambung) yang menunjukkan rentang waktu yang sebentar. Berbeda dengan lafaz thumma, yang mengindikasikan waktu jeda yang panjang.

Ibnu Asyur dalam tafsirnya mengungkapkan bahwa surah Al-Insyirah ayat 7 ini didasarkan supaya memudahkan strategi Rasulullah yang kesulitan dalam dakwahnya. Makna dari ayat ini adalah bahwa ketika seseorang telah menyelesaikan satu pekerjaan yang bertujuan jelas manfaatnya, maka hendaknya melanjutkan ke pekerjaan yang lain. Sehingga ia mampu mengisi seluruh waktunya dengan perbuatan-perbuatan yang hebat [Al-Taḥrīr wa al-Tanwīr, 30/416-417].

Baca juga: Hikmah Allah Bersumpah dengan Waktu Dhuha dan Malam yang Gelap

Waktu akan terus tergerus, dan manusia tidak akan mampu mengembalikannya. Dalam proses bertumbuh dan berkembang, salah satu upaya yang perlu dilakukan ialah dengan cara manajemen waktu. Mengatur waktu mana yang seharusnya digunakan untuk melakukan pekerjaan yang manfaat, dan mana waktu yang perlu digunakan untuk menjeda sejenak dari kesibukan duniawi maupun ukhrawi. Keduanya harus seimbang, dalam artian diporsikan sesuai kadarnya masing-masing.

Prinsip ini mengajarkan bahwa seyogiyanya waktu yang dianugerahkan oleh-Nya dipergunaan untuk hal yang bermanfaat, bukan malah terbuang secara sia-sia. Dengan demikian, seseorang akan terus-menerus menghasilkan produktivitas atas manfaat yang ia kembangkan, sehingga mampu memaksimalkan kontribusi bagi kehidupannya, baik di dunia maupun akhirat.

Kesimpulan

Surah Al-Insyirah ayat 7 mengajarkan manusia supaya memperlakukan waktu sebijak mungkin secara continuous activity atau berkesinambungan. Melaksanakan ibadah mahdah sebagai upaya meningkatkan kualitas ketakwaan seorang hamba, yakni beribadah kemudian berdoa; serta melaksanakan ibadah ghairu mahdah sebagai wujud dari ketakwaan dengan cara memanfaatkan waktu dengan hal-hal baik dan bermanfaat, seperti belajar, bekerja, dan lain sebagainya. Betapa waktu merupakan suatu hal yang luar biasa apabila dimanfaatkan sebaik dan sebijak mungkin.

Wallāhu a’lamu.

Kisah Burung Hudhud, Pasukan Intelijen Nabi Sulaiman

0
Kisah Burung Hudhud, Pasukan Intelijen Nabi Sulaiman
Burung Hudhud.

Dalam surah An-Naml ayat 20 sampai 28, Allah mengisahkan Nabi Sulaiman dan pasukan spesialnya, burung Hudhud. Burung ini dianugerahi kemampuan yang luar bisa dalam mengumpulkan informasi strategis untuk dilaporkan kepada sang raja. Dalam konteks hari ini, Hudhud menjadi simbolisasi divisi intelijen yang memiliki tugas mulia untuk menjaga keberlangsungan negara dan kehidupan rakyat.

Nabi Sulaiman Mencari Hudhud dalam Inspeksi Pasukan

Permulaan kisah ini, sebagaimana penjelasan ulama ialah ketika suatu hari Nabi atau Raja Sulaiman bersama pasukannya yang terdiri dari manusia, jin, dan hewan sedang singgah di sebuah lembah yang tandus dari perjalanannya. Beliau kemudian mengadakan inspeksi pasukannya, tetapi tidak menemukan burung Hudhud dan tak satupun yang mengetahui ke mana Hudhud pergi.

Adapun penyebab Nabi Sulaiman bertanya keberadaan Hudhud, para mufasir berbeda pendapat. at-Thabari (19/807) menyimpulkan bahwa Nabi Sulaiman memeriksa burung-burung bisa jadi karena tugas yang diwakilkan kepadanya dan mereka tidak melaksanakannya ataupun karena ada hajat kepadanya, seperti untuk bertanya tentang jarak mata air.

Baca juga: Tafsir Surah al-Mulk Ayat 19: Hikmah di Balik Penciptaan Seekor Burung

Ibnu Katsir (6/184) mengatakan bahwa Hudhud bermanfaat sebagai mata-mata dan ia ahli dalam mencari air sehingga ditugaskan secara khusus ketika berada di padang pasir. Dengan kemampuannya, Hudhud dapat melihat sumber air di dalam tanah seperti manusia dapat melihat sesuatu di permukaan tanah. Hud-hud juga dapat melihat seberapa jauh dan seberapa dalam sumber air di dalam tanah itu. Ketika Hudhud menunjukkan letak sumber air, Nabi Sulaiman kemudian memerintahkan jin untuk menggali tempat itu sampai air keluar dari dasar bumi.

Sayyid Quthub dalam Tafsir Fii Zhilalil Quran (8/397), juga menerangkan keistimewaan Hudhud Nabi Sulaiman, ketika beliau mencarinya dalam kumpulan pasukan burung, tentu saja yang beliau cari itu adalah (seekor tertentu) yang berbeda dengan yang lain.

Perbedaan itu dapat dirasakan ketika Hudhud datang dan melapor kepada Nabi Sulaiman, informasi yang tidak diketahui oleh dirinya yang berperan sebagai raja itu sendiri. Hudhud terlihat sebagai sosok yang memiliki pengetahuan, kecerdasan, iman, dan kemampuan luar biasa dalam memaparkan suatu peristiwa dengan tutur katanya dan susunan kalimat yang indah, juga kesigapan dalam sikapnya dan isyarat yang tajam.

Hudhud Datang Membawa Informasi kepada Raja

Kemudian hud-hud datang, maka Raja Sulaiman berkata kepadanya, Apa yang membuatmu mangkir dari tugasmu?” Dari jawaban Hudhud menunjukkan kecerdasannya, ia tidak langsung menjawab, melainkan mengawali alasannya dengan mengatakan, “Aku telah mengetahui sesuatu yang engkau belum mengetahuinya,” ini dimaksudkan agar Nabi Sulaiman berkehendak mendengarkan berita yang menurutnya sangat penting.

Hudhud memberi tahu Nabi Sulaiman bahwa dirinya baru saja datang dari sebuah Negeri bernama Saba dengan membawa informasi penting. Wahbah al-Zuhaili menerangkan bahwa burung itu sangat ahli dalam membela diri dan menarik perhatian Raja agar mendengarkan perkataannya. Bahwa dia telah melakukan pengintaian secara ilmiah terhadap Ratu Balqis dan rakyatnya di negeri Saba dan bahkan ia mampu mengamati serta menganalisis perilaku sosial keagamaan penduduk di negeri tersebut (Tafsir al-Munir, 10/265)

Baca juga: Menilik Isi Surat Nabi Sulaiman kepada Ratu Saba

Nabi Sulaiman pun mulai mengetahui bahwa ada tugas yang lebih penting dari pada sekedar masalah keterlambatan atau ketidakhadiran Hudhud. Karena tugas itu berkaitan dengan misi dakwah yang beliau emban. Namun, bagusnya Nabi Sulaiman sebagai raja yang adil dan tegas tidak serta merta mendustakan atau membenarkannya, beliau kemudian menguji Hudhud. Sebagaimana dalam ayat 26 surah an-Naml, Nabi Sulaiman berkata,”Akan kita lihat akan kebenaran perkataanmu, apakah kamu benar benar atau bohong hanya agar selamat dari ancaman saya.” Ujian itu adalah dengan mengantarkan surat Nabi Sulaiman kepada Ratu Balqis.

Pada saat kemarahan Nabi Sulaiman mulai mereda Hudhud yang pada waktu itu memang menunggu waktu yang tepat, dari sini tampak sekali tanggung jawab Hudhud, sehingga suatu hal yang mungkin jika Raja Sulaiman kemudian menyuruhnya untuk mengamati bagaimana tanggapan Balqis terhadap surat yang beliau kirim dia langsung memberanikan diri untuk menghadap Nabi Sulaiman.

Nabi Sulaiman dianugerahkan mukjizat bisa berbicara dengan hewan dan jin. Karena itu, pasukan kerajaannya pun banyak terdiri dari hewan dan jin. Burung hud-hud adalah salah satunya.

Kecerdasan Hudhud, Si Burung Intel

Operasi intelijen yang dilakukan burung Hudhud menggambarkan peran penting dan strategis seorang intel. Sebagaimana dalam struktur pemerintahan sebuah negara, lembaga intelijen mempunyai tanggung jawab besar, yaitu memberi informasi pada pemimpin tertinggi dan juga memberikan solusi cepat, tepat, dan strategis. Informasi yang didapat harus relevan dan intelijen yang dihargai itu harus didengar dan dilihat sendiri.

Hudhud melakukan operasi rahasia memata-matai sebuah negeri yang baru saja didatanginya, ia mampu mengamati dan menganalisis perilaku sosial keagamaan penduduk di negeri tersebut, yakni sebagai kaum yang belum beriman kepada Allah. Kemudian ia melapor dan ternyata informasi yang dibawa olehnya memang tidak diketahui oleh Raja Sulaiman. Hal ini menunjukkan bahwa seorang pemimpin memerlukan pasukan untuk mengawasi pergerakan negeri-negeri tetangga atau biasa dikenal dengan operasi intelijen strategis.

Baca juga: Belajar Servant Leadership dari Kisah Nabi Sulaiman dalam Alquran

Berita yang diberikan Hudhud sebagaimana dalam surat an-Naml 25-26 sangat relevan dan sevisi dengan misi dakwah Nabi Sulaiman yaitu mengajak masyarakat kepada ajaran tauhid. Dengan kata lain, Hudhud adalah simbolisasi divisi intelijen yang memiliki visi sejalan dengan visi besar pemimpin tertinggi.

Tidak hanya itu, ketika Hudhud tersesat dan tanpa sengaja menemukan informasi mengenai negeri Saba, Nabi Sulaiman memerintahkan burung itu untuk membantu mengukur dan menyelesaikan masalah pemerintah terkait ketahanan pangan, ia diberi tugas untuk melakukan operasi intelijen mencari informasi mengenai mata air yang sangat dibutuhkan oleh pasukan Nabi Sulaiman, dimana itu merupakan tugas mulia intelijen untuk membantu seorang pemimpin dalam memperhatikan keberadaan dan nasib rakyatnya.[]

Kisah Perjuangan Ibu Nabi Musa a.s.

0
kisah perjuangan ibu Nabi Musa
kisah perjuangan ibu Nabi Musa

Selalu ada kisah perjuangan dari masa kecil seorang Nabi. Salah satunya kisah masa kecil Nabi Musa. Masa kecil Nabi Musa diceritakan dengan begitu dramatis dalam Alquran, dan tokoh penting selain Nabi Musa di sini adalah ibunya. Berkat ketegaran dan kesabaran sang ibu (dalam menjalankan perintah Allah), Nabi Musa bisa selamat dari pembantaian bayi laki-laki oleh Firaun ketika itu.

Alquran tidak menyebutkan dengan jelas nama dari ibu Nabi Musa. Alquran hanya menyebutnya dengan Umm Mūsā. Adapun dalam tafsir, nama Umm Mūsā dikenal dengan dua versi. Dalam tafsir Marah Labid, nama Umm Mūsā tertulis Yūḥāniẓ bint Lāwī bin Ya’qūb. Sedang dalam Tafsir ats-Tsa’labī dijelaskan bahwa nama beliau adalah Yūkhābad bin Lāwī bin Ya’qūb.

Ketika menceritakan kisah ibu Nabi Musa, Bint asy-Syāṭi’ dalam Umm an-Nabī mengutip surah al-Qaṣaṣ ayat 7.

وَأَوْحَيْنَا إِلَى أُمِّ مُوسَى أَنْ أَرْضِعِيهِ فَإِذَا خِفْتِ عَلَيْهِ فَأَلْقِيهِ فِي الْيَمِّ وَلَا تَخَافِي وَلَا تَحْزَنِي إِنَّا رَادُّوهُ إِلَيْكِ وَجَاعِلُوهُ مِنَ الْمُرْسَلِينَ (7)

Kami mengilhamkan kepada ibu Musa, “Susuilah dia (Musa). Jika engkau khawatir atas (keselamatan)-nya, hanyutkanlah dia ke sungai (Nil dalam sebuah peti yang mengapung). Janganlah engkau takut dan janganlah (pula) bersedih. Sesungguhnya Kami pasti mengembalikannya kepadamu dan menjadikannya sebagai salah seorang rasul.” (Terjemah Kemenag RI)

Baca Juga: Kisah Ibu Para Nabi dalam Al-Quran (1): Perjuangan Siti Hajar, Ibu Nabi Ismail

Detik-detik Nabi Musa dihanyutkan ke sungai Nil

Tidak ada keterangan lebih lanjut mengenai profil Umm Mūsā, baik itu langsung di Alquran maupun dalam beberapa tafsir. Informasi yang ada hanya sebatas seorang ibu dengan satu anak perempuan (sebelum lahir Nabi Musa) yang hidup di Mesir, di masa kekuasaan raja Firaun.

Tafsir Marah Labid dan juga beberapa tafsir lainnya menjelaskan lebih detail tentang detik-detik ibu Nabi Musa menghanyutkan bayi Musa.

Mendengar berita tentang pembantaian bayi laki-laki oleh Firaun di kalangan Bani Israil, ibu Musa a.s. sangat cemas dengan keselamatan bayinya. Dalam proses kelahiran Nabi Musa, ibu Musa a.s. dibantu oleh seorang bidan. Ketika melihat bayi Musa, bidan tersebut langsung jatuh hati dan sayang terhadap bayi tersebut, sehingga berpesan kepada sang ibu untuk senantiasa menjaga dan menyelamatkannya agar bisa tetap hidup.

Ketika bidan tersebut keluar dari rumah ibu Nabi Musa, para prajurit yang stand by di sekitar rumah tersebut langsung menaruh curiga dan menuju rumah tersebut. Jika mengikuti alur tafsir ini, maka prajurit itu mendatangi rumah tempat bayi Musa dilahirkan sesaat setelah proses kelahiran Nabi Musa. Namun, ada penjelasan lain tentang jarak waktu antara kelahiran Nabi Musa dengan eksekusi penghanyutan Nabi Musa ke sungai Nil. misal dalam tafsir at-Tabari dan tafsir as-Samarqandī, di situ disebut bahwa ada waktu sekitar tiga hingga empat bulan atau bahkan lebih dari hari kelahiran Nabi Musa hingga beliau dihanyutkan ke sungai Nil.

Namun demikian yang jelas tersampaikan dalam Alquran adalah perintah untuk menyusui Nabi Musa. Artinya, sebentar atau lamanya jarak waktu antara kelahiran dan penghanyutan, ibu Nabi Musa masih sempat menyusui Nabi Musa.

Saking paniknya sang ibu, ketika prajurit mulai masuk ke rumah ibu Nabi Musa, beliau langsung membungkus Nabi Musa dengan kain lap dan (tidak sengaja) meletakkan bayi Musa di tungku perapian yang mendidih. Allah menjadikannya api itu dingin dan Nabi Musa tetap selamat.

Baca Juga: Kisah Nabi Musa dan Doa-Doa yang Dipanjatkannya dalam Surat al-Qashash

Setelah prajurit keluar dari rumah dan tidak berhasil menemukan bayi Musa, sang ibu bergegas untuk membeli tabut (peti) kepada seorang tukang kayu yang termasuk pendukung Firaun. Hal ini dilakukan sebagaimana perintah Allah yang diilhamkan kepada beliau.

Ketika sang ibu ditanya oleh si penjual tentang maksud membeli peti tersebut, ibu Musa a.s. tidak bisa berbohong dan menjawab dengan jujur bahwa beliau akan menggunakannya untuk menghanyutkan bayi laki-lakinya ke sungai. Si tukang kayu pun berniat memberi tahu informasi tersebut kepada para prajurit Firaun, namun Allah menolong ibu Musa a.s. dengan membuat si Tukang kayu tadi tidak bisa berbicara tiba-tiba.

Nabi Musa kemudian ditaruh di peti tersebut dan dihanyutkan di sungai Nil oleh sang ibu dengan perasaan sedih dan cemas. Beliau lantas meminta saudara perempuan Nabi Musa untuk mengikuti aliran sungai membawa peti tersebut.

Diceritakan bahwa sang ibu sempat merasa hampa dan menyesali keputusannya tersebut, pada kondisi ini setan membisiki untuk mengambil kembali bayi Musa. Untungnya sang ibu tidak terpengaruh dengan bisikan setan tersebut.

Peti tersebut lantas menuju ke pemandian istana Firaun dan ditemukan oleh istrinya, Asiyah bint Muzahim dan singkat cerita beliau memohon kepada Firaun untuk tidak membunuhnya dan menjadikan bayi Musa sebagai anak angkatnya.

Ketika Asiyah mencari ibu susu untuk bayi Musa, saudara perempuan Nabi Musa membantunya untuk mencarikan ibu susu tersebut yang tidak lain adalah ibu kandung Nabi Musa. Akhirnya ibu Musa a.s. bisa menggendong dan merawat kembali putranya tersebut. Hal ini yang sedari awal dijanjikan oleh Allah kepada sang ibu.

Kisah ini diceritakan secara runtut dalam Alquran, setidaknya dalam surah al-Qaṣaṣ ayat 7 hingga 13.

Baca Juga: Ingin Diberi Kelancaran Urusan? Baca Doa Nabi Musa Ini!

Gambaran perjuangan seorang ibu

Kisah ibu Nabi Musa dalam episode masa kecil Nabi Musa memberikan gambaran yang sangat jelas tentang perjuangan seorang ibu. Apa pun dilakukan olehnya asal bayinya bisa selamat dan bertahan hidup. Hal seperti ini juga yang dilakukan oleh ibu Nabi Ismail ketika mencari air minum untuk bayinya yang sedang kehausan. Hal yang sama juga akan dilakukan oleh para ibu di sekitar kita.

Dalam kisah Nabi Musa, jika Nabi Musa pada akhirnya bisa kuat dan tegar menghadapi kezaliman Firaun dan ujian-ujian yang lain dalam dakwahnya, hal itu karena sudah menjadi pelajaran pertamanya sejak kecil, ketika ibunya kuat dan tegar merelakan anaknya dihanyutkan ke sungai agar bisa selamat dari pembantaian Firaun. Wallah a’lam

Hikmah Larangan Melembutkan Perkataan bagi Perempuan

0
hikmah larangan melembutkan perkataan bagi perempuan
hikmah larangan melembutkan perkataan bagi perempuan

Larangan melembutkan perkataan bagi perempuan dijelaskan dalam Alquran, surah al-Ahzab ayat 32. Pada ayat ini, juga dijelaskan beberapa kondisi penyebab pelarangan tersebut. Artinya, larangan ini tidak semata-mata terjadi tanpa sebab dan tujuan yang jelas.

Sebagai pengantar, melihat kesesuaian ayat 32 surah al-Ahzab dengan beberapa ayat sebelumnya, terlihat bahwa ayat ini masih dalam rangkaian ayat tentang perintah Allah terhadap istri-istri Rasulullah saw. yang antara lain yaitu tentang cara bergaul dengan laki-laki yang bukan mahram.

Secara tekstual, perintah Allah tersebut memang ditujukan kepada ummahat al-mu’minin. Berhubung posisi mereka sebagai panutan bagi semua para perempuan umat Nabi Muhammad, maka berarti ayat 32 ini juga ditujukan kepada semua perempuan. Demikian kurang lebih penjelasan Ibn Katsir dalam tafsirnya.

Baca Juga: Tafsir Surat An-Nahl Ayat 97: Kesetaraan Laki-Laki dan Perempuan dalam Beribadah

Berikut redaksi surah al-Ahzab [33] ayat 32,

يٰنِسَاۤءَ النَّبِيِّ لَسْتُنَّ كَاَحَدٍ مِّنَ النِّسَاۤءِ اِنِ اتَّقَيْتُنَّ فَلَا تَخْضَعْنَ بِالْقَوْلِ فَيَطْمَعَ الَّذِيْ فِيْ قَلْبِهٖ مَرَضٌ وَّقُلْنَ قَوْلًا مَّعْرُوْفًاۚ

Wahai istri-istri Nabi, kamu tidaklah seperti perempuan-perempuan yang lain jika kamu bertakwa. Maka, janganlah kamu merendahkan suara (dengan lemah lembut yang dibuat-buat) sehingga bangkit nafsu orang yang ada penyakit dalam hatinya dan ucapkanlah perkataan yang baik. (Terjemah Kemenag RI)  

Sebagai tindakan preventif

Mufasir seperti al-Baghawi dan Ibn Katsir menjelaskan maksud ucapan yang khudlu’ pada ayat ini adalah ucapan yang lemah lembut, yang merdu. Al-Qurtubi semakin memperjelas penafsirannya dengan langsung mencontohkan ucapan lemah lembut yang dilarang itu seperti ucapan atau perkataan yang biasa diucapkan oleh murībāt dan mūmisāt (para perempuan  pekerja seks komersial).

Dengan demikian, berarti ucapan lemah lembut yang dilarang adalah ucapan atau perkataan yang merdu dan mengandung rayuan.

Selanjutnya, larangan ini disebabkan karena kawatir membangkitkan nafsu laki-laki yang tidak baik, bisa jadi karena laki-laki tersebut munafik atau semacamnya, sehingga memunculkan nafsu untuk berbuat yang tidak baik terhadap perempuan.

Oleh karena demikian, maka kondisi larangan ini berlaku ketika perempuan berinteraksi dengan laki-laki yang bukan mahram dan bukan suaminya. Larangan ini tidak berlaku bagi interaksi antara suami-istri. Hal ini sebagaimana penjelasan Ibn Katsir,

لَا تُخَاطِبِ الْمَرْأَةُ الْأَجَانِبَ كَمَا تُخَاطِبُ زَوْجَهَا

Mengapa perempuan yang dilarang untuk berkata lemah lembut, bukan laki-laki yang diperintah untuk bisa menahan nafsu dan mempertkuat imannya? Pertanyaan ini bisa saja keluar dari pembaca yang peka terhadap adanya bias patriarki dalam Alquran, namun tidak demikian jika melanjutkan pembacaan ayat tersebut dengan semangat pembebasan. Istilah ini disebut dengan ‘reading liberation’ oleh Asma Barlas.

Baca Juga: Memahami Makna Seksualitas Perempuan Melalui Kisah Yusuf dan Zulaikha dalam Al-Quran

Ayat ini masih dalam rangkaian perintah dan pesan-pesan Allah terhadap istri-istri Nabi Muhammad, jadi wajar jika larangan melembutkan ucapan ini masih ditujukan terhadap perempuan.

Ayat ini menunjukkan bahwa Alquran berbicara dan berinteraksi dengan perempuan. Hal yang mungkin terlihat remeh ini sebenarnya menunjukkan tentang eksistensi perempuan yang pada masa itu masih dianggap tabu. Ummu Salamah saja pernah diceritakan bahwa beliau komplain terhadap Nabi Muhammad karena Alquran selalu menyebut laki-laki, tidak perempuan.

Selain itu, melalui ayat ini pula perempuan diberi kepercayaan untuk bisa mengendalikan dirinya sendiri, meski memang masih saja ada celah untuk dianggap sebagai ‘objek’ dari laki-laki.

Sementara itu, untuk laki-laki, Alquran telah memberi peringatan khusus untuk senantiasa menjaga kesucian dirinya dan juga budak perempuannya di surah an-Nur [24] ayat 33,

وَلْيَسْتَعْفِفِ الَّذِيْنَ لَا يَجِدُوْنَ نِكَاحًا حَتّٰى يُغْنِيَهُمُ اللّٰهُ مِنْ فَضْلِهٖ ۗوَالَّذِيْنَ يَبْتَغُوْنَ الْكِتٰبَ مِمَّا مَلَكَتْ اَيْمَانُكُمْ فَكَاتِبُوْهُمْ اِنْ عَلِمْتُمْ فِيْهِمْ خَيْرًا وَّاٰتُوْهُمْ مِّنْ مَّالِ اللّٰهِ الَّذِيْٓ اٰتٰىكُمْ ۗوَلَا تُكْرِهُوْا فَتَيٰتِكُمْ عَلَى الْبِغَاۤءِ اِنْ اَرَدْنَ تَحَصُّنًا لِّتَبْتَغُوْا عَرَضَ الْحَيٰوةِ الدُّنْيَا ۗوَمَنْ يُّكْرِهْهُّنَّ فَاِنَّ اللّٰهَ مِنْۢ بَعْدِ اِكْرَاهِهِنَّ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ

Orang-orang yang tidak mampu menikah, hendaklah menjaga kesucian (diri)-nya sampai Allah memberi kemampuan kepada mereka dengan karunia-Nya. (Apabila) hamba sahaya yang kamu miliki menginginkan perjanjian (kebebasan), hendaklah kamu buat perjanjian dengan mereka jika kamu mengetahui ada kebaikan pada mereka. Berikanlah kepada mereka sebagian harta Allah yang dikaruniakan-Nya kepadamu. Janganlah kamu paksa hamba sahaya perempuanmu untuk melakukan pelacuran, jika mereka sendiri menginginkan kesucian, karena kamu hendak mencari keuntungan kehidupan duniawi. Siapa yang memaksa mereka, maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (kepada mereka) setelah mereka dipaksa. (Terjemah Kemenag RI)

Dengan demikian, melihat kedua ayat ini, sebenarnya perempuan dan laki-laki sama-sama diberi tanggung jawab untuk menjaga kesucian dirinya sendiri dan senantiasa menjaga kesucian orang lain.

Sementara itu, Gus Baha dalam salah satu cuplikan video ngajinya, menjelaskan bahwa ayat ini menunjukkan tentang pembicaraan Alquran mengenai psikologi laki-laki, yaitu mudah tergoda dan terangsang. Bahkan, beliau memahami larangan berbicara dengan khudlu’ bagi perempuan ini sebagai larangan untuk bersikap terlalu sopan, karena kesopanan yang berlebihan yang ditunjukkan oleh perempuan dapat diartikan oleh laki-laki yang tidak baik dengan pemberian harapan dan persetujuan.

Oleh karena itu, larangan melembutkan perkataan bagi perempuan dalam surah al-Ahzab  ayat 32 tersebut dapat dikatakan sebagai tindakan preventif terhadap hal-hal yang tidak baik dalam konteks hubungan perempuan dan laki-laki yang bukan mahram, karena tidak semua laki-laki bisa mengendalikan nafsunya dengan baik, dan tidak semua perempuan bisa berbicara dengan tegas dan lugas.

Baca Juga: Perempuan dalam Al-Quran: Antara Pernyataan Allah Sendiri dan Kutipan atas Ucapan Orang Lain

Beda antara ucapan yang lemah lembut dengan ucapan yang baik

Larangan melembutkan perkataan bagi perempuan di sini bukan berarti memerintah perempuan untuk berkata yang kasar dan tidak baik. Ucapan yang lemah lembut beda dengan ucapan atau perkataan yang baik. Perempuan sangat dianjurkan untuk berkata atau berucap dengan tegas dan lugas, tidak menye-menye.

Al-Qurtubi menjelaskan dalam tafsirnya,

…أَمَرَهُنَّ اللَّهُ أَنْ يَكُونَ قَوْلُهُنَّ جَزْلًا وَكَلَامُهُنَّ فَصْلًا…

Allah memerintah para perempuan untuk (berucap dengan) perkataan yang kuat dan tegas.   

Lemah-lembut, tegas-lugas itu menunjukkan cara, sementara baik-tidak baik adalah materinya. Jadi, yang dilarang di sini adalah cara berucap atau bertutur yang lemah-lembut, menye-menye dengan nada merayu; sementara materi tutur atau ucapannya tetap harus yang baik, sesuai dengan perintah agama, yakni tidak mengandung hinaan, celaan, bukan kebohongan, dan semacamnya. Wallah a’lam.

Relevansi al-Qalam dalam Konteks Modern

0
Relevansi al-Qalam dalam Konteks Modern
Ilustrasi pena.

Alquran sebagai rangkaian wahyu ilahi yang amat indah, memiliki sejumlah istilah yang penuh makna. Salah satunya ialah lafaz “al-qalam”, yang secara harfiah memiliki makna “pena”. Lafaz tersebut disebutkan sebanyak tiga kali dalam Alquran. Di antaranya pada surah Al-‘Alaq ayat 4, Al-Qalam ayat 1, dan Luqman ayat 27.

Pertama, dalam Q.S. Al-‘Alaq 5:

الَّذِيْ عَلَّمَ بِالْقَلَمِۙ

(Dia) yang mengajar (manusia) dengan pena.

Kedua, dalam Q.S. Al-Qalam ayat 1-2:

نۚ وَالْقَلَمِ وَمَا يَسْطُرُوْنَۙ

Nūn. Demi pena dan apa yang mereka tuliskan.

Ketiga, dalam Q.S. Luqman ayat 27:

وَلَوْ اَنَّ مَا فِى الْاَرْضِ مِنْ شَجَرَةٍ اَقْلَامٌ وَّالْبَحْرُ يَمُدُّه مِنْ بَعْدِه سَبْعَةُ اَبْحُرٍ مَّا نَفِدَتْ كَلِمٰتُ اللّٰهِۗ اِنَّ اللّٰهَ عَزِيْزٌ حَكِيْمٌ

Seandainya pohon-pohon di bumi menjadi pena dan lautan (menjadi tinta) ditambah tujuh lautan lagi setelah (kering)-nya, niscaya tidak akan pernah habis kalimatullah (ditulis dengannya). Sesungguhnya Allah Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.

Makna al-Qalam dalam Alquran

Abu Ja’far menafsirkan lafaz al-qalam dengan sesuatu yang digunakan untuk menulis [Tafsīr al-abarī, 24/520]. Ridhwan dalam bukunya, Konsep Dasar Pendidikan Islam (67), mendefinsikan al-qalam sebagai sebuah pengajaran dengan sistem penyebaran melalui pena atau tulisan, seperti: buku-buku ilmiah, majalah, artikel, dan semacamnya, maupun lisan, seperti: ceramah, kuliah, dakwah; pada seluruh manusia di belahan dunia ini, sehingga mampu memudahkan manusia untuk mengetahui dan memahami sesuatu yang telah dipelajari.

Ragam Tafsir al-Qalam

Shadiq Ahmad Khan menyebutkan surah Al-‘Alaq ayat 5 mengandung makna bahwa Allah mengajarkan manusia menulis dengan pena, yang dengannya ia mampu mengetahui segala hal yang tertulis.

Kemudian mengutip perkataan al-Qatadah, al-qalam atau sarana menulis merupakan nikmat yang besar dari-Nya. Tanpanya, agama tidak akan tegak dan kehidupan tidak akan baik. Ini menunjukkan kesempurnaan-Nya dengan mengajarkan kepada hamba-hamba-Nya apa saja yang tidak mereka ketahui dan mengeluarkan mereka dari gelapnya kebodohan menuju cahaya ilmu. Serta menunjukkan keutamaan ilmu kepenulisan, sebab bisa menuai manfaat besar di dalamnya [Fatḥ al-Bayān fī Maqāṣid al-Qur’ān 15/311].

Senada dengan al-Maraghi dalam tafsirnya, ia menjelaskan bahwa Allah menjadikan al-qalam sebagai perantara memberikan pemahaman antara manusia yang berjauhan, serta pemahaman yang dituangkan dari lisan. Al-qalam merupakan sebuah alat yang tidak bernyawa, sehingga tidak memiliki kemampuan untuk memahami. Siapa yang mampu menghendaki benda mati, tidak bergerak, dan tidak bernyawa sebagai alat untuk memahami dan menyampaikan sesuatu, melainkan atas kuasa Allah yang menjadikannya demikian? [Tafsīr al-Marāghī, 30/199].

Baca juga: Spirit Literasi dalam Nama-Nama Alquran

Demikian pula dikomentari oleh al-Zuhaili, bahwa jika bukan karena tulisan, niscaya ilmu pengetahuan akan lenyap, tidak ada jejak agama yang tersisa, tidak ada kehidupan yang diperbaiki, dan tidak ada tatanan yang ditegakkan. Tulisan merupakan catatan ilmu dan pengetahuan, sarana untuk menyampaikan berita dan informasi manusia terdahulu, dan sarana menyampaikan pengetahuan antarbangsa dan umat, sehingga kemudian dikembangkan sesuai dengan yang dikehendaki-Nya. Dengan tulisan, peradaban berkembang, ide-ide bermunculan dan bertumbuh, agama-agama terpelihara, dan hidayah (petunjuk kebenaran) tersebarkan [Tafsīr al-Munīr, 317-318/30].

Adapun huruf wawu yang mengawali kata al-qalam dalam Q.S. Al-Qalam ayat 2 merupakan wawu qasam (sumpah). Al-Maraghi dalam tafsirnya menyebutkan bahwa Allah bersumpah dengan menyebutkan al-qalam untuk membuka pintu-pintu segala ilmu. Allah tidak bersumpah, kecuali terhadap perkara-perkara yang besar. Sebagaimana sumpahnya atas matahari, bulan, malam, dan fajar. Hal itu menunjukkan keagungan dan keindahan ciptaan-Nya. Maka, begitu pula sama halnya ketika Allah bersumpah dengan al-qalam. Artinya, al-qalam merupakan sarana luar biasa untuk penyebaran ilmu dan pengetahuan, pembersihan jiwa dengan ngaji ilmu agama, dan melestarikan sejarah peradaban [Tafsīr al-Maraghī, 27/29].

Al-Qalam dalam Konteks Modern

Pakar tafsir kontemporer memaknai lafaz al-qalam sebagai segala macam alat tulis-menulis sampai kepada mesin-mesin tulis dan cetak yang canggih. Sebab sifatnya sama dengan hasil tulisan dari sebuah pena, yakni sama-sama bisa dilihat mata dan dibaca. Dalam konteks modern, makna al-qalam berkembang seiring dengan kemajuan teknologi dan perubahan sosial. Namun, esensinya tetap sama, yakni alat untuk mencatat, menyimpan, kemudian menyebarluaskan.

Al-qalam, baik dalam pemahaman klasik maupun modern, tetap menjadi komponen terpenting dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dengannya, peradaban manusia mampu berkembang mengikuti arus modernitas. Keabadian ilmu dituangkan dalam bentuk tulisan-tulisan, sehingga generasi berikutnya mampu mengembangkan ilmu pengetahuan ilmuan sebelumnya.

Baca juga: Kelebihan dan Kekurangan Belajar Alquran Melalui Tulisan Latin

Dalam dunia pendidikan, al-qalam merambah ke berbagai alat dan teknologi yang dipergunakan sebagai media pembelajaran. Teknologi seperti komputer, tablet, dan perangkat digital lainnya dapat dianggap sebagai makna luas dari “pena”. Sekolah memfasilitasi pembelajaran jarak jauh, memungkinkan akses ke sumber daya pendidikan yang lebih luas, dan mendukung metode pengajaran interaktif. Misalnya, e-books, platform pembelajaran online, dan aplikasi pendidikan, merupakan “pena” modern yang membantu menyebarkan pengetahuan ke berbagai penjuru dunia.

Transformasi dari pena tradisional ke alat digital, mencerminkan evolusi bagaimana cara manusia mengelola dan menyebarkan pengetahuan. Namun, esensi dari nilai al-qalam sebagai pendorong utama ilmu pengetahuan tetap utuh. Dengan demikian, al-qalam bukanlah makna sempit dengan hanya dapat dimaknai sebagai sebuah pena saja. Lebih dari itu, kehadiran teknologi yang kian maju, tidak serta merta menghilangkan istilah al-qalam. Karena sebetulnya, ia ialah alat untuk menuangkan buah pikiran ilmu dan pengetahuan, sebagai kontribusi memajukan peradaban manusia.

Wallāhu a’lamu.

 

‘Membaca’ Alquran bersama Ziauddin Sardar

0
'Membaca' Alquran bersama Ziauddin Sardar

Ziuaddin Sardar merupakan seorang muslim dengan banyak profesi dan identitas. Ia lahir di Pakistan pada 31 Oktober 1951. Kemudian, pindah ke Hackney, London Timur tahun 1961 bersama kedua orang tuanya. Selain sebagai seorang akademisi, ia juga seorang jurnalis. Maka tidak heran jika ia memiliki beberapa karya.

Dalam beberapa karyanya, Sardar memiliki ketertarikan tersendiri dalam mengkaji Alquran dan tafsirnya. Minatnya dalam kepenulisan ini dimulai pada tahun 1998 ketika ia bergabung dalam organisasi FOSIS (Federasi of Student Islamic Societies), yakni majalah dengan nama The Muslim. Pada saat itu proyek yang dikerjakan adalah menerbitkan serial tafsir Sayyid Qutb, Fii Dzilalil Qur’an, secara berkala. (Ziauddin Sardar, Ngaji Quran, 37)

Baca Juga: Memahami Kepemilikan dan Pergeseran Otoritas Penafsiran Al-Quran Menurut Ziauddin Sardar

Selain itu, Sardar juga menulis di sebuah blog dengan nama The Guardian yang diluncurkan pada tahun 2008. Artikel-artikel yang dimuat ditujukan untuk kalangan umum, baik itu muslim maupun non-muslim. Blog ini sebenarnya difungsikan untuk berita harian Inggris. Namun, Sardar memanfaatkan blog tersebut untuk mengembangkan pemahaman Alquran di zaman sekarang, dengan menyajikan kajian yang lebih sistematis, kolektif, dan elaboratif, namun menggunakan gaya penulisan yang santai. (Ziauddin Sardar, Ngaji Quran, 16)

Dari artikel-artikel yang dimuat di blog tersebut akhirnya dijadikan sebuah buku dengan judul Reading The Qur’an; The Contemporary Relevance of The Sacred Text of Islam. 

Deskripsi Karya

Buku tersebut diterbitkan oleh Oxford University Press pada 2011. Sedangkan dalam versi bahasa Indonesia-nya mulai diterbitkan oleh Serambi Ilmu Semesta pada 2014. Namun, dalam terjemahan tersebut ada satu sub bab yang tidak ditampilkan, yakni Homosexuality.

Buku ini memuat empat klasifikasi pembahasan, yakni bagian pertama terdiri dari 5 poin pembahasan yang menjelaskan tentang gaya bahasa, struktur dan watak Alquran. Serta, bagaimana pembacaan dan penafsiran Alquran secara konvensional.

Baca Juga: Farid Esack: Mufassir Pejuang Keadilan di Afrika Selatan

Bagian kedua terdiri dari 22 poin pembahasan yang menyajikan ulasan-ulasan dalam surat al-Fatihah dan al-Baqarah yang terdiri dari tema-tema pembahasan.

Pada bagian ketiga, terdiri dari 13 poin pembahasan. Sardar memusatkan
kajiannya pada tema-tema besar dalam Alquran, serta mengungkap bagaimana Alquran berbicara tentang kebenaran dan pluralitas hingga etika dan moral.

Sedangkan pada bagian keempat, terdiri dari 12 poin pembahasan yang berisi pembahasan isu-isu kontemporer, mulai dari pembahasan syariat hingga seni, musik dan imajinasi. Dalam bagian ini pula, Sardar berupaya menggali ayat-ayat Alquran untuk mengungkapkan kedudukan Alquran serta maknanya yang relevan atas isu tersebut.

Metode Penafsiran

Dalam bukunya tersebut, Sardar menggunakan metode tafsir maudhu‘i,
yakni metode tafsir yang mengarah pada tema tertentu dengan menghimpun ayat-ayat yang sejalan dengan tema yang diteliti.

Baca Juga: Mengenal Prinsip-Prinsip Interpretasi ala Abdullah Saeed

Menurut penulis, Sardar telah mengimplementasikan dua jenis tafsir maudhu‘i, yakni maudhu‘i surat dan maudhu‘i konsep. Penerapan maudhu‘i surat dilihat dari tafsiran surat al-Fatihah dan al-Baqarah, sedangkan maudhu‘i konsep meliputi penafsiran makna pada tema yang sudah ditentukan, semisal kekuasaan, politik, hijab, dan seterusnya. (Miatul Qudsia, Considering the Moral Value of the Verse of Riba)

Ngaji Qur’an di Zaman Kiwari

Saat berinteraksi dengan Alquran, Sardar tidak hanya menuliskan bagaimana Alquran berbicara soal isu-isu terkini, namun ia juga menuliskan bagaimana pengalamannya berinteraksi dengan Alquran.

Lebih jauh, tujuan Sardar menulis tentang kealquranan ini adalah untuk
memahami apa dan bagaimana Alquran di abad 21. Menurutnya, ini bukan hal yang mudah untuk memahami Alquran di zaman sekarang. (Ziauddin Sardar, Ngaji Quran, 16)

Dalam menafsirkan Alquran, ia menegaskan bahwa telah memadukan berbagai metode dan pendekatan. Langkah awal yang dilakukan adalah membaca terjemahan Alquran. Kemudian, memahami makna dari sebagain
frasa dan istilah kunci Alquran untuk dicari relevansinya dengan zaman
sekarang.

Kemudian, Sardar menggunakan teknik penafsiran ayat per ayat. Di saat itu pula, ia mulai menganalisis dari sudut pandang kontekstual, hermeneutika, teori sastra hingga semiotik. (Sardar, Ngaji Quran, 22)

Menurutnya, ada dua langkah yang membedakan antara dirinya dengan yang lain. Selain menggunakan 2 langkah tafsiran klasik yakni memahami konteks Alquran dan konteks yang berkaitan dengan Nabi Saw, ia juga menambahkan data konteks sejarah dan konteks kekinian.

Sedangkan untuk rujukannya, Sardar mengacu pada karya-karya para pemikir progresif ataupun referensi klasik yang berbahasa Inggris. Di samping itu, Sardar juga menggunakan rujukan darri al-Kitab. (Taufan Anggoro, Tafsir Alquran…, 205)

Baca Juga: Fazlur Rahman: Sarjana Muslim Pencetus Teori Double Movement

Secara metodologisnya, jika menelaah pada gagasan Sardar terkait
penggalian konteks kekinian, maka sedikit banyak ada kesamaan dengan Fazlur Rahman dan Abdullah Saeed. Selain itu, juga ada pengaruh dari Farid Esack yang terkenal dengan tawaran hermeneutika pembebasannya. Ia pun sering mengutip pendapat dari mereka. (Anggoro, Tafsir Alquran…, 216)

Tafsir Surah at-Taubah Ayat 40: Kisah Hijrah Abu Bakar

0
kisah hijrah Abu Bakar
kisah hijrah Abu Bakar

Abu Bakar as-Shiddiq merupakan sahabat terdekat Rasulullah saw. yang selalu menemani beliau, baik dalam keadaan suka ataupun duka. Abu Bakar rela mengorbakan seluruh harta dan jiwanya untuk mendukung Nabi dalam menyebarkan risalah Islam. Beliau juga yang menemani Rasulullah saw. hijrah ke Madinah. Kisah hijrah Abu Bakar yang menemani Rasulullah saw. tersebut diapresiasi dan direkam oleh Alquran di surah at-Taubah ayat 40,

إِلَّا تَنْصُرُوهُ فَقَدْ نَصَرَهُ اللَّهُ إِذْ أَخْرَجَهُ الَّذِينَ كَفَرُوا ثَانِيَ اثْنَيْنِ إِذْ هُمَا فِي الْغَارِ إِذْ يَقُولُ لِصَاحِبِهِ لَا تَحْزَنْ إِنَّ اللَّهَ مَعَنَا فَأَنْزَلَ اللَّهُ سَكِينَتَهُ عَلَيْهِ وَأَيَّدَهُ بِجُنُودٍ لَمْ تَرَوْهَا وَجَعَلَ كَلِمَةَ الَّذِينَ كَفَرُوا السُّفْلَى وَكَلِمَةُ اللَّهِ هِيَ الْعُلْيَا وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ (40)

Jika kamu tidak menolongnya (Nabi Muhammad), sungguh Allah telah menolongnya, (yaitu) ketika orang-orang kafir mengusirnya (dari Makkah), sedangkan dia salah satu dari dua orang, ketika keduanya berada dalam gua, ketika dia berkata kepada sahabatnya, “Janganlah engkau bersedih, sesungguhnya Allah bersama kita.” Maka, Allah menurunkan ketenangan kepadanya (Nabi Muhammad), memperkuatnya dengan bala tentara (malaikat) yang tidak kamu lihat, dan Dia menjadikan seruan orang-orang kafir itu seruan yang paling rendah. (Sebaliknya,) firman Allah itulah yang paling tinggi. Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (Terjemah Kemenag RI)

Telah menjadi konsensus di kalangan ulama bahwa yang dimaksud dengan “sahabatnya” dalam ayat di atas adalah Abu Bakar as-Shiddiq. Abu Bakar-lah yang bersama Rasulullah saw. ketika keluar melarikan diri dari orang-orang kafir Quraisy yang ingin membunuh Rasulullah saw., lalu keduanya bersembunyi di dalam gua.

Ibnu Abi Hatim (6/1800) dan Ibnu Athiyyah (3/36) dalam tafsirnya mengisahkan dari riwayat Amr bin al-Harits, suatu ketika Abu Bakar ketika khutbah berkata, “Siapakah di antara kalian yang hafal surah at-Taubah?” Salah seseorang lalu berkata, “Aku.” Beliau berkata lagi, “Bacalah.” Ketika laki-laki tersebut sampai pada ayat, “Di waktu beliau berkata kepada temannya, ‘Janganlah kamu berduka cita’,” Abu Bakar pun menangis, “Demi Allah, akulah sahabat Rasul yang Allah maksud.”

Baca Juga: Asma Putri Abu Bakar, Sahabat dan Mufassir Perempuan yang Berjasa Dalam Hijrah Nabi

Tangisan bahagia Abu Bakar; menjadi teman hijrah Rasulullah saw.

Abu Bakar pada mulanya hendak hijrah bersama rombongan kaum muslimin yang lain, namun Rasulullah saw. meminta dirinya untuk menunda keberangkatan. Saat itu, sejatinya beliau percaya diri dan merasa bahwa dirinya-lah yang akan diamanahkan untuk mendampingi perjalanan hijrah Rasul. (Sirah Nabawiyah, h. 432)

Benar saja, pada panasnya siang hari Rasul mendatangi Abu Bakar dengan menyamar untuk mengabarkan bahwa Allah telah mengizinkan beliau berhijah dan dirinyalah yang akan menemaninya, di samping itu beliau saw. juga menyampaikan bahwa rencana hijrah akan dilakukan malam hari dengan melewati jalur yang sulit dengan banyak bebatuan besar yang sangat terjal agar tidak diketahui oleh orang Quraisy.

Alih-alih merasa ragu, cemas, ataupun takut, Abu Bakar justru sangat bahagia, gembira, bangga, dan bersedia bertaruh nyawa sebagai orang terpilih mendampingi perjalanan Rasul. (Sejarah Hidup Muhammad, h. 13).

Ibnu Katsir mengutip riwayat Aisyah dalam Sirah Nabawiyah 2/34, mufasir tersebut menceritakan bahwa saat itu Abu Bakar bahkan sampai menangis karena merasa gembira. Aisyah berkata, “Demi Allah, aku belum pernah melihat seseorang yang menangis karena gembira sebagaimana ayahku saat itu.”

Menemani Rasulullah hijrah ke Madinah bagi Abu Bakar merupakan kemuliaan, berpahala besar, dan kebahagiaan tiada tara lebih dari apapun yang dimiliki. Abu Bakar tidak bersedih hati walaupun harus meninggalkan kota kelahirannya dan harta benda yang sudah dimiliki. Bahkan, ketika disampaikan rencana hijrah oleh Rasul dengan melewati jalur yang tidak umum, beliau pun yakin, sepakat, dan bersedia mengikuti Rasul tanpa merasa berat hati.

Baca Juga: Kisah Kesetiaan Abu Bakar As-Shiddiq dibalik Surah At-Taubah Ayat 40

Kisah hijrah Abu Bakar bersama Rasulullah saw.

Mendengar kabar tersebut, Abu Bakar segera menyiapkan segala keperluan keberangkatan. Beliau telah menyiapkan dua ekor unta tunggangan yang telah dipelihara dua bulan sebelum hijrah. Abdullah bin Uraiqit seorang yang telah diupahnya untuk menunjukkan jalan ke Madinah datang di waktu yang telah dijanjikan ke gua Tsur dengan membawa dua ekor unta tersebut. (Sirah Nabawiyah h. 187)

Setelah perbekalan sudah disiapkan oleh putrinya, Asma dan Aisyah, dengan diikat di unta masing-masing, berangkatlah Abu Bakar bersama Rasulullah saw. menuju gua Tsur dan berdiam di gua tersebut selama tiga malam. Asma putri Abu Bakar bertugas untuk mengantarkan perbekalan pada malam harinya. Abu Bakar juga memerintahkan putranya, Abdullah untuk mencari informasi tentang situasi di Makkah dan menyampaikannya kepada keduanya saat di gua Tsur pada malam hari. (150 Qishah min Hayati Abi Bakar, 38-39). Sementara budaknya, Amir ibn Fuhairah bertugas menggembalakan kambing perah dan memberikan susunya untuk mereka. (Tafsir ad-Durr al-Mantsur 4/204)

Abu Bakar melakukan semua itu atas dasar rasa cintanya pada Rasul, kepedulian, serta komitmen untuk kepentingan dakwah Islam. Beliau juga melibatkan orang-orang terdekatnya untuk mengambil peran dalam mensukseskan misi hijrah Rasulullah saw. ke Madinah. Abu Bakar bekerja sama dengan putra-putrinya menjalankan tugas menjaga keamanan dan keselamatan Nabi selama perjalanan hijrah dengan tulus, amanah, dan totalitas.

Ketika Rasulullah saw. dan Abu Bakar bersembunyi di gua Tsur, sebenarnya algojo-algojo kafir Quraisy sudah mengejar dan hampir masuk ke mulut gua. Abu Bakar yang melihat hal tersebut sempat dilanda rasa takut, gemetar, dan cemas, kawatir persembunyian mereka ditemukan. Abu Bakar memikirkan keselamatan Rasulullah saw. dan nasib umat Islam selanjutnya jika sampai Rasulullah saw. tertangkap dan dibunuh.

Baca Juga: Tafsir Abu Bakar atas Wafatnya Nabi Muhammad Saw.

Tafsir Fi Zhilalil Quran (5/353-354) mendeskripsikan kisah hijrah Abu Bakar lebih detail di tafsir surah at-Taubah ayat 40. Dikisahkan bahwa Abu Bakar -saat itu- berkata, “Seandainya salah seorang dari mereka melihat ke bawah, niscaya mereka melihat kita.” Lalu Rasulullah saw. yang Allah telah menurunkan ketenangan di dalam hatinya, menenangkan dan menenteramkan hati Abu Bakar sambil bersabda, “Bagaimana menurutmu dengan (keadaan) dua orang di mana Allah adalah yang ketiganya? Janganlah bersedih, sesungguhnya Allah bersama kita.” Ilustrasi yang kurang lebih sama juga dijelaskan oleh at-Tabari dalam tafsirnya.

Tiga hari berlalu Rasulullah saw. dan Abu Bakar berada di dalam gua Tsur. Kaum kafir Quraisy sepertinya sudah putus asa dan berpikir buronannya tersebut tidak mungkin ditemukan. Melihat kondisi perkembangan yang demikian, Rasulullah saw. dan Abu Bakar memanfaatkan situasi untuk segera berangkat menuju Madinah. Selama perjalanan, Abu Bakar senantiasa waspada terhadap segala ancaman yang bisa menimpa diri Rasul.

Abu Bakar selalu berjaga di sekeliling Rasulullah dengan berganti posisi, terkadang membuntuti dari belakang ataupun berjalan di depan Nabi. Hingga akhirnya, misi hijrahnya bersama Rasul yang penuh mara bahaya dan perjuangan berhasil, keduanya tiba dengan selamat di Kota Madinah yang kemudian menjadi titik awal kejayaan Islam. Wallah ‘alam.

Konteks Penyebutan asy-Syahr al-Harām atau al-Asyhur al-Hurm dalam Alquran

0
Konteks penyebutan asy-Syahr al-haram atau al-Asyhur al-Hurm
Konteks penyebutan asy-Syahr al-haram atau al-Asyhur al-Hurm

Bulan Muharam merupakan satu dari empat bulan haram yang diistilahkan oleh Alquran dengan asy-syahr al-harām atau al-asyhur al-hurm. Ibn ‘Āsyur dalam tafsirnya menjelaskan bahwa keempat bulan yang dimaksud oleh Alquran itu sudah dikenal oleh orang-orang Arab, yaitu Zulkaidah, Zulhijah, Muharam dan Rajab.

Berdasarkan penjelasan mufasir asal Tunisia tersebut, bisa dipahami bahwa istilah asy-syahr al-harām atau al-asyhur al-hurm sudah diketahui oleh orang-orang Arab sebelum turun Alquran atau bahkan sudah menjadi tradisi di kalangan orang Arab sebelum Islam.

Tradisi ini juga sempat disinggung dalam surah al-Māidah ayat 97. Pada ayat ini, Allah seolah mendeklarasikan fungsi Baitullah sejak dibangun oleh Nabi Ibrahim, yaitu sebagai tempat berlindung orang-orang yang melaksanakan haji dan umrah, dan juga menjadikan ‘bulan haram’ (bulan mulia) sebagai waktu untuk tidak melakukan peperangan dan pembunuhan, termasuk balas dendam.

جَعَلَ اللَّهُ الْكَعْبَةَ الْبَيْتَ الْحَرَامَ قِيَامًا لِلنَّاسِ وَالشَّهْرَ الْحَرَامَ وَالْهَدْيَ وَالْقَلَائِدَ ذَلِكَ لِتَعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ يَعْلَمُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ وَأَنَّ اللَّهَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ. المائدة: 97

Selain di surah al-Māidah ayat 97, penyebutan ‘bulan haram’ atau istilah asy-syahr al-harām; al-asyhur al-hurm setidaknya ada di lima ayat yang lain, yaitu surah at-Taubah: ayat 5 dan 36; dua ayat di surah al-Māidah: 2 dan 97, dan dua ayat di surah al-Baqarah ayat 194 dan 217.

Baca Juga: Bulan Muharam: Bulan Persaudaraan

Beberapa mufasir seperti Ibnu Katsir, al-Qurtūbī dan Ibn ‘Asyur memahami ayat-ayat tersebut sebagai penjelas satu sama lain. Hal ini dapat dilihat ketika mereka menafsirkan salah satu dari ayat asy-syahr al-harām atau al-asyhur al-hurm tersebut, mereka mendatangkan ayat-ayat yang lain yang setema untuk mendukung dan memperdalam penjelasan mereka.

Berdasarkan penafsiran mereka, dapat dipahami bahwa ayat-ayat tersebut mempunyai tema bahasan yang sama, larangan yang terdapat di dalam ayat-ayat itu juga sama, meski demikian konteks turun ayat-ayat tersebut tidak selalu sama.

Konteks  turun ayat-ayat asy-syahr al-harām; al-asyhur al-hurm

Misal pada surah al-Māidah ayat 2, mufasir yang telah disebut tadi memahami bahwa cerita di sekitar ayat 2 ini terkait dengan surat Rasulullah saw. untuk ‘Amr bin Hazm yang diutus ke Yaman, mengingatkan tentang pemenuhan janji-janji orang beriman yang antara lain tidak melanggar bulan-bulan haram.

Sementara untuk surah al-Māidah ayat 97, mufasir seperti Ibn ‘Āsyur memahami konteks penurunan ayat sebagai deklarasi fungsi Baitullah sejak dibangun oleh Nabi Ibrahim, yaitu sebagai tempat berlindung orang-orang yang melaksanakan haji dan umrah, dan juga larangan untuk membunah dan membalas dendam saat pelaksanaan haji dan umrah di bulan-bulan haram.

Adapun untuk surah at-Taubah ayat 5, Ibn Āsyur memberi konteks pemahaman ayat ini sebagai kelanjutan dari surah at-Taubah ayat 1 dan 2. Di tafsir ayat 1 dan 2, dijelaskan bahwa Rasulullah saw. dan umat Islam mempunyai perjanjian yang telah disepakati dengan kaum Musyrik, antara lain mereka sepakat untuk tidak saling mengganggu, tidak saling membunuh, namun ternyata kaum musyrik melangggar perjanjian tersebut.

Nah, di ayat kelima ini secara tidak langsung diizinkan untuk membalas pelanggaran yang dilakukan oleh kaum musyrik tersebut, dengan beberapa sayarat, antara lain telah lewat dari bulan-bulan haram, dan kaum musyrik tersebut tidak bertaubat.

Baca Juga: Maksud Larangan Menzalimi Diri Sendiri pada Bulan-Bulan Haram

Sementara itu, untuk konteks ayat 36, mufasir menjelaskannya sebagai ayat Alquran yang dibaca oleh Rasululllah saw. pada saat beliau berkhutbah saat haji wada’. Dengan demikian, pada saat itu Rasulullah saw. ‘seperti’ mengulang tentang larangan di ‘bulan-bulan haram’, yaitu berperang. Hal yang berbeda di ayat ini adalah lanjutan dari pembolehan larangan tersebut di luar ‘bulan-bulan haram’, namun tetap dengan syarat jika kaum musyrik menyerang umat Islam duluan.

Untuk surah al-Baqarah ayat 194. Ibn Katsir memberi konteks ayat ini dengan kisah pencegatan yang dilakukan oleh kaum musyrik terhadap Rasulullah saw. dan rombongannya yang mau melaksanakan umrah di bulan Dzul Qa’dah (satu dari empat bulan-bulan haram) tahun keenam setelah hijrah, sehingga Rasulullah saw. dan rombongan menunda umrahnya di tahun depannya.

Selain peristiwa tersebut, al-Qurtūbī menambahi konteks turun ayat ini yaitu ketika pada masa perjanjian Hudaibiyah. Satu riwayat lain tentang sabab nuzul ayat ini yang juga dinukil oleh mufasir asal Cordoba ini yaitu orang-orang musyrik bertanya kepada Rasulullah saw. ‘apakah kamu dilarang untuk berperang di ‘bulan haram’? Rasulullah saw. menjawab ‘iya’. Mengetahu hal ini, kaum musyrikin kemudian berkeinginan untuk menyerang Rasulullah saw. Kemudian ayat ini diturunkan sebagai pembolehan membalas serangan kaum musyrik meski di ‘bulan haram’.

Adapun untuk surah al-Baqarah ayat 217, menurut para mufasir, konteks pertama ayat ini turun terkait dengan respon yang tidak terlalu menyenangkan dari kaum musyrik dan orang-orang Islam Madinah terhadap pasukan pimpinan Abdullah bin  Jahsy yang berhasil membunuh pimpinan pasukan musuh yang ditemuinya karena hal itu dilakukan di bulan Rajab (salah satu bulan haram), padahal diceritakan bahwa pasukan Abdullah bin Jahsy tidak mengetahui dengan jelas, ketika itu sudah masuk bulan Rajab atau belum.

Baca Juga: Inilah Larangan di Bulan Haram yang Perlu Diketahui

Larangan berperang di ‘bulan-bulan haram’ atau ‘bulan-bulan mulia’

Meski konteks penurunan ayat-ayatnya berbeda, satu persamaan dalam ayat-ayat asy-syahr al-harām atau al-asyhur al-hurm adalah larangan dalam bulan-bulan tersebut, yaitu larangan untuk berperang.

Ibn ‘Asyur dalam tafsirnya, at-Tahrir wa at-Tanwir menjelaskan bahwa kekhususan larangan dalam ayat-ayat tersebut karena Allah menjadikan bulan tersebut sebagai waktu untuk beribadah, bukan untuk bermaksiat. Namun bukan berarti tindakan maksiat di luar bulan-bulan tersebut dibolehkan, hanya saja maksiat di bulan tersebut nilai dosanya lebih besar dan pun dengan amal baiknya akan berlipat.

Barang kali argumentasi Ibn ‘Āsyur ini yang menjadi sebab penamaan asy-syahr al-harām atau al-asyhur al-hurm untuk bulan-bulan tersebut.

Mufasir asal Tunisia tersebut juga menambahkan bahwa larangan berperang pada bulan-bulan mulia ini pada intinya untuk tujuan keamanan. Keamanan menjadi poin penting dalam menciptakan kedamaian dan kenyamanan.

Namu karena pada (saat itu) kaum musyrik masih terus mengancam dan berpotensi menyerang umat Islam, Alquran pun kemudian tetap membolehkan perang dengan kaum musyrik jika kaum musyrik tersebut menyerang dan berbuat zalim kepada umat Islam.

Bahkan sebagaimana diketahui, bahwa untuk tujuan keamanan ini, Rasulullah saw. sepakat tentang sulḥ al-ḥudaibiyah yang secara sekilas merugikan umat Islam. Dalam perjanjian Hudaibiyah tersebut terdapat larangan untuk saling mengganggu antara kaum musyrik dan umat Islam. Namun di pertengahan masa perjanjian, kaum musyrik melanggar perjanjian tersebut dengan membunuh salah satu anggota kabilah yang berada di wilayah kekuasaan umat Islam saat itu, sehingga perjanjian itu pun otomatis batal.

Sebagaimana diketahui dalam sejarah pula bahwa perjanjian Hudaibiyah ini merupakan rangkaian awal dari peristiwa Fathu Makkah, kemenangan umat Islam atas kaum musyrik saat itu. Wallah a’lam