Beranda blog Halaman 32

Surah al-Anbiya’ Ayat 7: Berkonsultasilah Kepada Ahlinya

0
Surah al-Anbiya' Ayat 7: Berkonsultasilah Kepada Ahlinya

Perkembangan teknologi informasi yang ditandai dengan kehadiran media sosial memang membawa beragam dampak positif bagi kehidupan manusia. Namun, suguhan instan ini justru mampu mengusung kerugian bagi penggunanya. Informasi yang mudah sekali didapatkan ini, memungkinkan orang-orang sudah merasa tidak membutuhkan berguru atau berkonsultasi kepada seorang ahli.

Fenomena ini disebut dengan self-education atau dapat pula dikatakan mampu mendiagnosa diri sendiri: self-diagnosis. Inilah penyakit anak muda yang dengan mudahnya mendiagnosa kelainan psikis hanya bermodalkan sumber yang tidak jelas, bukan hasil diagnosa ahli.

Kondisi demikian, apabila tidak diimbangi dengan self-control yang baik, maka akan menimbulkan misleading information. Ada banyak informasi yang tidak akurat di internet yang mampu membuat orang-orang merasa cukup dengan pengetahuan yang mereka temukan sendiri. Pada akhirnya kemudian secara perlahan memunculkan rasa tidak butuh atau mengesampingkan para ahli bidang tertentu. Berkenaan dengan fenomena ini, Allah telah menegaskan dalam surah al-Anbiya’ ayat 7 berikut.

فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ

Maka, bertanyalah kepada orang yang berilmu jika kamu tidak mengetahui.
Ayat di atas merupakan perintah bagi orang-orang yang belum mengetahui untuk bertanya
kepada ahlu al-żikr.

Baca Juga: Tafsir Surah Annur Ayat 45: Setiap Orang Memiliki Keahlian Masing-Masing

Siapakah Ahlu al-Żikr?
Secara historis, lafaz ahlu al-żikr dimaknai dengan ahli Taurat dan Injil, atau Ahlu Kitab. Salah satunya diungkapkan oleh Ibnu Katsir dalam tafsirnya, bahwasanya pada saat itu orang-orang kafir mengingkari kenabian Rasulullah saw. Kemudian Allah memerintahkan mereka untuk menanyakan kepada ahli kitab berkenaan dengan apakah para rasul yang datang kepada mereka itu manusia ataukah malaikat? Dijawablah bahwa mereka merupakan manusia biasa, yang dikaruniai sebagai utusan-Nya, agar manusia di muka bumi mampu menerima risalah dari para rasul itu [Tafsīr Ibnu Katsīr, 5/334].

Adapun al-Qurthubi memaknai ahlu al-żikr sebagai ahli kitab Taurat dan Injil yang mengimani kenabian Nabi Muhammad saw. Mengutip pendapat Imam Hafs, Hamzah, dan Kisa’i, bahwa para ulama tidak berselisih pendapat mengenai pemaknaan ini untuk menganjurkan orang awam bertanya kepada orang berilmu jika mereka tidak mengetahui. Orang awam tidak memiliki pilihan lain kecuali bertaklid kepada para ulama. Demikian pula para ulama tidak berselisih pendapat bahwa orang awam tidak boleh berfatwa, karena ketidaktahuannya tentang makna yang menjadi dasar hukum halal dan haram [Tafsīr al-Qurṭubī, 11/272].

Sementara M. Quraish Shihab, memaknai ahlu al-żikr dengan seorang yang berpengetahuan jelas terhadap agama, Alquran, dan ilmu fenomena alam. Sebutan ulama seperti kiai, ustaz, dan para dai. Kaum-kaum intelektual inilah merupakan pembawa pencerahan kepada masyarakat sekitar.

Baca Juga: Surah Al-Baqarah Ayat 164: Kedudukan Ilmu Pengetahuan dalam Islam

Quraish Shihab menambahkan, bahwasannya ulama mengacu pada sifat-sifat, bukan sekadar gelar atau atribut lahiriah. Ia dikaruniai dengan ilmu agama yang mumpuni, yang mana dengan ilmu itu membawa dampak positif bagi kehidupan manusia secara umum [Suprapto, Islam di Tengah Pluralisme dan Multikultur, 112]. Sehingga, ulama adalah ahli. Seorang ahli dalam bidang keilmuan masing-masing. Tidak hanya ahli dalam bidang agama
saja.

Kontekstualisasi Surah Alanbiya Ayat 7 Terhadap Urgensi Seorang Ahli
Secara eksplisit, ayat di atas menegaskan pentingnya mengonsultasikan permasalahan apapun kepada ahli atau seseorang yang memiliki pengetahuan yang lebih dalam sesuai bidangnya masing-masing. Konsultasi dengan ahli merupakan langkah penting dalam menghadapi berbagai tantangan dan permasalahan seiring dengan tuntunan zaman yang kian kompleks.

Dengan tegas, surah al-Anbiya’ ayat 7 menggarisbawahi supaya menjadikan para ahli bidang keilmuan masing-masing, baik agama maupun ilmu pengetahuan, sebagai pijakan setiap permasalahan yang ada. Tidak serta merta membuat pendapat sendiri yang kiranya kurang kredibel dalam permasalahan tertentu. Bertaklid buta justru menyesatkan, tidak hanya perkara akhirat, namun dunia juga.

Self-education bukanlah mutlak tidak dianjurkan, namun perlu adanya filter diri untuk menyaring mana saja website atau situs yang kredibel atau terpercaya. Tidak begitu saja memercayai konten-konten singkat atau setengah-setengah yang menggiring pengetahuan salah kaprah. Dengan demikian, memanfaatkan pengetahuan ahli tidak hanya merupakan upaya untuk menanggulangi masalah secara efektif, tetapi juga sebuah wujud penghormatan terhadap nilai-nilai pengetahuan yang dianjurkan dalam ajaran agama.
Wallahu a’lam bish shawab.

Grand Syekh Al-Azhar Kunjungi Indonesia, Quraish Shihab Tegaskan Komitmen Wasathiyyah

0
Grand Syekh Al-Azhar bersama Prof. Dr. M. Quraish Shihab
Grand Syekh Al-Azhar bersama Prof. Dr. M. Quraish Shihab

Tafsiralquran.id – Dalam kunjungannya ke Indonesia, Grand Syekh Al-Azhar, Syekh Ahmed Al-Tayyib mendapatkan sambutan hangat dari berbagai tokoh, organisasi, lembaga pendidikan, dan masyarakat. Salah satunya dari Pusat Studi Al-Qur’an. Bagi Prof. Dr. M. Quraish Shihab, M.A, kunjungan Grand Syekh Al-Azhar di Masjid Bayt Qur’an, South City, Pamulang, Tangerang Selatan, pada Selasa, (09/07/2024) memberikan dampak positif bagi umat muslim Indonesia untuk menguatkan paham keagamaan yang wasathiyyah.

“Kehadiran Syekh Ahmed Al-Tayyib di sini menegaskan komitmen kami untuk terus mempromosikan moderasi dan pengkaderan. Kami berharap kerjasama antara PSQ dan Al-Azhar akan terus berkembang dan membawa manfaat besar bagi umat Islam di Indonesia,” ungkap Prof. Quraish Shihab.

Sambutan yang hangat juga dihaturkan Direktur PSQ, Dr. Muchlis M. Hanafi, M.A., “Kehadiran  Syekh Ahmed Al-Tayyib di sini adalah kehormatan besar bagi kami. Ini bukan hanya kesempatan untuk memperkuat hubungan antara PSQ dan Al-Azhar, tetapi juga untuk menginspirasi kami semua dalam upaya mempromosikan moderasi dan pengkaderan yang berkelanjutan,” katanya.

Dalam kunjungan ini, Syekh Ahmed Al-Tayyib menyampaikan pentingnya moderasi dalam beragama dan peran pendidikan dalam membentuk generasi yang toleran dan berakhlak mulia. “Makna wasathiyyah adalah bersikap adil, amal makruf nahi munkar, dan berbuat baik kepada seluruh umat manusia. Wasathiyyah adalah inti dari ajaran Islam. Melalui pendidikan yang tepat, kita bisa membentuk individu-individu yang tidak hanya memahami agama mereka dengan baik, tetapi juga bisa hidup harmonis dengan orang lain,” ujar  Syekh Ahmed Al-Tayyib.

Baca juga: Inilah Tiga Syarat Utama Implementasi Islam Wasathiyah Menurut Quraish Shihab

Dalam penjelasannya, Grand Syekh Al-Azhar juga menyebutkan salah satu ayat, yakni QS. Ali Imran ayat 110.

كُنْتُمْ خَيْرَ اُمَّةٍ اُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُوْنَ بِالْمَعْرُوْفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُوْنَ بِاللّٰهِ ۗ وَلَوْ اٰمَنَ اَهْلُ الْكِتٰبِ لَكَانَ خَيْرًا لَّهُمْ ۗ مِنْهُمُ الْمُؤْمِنُوْنَ وَاَكْثَرُهُمُ الْفٰسِقُوْنَ

Kamu (umat Islam) adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia (selama) kamu menyuruh (berbuat) yang makruf, mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah. Seandainya Ahlulkitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka. Di antara mereka ada yang beriman dan kebanyakan mereka adalah orang-orang fasik (QS. Ali Imran ayat 110).

Kehadiran Grand Syekh Al-Azhar di PSQ menunjukkan multiplier effect dari pendidikan di Al-Azhar yang tidak hanya memengaruhi para lulusannya, tetapi juga keseluruhan ekosistem pendidikan keagamaan dan dunia keislaman di Indonesia. Acara ini diharapkan dapat menginspirasi lebih banyak individu dan lembaga untuk terus mempromosikan nilai-nilai moderasi dan toleransi dalam kehidupan beragama.

Pengaruh Al-Azhar terhadap Perkembangan Kajian Alquran di Indonesia

Dalam pertemuan di Pusat Studi Al-Qur’an ini, Prof. Dr. M. Quraish Shihab menyampaikan adanya pengaruh kuat Al-Azhar dalam perkembangan kajian Alquran di Indonesia. Seperti yang diketahui, beberapa mufasir Indonesia alumni Al-Azhar seperti Prof. Dr. Mahmud Yunus yang menulis Tafsir Qur’an Karim, Prof. Dr. Hasbi Ash Shiddieqy yang menulis Tafsir An-Nur, dan Prof. Dr. Quraish Shihab yang menulis Tafsir Al-Misbah.

Dalam kesempatan ini, Grand Syekh Al-Azhar juga menerima Tafsir Al-Mishbah versi Bahasa Inggris dan Mushaf Al-Qur’an terbitan kerjasama Lajnah Pentashihan Mushaf al-Quran, Pusat Studi Al-Quran, dan Organisasi Ikatan Alumni Al-Azhar. Penerjemahan Tafsir Al-Misbah dari Bahasa Indonesia ke Bahasa Inggris juga merupakan upaya untuk menampilkan karya tafsir dari ulama Indonesia di kancah internasional.

Baca juga: Menjadi Muslim Moderat menurut Habib Ja’far

Selain karya tafsir, legacy dan pengaruh Al-Azhar dalam perkembangan kajian Alquran di Indonesia adalah adanya Pusat Studi Al-Qur’an (PSQ) yang didirikan sejak tahun 2004 oleh Prof. Dr. M. Quraish Shihab. PSQ menjelma sebagai pusat studi yang membumikan Alquran dan memainkan peran penting dalam pengembangan pendidikan keagamaan di Indonesia. Melalui program-program pendidikan dan pelatihan yang melibatkan ribuan alumni, PSQ terus berkomitmen untuk membangun ekosistem pendidikan yang inklusif dan moderat. (ZA)

Kisah Hijrah Shuhaib bin Sinan yang Disinggung dalam Alquran

0
Kisah Hijrah Shuhaib bin Sinan yang Disinggung dalam Alquran
Kisah Hijrah Shuhaib bin Sinan yang Disinggung dalam Alquran

Dalam surah Al-Baqarah ayat 207, Allah memuji orang yang mengorbankan segala sesuatu demi mengamankan jiwanya supaya tetap beriman. Mayoritas ulama berpendapat bahwa ayat ini berkenaan dengan sahabat yang terkenal pemberani dan selalu setia mendampingi Nabi Muhammad, yaitu Shuhaib bin Sinan ar-Rumi yang hendak melakukan hijrah dari Makkah ke Madinah.

وَمِنَ النَّاسِ مَنۡ يَّشۡرِىۡ نَفۡسَهُ ابۡتِغَآءَ مَرۡضَاتِ اللّٰهِ‌ؕ وَ اللّٰهُ رَءُوۡفٌ ۢ بِالۡعِبَادِ

Dan di antara manusia ada orang yang mengorbankan dirinya untuk mencari keridaan Allah. Dan Allah Maha Penyantun kepada hamba-hamba-Nya (Q.S. Al-Baqarah: 207).

Ayat ini turun menjelaskan orang yang rela menyerahkan dirinya kepada Allah dengan tujuan mencari rida-Nya. Ibnu Abbas, Anas bin Musayyab, Abu Utsman an-Nahdiy, Ikrimah, dan yang lain mengatakan ayat ini diturunkan Allah sebab peristiwa yang menimpa Shuhaib bin Sinan ar-Rumi.

Biografi Shuhaib bin Sinan

Shuhaib bin Sinan ar-Rumi merupakan sahabat Nabi yang masuk ke dalam assabiqun al-awwalun (golongan orang-orang yang awal masuk Islam). Mahmud al-Mishri dalam Ensiklopedi Sahabat Nabi saw (h. 496-498), menerangkan bahwa nenek moyang Shuhaib sebetulnya berasal dari Arab, tetapi kemudian mereka pindah ke Babilonia jauh sebelum datangnya Islam. Di negeri ini, ayah Shuhaib diangkat menjadi hakim dan walikota oleh Kisra, Raja Persia.

Suatu ketika datang orang-orang Romawi menyerbu dan menawan sejumlah penduduk, termasuk Shuhaib. Setelah ditawan, Shuhaib dijualbelikan sebagai budak dari satu saudagar ke saudagar lain. Ia menghabiskan masa kanak-kanak dan permulaan masa remaja di Romawi sebagai budak. Akibatnya, dialeknya pun sudah seperti orang Romawi. Sehingga ia mendapat nisbat “ar-Rumi” dan memiliki nama kunyah “Abu Yahya”.

Pengembaraannya yang panjang sebagai budak akhirnya berakhir di Makkah. Majikannya yang terakhir membebaskan Shuhaib karena melihat kecerdasan, kerajinan, dan kejujuran Shuhaib. Bahkan, sang majikan memberikan kesempatan kepadanya untuk berniaga bersama. Dari sinilah ia menjadi saudagar yang sukses dan kaya raya.

Jual Beli yang Menguntungkan

Shuhaib bin Sinan termasuk orang-orang terakhir yang akan hijrah ke Madinah setelah Rasulullah dan Abu Bakar. Namun, orang-orang Quraisy yang telah mengetahui rencana tersebut mengatur segala persiapan guna menggagalkan rencana hijrah tersebut.

Ibnu Katsir (1/564) mengutip riwayat Said ibn Musayyab yang mengatakan ketika Shuhaib dikejar oleh sejumlah orang-orang Quraisy. Maka ia pun turun dari untanya dan mencabut anak panah yang ada pada wadahnya, ia berkata:

“Hai orang-orang Quraisy, sesungguhnya kalian telah mengetahui bahwa aku adalah orang yang paling mahir dalam hal memanah di antara kalian semua. Demi Allah! kalian tidak akan sampai kepadaku hingga aku melemparkan semua anak panah yang ada pada wadah panahku ini, kemudian aku memukul dengan pedangku selagi masih ada senjata di tanganku. Setelah itu barulah kalian dapat berbuat sesuka hati kalian terhadap diriku. “

Baca juga: Makna Hijrah dalam Alquran

Diriwayatkan oleh Ibnu Mardaweh bahwa pasukan Quraisy saat itu berkata kepadanya, “Engkau datang ke Makkah sebagai seorang fakir, dan kami menampungmu di bawah sayap kami. Sekarang engkau menjadi seorang yang kaya, dan engkau ingin berhijrah dan membawa hartamu.”

Shuhaib kemudian berkata kepada mereka, “Jika aku tinggalkan hartaku untuk kalian, maukah kalian mengizinkan aku pergi?” Mereka mengiyakan. Dia bertanya kepada mereka, “Maukah kalian memberiku tunggangan dan perbekalan untuk membawaku ke Madinah? Mereka mengizinkan untuk memilikinya.

Sementara dalam riwayat lain, sebagaimana dari Ibnu Abbas bahwa ketika Suhaib hendak hijrah, ia mengatakan: “Sungguh aku adalah orang yang tua renta, aku punya harta benda. Aku akan memberikannya kepada kalian dan menukarkannya dengan kebebasan agamaku.” Kaum kafir Quraisy menyetujuinya dan membebaskan jalan untuknya. Kemudian Suhaib pergi menuju Madinah. Kemudian turunlah ayat tersebut (Tafsir Marah Labid, 1/48).

Baca juga: Asma Putri Abu Bakar, Sahabat dan Mufassir Perempuan yang Berjasa Dalam Hijrah Nabi

Mutawalli as-Sya’rawi (2/990) menerangkan bahwa dengan melakukan hal tersebut, Shuhaib membeli dirinya sendiri, dan memberikan kekayaannya untuk menjaga keimanan jiwanya. Ketika ia tiba di Madinah, ia bertemu dengan Abu Bakar yang berkata kepadanya, “Penjualanmu sangat menguntungkan, wahai Abu Yahya!” “Apa itu wahai Abu Bakar?” tanya Suhaib. “Allah menurunkan tentangmu ayat Alquran,” jawab Abu Bakar. Kemudian Abu Bakar membacakan ayat tersebut.

Diriwayatkan pula bahwa Rasulullah bersabda kepadanya, “Jual beli yang menguntungkan, ya Aba Yahya!”

Jadi, makna ayat tersebut, berdasarkan kisah ini, adalah bahwa Shuhaib membeli jiwanya dengan hartanya, dan lafaz ayat tersebut sesuai dengan makna ini. Shuhaib tidak merasa rugi sedikit pun karena hartanya tidak begitu berarti baginya, yang terpenting ia dapat melaksanakan perintah Allah, yaitu hijrah ke negeri Madinah.

Baca juga: Mukjizat-Mukjizat Nabi Muhammad saw. ketika Hijrah ke Madinah

Pelajaran berharga yang dapat diambil dari kisah ini bahwa hidup sejatinya ialah berjuang untuk mencari rida Allah. Sebagaimana Shuhaib, untuk mendapatkan keridaan tertinggi ketika ia rela mengobarkan seluruh harta bendanya yang telah lama ia kumpulkan dengan usaha keras dan ia sangat cintai agar bisa hijrah menyusul Rasulullah ke Madinah.

Demikian karena ganjaran bagi orang-orang yang mencari rida-Nya adalah sebagaimana disebutkan dalam ayat di atas, “Wallahu Ro’ufun bil-‘ibad.” Allah akan menyayanginya, mengasihinya, dan siap memproteksinya dari segala mara bahaya. Wallahu a’lam.[]

Tafsir Surah al-Jin Ayat 6

0
Tafsir Surah al-Jin ayat 6
Tafsir Surah al-Jin ayat 6

Melihat fenomena yang terjadi saat ini, banyak manusia yang memilih untuk mengandalkan kekuatan ghaib, bukan kepada Allah sebagai satu-satunya sumber perlindungan. Di antara mereka mempercayai bahwa jin dapat dijadikan sekutu untuk menyelesaikan permasalahan, padahal sejatinya hal tersebut malah menjerumuskan kepada kemusyrikan.

Hal yang demikian bisa terjadi sangat dimungkinkan karena meniru kebiasaan para tetua sebelumnya. Sebagai misal yaitu kebiasaan orang Arab jahiliyah yang masih melakukan praktik tersebut. Tradisi demikian yang menurut sebagian mufasir mengitari penurunan surah al-Jin ayat 6.

وَّاَنَّهٗ كَانَ رِجَالٌ مِّنَ الْاِنْسِ يَعُوْذُوْنَ بِرِجَالٍ مِّنَ الْجِنِّ فَزَادُوْهُمْ رَهَقًاۖ

Sesungguhnya ada beberapa orang laki-laki dari (kalangan) manusia yang meminta perlindungan kepada beberapa laki-laki dari (kalangan) jin sehingga mereka (jin) menjadikan mereka (manusia) bertambah sesat.

Baca Juga: Tafsir Surat Ar-Rahman Ayat 14-16: Asal Mula Penciptaan Manusia dan Jin

Ibnu Katsir menerangkan bahwa ayat ini menceritakan kebiasaan orang-orang jahiliah setiap menginjak tempat yang seram selalu berlidung kepada “penguasa” tempat tersebut yang dipercayai sebagai jin atau makhluk halus. Mereka meyakini bahwa jin mempunyai kemampuan dan kelebihan atas manusia, yang mana dapat membuat mereka meminta perlindungan. (Lubab  at-Tafsir min Ibnu Katsir 7/208)

Menurut Wahbah al-Zuhaili (19/160) kebiasaan meminta perlindungan kepada jin ini sangat umum di kalangan orang Arab dahulu. Ketika seseorang singgah di suatu lembah ia kemudian akan mengatakan, ‘sesungguhnya aku memohon perlindungan kepada yang mulia dari penunggu lembah ini’ dengan harapan agar mereka terhindar dari gangguan jin selama bermalam di lembah tersebut.

Praktik tersebut bukan hanya terjadi pada zaman Arab jahiliyah, tetapi kepercayaan berlebihan kepada jin tersebut berlangsung hingga di masa ini, ada orang-orang yang beranggapan bahwa setiap tempat mempunyai penghuni, yang kemudian membuat mereka semakin bersungguh-sungguh untuk berlindung kepada jin. Di beberapa kasus lain misalnya, mereka meminta bantuan jin supaya mengatasai masalah mereka, untuk pengobatan, dan bahkan untuk mencelakai orang lain.

Mutawalli as-Sya’rawi (15/496) menjelaskan bahwa tindakan tersebut (meminta bantuan jin) justru dapat berbalik membahayakan kepada pelakunya, yaitu dosa dan mendatangkan berbagai macam penderitaan. Meskipun pada awalnya, pelaku tersebut mendapatkan hal yang diinginkan, tetapi kesenangan tersebut hanya bersifat sementara. Pada akhirnya, mereka akan mengalami kehidupan yang penuh dengan kesulitan, dan pelaku tersebut tidak akan meninggal dunia hingga dia merasakan sendiri hal yang telah dilakukannya.

Sebagaimana pula Imam ath-Thabari (25/582) ketika menerangkan redaksi ayat “Jin-jin itu menambah bagi mereka dosa dan kesalahan.” (Q.S. al-Jin ayat 6) Maksudnya jin menambah manusia agar terus meminta pertolongan dan perlindungan kepadanya, sehingga jin semakin berani kepada mereka (yang meminta pertolongan), dan manusia semakin bertambah sesat.

Baca Juga: Kewafatan Nabi Sulaiman as. Dan Ketidaktahuan Jin tentang Hal Gaib

Diterangkan lebih lanjut dalam Tafsir al-Munir (19/162) bahwa seseorang yang berlindung kepada jin, dapat memberi kesempatan bagi jin untuk menzalimi dan menambahkan beban berat bagi dirinya, sebab merasa dihormati dan dijadikan tempat berlindung, jin-jin tersebut semakin berani menunjukkan kekuasaan mereka untuk mengontrol manusia. Akibatnya, bukannya mendapatkan perlindungan, manusia justru semakin terjebak dalam ketakutan dan ketergantungan pada jin. Kondisi seperti ini sangat disukai oleh jin.

Inilah yang dijelaskan oleh Alquran tentang bahaya meminta perlindungan kepada jin. Pada ayat pertama pun telah dijelaskan kata ‘Qul’: katakanlah, artinya sampaikanlah kepada umat, bahwa ada di antara manusia yang berlindung diri kepada kalangan jin, maka pada lanjutannya menjelaskan perbutaan menyombongkan diri kalangan jin yang dimintai perlindungan oleh manusia.

Terdapat sebuah riwayat dari Ibnu Abbas bahwa kalangan jin yang muslim, jika berjumpa dengan manusia, mereka akan segan dan lari. Dan jika seseorang itu sedang mendirikan shalat maka mereka akan menjadi makmumnya. Sejatinya jin itu sangatlah segan kepada manusia baik itu kafir atau muslim, maka jika demikian seharusnya sebagai manusia yang jelas sudah dimuliakan oleh Allah dapat dengan bijak menggunakan kemuliaan itu. Artinya seseorang yang berlindung kepada jin sejatinya ia merendahkan dirinya sendiri kepada martabat yang lebih rendah.

Dengan demikian, meminta tolong pada jin dan mengandalkan kekuatan selain dari Allah untuk memenuhi kebutuhan atau untuk mengetahui hal-hal yang ghaib telah jelas dilarang dalam Alquran. Sebab hal tersebut merupakan bentuk kesyirikan dan mendatangkan banyak madharat. Karena itu, meminta bantuan pada jin bagaimana pun keadaannya harus dihindari agar tidak mendapatkan dosa dan bahaya dari tipu daya mereka.

Baca Juga: Sering Merasa Takut? Baca Ayat Ini Untuk Menangkal Gangguan Jin

Bagaimana dengan praktik sesajen?

Jika praktik sesajen dikaitkan dengan larangan meminta pertolongan jin sebagaiamana surah al-Jin ayat 6, maka pastikan kembali bahwa tujuan dari sesajen tersebut adalah memang meminta pertolongan jin, baru hal itu bisa dilarang, dan ini pun harus tetap hati-hati dalam menyikapinya. Hal ini seperti disampaikan oleh Quraish Shihab di salah satu wawancaranya.

Lebih lanjut mufasir Indonesia tersebut juga menambahkan bahwa setiap masyarakat, menurut Alquran, memiliki hal-hal yang dianggap baik. Hal yang dianggap baik oleh masyarakat tertentu tidak boleh diganggu, dimaki, dan lain sebagainya. Beliau lantas mengutip ayat Alquran yang lain, suran al-An’am ayat 108 yang menjelaskan tentang larangan memaki sesembahan umat lain selain Allah. Wallah a’lam

Penafsiran al-Qurtubi atas Surah an-Nisa Ayat 34

0
penafsiran al-Qurtubi atas surah an-Nisa ayat 34
penafsiran al-Qurtubi atas surah an-Nisa ayat 34

Surah an-Nisa ayat 34 merupakan salah satu ayat dalam Alquran yang menjelaskan tentang peran dan relasi suami istri. Pemilihan Tafsir al-Qurtubi dalam ulasan kali ini lebih karena penjelasan beliau yang juga menyangkutpautkan fiqih dalam relasi antara keduanya, sehingga terlihat bahwa sebuah penafsiran atas suatu ayat itu dapat berimplikasi pada kandungan fikihnya. Penafsiran bukan hanya hitam di atas putih.

Berikut kutipan surah an-Nisa ayat 34 dan terjemahannya,

الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللَّهُ وَاللَّاتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيلًا إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيرًا (34)

Laki-laki (suami) adalah penanggung jawab atas para perempuan (istri) karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan) dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari hartanya. Perempuan-perempuan saleh adalah mereka yang taat (kepada Allah) dan menjaga diri ketika (suaminya) tidak ada karena Allah telah menjaga (mereka). Perempuan-perempuan yang kamu khawatirkan akan nusyuz, berilah mereka nasihat, tinggalkanlah mereka di tempat tidur (pisah ranjang), dan (kalau perlu,) pukullah mereka (dengan cara yang tidak menyakitkan). Akan tetapi, jika mereka menaatimu, janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkan mereka. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar. (Terjemah Kemenag RI)

Baca Juga: Isyarat Al-Qur’an tentang Relasi Silih Asah Asih Asuh antara Suami Istri

Mufasir asal Cordoba, Spanyol ini menyoroti sebelas poin dalam penafsiran surah an-Nisa ayat 34 tersebut.

Pertama, tentang makna qawwāmūn di awal ayat. al-Qurtubi memaknainya dengan yaqūmūn bi an-nafaqat ‘alaihinn wa adz-dzabb ‘anhunn. Dengan kata lain, suami bertanggung jawab terhadap nafkah istri dan merawatnya. Berangkat dari penafsiran tersebut, al-Qurtubi memberi label kepada suami bahwa dia adalah penanggung jawab rumah tangga. Penanggung jawab -dalam istilah Tafsir asy-Sya’rawi– tugasnya berat dan mengharuskan capek.

Sementara itu, ayat ini termasuk dari banyak ayat Alquran yang mempunyai sabab nuzul. Artinya, ayat ini tidak dalam hampa konteks, ada peristiwa yang sangat berkaitan dengan penurunanya. Al-Qurtubi menukil dua riwayat tentang sabab nuzul ayat ini.

Riwayat yang pertama yaitu cerita tentang aduan dari ayah Habibah bint Zayd bin Khārijah bin Abī Zuhayr kepada Rasulullah saw. tentang pemukulan yang dilakukan oleh suami putrinya tersebut yang bernama Sa’d bin ar-Rabī’. Keterangan lain menyatakan bahwa suami istri di balik ayat ini adalah Jamīlah bint Ubayy dan Tsābit ibn Qays bin Syammās; ada juga yang menyatakan nama lain, yaitu ‘Amīrah bint Muhammad bin Maslamah dan suaminya, Sa’d bin ar-Rabī’.

Perbedaan pendapat tentang nama tokoh, tampaknya bukan hal yang utama, karena pada intinya, riwayat sabab nuzul ini ingin mengabarkan tentang kasus kekerasan dalam rumah tangga.

Riwayat sabab nuzul yang kedua, yaitu tentang perkataan Ummu Salamah tentang keutamaan laki-laki atas perempuan di ayat sebelumnya. Laki-laki mendapat warisan lebih banyak dari perempuan karena tugas yang diemban di ayat ini, yaitu dia bertanggung jawab atas mahar dan nafkah terhadap istri. Dengan kata lain, keutamaan yang dimaksud adalah dari segi finansial.

Selain aspek finansial, nyatanya al-Qurtubi dalam penafsiran ayat 34 ini juga menyebutkan keutamaan atau kelebihan lain dari laki-laki, mulai dari kelebihan fisik maupun non fisik. Keterangan yang demikian ini beliau dasarkan pada lafad ‘qila’ yang tidak mencantumkan sumber.

Jika membicarakan tentang keutamaan suami atas istri, maka bagi Asma Barlas, seorang perempuan pengkaji Alquran asal Pakistan, sabab nuzul yang kedua tersebut yang lebih nyambung, dan karena laki-laki, dalam konteks ini berarti suami mempunyai harta lebih banyak, maka dia berperan sebagai qawwamūn. Sabab nuzul ini juga disinggung dalam Tafsir at-Tabari.

Baca Juga: Sabab Nuzul, Perempuan dan Respon al-Qur’an

Kedua, menurut pemahaman al-Qurtubi, ayat ini juga mengingatkan bahwa tanggung jawab suami terhadap istri itu tidak hanya tentang pemenuhan nafkah, tapi juga tentang kewajiban mendidik istri, mengurusnya, membuatnya untuk tetap tinggal di rumah, tidak keluar tanpa izin suami. Dari tanggung jawab ini, istri kemudian punya kewajiban mematuhi suami.

Sampai di bagian ini, al-Qurtubi terkesan memberikan dominasi peran terhadap suami dan sama sekali tidak memberikan ruang peran untuk istri. Untungnya, di bagian akhir poin kedua ini, al-Qurtubi menambahi penafsirannya dengan catatan bahwa kewajiban istri menaati suami itu selama tidak dalam hal kemaksiatan.

Pernyataan ini sangat berarti bagi perempuan, karena menandakan bahwa perintah taat itu sebenarnya bukan kepada orang yang memberi perintah, tetapi lebih kepada melihat sesuatu yang diperintahkan, dan ketika perintah tersebut tidak sesuai dengan perintah agama, maka perempuan, dalam hal ini, istri boleh untuk tidak patuh pada suami.

Ketiga, mengingat tanggung jawab pemenuhan nafkah itu dipegang oleh suami, maka berdasar ayat ini, al-Qurtubi berpendapat bahwa jika seorang suami tidak dapat memenuhi kebutuhan nafkah istri, maka boleh bagi istri untuk mengajukan cerai, hal ini karena hilangnya tujuan pensyariatan nikah.

Keempat, setelah memaparkan peran suami yang seharusnya, surah an-Nisa ayat 34 ini juga mendeskripsikan tentang istri yang baik, yaitu dia yang taat kepada suami, dan menjaga dirinya ketika suaminya tidak ada (di rumah). Kriteria ini diambil oleh al-Qurtubi berdasar pada hadis riwayat Abu Hurairah yang menyatakan bahwa sebaik-baiknya perempuan adalah dia yang ketika suami melihatnya, dia menyenangkan, ketika suami memerintah, dia patuh, dan ketika suaminya sedang tidak di rumah, dia bisa menjaga dirinya dan hartanya.

Kelima, tentang perempuan nusyuz. Al-Qurtubi mendefinisikan nusyuz dengan istri yang maksiat dan meremehkan sesuatu yang Allah wajibkan atas mereka, dalam hal ini tidak patuh terhadap suami.

Keenam, jika seorang suami menemukan indikasi atau bahkan meyakini istrinya nusyuz, maka tahapan cara menghadapinya, pertama adalah dengan menasehatinya, mengingatkannya kembali tentang perintah Allah untuk berbuat baik kepada suami, dan mengakui kedudukan suami atasnya.

Ketujuh, tahapan kedua menghadapi istri yang masih nusyuz yaitu dengan pisah ranjang. Bagi seorang istri yang masih cinta dengan suaminya, tentu pisah ranjang ini merupakan kondisi yang sangat sulit baginya, sehingga jika sang istri tidak menginginkannya, maka dia pun akan berbaikan dengan suaminya. Beda hal dengan istri yang sudah membenci suaminya, dia semakin menjauh dan makin jelas status nusyuznya.

Baca Juga: Tafsir Surah an-Nisa Ayat 128: Menyikapi Suami Nusyuz

Kedelapan, jika seorang istri masih tetap nusyuz, maka tahapan yang ketiga adalah dengan memukulnya dengan pukulan yang tidak menyakitkan. Tujuan pemukulan ini tidak lain agar membuat istri tersebut berbaikan kembali dengan suaminya. Al-Qurtubi kemudian mengutip beberapa hadis Nabi tentang tuntunan memperlakukan perempuan, termasuk pesan Nabi ketika haji wada’.

Ketika menafsirkan tahapan yang kedua dan ketiga dalam menghadapi istri yang nusyuz, al-Qurtubi menyertakan beberapa riwayat tentang perlakuan sahabat yang pernah memukul istrinya. Dua sahabat yang disebut yaitu Zubair bin Awwam yang memukul istrinya, Asma’ bint Abu Bakar karena Asma’ pernah keluar rumah hingga membuat Zubari dicela -orang-. Selain itu, juga sahabat Umar juga pernah memukul istrinya. Namun belum diteliti lebih lanjut, apakah peristiwa tersebut terjadi sebelum atau sesudah ayat ini turun.

Di bagian ini, al-Qurtubi mulai menyinggung sisi fikih dari tafsir ayat ini, yaitu tindakan nusyuz seorang istri terhadap suami berimplikasi pada gugurnya kewajiban pemenuhan nafkah dari suami terhadap istri, sampai sang istri berbaikan lagi, kecuali istri yang sedang hamil.

Kesembilan, jika istri sudah mematuhi suami, maka jangan mencari-cari kesalahannya, jangan berbuat zalim kepadanya. Menariknya, al-Qurtubi juga menafsiri bagian ini dengan keterangan bahwa perihal tidak cintanya seorang istri terhadap suami itu tidak dianggap nusyuz. Beliau menjelaskan ‘kalian (para suami) jangan membebani para istri kalian untuk mencintai kalian, karena sesungguhnya hal itu bukan kewajiban mereka.’

Baca Juga: Tafsir Sosiologis Surah An-Nisa Ayat 34: Makna Alternatif Kata Rijal dan Nisa

Kesepuluh, surah an-Nisa ayat 34 di bagian akhir, mengingatkan para suami untuk tetap berlaku lemah lembut terhadap istri. Kalau pun dia punya kuasa dalam rumah tangganya, nyatanya masih ada Allah yang Maha Kuasa, jangan sekali-kali seorang suami meremehkan dan merendahkan istrinya.

Penafsiran al-Qurtubi tentang bagian akhir ayat ini, seperti menjadi penutup atau kesimpulan yang menetralkan poin-poin sebelumnya, yaitu suami dan istri dalam menjalankan rumah tangga mereka tidak lain sama-sama berpedoman pada aturan dan tuntunan Allah, bukan bergantung pada aturan, peran, dan kuasa suami.

Penutup yang netral ini, tampaknya tidak berlangsung lama karena di poin yang terakhir, al-Qurtubi malah menyamakan nusyuz istri dengan maksiat dosa besar, karena dalam ayat tersebut terdapat perintah yang jelas untuk memukulnya. Sungguh akhir penafsiran yang memunculkan banyak pertanyaan! Wallah a’lam

Perkembangan dan Transmisi Penerjemahan Alquran di Surakarta

0

Pemikiran Islam pada awal abad ke-20 di Surakarta diwarnai oleh dinamika pendidikan dan perkembangan penerjemahan Alquran yang sangat intens. Adanya penerjemahan Alquran memang belum tampak secara masif dalam era-era sebelumnya, setidak-tidaknya hingga akhir abad ke-19 M. Hal ini pula yang disampaikan oleh Martin van Bruinessen yang menjelaskan bahwa pada akhir abad ke 19, penerjemahan dan penafsiran Alquran belum direspons secara baik dalam perkembangan masyarakat (Bruinessen 1995: 159). Namun lebih dari itu, hal ini justru menjadi bagian penting dalam kurikulum pesantren termasuk dalam pesantren-pesantren yang ada di Surakarta.

Sejalan dengan perkembangan modernsime Islam, adanya penerjemahan Alquran mulai memiliki peran yang penting sebagai bentuk mempermudah masyarakat dalam memahami kitab suci. Tentu saja, para ulama tradisional di masa itu merasa berkewajiban untuk menyesuaikan diri dan mulai mengamati dan memerhatikan arus perkembangan penerjemahan Alquran secara serius. Dengan dorongan inilah, kemudian banyak ditemukan karya-karya terjemah maupun tafsir yang hadir dalam masa perkembangannya.

Baca Juga: Iluminasi Terengganu dalam Mushaf Kuno Indonesia

Tak heran pada priode ini, kemunculan karya-karya tafsir dan terjemah Alquran mulai banyak dijamah masyarakat. Artinya, hadirnya penerjemahan Alquran bukan hanya dilatarbelakangi sebagai bentuk syiar Islam, melainkan juga sebagai betuk kebutuhan masyarakat. Di samping itu, dengan adanya perkembangan modern, penerjemahan Alquran mendapat akses yang lebih luas karena hadirnya para penerbit yang ikut membantu mencetak dan menyebarluaskan karya-karya terjemah maupun tafsir Alquran.

Sejalan dengan hal ini, terbitlah karya tafsir Tafsîr al-Quran al-‘Adzîm yang merupakan karya Raden Pengulu Tafsir Anom V, seorang ulama bangsawan yang menjabat sebagai pengulu ageng di Kraton Surakarta. Karya tafsir ini terbit pertama kali pada dekade 1910-an, mengiringi berdirinya Paheman Mardikintaka yang didirikan sang pengulu ageng untuk menerbitkan karya-karya keislaman di ibukota Kasunanan Surakarta (Junaidi 2020: 56). Memang secara khusus kitab ini termasuk dalam karya tafsir dan bukan terjemah, tetapi hadirnya karya-karya ini juga menjadi menjadi salah satu sumber adanya perkembangan terjemah Alquran di Surakarta.

Selain itu, kemunculan Tafsir Surat Wal Asri juga menjadi salah satu betuk perjalanan yang akan menumbuhkan penafsiran dan penerjemahan Alquran selanjutnya. Karya tafsir yang memiliki ketebalan 16 halaman yang merupakan karya Siti Chayati yang kemudian diintrodusir oleh Suparmini lewat penerbit Warasoesila, sebuah penerbit yang bermarkas di Solo pada tahun 1924. Dengan beragam bentuk dan model penerjemahan Alquran kembali terbit dengan Tafsîr Qur’an Djawen karya Dara Masyitah. Karya tafsir berbahasa dan berhuruf Jawa tersebut diterbitkan oleh Penerbit Warasoesila pada tahun 1930 M (Junaidi 2020: 70)

Munculnya karya-karya di atas merupakan sebuah bukti bahwa perkembangan penerjamahan Alquran sudah mulai berkembang dikalangan masyarakat. Dari sinilah kemuculan Qoeran Indonesia terbit tahun 1932 juga menjadi pusat perhatian karena hadir sebagai satu-satunya kitab terjemah Alquran dengan gaya terjemah menggunakan bahasa Indoensia. Hal ini bukan tanpa alasan, selain dengan dorongan perkembangan zaman, kemunculan Qoeran Indonesia juga sebagai bentuk misi dari salah satu lembaga Perserikatan Muhamadiyah Surakarta.

Baca Juga: Pelestarian Budaya Lokal melalui Penafsiran Alquran

Respon Masyarakat Terhadap Qoeran Indonesia
Kehadiran kitab Qoeran Indonesia sebagai salah satu kitab Alquran terjemah, tentu bukan satu-satunya kitab yang hadir dikalangan masyarakat Jawa khusunya Solo. Secara umum telah banyak ditemukan kitab-kitab terjemah Alquran yang juga ditulis dengan bentuk terjemah yang kehadirannya jauh lebih awal dibandingkan dengan kitab Qoeran Indonesia. Namun dalam perjalannya, selain sebagai misi perserikatan Muhammadiyah, hadirnya kitab Qoeran Indonesia juga menjadi solusi sebagai bentuk syiar guna mempermudah pemahaman masyarakat terhadap Alquran.

Pada masa itu, perkembangan kitab Alquran terjemah memang sudah mulai berkembang, meskipun sebagian besar yang ada masih menggunakan tulisan aksara Jawa atau pegon Jawi. Sejalan dengan hal itu, adanya penerjemahan Alquran dengan bahasa Indonesia menjadi sesuatu yang baru dan banyak menuai banyak respons masyarakat khususnya Solo dan Yogyakarta (Egi Sukma Baihaki 2017: 44).

Baca Juga: Rekomendasi Terjemah Alquran dalam Bahasa Inggris

Adanya respons masyarakat ini juga banyak menuai perbedaan, mengingat dalam sejumlah isi dan identitas Alquran ini yakni berlatar belakang Muhammadiyah. Dengan adanya hal ini, tak jarang keberadaan kitab Qoeran Indonesia tidak tersebar secara menyeluruh dikalangan masyarakat, meskipun adanya penerjemahan kitab ini bukan semata ditujukan untuk umat atau kelompok tertentu.

Belum diketahui secara luas mengenai bagaimana penggunaan kitab Qoeran Indonesia ini, tetapi yang jelas kitab ini berada dilingkungan Surakarta khususnya Madhrasah Mambaul Ulum dan sebagian wilayah Yogyakarta. Hal ini dapat dilihat dari penerjemah kitab ini yakni R.Ng. Hadiwijata yang merupakan seorang muallim Mambaul Ulum Surakarta.

Sedangkan dalam penggunaanya, kitab Qoeran Indonesia dipakai sebagai bentuk pembelajaran, terlebih dalam aktivitas pendidikan di Madrasah Mambaul Ulum. Kitab ini dikaji dengan beragam perspektif, baik dari tilawah, tafsir, atau hanya sekadar membaca terjemahannya saja. Terlepas dari itu, kitab ini juga hadir di lingkungan masyarakat yang menjadikannya efektif bagi kalangan orang tua karena menggunakan bahasa yang mudah dipahami.

Dengan beragam respons yang ada, ini dapat membuktikan bahwa kehadiran kitab Qoeran Indonesia merupakan bentuk kebutuhan sosial khususnya dalam transmisi Alquran yang harus didorong dan dikembangan dalam berbagai aspek. Adanya penerjemahan ini mrnjadi landasan kuat yang seiring perkembangan zaman akan menjadi sebuah kitab rujukan dalam sejarah penerjamahan Alquran. Lebih dari itu, kehadiran Qoeran Indonesia juga banyak memberikan dampak positif, sebagai upaya mempermudah pemahaman masyarakat dalam memahami Alquran dan memaknai isi kandungan Alquran sebagai bentuk landasan hidup khususnya masyarakat Jawa.

Stop Insecure, Let’s Bersyukur

0
Stop Insecure, Let’s Bersyukur
Image by freepik

Insecure adalah satu masalah psikologis yang secara signifikan mempengaruhi kesejahteraan individu dalam kehidupan sehari-hari. Insecure merujuk pada perasaan yang dalam, bahwa seseorang tidak memadai atau tidak layak secara emosional, sosial, atau bahkan fisik.

Insecure Manifestasi Kurangnya Syukur

Seseorang yang mengalami insecure cenderung memiliki pandangan diri yang negatif dan merasa tidak mampu bersaing atau berkontribusi dengan nilai yang signifikan dalam kehidupan mereka. Hal ini sering terjadi karena sebab kekhawatiran yang berlebih tentang penilaian orang lain, atau bahkan sebab kurangnya rasa syukur atas segala kesempurnaan yang Allah berikan.

Kurangnya rasa syukur adalah kondisi ketika seseorang gagal menghargai atau mengakui nilai dari apa yang mereka miliki atau capai dalam hidup. Kejadian itu seringkali disertai dengan perasaan bahwa apapun yang mereka memiliki tidak cukup atau tidak layak dihargai.

Seseorang yang kurang bersyukur cenderung fokus pada hal-hal yang mereka anggap kurang atau yang mereka harapkan, daripada menghargai dan mensyukuri hal-hal yang telah mereka capai.

Kurangnya rasa syukur dapat menyebabkan siklus negatif di mana individu merasa tidak puas, tidak bahagia, dan terus-menerus mencari lebih tanpa pernah merasa puas. Hal ini menyulitkan seseorang untuk meraih kebahagiaan yang sejati dalam kehidupan mereka.

Kesempurnaan Manusia

Dalam surah At-Tin ayat 4 dikatakan bahwa Allah Swt. menciptakan manusia dengan أَحْسَنِ تَقْوِيمٍ (bentuk yang sebaik-baiknya), Syekh al-Nawawi al-Bantani menafsiri kata tersebut sebagai penciptaan Allah yang paling sempurna dalam segi rupa maupun makna. Artinya, Allah Swt. tidak menciptakan sempurna wujudnya saja, tetapi juga esensinya, baik akal, pemahaman, pengetahuan, dan adabnya.

Dalam Lathaif al-Isyarat karya al-Qusyairi, dijelaskan bahwa Allah memberikan manusia wujud yang paling sempurna merupakan bukti bahwa Allah adalah Zat yang tidak memiliki bentuk dan kesamaan sifat pada makhluk, karena sifat yang dimiliki Allah pasti akan melebihi makhluk. Contoh, manusia diberi kesempurnaan pengetahuan, maka Allah-lah yang lebih mengetahui; manusia diberikan kesempurnaan kekuasaan, maka Allah-lah yang paling berkuasa; begitu seterusnya.

Baca juga: Tafsir Surah Ibrahim Ayat 7: Cara Menghilangkan Sikap Insecure

Kesempurnaan penciptaan manusia hanyalah sekelumit nikmat yang Allah berikan. Banyak sekali nikmat-nikmat Allah yang lebih daripada hal itu. Dalam surah Ar-Rahman ayat 29 disebutkan:

يَسْئَلُهُ مَنْ فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ كُلَّ يَوْمٍ هُوَ فِي شَأْنٍ

Siapa yang ada di langit dan bumi selalu meminta kepada-Nya. Setiap hari Dia menangani urusan.

Ayat tersebut ditafsiri oleh al-Qusyairi bahwa penghuni langit dan bumi dibagi menjadi dua kelompok. Pertama, mereka yang terus memohon atau meminta kepada Allah Swt., baik dalam hal rezeki maupun ampunan. Kedua, mereka yang tidak meminta tetapi sibuk mengingat Allah Swt., dan mereka juga akan diberikan kenikmatan oleh Allah, bahkan melebihi mereka yang meminta. Kelompok kedua ini menunjukkan bahwa kenikmatan yang diberikan Allah melebihi apa yang manusia berikan kepada-Nya.

Baca juga: Tuntunan Alquran untuk Hilangkan Insecurity Berlebih

Dari penafsiran al-Qusyairi, dapat ditarik kesimpulan bahwa seseorang yang telah mencapai kesempurnaan dalam dirinya harus menghargai pemberian Allah yang luar biasa itu dengan rasa syukur. Syukur adalah cara kita mengungkapkan terima kasih atas kenikmatan yang diberikan oleh Allah Swt. Jika tidak bersyukur, maka seseorang dapat dianggap sebagai makhluk yang tidak mengakui nikmat tersebut, sebagaimana yang disebutkan Allah dalam surah Al-Baqarah ayat 152 berikut.

فَاذْكُرُونِي أَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوا لِي وَلا تَكْفُرُونِ

Maka, ingatlah kepada-Ku, Aku pun akan ingat kepadamu. Bersyukurlah kepada-Ku dan janganlah kamu ingkar kepada-Ku.

Ingatlah, Maka Akan diingat, dan Bersyukurlah

Terkait ayat tersebut, Syekh Nawawi menjelaskan bahwa mengingat Allah tidak hanya lewat lisan, tetapi juga lewat hati dan seluruh anggota tubuh. Ibnu ‘Ajibah juga menjelaskan dalam al-Bahr al-Madid bahwa mengingat Allah adalah dengan taat dan melaksanakan kebaikan, maka Allah senantiasa akan mengingat kita dengan memberikan pahala dan kenikmatan surga.

Jika mengingat Allah di dunia, maka Allah akan mengingat kita di akhirat. Jika mengingat Allah dengan ketaatan, maka Allah akan mengingat kita dengan memberikan keselamatan. Seperti yang diterangkan dalam potongan hadis berikut.

أَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِي بِي وَأَنَا مَعَهُ إِذَا ذَكَرَنِي فَإِنْ ذَكَرَنِي فِي نَفْسِهِ ذَكَرْتُهُ فِي نَفْسِي وَإِنْ ذَكَرَنِي فِي مَلَإٍ ذَكَرْتُهُ فِي مَلَإٍ خَيْرٍ مِنْهُمْ

Aku berada dalam prasangka hamba-Ku, dan Aku selalu bersamanya jika ia mengingat-Ku. Jika ia mengingat-Ku dalam dirinya, maka Aku mengingatnya dalam diri-Ku; dan jika ia mengingat-Ku dalam perkumpulan, maka Aku mengingatnya dalam perkumpulan yang lebih baik daripada mereka (H.R. Bukhari).

Bersyukur adalah suatu bentuk ibadah yang paling mudah dan paling dekat dengan hati setiap orang. Ketika kita memandang sekeliling, kita melihat betapa banyaknya nikmat yang Allah berikan kepada kita setiap hari. Dari setiap napas yang kita hirup hingga sinar matahari yang menyinari bumi, semua adalah karunia Allah yang tiada henti.

Baca juga: Orang Bersyukur Semakin Langka, Ini Keutamaan Syukur Menurut Alquran

Bersyukur bukan hanya tentang mengakui nikmat-nikmat besar seperti kesehatan dan rezeki, tetapi juga mengenali kebaikan Allah dalam setiap hal kecil dalam kehidupan sehari-hari. Mengenali kebaikan tersebut bisa lewat percaya diri (tidak insecure).

Bersyukur juga merupakan jalan yang membawa kebahagiaan dan ketenangan dalam hidup. Ketika kita menghargai dan mensyukuri segala sesuatu yang Allah berikan, kita secara otomatis mengembangkan sikap rendah hati dan penghargaan yang lebih besar terhadap kehidupan.

Lebih dari itu, bersyukur juga merupakan bentuk penghormatan terhadap perintah Allah. Allah dalam Alquran memerintahkan kita untuk bersyukur dan mengingat-Nya dalam setiap kesempatan.

Baca juga: Nabi Nuh dan Gelar Hamba yang Bersyukur

Dengan bersyukur, kita mematuhi perintah-Nya dan memperkuat ikatan spiritual kita dengan-Nya. Dengan bersyukur, dapat mengubah pandangan kita tentang kehidupan dari sekadar urusan duniawi menjadi peluang untuk terus mengingat Allah dan merasakan kehadiran-Nya dalam segala hal.

Dengan demikian, bersyukur bukan hanya tentang mengucapkan kata-kata terima kasih, tetapi juga merupakan sikap hati yang mengakui kebaikan Allah dalam setiap aspek kehidupan kita.

Hal itu merupakan cara yang paling sederhana dan paling bermakna untuk mengingat Allah dalam setiap langkah kita; menjadikan setiap detik hidup kita penuh dengan makna dan tujuan yang lebih tinggi. Maka jangan insecure, tetaplah ingat Allah dan bersyukur!

 

Ignaz Goldziher (1850-1921): Sebuah Historiografi Tafsir

0

Ignaz Goldziher bisa dikatakan sebagai salah satu pilar orientalis pada masanya selain dari Theodore Noldekke dan Snouck Hurgronje. Sebagai seorang orientalis yang hidup pada abad 19, Ignaz Goldziher banyak mencurahkan dan mendedikasikan hidupnya untuk mempelajari tentang dunia Timur.

Ignaz merupakan sarjanawan orientalis yang lahir pada tanggal 22 Juni 1850 di Hungaria. Dia tumbuh di lingkungan keluarga Yahudi yang cukup terpandang dan mempunyai pengaruh yang luas. Latar belakang pendidikannya dimulai dari Budhapes, lalu berlanjut ke Berlin pada tahun 1869, kemudian pindah ke Unverisitas Leipzig.

Selain itu, Ignaz juga sempat menetap di Kairo, Mesir dalam rangka penugasan untuk mengadakan ekspedisi ke kawasan Timur, lalu dilanjutkan ke Suriah dan Palestina. Selama di Kairo, dia sempat bertukar kajian di Universitas Al-Azhar (Badawi: 2012).

Mazahib at-Tafsir al-Islami

Sebagai seorang orientalis yang produktif, Ignaz telah banyak menghasilkan berbagai karya dalam mengkaji Timur. Salah satunya adalah dalam bidang sejarah tafsir, yakni Die Richtungen Der Islamischen Koranauslegung. Karya ini merupakan sebuah karya tentang historiografi tafsir yang ditulis oleh Ignaz dalam bahasa Jerman.

Die Richtungen Der Islamischen Koranauslegung sebagai sebuah karya monumental yang sekaligus menjadi magnum opusnya ini telah dialihbahasakan ke dalam beberapa bahasa. Salah satunya adalah ke dalam bahasa Arab oleh ‘Abdul Halim an-Najjar dengan judul Mazahib at-Tafsir al-Islami disertai dengan kritik beliau di dalamnya. Karena dianggap penting, buku ini kemudian juga dialihbahasakan ke dalam bahasa Indonesia oleh M. Alaika Salamullah dengan judul Mazhab Tafsir: Dari Klasik Hingga Modern (Raihan dan Syafieh: 2022).

Periodesasi Mazahib at-Tafsir al-Islami

Dalam Mazahib at-Tafsir al-Islami yang merupakan terjemahan ke dalam bahasa Arab oleh Abdul Halim an-Najjar, Ignaz Goldziher membagi beberapa periode sejarah tafsir ke dalam beberapa subtema besar:

  • Pertama, al-Marhalah al-Ula fi at-Tafsir

Dalam periode ini, Ignaz memaparkan beberapa permasalahan seperti awal mula munculnya at-tafsir al-mazhabi (tafsir mazhab), perbedaan qiraat, perbedaan harakat, tambahan-tambahan yang dianggap tafsir dalam qiraat, kontradiksi dalam qiraat, qiraat Abdullah bin Mas‘ud dan Ubay bin Ka’ab, tambahan-tambahan dalam mushaf keduanya, kontradiksi dalam qira’at dan bantahan-bantahan terhadap qiraat gairu masyhurah (qiraat tidak populer), kebebasan memilih qiraat dengan sesuatu yang menyelisihi mushaf utsmani, turunnya Alquran dengan tujuh huruf, dan seterusnya. Dalam al-Marhalah al-Ula fi at-Tafsir, Ignaz secara khusus banyak menyinggung tentang qira’at.

Baca juga: Pemikiran Ignaz Goldziher Tentang Qira’at Al-Qur’an

  • Kedua, at-Tafsir bi al-Ma’sur

Periode selanjutnya adalah at-tafsir bi al-ma’sur. Dalam hal ini, Ignaz memulai dengan menjelaskan bagaimana awal mula penafsiran itu dijauhi karena dianggap bersifat ijtihad semata tanpa ada sandaran dari riwayat. Kemudian setelah itu ia menjelaskan tentang israiliyyat, isyarat Alquran kepada peristiwa-peristiwa yang datang belakangan, at-tafsir bi ar-ra’yi, posisi riwayat dalam keilmuan dan penolakan terhadapnya, makna dari at-tafsir bi al-ma’sur, Ibnu ‘Abbas dan rujukannya terhadap syair-syair klasik, Mujahid dan ‘Ikrimah, ‘Ali bin abi Talhah sebagai seorang perawi tafsir Ibnu Abbas, perbedaan-perbedaan riwayat dalam at-tafsir bi al-ma’sur, beberapa wajh Alquran, dan at-Tabari dengan tafsirnya.

  • Ketiga, at-Tafsir fi Dau al-‘Aqidah

Periode selanjutnya adalah perkembangan tafsir yang sudah mulai memasuki corak ahlu ar-ra’yi. Dalam hal ini, secara garis besar Ignaz mencoba memaparkan tentang dua karya besar sebagai wakil dari tafsir yang bercorak ar-ra’yi, yakni Az-Zamaksyari dengan al-Kassyaf dan Fakhruddin ar-Razi dengan Mafatih al-Gaib-nya.

Baca juga: Kritik Ignaz Goldzhiher terhadap al-Tafsir bi al-Ma’tsur

  • Keempat, at-Tafsir fi Dau at-Tasawwuf al-Islami

Selanjutnya adalah periode tafsir yang bercorak tasawuf. Dalam hal ini, Ignaz memaparkan tentang konsep wahdah al-wujud, tafsir dengan metode ta’wil dan ramz, pendapat Ibnu ‘Arabi, Ikhwan as-Safa, dan al-Gazali tentang as-sirat, syafa‘at dan karamat.

  • Kelima, at-Tafsir fi Dau al-Firaq ad-Diniyyah

Periode selanjutnya adalah perkembangan tafsir yang sudah didasari dengan bias-bias kelompok tertentu. Dalam hal ini, Ignaz memulai dengan memaparkan secara mendetail tentang Syiah dan dinamika yang meliputi kemunculannya, akidahnya, dan lain sebagainya.

Baca juga: Menjawab Kritik Ignaz Goldziher atas Relasi Qira’ah dan Rasm

  • Keenam, at-Tafsir fi Dau at-Tamaddun al-Islami

Perkembangan terakhir dari periodesasi tafsir oleh Ignaz adalah sebuah periode yang bisa dikatakan sebagai periode yang sudah memasuki masa modern. Dalam hal ini, Ignaz terlebih dahulu memaparkan tentang peradaban Islam yang dimulai dengan memunculkan sebuah pertanyaan: “Apakah Islam dan peradaban modern adalah dua hal yang kontradiktif?”. Ignaz memaparkan secara mendetail terkait dinamika tafsir yang terjadi di abad modern yang salah satunya adalah seorang pembaharu Islam, yakni Muhammad Abduh dengan tafsir al-Manar-nya yang dianggap mengilhami corak tafsir baru, yakni at-tafsir al-ijtimai‘.

Penutup

Karya Ignaz Goldziher tersebut pada akhirnya mengilhami para sejarawan modern setelahnya untuk menghasilkan karya-karya terkait historiografi tafsir, khususnya bagi para sarjanawan muslim. Ini mengingat dalam beberapa pembahasan historiografi tafsir Ignaz terdapat beberapa pernyataan yang cukup kontroversial bagi umat Islam umumnya. Salah satunya terkait dengan qira’at.

Tafsir Surah An-Naml Ayat 62: Solusi ketika Menghadapi Kesulitan

0
Tafsir Surah An-Naml Ayat 62: Solusi ketika Menghadapi Kesulitan

Dalam keseharian, manusia tidak jarang mengalami berbagai tantangan dan kesulitan. Beberapa di antaranya adalah kesulitan karena kehilangan sesuatu yang dicintai seperti keluarga, teman, pasangan, atau hewan peliharaan. Saat mengalami kesulitan dan berada di titik terendah, banyak yang merasa putus asa dan tidak tahu harus berbuat apa lagi.

Saat dalam kesulitan itulah, manusia kerap kali lupa untuk berdoa dan berharap hal-hal baik kepada Allah swt. Namun, perlu diketahui bahwa Allah pasti mengetahui kesulitan yang manusia alami dan memberikan jalan untuk keluar dari kesulitan tersebut. Sebagaimana firman Allah dalam surah an-Naml ayat 62:

أَمَّنْ يُجِيبُ الْمُضْطَرَّ إِذَا دَعَاهُ وَيَكْشِفُ السُّوءَ وَيَجْعَلُكُمْ خُلَفَاءَ الْأَرْضِ ۗ أَإِلَٰهٌ مَعَ اللَّهِ ۚ قَلِيلًا مَا تَذَكَّرُونَ

Atau siapakah yang memperkenankan (doa) orang yang dalam kesulitan apabila ia berdoa kepada-Nya, dan yang menghilangkan kesusahan dan yang menjadikan kamu (manusia) sebagai khalifah di bumi? Apakah disamping Allah ada tuhan (yang lain)? Amat sedikitlah kamu mengingati(Nya).

Baca Juga: Tuntunan Alquran dalam Menghadapi Masa Sulit

الْمُضْطَرَّ bermakna orang yang sedang berada dalam kondisi kesulitan yang luar biasa. Wahbah Zuhaili dalam Tafsir Al-Munir, (Jilid 10/310) menjelaskan bahwa Allah berkuasa atas manusia dan situasi yang mereka hadapi. Ayat di atas menyatakan, ‘Apakah ada Tuhan ataupun benda mati dan bisu yang lebih baik dari pada Allah yang Maha mengabulkan permintaan orang yang kesulitan ketika ia berdoa kepada-Nya’. Tentu, Allah lah yang menghilangkan segala apa yang menimpanya seperti kefakiran, sakit, ataupun ketakutan.

Demikian pula Hamka dalam Tafsir al-Azhar (Jilid 7/5252) menerangkan bahwasanya tidak ada yang sanggup memberikan pertolongan kepada orang yang sedang dalam kesulitan selain Allah. Oleh karena itu, apabila manusia sudah sangat terdesak dan pintu harapan seakan telah terputus, tetapi ia berdoa dan berharap kepada Allah semata,
maka Allah akan menghilangkan kesulitan tersebut.

Menghadapi Situasi Sulit dengan Melibatkan Allah
Dari ayat ini banyak menyimpan pelajaran yang dapat dipetik dan diamalkan dalam kehidupan. Khususnya ketika sedang berada dalam situasi sulit dan terdesak. Di antaranya, manusia selalu diingatkan untuk;

Baca Juga: Setelah Kesulitan Pasti Ada Kemudahan: Tafsir Surah al-Insyirah Ayat 5-6

Tidak berputus asa
Ketika seluruh usaha terasa sia-sia, merasa tertinggal, atau sudah tidak ada lagi yang dapat membantu, maka jangan jangan bersedih dan berputus asa. Tetap berdoa kepada Allah, karena Allah tidak akan meninggalkan hamba-Nya yang sedang mengalami kesulitan. Semakin besar manusia melibatkan Allah pada kondisi sulit, saat itulah cara paling ajaib untuk mendatangkan pertolongan Allah.

Salah satu kondisi ketika tidak ada penghalang antara doa manusia kepada Allah adalah ketika manusia terdzolimi. Meskipun ia jauh dan lupa dengan  Allah, tidak akan ada penghalang doanya kepada Allah ketika ia berdoa dengan sungguh-sungguh saat ia ditimpa kesulitan karena Allah Maha Pengampun. Satu hal yang Allah lihat adalah apakah manusia akan berdoa
kepada-Nya atau tidak ketika sedang dilanda kesulitan.

Yakin pada pertolongan Allah
Seringkali ketika dihadapkan dengan masalah, manusia merasa tidak ada jalan keluar. Melalui ayat ini juga, manusia kembali diingatkan untuk selalu yakin bahwa pertolonan Allah selalu ada. Hanya Allah yang bisa menjawab doa orang yang sedang dalam kesulitan dan menghilangkan kesulitan tersebut.

Berbekal keyakinan penuh bahwa Allah selalu membantu hamba-Nya, hal tersebut dapat membantu kita untuk tetap optimis dan berusaha. Allah selalu membersamai kita dan Allah Maha Kuasa untuk membukakan jalan untuk kita keluar dari masalah.

Baca Juga: Surah Albalad Ayat 4: Enam Kesusahan yang Dirasakan Manusia

Selalu bersyukur
Tidak lupa untuk selalu bersyukur kepada Allah atas segala situasi dan kondisi. Sering kali manusia lupa untuk mengingat Allah ketika dalam kondisi baik. Oleh karena itu, tetap ingat Allah dan berskyukur atas segala nikmat dan pelajaran yang kita dapat.

Semoga kita selalu melibatkan dan meminta pertolongan kepada Allah dalam hal sekecil apapun, sehingga Allah mendatangkan kemuliaan dan kemudahan dalam kehidupan untuk kita

Keutamaan Hari Jumat dalam Tafsir Surah al-Jumu’ah

0
keutamaan hari jumat dalam tafsir surah al-Jumuah
keutamaan hari jumat dalam tafsir surah al-Jumuah

Hari Jumat mempunyai posisi tersendiri dalam tradisi Islam. Hari Jumat menjadi waktu kumpul bersama umat Islam yang lain untuk melaksanakan ibadah salat Jumat. Pelaksanaan ibadah di hari tersebut juga menjadi salah satu pembeda dari tradisi agama sebelumnya yang mengambil hari sabtu untuk umat Yahudi dan hari ahad untuk umat Nasrani sebagai ‘hari raya’ mingguan mereka.

Bisa jadi karena keutamaan hari Jumat ini pula, ia kemudian diadopsi menjadi salah satu nama dari surah Alquran yang memang di dalamnya membahas tentang perintah khusus di hari Jumat. Surah itu bernama surah al-Jumu’ah.

Selain menjelaskan tentang kewajiban perintah salat Jumat, perihal jual beli dan hal-hal lain yang erat kaitannya dengan bahasan fiqih (perintah, larangan, kesunahan, kebolehan dan semacamnya), beberapa mufasir juga mencantumkan nukilan-nukilan tentang riwayat keutamaan hari Jumat.

Baca Juga: Tafsir Ahkam: Dalil Salat Jumat dan Alasan Pemilihan Harinya

Beberapa peristiwa historis di hari Jumat

Dalam beberapa tafsir, disebutkan riwayat-riwayat tentang peristiwa yang terjadi di hari Jumat, baik itu peristiwa yang telah terjadi di masa lampau, maupun peristiwa yang akan terjadi. Beberapa riwayat tersebut bervariasi redaksinya, namun inti maksudnya sama.

Misal dalam penafsiran Ibn Katsir berikut,

وَفِيهِ خُلِقَ آدَمُ، وَفِيهِ أُدْخِلَ الْجَنَّةَ، وَفِيهِ أُخْرِجَ مِنْهَا. وَفِيهِ تَقُومُ السَّاعَةُ. وَفِيهِ سَاعَةٌ لَا يُوَافِقُهَا عَبْدٌ مُؤْمِنٌ يَسْأَلُ اللَّهَ فِيهَا خَيْرًا إِلَّا أَعْطَاهُ

Sementara itu, al-Qurtubi dalam tafsirnya menukil riwayat dari Abu Hurairah dalam Sahih Muslim,

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: (خَيْرُ يَوْمٍ طَلَعَتْ عَلَيْهِ الشَّمْسُ يَوْمُ الْجُمُعَةِ فِيهِ خُلِقَ آدَمُ وَفِيهِ أُدْخِلَ الْجَنَّةَ وَفِيهِ أُخْرِجَ مِنْهَا وَلَا تَقُومُ السَّاعَةُ إِلَّا فِي يَوْمِ الْجُمُعَةِ

Berdasar pada riwayat tersebut, lima peristiwa yang telah dan akan terjadi pada hari Jumat. Hari Jumat adalah hari ketika Nabi Adam diciptakan, juga hari ketika beliau dimasukkan ke surga dan hari yang sama ketika beliau dikeluarkan dari surga. Hari Jumat juga diceritakan sebagai hari terjadinya hari kiamat (nanti). Terakhir, di hari tersebut terdapat suatu waktu yang istijabah, pada saat tersebut tidak ada doa baik dari orang yang beriman kecuali Allah mengabulkannya.

Baca Juga: Keutamaan Membaca Surat Al-Kahfi di Hari Jumat

Keutamaan-keutamaan lain dari hari Jumat

Satu redaksi lagi dinukil oleh as-Suyuti dalam kitab tafsirnya, ad-Durr al-Mantsur, namun sedikit tambahan dari lima hal yang telah disebut dalam dua riwayat di dua tafsir sebelumnya.

قَالَ رَسُول الله صلى الله عَلَيْهِ وَسلم: يَوْم الْجُمُعَة سيد الْأَيَّام وَأَعْظَمهَا عِنْد الله وَأعظم عِنْد الله من يَوْم الْفطر وَيَوْم الْأَضْحَى وَفِيه خمس خصار: خلق الله فِيهِ آدم وأهبطه فِيهِ إِلَى الأَرْض وَفِيه توفّي الله آدم وَفِيه سَاعَة لَا يسْأَل العَبْد فِيهَا شَيْئا إِلَّا أعطَاهُ الله مَا لم يسْأَل حَرَامًا وَفِيه تقوم السَّاعَة مَا من ملك وَلَا أَرض وَلَا سَمَاء وَلَا ريَاح وَلَا جبال وَلَا بَحر إِلَّا وَهن يشفقن من يَوْم الْجُمُعَة أَن تقوم فِيهِ السَّاعَة

Selain penyebutan lima peristiwa historis di hari Jumat, di riwayat ini juga dijelaskan bahwa hari Jumat adalah sayyid al-ayyam (rajanya hari); keutamaan hari Jumat di sisi Allah bernilai lebih tinggi dari pada Idulfitri dan Iduladha.

Dalam riwayat yang lain yang bersumber dari Aisyah dijelaskan bahwa keutamaan hari Jumat itu seperti hari Arafah, yaitu hari ketika pintu kasih sayang Allah dibuka seluas-seluasnya, tidak ada permintaan hamba Allah di hari tersebut kecuali Allah mengabulkannya.

As-Suyuti tidak hanya menjelaskan keutamaan hari Jumat dalam tafsirmya, lebih detail lagi beliau membahasnya dalam satu kitab khusus yang berjudul Nūr al-Lum’ah fi Khaṣāiṣ al-Jum’at. Dalam kitab ini dijelaskan tentang seratus satu kekhususan hari Jumat.

Demikian beberapa keutamaan hari Jumat yang berawal dari nama salah satu surah dalam Alquran, bahasan khusus dalam Alquran dan berlanjut pada keistimewaan lainnya. Menjadi catatan di sini yaitu bahwa kekhususan hari Jumat ini tidak berarti menggugurkan keistimewaan hari yang lain. Sangat mungkin masing-masing hari yang lain juga mempunyai keistimewaan dan keutamaan tersendiri dalam tradisi Islam, seperti hari senin, hari kelahiran Nabi Muhammad saw., hari kamis disunahkan puasa, dan lainnya. Wallah a’lam