Beranda blog Halaman 33

Qiraat yang Diterima dan yang Tidak Diterima

0
qiraat yang diterima dan yang tidak diterima
qiraat yang diterima dan yang tidak diterima

Beberapa riwayat menyebutkan hadis yang menjelaskan mengenai penurunan Alquran dengan al-ahruf as-sab’ah. Beberapa pensyarah hadis menjelaskan makna al-ahruf as-sab’ah tersebut dengan tujuh qiraat.

Tujuh qiraat ini banyak yang mengaitkannya dengan dialek di sekitar tempat Alquran diturunkan. Sebagaimana dimaklumi bahwa beragam suku masyarakat Arab ketila itu. Selain suku Quraisy, ada suku Aus dan Khazraj, Bani Nadhir, Bani Qaynuqa’, dan masih banyak lagi. Perbedaan dialek dalam melantunkan ayat-ayat Alquran tersebut antara lain yang menyebabkan beragam qiraat.

Di antara banyak ragam qiraat tersebut, para ahli qiraat membedakannya lagi ke dalam dua kategori; terdapat qiraat yang diterima (qiraat maqbulat) dan qiraat yang tidak diterima (qiraat mardudat). Hal ini berdasarkan pada kajian tentang persyaratan tertentu yang harus dipenuhi oleh suatu qiraat.

Fahd al-Rumi dalam Dirasat Fii Ulum Al-Qur’an mengutip syi’ir Tayyibah an-Nasyr dari Ibn Jazari mengenai kajian qiraat,

فَكُلُّ مَا وَافَقَ وَجْهُ نَحْوِ # وَكَانَ لِلرَّسْمِ احْتِمَالًا يَحْوِي

وَصَحَّ إِسْنَادًا هُوَ الْقُرْآنُ # فَهَذِهِ الثَّلَاثَة الْأرْكَانُ

وَحَيْثُمَا يَخْتَلّ رُكْن أَثْبِتِ # شُذُوْذَهُ لَوْ أَنَّهُ فِيْ السَّبْعَةِ

Syi’ir tersebut tidak lain adalah tentang syarat-syarat qiraat yang sahih, qiraat yang diterima.

Baca Juga: Mengenal Klasifikasi Qiraat dan Para Imam Madzhabnya

Syarat-syarat qiraat yang diterima

Qiraat yang sahih terdapat pada riwayat dari imam qiraat, baik tujuh imam (qiraat as-sab’ah) maupun sepuluh imam (qiraat al-‘asyrah) yang  telah memenuhi syarat-syarat kesahihannya.

Syarat-syarat tersebut adalah; Pertama, sesuai dengan kaidah Bahasa Arab, meski dari satu aspek saja. Artinya, bahwa dalam menentukan bacaan suatu qiraat cukup dengan satu kaidah Bahasa Arab dari banyaknya kaidah Bahasa Arab yang berlaku. Aspek yang dimaksud disini adalah aspek kaidah nahwu.

Namun demikian, menurut Abu ‘Amr ad-Dani dalam kitabnya, Jami’ al-Bayan, para Imam Qiraat tidak mengutamakan kaidah Bahasa Arab dalam menentukan suatu qiraat, melainkan berdasarkan riwayat yang paling sahih. Hal ini karena qiraat adalah sunnah muttaba’ah (mengikuti sunah Nabi SAW) yang harus diterima dan didasarkan kepadanya.

Banyak ulama ahli nahwu mengingkari suatu qiraat disebabkan tidak sesuai dengan kaidah nahwu, tetapi pengingkaran mereka tidak dianggap karena qiraat tersebut disepakati oleh golongan salaf (sahabat, tabi’in dan tabi’ tabi’in). Contohnya dapat kita lihat dalam Q.S. ss-Shaffat [37]: 123

وَإِنَّ الْيَاسَ لَمِنَ المُرْسَلِيْنَ

Kata الْيَاسَ dibaca washal

Kedua, qiraat harus sesuai dengan salah satu rasm mushaf Utsmani, baik secara sharih (jelas), maupun ihtimal (muatan). Saat proses penulisan Alquran di masa Utsman bin Affan, para sahabat menulis rasm Alquran dengan bentuk yang mencakup seluruh qiraat yang ada pada zaman Rasulullah saw. sehingga muncullah qiraat yang dibaca secara sharih (bacaan dan tulisan sama persis), maupun secara ihtimal atau dikira-kirakan (bacaan dan tulisan berbeda).

Perlu diketahui bahwa beberapa hasil kodifikasi pada masa Utsman bin Affan tersebut disebarkan ke kota-kota metropolitan, di antaranya Madinah, Bashrah, Kufa, Suria/ Syam. Pendapat lain, menambahkan kota Makkah, Yaman, dan Bahrain.

Contohnya terdapat Q.S. al-Fatihah [1]: 4

ملِكِ يَوْمِ الدِّيْنِ

Yang bisa dibaca panjang maupun pendek pada mim lafadz ملِكِ.

Ketiga, sahih sanadnya. Menurut Ibnu al-Jauzi, yang dimaksud dari sanad yang sahih adalah qiraat tersebut diriwayatkan oleh orang yang adil, dan dlabith dari awal hingga akhir sanad. Sedangkan sebagian ulama ada yang mensyaratkan diterimanya suatu qiraat bukan hanya dari kualitasnya yang sahih tetapi juga mencapai derajat mutawatir. Ketika suatu qiraat telah mencapai derajat mutawatir, maka kedua syarat di atas tidak diperlukan lagi.

Baca Juga: Makna Tujuh Huruf (Sab’atu Ahruf) dalam Qiraat Al-Quran Menurut Ibn Qutaibah

Kemudian para ulama mengklasifikasi qiraat ke dalam beberapa macam. Menurut ulama ahli ushul fikih, qiraat terbagi menjadi dua macam, yakni qiraat mutawatir dan qiraat syadz atau ahad. Sedangkan menurut al-Bulqini, qiraat terbagi menjadi tiga macam, yakni mutawatir, syadz, dan ahad. Lalu as-Suyuthi menghimpun macam-macam qiraat dengan berdasarkan kepada perkataan Ibnu Jazari, bahwa qiraat terbagi menjadi enam macam.

Pertama, qiraat mutawatir yakni yang diriwayatkan oleh banyak orang yang tidak memungkinkan mereka untuk berbohong dari awal hingga akhir sanad, dan diperbolehkan membacanya ketika salat. Contohnya dapat kita lihat dalam Q.S. al-Fatihah ayat 4 yang berbunyi مَلِكِ يَومِ الدّيِنِ, baik dibaca panjang atau pendek mim dalam kalimat مَلِكِ, keduanya dinilai mutawatir.

Kedua, qiraat masyhur yakni yang sanadnya sahih tetapi tidak sampai pada tingkatan mutawatir, sesuai dengan rasm mushaf Utsmani, dan sesuai dengan kaidah Bahasa Arab. Qiraat ini masyhur di kalangan para ulama, sehingga tidak memungkinkan terjadinya kesalahan. Para ulama mengatakan qiraat ini boleh diamalkan bacaannya. Contohnya dapat kita lihat dalam qiraat yang diriwayatkan oleh Abu Ja’far dalam Q.S. al-Kahfi ayat 51 dengan bunyi مَا أَشْهَدْناهُمْ خَلْقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَلا خَلْقَ أَنْفُسِهِمْ وَمَا كُنْتَ مُتَّخِذَ الْمُضِلِّينَ عَضُدًا dimana imam lain membacanya مَا أَشْهَدْتُهُمْ خَلْقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَلا خَلْقَ أَنْفُسِهِمْ وَمَا كُنْتُ مُتَّخِذَ الْمُضِلِّينَ عَضُدًا

Ketiga, qiraat ahad yakni yang sanadnya sahih, tetapi tidak sesuai dengan rasm mushaf atau kaidah Bahasa Arab atau tidak masyhur sebagaimana dua qiraat di atas. Qiraat ini tidak diperkenankan untuk dibaca dan tidak wajib diyakini.

Contohnya dapat kita lihat dalam qiraat yang diriwayatkan oleh al-Hakim dalam kitab al-Mustadraknya dari jalur ‘Ashim dari Abu Bakrah, bahwasanya Nabi saw. membaca Q.S. ar-Rahman[55]: 76 dengan مُتَّكِئِيْنَ عَلَى رَفَارِفَ خُضْرٍ وَعَبَاقَرِي حِسَان

Keempat, qiraat syadz yakni yang sanadnya tidak sahih atau yang tidak diriwayatkan dari rawi yang terpercaya atau dari rawi yang terpercaya tetapi tidak sesuai dengan kaidah Bahasa Arab. Contohnya terdapat dalam Q.S. Yunus[10]: 92 فَالْيَوْمَ نُنَجِّيْكَ بِبَدَنِكَ  yang dibaca فَالْيَوْمَ نُنَحِّيْكَ بِبَدَنِكَ. Qiraat ini tidak diperkenankan dibaca di dalam dan di luar salat dan tidak dinilai ibadah.

Kelima, qiraat maudu’ yakni yang tidak berdasar dan diriwayatkan tanpa sanad. Ibnu Jazari mengatakan bahwa qiraat ini adalah tertolak meskipun sesuai dengan kaidah Bahasa Arab dan rasm mushaf Utsmani. Contohnya dapat kita lihat pada qiraat yang dinisbatkan oleh al-Khuza’i kepada Abu Hanifah  dalam Q.S. Fatir [35]: 28 yang dibaca إِنَّمَا يَخْشَى اللهُ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءَ, padahal Abu Hanifah dinilai tidak pernah meriwayatkan demikian.

Keenam, qiraat mudraj yakni yang di dalamnya disisipi suatu penafsiran, seperti yang disebutkan dalam QS. An-Nisa’[4]: 14 وَلَهُ أَخٌ اَوْ أخْتٌ yang kemudian disisipi dengan kalimat مِنْ أُمٍّ sebagai penjelas. Hukum qiraat ini tidak masuk dalam hitungan bacaan, tidak diperkenankan dibaca di dalam salat dan tidak dinilai ibadah.

Baca Juga: Ragam Qiraat Sebagai Hujah Kebahasaan, Antara Mazhab Basrah dan Kufah

Perlunya memahami qiraat yang diterima dan yang tidak diterima akan berimplikasi terhadap hukum membacanya, baik yang wajib dibaca ketika salat hingga yang tidak boleh dibaca. Pembatasan qiraat dengan syarat-syarat tertentu juga untuk menjaga keotentikan qiraat yang telah diajarkan oleh Rasulullah saw. dari qiraat-qiraat yang salah atau palsu. Wallah a’lam

Makna Tasbih dalam Kajian Semantik Alquran

0
Makna Tasbih dalam Kajian Semantik Alquran

Tasbih adalah salah satu kalimat zikir sebagai bentuk pengagungan dan penyucian kepada Allah swt. dengan mengucapkan kalimat subhanallah. Penggunaan kalimat tasbih selain diucapkan 33 kali setelah salat sebagai wirid, ia juga diucapkan ketika melihat atau mendengar berbagai hal yang buruk.

Salah satu keistimewaan kalimat tasbih adalah menjadi pemberat timbangan amal di akhirat sebagaimana hadis Nabi Muhammad yang berbunyi:

    : عن أبي هريرة قال قال رسول الله صلى الله عليه و سلم

كَلِمَتَانِ خَفِيفَتَانِ عَلَى اللِّسَانِ ، ثَقِيلَتَانِ فِى الْمِيزَانِ ، حَبِيبَتَانِ إِلَى الرَّحْمَنِ سُبْحَانَ اللَّهِ وَبِحَمْد    سُبْحَانَ اللَّهِ الْعَظِيمِ

Dari Abu Hurairah, ia berkata: Rasulullah saw bersabda, “Dua kalimat yang ringan di lisan, namun berat dalam timbangan (amalan) dan dicintai oleh ar-Rahman, yaitu Subhanallahi wa bihamdihi, Subhanallahil ‘adzim (Maha Suci Allah, segala pujian untuk-Nya. Maha Suci Allah Yang Maha Mulia)”.(HR. Bukhari no. 6682)

Baca Juga: Tasbih Langit dan Bumi (Bagian I): antara Hakikat dan Majas

Dalam Alquran, kata tasbih disebutkan sebanyak 92 kali dengan tujuh variasi bentuk kata. Dengan fakta tersebut akan menunjukkan adanya keragaman makna. Sebagaimana yang telah diketahui bahwa kata dalam bahasa Arab dapat mengandung makna ganda, lalu bagaimana makna tasbih dalam Alquran? Berikut ulasannya dalam sudut pandang semantik Alquran.

Makna Dasar Tasbih
Dalam God And Man In The Qur’an, karya fenomenal dari cendikiawan Jepang bernama Toshihiko Izutsu, diterangkan bahwa makna dasar sebuah kata adalah sesuatu yang melekat pada kata itu sendiri, sesuatu itu dibawa dan tidak akan berubah kemanapun kata itu bersanding (Toshihiko Izutsu, 2008, 12)

Untuk itu, makna dasar dari kata tasbih (التَّسْبِيْحُ), yang memiliki akar kata يُسَبِّحُ -سَبَّح adalah mengagungkan, menyucikan, menggali, dan mengucapkan subhanallah (A.W. Munawwir, 1997, 603).

Sedangkan menurut Ibnu Manzhur dalam Lisan Al Arab, kata (التَّسْبِيْحُ) merujuk pada makna tanzih, yaitu menjauhkan atau menyucikan Allah dari sifat-sifat makhluk dan bara’ah, yaitu membebaskan atau membersihkan dari keburukan (Ibnu Manzhur, 1994, 471). Maka dapat disimpulkan bahwa makna kata tasbih berpusat pada penyucian Allah dari segala keburukan.

Baca Juga: Penjelasan Al-Quran tentang Fenomena Alam Semesta Bertasbih kepada Allah

Makna Relasional Tasbih

Makna relasional adalah makna konotatif yang ditambahkan dan dilekatkan pada suatu kata karena kata tersebut membentuk sistem relasi dengan kata-kata penting yang lain (Toshihiko Izutsu, 2008, 12). Dengan mengetahui makna relasional, pesan yang disampaikan akan terasa jelas.

Maka dalam pembahasan kali ini, ditemukan makna relasional kata tasbih dalam Alquran itu merujuk pada tiga makna, yaitu salat, manifestasi makhluk dan ciptaan-Nya, dan pemujian kepada Allah swt (Abu Hilal Al-Askari, Al-Wujuh Wa An-Nadhair, 153)

Pertama, tasbih bermakna salat terdapat dalam QS. Ar-Rum [30]: 17, yang
berbunyi:

فَسُبْحَانَ اللَّهِ حِينَ تُمْسُونَ وَحِينَ تُصْبِحُونَ

Maka bertasbihlah kepada Allah di waktu kamu berada di petang hari dan waktu kamu berada di waktu subuh.

Kata tasbih dalam ayat ini dimaknai sebagai salat tathawwu’, yaitu salat-salat sunnah. Sebagaimana juga dalam kata الْمُسَبِّحِينَ pada QS. As-Saffat [37]: 143, yang bermakna orang-orang yang salat.

Kedua, tasbih bermakna manifestasi makhluk dan ciptaan-Nya. Makna ini terdapat dalam QS. Al-Isra [17]: 44, yaitu:

تُسَبِّحُ لَهُ السَّمَاوَاتُ السَّبْعُ وَالْأَرْضُ وَمَنْ فِيهِنَّ ۚ

Langit yang tujuh, bumi dan semua yang ada di dalamnya bertasbih kepada Allah.

Al-Askari menerangkan bahwa langit dan bumi beserta segala makhluknya bertasbih kepada Allah berarti termanifestasi dalam perwujudan tauhid. Semua penghuni langit dan bumi bertasbih kepada Allah sebagai saksi keesaan Allah swt.

Baca Juga: Hubungan Akhir Surah Al-Waqi’ah dan Awal Surah Al-Hadid Tentang Perintah Bertasbih

Ketiga, memaknai tasbih sebagai pemujian kepada Allah. Makna ini tercantum dalam QS. Al-Qalam [68]: 28, yang berbunyi:

قَالَ أَوْسَطُهُمْ أَلَمْ أَقُلْ لَكُمْ لَوْلَا تُسَبِّحُونَ

Berkatalah seorang yang paling baik pikirannya di antara mereka: “Bukankah aku telah mengatakan kepadamu, hendaklah kamu bertasbih (kepada Tuhanmu)?”

Ayat ini merujuk kepada pemilik-pemilik kebun yang disebutkan pada ayat ke-17 dan ke-18, yang bersumpah akan memetik hasil kebun pada pagi hari, namun tidak mengucapkan Insya Allah sebagai pemujian kepada Allah atau keterikatan atas kehendak Allah.

Maka berdasarkan ayat ini, kalimat tasbih tidak hanya memuat kalimat subhanallah saja, namun kalimat pemujian kepada Allah yang lain pun termasuk ke dalam tasbih.

Kesimpulan
Pemaparan di atas dapat dijadikan dasar bahwasanya kata tasbih (التَّسْبِيْحُ) memiliki ragam makna. Dari keterangan makna dasar dapat ditarik benang merah bahwa kata tasbih bermakna menyucikan Allah swt. Lebih spesifik bahwa cara menyucikan Allah itu dengan menjauhkan dan membebaskan Allah dari keburukan dan sifat-sifat yang dimiliki makhluk-Nya.

Makna tasbih semakin beragam dalam sudut pandang makna relasionalnya dalam Alquran. Tasbih dimaknai sebagai aktivitas menyucikan dan mengagungkan Allah swt, baik perkataan, perbuatan, maupun niat (aktivitas hati), yang dilakukan oleh seluruh makhluk Tuhan baik di bumi maupun di langit sebagai manifestasi tauhid.

Wallahu a’lam.

Maksud Larangan Menzalimi Diri Sendiri pada Bulan-Bulan Haram

0
Larangan di Bulan Haram
Bulan-bulan haram

Asyhurul hurum (bulan-bulan haram) merupakan bulan-bulan yang dimuliakan dan memiliki keutamaan tersendiri dalam Islam. Dari dua belas bulan terdapat empat bulan haram; Zulkaidah, Zulhijah, Muharam, dan Rajab. Pada keempat bulan ini semua amal perbuatan baik ketaatan ataupun kemaksiatan umat muslim akan dilipatgandakan balasannya oleh Allah. Kemulian empat bulan mulia ini termaktub dalam firman-Nya:

 إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ عِندَ اللَّهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْراً فِي كِتَابِ اللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضَ مِنْهَآ أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ فَلاَ تَظْلِمُواْ فِيهِنَّ أَنْفُسَكُمْ

Sesungguhnya jumlah bulan menurut Allah ialah dua belas bulan, (sebagaimana) dalam ketetapan Allah pada waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya ada empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menzalimi dirimu dalam (bulan yang empat) itu (Q.S. At-Taubah [9]: 36).

Alasan Dilarangnya Melakukan Perbuatan Aniaya

Ibnu Jarir at-Thabari dalam tafsirnya (16/236) menerangkan bahwa ayat ini membahas tentang jumlah bulan dalam kalender Islam, yakni 12 bulan. Di antara bulan-bulan tersebut ada empat asyhurul hurum, sebagaimana yang disebutkan dalam hadis Rasul saw. dari riwayat Imam Bukhari, yaitu Zulkaidah, Zulhijah, Muharam, dan Rajab yang terletak antara Jumadil dan Sya’ban.

Adapun yang dimaksud dari bulan haram adalah bulan yang di dalamnya diharamkan melakukan segala bentuk perbuatan zalim dan aniaya. Disebabkan segala dosa dan juga pahala menjadi amat besar pada bulan haram ini dibanding bulan lainnya (Tafsir Marah Labid, 1/447). Oleh karenanya, pada bulan-bulan ini, umat Islam dianjurkan untuk memperbanyak amal kebaikan dan ketaatan, serta dilarang melakukan perbuatan zalim terutama yang disebutkan dalam ayat di atas; menganiaya diri sendiri.

Baca juga: Alasan Empat Bulan Ini Disebut Bulan Haram

Sementara penjelasan dari Ibnu Asyur tentang alasan pengkhususan larangan melakukan kezaliman dan kemaksiatan pada bulan-bulan haram ini adalah Allah menjadikannya waktu-waktu untuk ibadah. Jika seseorang tidak mengerjakan ibadah padanya, maka hendaklah tidak melakukan dosa. Ia kemudian memberi misal perilaku yang harus dihindari ialah sesuai dengan firman-Nya Q.S. Albaqarah ayat 197, yaitu berkata kotor, berbuat fasik, dan bertengkar (Tafsir at-Tahrir wa at-Tanwir, 10/186).

Dalam Tafsir al-Qurthubi (8/134) diterangkan bahwa larangan untuk tidak menzalimi diri sendiri adalah dengan tidak melakukan segala maksiat yang dapat merusak nilai-nilai kemuliaan dan keagungan yang terdapat dalam bulan haram.

Baca juga: Bulan Muharam: Bulan Persaudaraan

Menurut al-Baghawi, menzalimi diri sendiri adalah berbuat maksiat dan meninggalkan taat. Ia juga menukil keterangan Ibnu Abbas bahwa yang dimaksud dengan menzalimi diri sendiri yakni dengan menghalalkan setiap sesuatu yang telah dinyatakan haram dalam Islam, dan mengharamkan setiap yang halal (Tafsir Ma’alim at-Tanzil, 4/44-45).

Wahbah al-Zuhaili (10/202) menggambarkan bahwa ayat larangan menganiaya diri sendiri pada bulan haram sebagai bentuk kasih sayang Allah terhadap umat Islam, agar mereka tidak mereka disiksa dengan siksaan yang berlipat ganda kelak di hari kiamat. Oleh karenanya, bulan haram juga menjadi bulan ketaatan dan kebaikan, yang semua pahala yang didapatkan darinya melebihi nilai pahala dari bulan yang lain.

Menghindari Kezaliman di Bulan-Bulan Lainnya

Yang menjadi pertanyaan, mengapa Allah hanya melipatgandakan pahala dan siksa hanya pada bulan tersebut? Hal ini telah dijelaskan Ibnu Katsir, sejatinya Allah juga memberikan pahala kebaikan dan dosa maksiat di selain bulan haram. Namun, Allah memilih dan menghendaki bulan-bulan tertentu untuk melipatgandakannya, sebab hal ini boleh-boleh saja bagi Allah, sebagaimana sifat jaiz bagi-Nya. Dalam Tafsir al-Qur’an al-Adzim disebutkan:

إِنَّ اللهَ اصْطَفَى صَفَايَا مِنْ خَلْقِهِ، اِصْطَفَى مِنَ الْمَلَائِكَةِ رُسُلًا وَمِنَ النَّاسِ رُسُلًا وَاصْطَفَى مِنَ الشُّهُوْرِ رَمَضَانَ وَالْأَشْهُرَ الْحُرُمَ، فَعَظِّمُوْا مَا عَظَّمَ اللهُ، فَإِنَّمَا تُعَظَّمُ الْأُمُوْرُ بِمَا عَظَّمَهَا اللهُ بِهِ

Allah memilih beberapa pilihan dari makhluk-Nya. Dia memilih rasul dari kalangan malaikat dan manusia. Allah juga memilih bulan Ramadhan dan asyhurul hurum dari bulan-bulan lainnya. Maka muliakanlah sesuatu yang dimuliakan oleh Allah karena sungguh agung suatu hal bila diagungkan oleh Allah (Tafsir lbnu Katsir, 4/149).

Baca juga: Hikmah dan Keutamaan Sepuluh Hari Pertama Bulan Zulhijah

Dengan demikian, tidak berarti kezaliman pada bulan-bulan lain dibolehkan. Perbuatan aniaya diharamkan dalam seluruh rangkaian waktu manusia. Sebagaimana Ibnu Abbas yang mengatakan larangan untuk melakukan dosa pada bulan-bulan haram juga berlaku pada dua belas bulan lainnya, karena hal itu dapat mencegah manusia dari melakukan kerusakan di sepanjang usia (Tafsir Marah Labid, 1/447).

Akan tetapi, jika kezaliman itu terjadi di bulan-bulan haram maka bobot kezaliman tersebut akan lebih berat dibandingkan di bulan yang lainnya, karena kemuliaan dan keagungan yang diberikan oleh Allah pada bulan tersebut. Wallahu a’lam bis-shawwab. []

Hikmah Allah Bersumpah dengan Waktu Fajar dalam Surah Al-Fajr

0
Hikmah Allah Bersumpah dengan Waktu Fajar dalam Surah Al-Fajr
Allah beberapa kali bersumpah dalam Alquran. Salah satunya dengan waktu fajar.

Surah al-Fajr merupakan satu di antara beberapa surah dalam Alquran yang diawali dengan rangkaian sumpah Allah dengan makhluk-Nya. Di ayat pertama surah tersebut Allah bersumpah dengan waktu fajar, sehingga surah tersebut dinamakan surah Al-Fajr.

Makna “al-Fajr” Menurut Ulama Tafsir

Para mufasir berbeda pendapat terkait makna kata “al-fajr”. Ibnu Katsir mengutip riwayat sahabat Ali, Ibnu Abbas, Ikrimah, Mujahid, dan as-Suda yang mengatakan, bahwa al-fajr berarti waktu subuh (Tafsir Juz ‘Amma min Tafsir a-Quran al-Adzim, h. 180). Ada ulama yang memahami arti fajar yaitu yang muncul setiap hari sepanjang masa. Ada lagi yang memahaminya dalam arti sepanjang hari, bukan sekadar awal munculnya cahaya matahari. Dan ada pula yang menetapkan fajar hari tertentu (Tafsir Fi Zhilal al-Quran, 12/262).

Sementara dalam Tafsir al-Quran al-Majid al-Nur (h. 458), diterangkan bahwa Allah bersumpah dengan sesuatu untuk menarik perhatian manusia, agar manusia menelusuri dan memperhatikan tanda-tanda kekuasaan Allah dengan menggunakan akal pikiran. Karena pada ayat selanjutnya Allah berfirman, “Adakah pada yang demikian itu terdapat sumpah (yang dapat diterima) bagi orang-orang yang berakal.” (Q.S. al-Fajr: 5).

Al-Fajr: Teguran Keras untuk Pembangkang Dakwah Rasul

Menurut Wahbah al-Zuhaili, al-fajr merupakan sumpah yang agung, karena terbitnya matahari di waktu fajar merupakan fenomena yang luar biasa di alam semesta. Matahari bergerak tanpa pernah bergeser dari poros edarnya dan menyinari bumi sehingga dapat menopang kehidupan di bumi. Kepastian terbitnya matahari ketika waktu fajar tiba merupakan ibarat kepastian datangnya azab Allah terhadap orang yang durhaka kepada-Nya (Tafsir al-Munir, 15/599).

Baca juga: Keutamaan Istighfar di Waktu Sahur

Dengan demikian, dapat dipahami bahwa dalam Q.S. al-Fajr Allah bersumpah dengan waktu fajar salah satu tujuannya ialah untuk menegur orang-orang kafir yang membangkang dakwah Nabi Muhammad. Sebagaimana diketahui bahwa konteks surah ini pada mulanya diturunkan kepada Rasulullah di Makkah yang di antara audiensnya ialah orang-orang kafir Quraisy di kota Makkah.

Allah hendak mengingatkan mereka bahwa jika terus saja menentang risalah yang disampaikan melalui Nabi Muhammad maka akan datang kepastian azab Allah terhadap mereka, sebagaimana waktu fajar yang hadir menghancurkan dan membelah kegelapan malam.

Munasabah dengan Ayat 6-14: Diazabnya Kaum Terdahulu

Setelah memerintahkan untuk berpikir imajinatif dan filosofis dengan sumpah al-fajr tadi (Q.S. al-Fajr: 5), Allah kemudian memberikan contoh kejadian nyata dengan mengisahkan umat terdahulu yang mendustakan para utusan-Nya supaya orang-orang kafir Quraisy berkaca dengan mereka, bahwa siapapun yang bersikap sombong dan menentang dakwah Rasul akan berakhir dengan kesengsaraan dan kondisi tragis.

Allah berfirman: “Apakah kamu tidak memperhatikan bagaimana Tuhanmu berbuat terhadap kaum ‘Ad? Yaitu penduduk Iram yang mempunyai bangunan-bangunan yang tinggi. Yang belum pernah dibangun seperti itu di bangsa-bangsa lain. Dan kaum Tsamud yang memotong batu-batu besar di lembah. Dan kaum Fir’aun yang mempunyai pasak-pasak. Yang berbuat sewenang-wenang dalam bangsa. Lalu mereka berbuat banyak kerusakan dalam bangsa itu. Karena itu Tuhanmu menimpakan kepada mereka cemeti azab.” (Q.S. al-Fajr: 6-14).

Baca juga: Rekaman Keruntuhan Bangsa-Bangsa dalam Alquran

Dalam ayat di atas, Allah menyebutkan kaum ‘Ad, Tsamud, dan Fir’aun untuk menjadikan permisalan bagi kaum kafir Quraisy khususnya, dan semua umat pada umumnya, karena kezaliman yang mereka lakukan. Menariknya, mengapa Allah memilih mengisahkan kelompok-kelompok tersebut dalam surah al-Fajr? Ternyata hal itu terdapat kaitannya dengan surah ini bahwa ketiga kaum tersebut diazab Allah pada waktu fajar. Inilah keistimewaan waktu fajar, meskipun Allah bisa saja menghancurkan mereka kapan saja, siang atau malam.

Adapun kaum ‘Ad merupakan bangsa yang memiliki potensi sumber daya manusia yang maju, menjadikan mereka berambisi menjadi bangsa super power dengan peradaban yang kokoh. Imam al-Qurthubi (22/267) menyebutkan bahwa kaum ‘Ad memiliki fisik yang sangat kuat. Dikatakan bahwa tinggi tubuh mereka berkisar antara 300-500 hasta, yang dengan itu mereka memanfaatkan segala potensinya sehingga mereka memiliki kemajuan dalam bidang tata bangunan. Namun, karena kedurhakaannya, mereka dibinasakan dengan angin yang panas dan kencang pada waktu subuh atau fajar, sehingga hancurlah mereka dan hanya meninggalkan pilar-pilar bangunan yang tinggi, sebagaimana diisyaratkan dalam Q.S. al-Fajr: 6-8.

Baca juga: Surah Al-Fajr Ayat 27: Cara Manusia Mencapai Ketenangan Jiwa

Demikian pula kaum Tsamud yang awalnya memiliki fisik prima dan mampu memecahkan bebatuan di atas lembah, kemudian Allah membumihanguskan mereka. Di hari keempat terbitnya fajar sebagaimana yang dijanjikan, Allah mengirimkan petir halilintar yang menyambar dari langit dan digoyang gempa dari bawah sehingga mayat-mayat jatuh bergelimpangan (Q.S. Hud 67-68).

Sementara Fir‘aun dan pasukannya ditenggelamkan di laut saat mengejar Nabi Musa dan pengikutnya. Ketika mereka menemukan Nabi Musa dan Bani Israil pada waktu matahari akan terbit di tepi pantai (laut Merah-laut Suez), Allah kemudian memerintahkan Nabi Musa untuk memukul dan membelah laut itu dengan tongkatnya, kemudian angin diperintahkan bertiup dan tanah laut itu menjadi kering dan Bani Israil melintasi laut itu. Ketika Fir’aun dan bala tentaranya ikut melintasi laut tersebut, Allah memerintahkan laut untuk menelan mereka, sehingga Fir’aun dan pasukannya mati ditelan air laut dan tidak ada yang selamat satu pun dari mereka (Tafsir al-Munir, 246-247). Wallahu a’lam. []

Mental Illness dalam Kajian Semantik Alquran

0
Mental Illness dalam Kajian Semantik Alquran

Mental illness merupakan suatu kondisi yang dapat dialami oleh setiap orang. Hal tersebut dapat tumbuh karena adanya sebab dan latar belakang yang berbeda-beda. Faktor terjadinya mental illness biasanya terjadi karena adanya suatu tekanan perasaan dan batin atau adanya kecemasan.  (Zakiah Daradjat, Islam dan Kesehatan Mental, 35).
Masalah kesehatan yang dialami oleh orang yang memiliki mental illness ini sering terjadi dengan adanya sesuatu yang mengganggu dan menguasai pikiran serta perasaan hati mereka. Oleh karena itu, seseorang dengan mental illness dapat dikatakan hidupnya tidak mendapatkan ketenangan sebab tidak dapat melawan masalah batin.

Baca Juga: Ali Imran Ayat 139: Berdamai dengan Mental Health, Sebab Allah Swt Memberikan Kabar Gembira yang Kurang Percaya Diri

Mental Illnes dalam Kajian Semantik

Dalam Alquran, mental illness disebutkan dalam beberapa ayat dengan kata yang berbeda-beda, yakni;

Kata huznun

Kata huznun disebutkan sebanyak 42 kali dalam 25 surat, dengan berbagai macam bentuk derivasinya. Huznun memiliki makna dasar sedih atau kahawatir. Kandungan makna di dalamnya, yaitu keberatan suatu jiwa yang dimiliki oleh seseorang karena perasaan pilu yang dialaminya sehingga menimbulkan suatu kesedihan. Sebagaimana dalam QS. Ali‘imran [3]:170.

فَرِحِينَ بِمَا آتَاهُمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ وَيَسْتَبْشِرُونَ بِالَّذ ِينَ لَمْ يَلْحَقُوا بِهِمْ مِنْ خَلْفِهِمْ أَلَّا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ

Mereka dalam keadaan gembira disebabkan karunia Allah yang diberikan-Nya kepada mereka, dan mereka bergirang hati terhadap orang-orang yang masih tinggal di belakang yang belum mengikuti mereka, bahwa tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.

Pada ayat di atas huznun berbentuk fi’il nahyi atau suatu larangan. Artinya, larangan untuk bersedih hati atas orang-orang yang gugur dalam jihad atas nama Allah. Huznun dalam psikolog Islam sering terjadi ketika seseorang merasa sedih akibat kesusahan dalam melakukan sesuatu atau biasanya terjadi ketika mengalami kehilangan dalam hidupnya.

Baca Juga: Baca Ayat Ini untuk Menghilangkan Rasa Takut dan Menjaga Kesehatan Mental

Kata hammun

kata hammun disebutkan sebanyak 9 kali dalam 6 surat yang berbeda. Hammun memiliki makna kecemasan terhadap sesuatu. Sebagaimana yang terdapat pada QS. Ali’imran [3]: 154

… وَطَائِفَةٌ قَدْ أَهَمَّتْهُمْ أَنْفُسُهُمْ يَظُنُّونَ بِاللَّهِ غَيْرَ الْحَقِّ ظَنَّ الْجَاهِلِيَّةِ ۖ …

sedang segolongan lagi telah dicemaskan oleh diri mereka sendiri, mereka menyangka yang tidak benar terhadap Allah seperti sangkaan jahiliyah

Pada ayat ini kata hammun ditafsirkan dengan suatu kecemasan yang dialami orang munafik untuk memerangi orang mukmin. (Tafsir Al-Qurthubi, Juz 2, 443). Hammun dalam ruang lingkup mental illness merupakan kondisi seseorang yang menghadapi cemas disertai adanya pola pikir yang negatif karena takut terjadinya sesuatu yang tidak inginkan atau sesuatu yang tidak bisa dicapai.

Kata ghammun

Kata ghammun dalam Alquran disebutkan sebanyak 11 kali pada 8 surat, seperti dalam QS. Ali’imran [3]: 153. Ghammun merupakan suatu keadaan hati yang merasa sedih atau cemas ketika mendapatkan kegagalan atau mengalami musibah.

إِذْ تُصْعِدُونَ وَلَا تَلْوُونَ عَلَىٰ أَحَدٍ وَالرَّسُولُ يَدْعُوكُمْ فِي أُخْرَاكُمْ فَأَثَابَكُمْ غَمًّا بِغَمٍّ لِكَيْلَا تَحْزَنُوا عَلَىٰ مَا فَاتَكُمْ وَلَا مَا أَصَابَكُمْ ۗ وَاللَّهُ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ

(Ingatlah) ketika kamu lari dan tidak menoleh kepada seseorangpun, sedang Rasul yang berada di antara kawan-kawanmu yang lain memanggil kamu, karena itu Allah menimpakan atas kamu kesedihan atas kesedihan, supaya kamu jangan bersedih hati terhadap apa yang luput dari pada kamu dan terhadap apa yang menimpa kamu. Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.

Baca Juga: Zikir sebagai Upaya Menggapai Kesehatan Mental

Pada ayat tersebut, kata ghammun pertama, menceritakan keadaan muslimin saat perang Uhud yang merasa sedih karena tidak mendapatkan harta rampasan perang. Sedangkan kata ghammun kedua, menggambarkan kesedihan muslimin karena gugur dan kekalahan yang telah dialami oleh mereka. (Tafsir Al-Qurthubi, Juz 2, 442).

Kata asifun

Kata asifun terulang sebanyak 5 kali dalam 4 surat yang berbeda. Kata asifun biasanya terhubung dengan lafaz ghadabun (marah), seperti yang disebutkan dalam QS. Taha [20]: 86.

فَرَجَعَ مُوسَىٰ إِلَىٰ قَوْمِهِ غَضْبَانَ أَسِفًا ۚ

Kemudian Musa kembali kepada kaumnya dengan marah dan bersedih hati. 

Pada ayat tersebut, asifun dimaknai sebagai kesedihan yang diikuti oleh amarah, seperti keadaan Nabi Musa yang merasa marah dan sedih terhadap kaumnya. Asifun sendiri merupakan kata yang menerangkan kondisi seseorang. Bahkan makna relasional yang terkandung di dalamnya dapat dimaknai dengan keadaan seseorang yang benar-benar marah.
Oleh karena itu, kata asifun merupakam suatu kondisi marah yang tingkatannya lebih tinggi dari sekadar kata ghadabun. (Tafsir Al-Qurthubi, Juz 4, 186).

Penutup
Dalam Alquran telah disinggung pembahasan terkait konsep mental illness. Banyak penjelasan yang menggambarkan kondisi seseorang dengan perasaan cemas, sedih, khawatir, dan lain-lain.  Dalam Islam, kesehatan mental adalah suatu keadaan yang dapat dipengaruhi oleh kondisi fisik, intelektual, emosional, dan juga spiritual, yang pasti berhubungan dengan keadaan disekitarnya.  (Suhaimi, Gangguan Jiwa dalam Perspektif Kesehatan Mental dalam Islam, 28)

Keistimewaan Orang Quraisy di Surah Quraisy

0
Keistimewaan orang Quraisy dalam surah Quraisy
Keistimewaan orang Quraisy dalam surah Quraisy

Salah satu kisah menarik yang diabadikan dalam Alquran ialah gambaran tentang  tentang keistimewaan orang Quraisy. Mereka diberi amanah untuk menjaga Baitullah, kaum ini juga diberi kemakmuran yang luar biasa, serta yang tidak luput adalah nikmat yang begitu banyak dan tiada henti pada kabilah Quraisy. Alquran secara khusus menjelaskan ini dalam satu surah, yaitu surah Quraisy.

Dalam Alquran, Allah berfirman:

لِاِيْلٰفِ قُرَيْشٍۙ۩ اٖلٰفِهِمْ رِحْلَةَ الشِّتَاۤءِ وَالصَّيْفِۚ۩ فَلْيَعْبُدُوْا رَبَّ هٰذَا الْبَيْتِۙ ۩الَّذِيْٓ اَطْعَمَهُمْ مِّنْ جُوْعٍ ەۙ وَّاٰمَنَهُمْ مِّنْ خَوْفٍ

“Disebabkan oleh kebiasaan orang-orang Quraisy. (Yaitu) kebiasaan mereka bepergian pada musim dingin dan musim panas (sehingga mendapatkan banyak keuntungan). Maka hendaklah mereka menyembah Tuhan (pemilik) rumah ini (Ka‘bah), yang telah memberi mereka makanan untuk menghilangkan lapar dan mengamankan mereka dari rasa takut” (Q.S. Quraisy [106]: 1-4)

al-Qurthubi menjelaskan tentang identitas Quraisy dalam tafsirnya. Menurutnya, suku Quraisy adalah keturunan dari an-Nadhr bin Kinanah bin Khuzaimah bin Mudrikah bin Ilyas bin Mudhar.  Namun ada juga penjelasan yang menyatakan bahwa suku Quraisy adalah keturunan Fihr bin Malik bin Nadhr.

Sedangkan untuk penamaan Quraisy, setidaknya mempunyai empat alasan. Pertama, berkumpul setelah terpisah (at-taqarrusy); kedua, suku Quraisy terdiri dari para pedagang, at-taqarrusy dipahami sama dengan at-takassub; ketiga, disebut qarsy karena mereka mengawasi orang-orang yang berhaji. Di sini qarsy dipahami sama dengan at-taftisy; keempat, mengadopsi kata qirsy yang berarti hewan yang kuat.

Baca Juga: Munasabah Surah Quraisy dan Alma’un

Rihlah Dagang Di Musim Panas dan Dingin

Wahbah al-Zuhaili dalam Tafsir al-Munir (30/296) menyatakan bahwa perniagaan yang dilakukan oleh kaum Quraisy umumnya dilakukan sepanjang musim dingin dan musim panas (sehingga mendapatkan banyak keuntungan). Ketika musim dingin kalangan suku Quraisy akan melakukan misi dagang ke selatan yakni ke negeri Yaman untuk mendapatkan rempah-rempah yang berasal dari timur, bahkan sangat jauh melalui Teluk Persia.

Sementara ketika musim panas, mereka melakukan misinya untuk bergerak ke arah utara yakni negeri Syam untuk menuai hasil pertanian yang diangkut oleh para pedagang negeri tersebut dan kemudian mereka bawa pulang ke Makkah untuk dikonsumsi atau pun dijual kembali. Sebab sebagaimana riwayat Ibnu Abbas bahwa di kota Makkah dahulunya merupakan lembah tandus dan gersang, sehingga sulit untuk menghasilkan bahan-bahan pokok seperti yang ditemukan dari kegiatan perniagaan di dua negeri tersebut.

Menurut al-Zuhaili, seandainya suku Quraisy tidak melakukan rihlah dagang ini, niscaya mereka tidak akan betah tinggal di kota Makkah. Dan seandainya juga mereka tidak mendapatkan rasa aman tinggal di dekat Ka’bah, mereka tidak akan mampu untuk berdagang.

Baca Juga: Tafsir Surah Quraisy Ayat 2: Ke Mana Rihlah Quraisy?

Nikmat Rasa Aman

Adapun keistimewaan orang Quraisy yang lain yaitu diberikan jaminan keselamatan dari bahaya. Allah memberikan perhatian khusus kepada mereka dengan nikmat berupa keamanan dan ketenteraman dalam kehidupan. Seperti halnya dijelaskan dalam surah al-Fil bahwa Allah menyelamatkan kehidupan suku Quraisy dan keberlangsungan berdirinya Kakbah dari gempuran tentara Abrahah, yang dengan penjagaan tersebut berdampak pada bertambahnya keyakinan kelompok suku lain bahwa mereka benar-benar berada dalam pengawasan dan penjagaan Allah. (Tafsir Ibnu Katsir 30/550)

Dalam Tafsir al-Munir li Ma’alimi at-Tanzil (2/665) disebutkan bahwa kaum Quraisy dijuluki oleh masyarakat sekitar dengan: “Tetangga Baitullah, penduduk tanah Haram dan penguasa Kakbah,” hingga mereka disebut “Ahlullah” (keluarga Allah). Seandainya tentara Abrahah berhasil menghancurkan Kakbah maka hilanglah keistimewaan, penghormatan, dan pengagungan yang disematkan kepada mereka.

Berdagang merupakan mata pencaharian yang banyak digeluti oleh masyarakat Arab pada saat itu. Dalam perjalanan dagang tersebut pada umumnya kabilah-kabilah Arab akan mendapat perlakuan dan hal-hal yang membahayakan jiwa dan raga dari perampok. Namun berbeda dengan suku Quraisy yang terbilang kebal dari bahaya tersebut sebab Allah mengamankan mereka dari hal-hal seperri penyerangan, peperangan, pembunuhan, wabah penyakit serta hal-hal lain yang kadang dikhawatirkan oleh bangsa Arab dari sebagian lainnya. (Tafhim al-Quran h. 4)

Baca Juga: Surah Quraisy Ayat 1-4: Meneladani Etos Kerja Suku Quraisy

Kelapangan dalam Rezeki

Dari segi perekonomian, Allah juga menjadikan kaum Quraisy begitu makmur luar biasa. Bahkan dikatakan dalam satu riwayat dari lbnu Abbas, mengenai firman-Nya QS. Quraisy, bahwa “Allah melarang mereka bepergian dan memerintahkan mereka untuk menyembah Tuhan Baitullah. Allah juga telah mencukupi keperluan mereka dan ketika mereka tidak bepergian pada musim dingin dan musim panas, Allah memberi makanan mereka untuk menghilangkan lapar dan mengamankan mereka dari ketakutan. Sehingga dengan begitu rihlah untuk dagang menjadi fleksibel bagi mereka (ingin bepergian ataupun menetap). Itulah nikmat dari Allah atas mereka.” (Tafsir ad-Durr al-Mantsur 8/636)

Dalam Tafsir al-Qurtubi (30/209) diterangkan bahwa nikmat yang luas dan rasa aman yang dianugerahkan untuk kaum Quraisy sebab berkah doa Nabi Ibrahim as.

قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ: وَذَلِكَ بِدَعْوَةِ إِبْرَاهِيمَ عَلَيْهِ السَّلَامُ حَيْثُ قَالَ: رَبِّ اجْعَلْ هَذَا بَلَداً آمِناً وَارْزُقْ أَهْلَهُ مِنَ الثَّمَراتِ

Ibnu Abbas berkata: “Yang demikian itu (nikmat kelapangan rezeki dan rasa aman suku Quraisy penduduk Makkah) sebab doa Nabi Ibrahim ketika ia berdoa: “Ya Tuhanku, jadikanlah negeri ini, negeri yang aman sentosa, dan berikanlah rezeki dari buah-buahan (QS Al-Baqarah: 126)”.

Dengan kenikmatan tidak terbatas yang telah Allah berikan kepada kaum Quraisy, Allah memerintahkan mereka beribadah kepadaNya. Sebagaimana Dalam firmaNya, “Maka hendaklah mereka menyembah Allah”. (Tafsir ar-Razi 32/298) sebagai wujud syukur kepada Allah. Jika tidak karena Allah, tentu mereka selalu dalam ketakutan yang mangakibatkan kesengsaraan dan kesempitan hidup. Wallahu a’lam.

Doa Nabi Yusuf dalam Surah Yusuf Ayat 33

0
Doa Nabi Yusuf dalam Surah Yusuf Ayat 33
Ilustrasi berdoa.

Doa Nabi Yusuf yang dibahas berikut ini masih dalam rangkaian narasi kisah Nabi Yusuf dalam Alquran. Setelah berita penolakan Nabi Yusuf atas ajakan istri raja Mesir untuk berbuat maksiat menjadi viral, dan si istri tersebut menjadi bahan perbincangan di kalangan perempuan, si istri kemudian mengundang para perempuan tersebut untuk melihat langsung paras tampan Nabi Yusuf agar mereka bisa merasakan seperti yang si istri rasakan.

Ketika si istri raja mengancam untuk memenjarakan Nabi Yusuf, kemudian dinarasikan doa berikut ini,

قَالَ رَبِّ السِّجْنُ أَحَبُّ إِلَيَّ مِمَّا يَدْعُونَنِي إِلَيْهِ وَإِلَّا تَصْرِفْ عَنِّي كَيْدَهُنَّ أَصْبُ إِلَيْهِنَّ وَأَكُنْ مِنَ الْجَاهِلِينَ

(Yusuf) berkata, “Wahai Tuhanku, penjara lebih aku sukai daripada memenuhi ajakan mereka. Jika Engkau tidak menghindarkan tipu daya mereka dariku, niscaya aku akan cenderung untuk (memenuhi keinginan mereka) dan tentu aku termasuk orang-orang yang bodoh.” (Q.S. Yusuf [12]: 33).

Baca juga: Tafsir Surah Yusuf Ayat 19-20: Kesabaran Nabi Yusuf Saat Jadi Korban Human Trafficking

Setidaknya ada tiga hal yang bisa diambil sebagai poin penting dalam penafsiran al-Qurtubi. Pertama, keinginan yang diucapkan dalam berdoa, maka hal itu pula yang sangat mungkin akan terjadi. Untuk itu, berhati-hatilah dalam berdoa. Dijelaskan oleh al-Qurtubi bahwa ketika Nabi Yusuf memilih berdoa agar dimasukkan ke penjara, Allah memberi wahyu “Yusuf! Dengan kamu berkata bahwa penjara lebih baik bagimu, kamu (berarti) telah memenjarakan dirimu sendiri. Seandainya kamu berdoa meminta kesehatan, maka Aku akan menyehatkanmu (sesuai permintaanmu)”. Jika melihat dari penafsiran ini, untuk konteks doa Nabi Yusuf, Allah akan mengabulkan doa sesuai dengan yang diminta (bagaimanapun caranya).

Poin pertama ini juga dijelaskan dalam Tafsir al-Baidhawi meski dengan redaksi yang tidak persis sama.

Kedua, berdasarkan petunjuk dari doa Nabi Yusuf, diambil pelajaran bahwa seseorang tidak akan bisa mencegah dirinya dari perbuatan maksiat kecuali atas pertolongan Allah, bahkan untuk setingkat seorang nabi.

Baca juga: Teladan Kisah Nabi Yusuf: Meminta Jabatan Boleh Asal Mampu Mendatangkan Kebaikan

Ketiga, ketika seseorang tidak berhasil menghindar dari perbuatan maksiat, dan ternyata tetap mengerjakannya, hal itu tidak lain karena kesalahan dan kebodohannya. Dengan kata lain, bukan karena Allah tidak membantunya untuk menghindarinya. Konsekuensi dari perbuatan maksiat itu pun akan ditanggung pelakunya.

Sementara itu, Ibn Katsir menafsirkan ayat ini dengan menukil hadis tentang tujuh golongan yang dinaungi Allah di hari kiamat.

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى الله عليه وسلم قَالَ: “سَبْعَةٌ يُظِلُّهُمُ اللَّهُ فِي ظِلِّهِ يَوْمَ لَا ظِلَّ إِلَّا ظِلُّهُ: إِمَامٌ عَادِلٌ، وَشَابٌّ نَشَأَ فِي عِبَادَةِ اللَّهِ،  وَرَجُلٌ قَلْبُهُ مُعَلَّقٌ بِالْمَسْجِدِ، إِذَا خَرَجَ مِنْهُ حَتَّى يَعُودَ إِلَيْهِ، وَرَجُلَانِ تَحَابَّا فِي اللَّهِ اجْتَمَعَا عَلَيْهِ وَافْتَرَقَا عَلَيْهِ، وَرَجُلٌ تَصَدَّقُ بِصَدَقَةٍ فَأَخْفَاهَا حَتَّى لَا تَعْلَمَ شِمَالُهُ مَا أَنْفَقَتْ يَمِينُهُ، وَرَجُلٌ ذَكَرَ اللَّهَ خَالِيًا فَفَاضَتْ عَيْنَاهُ، وَرَجُلٌ دَعَتْهُ امْرَأَةٌ ذَاتُ جَمَالٍ وَمَنْصِبٍ، فَقَالَ: إِنِّي أَخَافُ اللَّهَ”

Rasulullah saw. bersabda, “Ada tujuh golongan yang dinaungi Allah pada hari kiamat, pada saat tiada naungan kecuali naungan-Nya: (1) pemimpin yang adil, (2) pemuda yang tumbuh dewasa dalam beribadah kepada Allah, (3) orang yang hatinya bergantung ke masjid, (4) dua orang yang saling mencintai di jalan Allah, keduanya berkumpul karena-Nya dan berpisah karena-Nya, (5) seseorang yang bersedekah dengan satu sedekah lalu dia menyembunyikannya sehingga tangan kirinya tidak tahu apa yang diinfakkan tangan kanannya (6) seseorang yang berzikir kepada Allah dalam keadaan sepi lalu dia meneteskan air matanya (7) laki-laki yang diajak berzina oleh seorang wanita yang mempunyai kedudukan lagi cantik, lalu dia berkata, ‘Sesungguhnya aku takut kepada Allah.”

Baca juga: Doa Nabi Muhammad saw. dalam Alquran

Golongan ketujuh yang disebut dalam hadis tampak sangat berkaitan dengan konteks narasi kisah Nabi Yusuf dalam Alquran. Dan hadis ini tentu berlaku untuk siapapun, tidak hanya pada Nabi Yusuf.

Berdasar doa Nabi Yusuf ini, diketahui bahwa sekelas Nabi Yusuf saja, yakni seorang Nabi yang dijamin penjagaannya oleh Allah dari perbuatan maksiat (‘ishmah) mengakui bahwa dia tidak punya daya dan upaya untuk melawan kemaksiatan kecuali dengan pertolongan Allah, apa lagi orang yang biasa-biasa saja.

Wallah a’lam.

QS. Alhajj Ayat 11: Ujian Hidup dan Iman

0
QS. Alhajj Ayat 11: Ujian Hidup dan Iman

QS. Alhajj ayat 11 menggambarkan perilaku sebagian manusia yang beribadah kepada Allah dengan iman yang dangkal. Dalam Tafsir Ibnu Katsir, perilaku orang yang beribadah “di pinggiran” ini menggambarkan iman yang tidak kokoh dan teruji. (Fachruddin M Mangunjaya, Generasi Terakhir). Ayat ini menyatakan,

وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَعْبُدُ اللَّهَ عَلَىٰ حَرْفٍ ۖ فَإِنْ أَصَابَهُ خَيْرٌ اطْمَأَنَّ بِهِ ۖ وَإِنْ أَصَابَتْهُ فِتْنَةٌ انْقَلَبَ عَلَىٰ وَجْهِهِ خَسِرَ الدُّنْيَا وَالْآخِرَةَ ۚ ذَٰلِكَ هُوَ الْخُسْرَانُ الْمُبِينُ

Dan di antara manusia ada orang yang menyembah Allah di pinggiran/tepi. Jika ia memperoleh kebajikan, ia merasa tenang dengan ibadah itu. Tetapi jika ia ditimpa oleh suatu cobaan, berbaliklah ia ke belakang. Rugilah ia di dunia dan di akhirat. Yang demikian itu adalah kerugian yang nyata.

Mereka hanya beriman dan beribadah kepada Allah saat keadaan baik dan mendapat kebajikan. Namun, ketika dihadapkan pada cobaan atau kesulitan, iman mereka menjadi rapuh dan mereka segera berpaling. Tafsir ini menekankan bahwa iman yang sejati adalah iman yang teguh dalam segala situasi, baik suka maupun duka.

Baca Juga: Tafsir Surah Al-Hajj Ayat 10-11

Dalam Tafsir al-Misbah menyoroti bahwa orang yang beribadah “di pinggiran” ini memiliki pandangan keagamaan yang dangkal. Mereka hanya beriman untuk mencari keuntungan duniawi, seperti kesehatan, kekayaan, atau keberhasilan. Ketika keadaan tidak menguntungkan, mereka kehilangan minat dalam beribadah. Tafsir ini mengingatkan umat Islam untuk tidak hanya mengikuti agama demi kepentingan dunia semata, tetapi juga untuk mendekatkan diri kepada Allah dengan iman yang tulus.

Dalam Tafsir Jalalain, terdapat penekanan bahwa orang yang beribadah “di pinggiran” ini cenderung tidak stabil dalam imannya. Mereka hanya beriman sesaat, tanpa memiliki komitmen yang kokoh terhadap agama. Ketika ujian datang, iman mereka mudah tergoyahkan dan mereka segera berpaling dari ibadah. Tafsir ini menegaskan bahwa iman yang sejati adalah iman yang tetap teguh dalam ujian dan cobaan.

Tafsir al-Qurtubi juga menyoroti bahwa QS. Alhajj ayat 11 menggambarkan pentingnya kesabaran dan keteguhan dalam iman. Orang yang beribadah “di pinggiran” ini kurang memilikikekuatan dalam iman mereka. Mereka mudah menyerah dan berbalik ketika dihadapkan pada ujian. Tafsir ini menekankan bahwa ujian hidup adalah cara Allah menguji kualitas iman manusia, dan hanya dengan kesabaran dan keteguhan iman seseorang dapat melewati ujian tersebut.

Dari berbagai tafsir dan perspektif ulama, dapat disimpulkan bahwa QS. Alhajj ayat 11 memberikan peringatan penting tentang bahaya iman yang dangkal dan tidak kokoh. Ayat ini mengajarkan umat Islam untuk memperkuat iman mereka, agar tidak mudah tergoyahkan oleh ujian hidup. Iman yang sejati adalah iman yang teguh dalam segala kondisi, baik dalam keadaan baik maupun buruk.

Baca Juga: Pentingnya Niat dan Keimanan dalam Mewujudkan Kebermaknaan Suatu Amalan

Implikasi Terhadap Pemahaman Ujian Hidup
QS. Alhajj ayat 11 memberikan pelajaran yang berharga bagi umat Islam dalam menghadapi ujian dan tantangan hidup dalam kehidupan sehari-hari. Ayat ini mengingatkan manusia bahwa iman yang kokoh dan stabil sangat penting untuk menghadapi segala macam cobaan yang mungkin kita hadapi.

Salah satu implementasi dari ayat ini adalah pentingnya memperkuat iman dalam keadaan baik, bukan hanya dalam kesulitan. Sebagai contoh, ketika seseorang mengalami kesulitan keuangan, ayat ini mengajarkan bahwa iman yang sejati akan membantu mereka tetap tenang dan bersabar. Mereka tidak akan berputus asa atau kehilangan kepercayaan pada Allah, melainkan tetap yakin bahwa Allah akan memberikan solusi pada waktu yang tepat.

Demikian pula, ketika dihadapkan pada masalah kesehatan, iman yang kuat akan membantu seseorang menerima ujian tersebut dengan lapang dada, tanpa mengeluh atau meragukan keadilan Allah. Ayat ini juga mengajarkan bahwa ujian hidup adalah bagian tak terpisahkan dari perjalanan keimanan seseorang.

Baca Juga: Surat Ali Imran Ayat 186: Keniscayaan Ujian Hidup

Dengan menerapkan makna QS. Alhajj ayat 11 dalam kehidupan sehari-hari, umat Islam diingatkan untuk menjaga iman yang kokoh dan tidak tergoyahkan dalam menghadapi segala ujian dan tantangan hidup. Iman yang kuat akan memberikan ketenangan batin, ketabahan, dan kebijaksanaan dalam menghadapi segala situasi, serta membimbing kita untuk selalu bersyukur atas nikmat Allah, baik dalam suka maupun duka.

Wallahu a’lam.

Manuscript Culture Naskah Jalalain MAJT 

0
Manuscript Culture Naskah Jalalain MAJT
Kutipan teks Al-Wajiz dalam naskah Jalalain

Studi parateks pada naskah kuno terinspirasi dari karya Gerard Genette berjudul Seuils. Alih-alih menyajikan teks yang siap ‘dikonsumsi’ pembaca khas kajian filologi, parateks lebih fokus pada unsur ‘eksternal’ teks. Yakni seluruh elemen yang ada pada naskah, tetapi bukan teks utama naskah itu sendiri, seperti catatan pada bagian pias naskah, interlinear translation (pemaknaan antar baris), kolofon, dan lain sebagainya.

Studi parateks mencakup dua sub kajian utama, periteks dan epiteks. Periteks didefinisikan sebagai segala sesuatu yang ada di dalam naskah, tetapi bukan teks naskah atau matan itu sendiri. Sedangkan epiteks didefinisikan sebagai segala sesuatu yang menyertai teks naskah atau matan tetapi tidak ada dalam naskah itu.

Sebagaimana gagasan awal Genette, studi parateks dalam naskah kuno dilakukan untuk lebih memahami naskah tersebut. Dalam bahasa Oman Fathurahman, studi parateks dilakukan untuk menemukan manuscript culture atau budaya manuskrip (baca: naskah). Hal ini karena sebuah teks tidak benar-benar berdiri sendiri. Ada banyak hal di sekitarnya yang harus ‘dilewati’ untuk sampai pada makna teks sesungguhnya.

Dalam konteks naskah Tafsir Jalalain koleksi Museum Perkembangan Islam Jawa Tengah, studi parateks dapat dilakukan dengan menyasar bukan pada teks Jalalain-nya sebagai teks utama atau matan, tetapi pada berbagai catatan yang menyertainya, seperti catatan yang dikutip dari Tafsir Al-Wajiz karya Al-Wahidi (w. 468 H.), keberadaan teks Fath al-Mu‘in, catatan titi mongso (kalender), dan pemaknaan antar baris.

Baca juga: Naskah Tafsir Jalalain di Museum Masjid Agung Jawa Tengah

Studi terhadap elemen yang terlihat, yakni seluruh catatan nonmatan yang ada, disebut dengan periteks. Sedangkan studi terhadap elemen yang tidak terlihat, yakni elemen yang menyertai catatan nonmatan tersebut, disebut dengan epiteks. Studi epiteks dilakukan dengan merujuk pada sumber eksternal seperti wawancara, hasil penelusuran, kajian, dan catatan lain yang dapat ditemukan.

Studi parateks terhadap kutipan catatan teks Al-Wajiz pada naskah Jalalain koleksi Museum Perkembangan Islam Jawa Tengah mendapati beberapa dugaan culture. Di antaranya bahwa budaya menukil catatan dari suatu karya yang kemudian disandingkan dengan karya tertentu yang tengah dikaji merupakan aktivitas yang lazim dilakukan dan telah berlangsung lama, bahkan ketika media literasi tidak semasif saat ini.

Terlepas dari tujuan pasti dari penulisnya, jika membandingkan dengan apa yang terjadi saat ini, boleh jadi bahwa penulis hendak menyajikan keterangan yang ‘berbeda’ dari karya yang tengah ia kaji. Atau keterangan yang dinukil dianggap sangat penting dan menarik sehingga layak untuk dikutip. Atau dalam tingkat yang lebih tinggi, penulis ingin melakukan perbandingan di antara keduanya.

Aktivitas kutip mengutip ini dapat terjadi tentunya dengan mengandaikan keberadaan karya-karya lain yang dikutip. Dan melihat ragam rujukan kutipan yang ada, diketahui bahwa karya-karya tersebut telah beredar dan dikenal di antara para pengkaji, yang dalam hal ini adalah pengkaji tafsir. Kendati bukti temuan atas karya-karya tersebut masih dipertanyakan saat ini (baca selengkapnya pada Popularitas Tafsir al-Baghawi di Masa lalu).

Baca juga: Mengenal Hasyiah al-Shawi, Kitab Penjelas Tafsir al-Jalalain

Dugaan culture yang lain dari studi parateks naskah Jalalain tersebut adalah adanya resepsi sastra yang dilakukan oleh penulis naskah. Hal ini diketahui setelah dilakukan kajian lebih mendalam terhadap detail catatan yang ditulis. Adanya ‘perubahan’ dari teks asli catatan yang dikutip. Sebagai contoh, terdapat catatan berbunyi,

أعطيناه علما من علم الغيب فلما راه موسى سلم عليه فقال عليك السلام يا بني إسرائيل لم جئت فتواضع موسى هـ و

Setelah ditelusuri, catatan tersebut merupakan kutipan dari teks Al-Wajiz karya Al-Wahidi (w. 468 H.), tetapi hanya pada bagian awalnya saja, yakni pada bagian,

أعطيناه علماً من علم الغيب

Sementara sisanya tidak didapati pada teks Al-Wajiz. Pertanyaannya kemudian, dari manakah teks tambahan tersebut? Dikatakan tambahan karena pola kutipan yang digunakan membubuhkan huruf wawu setelah ha’ di akhir kutipan yang merupakan inisial dari Al-Wajiz (الوجيز).

Jika mengikuti pakem pengutipan, harusnya inisial tersebut diletakkan setelah kata al-gaib yang merupakan akhir dari teks Al-Wajiz. Nyatanya tidak demikian. Sehingga sisa teks yang ada dimungkinkan merupakan tambahan dari penulis yang ia dapatkan setelah membaca karya lain atau mungkin mendapatkan keterangan dari seorang kiai atau guru ngaji.

Baca juga: Terjemahan Tafsir Jalalain Berbahasa Madura

Resepsi ini mengecualikan catatan-catatan yang ‘sedikit’ berbeda dari teks asli yang dikutip karena mungkin terjadi kesalahan (error) saat mengutip oleh penulis. Dalam naskah Jalalain, kesalahan semacam ini seperti pada kutipan,

أي عجب عجبا أخبر عنه تعجبه من ذلك هـ و

Yang dalam teks asli Al-Wajiz tertulis,

أَي: أعجب عجباً أخبر عن تعجُّبه من ذلك

Demikian juga mengecualikan catatan-catatan yang setelah ditelusuri tidak ditemukan pada teks aslinya. Apakah penulis salah memberikan inisial rujukan teksnya ataukah teks tersebut memang bukan bagian dari teks asli yang dimaksudkan dalam inisial yang diberikan? Wallahu a‘lam.

Dua manuscript culture yang disebutkan di atas merupakan sebagian dari banyak culture yang dapat dikuak dari sebuah naskah kuno. Dalam konteks tulisan ini, naskah yang dimaksud adalah Tafsir Jalalain koleksi Museum Perkembangan Islam Jawa Tengah. Dan sudut pandang yang dilihat adalah catatan interpolasi yang dirujuk dari teks Al-Wajiz.

Manuscript culture lain sangat mungkin ditemukan, entah dengan melihat pada sudut pandang yang sama atau sudut pandang lain dari seluruh temuan catatan yang ada, seperti teks Fath al-Mu‘in, catatan titi mongso, dan atau pemaknaan antar baris. Wallahu a‘lam bi al-shawab. []

Menyembelih Ego dan Sifat Kepemilikan di Hari Raya Kurban

0
Menyembelih Ego dan Sifat Kepemilikan di Hari Raya Kurban
Ilustrasi hewan kurban

Hari Raya Kurban atau biasa dikenal juga sebagai Hari Raya Iduladha bagi umat muslim, merupakan waktu yang sangat istimewa. Pada hari yang penuh makna ini, umat muslim di seluruh dunia merayakan dengan menyembelih hewan kurban sebagai bentuk penghormatan kepada Allah Swt. sekaligus mengenang pengorbanan Nabi Ibrahim a.s.

Pada praktik penyembelihan hewan kurban yang dilakukan tersebut, terdapat makna yang sangat mendalam yang sering kali terlupakan, bahkan bisa jadi tidak diketahui oleh sebagian umat muslim. Makna tersebut berupa pesan moral tentang mengendalikan ego dan mengatasi sifat kepemilikan yang berlebihan. Ketika seseorang tidak mampu membeli hewan kurban, maka hal yang dapat dilakukan pada saat itu ialah berniat menyembelih atau mengurbankan sifat kepemilikan dalam dirinya.

Imam Ghazali mengemukakan bahwa manusia pada hakikatnya dapat dilihat dari empat aspek karakter utama; pertama, Al-Rubu’iyah yang mencerminkan sifat ketuhanan; kedua, Al-Syaithaniyah yang menandakan sifat yang cenderung ke arah kejahatan; ketiga, Bahimiyah yang menggambarkan sifat yang menyerupai hewan; dan terakhir, Sabu’iyah yang mengacu pada sifat yang buruk atau jahat.

Menyembelih Ego

Hal yang seringkali menjadi hambatan dalam hubungan di antara manusia adalah ego. Hari Raya Kurban mengajarkan kita untuk menyembelih ego, bukan hanya secara harfiah dalam menyembelih hewan kurban, tetapi bisa juga secara batiniah. Pada hari raya tersebut kita meniatkan diri untuk mengorbankan bagian dari diri kita yang terlalu merasa superior, egois, dan keras kepala.

وَمَنْ يُّوْقَ شُحَّ نَفْسِهٖ فَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْمُفْلِحُوْنَۚ

Barang siapa yang menjaga dirinya dari kekikiran, maka itulah orang-orang yang beruntung (Q.S. Al-Hasyr [59]: 9).

Baca juga: Deskripsi Alquran tentang Nabi Ibrahim di Beberapa Surah

Ayat ini menunjukkan pentingnya untuk tidak terjebak dalam kekikiran atau egoisme, yang sering kali menjadi penghalang bagi seseorang untuk berbuat baik dan berhubungan harmonis dengan sesama. Disebutkan dalam Tafsir As-Shabuni, ayat tersebut menjelaskan bahwa barang siapa yang menjaga dirinya dari sifat kikir, maka dia akan sukses. Lafadz شُحَّ mengandung arti sangat kikir dengan disertai tamak (Shafwatu At-Tafaasir li al-Shabuni, juz 3, hal. 332).

Menyembelih Sifat Kepemilikan

Selain menyembelih ego, Hari Raya Kurban juga mengajarkan umat muslim untuk menyembelih atau membunuh sifat kepemilikan. Dengan berniat menyembelih sifat kepemilikan pada dirinya, umat muslim diingatkan bahwa semua yang dimiliki sebenarnya adalah amanah dan titipan dari Allah. Oleh karena itu, sifat kepemilikan yang berlebihan harus dihilangkan.

Mari simak kisah Nabi Ibrahim a.s. dan Nabi Ismail a.s. dalam surah As-Saffat ayat 102, sebagai berikut.

فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ السَّعْيَ قَالَ يٰبُنَيَّ اِنِّيْٓ اَرٰى فِى الْمَنَامِ اَنِّيْٓ اَذْبَحُكَ فَانْظُرْ مَاذَا تَرٰىۗ قَالَ يٰٓاَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُۖ سَتَجِدُنِيْٓ اِنْ شَاۤءَ اللّٰهُ مِنَ الصّٰبِرِيْنَ

Maka tatkala anak itu sampai pada umur sanggup bekerja bersamanya, (Ibrahim) berkata: “Hai anakku, sesungguhnya aku melihat dalam tidur bahwa aku menyembelihmu, maka pikirkanlah apa pendapatmu!” Dia (Ismail) menjawab, “Wahai ayahku, lakukanlah apa yang diperintahkan (Allah) kepadamu! Insyaallah engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang sabar.” (Q.S. AS-Shaffat [37]: 102).

Ayat ini mencerminkan ketundukan Nabi Ibrahim a.s. terhadap perintah Allah untuk menyembelih putranya, yaitu Nabi Ismail a.s. Hal ini mengajarkan kita tentang pentingnya kepatuhan dan pengorbanan yang sungguh-sungguh dalam memenuhi kehendak Allah. Perintah ini bukan sekadar ujian kesetiaan dan pengorbanan, tetapi juga untuk mengajarkan sebuah pelajaran mendalam tentang mengatasi sifat kepemilikan yang berlebihan serta mengendalikan cinta yang intens terhadap manusia.

Baca juga: Nilai-Nilai Sufistik dalam Penyembelihan Hewan Kurban

Sebelum menerima perintah dari Allah untuk menyembelih putranya, Nabi Ibrahim dikenal sangat mencintai putranya secara berlebihan. Kecintaan ini tergambar dalam bagaimana Ibrahim merawat dan membesarkan Ismail dengan penuh kasih sayang dan perhatian, karena Ismail adalah buah hati dari doa panjang dan harapan yang dikabulkan Allah bagi Ibrahim dan istrinya, Hajar.

Dengan menerima perintah tersebut, Nabi Ibrahim tidak hanya menunjukkan bahwa cintanya kepada Allah lebih utama dari segala yang lain, tetapi juga bahwa ia mampu melepas ikatan emosional yang kuat terhadap putranya sebagai bentuk pengorbanan dan pengendalian diri yang luar biasa. Ini adalah contoh nyata bagaimana seorang hamba harus siap untuk mengesampingkan rasa memiliki dan kecintaan yang berlebihan untuk taat kepada Allah sebagai prioritas utama dalam hidupnya.

Baca juga: Jangan Pernah Lupakan Sayyidah Hajar!

Kisah Nabi Ibrahim tersebut tidak hanya mengajarkan tentang pengorbanan dan kesetiaan kepada Allah, tetapi juga tentang pentingnya mengendalikan sifat kepemilikan dan cinta yang berlebihan terhadap manusia atau harta dunia. Ini adalah pelajaran berharga bagi umat manusia untuk selalu mengedepankan hubungan spiritual dengan Allah di atas segala hal lain dalam kehidupan.

Hari Raya Kurban tidak hanya sekadar perayaan ritual, tetapi sebuah kesempatan untuk menumbuhkan rasa pengorbanan yang tulus dan untuk mengatasi ego serta sifat kepemilikan yang mungkin menghalangi kedekatan dengan Allah dan sesama. Dengan merenungkan makna yang mendalam di balik kurban, kita dapat memperkaya makna hidup kita dan memperkuat ikatan sosial dalam masyarakat. Semoga perayaan ini menginspirasi kita semua untuk menjalani hidup dengan penuh kepatuhan, keikhlasan, dan rasa persaudaraan yang lebih mendalam.

‘Alaa kulli haal, ‘Eid Al-Adha Al-Mubarrak. Wallahu a’laam bish shawwab.