Beranda blog Halaman 34

Memahami Makna Arafah

0
Memahami Makna Arafah

Arafah merupakan hari kesembilan dari bulan Zulhijah yang menjadi puncak haji, dimana jutaan jamaah menjalankan wukuf di padang Arafah sehari sebelum tiba hari raya Iduladha. Hari Arafah juga menjadi momentum untuk berpuasa, berdoa, berzikir bagi umat muslim di seluruh dunia yang tidak menunaikan ibadah di tanah suci, sebab agungnya kemuliaan yang Allah turunkan pada hari tersebut. Makna dari Arafah tidak hanya merujuk pada hari, namun juga merujuk pada tempat yang digunakan untuk wukuf dalam proses ibadah haji.

Arafah: Tempat dan Hari Para Jamaah Haji Melaksanakan Wukuf

Dalam Alquran, kalimah Arafah dengan berbagai derivasinya disebut sebanyak 70 Kali, sedangkan untuk penyebutan kata Arafah hanya terdapat dalam QS. Albaqarah ayat 198. Para ulama berbeda pendapat tentang arti dari Arafah, karena penyebutan dalam ayat tersebut menggunakan bentuk jamak (‘Arafat).

Ada yang mengatakan Arafah pada ayat tersebut merujuk pada nama sebuah tempat, sebagaimana at-Thabari (3/429) menyebutkan riwayat dari Ali bin Abi Thalib bahwa Allah memerintahkan Nabi Ibrahim berhaji, ketika tiba di Arafat Jibril menjelaskan manasik haji, namun kemudian Nabi Ibrahim berkata, “Aku sudah tahu.” Oleh sebab itulah diberi nama Arafat. Sementara riwayat dari Ibnu Abbas bahwa Arafat ialah tempat wukuf yang terletak di balik bukit Uranah. (Tafsir Ibnu Abi Hatim, 1/353)

Baca Juga: Makna ‘Al-Hajj Al-Akbar’ Menurut Para Mufasir

Adapun menurut al-Naisaburi, penyebutan Arafah baik secara tunggal (‘Arafah) maupun jamak (‘Arafat), keduanya merupakan nama benda. Penunjukan secara tunggal berarti bahwa setiap bagian dari bumi padang pasir tersebut merupakan bumi ‘Arafah. Penyebutan secara jamak menunjukkan himpunan dari bagian-bagian padang pasir tersebut.

Sementara menurut al-Khazin, penyebutan secara jamak itu menunjukan suatu tempat (padang pasir), sedangkan penyebutan secara tunggal menunjukan hari, yaitu hari Arafah tanggal sembilan Zulhijjah. (Arafah: Ensiklopedia Alquran, 193)

Dalam Tafsir Mafatih al-Ghaib (5/325) dikutip beberapa pendapat, bahwa Arafah diambil dari kata i’tiraf (pengetahuan) karena pada hari tersebut umat Islam mengetahui dan membenarkan Allah sebagai satu-satunya Dzat yang harus disembah.

Pendapat lain, bahwa Arafah mempunyai makna bau yang harum. Artinya, dengan melaksanakan ibadah haji di Arafah, menunjukkan bahwa orang ingin bertobat melepas semua kesalahan-kesalahan yang pernah dilakukan dan menghindar dari perbuatan dosa. Dengan demikian, secara tidak langsung orang sedang berusaha untuk mendapatkan surga di sisi Allah, dan kelak akan memiliki bau yang harum di surga.

Baca Juga: Tafsir Surah Al-Baqarah Ayat 201 dan Doa Ketika Berhaji

Seperti firman Allah dalam QS. Muhammad ayat 6. Penjelasan ayat tersebut menurut Imam ar-Razi adalah bahwa orang-orang yang berdosa ketika bertobat di tanah Arafah, mereka telah terlepas dari kotoran-kotoran dosa, dan berusaha dengan (ibadah)nya di sisi Allah sehingga akan menjadi jiwa yang harum (terbebas dari dosa dan kesalahan).

Hal itu sebagaimana pula dalam hadis yang diriwayatkan Thalhah bin Ubaidillah, Nabi saw bersabda: “Tiada terlihat setan pada hari yang dia merasa lebih kecil lebih, terusir, lebih terhina, dan lebih marah ketimbang hari Arafah. Hal itu itu tak lain dikarenakan pada hari itu ia melihat turunnya rahmat Allah dan terhapusnya dosa-dosa besar manusia.” (HR. Imam Malik)

Karenanya, Imam Ghazali dalam kitab Asrar al-Hajj (h.17) menerangkan dengan mengutip hadis yang diriwayatkan Imam al-Khatib, Imam Abu Manshur, dan Imam al-Dalami, bahwa orang yang meragukan ampunan dan rahmat Allah pada hari Arafah akan mendapatkan dosa besar, padahal Allah pasti akan mengampuni hambaNya.

Kemuliaan Hari Arafah (9 Zulhijah) Bagi Seluruh Umat Muslim

Arafah juga merujuk pada hari yakni hari ke-9 Zulhijah, yang kemudian disebut dengan hari Arafah. Makna dari hari Arafah adalah hari yang paling agung di dunia, di mana Allah mengampuni dosa-dosa umat Islam bukan hanya yang sedang wukuf, melainkan di segala penjuru dunia mana kala mereka membentangkan diri untuk mendapatkan anugerah Allah yang dicurahkan pada hari tersebut dengan ibadah dan doa yang sungguh-sungguh.

Baca Juga: Momentum Hari Arafah: Nabi Ibrahim a.s. dan Pengorbanan Cinta

Rasulullah bersabda, “Jika tiba hari Arafah, tidaklah seseorang masih mempunyai setitik iman dalam hatinya melainkan ia akan diampuni. Lantas ada yang bertanya: Wahai Rasulallah, apakah terkhusus bagi yang wukuf di Arafah saja atau untuk semua manusia? Rasulullah menjawab: Untuk semua manusia”. (HR. Abu Daud)

Dalam riwayat hadis lain Rasulullah bersabda: “Puasa Arafah (9 Dzulhijjah) dapat menghapuskan dosa setahun yang lalu dan setahun akan datang. Puasa Asyura (10 Muharram) akan menghapuskan dosa setahun yang lalu.” (HR. Muslim)

Dengan demikian, puasa sunnah Arafah menjadi salah satu ibadah yang dianjurkan bagi umat Muslim yang tidak menjalankan ibadah haji di tanah suci. Selain itu dianjurkan pula untuk memperbanyak  doa dan dzikir di hari Arafah sebab Rasulullah bersabda:

“Sebaik-baik doa adalah doa pada hari Arafah. Dan sebaik-baik perkataan yang aku ucapkan begitu juga Para Nabi sebelumku adalah:

لاَ إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ, لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ يُحْيِيْ وَيُمِيْتُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ

“Tiada tuhan selain Allah yang Maha Esa, tiada sekutu baginya. Kerajaan dan pujian hanyalah miliknya. Maha menghidupkan dan mewafatkan. Dan Dia berkuasa atas segalanya.” (HR. Tirmidzi)

Wallahu a’lam.

Deskripsi Alquran tentang Nabi Ibrahim di Beberapa Surah

0
deskripsi Alquran tentang Nabi Ibrahim di beberapa surah
deskripsi Alquran tentang Nabi Ibrahim di beberapa surah

Perayaan Iduladha atau hari raya kurban erat sejarahnya dengan kisah Nabi Ibrahim yang diperintah oleh Allah dalam mimpinya untuk menyembelih anaknya. Dikisahkan bahwa Nabi Ibrahim membenarkan, meyakini dan melaksanakan perintah Allah tersebut, meski pada rangkaian ayat disampaikan bahwa perintah ini adalah ujian bagi keimanan Nabi Ibrahim.

Cerita ini tertulis dalam Alquran, surah as-Shaffat ayat 102-107.

فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ السَّعْيَ قَالَ يٰبُنَيَّ اِنِّيْٓ اَرٰى فِى الْمَنَامِ اَنِّيْٓ اَذْبَحُكَ فَانْظُرْ مَاذَا تَرٰىۗ قَالَ يٰٓاَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُۖ سَتَجِدُنِيْٓ اِنْ شَاۤءَ اللّٰهُ مِنَ الصّٰبِرِيْنَ (102) فَلَمَّآ اَسْلَمَا وَتَلَّه لِلْجَبِيْنِۚ (103) وَنَادَيْنَاهُ أَنْ يَا إِبْرَاهِيمُ (104) قَدْ صَدَّقْتَ الرُّؤْيَا إِنَّا كَذَلِكَ نَجْزِي الْمُحْسِنِينَ (105) إِنَّ هَذَا لَهُوَ الْبَلَاءُ الْمُبِينُ (106) وَفَدَيْنٰهُ بِذِبْحٍ عَظِيْمٍ  (107)

Ketika anak itu sampai pada (umur) ia sanggup bekerja bersamanya, ia (Ibrahim) berkata, “Wahai anakku, sesungguhnya aku bermimpi bahwa aku menyembelihmu. Pikirkanlah apa pendapatmu?” Dia (Ismail) menjawab, “Wahai ayahku, lakukanlah apa yang diperintahkan (Allah) kepadamu! Insyaallah engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang sabar.” (102) Ketika keduanya telah berserah diri dan dia (Ibrahim) meletakkan pelipis anaknya di atas gundukan (untuk melaksanakan perintah Allah) (103) Kami memanggil dia, “Wahai Ibrahim, (104) sungguh, engkau telah membenarkan mimpi itu.” Sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat kebaikan. (105) Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata. (106) Kami menebusnya dengan seekor (hewan) sembelihan yang besar. (107)

Khusus pada tindakan pembenaran dan pelaksanaan perintah Allah tersebut (ayat 103 dan 105), padahal itu adalah ujian yang berat bagi Nabi Ibrahim (ayat 106), Ibn Katsir mengaitkannya dengan penyifatan Nabi Ibrahim di surah an-Najm ayat 37.

Baca Juga: Penafsiran Ulama tentang Siapa Anak Nabi Ibrahim yang Dikurbankan

Surah an-Najm [53] ayat 37

وَاِبْرٰهِيْمَ الَّذِيْ وَفّٰىٓ

dan (lembaran-lembaran) Ibrahim yang telah memenuhi janji setianya?

Pada surah an-Najm ayat 37, Nabi Ibrahim disifati dengan orang yang telah memenuhi janjinya. Dengan demikian, ketika Ibn Katsir menjadikan ayat ini sebagai tafsir dari tindakan Nabi Ibrahim di surah as-Shaffat ayat 103 dan 105, ini berarti beliau memahami bahwa keputusan Nabi Ibrahim untuk menyembelih anaknya tersebut sebagai salah satu bentuk kesetiaan dan kepatuhan terhadap Allah, dan keberhasilannya dalam menjalani ujian dari Allah.

Meski demikian, ketika menafsirkan ayat 37 surah an-Najm di tempatnya sendiri, Ibn Katsir tidak mengungkit lagi tentang Nabi Ibrahim di surah as-Shaffat. Di bagian ini beliau malah memberi keterangan tafsir yang lebih umum mengenai predikat ‘orang yang telah memenuhi janjinya’ dengan memenuhi semua yang telah diperintahkan kepada Nabi Ibrahim, seperti perintah untuk ajakan mengesakan Allah terhadap kaumnya. Penafsiran seperti ini juga ditemukan tafsir yang lain, seperti Tafsir al-Qurtubi.

Masih dalam lanjutan penjelasan tentang kriteria ‘orang yang telah memenuhi janji’, Ibn Katsir juga menukil kisah tentang Nabi Ibrahim di surah yang lain, tepatnya di surah al-Baqarah [2] ayat 124.

وَاِذِ ابْتَلٰٓى اِبْرٰهمَ رَبُّه بِكَلِمٰتٍ فَاَتَمَّهُنَّ ۗ قَالَ اِنِّيْ جَاعِلُكَ لِلنَّاسِ اِمَامًا ۗ قَالَ وَمِنْ ذُرِّيَّتِيْ ۗ قَالَ لَا يَنَالُ عَهْدِى الظّٰلِمِيْنَ

(Ingatlah) ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa ‘kalimat’, lalu dia melaksanakannya dengan sempurna. Dia (Allah) berfirman, “Sesungguhnya Aku menjadikan engkau sebagai pemimpin bagi seluruh manusia.” Dia (Ibrahim) berkata, “(Aku mohon juga) dari sebagian keturunanku.” Allah berfirman, “(Doamu Aku kabulkan, tetapi) janji-Ku tidak berlaku bagi orang-orang zalim.”

Lagi-lagi, Nabi Ibrahim diuji terlebih dahulu untuk mendapatkan predikat ‘orang yang telah memenuhi janji setia’. Pada ayat tersebut disampaikan bahwa Nabi Ibrahim menjalani ujian tersebut dengan sempurna. Kalimat yang dimaksud dalam ayat, secara umum dipahami oleh mufasir sebagai syariat atau ajaran dari Allah yang meliputi perintah untuk mengerjakan dan perintah untuk meninggalkan. Bisa jadi inilah awal syariat Nabi Ibrahim yang kemudian berlanjut menjadi syariat para Nabi setelahnya.

Baca Juga: Nabi Ibrahim Adalah Muslim, Bukan Yahudi ataupun Nasrani

Penafsiran yang lebih khusus tentang kalimat yang diamanahkan kepada Nabi Ibrahim ini beragam, ada yang mengatakan sepuluh hal ajaran tentang bersuci, lima di antaranya meliputi bagian kepala, sementara lima lainnya meliputi badan. Menyucikan bagian kepala ialah dengan mencukur kumis, berkumur, istinsyaq (membersihkan lubang hidung dengan air), bersiwak, dan membersihkan belahan rambut kepala. Sedangkan menyucikan bagian tubuh ialah memotong kuku, mencukur rambut kemaluan, berkhitan, mencabut bulu ketiak, serta membasuh bekas buang air besar dan buang air kecil dengan air.

Selain tentang syariat bersuci, penafsiran lain tentang kalimat pada ayat ini adalah ritual manasik haji; tawaf, sa’i, melempar jumrah, dan tawaf ifadah.

Jika mencoba mengambil benang merah dari deskripsi Alquran tentang Nabi Ibrahim di tiga tempat ini, didapati bahwa Nabi Ibrahim selalu diuji keimanannya oleh Allah dengan beberapa ujian, baik itu berupa perintah maupun larangan. Nabi Ibrahim patuh dengan perintah dan larangan Allah tersebut. Beliau berhasil menjalani ujian tersebut, dan berdasar hal inilah Alquran memberi predikat kepada Nabi Ibrahim dengan ‘orang yang telah memenuhi janji setianya’.

Pada momentum Iduladha ini, semoga kita semua bisa meneladani sifat Nabi Ibrahim. Amin.

Larangan dan Anjuran ketika Berhaji

0
Larangan dan Anjuran ketika Berhaji
Larangan dan Anjuran ketika Berhaji

Islam, melalui Alquran, tidak cukup dengan hanya menginformasikan tentang perintah haji, aturan-aturan, baik itu larangan dan anjuran ketika berhaji juga diinformasikan dengan detail, meski tidak langsung turun beriringan. Hal ini berdasar pada penjelasan pengarang Tafsir at-Tahrir wa at-Tanwir yang menafsirkan bahwa ayat larangan dan anjuran ketika berhaji ini turun berjarak sekitar tiga tahun dengan ayat sebelumnya, ayat 196, perintah untuk menyempurnakan haji dan umrah.

Berikut surah Al-Baqarah ayat 197.

الْحَجُّ أَشْهُرٌ مَعْلُومَاتٌ فَمَنْ فَرَضَ فِيهِنَّ الْحَجَّ فَلَا رَفَثَ وَلَا فُسُوقَ وَلَا جِدَالَ فِي الْحَجِّ وَمَا تَفْعَلُوا مِنْ خَيْرٍ يَعْلَمْهُ اللَّهُ وَتَزَوَّدُوا فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَى وَاتَّقُونِ يَا أُولِي الْأَلْبَابِ (197)

(Musim) haji itu (berlangsung pada) bulan-bulan yang telah dimaklumi. Siapa yang mengerjakan (ibadah) haji dalam (bulan-bulan) itu, janganlah berbuat rafaṣ, berbuat maksiat, dan bertengkar dalam (melakukan ibadah) haji. Segala kebaikan yang kamu kerjakan (pasti) Allah mengetahuinya. Berbekallah karena sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa. Bertakwalah kepada-Ku wahai orang-orang yang mempunyai akal sehat. (Terjemah Kemenag RI)

Beberapa tafsir, seperti Tafsir Ibn Katsir, Tafsir al-Qurtubi, Tafsir Marah Labid, dan Tafsir at-Tahrir wa at-Tanwir, semuanya sepakat menafsirkan bahwa bagian awal ayat ini menjelaskan tentang waktu atau bulan pelaksanaan ibadah haji, yaitu Syawal, Zulkaidah, dan Zulhijah. Untuk bulan yang ketiga, ada keterangan riwayat yang menyebut hanya sepuluh hari pertama, ada juga yang menafsirkan sampai hari ketiga belas, bahkan ada keterangan yang menafsirkan keseluruhan Zulhijah.

Larangan ketika berhaji

Adapun untuk bagian pertengahan ayat, para mufasir tersebut menafsirkannya sebagai larangan yang harus dijauhi bagi orang yang sedang berhaji. Larangan yang disebut pada ayat ini ada tiga.

Pertama, dilarang berbuat rafaṣ. Rafaṣ oleh beberapa mufasir ditafsirkan dengan jima’ (berhubungan badan dengan istri), atau bahkan ada yang menafsirkannya dengan perkataan yang mengandung rayuan terhadap istri sehingga dapat menimbulkan keinginan untuk melakukan jima’.

Baca juga: Seruan Ibadah Haji dan Asal Muasal Kalimat Talbiyah

Kedua, tidak boleh melakukan perbuatan fasik. Perbuatan fasik di sini ditafsirkan dengan segala perbuatan maksiat, termasuk di dalamnya yaitu mencaci orang Islam. Berdasar pada sabda Nabi Muhammad saw. ‘Sibāb al-muslim fusūq wa qitāluh kufr’ (Mencaci orang Islam itu maksiat, sedangkan membunuhnya adalah kufur). Jika mencaci orang Islam saja sudah termasuk perbuatan fasik, maka begitu pula dengan perbuatan yang lebih besar keburukannya, seperti berburu, terlebih lagi menyembah berhala.

Ketiga, tidak boleh bertengkar atau berdebat. Untuk larangan berdebat ini, ada yang mengatakan larangan berdebat tentang waktu pelaksanaan ibadah haji dan cara-cara pelaksanaannya, misal tempat pelaksanaan wukuf atau yang lainnya.

Ada juga yang menafsirkan larangan berdebat ini dengan larangan berbantah-bantahan, bertengkar dengan orang lain sehingga menyebabkan orang lain tersebut marah.

Dalam hal ini, Rasulullah saw. bersabda,

مَنْ قضَى نُسُكَه وسلِم الْمُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ، غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

Barang siapa yang telah menunaikan hajinya, dan orang-orang muslim selamat dari ulah lisan dan tangannya, niscaya Allah memberikan ampunan baginya atas semua dosanya yang terdahulu.

Baca juga: Hikmah dan Manfaat Sosial Ibadah Haji

Kriteria dari seseorang yang disebut dalam hadis tersebut adalah orang yang tidak menyakiti orang Islam lainnya, baik dengan ucapan maupun perbuatan. Tentu saja jika seseorang yang sedang berhaji bertengkar atau berdebat dengan orang lain, maka itu tidak masuk pada kriteria seseorang yang dimaksud dalam hadis.

Tidak bertengkar atau tidak berdebat dengan orang lain yang ditemui di sekitar tempat pelaksanaan haji merupakan tantangan tersendiri bagi orang yang sedang berhaji. Sebab, sebagaimana diketahui, ibadah haji itu itu merupakan ibadah komunal, dikerjakan oleh sangat banyak orang secara bersama-sama, di waktu dan tempat yang sama. Kondisi dan situasi yang mengarah pada perdebatan dan pertengkaran akan sangat mungkin terjadi. Oleh karena itu, sangat masuk akal dan sangat wajar ketika hal ini diwanti-wanti oleh Alquran dan hadis Nabi.

Anjuran ketika berhaji

Sementara itu, di bagian akhir ayat, terdapat anjuran untuk membawa bekal. Terkait hal ini, beberapa riwayat yang dikutip dalam tafsir menjelaskan bahwa khusus perintah membawa bekal ini turun ketika orang-orang yang berhaji (saat itu) tidak membawa bekal makanan dan semacamnya. Oleh karena itu, mufasir juga menafsirkan ‘bekal’ ini dengan bahan makanan dan semacamnya.

Baca juga: Tafsir Surah Ali Imran Ayat 97: ‘Istito’ah’ Sebagai Syarat Wajib Haji

Untuk anjuran membawa bekal ketika berhaji, hal ini sangat relevan dengan syarat ibadah haji yang disebutkan di ayat yang lain, yaitu istiṭā’ah (kemampuan) yang kemudian dijelaskan oleh ulama antara lain dengan kemampuan finansial, baik bagi orang yang berangkat haji dan keluarga yang ditinggal, ketika sedang berhaji dan ketika sudah selesai.

Demikian beberapa larangan dan anjuran ketika berhaji yang dijelaskan oleh para mufasir berdasar pada surah Al-Baqarah ayat 197. Jika di awal tulisan disebut bahwa ayat ini merupakan penjelasan dari ayat sebelumnya tentang perintah untuk menyempurnakan ibadah haji dan umrah, maka ketika seseorang yang berhaji telah menjauhi larangan dan melaksanakan anjuran pada ayat 197 ini, bisa dikatakan seseorang tersebut mulai sempurna ibadah hajinya. Wallah a’lam.

Hikmah dan Keutamaan Sepuluh Hari Pertama Bulan Zulhijah

0
Hikmah dan Keutamaan Sepuluh Hari Pertama Bulan Zulhijah

Segala sesuatu yang diciptakan oleh Allah pasti terdapat hikmah dan keutamaan di dalamnya, demikian pula dalam bulan Zulhijah dan terutama di 10 hari pertamanya. Bulan terakhir dalam penanggalan Kamariyah ini merupakan momen bagi umat muslim untuk berlomba-lomba melakukan amal saleh sebab ketaatan dan kebaikan menjadi ibadah yang sangat besar pahalanya.

Dalam Alquran, kemuliaan 10 hari permulaan bulan Zulhijah diterangkan dalam firmanNya:

وَالْفَجْرِ (1) وَلَيَالٍ عَشْرٍ (2)

Demi fajar, dan malam yang sepuluh. (QS. Alfajr: 1-2)

Para ulama ahli tafsir berbeda pendapat dalam mengartikan fajar dalam ayat di atas. Di antaranya ada yang mengatakan fajar yang dimaksud adalah fajar yaumun-nahr (hari penyembelihan kurban), yaitu tanggal 10 Zulhijah. Ada pula yang berpendapat bahwa fajar itu adalah fajar 1 Muharram sebagai awal tahun, atau fajar 1 DZulhijah sebagai bulan pelaksanaan ibadah haji.

Baca Juga: Keutamaan Bulan Zulkaidah

Pendapat lain, fajar 10 hari Zulhijah. Dengan alasan karena pada ayat selanjutnya Allah menyertakan dengan sumpah terhadap wa layalin ‘asyrin, 10 malam hari yang ditafsiri dengan 10 hari Zulhijah. Selain juga dikarenakan ia merupakan awal dari bulan yang dipenuhi ibadah. (Tafsir Mafatih al-Ghaib, 31/162)

Sementara mengenai malam yang kesepuluh dalam Tafsir Fi Zhilali Quran (12/263) terdapat banyak riwayat, ada yang mengatakan sepuluh hari awal bulan Zulhijah seperti riwayat dari Ibnu Abbas dan Mujahid, ada yang mengatakan sepuluh awal bulan Muharram, dan sepuluh akhir bulan Ramadan.

Tafsir ath-Thabari (8611) menyebutkan bahwa makna tentang wa layalin ‘asyr yang paling kuat (rajih) ialah sepuluh Zulhijah, ia mempertegas dengan menyebutkan riwayat hadis dari Jabir, bahwa sesungguhnya Rasulullah bersabda wa al-fajr wa layalin ashr adalah sepuluh adha (Zulhijah). Kemudian dikuatkan ayat selanjutnya wa al-syaf’i wa al-watri. Makna yang genap adalah hari nahr (tanggal 10) dan makna yang ganjil ialah hari arafah (tanggal 9). Hal ini menguatkan pendapat yang menyatakan bahwa ayat tersebut berbicara mengenai keutamaan sepuluh hari pertama dari bulan Dzulhijah.

Dari penjelasan tafsir di atas dapat dipahami bahwa bukti keutamaan 10 hari pertama bulan Zulhijah ialah Allah bersumpah atas nama fajar dan malam 10 pertama di bulan Zulhijah. Dan semua itu sebenarnya tidak lepas dari beberapa keagungan di dalamnya, sebagaimana Ibnu Hajar al-Asqalani bahwa sebab yang istimewanya 10 hari Zulhijah adalah karena pada hari tersebut merupakan waktu berkumpulnya pokok ibadah-ibadah besar; yaitu shalat, shaum, sedekah dan haji yang tidak didapati di hari-hari selainnya. (Fathul Baari, 2/460)

Baca Juga: Ibadah Kurban dan Permasalahan Kontemporer

Kemuliaan yang lain sebagaimana disebutkan hadist yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas, bahwa Rasulullah bersabda :

مَا مِنْ أَيَّامٍ الْعَمَلُ الصَّالِحُ فِيهَا أَحَبُّ إِلَى اللهِ مِنْ هٰذِهِ الأَيَّامِ. يَعْنِيْ أَيَّامَ الْعَشْرِ. قَالُوا يَا رَسُولَ اللهِ وَلَا الْجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللّٰهِ قَالَ وَلَا الْجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللّٰهِ إِلَّا رَجُلٌ خَرَجَ بِنَفْسِهِ وَمَالِهِ فَلَمْ يَرْجِعْ مِنْ ذَلِكَ بِشَيْءٍ

Tidaklah ada amal yang lebih dicintai Allah daripada amal-amal yang dikerjakan pada sepuluh hari Zulhijah ini.” Lalu para sahabat bertanya, “Tidak juga Jihad?” Nabi saw. menjawab,”Tidak juga Jihad, kecuali seseorang yang keluar (untuk berjihad) sambil mempertaruhkan diri (jiwa) dan hartanya, lalu kembali tanpa membawa sesuatupun. (HR. Bukhari).

Dalam hadis di atas seolah Rasulullah hendak memberikan motivasi yang sangat tinggi kepada para sahabat dan umat Islam pada umumnya untuk tidak menyia-nyiakan keutamaan 10 hari awal Zulhijah. Bahwa muslimim yang mengerjakan amal di hari-hari tersebut sangat dicintai Allah bahkan pahala perbandingannya setara dengan jihad di jalan Allah.

Kemuliaan dan keagungan bulan Zulhijah mengajarkan kepada umat Islam untuk selalu bersyukur dengan kenikmatan yang telah Allah berikan berupa pahala lebih banyak di waktu tersebut dan mengagungkan serta menghargai waktu sebaik-baiknya dengna beribadah. Terutama waktu-waktu seperti 10 hari awal Zulhijah yang disebutkan keutamaannya dalam Alquran dan sunnah.

Sebab umur manusia sangat terbatas, sementara bekal yang harus dibawa amatlah banyak dan berkualitas. Jika pada waktu yang mulia saja enggan untuk memanfaatkan kesempatan dengan sebaik-baiknya, maka khawatir di bulan-bulan yang lain akan lebih meremehkan.

Baca Juga: Surah Al-Fajr Ayat 2: Waktu Utama Bersedekah di Bulan Dzulhijjah

Sebagi penutup, Imam ath-Thabrani dalam kitabnya al-Mu’jam al-Ausath (6/222) meriwayatkan sebuah hadits, “Sesungguhnya Rabb kalian Yang Mahamulia memiliki banyak karunia dalam setiap tahunnya. Jadi, carilah karunia itu. Barangkali kalian memperoleh satu karunia yang dengannya kalian tidak akan sengsara selamanya.”

Wallahu a’lam.

Kajian Naskah Riwayah Isra Mikraj Karya Kiai Ahmad Fauzan Jepara

0
Naskah Riwayah Isra Mikraj Karya Kiai Ahmad Fauzan Jepara
Naskah Riwayah Isra Mikraj Karya Kiai Ahmad Fauzan Jepara

Isra Mikraj merupakan perjalanan spiritual Nabi Muhammad yang memiliki peran penting bagi umat Islam. Demikian karena pada Isra Mikraj ini Nabi Muhammad mendapatkan perintah dari Allah untuk melaksanakan salat lima waktu. Selain itu, perjalanan Nabi ini hanyalah dalam satu malam saja, yaitu dari Makkah menuju Masjidilaqsa dan kemudian naik ke Sidratulmuntaha. Jumhur ulama menyatakan bahwa peristiwa healing Nabi Muhammad saw. ini terjadi pada sekitar 620-621 M atau setahun sebelum hijrah (Qutni & Damayanti, 2021).

Salah satu ulama Nusantara yang membahas tentang peristiwa Isra Mikraj adalah K.H. Ahmad Fauzan Jepara dalam kitabnya yang berjudul Riwayah Isra Mikraj. Kiai Ahmad Fauzan adalah salah satu ulama yang sangat berperan bagi masyarakat Jepara (Jawa Tengah). Beliau lahir di Mayong, Jepara pada tahun 1905 dan merupakan putra keempat dari lima bersaudara oleh pasangan H. Abdurrasul dan Ny. Thohiroh. Beliau merupakan seorang ulama yang menjadi salah satu keturunan dari Kesunanan Surakarta. Kakeknya (H. Ahmad Sanwasi) menurut salah satu sumber, merupakan menantu dari Kiai Umar Al-Samarani yang menikah dengan Ny. Darojah, kakak dari Kiai Soleh Darat (Dahlar et al., 2019).

Ilmu-ilmu tentang agama serta cara bersosial kemasyarakatan beliau dapatkan langsung dari ayah tercinta. Namun, pengajaran langsung dari sang ayah terhenti ketika beliau menghembuskan nafas terakhirnya saat sedang menunaikan rukun Islam terakhir di Tanah Suci. Setelah itu, beliau, Kyai Fauzan menimba ilmu di beberapa pesantren, seperti Pesantren Balekambang, Pesantren Kasingan Rembang, Pesantren Gemiring, dan Pesantren Tayu. Karena masih haus akan ilmu, pada tahun 1924-1926 beliau berkesempatan untuk belajar di Makkah dan Madinah. Karena proses menimba inilah yang akhirnya melahirkan berbagai pemikiran-pemikiran cemerlang dari diri beliau (Dahlar et al., 2019).

Karakteristik naskah

Dalam kitab Riwayah Isra Mikraj tersebut, penyebutan judul naskah terdapat pada sampul naskah. Naskah ini sesuai judulnya yaitu berisi tentang periwayatan Isra Mikraj menurut pemikiran pengarangnya. Dalam judul tersebut telah disebutkan bahwa pengarangnya adalah K.H. Fauzan Jepara yang ditulis oleh K.H. Bisri Musthofa Rembang. Menurut pemaparan salah satu keluarga beliau, yakni Kiai Noor Rohman, bahwa K.H. Fauzan dan K.H. Bisri Musthofa Rembang adalah teman akrab waktu mondok di salah satu pesantren kota Rembang.

Baca juga: Mufasir-Mufasir Indonesia: Biografi Sholeh Darat As-Samarani

Naskah yang berukuran 29,9 cm x 25,4 cm ini berjumlah 54 halaman dengan tulisan tangan bertinta hitam. Bahasa yang digunakan dalam naskah (kitab) tersebut adalah bahasa Indonesia dan Arab. Keadaan fisik naskah ini masih layak. Pada sampulnya terdapat satu staples agar naskah tidak rusak dan bersampul biru pada sampul depan dan belakangnya. Naskah ini tersimpan di kediaman salah satu keluarga beliau, yaitu Bapak BN.

Pada halaman pertama naskah ini (setelah sampul) terdapat tulisan basmalah beserta Q.S. Al-Isra ayat 1 dan beberapa penafsirannya. Di atas tulisan basmalah tersebut terdapat tulisan tangan yang menunjukkan tahun 1954 oleh Ahmad Nur Kafrawi yang merupakan keponakan dari mushannif (pengarang). Dalam Undang-Undang Nomor 43 tahun 2007 tentang Perpustakaan menyebut bahwa setiap naskah atau tulisan tangan kalau dia sudah berumur 50 tahun, maka termasuk kategori manuskrip atau naskah kuno.

Pembahasan kitab

Dalam kitab Riwayah Isra Mikraj, Kiai Ahmad Fauzan tidak hanya fokus pada penafsiran tentang Isra Mikraj dalam Q.S. Al-Isra ayat 1. Akan tetapi, di dalamnya juga dikaitkan dengan dengan ayat-ayat lain, kutipan-kutipan, syair-syair, dan lain sebagainya. Selain itu, mengingat kitab ini ditulis pada masa-masa perjuangan kemerdekaan Indonesia, maka tidak tidak heran jika penafsiran beliau sangat kental dengan jiwa nasionalisme dan revolusi perubahan. Berikut di antara poin-poin penafsiran beliau:

Baca juga: Pemahaman Malam Isra Mikraj Secara Semiotik

“1. Maksud yang tersebar dalam isinya Isra dan Mikrajnya Nabi besar kita Muhammad saw. akan menghadapi beberapa hal yang sangat besar dan sulit, yaitu “Revolusi Perubahan Alam”. Baik mengenai jasmani yang membutuhkan beberapa bimbingan, maupun mengenai ruhani yang membutuhkan beberapa didikan, atau mengenai ekonomi yang membutuhkan beberapa tuntunan, atau mengenai ekonomi yang membutuhkan beberapa tuntunan, atau mengenai peperangan yang membutuhkan beberapa gemlengan, atau mengenai perdamaian yang membutuhkan beberapa kebijaksanaan, atau mengenai kebutuhan hidup sehari-hari yang membutuhkan beberapa adab dan cara terutama mengenai perubahan negara yang membutuhkan beberapa peraturan dan siasat untuk menjamin keselamatan serta kehormatan negara dan rakyatnya. Terutama perubahan yang sangat berkenaan dengan agama. Dari itu, Nabi besar kita Muhammad saw. dalam Isra Mikrajnya diberi petunjuk dan contoh-contoh yang dapat dipergunakan menjadi pedoman untuk mengatasi dan menyempurnakan akan datangnya perubahan-perubahan tersebut di atas.”

“2. Mencoba sampai di mana kepercayaan para pengikut kepadanya.”

Baca juga: Isyarat Ilmiah dalam Peristiwa Mikraj dalam Pembacaan Bisri Musthofa

“3. Dalam Isra Mikraj mengandung isi berupa pelajaran-pelajaran dan didikan-didikan yang sangat penting bagi umat yang dalam kemudian hari akan ditinggalkan nabinya.”

“4. Mempersatukan seluruh umat kearah tujuan utamadan luhur, ialah menegakkan negara, bangsa, dan negara.”

“5. Memberi contoh bagaimana cara melaksanakan cita-cita umat dengan disertai pertanggungjawaban yang penuh dengan merasa bahwa dirinya untuk kepentingan umat.”

Oleh: Muhammad Khusnu Zain dan Sintia Yuliani Reseta Dewi

Kolaborasi Peringatan Lima Tahun IBTimes.ID dengan tafsiralquran.id

0
perayaan lima tahun IBTimes.ID
perayaan lima tahun IBTimes.ID

Pada peringatan lima tahun IBTimes.ID, tafsiralquran.id ikut berkolaborasi sebagai media partner. Kali ini IBTimes.ID merayakan ulang tahunnya yang kelima dengan menyelenggarakan IBFest, sebuah hajatan besar berlokasi di Laboratorium IsDB FISHIPOL UNY. Dimeriahkan oleh Husein Ja’far Alhadar, Yusril Fahriza, Alimatul Qibtiyah, dan Farchan Noor. Di event ini juga, para penulis IBTimes.ID berkumpul untuk membincangkan narasi ke depan IBTimes.ID.

Dilansir dari laporan penyelenggara, kesempatan ini juga menjadi momentum untuk kilas balik perjalanan lima tahun IBTimes.ID. Komunitas ini berawal dari hasil perbincangan sebuah tongkrongan beberapa orang saja, namun pada perjalanannya, ide tersebut, pelan-pelan berhasil mereka wujudkan. “Bermula dari ide tongkrongan, IBTimes.ID kini berhasil membuktikan dirinya sebagai kanal media keislaman yang mampu mewarnai narasi keberislaman di Indonesia!”. Demikian kutipan dari redaksi IB.Times.ID

Diskusi dan temu penulis muda dalam acara lima tahun IBTimes
Diskusi dan temu penulis muda dalam acara lima tahun IBTimes

IBTimes.ID secara resmi di-launching pada tanggal 10 April 2019, di Hotel Mutiara, Yogyakarta. Bagi komunitas yang berfokus dalam dunia digital, tentu bukan perjalanan yang mudah untuk bisa bertahan hingga tahun kelima. Dunia digital sangat dinamis dalam waktu yang sangat cepat dan singkat. Oleh karena itu, banyak gebrakan dan inovasi yang dilakukan oleh teman-teman IB.Times.ID untuk mencapai hal ini.

Mulai dari melembagakan ide, menetapkan branding, menyelenggarakan beberapa event, berkolaborasi dengan berbagai pihak dan lainnya, telah dilakukan oleh teman-teman IB.Times.ID. Berikut kutipan dari portal IB.Times.ID tentang hal tersebut,

“Supaya long-last, sebuah ide itu harus dilembagakan!”. Ya! Media ini nggak boleh jadi sekadar akun atau domain tahunan aja, harus diseriusi, harus dilembagakan. Tok, akhirnya disepakati untuk bikin perusahaan yang menaungi media ini: PT Litera Cahaya Bangsa!”

“Memasuki tahun 2022 IBTimes.ID semakin memantapkan branding-nya sebagai kanal media online. 2000 penulis tercatat sudah pernah menerbitkan tulisan di IBTimes.ID. Beberapa event juga berhasil diselenggarakan seperti pelatihan menulis, magang, dan perlombaan. Tercatat, sudah empat angkatan magang di IBTimes.ID yang sudah diluluskan dan banyak dari mereka telah sukses berkarir dunia jurnalistik profesional dan berkarir sebagai akademisi.”

“Di tahun ini juga, IBTimes.ID juga melakukan kolaborasi dengan berbagai pihak mulai dari NGO, Kementerian, universitas, hingga sesama kanal media online yang memiliki visi yang sama.”

para peserta dalam acara  Diskusi dan Temu Penulis Muda LIma Tahun IBTimes.ID
Para peserta dalam acara Diskusi dan Temu Penulis Muda Lima Tahun IBTimes.ID

Jika mengikuti perjalanan IB.Times.ID tersebut, tampak tiga hal yang sudah dipraktikkan oleh para ‘pejuang’nya, yaitu branding, inovasi dan kolaborasi menjadi kunci eksis mereka hingga lima tahun. Tiga hal ini pula yang sangat mungkin bisa diambil pelajaran oleh junior kanal-kanal keislaman yang lain, seperti tafsiralquran.id.

Semoga kolaborasi ini bisa bermanfaat. Selamat milad yang kelima untuk IBTImes.ID, sukses selalu!

Makna Sujud para Malaikat kepada Nabi Adam

0
sujud
Ilustrasi sujud dalam salat.

Nabi Adam a.s. merupakan nabi pertama sekaligus menjadi salah satu sosok paling banyak diceritakan di dalam Alquran. Kisah beliau tersebar pada sejumlah ayat dan surah. Namun, kisah Nabi Adam a.s. secara komprehensif dapat dijumpai dalam dua surah saja, yakni Q.S. al-Baqarah [2]: 30-38 dan Q.S. al-A’rāf [7]: 11-25.

Kiranya dua surah tersebut sudah dapat mewakili seluruh kisah Nabi Adam a.s. dalam Alquran. Bagian pertama mengisahkan proses penciptaan awal Nabi Adam a.s. hingga Allah mengusirnya dari surga bersama Hawa. Bagian kedua menceritakan perintah Allah kepada para malaikat untuk bersujud kepada Nabi Adam a.s. dan keengganan Iblis bersujud kepada Nabi Adam a.s.

Pada tulisan ini, penulis secara khusus menarik salah satu poin kisah Nabi Adam a.s., yang dilatarbelakangi oleh seorang anak berusia tujuh tahun yang pada suatu hari bertanya kepada penulis, “Mengapa para malaikat bersujud kepada Nabi Adam a.s.? Bukankah bersujud hanya kepada Allah?” Yakni, berkenaan dengan bagaimana posisi sebenarnya sujud para malaikat kepada Nabi Adam a.s.? Apakah sama seperti posisi sujud ketika salat? Serta apa makna di balik itu?

Sebelum dijawab, simak salah satu ayat yang menyebutkan perintah Allah kepada para malaikat untuk bersujud kepada Nabi Adam a.s. pada surah al-Baqarah ayat 34 berikut.

وَاِذْ قُلْنَا لِلْمَلٰىِٕكَةِ اسْجُدُوْا لِاٰدَمَ فَسَجَدُوْٓا اِلَّآ اِبْلِيْسَۗ اَبٰى وَاسْتَكْبَرَۖ وَكَانَ مِنَ الْكٰفِرِيْنَ

(Ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat, “Sujudlah kamu kepada Adam!” Maka, mereka pun sujud, kecuali Iblis. Ia menolaknya dan menyombongkan diri, dan ia termasuk golongan kafir.

Tentang perintah sujud kepada Nabi Adam a.s. ini terdapat dua pendapat ahlu takwil yang dikutip oleh al-Mawardi dalam al-Nukat wa al-’Uyūn (1/101-102). Pertama, perintah sujud tersebut adalah sebagai bentuk memuliakan dan mengagungkan. Kedua, menjadikan Nabi Adam a.s. sebagai kiblat, sehingga Allah memerintahkan para malaikat untuk bersujud kepada kiblatnya sebagai bentuk pengagungan.

Sujud kepada Nabi Adam Adalah Wujud Pemuliaan dan Penghormatan

Berkenaan dengan ayat terkait, al-Shabuni dalam Muhktaṣar Tafsīr Ibnu Kaṡīr (2/432) memaknai bahwa sujud para malaikat kepada Nabi Adam a.s. adalah wujud penghormatan (tasyrīf), memuliakan (takrīm), dan mengagungkan (ta’ẓīm). Adapun al-Baghawi menuturkan pendapat paling kuat berkenaan dengan ayat perintah sujud ini adalah bentuk ketaatan kepada Allah, dalam wujud penghormatan kepada Nabi Adam a.s. Bukan sujud ibadah [Tafsīr al-Baghawī, 1/81].

Lantas, jika tidak sama seperti sujud ibadah kepada Allah, bagaimana posisi sujudnya? Dalam Tafsīr al-Jalālayn (hal. 9) disebutkan bahwa sujud penghormatan tersebut adalah bi al-inḥinā, yakni dengan posisi badan membungkuk. Senada dengan al-Wahidi dalam al-Wajīz li al-Waḥidī (hal. 100), bahwa sujud dalam rangka mengagungkan dan menghormati adalah dalam kondisi membungkukkan badan yang menunjukkan kerendahan diri, bukan meletakkan dahi di atas bumi. Dengan demikian, tidak seperti halnya sujud ketika ibadah salat, menyembah kepada-Nya.

Baca juga: Iblis Termasuk Golongan Malaikat atau Bukan? Ini Kata Ulama

Hal ini kiranya dapat digambarkan sebagaimana dalam film-film atau animasi yang memperlihatkan adegan kedatangan raja, maka disambut oleh penduduk istana dengan badan membungkuk menghadap ke bawah sebagai wujud penghormatan. Kurang lebih seperti itulah penggambaran posisi sujud para malaikat kepada Nabi Adam a.s.

Sebagaimana halnya ungkapan Ibnu Asyur dalam al-Taḥrīr wa al-Tanwīr (1/422), esensi sujud adalah merendahkan tubuh atau menjatuhkan tubuh di atas bumi dengan niat untuk menghormati objek yang tampak di depan mata, seperti sujud kepada raja atau penguasa.

Sujud kepada Nabi Adam a.s. sebagai Kiblat

Sebagian mufasir memaknai sujud kepada Nabi Adam a.s. kala itu adalah menjadikannya sebagai arah kiblat. Sebagaimana pengutipan al-Baghawi dalam Tafsīr al-Baghawī (1/81) yang mengungkapkan bahwa sujud kepada Nabi Adam a.s. adalah sebagai arah kiblat, dengan meniatkan sujud itu ditujukan kepada Allah. Seperti halnya kedudukan Kakbah sebagai kiblat salat, yang mana salat itu sendiri ditujukan semata-mata untuk menyembah Allah.

Baca juga: Esensi Sujud dan Fungsi Masjid yang Sebenarnya

Pendapat ini mengarahkan pemahaman bahwa sujud yang dimaksud ditujukan kepada Allah atas kebesaran-Nya menciptakan manusia sebagai sebaik-baiknya ciptaan sehingga dipercayakan menjadi khalifah di muka bumi. Oleh karenanya, pandangan ini mengatakan bahwa hakikat sujud ini diperuntukkan kepada Allah melalui kiblat Nabi Adam a.s.

Perintah Sujud kepada Nabi Adam a.s. Mengajarkan untuk Memuliakan Orang Berilmu

Sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya, bahwa diperintahkannya sujud kepada Nabi Adam a.s. kala itu adalah bentuk penghormatan, mengagungkan, dan memuliakan. Dan pastilah ini memiliki alasan tersendiri. Salah satunya adalah keunggulan ilmu pengetahuan yang dimilikinya.

Shadiq Ahmad Khan mengutip ungkapan Imam al-Biqa’i dalam tafsirnya yang menjelaskan bahwasanya secara konteks, Allah mengajarkan nama-nama segala sesuatu kepada Nabi Adam a.s. terlebih dahulu. Baru kemudian setelah itu, terjadilah perintah sujud kepada Nabi Adam a.s., disusul dengan penempatan ia di surga, dikeluarkan dari sana, hingga kemudian ditempatkan di bumi beserta anak keturunannya [Fatḥ al-Bayān fī Maqāṣid al-Qur’ān, 1/131].

Dengan begitu, dapat ditemukan poin tersembunyi yang mampu dijadikan pelajaran, yakni pentingnya mengagungkan ilmu pengetahuan dan kelayakan para orang berilmu untuk dihormati dan dimuliakan. Sebab, tatkala Allah mengajarkan ilmu pengetahuan kepada Nabi Adam a.s. yang tidak dimiliki oleh para malaikat, Dia menjadikan Nabi Adam a.s. sebagai contoh penemu dan pengembang ilmu pengetahuan yang telah dimunculkan dalam diri manusia dimulai sejak terciptanya Nabi Adam a.s. hingga anak keturunannya sampai hari kiamat kelak [al-Taḥrīr wa al-Tanwīr, 1/422].

Baca juga: Menyoal Letak Jannah Tempat Tinggal Nabi Adam

Maka, dapat ditemukan jawaban bagi pertanyaan yang telah penulis paparkan di permulaan tulisan ini, bahwa perintah sujud kepada Nabi Adam a.s. kala itu adalah sebagai bentuk memuliakan, mengagungkan, dan menghormati, dengan cara merendahkan badan. Bukan sujud sama halnya posisi salat dengan menempelkan dahi di atas bumi. Dapat pula dikatakan bahwa sujud tersebut ditujukan kepada Allah dengan menjadikan Nabi Adam a.s. sebagai kiblatnya, sebagaimana Kakbah sebagai kiblat salat saat ini.

Akhir kata, bukan tanpa alasan sujud kala itu diperintahkan-Nya. Makna tersembunyi di balik itu ialah, betapa ilmu pengetahuan amat dimuliakan oleh Allah. Siapapun yang berilmu, layak dan patut dihargai dan dihormati. Sebab dengannya, bumi mampu dikembangkan sebagaimana mestinya, serta mengantarkan manusia mempersiapkan amal untuk kehidupan kekal setelah di dunia. Wallāhu a’lamu.

Keutamaan Bulan Zulkaidah

0
Keutamaan Bulan Zulkaidah

Bulan Zulkaidah merupakan satu dari empat bulan haram yang memiliki keutamaan tersendiri dibandingkan bulan-bulan lainnya. Bahkan, kemulian empat bulan mulia ini diabadikan oleh Allah dalam Alquran,

إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ عِندَ اللَّهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْراً فِي كِتَابِ اللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضَ مِنْهَآ أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ فَلاَ تَظْلِمُواْ فِيهِنَّ أَنْفُسَكُمْ

Sesungguhnya jumlah bulan menurut Allah ialah 12 bulan, (sebagaimana) dalam ketetapan Allah pada waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya ada empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menzalimi dirimu dalam (bulan yang empat) itu. (QS at-Taubah [9]: 36).

Adapun beberapa keutamaan Bulan Zulkaidah sebagai berikut:

Baca Juga: Inilah Larangan di Bulan Haram yang Perlu Diketahui

Zulkaidah termasuk bulan-bulan haram

Zulkaidah menjadi bulan pertama dari urutan asyhurul hurum/ bulan-bulan yang diagungkan oleh Allah, yaitu Zulkaidah, Zulhijah, Muharram, dan Rajab. Sebagaimana menurut Ibnu Jarir at-Thabari, ayat di atas membahas tentang jumlah bulan dalam dalam penanggalan Hijriyah yakni ada 12 bulan, dan di antaranya ada empat bulan haram; Zulkaidah, Zulhijah, dan Muharam, juga Rajab. Sejatinya, bulan-bulan haram memiliki keutamaan dan kedudukan yang tinggi di dalam Islam. (Tafsir Jami’ al-Bayan, 16/236)

Hal ini pula seperti dalam sebuah hadis riwayat Qatadah, ketika para sahabat bertanya kepada Rasulullah tentang nama-nama bulan haram yang dimaksud pada ayat di atas, Rasul saw. bersabda:

Ketahuilah bahwa waktu telah kembali ke seperti semula pada hari Allah menciptakan langit dan bumi.  Sesungguhnya jumlah bulan menurut Allah adalah dua belas bulan, di antaranya empat bulan haram, tiga bulan berturut-turut: Dzulqa’dah, Dzulhijjah, dan Muharram, serta Rajab Mudhar yang terletak antara Jumadil dan Syakban. (Muttafaqun ‘alaih)

Pada bulan Zulkaidah dan bulan haram lainnya umat Islam dilarang melakukan peperangan. Namun sebenarnya dari sisi sejarah, bangsa Arab dahulu pada bulan ini tidak melakukan peperangan dan lebih banyak duduk (beristirahat), seperti namanya Dzulqa’dah berasal dari dua suku kata, yaitu dzul artinya memiliki sedangkan qa’dah yang berarti duduk.

Selain itu, Imam al-Baghawi (4/44) menerangkan bahwa muslimin juga dianjurkan untuk memperbanyak ibadah dan amal saleh sebagai penghormatan pada bulan tersebut dan juga meninggalkan  semua dari semua pernuatan zalim dan aniaya. Karena segala dosa dan juga pahala menjadi amat besar di bulan-bulan haram di banding bulan lainnya.

Baca Juga: Tafsir Surah Ali Imran Ayat 97:Istito’ah Sebagai Syarat Wajib Haji

Menjadi bulan dilaksanakannya syariat haji

Dalam firmanNya QS. Albaqarah [2]: 197

اَلْحَجُّ اَشْهُرٌ مَّعْلُوْمٰتٌۚ

(Musim) haji itu (berlangsung pada) bulan-bulan yang telah dimaklumi.

Imam al-Razi mengatakan kalimat al-hajj asyhurun ma‘lumat sama dengan kalimat asyhur al-hajj asyhur ma‘lumat, maksudnya bahwa haji tidak dapat dilaksanakan kecuali pada bulan-bulan haji itu sendiri. Hal ini tentu saja menggambarkan kekhususan pada bulan haji, tidak seperti kaum jahiliyah yang melaksanakan ibadah haji pada bulan-bulan selain bulan haji tersebut. Adapun mufassirin bersepakat bahwa bulan haji adalah Syawal, Zulkaidah dan berselisih pendapat pada bulan Zulhijah.

Rasulullah melakukan ibadah umrah hanya pada Zulkaidah 

اعْتَمَرَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم أَرْبَعَ عُمَرٍ، كُلَّهُنَّ فِي ذِي القَعْدَةِ، إِلَّا الَّتِي كَانَتْ مَعَ حَجَّتِهِ، عُمْرَةً مِنَ الحُدَيْبِيَةِ فِي ذِي القَعْدَةِ، وَعُمْرَةً مِنَ العَامِ المُقْبِلِ فِي ذِي القَعْدَةِ، وَعُمْرَةً مِنَ الجِعْرَانَةِ، حَيْثُ قَسَمَ غَنَائِمَ حُنَيْنٍ فِي  ذِي القَعْدَةِ، وَعُمْرَةً مَعَ حَجَّتِهِ (رواه البخاري)

Rasulullah saw berumrah sebanyak empat kali, semuanya pada bulan Dzulqa’dah kecuali umrah yang dilaksanakan bersama haji beliau. Yaitu satu umrah dari Hudaibiyah, satu umrah pada tahun berikutnya, satu umrah dari Ji’ranah ketika membagikan rampasan perang Hunain dan satu lagi umrah bersama haji. (HR al-Bukhari)

Menurut Imam an-Nawawi ada dua alasan yang mendasari mengapa Rasulullah memilih umrah pada bulan tersebut. Pertama, karena besarnya keutamaan bulan Zulkaidah. Kedua, untuk menyelisihi keyakinan orang-orang Jahiliah yang mengira bahwa umrah di bulan Zulkaidah merupakan perbuatan paling nista.

Baca Juga: Bulan Muharam: Bulan Persaudaraan

Karena itu melaksanakan ibadah umrah pada bulan Zulkaidah memiliki keutamaan tersendiri. Bahkan sebagian ulama berpendapat bahwa umrah di bulan Zulkaidah adalah umrah paling utama setelah umrah di bulan Ramadan. Sebagaimana pendapat Imam as-Syaukani (6/339) alasannya sebab seluruh umrah Nabi saw dilaksanakan pada bulan tersebut.

Peristiwa bersejarah yang terjadi di Bulan Zulkaidah

Jika memperhatikan tentang kemuliaan bulan Zulkaidah dilihat dari sisi sejarah, maka akan  didapatkan beberapa peristiwa besar di dalamnya. Di antaranya, peristiwa yang termaktub dalam QS. al-A’raf: 142 bahwa ketika Allah menjanjikan Taurat, Dia sebelumnya memerintahkan Nabi Musa untuk berpuasa dan berkhalwat selama 30 hari itu terjadi pada bulan Zulkaidah. Namun karena beliau berbuat kesalahan lalu Allah memerintahkannya menambah 10 malam di bulan Dzulhijjah.  (Tafsir Ibnu Katsir, 3/468)

Terjadi Perang Bani Quraidzah pada akhir Zulkaidah dan awal Zulhijah tahun ke-5 Hijriyah. Allah memerintahkan Rasulullah memerangi Bani Quraidzah, salah satu kabilah Yahudi di Madinah. Perang ini dipicu karena pengkhianatan kaum Yahudi terhadap kesepakatan bersama. (Sirah Nabawiyah)

Peristiwa besar Islam lain di bulan Zulkaidah ialah terjadinya perjanjian Hudaibiyah, perjanjian gencatan sejata antara kaum muslimin dengan kaum kafir Quraisy. Ini merupakan strategi dan upaya Rasulullah meredakan ketegangan antara kaum muslimin Islam dengan kaum musyrik Quraisy. Selain itu pada bulan ini Rasul menikahi Siti Zainab binti Jahsy Al-Asad (tahun 4 H) dan Sayyidah Maimunah binti Al-Harits (tahun 7 H).

Wallahu a’lam.[]

Menelusuri Jejak Mufasir dari Kalangan Sahabat

0
jejak mufasir dari kalangan sahabat
jejak mufasir dari kalangan sahabat

Para sahabat menghabiskan hari-harinya untuk menghafal Alquran, membacanya, dan merenungi maknanya. Mereka berlomba-lomba mempelajari, menafsirkan, dan mengamalkan kandungannya. Mereka juga tidak melewatkan sepuluh ayat sampai mereka memahami kandungannnya dan mengamalkannya.

As-Suyuthi menyebutkan dalam al-Itqan bahwa di antara sahabat yang terkenal dengan penafsirannya terhadap Alquran adalah para khulafa’ ar-rasyidin, Ibnu Mas’ud, Ibnu Abbas, Ubay bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit, Abu Musa al-Asy’ari, dan Abdullah bin Zubair. Mereka menafsirkan Alquran dari penjelasan yang mereka dengar dari Rasulullah saw. atau kesaksian mereka dari proses dan sebab turunnya Alquran, atau juga atas dasar ijtihad mereka dalam menafsirkan Alquran.

Penafsiran yang muncul dari Abu Bakar, Umar bin Khattab dan Utsman bin ‘Affan itu hanya ditemukan sedikit saja. Hal ini karena mereka telah wafat terlebih dahulu  pada masa gencar-gencarnya penafsiran Alquran. Selain itu, mereka  juga disibukkan dengan urusan kekhalifahan serta penaklukan wilayah-wilayah Islam. Begitu juga dengan Zaid bin Tsabit, Abu Musa al-Asy’ari, dan Abdullah bin Zubair yang ditemukan sedikit riwayat penafsirannya.

Sedangkan Ali bin Abi Thalib banyak ditemukan riwayat tafsirnya dan beliau wafat pada masa banyaknya kebutuhan masyarakat dalam memahami makna yang terkandung dalam Alquran. Begitu juga dengan Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Mas’ud, dan Ubay bin Ka’ab yang memiliki pemahaman yang baik dalam bahasa Arab dan gaya bahasa Arab, serta berinteraksi langsung dengan Rasulullah saw, sehingga mereka mampu berijtihad dalam menafsirkan ayat-ayat Alquran.

Baca Juga: Perhatian Sahabat dan Tabiin Terhadap Tafsir Alquran

Beberapa mufasir dari kalangan sahabat

Dalam at-Tafsir wa al-Mufassirun karya Husain Ad-Dzahabi disebutkan beberapa mufasir dari kalangan sahabat.

Pertama, Abdullah bin Abbas bin Muthalib bin Hasyim bin Abdi Manaf. Beliau adalah anak paman Rasulullah saw. yang selalu mengikuti jejak langkah Rasulullah saw. sejak beliau masih kecil. Bibinya yakni Maimunah adalah istri Rasul. Usianya tiga belas tahun pada saat Rasulullah wafat, sehingga setelah wafatnya Rasul beliau menimba ilmu kepada para sahabat senior.

Ibnu Abbas dijuluki dengan al-habru (saleh) dan al-bahru (lautan) karena ilmunya yang luas. Beliau memiliki kedudukan yang agung dalam berijtihad dan mengetahui makna-makna yang terkandung dalam Alquran. Bahkan sahabat Umar bin Khattab bersama sahabat senior lainnya pernah duduk di majelis ilmu Ibnu Abbas untuk menimba ilmu darinya. Kehidupan Ibnu Abbas dihabiskan dengan belajar dan mengajar.

Beberapa peneliti mengugkap bahwa di antara sebab-sebab kecerdasan Ibnu Abbas adalah doa Rasulullah saw. kepadanya اللّهم عَلِّمْهُ الْكِتَابَ والْحِكْمَةَ atau dalam riwayat lain disebutkan اللّهم فَقِّهْهُ فِيْ الدِّيْنِ وَعَلِّمْهُ التَّأْوِيْلِ. Beliau juga tumbuh besar di rumah Rasul serta keikutsertaannya secara konsisten dalam dakwah Rasul, Ibn Abbas juga senantiasa menimba ilmu kepada para sahabat senior setelah wafatnya Rasul, pemahamannya terhadap bahasa Arab juga sangat baik, mampu berijtihad, dan berani mengatakan suatu kebenaran, meski berbeda dengan kebanyakan sahabat yang lain pada saat itu.

Kedua, Abdullah bin Mas’ud bin Ghafil. Beliau adalah sahabat penghafal Alquran yang bacaannya disukai Rasulullah saw. Hal ini sebagaimana suatu riwayat yang menyebutkan Rasulullah meminta Ibnu Mas’ud membacakan Q.S. An-Nisa’ dan ketika sampai pada ayat فَكَيْفَ إذَا جِئْنَا مِنْ كلِّ أُمَّةٍ بِشَهِيْدٍ وَجِئْنا بِكَ عَلَى هَؤُلاَءِ شَهِيْدًا, Rasulullah menangis dan berkata “Barang siapa senang membaca Alquran dengan benar sebagaimana ketika diturunkan, maka hendaklah dia membaca Alquran berdasarkan bacaan Ibnu Ummi ‘Abd (Ibnu Mas’ud)” (HR. Ibnu Majah Nomor 135).

Ibnu Mas’ud adalah sahabat yang paling ‘alim terhadap Alquran, beliau juga sahabat yang paling mengerti mengenai ayat-ayat muhkam dan mutasyabih, hukum halal dan haram, kisah-kisah dalam Alquran, sebab-sebab turunnya Alquran, mendalam ilmu agamanya, dan mengetahui sunnah Nabi.

Baca Juga: Mengenal Kitab Tafsir Ibnu Abbas al-Musamma Shahifah Ali bin Abi Talhah

Ketiga, Ali bin Abi Thalib yang merupakan menantu Rasulullah sekaligus anak paman Rasul. Ibunya bernama Fatimah binti Asad bin Hasyim. Ali merupakan salah satu dari golongan pertama yang masuk Islam dan membenarkan ajaran Rasul serta ikut hijrah bersama Rasul.

Ali bin Abi Thalib merupakan lautan ilmu yang kuat hujjahnya serta mampu menentukan hukum dengan benar. Beliau juga mampu melihat sesuatu yang hanya bisa dilihat dengan mata batin dan banyak sekali sahabat yang berkonsultasi kepadanya untuk menjawab persoalan-persoalan. Ali merupakan orang yang matang akalnya, cerdas, dan melimpah ilmunya.

Banyak sekali riwayat penafsiran yang bersumber dari Ali, tetapi perlu diketahui bahwa riwayat tafsir yang shahih dari Ali itu sedikit. Hal ini karena munculnya kelompok Syiah yang terlalu fanatik terhadap Ali sehingga mereka membuat-buat hadis untuk membela  kelompok mereka.

Keempat, Ubay bin Ka’ab bin Qays dari golongan sahabat Anshar. Beliau adalah orang yang pertama kali menuliskan wahyu untuk Rasulullah saw. Kecerdasannya menjadikannya banyak memahami makna-makna, dan rahasia-rahasia yang terkandung dalam Alquran. Beliau juga banyak mengetahui tentang sebab-sebab diturunkannya Alquran, ayat-ayat yang diturunkan terlebih dahulu dan ayat-ayat yang diturunkan belakangan, dan teori naskh mansukh.

Banyak riwayat tafsir yang berasal dari Ubay ini dinilai shahih dan muttashil dengan jalur periwayatan yang berbeda-beda, tetapi sebagian ulama juga masih meninjau ulang tafsir-tafsir yang dinisbatkan kepadanya karena sebagaimana sahabat-sahabat lain, ternyata juga banyak ditemukan riwayat palsu yang dinisbatkan kepadanya.

Mufasir dari kalangan para sahabat ini bisa jadi masih banyak lagi, namun catatan tentang mereka mungkin masih terbatas. Penafsiran dari mereka pun juga masih berupa riwayat yang sangat sering terserak di beberapa tempat, belum terkumpul dalam satu jilid kitab. Dari beberapa sahabat yang tersebut di pembahasan, mungkin tidak hanya sebagian sahabat yang riwayat-riwayat penafsirannya sudah dikompilasi dalam satu kitab.

Oleh karena itu, pengkajian tentang penafsiran sahabat ini masih sangat terbuka untuk dilanjutkan. Wallah a’lam.

Tafsir Hidayatul Quran; Ngaji Bandongan dalam Bentuk Tulisan

0
Hidayatul Quran fi Tafsir al-Quran bi al-Quran
Hidayatul Quran fi Tafsir al-Quran bi al-Quran

Di antara metode penafsiran Alquran yang dipakai oleh para ulama adalah metode penafsiran alquran bil quran. Tafsor yang menggunakan metode ini biasanya dikategorikan dalam tafsir bil ma’tsur. Selain menafsirkan dengan sesama ayat Alquran, tafsir ini juga menggunakan as-sunnah an-nabawiyah, pendapat sahabat, juga tabi’in.

Model tafsir seperti yang telah disebut bisa dijumpai pada beberapa kitab tafsir, seperti Jami’ al Bayan ‘an Ta’wil Ayi Alquran karangan Ibn Jarir al-Thabari; ad-Durr al-Mantsur fi at-Tafsir bi al-Ma’tsur karya Jalal ad-Din as-Suyuthi; Adhwa’ al-Bayan fi Idhah Alquran bi Alquran susunan Muhammad al-Amin bin Muhammad al-Mukhtar al-Jakani asy-Syinqithi; dan kitab-kitab tafsir lainnya.

Bagi sebagian ulama, menafsirkan ayat Alquran dengan merujuk pada ayat Alquran yang lain dikatakan sebagai cara penafsiran Alquran yang paling utama. Alasannya, karena Alquran itu sendiri adalah rujukan paling tepat dalam penafsiran, selain as-Sunnah an-Nabawiyah yang juga berfungsi sebagai pensyarah dan penjelas Alquran.

Di samping itu, idealnya, orang yang berbicara tentang suatu hal, sudah pasti dia mengetahui maksud dari apa yang dibicarakannya tersebut. Begitu pula Allah sebagai pemilik firman-firman dalam Alquran, sudah pasti dan tidak ada keraguan jika Ia mengetahui segala sesuatu apapun itu, termasuk makna Kalam-kalam-Nya, sehingga tidak ada satupun yang lebih mengetahui makna Kalam Allah, kecuali Allah sendiri, beitu juga dengan tujuan dan maupun maqasid-nya.

Karakter ayat Alquran juga berbeda-beda. Ada kalanya ayat yang masih umum penjelasannya (mujmal), yang ternyata rincian penjelasannya ditemukan di ayat lain (mubayyin). Ada juga suatu ayat yang konteksnya umum (‘am) namun menjadi khusus (khas) di ayat yang lain. Ada pula ayat yang ringkas redaksinya (ijaz), lalu diberikan detail penjelasannya di ayat lain (ithnab).

Hal ini menunjukkan bahwa pada hakikatnya Alquran saling menjelaskan antar ayatnya hingga membentuk satu kesatuan yang holistik dalam penafsiran. Bahkan, Allah telah menegaskan bahwa Alquran adalah penjelas bagi segala sesuatu, tidak terkecuali ia juga penjelas bagi dirinya;

 وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْكِتٰبَ تِبْيَانًا لِّكُلِّ شَيْءٍ وَّهُدًى وَّرَحْمَةً وَّبُشْرٰى لِلْمُسْلِمِيْنَ ࣖ ٨٩

Kami turunkan Kitab (Al-Qur’an) kepadamu untuk menjelaskan segala sesuatu sebagai petunjuk, rahmat, dan kabar gembira bagi orang-orang muslim. (Q.S. an-Nahl: 89)

Baca Juga: Gus Awis: Tidak Cukup Menafsirkan Al-Quran Hanya Bermodalkan Bahasa Arab

Tafsir Hidayatul Qur’an

Salah satu ulama muda Nusantara yang telah selesai menyusun kitab tafsir dengan metode tafsir al-Quran bi al-Quran adalah Dr. KH. Afifuddin Dimyathi, Lc., MA., atau yang lebih akrab dipanggil Gus Awis. Dalam kurun waktu kurang lebih sekitar 18 bulan, beliau telah berhasil menyelesaikan salah satu karya terbaiknya dalam tafsir Alquran. Karya tersebut kemudian beliau beri nama “Tafsir Hidayatul Quran Fi Tafsir al-Qur’an bi al-Qur’an”.

Tafsir ini merupakan tafsir Alquran lengkap 30 juz yang disusun secara tartib mushafi dengan metode penafsiran al-Qur’an bi al-Qur’an, dan disusun apik dalam 4 jilid menggunakan bahasa Arab. Jilid pertama dimulai dari surah al-Fatihah sampai surah al-An’am. Jilid kedua dari surah al-A’raf sampai surah Maryam. Jilid ketiga mulai dari surah Taha sampai surah Shad. Sedangkan jilid ke empat dimulai dari surah az-Zumar hingga surah an-Nas.

Pemilihan nama Hidayatul Quran -sebagaimana disampaikan Gus Awis dalam muqoddimah– merupakan bentuk tabarruk pada nama pesantren yang beliau asuh di Jombang, Jawa Timur. Nama pesantren ini adalah pemberian dari KH. Mufid Mas’ud. KH. Mufid Mas’ud sendiri, merupakan guru beliau sekaligus pendiri pondok Pesantren Sunan Pandanaran Yogyakarta. Nama “Hidayatul Quran” yang berarti ‘Petunjuk Alquran’, juga selaras dengan tujuan beliau untuk menyajikan sebuah kitab tafsir yang penjelasan ayatnya dijelaskan oleh ayat lain. Artinya, ayat Alquran dijelaskan oleh Alquran itu sendiri yang notabene adalah hudan/petunjuk.

Melalui muqaddimah-nya, Gus Awis sebagai muallif banyak memberi penekanan bahwa tafsir Hidayatul Quran ditulis dengan gaya yang ringan dan mudah, sehingga dapat dipahami sekaligus dirasakan manfaatnya oleh seluruh kalangan. Di samping membantu para huffadz maupun akademisi dalam menyelami keindahan Alquran, muallif juga menginginkan tafsir ini nantinya dapat dikaji oleh kalangan santri dan masyarakat awam di pengajian-pengajian pesantren maupun majelis ta’lim lainnya. Motivasi inilah yang menjadikan tafsir Hidayatul Quran disusun sedemikian rupa agar mudah “dingajikan” sekaligus menebar banyak kemanfaatan.

Baca Juga: Pesan Gus Awis: “Galilah Khazanah Tafsir dengan Manhaj Ulama Kita!”

Model penafsiran dengan ‘bandongan’

Dari segi penulisan dan penyajian, tafsir Hidayatul Quran cenderung menerapkan metode ‘bandongan’ dalam pemaparan isinya. Metode ‘bandongan’ merupakan salah satu metode pembelajaran yang masih eksis bertahan di pondok-pondok pesantren khususnya di Indonesia, di samping metode sorogan.

Dalam kamus bahasa Indonesia, kata ‘bandongan’ mempunyai arti pembelajaran yang dilakukan dalam bentuk kelas tertentu. Sedangkan secara istilah, menurut Zamakhsyari Dhofier dalam “Studi Pandangan Hidup Kyai dan Visinya mengenai Masa Depan Indonesia”, ‘bandongan’ adalah pembelajaran yang diikuti 5 orang atau lebih dengan cara menyimak apa yang dibaca guru atau kyai dari setiap kosa kata dalam kitab dengan keterangan dalam bahasa daerah tertentu.

Kegiatan pembelajaran metode bandongan ini hanya berpusat pada kyai saja, sedangkan santri hanya duduk mengelilinginya sambil mendengar dan menerima penjelasan dari kyai tanpa ada kesempatan untuk bertanya. Dalam metode ini, materi ngaji langsung dijelaskan oleh sang kyai, ini akan meminimalisir kesalahan dalam memahami kitab. Bandongan juga akan mudah menciptakan pemahaman para santri, karena sering diulang-ulang.

Pada tafsir Hidayatul Quran, cara yang digunakan muallif dalam penulisan dan penyajian tafsirnya sangat praktis dan menarik. Pada permulaan surah, beliau memulai dengan menyebut nama surahnya, lalu menjelaskan makiyyah atau madaniyah nya, kemudian menyebutkan jumlah ayat di dalamnya berdasarkan pendapat mayoritas ulama dan para mufassir muktabar. Selanjutnya, pengarang mulai menyebutkan ayat secara utuh dan disusul dengan penjelasan tafsirnya.

Ciri khasnya, setiap sebelum menyebutkan tafsir ayatnya, Gus Awis selalu mengawali dengan tulisan ‘wa al-ma’na’. Hal ini tidak asing kita jumpai ketika ikut ngaji bandongan. Para kyai dan guru yang selesai membacakan isi penggalan sebuah kitab, beliau-beliau akan langsung menjelaskan maknanya. Bahkan beberapa di antaranya tak jarang menggunakan kata tegese (maksudnya ‘adalah’) ketika ingin menyampaikan maksud ibarah dalam kitab. Oleh karenanya, ketika membaca tafsir ini, kita seolah-olah sedang ngaji ‘bandongan’ dengan cara mendengar penjelasan muallif langsung dan ikut maknani tiap ayat yang dibacakan, walaupun hanya dalam bentuk tulisan.

Aspek lain yang membuat nuansa ‘bandongan’ semakin terasa adalah absennya beberapa penafsiran ayat. Dalam beberapa ayat, muallif kadang hanya menyebutkan ayat saja tanpa memberi penafsiran. Beliau sendiri mengakui bahwa hal ini merupakan bentuk keterbatasan beliau dalam menemukan tafsir ayat tersebut dari ayat-ayat lain.

Hal ini juga familier sekali bagi kita yang pernah mengikuti metode ngaji ‘bandongan’. Para guru dan kyai juga melakukan pembacaan ibarah dalam kitab tanpa diberikan makna dan penjelasan. Hal demikian bisa jadi karena dua hal. Pertama, mereka hanya membacakan isi kitab tanpa memberikan penjelasan, dengan tujuan agar cepat hatamnya. Metode ‘bandongan’ seperti ini dekat dengan metode ngaji pasaran. Kedua, karena tidak diketaui pasti makna aslinya.

Para guru ataupun kyai dalam memberikan penjelasan tidak pernah memaksakan apa yang tidak mereka ketahui, sehingga, ketika mendapati kalimat yang pemahamannya belum pasti, mereka ini akan lebih memilih untuk tawaqquf dan tidak memaksakan memberi penjelasan. Namun, hal demikian jarang sekali terjadi karena mayoritas para guru dan kyai yang memberikan pengajian, sudah sangat mendalam ilmunya. Begitu pula absennya penafsiran beberapa ayat dalam tafsir ini oleh muallif. Ketiadaan tafsiran ayat tersebut memang ada, tapi sangat sedikit jumlahnya.

Baca Juga: Gus Awis: Ulama Muda, Pakar Sastra dan Tafsir Al-Qur’an yang Produktif dari Indonesia

Penjelasan tafsir yang mudah

Dari segi bentuk penjelasan, tafsir Hidayatul Quran juga tidak kalah praktis dan menarik. Dengan gaya bahasa dan diksi kata yang jelas dan sangat mudah dipahami, tafsir ini menampilkan kesan Alquran yang mudah dan menyenangkan untuk di-tadabbur-i. Alquran beserta tafsirnya, tidak lagi terlihat begitu rumit dan jelimet. Apalagi penjelasan ayatnya dijelaskan oleh ayat lain yang kemudian menjadi kesinambungan antar ayat.

Pada ayat-ayat yang memuat hukum fiqih, muallif juga tidak terlalu panjang lebar membahas ketentuan hukum hingga perdebatan ulama di dalamnya. Muallif cukup menyebutkan makna ayat secara simpel, atau terkadang dengan menyertakan komentar beberapa ulama, dengan tetap berpaku mendatangkan ayat-ayat lain yang menafsirkan ayat tersebut. Inilah salah satu ciri khas tafsir Hidayatul Quran yang membedakannya dengan kitab-kitab tafsir sebelumnya. Meski sama-sama menggunakan metode tafsir al-Quran bi al-Quran.

Ada kalanya muallif juga memfokuskan pemahaman ayat yang masih umum dengan ayat lain yang punya pemahaman lebih khusus. Di lain tempat, muallif juga memberi batasan pada ayat yang masih mutlak maknanya dengan menggunakan ayat lain yang maknanya sudah dibatasi. Tak jarang juga, muallif memberi detail penjelasan pada ayat yang masih mubham penjelasannya melalui ayat lain.

Selain itu, apabila terdapat naskh hukum dalam sebuah ayat, muallif juga menampilkan riwayat-riwayat yang menjelaskan naskh hukum ayat tersebut dengan hukum di ayat lain secara ringkas tanpa bertele-tele.

Baca Juga: Serial Diskusi Tafsir Ngaji Kitab Jam’ul ‘Abir fi Kutub Tafsir Bareng Gus Awis

Penafsiran yang holistis

Terkadang muallif juga menafsirkan ayat yang ringkas dengan mendatangkan ayat lain yang lebih luas dan lebih rinci maknanya. Misalnya ketika menafsirkan surah al-Baqarah ayat 164:

اِنَّ فِيْ خَلْقِ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِ وَاخْتِلَافِ الَّيْلِ وَالنَّهَارِ وَالْفُلْكِ الَّتِيْ تَجْرِيْ فِى الْبَحْرِ بِمَا يَنْفَعُ النَّاسَ وَمَآ اَنْزَلَ اللّٰهُ مِنَ السَّمَاۤءِ مِنْ مَّاۤءٍ فَاَحْيَا بِهِ الْاَرْضَ بَعْدَ مَوْتِهَا وَبَثَّ فِيْهَا مِنْ كُلِّ دَاۤبَّةٍ ۖ وَّتَصْرِيْفِ الرِّيٰحِ وَالسَّحَابِ الْمُسَخَّرِ بَيْنَ السَّمَاۤءِ وَالْاَرْضِ لَاٰيٰتٍ لِّقَوْمٍ يَّعْقِلُوْنَ ١٦٤

Sesungguhnya pada penciptaan langit dan bumi, pergantian malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut dengan (muatan) yang bermanfaat bagi manusia, apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengannya Dia menghidupkan bumi setelah mati (kering), dan Dia menebarkan di dalamnya semua jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi, (semua itu) sungguh merupakan tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang mengerti.

Ayat tersebut diperinci satu persatu oleh muallif dengan mendatangkan ayat-ayat lain yang sesuai dengan pembahasan. Pada penciptaan langit, muallif menjelaskannya dengan surah Qaf ayat 8-6 dan surah Al-Mulk ayat 5-3. Pada penciptaan bumi, diperinci lagi dengan surah al-Mulk ayat 15. Pergantian siang dan malam juga diperinci dengan surah al-Furqon ayat 62, Yunus ayat 5 dan al-Qashas ayat 72-71. Begitu pula seterusnya tentang fenomena alam lain yang disebutkan di ayat tersebut, sehingga sebagai pembaca, layaknya ngaji bandongan, pembaca sedang dijelaskan oleh muallif tentang rincian suatu ayat, sekaligus mengetahui ayat lain yang sepadan sebagai penjelas ayat.

Pengumpulan ayat dengan tema yang sama, juga menunjukkan sisi holistis tafsir Hidayatul Quran dalam menafsirkan suatu ayat. Sama halnya ketika menyebutkan rincian kisah dalam Alquran, muallif menyisipkan ayat-ayat yang membahas kisah tersebut, sehingga dapat menyelesaikan detail cerita secara utuh dan indah.

Misalnya, kisah permohonan ampun dari Nabi Ibrahim a.s untuk bapaknya yang diawali surah Maryam ayat 47, lalu dijelaskan runtutan ceritanya dari ayat-ayat lain, yaitu surah asy-Syu’ara ayat 86, al- Mumtahanah ayat 4, dan terakhir surah at-Taubah ayat 114.

Jika terdapat ayat dengan redaksi maupun makna yang sama atau ayat-ayat yang seakan-akan bertentangan, muallif juga tidak lupa untuk menyebutkan dan atau mengkompromikannya. Hal ini tentu memberikan kemudahan bagi para pembaca, apalagi bagi para penghafal Alquran yang mengalami kesulitan menghafal ayat-ayat Alquran dengan redaksi yang mirip, sekaligus dapat mempelajari penafsiran ayat-ayatnya.

Sementara itu, mengenai proses penyusunan Tafsir Hidayatul Quran, hal ini benar-benar membutuhkan usaha yang besar dan bacaan yang luas. Dalam rangka mendatangkan ayat lain untuk menyimpulkan makna yang tepat dan akurat untuk sebuah ayat, Gus Awis telah merujuk ke beberapa kitab yang muktabar, baik kitab tafsir, kitab hadis, maupun kitab lain yang menunjang penafsiran al-Qur’an bi al-Qur’an.

Baca Juga: Ketika Penafsiran Hanya Dengan Bahasa Arab, Ini Contoh Tafsir Lughawi yang Menyimpang

Rujukan tafsir Hidayatul Quran

Di antara kitab tafsir yang sering beliau rujuk sekaligus menjadi inspirasi dalam penulisan tafsirnya adalah tafsir Imam As-Syinqithi, yang berjudul Adhwa’ al-Bayan Fi Idhah al-Quran Bil Quran. Beliau juga sering mengutip pendapat Imam Ibnu Katsir dalam tafsirnya, Tafsir al-Quran alAdzhim. Terdapat pula rujukan dari Tafsir al-Wasith karya Syekh Muhammad Sayyid Thanthawi, Mafatih al-Ghaib karya Imam Fakhruddin Al-Razi, al-Jami’ Li Ahkam al-Qur’an karya Imam al-Qurtubi, Ahkam Alquran karya Imam al-Jashash, Jami’ al-Bayan Fi Ta’wil al-Qur’an karya Imam at-Thabari, Tafsir al-Munir karya Wahbah az-Zuhaili, Mahasin At-Takwil karya Syekh Muhammad Qasim bin Sa’id Al-Qosimi, al-Kasysyaf karya Imam az-Zamakhsyari, at-Tahrir Wa at-Tanwir karya Ibnu Asyur, Tafsir ar-Raghib al-Asfahani karya Imam Al-Asfahani, dan  masih banyak lagi rujukan tafsir yang beliau gunakan.

Adwa' al-Bayan fi Idhah al-Qur'an bi al-Qur'an_salah satu rujukan tafsir Hidayatul Qur'an
Adwa’ al-Bayan fi Idhah al-Qur’an bi al-Qur’an_salah satu rujukan tafsir Hidayatul Qur’an

Selain dari kitab-kitab tafsir, muallif juga menyebutkan hadis-hadis untuk menambah penjelasan suatu ayat. Hadis-hadis ini beliau kutip dari kitab-kitab hadis yang muktabar, di antaranya ada Shahih Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Abi Daud, Musnad Ahmad, dan kitab hadis lainnya. Hadis-hadis yang beliau gunakan dalam kitabnya ini juga semakin memperkuat status metode tafsir kitab ini yang berupa tafsir bi al-ma’tsur.

Selain itu, dari aspek bahasa, muallif terkadang memberi arti kata secara langsung. Hal ini disematkan oleh beliau untuk memperjelas arti kata, atau bahkan untuk mempertegas kata tertentu. Di lain tempat, beliau juga menambahkan penjelasan dari kamus-kamus Alquran, salah satunya dari kitab al-Mufrodat fi Gharib al-Qur’an karya Imam Al-Asfahani.

Nuansa madzhab tafsir Hidayatul Qur’an

Secara akidah, Tafsir Hidayatul Quran dapat dikategorikan sebagai tafsir dengan madzhab Asy’ari. Hal ini terlihat jelas dari metode tafwidh yang digunakan muallif dalam menafsirkan ayat-ayat mutasyabihat. Tafwidh adalah menyerahkan atau mengembalikan makna sesungguhnya kepada Allah swt. tanpa menafsirkan lebih jauh, disertai keyakinan bahwa makna zahir ayat tidak dimaksudkan oleh Allah dan rasul-Nya.

Hal ini dapat dilihat pada penafsiran muallif tentang al-ahruf al-muqatta’ah (huruf-huruf di awal surah seperti Alif Lam Mim, Nun, dan lain-lain), makna “istawa” di surah al-Baqarah ayat 29, dan makna “wajhullah” di surah al-Baqarah ayat 115. Pada ketiga penafsiran ini, Gus Awis memilih untuk tidak menafsirkan lebih jauh serta cenderung menyerahkan makna sesungguhnya kepada Allah swt.

Ke-Asy’ariyah-an beliau ini dilatarbelakangi oleh nasab dan perjalanan studi beliau. Dari sisi nasab, beliau sudah sangat masyhur dikenal sebagai dzuriah dari keluarga yang nuansa ahlu sunnah wa al-jamaah yang begitu kental.

Dari segi perjalanan studi, beliau merupakan lulusan pondok pesantren Pandanaran. Di tingkat universitas, beliau lulusan Al-Azhar, Mesir dan Universitas Khartoum, Sudan. Kesemua lembaga ini merupakan lembaga-lembaga yang sejalan dalam bermadzhab Asy’ari. Bahkan, kini beliau menjabat sebagai Katib Syuriah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) tahun 2022-2027. Oleh karena itu, pemikiran maupun penafsirannya juga tidak terlepas dari jiwa Nahdlatul Ulama yang selalu menjunjung akidah ahlussunnah wal jama’ah.

Begitu pula secara fikih, Tafsir Hidayatul Quran bisa digolongkan tafsir yang bermadzhab Syafi’i. Hal ini terlihat -misalnya- ketika muallif menafsirkan ayat (بِيَدِهٖ عُقْدَةُ النِّكَاحِ ۗ) dengan az-zauj atau suami, lalu mengutip penjelasan dari Imam Ilkiya al-Harrasi dalam tafsirnya Ahkam al-Qur’an yang dikenal bermadzhab Syafi’i. Meskipun demikian, muallif juga tidak fanatik dalam penafsirannya, karena di beberapa tempat juga mengutip tafsir-tafsir lain dari mazhab fiqih lainnya, seperti Ahkam al-Qur’an milik Imam Al-Jashshash yang bermadzhab Hanafi.

Keunggulan dari segi pemaparan tafsir yang mudah, ringkas, dan menarik, membuat Tafsir Hidayatul Quran juga menjadi salah satu master piece untuk dibaca oleh para pengkaji Alquran, khususunya generasi milenial.

Kitab ini sangat sesuai dengan karakter mereka yang menginginkan semuanya serba cepat, praktis dan tidak bertele-tele. Dengan keterampilan dan kemampuan bahasa Arab yang sangat brilian, Gus Awis mampu menyusun tafsir ini dengan Bahasa Arab fushah yang lugas namun tetap sangat mudah untuk dipahami mereka.

bagi pengkaji Alquran yang kemampuan bahasanya masih tergolong cukup, sangat memungkinkan untuk membacanya secara langsung atau bahkan untuk mengajarkannya kepada orang lain karena penjelasannya yang mudah. Oleh karenanya, menjadi benar jika muallif juga menyebut Tafsir Hidayatul Quran dalam kategori tafsir ijmali, yang menguraikan makna secara ringkas dan global sehingga tidak membosankan untuk dibaca dan dipelajari, terutama bagi kaum milenial.

Tafsir Hidayatul Quran juga dapat menjadi referensi bagi kaum milenial dalam mamahami wajah Islam sebagai agama yang cinta kedamaian. Banyak tersirat pesan perdamaian dan moderasi beragama yang disampaikan oleh muallif ketika menafsirkan ayat-ayat yang sedang tranding topic di kalangan milenial.

Misalnya isu tentang “Islam Kaffah” di surah al-Baqarah ayat 208. Ayat ini belakangan pernah dipahami secara srampangan sebagai ajakan untuk mendirikan khilafah islamiyah. Padahal maksud dari ayat ini -sebagaimana yang dijelaskan oleh Gus Awis- adalah mengajak orang-orang beriman untuk masuk ke dalam agama Islam secara totalitas, yaitu dengan totalitas menjalankan ketentuan-ketentuan di dalamnya, menjaga kerukunan dan menghindari permusuhan, serta saling mencintai antar umat muslim.

Pada akhirnya, tafsir yang mulai ditulis pada hari Senin 4 Sya’ban 1443 H. / 7 Maret 2022 M. dan selesai pada hari Kamis 30 Muharram 1445 H. / 17 Agustus 2023 M. ini merupakan tafsir yang penting dalam melengkapi khazanah tafsir, khususnya tafsir nusantara.

Penggunaan metode tafsir al-Quran bi al-Quran dalam penjelasan makna ayat memiliki keistimewaan tersendiri. Salah satunya seperti yang disebutkan oleh KH. Miftachul Akhyar Abdul Ghani, selaku Rais ‘Aam PBNU masa khidmat 2022-2027, ketika memberikan kalimat pengantar di awal Tafsir Hidayatul Quran. Menurut beliau, selain menempatkan Alquran sebagai rujukan paling utama, menafsirkan makna ayat dengan ayat lain sama halnya seperti memahami dan men-tadabbur-i Alquran itu sendiri.

Tafsir Hidayatul Quran juga sangat direkomendasikan untuk dibaca dan dipelajari oleh pegiat ilmu secara umum dan pegiat tafsir secara khusus, serta bagi kaum muslim yang ingin memahami Alquran dengan cara yang mudah dan ringan. Hal ini sebagaimana disampaikan oleh Syekh Prof. Dr. Muhammad Salim Abu ‘Ashi, ahli tafsir dan ilmu alquran sekaligus mantan Dekan Pascasarjana Universitas Al-Azhar Mesir dalam kalimat pengantar kitab.

Memang, kitab ini bukan satu-satunya tafsir yang menggunakan metode tafsir al-Quran bi al-Quran. Namun, dengan gaya penulisan dan penjelasan yang ringkas, tidak jelimet, serta mudah dipahami, Gus Awis berhasil menghadirkan kitab tafsir sebagai alternatif jitu bagi kaum milenial dalam memahami Alquran dengan pesan-pesan moderasi di dalamnya. Harapannya, jika terdapat isu-isu sentimen di masyarakat yang membawa ayat-ayat Alquran, kaum milenial dapat merujuk penafsiran ayat tersebut secara langsung melalui tafsir Hidayatul Quran.

Semoga Allah swt. membalas semua jerih payah Gus Awis dalam usaha yang mulia ini, serta mengalirkan semua pahala dari para santri, pembaca, pengkaji dan penelaahnya kepada beliau. Amin.