Beranda blog Halaman 35

Doa Nabi Nuh ketika Berlayar di Kapal yang Diajarkan Allah

0
Doa Nabi Nuh ketika Berlayar di Kapal yang Diajarkan Allah
Ilustrasi kapal

Nabi Nuh a.s. merupakan salah seorang dari lima nabi yang bergelar Ulul Azmi. Mereka dinilai sebagai nabi-nabi yang tangguh dan penyabar dalam menghadapi segala cobaan dan rintangan dari kaumnya sendiri ketika berdakwah. Salah satu ayat Alquran yag mengabadikan kisah Nabi Nuh a.s. adalah Q.S. Al-Mu’minun ayat 21-30.

Di redaksi ayat ini dikisahkan tentang penolakan dan hinaan yang diterima oleh Nabi Nuh dari kaumnya. Pemuka kaumnya menyeru kepada yang lain bahwa upaya Nabi Nuh tidak lain hanyalah untuk memosisikan dirinya sebagai yang utama karena mendapatkan gelar kenabian. Selain itu, ia dihina dengan dianggap sebagai laki-laki gila. Maka kemudian Nabi Nuh mengadu kepada Allah Swt. atas kedustaan kaumnya.

Kemudian Allah memerintahkan kepada Nabi Nuh untuk membuat bahtera atau kapal yang besar. Diperintahkan kepadanya untuk memuat setiap pasangan laki-laki dan perempuan sekaligus hewan-hewan. Hanya saja ia telah dilarang untuk mengangkut kaum yang telah mendustakannya. Ia juga dilarang untuk memberi rasa iba ketika banjir melanda dan kapal itu berlayar dengan selamat. Di dalam Alquran diabadikan beberapa doa Nabi Nuh yang diajarkan oleh Allah. Salah satunya ada pada ayat 29 dari surah Al-Mu’minun.

وَقُلْ رَّبِّ اَنۡزِلۡنِىۡ مُنۡزَلًا مُّبٰـرَكًا وَّاَنۡتَ خَيۡرُ الۡمُنۡزِلِيۡنَ

Dan berdoalah, “Ya Tuhanku, tempatkanlah aku pada tempat yang diberkahi, dan Engkau adalah sebaik-baik pemberi tempat.” (Q.S. Al-Mu’minun [23]: 29).

Perbedaan Ahli Qira’at ketika Membaca Kata مُنۡزَلًا

Di dalam Tafsir Al-Qurthubi dijelaskan bahwa di kata munzalan yang terdiri dari huruf mim, nun, zay, dan lam terdapat ikhtilaf (perbedaan) ulama. Mayoritas ahli qira’at membacanya dengan dhammah pada mim dan zay dengan fathah. Selain itu Imam ‘Ashim membacanya dengan fathah pada mim dan kasrah pada zay. Ini merupakan bentuk mashdar dari kata inzaala, yakni anzilnii-inzaalan-mubaarakan (Tempatkanlah aku dengan penempatan yang diberkati).

Baca juga: Mengenal Asal Muasal Doa Khatmil Quran

Sedangkan Zirr bin Jubaisy, Abu Bakar dari Ashim, dan Al-Mufadhdhal membacanya dengan mim berharakat fathah dan zay berharakat kasrah-dengan arti tempat. Maksudnya “Tempatkanlah aku di tempat yang diberkahi.”

Kandungan Makna Ayat

Para ulama menyatakan bahwa doa Nabi Nuh yang diajarkan Allah ini beliau baca ketika turun dari kapal. Ada juga beberapa ulama yang berpendapat doa tersebut beliau baca ketika berada di dalam kapal. Sebab, di ayat ini ada ada kalimat yang memuja Allah Swt. sebagai “Sebaik-baik pemberi tempat.”

Kata munzalan mubaarakan (tempat yang diberkati) menjadi kesatuan konsep di ayat tersebut. Maknanya sendiri bisa berubah-ubah bergantung dengan qiraat yang digunakan pembaca.

Berkat atau berkah memiliki makna bertambah atau menetapnya kebaikan. Dalam kitab At-tabarruk Anwauhu wa Ahkamuhu dijelaskan definisi barakah sebagai berikut; “Dengan ini, menjadi jelas bahwa barakah adalah menetapnya kebaikan dan kelanggengannya, atau banyaknya kebaikan dan peningkatannya, atau keduanya sekaligus.”

Baca juga: Teladan Nabi Ibrahim dan Ismail tentang Etika ketika Berdoa

Sumber lain yang mengulas kata berkah adalah Mu‘jam Maqāyis al-Lugah. Di sana disebutkan bahwa kata berkah berasal dari bahasa Arab ”baraka”  yang terdiri dari huruf bā’, rā dan kāf yang berarti ṡabāt al-syai’ (tetapnya sesuatu). Kata ini memiliki cabang-cabang yang saling berdekatan satu sama lain. Dikatakan dalam bahasa Arab baraka al-ba‘īr–yabruku–burūkan, yaitu ketika unta menderum/mendekam di suatu tempat kemudian menetapinya.

Sedangkan menurut Kamus KBBI VI Daring, berkah diartikan dengan karunia Tuhan yang mendatangkan kebaikan bagi kehidupan manusia; berkat dan mendatangkan kebaikan atau manfaat.

Hikmah Doa Nabi Nuh a.s.

Di dalam Tafsir Ibnu Katsir dijelaskan bahwa kejadian dalam ayat ini menunjukkan kuasa Allah Swt. untuk menyelamatkan orang-orang yang beriman dan membinasakan orang-orang kafir. Selain itu Allah menunjukkan kebenaran apa yang telah dibawa oleh para nabi. Dan sesungguhnya Allah Maha Menghendaki segala hal dan Maha Kuasa atas segala sesuatu.

Keberkahan menjadi suatu hal yang didambakan oleh setiap umat muslim, juga menjadi iming-iming bagi setiap muslim yang beriman untuk giat melakukan ibadah. Keberkahan merupakan anugerah Allah Swt. yang diberikan kepada hamba-Nya yang dikehendaki. Walaupun tidak bersifat empiris (pembuktian indrawi), keberkahan akan diterima dan dirasakan oleh hamba-Nya. Bagaimana yang sedikit memberikan kecukupan, kemanfaatan, dan ketenteraman. Itulah yang disebut keberkahan, bertambahnya kebaikan karena kehendak Allah Swt. Keberkahan juga tidak bisa dipastikan akan bersifat materil.

Baca juga: Doa Nabi Yunus yang Dibaca Masyarakat Banjar Pada Arba Musta’mir

Mengutip pendapat Al-Qurthubi bahwa ayat ini telah menunjukkan perintah Allah secara global kepada hamba-Nya untuk membaca ayat ini ketika berlayar atau memasuki sebuah tempat. Termasuk juga ketika memasuki rumah, setelah mengucapkan salam hendaknya membaca doa yang terkandung di ayat ini. Karena keberkahan bisa berwujud apapun, hendaknya kita mengamalkan doa ini di setiap langkah usaha kita. Jika kita belajar, kita memohon agar ilmu yang didapatkan bisa berkah hingga bermanfaat kepada sesama. Jika bekerja, kita meminta agar rezeki yang kita dapatkan menjadi cukup dan bisa digunakan untuk beribadah.

Tips dari Alquran agar Doa Terkabul

0
Surah Asy-Syu’ara Ayat 83-89: Pesan di Balik Doa Nabi Ibrahim kepada Allah
Ilustrasi doa

Doa merupakan salah satu bentuk komunikasi terindah bagi seorang hamba dengan Allah sebagai Tuhannya. Dalam Alquran, Allah secara jelas memerintah hamba-Nya untuk berdoa kepada-Nya, sekaligus memberi kepastian akan dikabulkannya doa-doa tersebut;

وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُوْنِيْٓ اَسْتَجِبْ لَكُمْ

Tuhanmu berfirman, “Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Aku perkenankan bagimu (apa yang kamu harapkan.” (Q.S. Ghafir: 60).

Akan tetapi, banyak di antara kita yang masih merasa doanya tak kunjung dikabulkan oleh Allah. Oleh karena itu, Allah memberikan solusi bagi kita yang merasa doanya belum juga diijabah. Allah menjelaskan dalam Alquran kiat-kiat supaya doa terkabul. Di antara kiat-kiat doa terkabul tersebut, banyak yang Allah sajikan melalui kisah-kisah suri teladan para utusan-Nya. Dalam surah al-Anbiya sendiri ada tiga ayat yang menjelaskan kisah tersebut:

  1. Q.S. Al-Anbiya ayat 83-84

وَاَيُّوْبَ اِذْ نَادٰى رَبَّهٗٓ اَنِّيْ مَسَّنِيَ الضُّرُّ وَاَنْتَ اَرْحَمُ الرّٰحِمِيْنَ ۚ فَاسْتَجَبْنَا لَهٗ فَكَشَفْنَا مَا بِهٖ مِنْ ضُرٍّ وَّاٰتَيْنٰهُ اَهْلَهٗ وَمِثْلَهُمْ مَّعَهُمْ رَحْمَةً مِّنْ عِنْدِنَا وَذِكْرٰى لِلْعٰبِدِيْنَ ۚ

(Ingatlah) Ayyub ketika dia berdoa kepada Tuhannya, “(Ya Tuhanku,) sesungguhnya aku telah ditimpa penyakit, padahal Engkau Tuhan Yang Maha Penyayang dari semua yang penyayang.”

Maka, Kami mengabulkan (doa)-nya, lalu Kami lenyapkan penyakit yang ada padanya, Kami mengembalikan keluarganya kepadanya, dan (Kami melipatgandakan jumlah mereka) sebagai suatu rahmat dari Kami dan pengingat bagi semua yang menyembah (Kami).

Nabi Ayyub a.s. sebelum ditimpa ujian oleh Allah, merupakan seorang yang kaya raya dan baik hati. Beliau gemar berderma kepada orang miskin, menyantuni anak yatim, dan memuliakan tamu, sebagai bentuk rasa syukur kepada Allah. Diceritakan dalam Tafsir Al-Qurthubi, singkatnya pada suatu hari, beliau bersama kaumnya berdakwah kepada suatu kaum yang keras dan kolot. Namun, kaum tersebut memiliki hasil bumi yang bagus. Hal ini membuat Nabi Ayyub menyisipkan niat lain dalam dakwahnya, hingga berdakwah menggunakan kata-kata yang lebih lembut dan sopan untuk meraih simpati mereka.

Baca juga: Agar Doa Cepat Terkabul? Makanlah yang Halal

Akibat pebuatannya, Allah pun segera memberi teguran kepada Nabi Ayyub. Teguran yang Allah berikan juga sangat dahsyat. Dimulai dari hartanya yang lama kelamaan mulai habis. Kemudian, sebagaimana disebutkan dalam Tafsir Ibnu ‘Asyur, beliau juga kehilangan tujuh anak laki-laki dan tiga anak perempuannya dalam sehari. Meskipun demikian, Nabi Ayyub tetap sabar dan menerimanya dengan ikhlas. Allah juga menguji beliau dengan memberinya sakit yang parah (semacam penyakit kusta), yang membuat kulit di tubuhnya terkelupas dan berulat karena membusuk. Bahkan karena sakitnya ini, Nabi Ayyub diasingkan dan diusir oleh penduduk setempat, hanya istrinya saja yang masih setia menemaninya.

Semua ujian tersebut dilalui oleh Nabi Ayyub dengan sabar, tenang, dan selalu berserah diri kepada Allah. Setiap hari, Nabi Ayyub berdoa kepada Allah dengan sepenuh hati, diikuti dengan pengakuan dosa beliau. Beliau berharap agar Allah berkenan mengampuni dosanya dan mengangkat cobaannya. Terkadang Nabi Ayyub juga berbagi cerita kepada para sahabatnya, dengan tetap mengagungkan kebesaran Allah tanpa pernah berburuk sangka kepada-Nya. Berkat kesabaran dan kegigihannya tersebut, Allah mengabulkan doanya dan mengembalikan lagi kejayaannya. Allah sembuhkan penyakitnya. Allah memberinya lagi harta yang bahkan lebih banyak dari sebelumnya. Istrinya juga kemudian mengandung dan melahirkan sejumlah anak.

  1. Q.S. Al-Anbiya ayat 87-88

وَذَا النُّوْنِ اِذْ ذَّهَبَ مُغَاضِبًا فَظَنَّ اَنْ لَّنْ نَّقْدِرَ عَلَيْهِ فَنَادٰى فِى الظُّلُمٰتِ اَنْ لَّآ اِلٰهَ اِلَّآ اَنْتَ سُبْحٰنَكَ اِنِّيْ كُنْتُ مِنَ الظّٰلِمِيْنَ ۚ  فَاسْتَجَبْنَا لَهٗۙ وَنَجَّيْنٰهُ مِنَ الْغَمِّۗ وَكَذٰلِكَ نُـْۨجِى الْمُؤْمِنِيْنَ

(Ingatlah pula) Zun Nun (Yunus) ketika dia pergi dalam keadaan marah, lalu dia menyangka bahwa Kami tidak akan menyulitkannya. Maka, dia berdoa dalam kegelapan yang berlapis-lapis, “Tidak ada tuhan selain Engkau. Mahasuci Engkau. Sesungguhnya aku termasuk orang-orang zalim.”

Kami lalu mengabulkan (doa)-nya dan Kami menyelamatkannya dari kedukaan. Demikianlah Kami menyelamatkan orang-orang mukmin.

Dalam kegelapan laut pada waktu malam hari, di dalam perut ikan yang juga gelap gulita, Nabi Yunus a.s. dengan setulus hati berdoa kepada Allah sambil mengakui segala kesalahan yang telah ia lakukan. Ia mohon ampun dan pertolongan kepada Allah, sambil senantiasa memuji dan mensucikan-Nya. Allah pun mengabulkan doanya dan menyelamatkannya dari dalam kegelapan perut ikan.

Baca juga: Tafsir Surah An-Nahl Ayat 97: Tips Meraih Hidup Bahagia

Ada banyak riwayat dalam literatur tafsir yang menyebutkan kisah asal muasal Nabi Yunus berada di dalam perut ikan, seperti dalam Tafsir Ibnu Katsir, Al-Qurtubi, Al-Thabari, dan sebagainya. Salah satu riwayat menyebutkan, Nabi Yunus pergi ke laut lalu berujung masuk ke dalam perut ikan setelah marah kepada kaumnya. Nabi Yunus marah karena kaumnya tidak kunjung beriman kepada Allah. Kemarahannya ini tentu karena beliau menginginkan kaumnya agar memperoleh kebahagiaan dunia dan akhirat. Akan tetapi, mereka tetap ingkar dan durhaka kepada Allah. Ia mengira dengan kepergiannya, Allah akan mengutus nabi lain untuk menggantikannya dalam berdakwah. Padahal, di situlah letak ujian yang harus dihadapi oleh nabi dan rasul dalam berdakwah menyerukan agama Allah.

  1. Q.S. Al-Anbiya ayat 89-90

وَزَكَرِيَّآ اِذْ نَادٰى رَبَّهٗ رَبِّ لَا تَذَرْنِيْ فَرْدًا وَّاَنْتَ خَيْرُ الْوٰرِثِيْنَ ۚ  فَاسْتَجَبْنَا لَهٗ ۖوَوَهَبْنَا لَهٗ يَحْيٰى وَاَصْلَحْنَا لَهٗ زَوْجَهٗۗ

 (Ingatlah) Zakaria ketika dia berdoa kepada Tuhannya, “Ya Tuhanku, janganlah Engkau biarkan aku hidup seorang diri (tanpa keturunan), sedang Engkau adalah sebaik-baik pewaris. Maka, Kami mengabulkan (doa)-nya, menganugerahkan Yahya kepadanya, dan menjadikan istrinya (dapat mengandung).

Imam Al-Razi mengutip riwayat Ibnu Abbas dalam tafsirnya. Beliau menjelaskan bahwa Nabi Zakaria memohon kepada Allah agar diberi anak atau keturunan. Padahal pada saat itu Nabi Zakaria berusia 100 tahun, sedangkan istrinya berusia 99 tahun. Namun, mereka merasa kesepian dan ingin memiliki keturunan yang kelak bisa menggantikan dan melanjutkan perjuangan dakwahnya. Mereka pun mengadu kepada Allah dan memohon kepada-Nya dengan segala kerendahan hati.

Baca juga: Tips Mendapat Malam Lailatulqadar ala Quraish Shihab

Walaupun tetap berdoa dengan tulus, Nabi Zakaria juga tetap yakin dan percaya pada segala ketetapan Allah. Jikalau Allah tidak menganugerahi keturunan kepadanya, ia ikhlas dan tidak berkecil hati karena Allah akan tetap memelihara agamanya dan memilih orang yang paling tepat untuk menggantikannya. Karena kesungguhan dan amal salehnya ini, Allah kabulkan doanya dan mengaruniakannya seorang putra yang kemudian diberi nama Yahya.

Pada akhirnya, inti dari ketiga ayat ini tercantum di potongan terakhir ayat ke-90 yang berbunyi:

اِنَّهُمْ كَانُوْا يُسٰرِعُوْنَ فِى الْخَيْرٰتِ وَيَدْعُوْنَنَا رَغَبًا وَّرَهَبًاۗ وَكَانُوْا لَنَا خٰشِعِيْنَ

Sesungguhnya mereka selalu bersegera dalam (mengerjakan) kebaikan dan berdoa kepada Kami dengan penuh harap dan cemas. Mereka adalah orang-orang yang khusyuk kepada Kami.

Menurut Ibnu ‘Asyur, kata ganti “hum” pada lafaz innahum merujuk kepada para nabi yang telah disebutkan di ayat-ayat sebelumnya. Namun, menurut Imam Al-Thabari, kata ganti tersebut justru merujuk kepada Nabi Zakaria, istri, dan anaknya (Nabi Yahya), karena konteks ayat 90 ini menurut beliau masih berkisah tentang Nabi Zakaria yang mengharapkan diberikan keturunan oleh Allah.

Baca juga: Ini Dia Enam Tips Memperlancar Rezeki Menurut Alquran

Terlepas dari perbedaan tersebut, baik Nabi Zakaria, Nabi Ayyub, maupun Nabi Yunus, adalah para kekasih Allah yang selalu bersegera dalam bertakwa, mendekatkan diri kepada Allah dan berbuat macam-macam kebajikan. Walaupun mereka adalah utusan Allah, tetapi ketika berdoa memohon sesuatu kepada Allah, mereka melakukannya dengan segala kerendahan hati dan merendahkan diri kepada-Nya (tadharru’), sambil mengharap ampunan Allah dan takut pada murka maupun siksa-Nya. Mereka juga selalu khusyuk, tawadu kepada-Nya, tidak pernah sombong dan takabur, apalagi sampai mengingkari karunia Allah. Hal inilah yang membuat doa-doa mereka terdengar dan dikabulkan oleh Allah.

Semoga kita bisa meneladani kisah-kisah para nabi Allah dan selalu berusaha menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Para nabi yang mulia memang utusan-utusan Allah, tetapi mereka juga masih manusia ciptaan Allah. Hal-hal manusiawi dan bersifat kebajikan yang mereka lakukan, tentunya dapat pula kita teladani dan ikuti. Wallahu a’lam bisshowab.

Makna Kata Syi’ir dalam Kajian Semantik Alquran

0
Makna Kata Syi’ir dalam Kajian Semantik Alquran

Pendekatan linguistik atau kebahasaan merupakan salah satu cara memahami Kalam Allah dalam Alquran. Salah satu tokoh yang mengembangkan pendekatan ini adalah Toshihiko Izutsu. Dengan pendekatan analisis istilah-istilah kunci dalam Alquran yang dikonsepsikan oleh Izutsu, tulisan ini membahas tentang perkembangan makna syi’ir dalam tiga periode. Serta melalui tulisan ini, penulis ingin mengetengahkan jawaban dari pertanyaan: bagaimana seharusnya umat Islam memandang warisan sastra Arab klasik ini melalui kitab suci Alquran, setelah stigma negatif yang disematkan pada syair sebelum Alquran turun?

Analisis Semantik

Syair atau dalam bahasa Arab disebut syi’ir, berasal dari akar kata ش–ع– ر. Dalam Maqayis al-Lughah, Ibnu Faris menjelaskan bahwa makna dasar kata yang terdiri dari huruf ش–ع– ر adalah tumbuhan, pengetahuan, dan tanda. Lebih spesifik, Al-Raghib al-Ashfihani menyebutkan bahwa makna aslinya adalah suatu sebutan bagi pengetahuan yang detail (diqqah).

Adapun dalam Alquran, makna relasional kata ini ada lima macam sebagaimana disebutkan di dalam Islah al-Wujuh wa al-Nadzair. Makna-makna tersebut yaitu; syair, bintang, tempat manasik haji, pengetahuan, dan rambut.

Baca Juga: Teori Semantik Al-Quran Toshihiko Izutsu dan Kontribusinya dalam Studi Al-Quran

Disebutkan dalam Mu’jam Mufahras Li Alfadz al-Qur’an al-Karim bahwa derivasi akar kata ini disebutkan 40 kali dalam 11 bentuk yang berbeda di dalam Alquran. Namun, secara eksplisit hanya enam ayat yang menyebutkan kata syi’ir dalam arti syair. Yakni: Yasin [36]: 69, Al-Anbiya’ [21]: 5, Al-Shaffat [37]: 36, Al-Tur [52]: 30, Al-Haqqah [69]: 41, dan Asy-Syu’ara [26]: 224. Sisanya hanya disebutkan dalam bentuk dan makna yang lain. Selanjutnya, kata syi’ir perlu dipahami dari tiga periode; pra Qur`anik, Qur`anik, dan pasca Qur`anik sebagaimana analisis historis Izutsu.

Pra-Qur’anik

Pada masa Pra-Qur’anik, kata syi’ir bermakna pengetahuan dan pemahaman akan sesuatu. Pemaknaan ini digunakan oleh orang-orang Arab di tahun 150 sebelum hijriah berdasarkan beberapa syair. Hal ini dapat dilihat dari syair Jazimah bin Malik dalam Asy-Syu’ara al-Jahiliyyun al-Awail:

لَيْتَ شِعْرِي، مَا أَمَاتَهُمْ؟ # نَحْنُ أَدْلَجْنَا، وَهُمْ بَاتُوا

Andai aku tahu apa yang menyebabkan mereka mati?

kami datang disaat mereka telah bermalam (mati)

Sementara sumber lain yang menisbahkan syair-syair jahiliah pada tahun 50 sebelum hijriah memaknai kata syi’ir sebagai perkataan yang tersusun. Sementara شاعر (bentuk fa’il atau subjek dari kata syi’ir) dimaknai sebagai penyair. Pemaknaan ini masih lestari hingga tahun 13 sebelum hijriah. Sebagaimana syair Ibnu al-Khari’ al-Taimiy dalam Syi’ru ‘Auf Ibn ‘Athiyyah:

يَا قُرَّ إِنْ تَشْعُرْ فَإِنِّيْ شَاعِرٌ # أَوْ إِنْ تُكَارِمْنِي فَغَيْرُكَ أَكْرَمُ

Wahai kekasihku, jika kau bersyair, maka aku adalah seorang penyair

Atau jika engkau berlaku mulia kepadaku, maka ada orang lain yang lebih mulia darimu.

Baca Juga: Mengenal Toshihiko Izutsu, Poliglot Asal Jepang, Pengkaji Semantik Al-Quran

Qur’anik

Enam ayat yang telah disebutkan di atas memaknai kata syi’ir sebagai syair. Pemaknaan ini mengafirmasi makna pra-Quranik. Makna ini dipertegas dengan adanya fenomena para penyair yang berusaha menandingi kesusastraan Alquran yang sangat tinggi. Ditambah lagi, syi’ir ketika itu marak berisi kebohongan, hal-hal yang erotis, kata-kata hiperbolis, dan kerap dijadikan sebagai media penjilat para penguasa.

Mereka berulang kali menuduh Nabi Muhammad saw. sebagai seorang penyair dan Alquran adalah produk syairnya. Sehingga, ketika Alquran menyebutkan kata syi’ir atau sya’ir, kedua kata ini berkonotasi negatif. Sebagaimana Asy-Syu’ara [26]: 224-226,

224) Para penyair itu diikuti oleh orang-orang yang sesat. 225) Tidakkah engkau melihat bahwa mereka merambah setiap lembah kepalsuan. 226) dan bahwa mereka mengatakan apa yang mereka sendiri tidak mengerjakannya?

Meski Alquran memberikan respons negatif terhadap syi’ir maupun para penyair Arab pra Qur’anik, Alquran juga berperan penting dalam menggeser tema-tema kesusatraan Arab pra Qur’anik yang dominan dengan tema-tema non-sense ke tema-tema yang lebih sesuai dengan prinsip Islam. Hal ini ditandai dengan beberapa penyair Jahiliyyah yang masuk Islam di era Nabi Muhammad saw. Sebagaimana yang dijelaskan dalam Asy-Syu’ara [26]: 227,

Kecuali orang-orang (para penyair) yang beriman, beramal saleh, banyak mengingat Allah, dan bangkit membela (kebenaran) setelah terzalimi.

Baca Juga: Makna Doa dalam Kajian Semantik Alquran

Pasca Qur’anik

Periode pasca Qur’anik adalah periode masa sekarang. Makna kata syi’ir semakin berkembang. Banyak keilmuan bahasa Arab yang diilhami dari sastra tinggi Alquran. Perkembangan sastra Arab mengalami signifikansi yang pesat. Tema-tema kesusatraan dunia semakin meluas, bebas, dan terbuka dengan segala kemungkinan, mempengaruhi gaya dan tema sastra Arab.

Media sastra bangsa Arab hari ini tidak lagi berpaku pada model syair klasik, melainkan juga merambah ke model puisi atau prosa bebas. Walau demikian, syi’ir sebagai media sastra Arab sejak zaman klasik tetap ditulis dengan mempertahankan keindahan bahasa, makna yang mendalam dan tajam, meskipun lewat penggambaran metaforis. (Teori kesusastraan Arab: Sebuah Pengantar, Iftitah: 2022).

Weltanschauung Alquran Terkait Kata Syi’ir

Pandangan dunia (weltanschauung) Alquran terkait kata syi’ir dapat dilihat dari respons ayat-ayat Alquran yang menyebutkan syi’ir. Dari ayat-ayat yang ada, Alquran membagi dua pemaknaan terkait syi’ir; makna positif dan makna negatif.

Pemaknaan negatif dapat dilihat pada surah Yasin: 69 yang menjelaskan tentang ketidaklayakan syi’ir bila dinisbatkan kepada Alquran, sehingga di ayat lain kata syi’ir biasa disamakan dengan frasa lahw al-hadis (ungkapan kosong) yang terdapat dalam surah Luqman: 6.

Pemaknaan negatif yang lain dapat dilihat dari penyebutan kata syair  (شاعر)atau orang yang bersyair ataupun bentuk pluralnya (شعراء) yang berkonotasi sebagai orang yang berbohong dan orang-orang yang menyesatkan.

Sementara pemaknaan positif dapat dilihat dari Asy-Syu’ara: 227. Secara jelas ayat tersebut memberikan pengecualian pada syi’ir yang digubah oleh para penyair yang telah beriman dan beramal saleh. Meski faktanya Nabi Muhammad tidak pernah membuat syair ataupun menyenandungkannya, namun Alquran memberikan prinsip fundamental terkait sastra Arab klasik ini agar dapat diterima oleh Islam. Sebagaimana riwayat Ubay bin Ka’ab dalam Shahih Bukhari, Nabi Muhammad pernah menyampaikan:

إنَّ مِنَ الشِّعْرِ حِكْمَةً

“Bahwa dari sebagian syair terdapat hikmah.” (H.R. Bukhari)

Dengan demikian, pandangan dunia (weltanschauung) Alquran terkait syi’ir sebenarnya sangat berkaitan dengan kondisi sang penyair dan isi konten syairnya. Ketika sang penyair dan syairnya bermasalah atau bahkan bertentangan dengan prinsip Islam, maka Islam tentunya menentang hal tersebut.

Wallahu A’lam.

Menyoal Letak Jannah Tempat Tinggal Nabi Adam

0
menyoal letak jannah Nabi Adam
menyoal letak jannah Nabi Adam

Sebagian dari kandungan Alquran berisi beberapa kisah. Di antaranya adalah kisah umat-umat terdahulu, kisah para Nabi, kisah atau peristiwa di alam nyata maupun peristiwa yang berkaitan dengan alam ghaib, seperti kisah seputar surga (jannah), neraka, padang mahsyar dan lain-lainnya.

Termasuk kisah yang menyinggung tentang surga adalah kisah nabi Adam dan Hawa. Kisah ini di sebutkan secara terpisah dalam beberapa surah, seperti al-Baqarah dan al-A’raf.

Alquran menyebutkan bahwa setelah Nabi Adam ‘alaihissalam diciptakan, beliau di’pamer’kan oleh Allah swt. di hadapan para malaikat dengan pengetahuan yang Allah berikan kepadanya. Berdasarkan keunggulan tersebut, Nabi Adam mendapat sujud penghormatan dari para malaikat atas perintah Allah swt.

Di antara para malaikat itu, dijelaskan bahwa hanya iblis yang menolak memberi penghormatan kepada Nabi Adam disebabkan oleh keangkuhannya. Ia kemudian diusir oleh Allah swt. Setelah pengusiran iblis, Nabi Adam ditempatkan di jannah oleh Allah. Iblis yang mempunyai dendam kepada Adam berupaya untuk menjatuhkannya juga istrinya, Hawa.

Di bagian ini lahir suatu diskusi di kalangan para ulama mengenai letak jannah yang ditempati oleh Adam. Apakah jannah yang ditempati tersebut adalah jannah yang sama dengan tempat yang kelak akan dituju manusia? Ulama berbeda pendapat dalam hal ini.

Baca Juga: Syekh al-Sya’rawi; Tempat Persinggahan Nabi Adam a.s Bukan Surga

Makna Jannah

Merujuk kepada Maqāyīs Al-Lughah karya Ibnu Faris, kata jannah memiliki akar kata yang sama dengan kata jinn, yaitu جن yang bermakna الستر tertutup. Dari kata ini lahir juga kata جنين yang bermakna anak dalam kandungan; disebut janin karena ia tertutup oleh perut yang mengandungnya. Dari kata tersebut muncul pula kata junnah (جنة) bermakna perisai. Dikatakan demikian karena ia menutup atau menghalangi serangan.

Demikian juga dengan jinn, yaitu makhluk ghaib yang hidup berdampingan dengan manusia, mereka disebut demikian karena mereka tertutup dari pandangan manusia. Sedangkan jannah bermakna kebun, karena dedaunan pohonnya menutupinya. Sedangkan surga disebut dengan jannah karena menyerupai kebun di bumi dan karena hari ini, nikmatnya tidak tampak dari pandangan.

Baca Juga: Benarkah Malaikat Sujud Kepada Nabi Adam? Begini Pendapat Mufassir

Jannah dalam Alquran

Kata jannah dalam Alquran berkisar pada makna kebun dan surga. Namun dalam al-Baqarah ayat 221, sebagian mufasir memaknai jannah dalam ayat tersebut dengan ‘iman’.

kata jannah untuk menyebut ‘kebun’ setidaknya terdapat dalam dalam al-Baqarah: 265, 266, al-Isra’: 91, al-Kahfi: 32, 35, 39, 40, al-Mu’minun: 19, al-Furqan: 8, 10, as-Syuara’: 57, 134, 147, Saba’: 15, 16, Yasin: 34, ad-Dukhan: 25, Qaf: 9, an-Naba’: 16. Selan di beberapa surah dan ayat tersebut, kata jannah memuat makna surga.

Jannah-nya Nabi Adam

Kisah nabi Adam yang ditempatkan di jannah ini dapat dijumpai dalam al-Baqarah: 35,

 وَقُلۡنَا يَٰٓـَٔادَمُ ٱسۡكُنۡ أَنتَ وَزَوۡجُكَ ٱلۡجَنَّةَ وَكُلَا مِنۡهَا رَغَدًا حَيۡثُ شِئۡتُمَا وَلَا تَقۡرَبَا هَٰذِهِ ٱلشَّجَرَةَ فَتَكُونَا مِنَ ٱلظَّٰلِمِينَ

Dan Kami berfirman, ‘Wahai Adam! Tinggallah engkau dan isterimu di dalam surga, dan makanlah dengan nikmat (berbagai makanan) yang ada di sana sesukamu. (Tetapi) janganlah kamu dekati pohon ini,nanti kamu termasuk orang-orang yang zalim!”

Dapat pula dijumpai dalam surah Al-A’raf: 19,

 وَيَٰٓـَٔادَمُ ٱسۡكُنۡ أَنتَ وَزَوۡجُكَ ٱلۡجَنَّةَ فَكُلَا مِنۡ حَيۡثُ شِئۡتُمَا وَلَا تَقۡرَبَا هَٰذِهِ ٱلشَّجَرَةَ فَتَكُونَا مِنَ ٱلظَّٰلِمِينَ

Dan (Allah berfirman), “Wahai Adam! Tinggallah engkau bersama istrimu dalam surga dan makanlah apa saja yang kamu berdua sukai. Tetapi janganlah kamu berdua dekati pohon yang satu ini. (Apabila didekati) kamu berdua termasuk orang-orang yang zalim.”

Thahir bin Asyur dalam tafsirnya, at-Tahrīr wa at-Tanwīr menyebutkan perbedaan di kalangan ulama salaf terkait letak jannah yang dimaksud dalam ayat di atas. Beliau menjelaskan tentang pendapat mayoritas ulama salaf yang memahami bahwa jannah yang dimaksud adalah surga yang Allah janjikan bagi orang-orang beriman.

Pendapat inilah yang diikuti oleh para ulama ahli kalam dari kalangan ahlussunnah yang juga dipegang oleh Abu Ali Al-Jubbai (tokoh muktazilah). Landasan pendapat ini berdasarkan pada zahir teks ayat dan beberapa khabar yang diriwayatkan dari Rasulullah saw.

Selain pendapat di atas, Ibnu Asyur menyebutkan pendapat lain dari Abu Muslim al-Asfihani, Abu Qasim Al-Balkhi, dan penganut muktazilah selain Al-Jubbai. Mereka berpendapat bahwa jannah tersebut adalah sebuah kebun di bumi yang Allah ciptakan untuk menempatkan Adam dan Istrinya. al-Baidhawi mengutip bahwa kebun yang dimaksud adalah suatu tempat yang terletak di Palestina. Menurut Ibnu Asyur, pendapat ini muncul dari kitab Taurat yang menyebut tempat tersebut dengan Eden.

Baca Juga: Ibrah Kisah Nabi Adam Memakan Buah dan Bencana dari Kerusakan Alam

al-Qurthubi mengutip dalam tafsirnya bahwa kelompok yang kedua ini berpendapat jika jannah yang dimaksud adalah surga yang kekal, maka tentu iblis tidak akan sampai ke sana untuk menggoda Adam dan istrinya. Selain itu, dalam Alquran juga disebutkan bahwa di dalam surga tidak ada perkataan yang sia-sia dan perbuatan dosa (QS. At-Thur: 23, QS. An-Naba’: 35, QS. Al-Waqiah: 25-26). Alquran juga menegaskan bahwa penduduknya tidak akan keluar darinya (QS. Al-Hajar: 48).  Dengan demikian maka tentu Adam tidaklah berada pada surga yang dimaksud.

Meski terdapat perbedaan pendapat, pada dasarnya para mufasir percaya bahwa surga itu ada. Dengan begitu berarti beriman kepada hal-hal yang ghaib. Untuk perbedaan pendapat tentang letak jannah Nabi Adam, mayoritas ulama memegang pendapat yang pertama. Adapun dari kalangan mufassir kontemporer yang memegang pendapat kedua adalah Syaikh Mutawalli As-Sya’rawi dalam Al-Fatâwâ Kullu Ma Yuhimmu al-Muslimu fi Hayatihi wa Yaumihi wa Ghadih.  Wallahu a’lam.

Manuskrip Tafsir Jalalain Sunan Bonang di Masjid Agung Demak

0
manuskrip tafsir jalalain sunan Bonang
manuskrip tafsir jalalain sunan Bonang

Masjid Agung Demak adalah salah satu masjid yang tertua di Indonesia. Masjid peninggalan Walisongo dan Raden Patah ini dibangun pada sekitar abad ke-15 Masehi. Masjid yang berlokasi di Kampung Kauman, Kelurahan Bintoro, Kabupaten Demak, Jawa Tengah tidak pernah sepi pengunjung. Hal ini bisa jadi karena dipengaruhi oleh letaknya yang strategis, yakni berdekatan dengan alum-alun.

Konon, Masjid Agung Demak pada zaman dahulu digunakan sebagai pusat kegiatan keislaman dan merupakan tempat berkumpul Walisongo untuk menyebarkan ajaran agama Islam di Tanah Jawa. hal inilah yang kemudian menjadikan kota Demak dijuluki sebagai kota Wali hingga sekarang ini.

Masjid Agung Demak, dilihat dari segi arsitektur sangatlah khas dan sarat akan makna, serta memberikan kesan yang mewah, indah, anggun, dan penuh dengan kharisma. Bagian atap yang berbentuk linmas memberikan makna akidah Islam yakni iman, ihsan, dan islam. Selain itu, di Masjid ini terdapat empat tiang utama yang disebut saka Tatal atau Saka Guru, tiang ini dibuat secara langsung oleh Walisongo.

Perinciannya yaitu pada bagian timur laut dibuat oleh Sunan Kalijaga, bagian tenggara dibuat oleh Sunan Ampel, dan bagian barat daya dikerjakan oleh oleh Sunan Gunung Jati, sedang di bagian barat laut dibangun oleh Sunan Bonang. Selain itu, terdapat peninggalan Pintu Bledheg yang dibuat Ki Ageng Selo dan delapan tiang di teras Masjid yang disebut Saka Majapahit.

Baca Juga: Bukan Hanya Pintu Bledeg Ki Ageng Selo, Mushaf Kuno di Museum Masjid Agung Demak Ini Juga Menawan

Di antara banyak peninggalan Walisongo, terdapat peninggalan yang cukup menarik untuk diketahui, yakni peninggalan berupa manuskrip atau naskah Alquran kuno. Manuskrip ini ditempatkan di Museum Masjid Agung Demak dengan jumlah keseluruhan 14 buah yang terdiri dari 11 buah manuskrip dan 3 buah mushaf cetakan India.

Peneliti Lajnah Pentashih Mushaf Al-Qur’an, Ali Akbar, sudah menuliskan spesifikasi mushaf di museum tersebut, dan dia mengemukakan bahwa sebagian mushaf diperoleh dari masyarakat dan sebagian yang lain diperoleh dari atap masjid. (Mushaf Kuno Nusantara Jawa, 2019). Salah satu manuskrip yang cukup popular adalah manuskrip Tafsir Jalalain yang telah berumur ratusan tahun dan diduga milik Sunan Bonang.

Manuskrip milik Sunan Bonang ini ditulis menggunakan tinta hitam dan merah, tinta merah digunakan untuk menuliskan lafal bismillahirrahmanirrahim dan ayat-ayat Alquran yang lain, sedangkan tinta hitam digunakan untuk menuliskan makna ayat.

Manuskrip dengan ukuran naskah 34×21 dan ukuran teks 20×12 ini memiliki sampul yang masih utuh, hanya saja beberapa lembar naskah mulai tampak geripis terutama di bagian pinggiran. Namun hal ini tidak menimbulkan masalah, sebab dilihat dari segi umur, naskah yang terbilang cukup lama tersebut, teks di dalamnya masih bisa terbaca dengan jelas.

Di sisi lain, beberapa pakar cukup meragukan kitab ini sebagai karya dari Sunan Bonang, di antaranya dikarenakan tahun kelahiran Sunan Bonang dan tahun kepengarangan sangat berdekatan. Namun demikian, hal ini tidak serta merta mengurangi kharismatik kitab ini karena kehadirannya pada abad ke-15 telah menguatkan pendapat bahwa pada saat itulah dunia penafsiran mulai muncul di Indonesia dan digunakan oleh para ulama untuk menyebarkan ajaran agama islam.

Baca Juga: Naskah Tafsir Jalalain di Museum Masjid Agung Jawa Tengah

Dari segi isi, manuskrip ini terdiri dari 15 juz dimulai dari surah al-Kahfi dan diakhiri dengan surah an-Nas, dengan jumlah baris/halaman 19. Pada bagian baris awal teks tercantum “…surah al-Kahfi..bismillahirrahmanirrahim alwahyu wahuwa..”, Sedangkan pada baris akhir teks tertulis “…tammat hadzal kitab al-musamma bitafsir akhirah yaum…ing…syamsi di waktu Dhuha fisyahrihiya hijrah an-Nabi SAW min sanah alfu…”

Bagitulah kiranya uraian mengenai mushaf tafsir Jalalain yang diduga milik Sunan Bonang, kami berharap kedepannya peninggalan sejarah keislaman, seperti tafsir akan tetap eksis di masyarakat, semoga tulisan ini sedikit menambah literasi, dan semoga bermanfaat! Wallah a’lam.

Sebab-Sebab Terjadinya Perbedaan dalam Tafsir Perspektif Musaid At-Thayyar

0
Sebab-Sebab Terjadinya Perbedaan dalam Tafsir Perspektif Musaid At-Thayyar

At-Tahrir Fii Ushul At-Tafsir adalah kitab ‘Ulumul Qur’an kontemporer karya seorang ulama terkemuka yaitu Musaid bin Sulaiman bin Nashir at-Thayyar. Kitab ini disebut-sebut dengan kitab ushul at-tafsir yang kompleks, sistematis, dan analitis. dalam salah satu babnya dijelaskan terkait sebab-sebab yang menjadi faktor perbedaan dalam menafsirkan Alquran.

Telah banyak ditemukan perbedaan para ulama dalam menafsirkan ayat Alquran, baik yang bersifat kontradiktif maupun yang bersifat variatif. Pembahasan mengenai perbedaan ini merupakan salah satu pembahasan penting dalam memahami tafsir dari ayat-ayat Alquran.

Musaid at-Thayyar dalam At-Tahrir Fii Ushul At-Tafsir (229-239) mengatakan bahwa pada dasarnya latar belakang terjadinya perbedaan penafsiran antar ulama adalah bervariasinya makna yang terkandung dalam suatu kata. Perbedaan tersebut ada yang diterima karena sesuai dengan aturan umum penafsiran dan ada yang ditolak karena tidak sesuai dengan aturan umum penafsiran.

Baca Juga: Konsekuensi Perbedaan Qiro’ah pada Penafsiran Al-Quran Menurut Mufassir

Bertambahnya faktor yang memengaruhi perbedaan mufassir dalam menafsirkan ayat Alquran juga dilatarbelakangi oleh munculnya aliran-aliran teologis dan semakin berkembangnya ilmu pengetahuan, seperti berkembangnya ilmu fikih yang ditandai dengan munculnya madzhab-madzhab fikih.

Lalu apa saja sebab terjadinya perbedaan dalam menafsirkan Alquran? Berikut penjelasannya.

Pertama, variasi makna yang terjadi akibat perbedaan dasar pengambilan kata. Peristiwa seperti ini seringkali terjadi karena para mufassir berbeda pendapat dalam melihat dari mana suatu kata itu diambil. Sebagai contoh,  kata مُسْتَمِرٌّ dalam QS. Al-Qamar[54]:2 ويَقُوْلُوْا سِحْرٌ مُسْتَمِرٌّ, sebagian ulama berpendapat kata tersebut diambil dari أَمَرَّ-يُمِرُّ yang bermakna kuat, sedangkan ulama lain berpendapat diambil dari kata مَرَّ-يَمُرُّ yang bermakna lenyap atau hilang.

Kedua, tempat kembalinya rujukan dari suatu dlamir (kata ganti). Seringkali ulama merujuk suatu dlamir pada kata yang disebutkan sebelumnya yang terdekat, akan tetapi sebagian ulama merujuk kata ganti tersebut kepada kata yang paling sesuai dengan konteks suatu pembicaraan, sehingga terjadilah perbedaan antara para mufassir. Contohnya dalam QS. Al-Fath[48]:9 وَتُعَزِّرُوْهُ وَتُوَقِّرُوْهُ , sebagian ulama merujuk dlamir هُ tersebut kepada Allah, dan ulama lain merujuknya kepada Rasul saw.

Baca Juga: Simak Ini untuk Belajar Memaklumi Perbedaan Tafsir Al-Quran!

Ketiga, penyebutan kata sifat yang tidak dijelaskan apa atau siapa yang disifati. Dapat ditemukan dalam QS. Al-Mursalat[77]:1 وَالْمُرْسَلَاتِ عُرْفًا yang tidak dijelaskan siapakah “yang diutus membawa kebaikan” tersebut.

Kemudian, ulama membawa kata sifat tersebut pada sesuatu yang paling pantas untuk disifati dengan اْلمُرْسَلَاتِ. Sehingga, terjadilah perbedaan penafsiran, dimana sebagian ulama mengatakan yang diutus membawa kebaikan adalah angin, dan ulama lain mengatakan yang diutus adalah malaikat.

Keempat, perbedaan disebabkan karena sumber yang digunakan oleh mufassir. Masing-masing mufassir memiliki rujukan utama yang berbeda pada setiap orangnya. Ada yang menggunakan Bahasa, hadis, dan ada pula yang menggunakan selain keduanya. Hal ini biasanya terjadi karena keunggulan latar belakang keilmuan di setiap mufassir itu berbeda-beda.

Sebagai contohnya, dalam QS. Al-Qalam[68]:42 يَوْمَ يُكْشَفُ عَنْ سَاقٍ . Ada dua penafsiran yang berkaitan dengan ayat ini. Pertama, yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah hari kiamat itu dibuka dengan peristiwa mengerikan dan memilukan. Penafsiran ini menggunakan bahasa sebagai sumber utamanya, dimana kata سَاقٍ  menurut orang Arab adalah peristiwa yang dahsyat.

Kedua, ayat tersebut ditafsirkan menggunakan hadis Nabi saw. sebagai sumber utamanya. Menurut Ibnu Mas’ud dan Abu Hurairah, yang dimaksud dari يَوْمَ يُكْشَفُ عَنْ سَاقٍ   adalah sebagimana hadis yang tercantum dalam Shahih Bukhari yang berbunyi يَكْشِفُ رَبُّنَا عَنْ سَاقِهِ َفيَسْجُدُ لَهُ كُلُّ مُؤْمِنٍ وَمُؤمِنَةٍ فَيَبْقَى كُلُّ مَنْ كَانَ يَسْجُدُ فِيْ الدُّنْيَا رِيَاءً وَسُمْعَةً فَيَذْهَبُ لِيَسْجُدَ فَيَعُوْدُ ظَهْرهُ طَبْقًا وَاحِدًا

Baca Juga: Kenapa Hasil Penafsiran itu Berbeda-beda? Ini Salah Satu Alasannya

Kelima, perbedaan dalam mengaitkan suatu ayat dengan ayat lain. Ini berkaitan dengan teori takhsis, taqyid, dan naskh. Contoh yang berkaitan, sebagaimana QS. Al-Baqarah[2]:221 وَلَا تَنْكِحُوْا الْمُشْرِكَاتِ حَتَّى يُؤْمِنّ. Sebagian ulama mengatakan bahwa yang dimaksud dari kata الْمُشْرِكَاتِ adalah mencakup wanita musyrik secara umum, baik wanita musyrik penyembah berhala maupun wanita ahli kitab (Yahudi/Nasrani), kemudian kata ini dikhususkan dengan ayat yang lain yang terdapat dalam QS. Al-Maidah[5]:5 وَالْمُحْصَنَاتِ مِنَ الَّذْينَ أُوْتُوْا الْكِتٰبَ مِنْ قَبْلِكُمْ إذَا آتَيْتُمُوْهُنَّ أُجُوْرَهُنَّ yang menyatakan bahwa diperbolehkan menikahi wanita ahli kitab, dan ayat pertama hanya dibatasi dengan wanita musyrik penyembah berhala (tulen).

Sedangkan ulama lain mengatakan bahwa الْمُشْرِكَاتِ adalah wanita musyrik penyembah berhala, tanpa adanya pembahasan takhsis, taqyid, ataupun selainnya. Sehingga, diputuskan kebolehan menikahi wanita musyrik ahli kitab.

Dan yang terakhir menurut Musaid At-Thayyar, penyebab terjadinya perbedaan antara mufassir dalam menafsirkan Alquran adalah perbedaan dalam mendahulukan atau mengakhirkan urut-urutan kata dalam ayat Alquran. Pada dasarnya, menafsirkan ayat dalam Alquran itu adalah sesuai dengan urutannya. Tetapi, kadangkala terjadi metode mendahulukan dan mengakhirkan penafsiran ayat-ayat. Contohnya pada QS. At-Taubah[9]:62 يَحْلِفُوْنَ باللّٰه لَكُمْ لِيُرْضُوْكُمْ وَاللّٰهُ وَرَسُوْلُهُ أَحَقُّ اَنْ يُرْضُوْهُ اِنْ كَانُوْا مُؤْمِنِيْنَ

وَاللّٰهُ وَرَسُوْلُهُ أَحَقُّ اَنْ يُرْضُوْهُ اِنْ كَانُوْا مُؤْمِنِيْنَ adalah susunan mubtada’ khabar dalam perspektif ilmu nahwu. Sebagian ulama, salah satunya Imam Sibawaih mengatakan bahwa yang dikehendaki dalam ayat tersebut adalah وَاللّٰهُ أَحَقُّ اَنْ يُرْضُوْهُ dan وَرَسُوْلُهُ أَحَقُّ اَنْ يُرْضُوْهُ kemudian kalimat أَحَقُّ اَنْ يُرْضُوْهُ dibuang dalam rangkaian kalimat yang kedua. Sedangkan ulama lain mengatakan bahwa dalam ayat tersebut terdapat metode mendahulukan dan mengakhirkan, sehingga yang dikehendaki dalam ayat tersebut adalah وَاللّٰهُ أَحَقُّ اَنْ يُرْضُوْهُ  sedangkan kata وَرَسُوْلُهُ  tidak berkaitan dengan أَحَقُّ اَنْ يُرْضُوْهُ.

Sebab-sebab yang telah disebutkan di atas adalah sebab terjadinya perbedaan penafsiran yang terjadi pada masa tafsir era klasik dan generasi setelahnya. Tetapi, ini tidak menutup kemungkinan munculnya sebab-sebab baru yang belum pernah dibahas di era klasik.

Hikmah dan Manfaat Sosial Ibadah Haji

0
Hikmah dan Manfaat Sosial Ibadah Haji
Para jamaah haji sedang melakukan wukuf di Arafah, salah satu ritual ibadah haji.

Terdapat banyak hikmah dan manfaat sosial haji yang dapat dipetik dari pengalaman seorang muslim yang berhaji. Nilai-nilai sosial dalam ritual haji dapat diaplikasikan dalam kehidupan masyarakat, selain ibadah tersebut memang merupakan kesempatan untuk memenuhi kerinduan rohani dan perintah agama sebagai rukun Islam kelima.

Dalam Q.S. al-Hajj ayat 27 diterangkan tentang seruan Allah kepada umat manusia untuk berhaji. Kemudian pada ayat selanjutnya dijelaskan pula hikmah dan manfaat sosial haji.

لِّيَشْهَدُوا مَنَٰفِعَ لَهُمْ وَيَذْكُرُوا ٱسْمَ ٱللَّهِ فِى أَيَّامٍ مَّعْلُومَٰتٍ عَلَىٰ مَا رَزَقَهُم مِّن بَهِيمَةِ ٱلْأَنْعَٰمِ فَكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُوا ٱلْبَائِسَ ٱلْفَقِيرَ

Agar mereka menyaksikan berbagai manfaat untuk mereka dan agar mereka menyebut nama Allah pada beberapa hari yang telah ditentukan atas rezeki yang Dia berikan kepada mereka berupa hewan ternak. Maka makanlah sebagian darinya dan (sebagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara dan fakir (Q.S. al-Hajj [22]: 28).

Baca juga: Tafsir Ahkam: Syarat Wajib Haji dan Beberapa Ketentuannya

Quraish Shihab dalam Tafsir al-Misbah (15/43) menerangkan manfaat sosial haji, bahwa selain untuk kehidupan akhirat, ibadah yang diimpikan setiap muslim ini juga memiliki nilai sosial yang dapat berimplikasi terhadap kemaslahatan umat manusia.

Setiap manusia pasti memerlukan pergaulan dengan masyarakat. Oleh sebab itu, penting bagi seorang muslim untuk mempelajari norma-norma kesopanan dalam pergaulan. Dalam pelaksanaan ibadah haji, hal tersebut dapat dihayati dan dipelajari dari serangkaian ritual ibadah haji.

Ihram

Adapun nilai sosial tersebut di antaranya adalah ritual ihram. Pada saat melakukan ibadah haji, semua jamaah akan mengenakan seragam yang sama (pakaian ihram). Ibnu Mas’ud menggambarkan kain ihram yang tidak berjahit tersebut menandakan bahwa tidak ada saudagar yang kaya raya, tidak ada kaum bangsawan yang tinggi pangkatnya, dan tidak ada pula budak-budak yang dianggap hina. Mereka semua ketika itu sama dan setara di hadapan Allah.

Sebab, pakaian seringkali menjadi pemicu perpecahan umat, jika dijadikan sebagai simbol kemewahan yang mengundang egoisme manusia. Hal ini senada dengan pernyataan Ali Syari’ati, bahwa pakaian menyebabkan manusia seperti serigala yang menerkam hewan yang lemah. Karenanya, dengan sehelai kain ihram putih yang dipakai setengah badan oleh para jamaah haji, merupakan simbol penolakan dari segala bentuk diskriminasi, rasis, dan anti rasa kemanusiaan (Makna Haji, h. 30).

Wukuf

Aspek sosial lain yang tersirat dalam ibadah haji yaitu pada saat wukuf. Ibnu Mas’ud mengatakan bahwa semua jamaah haji berkumpul dalam satu tempat di padang Arafah dengan perbedaan status sosial mereka, karakter, suku, dan pemikiran. Di sana mereka berkumpul memadu rasa keislaman mereka; mempererat tali persaudaraan, persatuan, dan persahabatan.

Para jamaah haji berkumpul dengan latar belakang yang berbeda-beda, tetapi hanyut dalam satu hati dan pikiran; mengingat asma-Nya dan melakukan introspeksi diri. Dengan muhasabah itu seseorang akan mampu melakukan reparasi kerusakan hati/jiwa yang berpengaruh terhadap perilaku di dalam kehidupan sosialnya.

Penyembelihan kurban

Nilai sosial lain yang nyata dari ibadah haji sebagaimana termaktub dalam ayat di atas adalah penyembeliahan hewan kurban. Esensi dari kurban sejatinya adalah berusaha membuang sifat-sifat kebinatangan yang hanya mengedepankan nafsu dan serakah tanpa mengenal aturan yang berlaku, baik secara sosial maupun agama.

Selain itu, Hasan Basri menyatakan bahwa dalam penyembelihan kurban terkandung aspek sosiologis kemasyarakatan, yaitu dalam hal menyembelih hewan yang daging-dagingnya itu akan dibagikan untuk menyantuni dan menggembirakan fakir miskin umumnya yang membutuhkan (Haji dan Kurban, h. 5).

Larangan berbicara kotor

Yang terakhir, Ibadah haji tidak cukup dengan pelaksanaan syarat dan rukunnya saja. Seorang muhrim/muhrimah nyatanya diperintahkan untuk menjaga ucapan yang mengakibatkan orang lain tersinggung. “Barang siapa yang menetapkan niatnya dalam bulan ini akan mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats, fasik, dan jidal.” (Q.S. al-Baqarah: 197).

Ibnu Hajar al-‘Asqalani dalam kitab Fath al-Baari (3/382) menyatakan bahwa rafats adalah mengeluarkan perkataan kotor, senda gurau berlebihan yang menjurus kepada timbulnya nafsu.

Baca juga: Memaknai Ayat Haji Ala Sufi

Sedangkan fusuq, yakni mencaci, takabur, merugikan, dan menyakiti orang lain dengan kata-kata maupun perbuatan; zalim terhadap orang lain seperti mengambil haknya, merusak alam, dan makhluk lainnya tanpa ada alasan yang membolehkan, juga termasuk memprovokasi orang lain untuk melakukan maksiat.

Adapun jidal artinya pertikaian dan perdebatan yang menimbulkan emosi orang lain seperti berbantah-bantahan hanya untuk memperebutkan kamar tidur, kamar kecil, makanan, dan termasuk melakukan demonstrasi terhadap sesuatu hal yang (mungkin) tidak sesuai dengan keinginannya.

Baca juga: Jangan Pernah Lupakan Sayyidah Hajar!

Pesan sosial dalam ibadah haji yang dimulai dari ihram hingga larangan perbuatan rafats, fusuq, dan jidal seharusnya bukan hanya dilaksanakan saat di tanah suci saja. Namun, harus dipahami secara kontekstual dan berkelanjutan.

Dengan demikian, diharapkan nilai-nilai universal, seperti ketakwaan, kesabaran, dan berlaku amal saleh serta menjauhi dan menolak segala perilaku tercela dalam pikiran, perkataan, dan perbuatan dapat terbawa oleh jamaah haji sekembalinya ke tanah air masing-masing. Dengan begitu ibadah sang haji sesuai dengan tujuan utama haji, yakni memiliki daya ubah positif bagi dirinya sendiri maupun lingkungannya.

Menjaga Negara Sama Pentingnya dengan Menjaga Agama

0
Indonesia Raya
Menjaga negara sama pentingnya dengan menjaga agama

Menjaga negara dan menjaga agama adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan, karena keduanya saling terikat dan saling membutuhkan. Negara yang aman dan tenteram akan membuat lingkungan menjadi nyaman untuk melakukan segala kegiatan termasuk ibadah. Sebaliknya, jika agama dijaga dengan baik akan mewujudkan nilai moral dan etika yang baik pula untuk keberlangsungan negara.

Seorang muslim tentu mencintai agamanya, yakni Islam. Maka dari itu perlu mengamalkan ajaran agama Islam dalam kehidupan sehari-hari. Dalam mengamalkan ajaran tersebut harus sungguh-sungguh dan sempurna. Akan tetapi, jangan sampai melupakan urusan bernegara dan berbangsa, seperti halnya menjaga dan memajukan bangsa Indonesia secara menyeluruh.

Baca juga: Surah al-Anfal Ayat 46: Cara Menjaga Persatuan

Apabila bangsa Indonesia ini menjadi bangsa yang maju, aman, kokoh, makmur, dan adil, maka Islam pun bisa menjadi berkembang dan maju juga. Sebaliknya, jika negara Indonesia dilanda kekacauan, kemiskinan, dan warganya tidak berpendidikan, maka tidak bisa mewujudkan generasi yang bermoral dan memiliki etika yang baik. Sehingga antara berbangsa dan ber-Islam tidak bisa dipandang sebelah mata saja ataupun dipisahkan, karena keduanya penting. Berkaitan dengan hal tersebut, Allah berfirman dalam Q.S. at-Taubah ayat 122 yang berbunyi:

وَمَا كَانَ الْمُؤْمِنُوْنَ لِيَنْفِرُوْا كَاۤفَّةًۗ فَلَوْلَا نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ مِّنْهُمْ طَاۤىِٕفَةٌ لِّيَتَفَقَّهُوْا فِى الدِّيْنِ وَلِيُنْذِرُوْا قَوْمَهُمْ اِذَا رَجَعُوْٓا اِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُوْنَ

Tidak sepatutnya orang-orang mukmin pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa sebagian dari setiap golongan di antara mereka tidak pergi (tinggal bersama Rasulullah) untuk memperdalam pengetahuan agama mereka dan memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali, agar mereka dapat menjaga dirinya.

Penafsiran Ayat

Syekh Muhammad Mahmud al-Hijazi dalam Tafsir al-Wadlih (jilid 2, hal. 30) menjelaskan ayat tersebut memberikan isyarat bahwa belajar ilmu adalah suatu kewajiban bagi umat Islam, sebagaimana adanya kewajiban jihad dan mempertahankan tanah air. Sebab, tanah air membutuhkan orang yang berjuang dengan pedang (senjata), dan juga orang yang berjuang dengan argumentasi dan dalil.

Selain itu. memperkokoh moralitas jiwa, menanamkan nasionalisme dan gemar berkorban, mencetak generasi yang berwawasan ‘cinta tanah air sebagian dari iman’, serta mempertahankannya (tanah air) adalah kewajiban yang suci. Inilah pondasi bangunan umat dan pilar kemerdekaan mereka. Dalam penafsiran di atas lebih ditekankan pada kewajiban berjihad dan mempertahankan tanah air.

Baca juga: Tafsir Q.S. Hud Ayat 117: Dosa Sosial, Pemicu Kemunduran Suatu Negara

Quraish Shihab juga menjelaskan dalam kitab Tafsir Al-Misbah (jilid 5, hal. 751-752) bahwa ayat tersebut menggarisbawahi pentingnya mempertahankan tanah air yang tidak kalah penting juga dengan memperdalam ilmu dan menyebarluaskan informasi yang benar. Bahkan, ketahanan wilayah berkaitan erat dengan kemampuan informasi serta kehandalan ilmu pengetahuan. Dapat disimpulkan bahwa mempertahankan tanah air tanpa diliputi penguasaan atas ilmu ketatanegaraan yang baik tidak akan efektif.

Kedua penafsiran di atas sama-sama memberikan penjelasan terkait kewajiban untuk berjihad dan mempertahankan tanah air. Dengan adanya warga negara yang beretika dan bermoral dapat menjadikan negara Indonesia ini bisa berkembang dan agama Islam semakin maju. Karena ketika mencari ilmu pengetahuan dan agama pastinya membutuhkan tempat ataupun wadah bangsa, kehidupan kebangsaan juga memerlukan nilai-nilai agama sebagai panduan bangsa di tengah kehidupan yang beragam.

Baca juga: Prinsip-Prinsip Bernegara dalam Islam (Bagian 1)

Pada dasarnya menjaga negara harus disertai dengan upaya menjaga agama. Negara dan agama adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Keduanya saling membutuhkan dan menguntungkan. Agama membutuhkan negara untuk mendapat perlindungan dan melestarikan ajarannya, sedangkan negara juga memerlukan agama untuk pembentukan moral dan akhlak warga negaranya.

K.H. Marzuki Mustamar (Ketua PWNU Jawa Timur) menegaskan bahwa menjaga keamanan sebuah bangsa merupakan kewajiban bagi umat beragama, termasuk Islam. Sebab, keamanan negara merupakan syarat utama perjalannya syariat Islam di sebuah negara. Bukan hanya aparat keamanan saja yang bertugas untuk melindungi dan menjaga keamanan serta ketahanan bangsa Indonesia, tetapi seluruh umat beragama. Jika negara Indonesia ini dalam keadaan aman, harmonis, tenteram, pastinya dalam kita menjalankan ajaran agama juga bisa khusyuk dan sungguh-sungguh tanpa terganggu. Dengan demikian, menjaga kestabilan negara pastinya juga seperti menjaga eksistensi agama itu sendiri.

Makna dari Penyebutan Harta Terlebih Dulu Daripada Keturunan

0
Q.S Alkahfi Ayat 46: Makna dari Penyebutan Harta Terlebih Dulu Daripada Keturunan

Dunia adalah tempat bersenang-senang, permainan, dan semacamnya. Semua itu sebagai hiburan bagi manusia dalam mempersiapkan dirinya menuju kehidupan akhirat. Asal dipagari dengan keimanan dan ketakwaan, tentunya hal tersebut tidak sampai melalaikan diri sendiri. Dalam surah Ali Imran ayat 14, zīnah atau perhiasan yang berpotensi menimbulkan kelalaian di dunia terdapat beragam jenis, yakni wanita, harta, keturunan, hewan ternak, dan tanaman pertanian.

Dalam redaksi ayat yang lain, harta disebutkan terlebih dahulu daripada keturunan sebagaimana tercantum dalam Alquran surah Alkahfi ayat 46, berikut redaksi ayatnya.

اَلْمَالُ وَالْبَنُوْنَ زِيْنَةُ الْحَيٰوةِ الدُّنْيَاۚ وَالْبٰقِيٰتُ الصّٰلِحٰتُ خَيْرٌ عِنْدَ رَبِّكَ ثَوَابًا وَّخَيْرٌ اَمَلًا

Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia, sedangkan amal kebajikan yang abadi (pahalanya) adalah lebih baik balasannya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan.

Baca Juga: Tafsir Surah Al-Kahfi ayat 46: Maksud Al-Baqiyat Ash-Shalihat

Ayat di atas, secara jelas menyebutkan perhiasan yang tersedia di dunia adalah harta, disusul kemudian keturunan. Dikemukakan oleh al-Zuhaili dalam tafsirnya, hal ini beralasan bahwa harta menjadi aspek terpenting dalam kehidupan, lebih beresiko, serta sebagai pertahanan untuk keberlangsungan hidup (al-ḥājah), keinginan (al-raghbah), dan hawa nafsu (al-hawa). Justru terkadang, keturunan tanpa disertai dengan harta yang cukup, dapat menimbulkan kesengsaraan. [Tafsīr al-Munīr, 15/261]

Menanggapi pertanyaan mengapa ia lebih didahulukan daripada keturunan, al-Sya’rawi mengemukakan bahwa hal itu bukanlah dikarenakan ia lebih berharga daripada keturunan. Akan tetapi, karena memiliki sifat yang umum bagi penerimanya, atau dapat dikatakan bahwa hampir semua orang memilikinya meskipun sedikit.

Lain halnya dengan banīn atau anak keturunan, yang bersifat khuṣūṣiyyah, yakni sebuah kebebasan pribadi yang tidak semua orang dapat memilikinya. Ini dapat digambarkan bahwasanya seorang anak yang lahir, pastilah mengeluarkan biaya. Dimulai dari pernikahan, hingga proses pemeliharaan dan tumbuh kembang anak keturunan. Akhir kata, al-Sya’rawi menuturkan bahwa setiap orang memiliki harta, namun tidak semua orang memiliki anak keturunan. [Tafsīr al-Sya’rawī, 14/924-925]

Harta menjadi bagian dari komponen penting dalam keberlangsungan hidup di dunia. Apa-apa yang dilakukan di dunia, tidak jauh dari keterlibatannya. Makan dan minum, berpakaian, hingga kebutuhan sekunder dan tersier-pun juga tentu membutuhkannya. Sedangkan anak keturunan adalah bentuk pemeliharaan kehidupan manusia di muka bumi. Dan dalam hal ini sebagaimana disampaikan oleh al-Sya’rawi, memelihara keturunan juga memerlukan kesediaan harta. Sehingga, dapat ditarik pertimbangan bahwa kebutuhan manusia akan harta lebih prioritas daripada anak keturunan.

Baca Juga: Surah Ali Imran [3] Ayat 14: Kecenderungan Alamiah Manusia Terhadap Duniawi Harus Dikontrol

Pasalnya, manusia memang seringkali diuji dengan harta daripada keturunan. Karena ia selalu tersaji dihadapan manusia dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Seperti penyalahgunaan harta untuk maksiat, penyelewengan kemanfaatannya, dan semacamnya. Sedangkan ujian dalam bentuk keturunan bersifat kondisional. Tidak semua orang lebih terlena dengan karunia anak keturunan daripada harta. Inilah kiranya yang menjadi sebuah alasan mengapa ia lebih dahulu disebutkan daripada keturunan.

Keduanya sama-sama rawan berpotensi menjerumuskan kelalaian akan tugas manusia di dunia agar mempersiapkan dirinya menuju keabadian akhirat. Namun, bilamana manusia mampu menyikapi keduanya dengan cara yang baik, akan membawa amal jariyah bagi dirinya sendiri. Atau dalam istilah lain, disebut investasi akhirat. Beramal saleh menggunakan harta, dan mendidik serta menumbuhkembangkan anak keturunan menjadi pribadi yang saleh.

Dengan demikian, nikmat harta yang disediakan oleh Allah di dunia jauh lebih rawan menjadikan manusia terlena daripada anak keturunan. Ini tidak berarti menafikan anak keturunan tidak membawa dampak manusia terlena. Hanya saja, jika keduanya dibandingkan, maka lebih besar potensi harta dalam melalaikan manusia. Sebagaimana diketahui pada umumnya, bahwa manusia tidak dapat lepas darinya dalam hal apapun, meski dalam jumlah sedikit-pun.

Wallāhu A’lamu.

Keistimewaan Baitullah dalam Tafsir Surah Ali Imran Ayat 96-97

0
Keistimewaan baitullah dalam tafsir surah Ali Imran ayat 96-97
Keistimewaan baitullah dalam tafsir surah Ali Imran ayat 96-97

Dalam catatan ilmu pengetahuan, Ka’bah atau Baitullah merupakan satu dari tujuh keajaiban dunia. Sebagaimana situs keajaiban dunia lainnya seperti Piramida di Mesir, Candi Borobudur di Indonesia, Menara Pisa di Italia dan lain sebagainya, Ka’bah memiliki keistimewaan dan rahasia yang lambat laun mulai terungkap seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan.

Ka’bah adalah bangunan persegi empat yang dalam catatan sejarah dibangun pertama kali oleh Nabi Ibrahim a.s. dan putranya Nabi Isma’il. Ia merupakan kiblat yang menjadi pusat peribadatan umat Islam dan menjadi arah salat seluruh muslim di berbagai belahan dunia.

Baca Juga: Beragam Pendapat Mufasir tentang Asal Usul Ka’bah

Sebagai tempat suci yang menjadi sentral peribadatan umat Islam, baitullah memiliki kelebihan dan keistimewaan yang mengandung aspek mukjizat.

Keistimewaan Baitullah, sebagiannya disebutkan dalam surah Ali Imran ayat 96-97.

إِنَّ أَوَّلَ بَيْتٍ وُضِعَ لِلنَّاسِ لَلَّذِي بِبَكَّةَ مُبَارَكًا وَهُدًى لِلْعَالَمِينَ (96) فِيهِ آيَاتٌ بَيِّنَاتٌ مَقَامُ إِبْرَاهِيمَ وَمَنْ دَخَلَهُ كَانَ آمِنًا وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا وَمَنْ كَفَرَ فَإِنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ عَنِ الْعَالَمِينَ  (97)

Sesungguhnya rumah (ibadah) pertama yang dibangun untuk manusia, ialah (Baitullah) yang di Bakkah (Mekah) yang diberkahi dan menjadi petunjuk bagi seluruh alam. Di sana terdapat tanda-tanda yang jelas, (di antaranya) maqam Ibrahim. Barangsiapa memasukinya (Baitullah) amanlah dia. Dan (di antara) kewajiban manusia terhadap Allah adalah melaksanakan ibadah haji ke Baitullah, yaitu bagi orang-orang yang mampu mengadakan perjalanan ke sana. Barangsiapa mengingkari (kewajiban) haji, maka ketahuilah bahwa Allah Mahakaya (tidak memerlukan sesuatu) dari seluruh alam.” Q.S. Ali Imran [03]: 96-97

Terdapat perbedaan di kalangan ulama terkait asal muasal Ka’bah. Namun yang jelas, ayat tersebut mengabarkan bahwa ia merupakan bangunan pertama yang dibangun untuk manusia sebagai tempat ibadah. Menurut Imam Ibnu Jarir at-Thabari, Ka’bah adalah bangunan pertama di dunia yang sempat hilang (dalam sebagian riwayat diterangkan diangkat ke langit ketika banjir Nuh), kemudian Nabi Ibrahim a.s. mendirikan kembali bangunan tersebut di tempat semula. (Tafsir at-Thabari, juz 3, hal. 64)

Dalam Tafsir Ta’wilat Ahl as-Sunnah, Imam al-Maturidi menjelaskan bahwa realita Ka’bah atau kota Makkah secara umum sudah cukup menjadi bukti bahwa ia bukan bangunan biasa. Dengan kondisi terletak di antara pegunungan dan tempat yang tandus, tidak ada pemandangan alam yang menawan sebagai tempat rekreasi, tetapi ia tetap didatangi oleh jutaan manusia dari seluruh penjuru dunia. Andai ini bukan sebuah keajaiban dari Allah, mana mungkin manusia mau berkunjung ke tempat tandus seperti itu? (Ta’wilat Ahl as-Sunnah, juz 2, hal. 429)

Baca Juga: Tafsir Surah Ali Imran Ayat 97: ‘Istito’ah’ Sebagai Syarat Wajib Haji

Syaikh Wahbah al-Zuhaili dalam kitab tafsirnya menyebutkan beberapa keistimewaan Baitullah yang Allah swt. anugerahkan. Di antaranya:

Pertama, Baitullah atau Makkah secara keseluruhan merupakan lokasi yang penuh berkah. Hal ini terlihat dari kondisi sosial-ekonomi masyarakatnya yang hidup makmur dan serba berkecukupan. Meskipun secara geografis, lokasi kota Makkah terbilang cukup tandus dan sedikit sekali jenis pepohonan yang dapat tumbuh, tetapi segala jenis buah dan sayuran dapat ditemui dengan mudah meski bukan berasal dari kota Makkah sendiri.

Kedua, keistimewaan Baitullah yang kedua yaitu ia merupakan sumber petunjuk bagi manusia. Baitullah, Ka’bah sebagai bangunan suci umat Islam bagaikan magnet yang menarik jutaan umat Islam berkunjung ke sana. Ia merupakan pusat peribadatan umat Islam dalam melaksanakan ritual ibadah haji dan menjadi kiblat salat muslim di seluruh penjuru dunia.

Ketiga, di lokasi baitullah, terdapat sebuah monumen yang disebut sebagai Maqam Ibrahim. Di sana terdapat jejak kaki yang diyakini secara turun temurun merupakan jejak kaki Nabi Ibrahim a.s. ketika beliau berpijak di tempat tersebut saat menaikkan batu-bata bangunan Ka’bah. Ini menjadi bukti nyata bahwa Ka’bah merupakan tempat ibadah pertama yang dibangun pertama kali sebab Nabi Ibrahim a.s. sendiri dijuluki sebagai bapak para nabi.

Bahkan dalam suatu riwayat, di akhir zaman nanti, Dajjal akan merongrong masuk ke semua tempat di seluruh penjuru dunia kecuali Makkah dan Madinah. Kedua kota ini mendapat perlindungan langsung dari Allah swt. dari fitnah Dajjal yang mampu menjangkau seluruh dunia.

Keempat, Makkah merupakan tempat yang menjanjikan keamanan dari segala macam ancaman dan ketakutan. Bahkan, sebagian ulama berpendapat bahwa orang yang telah divonis hukuman mati oleh syariat karena telah melakukan suatu pelanggaran, hukumannya harus ditunda apabila ia memasuki Kota Makkah. Hal ini bertujuan untuk menghormati kesucian kota Makkah dari pertumpahan darah dan segala tindak kejahatan.

Kelima, menjadi tempat berkumpulnya manusia di seluruh dunia untuk melaksanakan ibadah haji. Kewajiban ibadah haji berikut seluruh rangkaiannya merupakan suatu bentuk pengagungan terhadap baitullah. (Tafsir al-Munir, juz 4, hal. 14)

Baca Juga: Keistimewaan Ka’bah dalam Al-Quran dan Pahala Memandangnya

Masih terdapat banyak keistimewaan yang Allah swt. anugerahkan terhadap rumah suci tersebut, baik yang sudah terlihat maupun yang masih belum diketahui. Banyak penelitian-penelitian mutakhir yang membuktikan informasi-informasi qurani maupun hadis nabawi seputar bangunan Ka’bah. Semoga hal ini dapat menambah keimanan kita sebagai umat Islam, dan menjadi hujjah bagi mereka yang belum beriman. Wallah a’lam.