Beranda blog Halaman 36

Pandangan Imam al-Ghazali Mengenai Musik dan Nyanyian

0
pandangan imam al-Ghazali tentang musik dan nyanyian
pandangan imam al-Ghazali tentang musik dan nyanyian. Foto by freepik

Akhir-akhir ini, tengah ramai diperbincangkan mengenai halal-haramnya musik. Hal ini bermula dari penjelasan ust. Adi Hidayat mengenai asy-Syu’ara yang dimaknai sebagai para pemusik, yang kemudian diklaim oleh sebagian kalangan bahwa beliau menghalalkan musik.

Penulis tidak akan mengkaji lebih lanjut mengenai pro-kontra apakah benar asy-Syu’ara dapat diterjemahkan sebagai para pemusik. Melihat berbagai narasi yang mengecam ust. Adi Hidayat karena diduga telah menghalalkan musik, memberikan indikasi bahwa ternyata tidak sedikit kalangan yang menganggap musik sebagai hal yang harus dihindari karena merupakan perkara haram yang dapat mendatangkan dosa.

Oleh karena itu, sebagai narasi pembanding, penulis sedikit akan mengulas penjelasan dari Imam al-Ghazali mengenai hukum musik yang beliau paparkan secara panjang lebar dalam kitab Ihya Ulum adDin.

Baca Juga: Tafsir Surah asy-Syu’ara dan Polemik Hukum Musik

Islam dan Keindahan

Islam merupakan agama yang paripurna. Tidak hanya meliputi masalah ritual peribadatan, ajaran dan tuntunanya masuk ke dalam sendi sendi kehidupan sosial masyarakat. Hal-hal yang menyangkut relasi antar sesama, politik bahkan seni menjadi hal-yang kerap kali diperbincangkan dalam diskursus hukum Islam.

Terkait masalah seni, ada berbagai isu yang menjadi ranah perdebatan ulama terkait bagaimana perspektif Islam terhadapnya. Sebut saja misalnya masalah seni ukir, seni pahat dan seni suara atau musik.

Secara umum, Islam merupakan agama yang mengapresiasi keindahan. Hal ini secara tegas disebutkan dalam sebuah hadis yang berbunyi:

إن الله جميل يحب الجمال

Sesungguhnya Allah adalah dzat yang maha indah dan menyenangi keindahan.

Baca Juga: Syair Jahili dalam Penafsiran Al-Quran

Musik Menurut al-Ghazali

Terkait status hukum musik dan nyanyian, sejatinya sejak dulu ulama telah berdiskusi panjang lebar dan menghasilkan pandangan yang pro-kontra. Sebagai ranah ijtihadi, tidak heran jika ada yang melegalkan, ada yang mengharamkan ada pula yang menghalalkan dengan beberapa catatan.

Dalam hal ini, Imam al-Ghazali memosisikan dirinya sebagai pihak yang tidak setuju musik dianggap haram. Beliau menegaskan bahwa menilai haram sebuah perkara berarti memvonis pelakunya melakukan dosa dan akan mendapat siksa. Menurut beliau, dalam masalah ini, tidak ada dalil yang secara tegas mengindikasikan keharaman musik. Jikapun ada beberapa ayat atau hadis yang menjadi argumentasi keharaman musik, itu diperoleh dari penafsiran subjektif yang sudah barang tentu dapat ditafsirkan dengan pemahaman yang lain.

Salah satu ayat Alquran yang sering dijadikan dalil oleh para pendukung keharaman musik atau nyanyian adalah surah Luqman ayat 6.

وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَشْتَرِي لَهْوَ الْحَدِيثِ لِيُضِلَّ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ وَيَتَّخِذَهَا هُزُوًا أُولَئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ مُهِينٌ

Dan di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan percakapan kosong untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa ilmu dan menjadikannya olok-olokan. Mereka itu akan memperoleh azab yang menghinakan. Q.S. Luqman [31]: 06

Tidak sedikit ulama baik dari kalangan sahabat maupun generasi berikutnya yang menafsiri kata لهو الحديث  pada ayat di atas sebagai penyanyi. Hal ini diperkuat dengan adanya keterangan dari Sahabat Ibnu Abbas r.a. bahwa ayat tersebut turun menyangkut seorang laki-laki yang membeli budak perempuan untuk bernyanyi. (Zad al-Masir fi ‘Ilm al-Tafsir, juz 3, hal. 429).

menurut Imam al-Ghazali, mempekerjakan budak perempuan dalam dunia hiburan –dalam hal ini menjadi penyanyi- merupakan tindakan tercela. Akan tetapi, hal ini tidak dapat dijadikan dalil untuk mengatakan bahwa hukum haram tersebut lahir karena nyanyian yang didendangkan. Hal ini terbukti ketika budak tersebut dipekerjakan khusus untuk menghibur majikannya sendiri, tentu hal tersebut tidak dilarang dalam agama.

Hal yang perlu diperhatikan adalah alasan mengapa لهو الحديث yang ditafsiri sebagai (membeli) budak penyanyi, dikecam dalam ayat tersebut. menurut al-Ghazali, titik tekan dalam ayat tersebut adalah bukan pada musiknya, melainkan karena ia dijadikan sebab untuk jauh dari jalan Allah. Melihat alasan ini, jangankan nyanyian, membaca Alquran saja bisa dihukumi haram ketika ia menjadi faktor seseorang jauh dari jalan Allah. (Ihya’ Ulum al-Din, juz 2, hal. 310)

Dari sini, Imam al-Ghazali mengajak kita untuk melihat sebuah perkara tidak hanya dari luarnya saja agar tidak terjebak pada pemahaman tekstualis yang biasanya kaku dan rigid. Terkait masalah musik dan nyanyian, kita harus dapat memisahkan antara yang substansi dan tidak.

Musik atau nyanyian sebagai lantunan suara indah dan berirama merupakan keindahan yang pada dasarnya tidak dilarang dalam agama. Sebab, akan terjadi paradoks jika Islam sebagai agama fitrah melarang keindahan lantunan suara yang juga merupakan fitrah manusia sebagai makhluk yang menyukai keindahan. Dalam hal ini, Imam al-Ghazali mengungkapkan sebuah pernyataan,

من لم يحركه الربيع وأزهاره والعود وأوتاره فهو فاسد المزاح ليس له علاج

Barang siapa yang tidak bergetar hatinya oleh musim semi, bunga-bunga, pepohonan dan suara petikan senar musim semi maka ia telah mati rasa. Dan tidak ada obat baginya. (Ihya’ Ulum al-Din, juz 2, hal. 299)

Baca Juga: Hukum Mengidolakan Artis Nonmuslim

Imam al-Ghazali memandang perlu ada pemisahan terkait musik atau nyanyian sebagai sebuah manifestasi dari keindahan dengan hal-hal eksternal yang mengitarinya. Menurut beliau, musik atau seni suara hukumnya boleh. Namun, hukumnya bisa berubah menjadi haram disebabkan faktor lain yang ada dalam musik itu sendiri.

Ia dapat dihukumi haram apabila penyanyinya adalah seorang perempuan yang disinyalir dapat mengundang syahwat dan menimbulkan fitnah. Demikian pula, musik hukumnya haram ketika lirik-liriknya mengandung unsur yang bertentangan dengan prinsip-prinsip agama.

Bahkan, Imam al-Ghazali juga memahami hadis yang melarang penggunaan alat musik seperti seruling dan gitar dengan pendekatan kontekstual. Menurut beliau, pada waktu itu, alat-alat musik tersebut memang menjadi ciri khas para pemabuk dan karap kali dimainkan di bar-bar dan tempat-tempat minuman keras lainnya. Karena ia identik dengan kemaksiatan maka sebagai langkah antisipasi alat musik tersebut juga dilarang.

Namun, seiring perkembangan zaman, alasan-alasan tersebut tentu mengalami perubahan dan pergeseran. Ini artinya, tidak selamanya musik atau alat musik yang dulu diharamkan masih tetap haram sampai sekarang. Begitu pula musik atau alat musik yang dulunya dilegalkan bisa jadi sekarang dilarang. Ini tergantung alasan hukum serta situasi dan kondisi yang mengitarinya.

Dari paparan tersebut, dapat dipahami bahwa dalam menyikapi masalah musik dan nyanyian, imam al-Ghazali tidak memahami dalil-dalil yang ada secara tekstual. Beliau menekankan pentingnya melihat persoalan secara komprehensif dan mendalam serta melakukan penafsiran secara maqhasidi. Hal ini sejalan dengan prinsip dalam hukum islam yang mengatakan bahwa الحكم يدور مع علته وجودا و عدما (ada dan tidak adanya hukum bergantung pada ada dan tidak adanya alasan hukum tersebut). wallahu a’lam.

Seruan Ibadah Haji dan Asal Muasal kalimat Talbiyah

0
Seruan Ibadah Haji dan Asal Muasal kalimat Talbiyah

Saat ini, umat Islam di seluruh penjuru dunia berbondong-bondong mengunjungi Kota Suci Mekkah dan Madinah untuk melaksanakan ibadah haji. Di antara mereka ada yang telah sampai di tanah suci tersebut ada pula yang masih menunggu proses keberangkatan. Mereka akan berkumpul di dua kota suci tersebut melaksanakan seluruh rangkaian ibadah haji guna memenuhi panggilan Allah Swt.

Dalam catatan sejarah, ibadah haji beserta seluruh ritual yang ada di dalamnya merupakan syariat umat terdahulu yang masih tetap lestari hingga sekarang. Ia merupakan napak tilas dari perjalanan dan perjuangan Nabi Ibrahim a.s. beserta keluarganya sebagai orang yang pertama kali membangun Ka’bah. Konon, mereka yang berangkat menunaikkan ibadah haji telah mendengar dan menjawab seruan Nabi Ibrahim a.s. untuk berhaji.

Baca Juga: Tafsir Surah Ali Imran Ayat 97 Istito’ah; Sebagai Syarat Wajib Haji

Seruan Nabi Ibrahim a.s. kepada seluruh manusia untuk berhaji ini termaktub dalam Alquran Surat al-Hajj ayat 27. Allah Swt. berfirman:

{وَأَذِّنْ فِي النَّاسِ بِالْحَجِّ يَأْتُوكَ رِجَالًا وَعَلَى كُلِّ ضَامِرٍ يَأْتِينَ مِنْ كُلِّ فَجٍّ عَمِيق}

Dan serulah manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, atau mengendarai setiap unta yang kurus, mereka datang dari segenap penjuru yang jauh.

Menurut mayoritas ulama tafsir, ayat di atas ditujukan kepada Nabi Ibrahim a.s. Konon, ketika Nabi Ibrahim a.s. telah selesai membangun Ka’bah bersama putranya Nabi Isma’il a.s., beliau mendapat perintah untuk menyeru manusia melaksanakan ibadah haji berkunjung ke rumah suci tersebut.

Terdepat berbagai riwayat mengenai detail kisah seruan Nabi Ibrahim a.s. untuk berhaji ke baitullah. Menurut Imam al-Qurthubi, Nabi Ibrahim a.s. menaiki bukit, Abi Qubais kemudian berteriak, “Wahai manusia! Allah Swt. telah memerintahkan kalian untuk berhaji ke rumah suci ini. Maka berhajiah supaya kalian diberi pahala berupa surga Allah swt. dan terhindar dari siksa di neraka”. [Tafsir al-Qurthubi, juz 12, hal 38]

Dalam riwayat yang lain, Nabi Ibrahim a.s. berdiri di atas tempat yang konon menjadi lebih tinggi daripada tempat-tempat yang lain. Menurut keterangan dari Ibnu Abbas r.a., atas izin Allah Swt., gunung-gunung pada waktu itu menunduk, kota-kota dan pemukiman manusia meninggi supaya suara Nabi Ibrahim a.s. sampai ke seluruh penjuru dunia. [Mafatih al-Ghaib, juz 23, hal 220]

Di sinilah salah satu mukjizat Nabi Ibrahim a.s. terlihat. Atas izin Allah swt., seruan beliau menunaikkan ibadah haji terdengar oleh seluruh manusia bahkan mereka yang masih belum lahir sekalipun. Dalam sebagian riwayat, suara beliau bahkan terdengar oleh bebatuan dan pepohonan sekalipun. Makhluk-makhluk yang mendengar seruan Nabi Ibrahim a.s. pun menjawab dengan ucapan kalimat talbiyah, لبيك اللهم لبيك.

Baca Juga: Tafsir Surah Al-Baqarah Ayat 201 dan Doa Ketika Berhaji

Dalam riwayat yang lain, ketika Nabi Ibrahim a.s. diperintah untuk menyerukan kewajiban haji kepada manusia, beliau kebingungan bagaimana caranya. Akhirnya, melalui Malaikat Jibril a.s., Allah Swt. mengajarkan kalimat talbiyah tersebut guna menyeru manusia untuk menunaikkan ibadah haji. Dengan demikian, berdasarkan riwayat ini, inilah kalimat talbiyah pertama dalam sejarah. [Tafsir al-Thabari, juz 16, hal. 607]

Menurut Imam Mujahid r.a., takdir manusia melaksanakan ibadah haji tergantung seberapa banyak jawaban kalimat talbiyah yang diucapkan ketika menjawab seruan Nabi Ibrahim a.s. mereka yang menjawab dengan talbiyah satu kali akan melaksanakan ibadah haji satu kali seumur hidup, dan mereka yang menjawab dua kali akan mendapat panggilan dua kali berhaji dalam seumur hidup dan begitu seterusnya. [Mafatih al-Ghaib, juz 23, hal. 220]

Komentar Sebagian Ulama Tentang Kisah Tersebut

Dalam berbagai literatur kitab tafsir, baik klasik maupun kontemporer, rata-rata mengutip riwayat-riwayat di atas ketika menafsiri ayat ke 27 Surat al-Hajj tersebut. Akan tetapi, ada sebagian ulama yang cukup kritis dengan riwayat-riwayat tersebut dengan lebih memilih diam dan memahami ayat sesuai dengan makna tekstual yang tersaji dalam ayat tersebut.

Di antara ulama yang mengambil sikap ini adalah Imam al-Maturidi. Meskipun beliau juga mengutip riwayat tersebut dalam kitab tafsirnya, tetapi beliau menegaskan bahwa kisah-kisah seperti ini tidak dapat diimani kecuali benar-benar ada keterangan valid dari Rasulullah Saw. maka dari itu, untuk hal-hal semacam ini beliau memilih sikap diam dan tidak mempercayai secara membabi buta akan kisah-kisah yang beredar. [Ta’wilat Ahl al-Sunnah, juz 7, hal. 407 ]

Baca Juga: Revolusi Ibadah Haji: Dari Paganis Menuju Islamis

Hal serupa juga diamini oleh Syaikh Muhammad Izzat Darwazah. Dalam kitab tafsirnya, beliau menandaskan bahwa validitas riwayat-riwayat tentang kisah seruan Nabi Ibrahim a.s. tersebut masih perlu dipertanyakan. Sehingga, sikap paling baik adalah mencukupkan diri terhadap penjelasan yang tersaji dalam Alquran. [Al-Tafsir al-Hadis, juz 6, hal 37]

Akhir kata, umat Islam wajib meyakini adanya seruan Nabi Ibrahim a.s. karena Alquran menjelaskan demikian, tetapi detail kisahnya seperti apa dan bagaimana prosesnya kita lebih baik bersikap no comment. Semoga semua umat Islam termasuk orang-orang yang ditakdirkan menjawab panggilan Nabi Ibrahim a.s. dan datang berkunjung ke tanah suci melaksanakan ibadah haji. Aamiin.

Wallahu a’lam bish shawab.

Mengulas Naskah Tempo 1984 “Fatwa Kecil dari Kudus”

0
Mufasir Indonesia
Masjid Menara Kudus

“Fatwa Kecil dari Kudus” merupakan judul artikel dalam Majalah Tempo, 4 Agustus 1984. Majalah ini didapat dari arsip Perpustakaan Medayu, Surabaya. Artikel yang dimuat dalam rubrik “Agama” ini menarik untuk diulas kembali karena memuat hasil musyawarah tokoh ulama Alquran Indonesia pada zaman dahulu.

“Persoalan Alquran dan penghafalannya baru pertama kali dibahas di Kudus, Jateng, di bawah naungan seorang ulama Alquran terkenal, K.H. Arwani. Tiga dari lima masalah dipecahkan,” begitulah headline artikel yang tertulis. Penulis mencoba mengulas hasil musyawarah yang tertulis dalam artikel “Fatwa Kecil dari Kudus kemudian mengaitkannya dengan keadaan saat ini bahwa ternyata telah banyak sekali perkembangan mengenai penulisan mushaf serta fatwa-fatwa yang menyertainya.

Potret naskah Majalah Tempo koleksi Perpustakaan Medayu, Surabaya

Fakta bahwa musyawarah tersebut baru pertama kali dibahas di Kudus dan melibatkan para ulama besar yang kini pondok pesantrennya telah berkembang pesat, menunjukkan bahwa Kudus merupakan salah satu tonggak perkembangan pesantren tahfiz Al-Qur’an dengan tokoh legendarisnya, yaitu K.H. Arwani Amin.

Pertemuan tersebut berlangsung sekitar 13 jam dan bertempat di Masjid Busyro al-Lathif, Kajeksan. Pertemuan tersebut dihadiri sekitar 250 hafiz alumni Pondok Pesantren Yanbu’ul Qur’an Kudus, serta 1200 santri dari Kelurahan Kuwanaran, Kudus. Sidang ini dipimpin oleh K.H. Sya’roni Ahmadi dari Kudus.

Tiga Fatwa yang Disepakati

Terdapat lima permasalahan yang dibahas dan tiga di antaranya menghasilkan kesepakatan. Adapun tiga permasalahan yang mencapai kesepakatan adalah sebagai berikut.

  1. Muculnya kaset rekaman Alquran ulama Mesir, Syeikh Mahmud Al-Khusari, yang memiliki perbedaan bacaan tajwid dengan K.H. Arwani, yaitu mad wajib munfasil yang dibaca dua alif atau empat harakat. Dalam hal ini, K.H. Arwani tetap memutuskan jika mad wajib munfasil dibaca tiga alif/enam harakat. Kemudian, kesepakatan selanjutnya adalah memperbolehkan membaca dua alif apabila telah musyafahah atau mengaji langsung kepada guru atau ulama yang mengajarkan demikian.

Berkaitan dengan panjang bacaan mad, K.H. Arwani Amin saat ini memang masyhur dengan nasihat beliau kepada para pembaca dan penghafal Alquran untuk membiasakan diri membaca Alquran dengan tartil. Hal ini juga diamalkan oleh santri-santri beliau yang kini telah memiliki pesantren sendiri.

  1. Penulisan Alquran rasm ustmani yang telah dibakukan pemerintah. Dalam hal ini, kesepakatannya adalah menentang penulisan rasm ustmani tersebut karena perbedaan penulisan dan akan membingungkan.

Baca juga: Mushaf Alquran Pojok Menara Kudus sebagai Simbol Lokalitas

Perlu diketahui bahwa pada kurun waktu tersebut, Lajnah Pentashihan Mushaf Alquran Kementerian Agama RI baru saja menetapkan pedoman penerbitan dan pentashihan Alquran dalam Muker (Musyawarah Kerja) Ulama Al-Qur’an ke-10 dan menerbitkan tiga model Mushaf Standar Indonesia, yaitu mushaf standar Ustmani, Bahriyah, dan Braille. Pentashihan ini merupakan hasil ijtihad selama kurun waktu 1974-1983 M.

Sementara itu, K.H. Arwani beserta santrinya telah menggunakan Mushaf Pojok terbitan PT. Menara Kudus sejak 1974. Mushaf ini juga telah mendapatkan tanda tashih dari Lajnah Pentashih pada tanggal 16 Mei 1974 M. Mushaf Pojok Menara Kudus merupakan hasil kopi ulang dari mushaf Bahriyah terbitan percetakan Usman Bik di Turki yang dilihat dari karakter tulisannya, merupakan hasil tangan kaligrafer bernama Mustafa Nazif. Pada awalnya, mushaf tersebut merupakan kepunyaan Mbah Arwani yang dibawa pulang dari ibadah haji pada tahun 1970-an. Kemudian beliau meminta untuk dicetak ulang tanpa merubah apapun (Nahih, 2017).

Baca juga: Sejarah Baru! KH Sya’roni Ahmadi, Gus Mus dan Sembilan Kaligrafer Akan Tulis Ulang Mushaf Menara Kudus

Mushaf Pojok ini dikenal legendaris karena memudahkan santri dalam menghafal Alquran. Sebagai simbol lokalitas Kota Kudus, Mushaf Pojok masih banyak digunakan para santri di berbagai pesantren dan masih terus diterbitkan. Namun, perlu diketahui bahwa PT. Menara Kudus saat ini telah menerbitkan mushaf rasm ustmani dalam berbagai versi. Bahkan Pondok Pesantren Yanbuul Qur’an Kudus melalui CV. Mubarokatan Thayyibah telah menerbitkan ‘Al-Qur’an Al-Quddus’ dengan rasm ustmani yang dicetak oleh PT. Buya Barokah. Mushaf Pojok rasm ustmani Menara Kudus saat ini juga populer di kalangan santri, karena menurut beberapa santri saat ini, hasil cetakan dinilai lebih jelas dibandingkan dengan hasil cetakan Mushaf Pojok yang merupakan tulisan tangan asli.

  1. Permasalahan tentang hafiz/ah yang lupa hafalannya. Dalam hal ini para ulama sepakat bahwa melupakan hafalan dengan sengaja termasuk dosa besar. Para ulama mengutip pendapat Ibnu Taimiyyah dalam kitab Fatawa Al-Kubra bahwa lupa yang termasuk dosa besar adalah lupa karena sengaja melalaikannya.

Dua Permasalahan yang Diperselisihkan

Kemudian ada dua permasalahan yang belum mencapai penyelesaian karena terdapat perbedaan pandangan, yaitu:

  1. Perihal penulisan kalimah “Al-Kitab” dalam Alquran, apakah menggunakan alif pada huruf ta’-nya atau tidak. Hingga saat ini, pada Mushaf Pojok Menara Kudus tertulis الكتاب, sementara dalam mushaf rasm ustmani tertulis الكتب, dengan menambahkan harakat fathah panjang pada huruf ta’ sebagai tanda bacaan panjang.
  2. Kewajiban setiap desa/kecamatan/kabupaten memiliki setidaknya seorang penghafal Alquran. K. H. Maftuch berpendapat bahwa dengan menganalogikan setiap desa harus ada masjid, maka setiap masjid harus ada seorang hafiz. Sementara kiai lain berpendapat keberadaan hafiz pada setiap desa bukanlah hal yang mudah. Apalagi mengingat pada zaman dulu pesantren belum berkembang pesat seperti saat ini.

Beberapa kiai yang hadir dan disebut dalam artikel “Fatwa Kecil dari Kudus” tersebut adalah K.H. Sya’roni Ahmadi, K.H Muharror Ali-Blora, K.H Maftuch-Kediri, dan K.H. Azhari-Payaman. Beliau-beliau ini merupakan santri Mbah Arwani yang kini telah menjadi kiai atau pimpinan pondok pesantren di berbagai pelosok pulau Jawa. Secara tidak langsung, jaringan santri Mbah Arwani sebagai kader qiraat Nusantara telah memperkuat akar transmisi sanad qiraat K.H. Munawwir Krapyak sebagai pembawa sanad utama Alquran ke Nusantara abad ke-20 (Junaedi, 2023).

Baca juga: Profil Mbah Munawwir: Sang Mahaguru para Qurra’ Nusantara

Sementara itu, K.H. Munawwar Krapyak dan K.H. Arwani Amien dikategorikan sebagai ulama pembawa jalur sanad qiraat Abu Hajar oleh Gus Milal dalam diskusi peluncuran bukunya, Sanad Qur’an dan Tafsir di Nusantara: Jalur, Lajur, dan Titik Temunya (Asrori, 2022).

Artikel “Fatwa Kecil dari Kudus terbitan Majalah Tempo 1984 ini sangat menarik diulas karena kita dapat menarik benang merah ke tempo dulu kemudian menghubungkannya dengan perkembangan ilmu Alquran saat ini. Kenyataan bahwa apa yang lahir saat ini, hal-hal yang kita pelajari, merupakan hasil ijtihad pada ulama kita terdahulu. Wallahu a’lam.

Mengenal Karakter Pemimpin Ideal dari Kisah Dzulkarnain

0
Karakter pemimpin ideal
Karakter pemimpin ideal

Tidak sedikit pemimpin yang memanfaatkan otoritasnya untuk berbuat sewenang-wenang. Mereka memanfaatkan kekuasaan untuk kepentingan pribadi atau golongan. Padahal semestinya, karakter pemimpin ideal antara lain harus diukur dari bagaimana kesanggupan seseorang untuk melayani rakyat.

Baca juga: Tiga Karakter Kepemimpinan Rasulullah yang Patut Dicontoh

Pemimpin yang melayani memiliki peran penting dalam membangun kemandirian suatu bangsa. Dia tidak hanya memiliki kebijaksanaan dalam mengelola negara, melainkan juga memiliki kepekaan terhadap kebutuhan dan aspirasi masyarakat. Salah satu karater pemimpin ideal ini dapat ditemukan dari sosok Dzulkarnain.

Tafsir Q.S. al-Kahfi [18]: 92-94; Menjadi Pemimpin yang Melayani ala Dzulkarnain

Salah satu teladan pemimpin yang melayani dapat ditemukan dalam kisah Dzulkarnain yang terdapat dalam Alquran, khususnya dalam Q.S. al-Kahfi [18]: 92-94.

ثُمَّ اَتْبَعَ سَبَبًا حَتّٰىٓ اِذَا بَلَغَ بَيْنَ السَّدَّيْنِ وَجَدَ مِنْ دُوْنِهِمَا قَوْمًاۙ لَّا يَكَادُوْنَ يَفْقَهُوْنَ قَوْلًا قَالُوْا يٰذَا الْقَرْنَيْنِ اِنَّ يَأْجُوْجَ وَمَأْجُوْجَ مُفْسِدُوْنَ فِى الْاَرْضِ فَهَلْ نَجْعَلُ لَكَ خَرْجًا عَلٰٓى اَنْ تَجْعَلَ بَيْنَنَا وَبَيْنَهُمْ سَدًّا

“Kemudian, dia mengikuti suatu jalan (yang lain lagi). Hingga ketika sampai di antara dua gunung, dia mendapati di balik keduanya (kedua gunung itu) suatu kaum yang hampir tidak memahami pembicaraan. Mereka berkata, “Wahai Zulqarnain, sesungguhnya Ya’juj dan Ma’juj adalah (bangsa) pembuat kerusakan di bumi, bolehkah kami memberimu imbalan agar engkau membuatkan tembok penghalang antara kami dan mereka?”

Ayat tersebut mengisahkan perjalanan Dzulkarnain melalui jalur antara timur dan barat yang berbelok ke utara, menuju dua gunung di Armenia dan Azerbaijan. Ketika dia tiba di sana, dia bertemu dengan sekelompok manusia yang berbicara dalam bahasa yang sangat berbeda dan sulit dipahami, jauh berbeda dengan bahasa yang umum digunakan.

Kemudian, melalui juru bicaranya mereka meminta kepada Dzulkarnain untuk dibuatkan tembok atau benteng untuk melindungi mereka dari Yakjuj dan Makjuj dengan menawarkan akan memberikan upah. Namun dengan kesabaran dan hati yang ikhlas, Dzukarnain menolak tawaran pemberian upah tersebut, dan berjanji untuk membuatkan tembok yang lebih kokoh dari yang diminta.

Baca juga: An-Nisa Ayat 58: Menelusuri Pesan Al-Quran Untuk Para Pemimpin

Menurut penafsiran A. Musta’in Syafi’ie dalam tafsirnya Tafsir Alquran Aktual Harian Bangsa, menjelaskan bahwa cerita tersebut mengandung makna terkait karakter seorang pemimpin, setidaknya terdapat lima poin analisis dari ayat tersebut. (A. Musta’in Syafi’ie, Tafsir Al-Kahfi 92-94: Blusukan Ketiga, ke Masyarakat Tertindas, 2023)

Pertama, Dzulkarnain mengunjungi daerah yang sangat terpencil dan sulit diakses. Sebelumnya, sebuah ekspedisi telah mencoba menemukan lokasi tersebut dengan dua tim yang berbeda, yakni tim dari darat dan udara.

Laporan ekspedisi menyebutkan bahwa daerah tersebut memang ada, namun kondisinya terjal, tertutup, dan jauh hingga kuda pun tidak bisa masuk, dan tim harus melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki.

Meskipun tidak pasti apakah daerah tersebut sesuai dengan yang digambarkan dalam Alquran, keberhasilan Dzulkarnain menjangkau daerah yang sulit diakses tersebut menunjukkan betapa hebat sosok tersebut.

Kedua, Dzulkarnain memiliki pemahaman mendalam tentang kondisi, pola pikir, dan perilaku orang-orang yang tinggal di gunung, pedalaman, dan minim pengetahuan. Meskipun mereka bersikap kasar, merasa sebagai penguasa, dan menganggap rendah Dzulkarnain, Dzulkarnain tetap sabar dan tidak tersinggung.

Mereka menginginkan Dzulkarnain membuatkan benteng (sadd) dengan imbalan tertentu. Sementara itu, Dzulkarnain menolak dengan halus untuk dibayar, bahkan dia menjanjikan hasil yang lebih baik.

Ketiga, Dzulkarnain adalah seorang pemimpin yang cerdas. Dia dapat melihat potensi dari orang-orang di wilayahnya dengan tepat, serta menganalisis sumber daya manusia dengan proporsional. Orang yang tinggal di gunung memiliki tubuh yang kuat dan berenergi tinggi namun tidak memiliki pengetahuan tentang arsitektur, desain, atau perencanaan. Oleh karena itu, Dzulkarnain menggunakan kekuatan mereka untuk membantunya membangun tembok besar.

Baca juga: Kaya Versi Zulkarnain dan Nabi Muhammad ﷺ: Kepedulian Terhadap Sesama

Keempat, Dzulkarnain merupakan seorang pemimpin yang tidak hanya memberi, melainkan juga tidak membebani rakyatnya dengan pajak. Dia berupaya untuk merangkul rakyatnya dan bersama-sama membangun dengan penuh dedikasi, menciptakan keharmonisan dan kesatuan di antara mereka.

Kelima, mereka meminta Dzulkarnain membangun sadda (dinding penyekat biasa), namun Dzulkarnain membuatkan radma (tembok kokoh, bercor dengan kerangka besi) yang jauh lebih kokoh ketimbang sadda.

Menurut A. Musta’in Syafi’ie, Dzulkarnain adalah sosok pemimpin sejati yang selalu memperhatikan keinginan rakyat. Dia mengibaratkan seperti ketika diajukannya sebuah proposal dari rakyat kepada pemimpin, maka dia akan mempelajarinya dengan seksama dan mengoreksi secara tepat hingga membuat hasil yang terbaik, meskipun harus mengorbankan sebagian besar hartanya.

Terlihat dari pembangunan radma, padahal rakyat hanya meminta sadda. Tentu, tidak sedikit anggaran yang dibutuhkan untuk membangun tembok kokoh tersebut yang tertu saja melampaui angka dalam proposal permohonan.

Keinginan mereka untuk dibangunkan sadda tersebut karena mereka belum mengerti seberapa kuat Yakjuj dan Makjuj. Tetapi Dzulkarnain mengerti, sehingga tidak cukup jika hanya dibangun sadda. Begitulah sikap pemimpin hebat, memberi lebih di atas yang dikehendaki rakyat.

Pemimpin yang Melayani: Pelajaran dari Kisah Dzulkarnain

Sikap Dzulkarnain dalam cerita tersebut mencerminkan prinsip-prinsip kepemimpinan yang relevan dalam upaya membangun negara mandiri.

Seorang pemimpin harus memiliki visi untuk membentuk jiwa yang merdeka, mengubah sikap, pandangan, dan pikiran agar terfokus pada kemajuan bangsa, sehingga dapat bersaing dengan bangsa lain di dunia.

Hal ini sejalan dengan Instruksi Presiden Nomor 12 Tahun 2016 tentang Gerakan Nasional Revolusi Mental, yang bertujuan untuk memperbaiki karakter bangsa Indonesia melalui revolusi mental.

Inpres tersebut menekankan nilai-nilai integritas, etos kerja, dan gotong royong untuk membentuk budaya yang bermartabat, modern, maju, makmur, dan sejahtera berdasarkan Pancasila. Dalam Inpres ini, pejabat diminta untuk menjalankan lima gerakan, yaitu Indonesia melayani, bersih, tertib, mandiri, dan bersatu. Sehingga dari sini terlihat ada kesamaan Inpres dengan karakter pemimpin yang dimiliki oleh Dzulkarnain, mampu memberi pelayanan terbaik untuk kaum yang tinggal di antara dua gunung tersebut.

Dengan mengambil teladan dari sikap Dzulkarnain dalam kisahnya, pemimpin modern dapat belajar untuk menjadi pemimpin yang lebih baik dalam membangun bangsa yang mandiri. Mereka harus memiliki kesadaran akan tanggung jawab sebagai pemimpin untuk melayani masyarakat dengan penuh dedikasi, keadilan, dan empati. Dengan demikian, pembangunan bangsa yang mandiri dapat tercapai melalui kepemimpinan yang melayani dan bertanggung jawab. Wallahu a’lam.

Kurban Perasaan Nabi Sulaiman

0
kurban perasaan Nabi Sulaiman_tafsir surah Shad ayat 30-33
kurban perasaan Nabi Sulaiman_tafsir surah Shad ayat 30-33

Tidak lama lagi kita akan menyambut bulan Dzulhijjah. Bulan yang dinantikan umat Islam yang hendak menunaikan ibadah haji dan kurban. Bulan yang dinantikan umat Islam yang senang dengan datangnya hari raya Iduladha. Baik yang miskin maupun kaya, semua bersatu dalam kebahagiaan perayaan kurban.

‘Kurban apa tahun ini?’ Ini jadi pertanyaan yang lumrah kita dengar ketika momen Iduladha tiba. Melalui pertanyaan tersebut kita sering mendengar istilah ‘kurban perasaan’, suatu pernyataan sederhana agar tidak terkesan polos menjawab ‘tidak kurban’.

Kurban perasaan pada faktanya tidak semudah kata-kata. Ia menjadi lebih sulit, terlebih jika perasaan yang dimaksud adalah cinta. Mencintai sesuatu melebihi kecintaan terhadap Allah, lebih memilih bersama perasaan itu daripada menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya, nyatanya perasaan tidak semudah itu dikurbankan.

Baca Juga: Kewafatan Nabi Sulaiman as. Dan Ketidaktahuan Jin tentang Hal Gaib

Alquran, surah Shad ayat 30 sampai 33 mengabadikan kisah Nabi Sulaiman yang merelakan kecintaannya kepada suatu hal demi kembali berzikir kepada Allah.

وَوَهَبْنا لِداوُدَ سُلَيْمانَ نِعْمَ الْعَبْدُ إِنَّهُ أَوَّابٌ (30) إِذْ عُرِضَ عَلَيْهِ بِالْعَشِيِّ الصَّافِناتُ الْجِيادُ (31) فَقالَ إِنِّي أَحْبَبْتُ حُبَّ الْخَيْرِ عَنْ ذِكْرِ رَبِّي حَتَّى تَوارَتْ بِالْحِجابِ (32) رُدُّوها عَلَيَّ فَطَفِقَ مَسْحاً بِالسُّوقِ ‌وَالْأَعْناقِ (33

Dan kami anugerahkan Sulaiman kepada Dawud, ialah sebaik-baik hamba seorang yang bertaubat. Ketika pada suatu sore dihadapkan kepadanya kuda-kuda yang gagah nan gesit. Ia berkata, ‘sungguh aku mencintai kemilau kebaikan (dunia) daripada mengingat Tuhanku hingga mentari tiada terlihat lagi. Bawalah semua kuda itu padaku, lalu ia mengusap-usap kaki dan leher kuda tersebut.

Ibnu Asyur menyebut dalam kitab tafsir beliau, at-Tahrir wa at-Tanwir  bahwa kata awwab mengandung maksud banyak atau gemar di dalamnya, banyak atau gemar bertaubat. Adapun kelanjutan kisah Nabi Sulaiman dan kecintaannya pada keindahan kuda adalah salah satu dari kisah tentang pertaubatan beliau yang dianggap luar biasa.

Kata masaha pada ayat 33 di atas oleh Ibnu Asyur dimaknai dengan memenggal, bukan sekedar mengusap biasa melainkan mengusap dengan pedang. Menurut beliau jika tidak dimaknai dengan memenggal maka konteks kisah di atas menjadi rancu.

Melalui pemaknaan seperti Ibn Asyur di atas dapat dipahami bagaimana kisah kurban perasaan Nabi Sulaiman. Demi kembali berzikir kepada Allah beliau sampai hati merelakan kuda-kuda pilihan.

Baca Juga: Kisah Pengembala, Pemilik Kebun, dan Kebijaksanaan Nabi Sulaiman

Barangkali ada di antara pembaca yang menganggap kuda adalah hewan biasa pada masa kini, perlu diketahui bahwa kuda merupakan satu-satunya alat transportasi tercepat di kala itu. Adapun kuda pilihan nan gagah ibarat mobil sport mewah pada masa kini. Kuda yang bagus dan terawat menunjukkan bahwa pemiliknya adalah tokoh dengan kekuatan finansial tinggi.

Jika diibaratkan masa kini, adakah seseorang yang bisa merelakan mobil mewahnya begitu saja demi kesempatan dan waktu untuk mengingat Allah? Oleh karena beratnya merelakan perasaan cinta akan keindahan, terlebih sesuatu yang dicapai melalui perjuangan, Allah memberikan pujian terhadap Nabi Sulaiman.

Kurban perasaan bukanlah hal yang mudah dan sederhana. Seseorang yang mengorbankan perasaannya demi rida Allah akan mendapatkan predikat tersendiri dari-Nya seperti halnya Nabi Sulaiman. Mengalahkan perasaannya sendiri demi rida Ilahi yang lebih luhur menunjukkan bahwa tokoh tersebut memiliki kekuatan pengendalian diri yang kuat.

Dalam satu hadis yang ditakhrij oleh Imam Ahmad dalam Musnad beliau disebutkan bahwa Nabi Muhammad saw. bersabda,

الْمُجَاهِدُ مَنْ جَاهَدَ نَفْسَهُ للَّهِ  

Pejuang sejati adalah seorang yang melawan nafsunya demi (ridha) Allah.

Baca Juga: Belajar Servant Leadership dari Kisah Nabi Sulaiman dalam Al-Quran

Seringkali perasaan dalam hati adalah nafsu, suatu keinginan yang beriringan dengan larangan Allah. Keberhasilan seseorang untuk mengurbankan perasaannya demi Tuhannya adalah suatu pencapaian tersendiri. Wallahu a’lam.

Delapan Aspek Maqashidi Surah Qaf

0
Delapan Aspek Maqashidi Surah Qaf

Kajian Alquran yang berbasis maqāṣidī semakin banyak didiskusikan. Hal ini memberikan kabar gembira bahwa kajian Alquran tidak stagnan, justru bersifat progresif. Banyak kajian yang memfokuskan pada maqāṣid Alquran (tafsīr maqāṣidī), baik sebagai metode tafsir (manhaj al-tafīr), corak tafsir (lawn al-tafsīr), atau sebagai pendekatan.

Pengungkapan maqāṣid memiliki berbagai macam metode. Ada yang berbasis teks kemudian pengambilan kesimpulan; atau bahkan diambil dari analisis ayat, surah, dan tujuan umum Alquran. Hammad bin Muḥammad Yusūf (2020) dalam kitabnya, al-Maqāṣid al-Qur’āniyyah fī Surah Qāf, mengatakan ada delapan aspek yang bisa dijadikan sebagai subjek mengungkap maqāṣidī al-qur’ān.

Baca Juga: Mengenal Tafsir Maqashidi: Penafsiran Berbasis Pendekatan Maqashid Syariah

Walaupun beliau mengaplikasikan delapan aspek analisis itu pada surah qāf, namun dapat diterapkan ke surah-surah lain. Tulisan ini secara sederhana menyebutkan delapan aspek tersebut.

Pertama, pada permulaan ayat surah qāf terlihat jelas bahwa ini menunjukkan pada ranah maqāṣidī.

قۤ ۗوَالْقُرْاٰنِ الْمَجِيْدِ ۖ ١ بَلْ عَجِبُوْٓا اَنْ جَاۤءَهُمْ مُّنْذِرٌ مِّنْهُمْ فَقَالَ الْكٰفِرُوْنَ هٰذَا شَيْءٌ عَجِيْبٌ ۚ ٢ ءَاِذَا مِتْنَا وَكُنَّا تُرَابًا ۚ ذٰلِكَ رَجْعٌۢ بَعِيْدٌ ٣

Qāf. Demi Alquranyang mulia (1) (Mereka menolaknya,) bahkan mereka heran karena telah datang kepada mereka seorang pemberi peringatan dari (kalangan) mereka sendiri. Berkatalah orang-orang kafir, “Ini adalah sesuatu yang sangat mengherankan (2) Apakah setelah kami mati dan sudah menjadi tanah (akan dikembalikan)? Itu adalah pengembalian yang sangat jauh.

Pada permulaan tiga ayat di atas, adanya perpindahan ungkapan dari sumpah (qasm) dengan Alquran pada uraian tentang keingkaran orang musyrik menunjukkan bahwa surah ini berbicara demikian. Inti dari pembicara ayat ini di antaranya membatalkan keingkaran dan mereka tidak percaya terhadap akhirat.

Baca Juga: 3 Mufassir Populer Dengan Pendekatan Maqashidinya

Kedua, dari sudut pandang munasabah (hubungan) awal dan akhir surah. Ayat yang ditampilkan di awal surah tersebut mempunyai tiga poin utama. Ayat pertama disampaikan dengan diksi qasam (sumpah) atas nama Alquran. Kemudian, ayat 2 dan 3 menunjukkan keraguan orang musyrik terhadap hari kebangkitan (yawm al-ba’ts) dan pembinasaan mereka dengan kepastian kuasa Allah di ayat-ayat kauniyah.

Tema atau kandungan awal surah tersebut sejalan dengan apa yang ada di akhir surah. Surah qāf diakhiri dengan ketetapan hadirnya yawm al-ba’ts, perintah mengingat dengan cara membaca Alquran. Sebab dengan upaya tersebut akan memantapkan keyakinan bahwa Alquran adalah kitab mukjizat dan sebagai dalil hari kebangkitan.

Puncaknya ada pada mentadaburi dan merenungi Alquran. Proses ini merupakan jalan yang agung untuk sampai pada Yang Haq, yaitu Allah.

Kesesuaian antara awal dan akhir surah tersebut mempunyai dua maqāṣid, yaitu penegasan bahwa Alquran sebagai mukjizat dan jalan menuju makrifat (mengetahui Allah). Sementara itu, dalam konteks surah qaf ini, mukjizat Alquran khusus pada bagaimana membuktikan yawm al-ba’ts secara argumentatif.

Adapun dalam poin “sebagai media sampainya seorang hamba kepada makrifatullah”, Alquran ditempatkan tidak hanya sebagai bacaan biasa; namun sudah masuk kepada perenungan. Isi dari perenungan tersebut adalah memikirkan setiap lafaz, ayat, dan isi dari Alquran. Inilah yang dimaksud dengan qirā’ah wa tadabbur al-qur’ān.

Ketiga, berdasarkan sudut pandang waktu turunnya surah qāf. Surah tersebut termasuk dalam kategori makkiyah. Kecenderungan surah makkiyah yang tema dan isinya untuk memapankan ketauhidan serta akidah sempurna. Al-Zuhaylī (w. 2015) mengatakan bahwa inti dari surah Makkiyah adalah berbicara tentang hari kebangkitan dan keadaan akhirat (al-Tafsīr al-Munīr, 8, 45).

Keempat, tartīb al-nuzūl. Aspek yang penting dalam mengungkapkan sebuah maqāṣid adalah susunan sebelum dan sesudah surah tersebut diturunkan. Berdasarkan susunan turunnya, surah qāf diturunkan sebelum surah al-Balad dan setelah surah al-Mursalāt.

Baca Juga: Tafsir Maqashidi: Sebuah Pendekatan Tafsir yang Applicable untuk Semua Ayat

Surah al-Mursalāt berbicara tentang orang-orang yang mendustakan hari kiamat (yaum al-dīn). Pola yang dibangun dalam surah tersebut yaitu dengan pola targhīb (janji yang bersifat baik) dan tarhīb (ancaman) bagi mereka yang pantas mendapatkannya.

Jika dihubungkan dengan surah qāf, maka tujuan dari surah tersebut sebagai kesempurnaan surah sebelumnya dengan cara memperlihatkan bukti bahwa tempat kembali (al-ma‘ād) itu nyata. Surah qāf menampilkan bukti tersebut dengan gaya yang mengarah pada persuasi bersifat rasional (uslūb al-iqnā‘ al-fikrī). Selain itu, surah qāf juga mendiskusikan bukti kenabian dan menjelaskan kebinasaan umat terdahulu yang mendustakan kebenaran (tauhid).

Sementara itu, hubungan dengan surah sebelumnya (berdasarkan tartīb al-nuzūl), yaitu surah al-Balad ini menunjukkan bahwa surah qāf memiliki tujuan untuk menyempurnakan ajakan Allah. Ajakan tersebut berupa undang-undang/peraturan Allah dan bersifat mengikat dengan adanya balasan dari Allah bagi orang yang melaksanakannya.

Kelima, tartīb al-muṣḥaf (susunan mushaf utsmani). Jika dilihat dari susunan mushaf utsmani, maka kita akan menemukan bahwa surah qāf terletak setelah Q.S al-Hujurāt dan sebelum Q.S al-Dzāriyāt. Pemosisian tersebut memiliki maqāṣid (tujuan) untuk memperlihatkan dan menetapkan kesempurnaan ketentuan (kudrah) Allah.

Keenam, keutamaan surah. Salah satu aspek untuk mengetahui maqāṣid sebuah surah adalah dengan melihat keistimewaan surah. Biasanya akan ditemukan melalui beberapa riwayat yang menginformasikan keutamaan surah tersebut.

Sementara itu, dalam konteks surah qāf, Rasulullah saw sering membacanya dalam acara-acara dan perkumpulan besar. Hal ini menunjukkan bahwa surah tersebut memuat dasar-dasar akidah Islam, khususnya iman terhadap akhirat dan hari kebangkitan setelah kematian.

Ketujuh, topik pembahasan surah. Secara umum, surah qāf sebagian besar berbicara terkait dengan ketentuan akidah Islam. Bahkan secara khusus, mempresentasikan perihal dihidupkan kembali setelah kematian.

Kedelapan, karakteristik surah. Salah satu kekhasan surah qāf ini adalah adanya pengulangan huruf qaf sebanyak 57 kali (Qufi, 2008: 127). Menurut Ibn Qayyim al-Jawziyyah (w. 751 H), setiap makna yang ada dalam surah qāf itu berkesesuaian dengan sifat huruf qaf itu sendiri. Ada empat sifat yang terkandung dalam huruf qaf, yaitu syiddah (kuat/keras), jahr (jelas/dibaca keras), ‘uluww (terangkat/naik), dan infitāḥ (terpisah/terbuka) (Badā‘ī al-Fawā’ide, 3, 174).

Menurutnya, huruf-huruf yang memiliki sifat tersebut, khususnya surah qāf, cenderung mempunyai maksud mentadaburi Al-Qur’an, memikirkan ciptaan Tuhan, dan menyebutkan orang-orang yang bertakwa.

Delapan dimensi di atas masih memerlukan validitas dan pembuktian secara menyeluruh. Namun, terlepas dari itu semua, dapat disaksikan upaya ulama memahami Alquran sangat totalitas. Semua dimensi tersebut senantiasa akan terasa dan dipahami setelah dijelaskan bagaimana posisi maqāṣid Alquran di surah tersebut.

Wallahu a’lam.

Filosofi Fungsi dan Peran Pakaian Menurut Alquran

0
Filosofi Fungsi dan Peran Pakaian Menurut Alquran
Ilustrasi pakaian.

Seiring berkembangnya zaman, pakaian menunjukkan entitasnya sebagai seni yang mengagumkan dalam diri manusia. Para desainer berlomba-lomba merancang model pakaian yang anggun, elok, menarik, unik, dan berkesinambungan. Di samping itu, pakaian berpengaruh terhadap nilai seseorang, sehingga banyak orang memburu brand ternama maupun desainer terkenal guna memperindah dirinya dengan model pakaian yang menarik.

Berbagai model pakaian yang ditampilkan para desainer itu terkadang berlawanan dari tujuan pakaian itu sendiri. Baik tujuan norma agama, sosial, maupun individual. Hal tersebut sudah menjadi keniscayaan, karena kiblat pakaian mengacu pada Barat. Dalam norma agama, pakaian digunakan untuk tujuan menutup aurat. Norma sosial berbicara tentang kesopanan dan kepantasan pakaian yang dipakai. Sedangkan dalam perspektif individual, pakaian diukur berdasarkan tingkat kenyamanan pakaian itu sendiri.

Alquran Berbicara Masalah Pakaian 

Sebagai kitab yang komprehensif dan pedoman hidup manusia, Alquran membicarakan pakaian sebagai kebutuhan dasar manusia. Menurut Quraish Shihab, Alquran menggunakan tiga bahasa untuk mengistilahkan pakaian, yaitu libas, tsaub, dan sarabil. Ketiga istilah tersebut memiliki makna berbeda jika dihadapkan pada konteks tertentu (Quraish Shihab, Wawasan Alquran, hal. 155).

Alquran telah mengisahkan awal mula terciptanya pakaian. Kisah tersebut termaktub dalam Q.S. Al-A’raf [7] ayat 20 yang artinya: “Setan membisikkan pikiran jahat kepada keduanya untuk menampakkan pada keduanya apa yang tertutup dari mereka, yaitu auratnya dan setan berkata: Tuhan kamu melarang kamu mendekati pohon ini, supaya kamu berdua tidak menjadi malaikat atau tidak menjadi orang-orang yang kekal di surga.

Baca juga: Tiga Makna Libas (Pakaian) dalam Narasi tentang Hubungan Suami-Istri

Ayat ini menginterpretasikan Adam dan Hawa sebagai manusia pertama yang mulanya tertutup auratnya. Namun, setan melakukan tipu daya, sehingga mereka berdua memakan buah Khuldi. Akibat makan buah terlarang tersebut, Adam dan Hawa terbuka auratnya. Mereka berdua malu, sehingga berusaha menutup auratnya. “Setelah mereka merasakan buah pohon terlarang itu. Tampaklah bagi keduanya aurat-auratnya dan mulailah keduanya menutupinya dengan daun-daun surga. (Q.S. Al-A’raf [7]: 22).

Dedaunan surga menjadi awal mula pakaian yang dikenakan manusia. Tujuan dari pakaian tersebut adalah menutup aurat. Jika melihat kisah di atas, fitrah manusia adalah tertutup. Manusia yang memiliki kesadaran akan menutup auratnya karena aurat adalah aib bagi dirinya. Kisah di atas juga mengindikasikan bahwa membuka aurat adalah tipu daya setan. Uraian kisah di atas juga menggambarkan rayuan setan sangat dahsyat sehingga memicu manusia menampakkan auratnya.

Peran Pakaian Menurut Alquran   

Alquran secara rasional menggambarkan eksistensi pakaian sebagai kebutuhan primer manusia. Peran pakaian disandingkan Alquran dengan tempat tinggal sebagai dasar kehidupan dunia dan kenikmatan dari Allah Swt. Termaktub dalam Q.S. An-Nahl [16] ayat 81 yang artinya: “Allah menjadikan tempat bernaung bagi kamu dari apa yang telah Dia ciptakan. Dia menjadikan bagi kamu tempat-tempat tertutup di gunung. Dia menjadikan pakaian bagimu untuk melindungi dari panas dan pakaian (baju besi) untuk melindungimu dalam peperangan. Demikianlah Allah menyempurnakan nikmatNya kepadamu agar kamu berserah diri (kepadaNya).”

Baca juga: Puasa, Seks dan Pakaian dalam Surah Al-Baqarah Ayat 183-187

Al-Qurtubi dalam tafsirnya menafsirkan kata sarabil (pakaian) pertama sebagai pelindung dari sengatan matahari dengan mengibaratkannya kemeja atau baju yang bahannya dari kain. Adapun sarabil kedua yakni baju besi, pakaian yang dipakai ketika perang (Tafsir Al-Qurtubi, Juz. 10, hal. 195).

Quraish Shihab menambahkan bahwa ayat di atas merupakan representasi peran pakaian sebagai pelindung bagi manusia. Perlindungan dalam konteks ayat, menunjukkan perlindungan lahiriyyah. Pakaian mampu menghangatkan dari cuaca dingin, menghalangi sengatan matahari tatkala cuaca panas, dan menghindarkan manusia dari fitnah dan kekerasan seksual.

Fungsi Pakaian Menurut Alquran

Secara eksplisit Allah Swt. menggambarkan fungsi pakaian dalam Q.S. Al-A’araf [7] ayat 26. Allah Swt. berfirman:

  يٰبَنِىۡۤ اٰدَمَ قَدۡ اَنۡزَلۡنَا عَلَيۡكُمۡ لِبَاسًا يُّوَارِىۡ سَوۡاٰتِكُمۡ وَرِيۡشًا‌ ؕ وَلِبَاسُ التَّقۡوٰى ۙ ذٰ لِكَ خَيۡرٌ‌ ؕ ذٰ لِكَ مِنۡ اٰيٰتِ اللّٰهِ لَعَلَّهُمۡ يَذَّكَّرُوۡنَ

Wahai anak Adam, sesungguhnya Kami telah menurunkan kepada kamu pakaian yang menutup auratmu dan juga pakaian bulu untuk menjadi perhiasan dan pakaian takwa itulah yang paling baik.

Dari ayat di atas dapat diuraikan fungsi pakaian sebagai berikut:

  1. Penutup Aurat

Secara teminologi, aurat terambil dari kata sa’a-yasu’u yang artinya buruk; tidak menyenangkan. Ibnu Katsir dalam tafsirnya menjelaskan Allah Swt. bermaksud menjadikan pakaian atas hambanya agar mereka dapat menutup auratnya (Tafsir Ibnu Katsir, Juz 3, hal. 399).

Sebagaimana penjelasan pada kisah awal mula terciptanya pakaian, bahwa fitrah manusia adalah menutupi segala sesuatu yang tercela dalam dirinya. Salah satu yang tercela adalah aurat, maka norma agama telah menentukan batas-batas aurat yang telah dijelaskan di atas.

  1. Perhiasan

Ibnu katsir memaparkan bahwa yang dimaksud perhiasan dalam fungsi pakaian adalah sesuatu yang indah jika dilihat secara lahiriah. Alquran membolehkan manusia untuk mengenakan pakaian yang elok nan indah untuk memperindah diri. Karena naluri manusia suka terhadap keindahan, maka Alquran sangat rasional menyebut pakaian berfungsi untuk memperindah pemakainya.

Baca juga: Menafsir Ayat tentang Pakaian dengan Tafsir Maqashidi

Namun, secara tegas Alquran melarang manusia untuk berperilaku berlebihan (Q.S. Al-A’raf [7]: 31); dan bagi laki-laki dilarang memakai pakaian yang terbuat dari sutera dan perhiasan emas. Perhiasan tersebut hanya dipakainya ketika di surga.

  1. Takwa

Pakaian ini yang disebut Alquran sebagai pakaian yang terbaik. Jangan salah mengartikan bahwa pakaian takwa adalah baju koko yang biasa dipakai oleh laki-laki. Para ulama berbeda pendapat dalam menafsirkan pakaian takwa ini. Menurut Quraish Shihab pakaian dalam Alquran memiliki dua makna, yaitu pakaian lahiriyyah dan bathiniyyah. Takwa adalah pakaian bathiniyyah. Semua orang dituntut untuk merajut sendiri pakaian ini. Benangnya adalah tobat, sabar, syukur, qana’ah, ridha, dan lain sebagainya.

Sebagian ulama juga mengartikan takwa sebagai pelindung. Bahwa pakaian mampu melindungi seseorang dari keburukan yang akan menimpanya. Takwa dalam makna pelindung lebih mengarah pada sisi lahiriyyah. Sebagaimana peran pakaian yang telah dijelaskan di atas.

  1. Penunjuk Identitas

Fungsi keempat ini termaktub dalam Q.S. Al-Ahzab [33]: 59 yang artinya: “Yang demikian itu lebih mudah bagi mereka untuk dikenal.” Menurut Quraish Shihab, fungsi pakaian sebagai petunjuk identitas adalah menggambarkan eksistensinya sekaligus membedakan seseorang dari yang lainya. Maka kita mengetahui identitas seorang polisi, TNI, dan pejabat lewat pakaianya.

Baca juga: Pakaian Isbal, Indikator Kesombongan, dan Tafsir Ayat-Ayat Takabur dalam Alquran

Islam menekankan kepada pemeluknya selalu berpenampilan menarik. Tujuannya agar tidak direndahkan oleh umat lain. Pepatah Jawa mengatakan “Ajining diri soko latih, ajining rogo soko busono.” Peribahasa tersebut mengindikasikan esensi pakaian dalam kehidupan manusia. Kewibawaan seseorang akan terbawa jika yang dikenakan pakaian yang bagus dan elok. Sebaliknya kewibawaan bisa turun karena pakaian yang dikenakan lusut. Berpenampillah sesuai identitas yang saat ini kita emban. terutama identitas bahwa kita seorang muslim. Wallahualam.

Hikmah Alquran pada Larangan Berlebihan dalam Beragama

0
larangan berlebihan dalam beragama
larangan berlebihan dalam beragama

Dalam Islam, terdapat ajaran yang melarang berlaku berlebihan dalam semua hal, termasuk dalam hal beragama. Larangan berlebihan dalam  beragama pernah juga disampaikan oleh Rasulullah saw. dalam sebuah hadis, yaitu ketika melarang ketiga sahabatnya untuk terus-terusan berpuasa (tanpa berbuka), terus-terusan salat malam (tanpa tidur), dan terus-terusan membujang (tidak akan menikah) dengan niat menjalankan perintah agama.

Berkaitan dengan hal tersebut, Alquran tampaknya juga telah memberikan petunjuk bagi siapa saja yang membacanya–dan turut mendalami maknanya–agar jangan sampai terlalu berlebihan dalam beragama. Maksud dari berlebihan di sini bisa dianggap sebagai perilaku beragama yang berpotensi dapat memunculkan sikap eksklusif, fanatik, bahkan ekstrem sebagai akibat dari melewati batas-batas syariat.

Salah satu firman Allah swt. yang dapat ditelaah bersama sebagai landasan larangan berlebihan dalam beragama sekaligus sebagai preventif dari sikap berlebihan dalam beragama adalah surah an-Nisa [4]: 171. Walaupun bunyi dari ayat ini secara jelas memang ditujukan kepada kalangan Ahlulkitab, tetapi tetap tidak menutup kemungkinan bahwa umat Islam pun juga masih dapat terjerumus pada sikap yang sama.

….يٰٓاَهْلَ الْكِتٰبِ لَا تَغْلُوْا فِيْ دِيْنِكُمْ

“Wahai Ahlulkitab, janganlah kamu berlebih-lebihan dalam (menjalankan) agamamu…”

Baca Juga: Albaqarah Ayat 148: Isyarat Pluralitas dan Solusi Egoisme Beragama

Refleksi Larangan Berlebihan dalam Beragama

Abu Hasan An-Naisaburi dalam kitab Asbab Nuzul al-Qur’an menjelaskan bahwa ayat 171 surah an-Nisa ini turun disebabkan kalangan umat Nasrani yang mengatakan bahwa Nabi Isa adalah anak Tuhan (Allah).

at-Tabari dalam tafsirnya juga berpandangan demikian. Larangan berlebihan dalam beragama pada ayat ini memang tertuju pada kalangan Ahlulkitab–terutama kaum Nasrani-. Mereka terlampau berlebihan ketika berusaha membenarkan agamanya dengan keyakinan bahwa Isa adalah anak Allah, padahal Allah sendiri tidak beranak lagi diperanakkan.

Selanjutnya, at-Tabari juga mengutip salah satu riwayat dari ar-Rabi’ yang membagi orang-orang ekstremis (berlebihan dan melampaui batas) menjadi dua kelompok. Kelompok pertama adalah orang-orang yang berlebihan dalam keraguan dan kebencian; sementara kelompok kedua adalah orang-orang yang melewati batas kewajaran dalam melalaikan dan menyimpang dari ajaran Tuhan atau agama mereka sendiri (Jami’u al-Bayan ‘an Ta’wil Ay al-Qur’an, Jilid 7, hal. 700-701).

Sementara itu, al-Qurtubi dalam menafsirkan ayat ini juga turut memasukkan kaum Yahudi sebagai golongan yang berlebihan dalam beragama selain daripada kaum Nasrani. Kedua kaum ini dinilai memang telah melampaui batas dari ajaran agama masing-masing. Kaum Yahudi menunjukkan rasa ketidaksukaan mereka secara berlebihan terhadap status kenabian Isa dengan menuduh Maryam telah berzina. Sedangkan kaum Nasrani adalah sebaliknya, yakni terlalu berlebihan mengkultuskan Isa sebagai anak dari Allah swt. (Al-Jami’ li Ahkam Al-Qur’an, Jilid 7, hal. 229).

Kedua keyakinan dari kaum Yahudi dan kaum Nasrani ini telah memberikan gambaran akan buruknya sikap berlebihan dalam beragama. Hal ini menurut al-Qurthubi juga dianggap sebagai sebuah keburukan dan bahkan kekufuran. Bahkan, az-Zuhaili juga menjelaskan ketika menafsirkan ayat ini bahwa sikap berlebihan atau ekstrem dalam segala perkara memang tidak dibenarkan dan dilarang oleh syariat.

Dalam konteks keyakinan kaum Yahudi dan Nasrani di atas, az-Zuhaili pun menawarkan sikap moderat sebagai solusi mencegah timbulnya ekstremisme beragama. Sikap moderat di sini berupa tidak terlalu berlebihan, baik dalam hal mengkultuskan maupun meremehkan Nabi Isa seperti halnya dua kaum yang disebut sebelumnya.

az-Zuhaili juga menganjurkan agar jangan berlebihan dalam beragama dengan menambah atau mengurangi ajaran di dalamnya, serta tetap berpegang pada nas dan dalil akal yang kuat agar terhindar dari ajaran-ajaran yang ekstrem lagi sesat (Tafsir Al-Munir, Jilid 3, hal. 392-396).

Baca Juga: Usamah Al-Azhari: Peringatan Keras Memahami Al-Quran Tanpa Ilmu

Kesadaran Mencegah Berlebihan dalam Beragama

Kendati surah an-Nisa ayat 171 merupakan teguran dari Allah terhadap kalangan Ahlulkitab dengan sikapnya yang berlebihan dalam beragama, umat Islam sendiri juga sebaiknya jangan sampai lalai akan petunjuk ini. Hal senada pun disampaikan oleh Buya Hamka bahwa umat Islam jangan sampai mengikuti keburukan tersebut dengan turut mengkultuskan Nabi Muhammad saw. secara berlebihan.

Pendapat Hamka ini dikuatkan dengan sabda Nabi yang diriwayatkan oleh al-Bukhari melalui sanad Umar bin Khattab (Tafsir Al-Azhar, Jilid 3, hal. 1568-1575).

لا تَطْرُوني كَمَا أَطَرَتِ النَصَارَى ابنَ مريم؛ إنمَا أنا عَبْدُهُ، فَقُولُوا: عَبْدُ الله ورَسُولُهُ

“Berkata Rasulullah: Janganlah kamu angkat-angkat aku, sebagaimana orang Nasrani mengangkat-angkat anak Maryam. Aku ini lain tidak, adalah hamba Allah. Sebab itu, katakanlah ‘hamba Allah dan utusan-Nya’.”

Menurut Hamka, sikap berlebihan dalam beragama seperti ini juga dapat memicu timbulnya perpecahan dan kepayahan. Apalagi ketika agama atau keyakinan yang dibela secara berlebihan tersebut mempunyai ajaran yang sudah tidak masuk akal lagi bagi logika manusia, sehingga pendapat yang berbeda-beda akan bermunculan dan tidak jarang berujung pada saling klaim kebenaran.

Di samping itu, Quraish Shihab melalui Tafsir Al-Mishbah (Jilid 2, hal. 832) menganggap sikap berlebihan dalam beragama juga dapat memunculkan beberapa dampak negatif; ketimpangan pemahaman agama, ekstremisme, dan intoleransi.

Baca Juga: Eksklusivitas Islam dalam Alquran dan Kesalahpahaman Tentangnya

Hal ini dapat terjadi ketika hanya satu aspek agama yang ditekankan tanpa melihat dan memahami konteksnya secara menyeluruh–seperti halnya kelompok eksklusif. Oleh sebab itu, berbagai dampak negatif tersebut bagi Shihab seharusnya dapat memberikan kesadaran untuk menghindari sikap fanatik dan menjunjung dialog antaragama sebagai upaya untuk menciptakan masyarakat yang lebih terbuka.

Kesadaran yang demikian idealnya harus dimiliki oleh setiap umat Islam. Terlepas dari ayat ini pada awalnya memang ditujukan kepada kalangan Ahlulkitab. Orang Islam yang beriman pada Alquran tentu akan tetap hati-hati dari sikap berlebih-lebihan ini. Wallahu ‘alam.

Prinsip Distribusi dalam Alquran

0
Prinsip Distribusi dalam Alquran

Dalam bidang ekonomi, ada istilah trilogi dalam kegiatan perekonomian yang saling berkelindan satu sama lain. Ketiga hal tersebut adalah produksi, distribusi dan konsumsi. Jika proses produksi adalah menciptakan atau menambah nilal barang dan konsumsi adah menghabiskan atau menggunakan barang, maka distribusi adalah upaya menyalurkan barang dari produsen ke konsumen.

Terminologi distribusi sendiri selain mengacu pada upaya penyaluran barang juga meliputi penyaluran kekayaan. Distribusi kekayaan sendiri sangat penting mengingat ia merupakan instrumen untuk realisasi program negara guna mencapai kesejahteraan bersama. Istilah distribusi kekayaan dalam literatur Islam disebut sebagai tauzi’ al-tsarwah (distribusi kekayaan).

Baca Juga: Tafsir Surah Al-Hasyr ayat 7: Perintah Untuk Mendistribusikan Harta Kekayaan

Prinsip pemerataan atau distribusi kekayaan dalam Islam tentu tidak jauh berbeda dengan prinsip-prinsip universal yang menjadi asas seluruh postulat hukum Islam. Prinsip-prinsip universal yang dimaksud adalah prisnip keadilan, kemaslahatan, kesetaraan dan lain sebagainya. Hal ini karena memang goal utama dari syariat Islam adalah menebar kemaslahatan baik di dunia maupun di akhirat.

Terkait prinsip distribusi dalam Islam, perhatikan ayat ke-7 surah al-Hasyr. Allah Swt. berfirman:

{مَا أَفَاءَ اللَّهُ عَلَى رَسُولِهِ مِنْ أَهْلِ الْقُرَى فَلِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ وَلِذِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَابْنِ السَّبِيلِ كَيْ لَا يَكُونَ دُولَةً بَيْنَ الْأَغْنِيَاءِ مِنْكُمْ وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ}

Harta rampasan (fai’) dari mereka yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya (yang berasal) dari penduduk beberapa negeri, adalah untuk Allah, Rasul, kerabat (Rasul), anak-anak yatim, orang-orang miskin dan untuk orang-orang yang dalam perjalanan, agar harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu. Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah. Sungguh, Allah sangat keras hukuman-Nya.

Ayat di atas memberikan sebuah gambaran umum bagaimana Islam mengatur masalah distribusi kekayaan. Secara konteks, ayat di atas berbicara masalah alokasi harta fai’, yaitu harta yang diperoleh dari orang kafir tanpa melalui peperangan. berbeda dengan harta ghanimah, prajurit perang tidak mendapatkan hak dalam harta fai’. Sebagian besar dari harta tersebut dialokasikan kepada kaum fakir miskin.

Maka dari itu, pada masa Rasulullah saw., golongan yang menerima harta fai’ adalah para sahabat muhajirin karena pada waktu itu mereka tergolong miskin. penduduk anshor sama sekali tidak mendapatkan harta fai’ lantaran mereka memang tidak memerlukan santunan sebagaimana sahabat muhajirin yang telah meninggalkan harta bendanya di mekkah. [Tafsir al-Sya’rwi, Jilid 18, 50]

Baca Juga: Fungsi Zakat Bagi Ekonomi dan Sosial Masyarakat

Yang menarik dalam ayat di atas adalah adanya penegasan terkait alasan (‘illat) mengapa harta tersebut harus dialokasikan sedemikian rupa. Allah swt mengajarkan pembagian harta sedemikian rupa agar harta benda tidak hanya dapat dinikmati oleh orang-orang kaya saja, melainkan orang-orang kelas menengah kebawah juga memiliki hak untuk hidup sejahtera. Menurut wahbah al-zuhaili, ayat inilah yang menjadi prinsip distribusi kekayaan. [Tafsir al-Munir, Juz 28, 81]

Dari ayat tersebut, dapat dipahami bahwa Islam sangat menekankan pemerataan guna mencapai kesejahteraan bersama. Kekayaan yang hanya dimonopoli oleh sebagian kalangan adalah tindakan yang tidak sesuai dengan spirit ajaran Islam. Hal ini karena hal tersebut dinilai kontraproduktif dengan nilai-nilai keadilan dan kemaslahatan bersama yang menjadi prinsip utama ajaran islam.

Pendistribusian kekayaan sangat penting dilakukan agar kekayaan tidak hanya terkonsentrasi pada kelompok tertentu saja. Dalam syariat Islam, ada beberapa aturan parsial (furu’/hukum fikih) yang dinilai merupakan ejawantah dari spirit mendistribusikan kekayaan tersebut.

Salah satunya, misal, Islam mewajibkan umatnya yang memiliki kelebihan secara finansial untuk mengeluarkan zakat. Dalam hal ini Nabi saw bersabda:

فَأَخْبِرْهُمْ أَنَّ اللَّهَ قَدْ فَرَضَ عَلَيْهِمْ صَدَقَةً، تُؤْخَذُ مِنْ أَغْنِيَائِهِمْ فَتُرَدُّ عَلَى فُقَرَائِهِمْ

Kabarkanlah kepada mereka bahwa Allah Swt. telah mewajibkan kepada mereka untuk membayar shadaqah (zakat) yang diambilkan dari orang-orang kaya dan diserahkan kepada orang-orang miskin diantara mereka. (HR. Bukhari Muslim)

Dalam hadis tersebut, terlihat jelas bahwa syariat Islam menginginkan pemerataan dalam hal ekonomi agar setiap individu dapat merasakan kesejahteraan. Hal ini karena zakat yang notabene merupakan ajaran fundamen dalam Islam (rukun Islam), berorientasi pada kesejahteraan bersama dan pemerataan kekayaan. bahkan mereka yang menolak dan tidak mengakui zakat sebagai bagian dari ajaran islam dihukumi telah keluar dari agama islam.

Akhir kata, sistem ekonomi dalam islam berorientasi kepada keadilan dan kemakmuran bersama. Tidak seperti konsep kapitalis yang berpotensi praktek-praktek monopoli kekayaan, Islam sangat menekankan pentingnya distribusi kekayaan supaya jurang pemisah antara si kaya dan si miskin tidak terlampau jauh. Sekian.

Memahami Sasaran dan Sarana Jihad dalam Prespektif Alquran

0
Makna Jihad Menurut al-Quran
Memahami makna jihad dalam ayat-ayat Alquran

Salah satu konsep Islam yang paling kontroversial dan sering disalahpahami hingga selalu diperdebatkan adalah konsep jihad. Meskipun sering dikaitkan dengan kekerasan, konsep ini memiliki makna yang lebih luas dan mendalam dalam Alquran. Maka dari itu untuk lebih mudah memahami konsep jihad maka kita perlu menelusuri sasaran dan sarana jihad tersebut.

Sebagian kalangan Barat memercayai bahwa kitab suci dan agama Islam mendukung terorisme. Mereka yang beranggapan demikian, biasanya hanya memahami ayat-ayat Alquran secara parsial. Oleh karena itu, penting untuk diingat bahwa jihad dan aksi teror bukanlah kesatuan, dan perlu diingat bahwa istilah “jihad” tidak selalu dikaitkan dengan ayat perang.

Alquran menggunakan istilah “jihad” bukan semata-mata untuk mengacu pada perang fisik dan kekerasan. Dalam Alquran untuk menunjukkan perang menggunakan kata “qitāl”. Tujuan utama jihad adalah untuk kesejahteraan manusia, bukan perang. Jihad bersifat mutlak dan tidak terbatas serta menjadi kewajiban bagi setiap muslim sepanjang hidupnya. Sedangkan qitāl bersifat kondisional, terbatas oleh situasi tertentu, sementara dan digunakan sebagai usaha paling akhir setelah tidak ada cara lain selain berperang.

Jihad bukan semata-mata melakukan perlawanan terhadap orang kafir. Di dalam Alquran telah ditegaskan mengenai sasaran dan sarana jihad yang benar, baik, dan sederhana. Berikut penjelasan mengenai sasaran dan sarana jihad terangkum dalam beberapa ayat beserta penafsiran dari mufasir Nusantara, antara lain Q.S. At-Taḥrīm [66]: 9; Q.S. al-‘Ankabūt [29]: 6, dan Q.S. al-Anfāl [8]: 72.

  1. Q.S. At-Taḥrīm [66]: 9

يٰأَيُّهَا ٱلنَّبِيُّ جَاهِدِ ٱلْكُفَّارَ وَٱلْمُنَافِقِينَ وَٱغْلُظْ عَلَيْهِمْ وَمَأْوَاهُمْ جَهَنَّمُ وَبِئْسَ ٱلْمَصِيرُ

Dalam kitab Tafsir al-Azhar, Hamka menjelaskan makna dari kalimat “Perangilah orang-orang kafir dan orang-orang munafik” di atas. Mereka adalah orang-orang yang tidak mau percaya, tetapi berpura-pura percaya. Orang-orang yang “telunjuk lurus, kelingking berkait”, yaitu orang yang berlainan ucapan mulutnya dengan kenyataan perbuatannya, dan disebut juga musuh dalam selimut. Hamka juga menjelaskan bahwa hakikatnya dari kalimat “perangilah orang-orang kafir” bukanlah semata-mata berperang yang mempergunakan senjata dengan kekerasan.

Baca juga: Mendudukkan Ayat Jihad dan Kebebasan Beragama dalam Alquran (1)

Makna jihad yang lebih dekat ialah kerja keras dengan segala kesungguhan, digambarkan oleh Hamka dengan kata “Berjuanglah! Lawanlah! Tentanglah! Desaklah orang-orang kafir itu!” Namun, bisa juga diartikan dengan melakukan segala usaha, dengan harta, tenaga, lisan, dan tulisan. Sedangkan al-Qurthubi menjelaskan bahwa menghadapi orang-orang kafir bukan hanya dengan pedang, tetapi juga dengan pelajaran yang baik, dakwah, serta dengan doa dan seruan.

  1. Q.S. al-‘Ankabūt [29]: 6

 وَمَن جَاهَدَ فَإِنَّمَا يُجَاهِدُ لِنَفْسِهِ إِنَّ ٱللَّهَ لَغَنِيٌّ عَنِ ٱلْعَالَمِينَ

Menurut Quraish Shihab, kata “jāhada” terambil dari kata “juhd”, yakni kemampuan yang menggambarkan adanya upaya sungguh-sungguh. Jihad yang dimaksud di sini, bukanlah dalam arti mengangkat senjata, karena berperang dan mengangkat senjata baru diizinkan setelah Nabi berada di Madinah, sedangkan ayat ini, bahkan surah ini diturunkan sebelum Nabi berhijrah. Maksud dari jihad di sini ialah mencurahkan kemampuan untuk melaksanakan amal saleh hingga ia bagaikan berlomba dalam kebajikan, dan sesungguhnya manfaat dan kebaikan jihadnya adalah untuk dirinya sendiri.

Baca juga: Jihad Nir-Kekerasan Ala Kiai Sholeh Darat

Sedangkan al-Biqa‘i memahami kata jihad pada ayat ini dalam arti mujāhadah, yakni “upaya sungguh-sungguh melawan dorongan hawa nafsu.” Menurutnya kata tersebut tidak disebut objeknya, maka yang disebut meraih manfaat untuk dirinya sendiri adalah kata nafs, yang disebutkan dalam ayat tersebut dengan linafsihī. Sebab, nafsu selalu mendorong kepada keburukan. Sayyid Quthb juga mengemukakan pendapatnya bahwa jihad yakni meningkatkan kualitas sang mujahid dan kalbunya, menjadikannya mampu mengalahkan kekikiran jiwa dan harta bendanya, mengangkat dan memperluas wawasannya, serta mengundang lahirnya potensi-potensi positif yang terdapat dalam dirinya.

  1. Q.S. al-Anfāl [8]: 72

إِنَّ ٱلَّذِينَ آمَنُواْ وَهَاجَرُواْ وَجَاهَدُواْ بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ فِي سَبِيلِ ٱللَّهِ وَٱلَّذِينَ ءَاوَواْ وَّنَصَرُوۤاْ أُوْلَـٰئِكَ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَآءُ بَعْضٍ وَٱلَّذِينَ آمَنُواْ وَلَمْ يُهَاجِرُواْ مَا لَكُمْ مِّن وَلاَيَتِهِم مِّن شَيْءٍ حَتَّىٰ يُهَاجِرُواْ وَإِنِ ٱسْتَنصَرُوكُمْ فِي ٱلدِّينِ فَعَلَيْكُمُ ٱلنَّصْرُ إِلاَّ عَلَىٰ قَوْمٍ بَيْنَكُمْ وَبَيْنَهُمْ مِّيثَاقٌ وَٱللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ

Hasbi As-Shiddieqy berpendapat bahwa berjihad dengan harta dapat dilakukan dengan mengeluarkan hartanya untuk membantu masyarakat yang berhijrah dan membela agama dan melepaskan sebagian hartanya yang tidak dibawa bersamanya sewaktu berhijrah dengan rela hati atau ikhlas. Adapun berjihad dengan jiwa ada dua macam pula, yakni memerangi musuh dengan tidak mempedulikan jumlah dan perlengkapan persenjataan yang ada pada perang serta mengalami berbagai penderitaan dan kesulitan karena tekanan yang begitu kuat dari musuh dan berhijrah dari kampung halaman (Hasbi As-Shiddieqiy, Tafsir alQuranul Majid an-Nuur, Jilid 2, 1612).

Baca juga: Bom Bunuh Diri Bukan Jihad! Inilah Makna Jihad dalam Alquran

Dari pemaparan ayat-ayat Alquran serta penafsiran para mufasir Nusantara di atas setidaknya terdapat dua hal yang menjadi tolok ukur sasaran jihad. Yakni musuh-musuh Allah yang nampak, seperti orang kafir, munafik, musyrik, dan para pelaku kejahatan; serta musuh yang tak nampak, seperti setan dan hawa nafsu. Sementara sarananya ialah harta dan jiwa. Jihad juga dapat dilakukan melalui perbuatan maupun perkataan, baik melalui lisan, tulisan, kekuatan fisik, ataupun dengan membelanjakan harta benda.

Setelah menelaah pemaparan ayat di atas, diketahui tidak ada ayat yang menunjukkan bahwa jihad mendorong kepada kekerasan untuk menyelesaikan masalah. Sebaliknya, fokus jihad adalah meningkatkan ibadah dan kesejahteraan umat. Hal ini merupakan awal kesalahan interpretasi tentang jihad yang dikait-kaitkan dengan perang, kemudian digunakan oleh beberapa kalangan untuk mendukung radikalisme agama yang mengakibatkan aksi teror dan kekerasan. Hal demikian dikarenakan minimnya pemahaman yang mendalam mengenai jihad. Namun, dengan memahami sasaran dan sarana jihad menurut Alquran, kita dapat menghindari kesalahpahaman dan kontroversi yang sering muncul seputar konsep jihad ini.