Beranda blog Halaman 37

Politisasi Agama dan Politik Identitas: Dua Hal yang Tidak Boleh Dilanggengkan

0
Politisasi agama dan politik identitas: dua hal yang tidak boleh dilanggengkan
Politisasi agama dan politik identitas: dua hal yang tidak boleh dilanggengkan

Politisasi agama yang berarti menggunaan agama sebagai instrumen politik untuk memperoleh kekuasaan dalam pemilu marak terjadi akhir-akhir ini. Agama sebagai sesuatu yang suci dijadikan senjata untuk menghancurkan keharmonisan masyarakat melalui perbedaan dalam berkeyakinan. Hal ini lantaran agama merupakan hal sakral dan bersifat pribadi, yang membuatnya mudah untuk dijadikan alat politik berkenaan dengan isu sensitif.

Hubungan agama dan politik secara teoretis berdiri sejajar, bukan saling mendominasi atau menguasai. Agama dan politik saling menguntungkan satu sama lain. Sejumlah negara menjadikan politik dan agama sebagai suatu bentuk simbiosis mutualisme. Politik memberi jaminan perlindungan keamanan masyarakat religius, sedangkan agama memberi “legitimasi teologis” untuk melanggengkan kekuasaan politik. (Siti Faridah dan Jerico Mathias, Politisasi Agama Pemecah Keutuhan Bangsa dalam Pemilu, halaman 8)

Di negara Indonesia, agama dan politik memiliki dinamikanya tersendiri dan dinamika ini telah muncul sejak awal negara berdiri. Pencampuradukan antara dua variabel ini bila dibiarkan secara terus menerus dapat memicu konflik yang berujung perpecahan antar golongan. Oleh karena itu, langkah yang harus diambil negara Indonesia sebagai negara plural yaitu pemerintah harus bersikap tegas dalam menegakkan keadilan dan kesetaraan hak setiap warga negaranya dalam berpolitik.

Baca juga: Orang-Orang Yahudi dan Tindakan Politisasi Kitab Suci

Selain isu politisasi agama, negara Indonesia yang usai menggelar acara pemilu  2024 juga kerap memperbincangkan politik identitas, sebagai contohnya Partai Ummat. Partai politik baru yang masuk jajaran peserta pemilu 2024 ini mengusung tema politik identitas. Mengapa demikian? Karena politik identitas cenderung berdasarkan pada karakteristik kelompok tertentu, sehingga lebih universal jika dibandingkan dengan politik agama.

Menurut Partai Ummat, politik identitas merupakan politik yang sesuai dengan pancasila, dengan demikian politik identitas adalah politik yang pancasialis. Dalam salah satu pidatonya, Ketua Umum Partai Ummat Ridho Rahmadi mengungkapkan bahwa tanpa moralitas agama, politik akan kehilangan arah dan terjebak dalam moralitas yang relatif. (Kadek Melda Luxiana, Partai Ummat: Kami Adalah Politik Identitas!)

Politik identitas dapat diartikan sebagai sebuah strategi politik yang fokus utamanya terletak pada “perbedaan” dan memanfaatkan ikatan yang terbentuk dalam kelompok masyarakat. Uraian mengenai politik identitas tidak terlepas dari identitas atau jati diri itu sendiri. Identitas dianggap sebagai sebuah pengakuan kepada individu atau kelompok yang terbentuk atas dasar rasa persamaan, baik itu gender, agama, suku, dan lain sejenisnya.

Baca juga: Begini Pemaknaan Al-Quran tentang Politik Identitas

Politisasi agama dan politik identitas merupakan fenomena yang semakin kuat dan kompleks di Indonesia, terutama dalam masa pemilu di tahun ini. Untuk mencari suara rakyat sebanyak-banyaknya, politikus akan melakukan berbagai cara termasuk dalam wilayah keagamaan. Sebagai contoh salah satu kasus penistaan agama oleh salah satu calon Gubernur Jakarta tahun 2017 lalu, yakni Basuki Thahaja Purnama atau Ahok. Dalam pidatonya di Kepulauan Seribu, Ahok menganggap Al-Maidah ayat 51 sebagai alat kebohongan. (Yantina Debora, Kronologi Kasus Dugaan Penistaan Agama)

Niat awal Ahok mungkin ingin rakyat DKI Jakarta merasa nyaman dengan pemimpin non-muslim. Namun hal ini sudah termasuk kedalam mempolitisasi agama dengan kepentingan individu. Alquran telah dilarang menjual ayat yang agung dengan harga yang rendah. Sebagaimana dalam Q.S. Almaidah [5] : 44:

…. وَلَا تَشْتَرُوْا بِاٰيٰتِيْ ثَمَنًا قَلِيْلًا ۗوَمَنْ لَّمْ يَحْكُمْ بِمَآ اَنْزَلَ اللّٰهُ فَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْكٰفِرُوْنَ

“…Janganlah kamu menukar ayat-ayat-Ku dengan harga yang murah. Siapa yang tidak memutuskan (suatu urusan) menurut ketentuan yang diturunkan Allah, maka mereka itulah orang-orang kafir.”

Dijelaskan dalam tafsir Kemenag bahwa untuk mencari keuntungan dunia atau keuntungan yang diterimanya dari orang-orang yang berkepentingan semisal uang sogokan dan pangkat yang dijanjikan, maka jangan sampai tidak menyebarkan dan menjelaskan hukum yang ada dalam Alquran. Sederhananya jangan menghalalkan segala cara seperti mempolitisasi ayat. Semua yang didapat melalui cara itu tidak ada nilai dan arti jika dibandingkan dengan pahala yang akan diterima kelak. (Kemenag RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya, jilid 2, halaman 406).

Baca juga: Asbab Nuzul Surat Al-Maidah Ayat 51 dan Implementasinya di Indonesia

Sementara itu, banyak pihak yang masih saja memainkan isu sekterian sambil berbicara ayat-ayat tuhan yang mulia dengan niat negatif. Hal ini berbahaya karena banyak yang silau dan terpesona dengan lantunan ayat. Bahkan pemangku kekuasaan banyak yang tertarik dan ikut dalam isu sekterian yang seakan inilah jalan tuhan yang sesungguhnya.

Begitulah politisasi agama. Tindakan ini akan dengan mudah menuduh kafir dan mendiskriminasi orang atau kelompok lain jika terdapat pemahaman yang berbeda atau bahkan bertentangan. Oleh karena itu, kita harus sadar bahwa apabila agama telah dipolitisir sedemikian rupa, akan muncul pemahaman agama yang sempit dan eksklusif. Selanjutnya, tugas kita adalah mengajak masyarakat agar lebih sensitif terhadap isu politik identitas dan politisasi agama secara khusus agar tidak gampang termakan oleh doktrin politik yang menyimpang.

Pelestarian Budaya Lokal melalui Penafsiran Alquran

0
Pelestarian budaya lokal melalui penafsiran Alquran
Pelestarian budaya lokal melalui penafsiran Alquran

Pengaruh budaya Barat semakin meluas di berbagai belahan dunia, termasuk di Indonesia. Dalam menghadapi arus budaya tersebut, pelestarian budaya lokal menjadi sebuah tantangan yang krusial. Salah satu upaya pelestarian tersebut dapat dilakukan melalui penafsiran Alquran yang mengakar dalam budaya lokal.

Peran Penafsiran Alquran dalam Pelestarian Budaya Lokal di Indonesia

Penafsiran Alquran adalah bagian integral dari budaya Islam di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia. Penafsiran Alquran ini tidak hanya menjadi sarana untuk memahami ajaran agama, melainkan juga mencerminkan nilai-nilai lokal yang terkandung dalam budaya tersebut. Dalam konteks pelestarian budaya lokal, penafsiran Alquran dapat menjadi sebuah wadah yang sangat penting.

Tafsir Alquran berbahasa Jawa misalnya, sejak abad 19 hingga awal abad 21 para ulama memainkan peran penting dalam keberlangsungan penulisan tafsir berbahasa Jawa tersebut. (Islah Gusmian, Tafsir Al-Qur’an Bahasa Jawa Peneguhan Identitas, Ideologi, dan Politik, hlm. 143)  Tradisi penulisan tafsir dengan Bahasa Jawa ini terdiri dari beberapa variasi aksara yang digunakan, seperti aksara pegon, latin, dan Jawa.

Baca juga: Islah Gusmian dan Tafsir Al-Qur’an Berbahasa Jawa

Pada awal abad 19, muncul suatu tafsir yang menggunakan aksara pegon yaitu tafsir yang ditulis oleh Kiai Saleh Darat, Faid Ar-Rahman fi Turjumani Tafsir al-Kalam al-Malik Ad-Dayyan. Kemudian pada akhir abad 20, muncul tafsir al-Iklil fi Ma’ani al-Tanzil yang ditulis oleh K.H. Misbah Zainul Mustafa Bangilan dan tafsir al-Ibriz li Ma’rifati Tafsir al-Qur’an al-Aziz yang ditulis oleh K.H. Bisri Mustafa Rembang.

Selain tafsir dengan aksara pegon, tafsir dengan aksara latin dapat dijumpai dalam Tafsir Al-Qur’an Basa Jawi karya K.H. Muhammad Adnan, Tafsir Qur’an Hidajatur Rahman karya Moenawar Chalil, al-Huda Tafsir Qur’an Bahasa Jawi karya Bakri Syahid, dan Sekar Saei Kidung Rahayu, Sekar Sari Macapat Terjamahanipun Juz ‘Amma karya Achmad Djuwahir Anomwidjaja.

Penggunaan Istilah Jawa dalam Penafsiran Alquran

Salah satu contoh nyata dari pelestarian budaya lokal melalui tradisi penafsiran Alquran adalah penggunaan bahasa dan konsep-konsep lokal dalam menjelaskan ayat-ayat Alquran. Misalnya, dalam tradisi penafsiran yang berkembang di Jawa, seringkali terdapat penggunaan istilah-istilah Jawa dalam menjelaskan konsep-konsep agama.

Istilah-istilah jawa tersebut dapat berupa bentuk sapaan untuk menyebut Allah, ini menjadi simbolisasi penghormatan hubungan antara manusia dengan Allah. Istilah ini antara lain seperti Gusti, Pepundhen, Ngarsa Dalem, Pangeran, dan lainnya.

Sebagai contoh yakni penafsiran Bakri Syahid terhadap Surah Azzukhruf [43]: 88:

وَقِيْلِهٖ يٰرَبِّ اِنَّ هٰٓؤُلَاۤءِ قَوْمٌ لَّا يُؤْمِنُوْنَۘ

“Lan Muhammad munjuk atur marang Pangerane: “Dhuh Pangeran kula! saestu kaum golongan kula punika boten sami pitados!” (Bakri Syahid, al-Huda Tafsir Qur’an Bahasa Jawi, hlm. 986)

Dari contoh di atas dapat diketahui bahwa pengaduan Nabi kepada Allah diungkapkan dalam bentuk tuturan krama. Dalam adat Jawa terdapat istilah unggah ungguh basa yang mengacu pada sopan santun atau tata krama dalam berbicara.

Istilah ini juga mencakup pemilihan kata yang sopan dan menghormati lawan bicara serta cara berkomunikasi yang lembut dan penuh hormat. Dalam konteks penafsiran di atas, Nabi Muhammad diposisikan sebagai seseorang yang berada di bawah komunikan (Allah), sehingga bahasa yang dipilih untuk menafsirkan ayat di atas adalah bahasa krama.

Pelestarian budaya lokal lainnya dalam penafsiran juga dapat dilihat dalam Sekar Sari Kidung Rahayu, Sekar Macapat Terjemahanipun Juz ‘Amma karya Achmad Djuwahir Anomwidjaja yang ditulis dengan model Macapat.

Macapat sendiri merupakan tembang yang biasa digunakan atau terdapat dalam kitab-kitab Jawa baru. Tembang Macapat adalah jenis puisi tradisional Jawa yang merupakan warisan budaya Indonesia. Selain populer di Jawa, tembang macapat juga ditemukan di daerah lain di Indonesia seperti Bali dan Sunda. (Haidar Zahra, Macapat: Tembang Jawa Indah Dan Kaya Makna, hlm. 3)

Salah satu contoh tembang macapat yang digunakan sebagai pembuka suatu surah dalam penafsiran dapat dilihat dalam Sekar Sari Kidung Rahayu.  Bait pembuka ini ditulis secara beragam antara surah satu dengan yang lain. Biasanya, bait ini menjelaskan terkait surah yang hendak dibahas. Misalnya tembang terjemahan surah Annas. (Achmad Djuwahir Anomwidjadja, Sekar Sari Kidung Rahayu, Sekar Macapat Terjemahanipun Juz ‘Amma, hlm. 3)

Baca juga: Menembangkan Al Quran: Manuskrip Macapat Tafsir Surah Al Fatihah dalam Aksara Jawa

Kanthi Manah ingkang tulus

Kawula sumedya ngaji

Nyinau isining Qur’an

Piwulang ingkang sejati

Gegebenganing manungsa

Mrih rahayu lahir-batin

 

Ayo Kanca padha melu

Wacanen Qur’an den titi

Pamacane ywa sembrana

Aja among angger muni

Mahraj tajwid den pratela

Supaya tumusing ati

 

Samengko wus wancinipun

Nyinau kanthi nastiti

Kejaba apal ing lisan

Maknane kudu mangeri

Dem pikir rinasa-rasa

Rumasuk sajroning ati

 

Surah An Naas yektosipun

Tumurun ing Makkah nagri

Ana enem ayatira

Tegese An Naas puniki

Basa Jawane manungsa

Ayo kanca den wiwiti

 

Bait satu hingga empat dari tembang tersebut menggambarkan tentang keikhlasan dalam mempelajari isi Alquran, kehati-hatian dalam membacanya, usaha untuk memahami maknanya, dan juga memberikan penjelasan singkat tentang surah Annas. Penjelasan tersebut meliputi asal turunnya surah, jumlah ayat di dalamnya, dan makna dari nama surah tersebut.

Menjaga Keberlanjutan Budaya Lokal melalui Penafsiran Alquran

Seluruh uraian di atas menggambarkan bahwa penafsiran Alquran tidak hanya memperkaya pemahaman terhadap Alquran, melainkan juga menjaga keberlanjutan budaya lokal. Sebagaimana contoh penafsiran di atas, bahwa Sekar Sari Kidung Rahayu merupakan sebuah karya ulama yang dapat membangun identitas budaya di Jawa, karena terdapat dua tradisi berbeda yang disatukan yakni tembang macapat sebagai seni budaya Jawa dan tafsir Alquran sebagai khazanah keilmuan Islam.

Selain itu, tafsir Alquran juga dapat menjadi sarana untuk menggali dan memahami nilai-nilai budaya lokal yang mungkin telah terlupakan atau terpinggirkan akibat pengaruh budaya Barat. Dengan cara ini, penafsiran Alquran dapat menjadi sebuah jembatan antara budaya lokal dan nilai-nilai universal yang terkandung dalam ajaran Islam.

Pelestarian budaya lokal melalui tradisi penafsiran Alquran bukanlah sebuah upaya untuk menutup diri dari pengaruh budaya lain, melainkan lebih sebagai sebuah langkah untuk menjaga keberagaman budaya dan memperkaya pemahaman terhadap Alquran itu sendiri. Dengan memahami dan menghargai nilai-nilai budaya lokal, kita juga turut menjaga keberagaman budaya di dunia ini.

Sebagai bangsa yang kaya akan budaya, Rakyat Indonesia memiliki tanggung jawab untuk menjaga keberagaman budaya ini. Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah dengan melestarikan budaya lokal melalui penafsiran Alquran. Dengan demikian, kita dapat menjaga keberlanjutan budaya lokal tanpa harus mengorbankan nilai-nilai universal yang terkandung dalam agama Islam. Wallahu a’lam.

Kecaman Alquran atas Tindakan Memecah Belah Agama

0
Kecaman Alquran atas Tindakan Memecah Belah Agama
Kecaman Alquran atas Tindakan Memecah Belah Agama

Menjaga keutuhan bangsa dari upaya memecah belah agama merupakan suatu keharusan yang mendesak dalam konteks keberagaman Indonesia. Agama sendiri telah menjadi salah satu pilar utama dari identitas dan kebudayaan masyarakat. Pemahaman tentang pentingnya saling menghormati dan memelihara perbedaan agama kiranya dapat menjadi sebuah solusi dalam menjaga keutuhan bangsa.

Alquran sendiri memberikan kecaman bagi siapa pun–terutama umat Islam–yang memecah belah agama mereka sendiri hingga menjadi beberapa golongan dan saling berseberangan. Hal ini menunjukkan bahwa Allah melalui firman-Nya hendak menyampaikan akan pentingnya persatuan dan kesatuan dalam menjalankan ajaran agama. Perpecahan dalam agama hanya akan melemahkan umat dan melemahkan kekuatan bangsa yang seharusnya bersatu untuk kebaikan bersama.

Ayat-ayat Alquran yang berkaitan dengan tindakan memecah belah agama dirasa perlu untuk diartikan lebih luas dalam konteks masyarakat yang multikultural dan multiagama seperti halnya di Indonesia. Melalui ayat-ayat ini, diharapkan dapat memantik kesadaran untuk saling memahami dan menghormati perbedaan keyakinan agar terhindar dari perpecahan yang dapat mengancam stabilitas sosial.

Memecah Belah Agama Perspektif Alquran

Pertama, firman Allah Swt. dalam surah Al-An’am [6]: 159.

اِنَّ الَّذِيْنَ فَرَّقُوْا دِيْنَهُمْ وَكَانُوْا شِيَعًا لَّسْتَ مِنْهُمْ فِيْ شَيْءٍۗ اِنَّمَآ اَمْرُهُمْ اِلَى اللّٰهِ ثُمَّ يُنَبِّئُهُمْ بِمَا كَانُوْا يَفْعَلُوْنَ

“Benar-benar orang-orang yang memecah belah agamanya dan mereka menjadi (terpecah) dalam golongan-golongan, sedikit pun Anda (Nabi Muhammad) tidak bertanggung jawab terhadap mereka. Sesungguhnya urusan mereka (terserah) hanya kepada Allah. Kemudian, Dia akan memberitahukan kepada mereka apa yang telah mereka lakukan.”

Dalam Jami’u al-Bayan ‘an Ta’wil Ay al-Qur’an, Al-Tabari menuliskan beberapa riwayat pendapat mengenai orang-orang yang memecah belah agama. Sebagian besar riwayat berpendapat bahwa yang dimaksud dalam hal ini adalah umat Yahudi dan Nasrani. Namun, ada pendapat juga yang mengatakan bahwa perpecahan agama bisa timbul dari mereka yang hanya mengikuti hal-hal mutasyabihat dalam Alquran, tetapi tidak mengikuti makna yang sebenarnya.

Baca juga: Habib Luthfi bin Yahya: Surah Alfatihah Ajarkan Persatuan dan Kerukunan

Al-Tabari juga menjelaskan bahwa orang-orang yang memecah belah agama dan memisahkan diri dari kebenarannya bukanlah termasuk dari umat Allah Swt. dan terbebas dari tanggung jawab Nabi Muhammad. Mereka inilah yang biasa disebut sebagai ahli bidah, ahli syubhat, dan orang-orang yang tersesat dari agama Allah yang lurus (Islam)–agama Ibrahim (Jami’u al-Bayan ‘an Ta’wil Ay al-Qur’an, Jilid 10, hal. 32-33).

Kedua, firman Allah Swt. dalam surah Al-Mu’minun [23]: 53.

فَتَقَطَّعُوْٓا اَمْرَهُمْ بَيْنَهُمْ زُبُرًاۗ كُلُّ حِزْبٍۢ بِمَا لَدَيْهِمْ فَرِحُوْنَ

“Lalu mereka (para pengikut rasul) terpecah belah dalam urusan (agama)-nya menjadi beberapa golongan. Setiap golongan bangga dengan apa yang ada pada mereka (masing-masing).”

Menurut Muhammad Asad dalam karya tafsirnya, The Message of The Quran, ayat ini ditujukan kepada seluruh manusia–apa pun agama dan keyakinannya–yang benar-benar beriman pada Allah Swt. Asad sendiri menganggap bahwa Alquran dengan jelas telah mengisyaratkan bahwa seluruh manusia sebenarnya diilhami dan memiliki satu landasan kebenaran fundamental yang sama.

Baca juga: Tafsir Surah Ali Imran Ayat 103: Dalil Sila Ketiga Pancasila, Persatuan Indonesia

Begitulah hal tersebut pada awalnya, terlepas dari adanya perbedaan dalam hal ritual dan hukum-hukum khusus tertentu yang disesuaikan dengan kebutuhan zaman dan perkembangan sosial dari setiap umat manusia. Akan tetapi, seiring berjalannya waktu kesatuan ini kemudian terpecah menjadi kelompok keagamaan yang berbeda-beda, sehingga muncullah sikap eksklusif, ekstrem, dan intoleran terhadap kelompok lainnya.

Kecaman dalam ayat ini dipahami oleh Asad dapat berlaku juga bagi umat Nabi Muhammad–terutama yang berniat untuk memecah belah agama. Dengan kata lain, ayat ini dapat dijadikan renungan atas perpecahan agama dan perbedaan ajaran dalam Islam yang tengah terjadi di zaman sekarang (Muhammad Asad, The Message of The Quran, hal. 718-719).

Ketiga, firman Allah Swt. dalam surah Al-Rum [30]: 32.

مِنَ الَّذِيْنَ فَرَّقُوْا دِيْنَهُمْ وَكَانُوْا شِيَعًا ۗ كُلُّ حِزْبٍۢ بِمَا لَدَيْهِمْ فَرِحُوْنَ

“(yaitu) orang-orang yang memecah-belah agama mereka sehingga menjadi beberapa golongan. Setiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada mereka.”

Baca juga: Surah al-Anfal Ayat 46: Cara Menjaga Persatuan

Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Mishbah memberikan penafsiran dengan menyebutkan ciri-ciri dari orang-orang yang berpotensi memecah belah agama. Mereka itulah yang menyimpang dari agama karena hawa nafsunya, menciptakan bidah yang bertentangan dengan syariat, ekstrem dan taklid buta terhadap kelompok beserta pemimpinnya, dan selalu mencela lagi merendahkan kelompok yang berbeda lainnya.

Bagi Shihab, ajaran agama Islam merupakan suatu keyakinan yang mendambakan persatuan dan kesatuan umat manusia. Menurutnya, kehadiran agama seharusnya menjadi pemersatu setiap manusia, bukan malah sebaliknya. Adapun perihal perbedaan penafsiran dalam agama Islam selama masih bersandar pada kaidah kebahasan dan disiplin keilmuan, maka hal ini menurut Shihab masih bisa untuk ditoleransi (Tafsir Al-Mishbah, Jilid 11, hal. 62-63).

Demikian ketiga ayat di atas memberikan pemahaman tentang kecaman Alquran terhadap tindakan memecah belah agama. Kecaman ini pun perlu direnungi pula oleh umat Islam sebagai mayoritas di Indonesia, sebab keutuhan bangsa juga akan sulit diwujudkan apabila antara sesama muslim sendiri tidak bisa menjaga kerukunan, bersikap intoleran, dan justru menjadi pemicu perpecahan.

Menghindari Perpecahan Agama

Penting untuk diingat bahwa ayat-ayat yang telah dijelaskan di atas tidak hanya relevan bagi umat Islam, tetapi juga bagi umat beragama lainnya. Pesan tentang pentingnya persatuan dan kesatuan dalam menjalankan ajaran agama dapat diterapkan oleh siapa pun yang ingin membangun masyarakat yang lebih terbuka dan toleran terhadap sesama.

Dalam ajaran Islam, keselamatan dari perpecahan agama hanya akan tercapai saat umat muslim–dan semoga seluruh umat beragama lainnya–benar-benar kembali kepada syariat yang semestinya. Selain itu, umat Islam akan tetap terjaga dari bahaya terpecah belah selama memperhatikan tiga perkara; menjaga fitrah, salat, dan taat kepada Allah Swt. (Buya Hamka, Tafsir Al-Azhar, Jilid 7, hal. 5520).

Baca juga: Upaya Penguatan Pertahanan Nasional dalam Perspektif Mufasir Nusantara

Hal tersebut kiranya dapat dipegang teguh oleh setiap umat Islam terlebih yang berada di Indonesia dengan segala keberagaman keyakinan dan budayanya. Tindakan memecah belah agama sendiri memiliki dampak negatif bagi keutuhan umat Islam maupun bangsa Indonesia. Dengan kata lain, pada akhirnya perpecahan agama hanya akan melahirkan konflik yang dapat merusak hubungan antarwarga, membahayakan tatanan sosial, dan bahkan mengancam kestabilan negara.

Dengan demikian, Alquran telah mengungkapkan kecaman terhadap semua tindakan memecah belah agama yang muncul dari sikap egoisme dan intoleran karena pengaruh hawa nafsu semata. Melalui pemahaman ini, umat Islam sebagai mayoritas di Indonesia diharapkan dapat mengurangi potensi perpecahan agama dan lebih berperan aktif secara kolektif dalam berupaya menjaga keutuhan bangsa.

Tanggapan Alquran Menyikapi Fenomena Fatherless

0
Tanggapan Alquran Menyikapi Fenomena Fatherless

Belakangan ini, dunia maya digegerkan dengan rentetan berita yang membahas tentang anak yang kekurangan kasih sayang dan peran dari ayahnya sebagai kepala keluarga. Fenomena ini akrab dikenal dengan sebutan fatherless. Meski sebetulnya bukan kasus yang ‘baru’, namun istilah ini menjadi sebutan yang tidak lama dikenal khalayak.

Di samping utamanya peran seorang ibu, peran ayah juga sangat dibutuhkan bagi setiap anak dalam tumbuh kembangnya. Maka, disayangkan sekali jika anak kekurangan peran dari figur seorang ayah. Bahkan Alquran menggaungkan pentingnya peran ayah bagi seorang anak yang akan dijelaskan berikut ini.

Baca Juga: Peran Ayah dalam Pengasuhan Anak Perspektif Alquran

Mendidik Iman Bagi Anak

Figur ayah dalam mendidik iman bagi seorang anak adalah dimulai saat pengumandangan azan di telinga sang anak setelah dikeluarkannya dari kandungan. Tanggung jawab inilah diharuskan terawat hingga anak mencapai usia baligh, agar tertanam ketetapan iman di hati anak. Sebagaimana nasihat Luqman terhadap putranya yang tertera pada surah Luqman ayat 13 berikut.

وَاِذْ قَالَ لُقْمٰنُ لِابْنِه وَهُوَ يَعِظُه يٰبُنَيَّ لَا تُشْرِكْ بِاللّٰهِۗ اِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيْمٌ

(Ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, saat dia menasihatinya, “Wahai anakku, janganlah mempersekutukan Allah! Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) itu benar-benar kezaliman yang besar.”

Luqman menasehati putranya yang bernama Ṡārān, agar tidak menyekutukan Allah. Al-Qushayri menyebutkan bahwa anak-istrinya adalah orang kafir, sehingga ia terus-menerus berdakwah kepada mereka hingga pada akhirnya mereka masuk Islam. [Tafsīr al-Qurṭubī, 14/62]

Dari kisah Luqman ini, menunjukkan bahwa seorang ayah sebagai kepala keluarga, hendaknya terus-menerus menegur dan meluruskan kepada jalan yang benar bagi anggota keluaganya, termasuk anak-anaknya. Sebab, rusaknya iman adalah tindakan fatal yang amat serius.

Open Minded Terhadap Anak

Sikap open-minded ditunjukkan dengan keterbukaan seorang ayah kepada anaknya terhadap masukan, keluh kesah, dan pemikiran sang anak. Kemudian ayah memberikan arahan sebagai tanggapan atas apa yang diutarakan sang anak. Merangkul dengan dialog, mendengarkan, dan memberikan saran sebagai bentuk kasih sayang. Tidak dengan menyudutkan tanpa mau mendialogkan dengan anak sama sekali.

Baca Juga: Peran Ayah dalam Keluarga Menurut Alquran

Sikap ini telah diajarkan oleh Nabi Ibrahim kepada kedua putranya, Ismail dan Ishaq. Nabi Ibrahim sangat open-minded kepada kedua putranya. Melalui komunikasi terbuka itulah, kedua putra Nabi Ibrahim merasa dihargai dan disayangi. Dihargai karena didengar, dan disayangi sebab mendapat nasihat. Hal ini telah diceritakan dalam surah al-Shaffat ayat 102 berikut.

فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ السَّعْيَ قَالَ يٰبُنَيَّ اِنِّيْٓ اَرٰى فِى الْمَنَامِ اَنِّيْٓ اَذْبَحُكَ فَانْظُرْ مَاذَا تَرٰىۗ قَالَ يٰٓاَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُۖ سَتَجِدُنِيْٓ اِنْ شَاءَ اللّٰهُ مِنَ الصّٰبِرِيْنَ

Ketika anak itu sampai pada (umur) ia sanggup bekerja bersamanya, ia (Ibrahim) berkata, “Wahai anakku, sesungguhnya aku bermimpi bahwa aku menyembelihmu. Pikirkanlah apa pendapatmu?” Dia (Ismail) menjawab, “Wahai ayahku, lakukanlah apa yang diperintahkan (Allah) kepadamu! Insyaallah engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang sabar.”

Al-Shabuni mengutip perkataan Ibnu Abbas dan Mujahid dalam menafsirkan falammā balagha ma’ahu al-sa’ya, bahwa ketika itu putranya tumbuh besar dan mampu melakukan perjalanan, serta mampu melakukan apa saja yang dilakukan ayahnya dalam bekerja. [Mukhtaṣar Tafsīr Ibnu Kaṡir, 2/186]

Artinya, kondisi putra Ibrahim yang sedang diceritakan ayat ini adalah telah menginjak usia baligh. Ini terlihat dari kemampuan putranya dalam menempuh perjalanan yang kala itu belum semudah sekarang dalam menempuh perjalanan. Serta kemampuannya dalam bekerja.

Pada usia beranjak baligh inilah, terjadi komunikasi terbuka antara Nabi Ibrahim dan putranya dalam menyelesaikan permasalahan. Dikatakan percakapan pertama: “Wahai anakku, sesungguhnya aku bermimpi bahwa aku menyembelihmu. Pikirkanlah apa pendapatmu?”

Baca Juga: Fashabrun Jamil, Kisah Kebijaksanaan Sang Ayah Saat Ditipu Anak-Anaknya

Al-Shabuni mengomentari, bahwa pemberitaan ini sebetulnya adalah upaya Nabi Ibrahim dalam rangka memudahkan putranya dalam menjalankan kehidupan. Atau dalam kata lain, menggembleng jiwa, agar mudah meraih takwa. Yakni untuk menguji kesabaran, ketabahan, dan keteguhan hatinya di masa mudanya dalam menaati Allah dan ayahnya. [Mukhtaṣar Tafsīr Ibnu Kaṡir, 2/186] Dan kemudian putra beliau memersilakannya menyembelih dirinya, karena itu adalah perintah Allah yang wajib dipatuhi.

Sejatinya, membangun komunikasi yang baik antara anak dan ayah adalah kunci dari sebuah keharmonisan. Hubungan yang sehat inilah, akan mengantarkan pribadi anak yang lebih baik. Ketika usia anak menginjak baligh, atau telah memasuki usia yang bisa diajak untuk berkomunikasi terbuka, maka saatnya seorang ayah selalu menciptakan ruang dialog yang sehat. Ber-open-minded terhadap anak.

Sebab perlu diketahui bahwa seorang ayah yang memerankan dirinya sebagai pendengar dan penasihat yang baik, anak akan merasa dihargai dan diterima keberadaannya, serta disayang dan dikasihi. Ini akan berdampak pada perkembangan emosional yang stabil yang akan berpengaruh terhadap masa depan anak.

Fatherless Tidak Disarankan dalam Alquran

Berdasarkan pemaparan tafsiran dua ayat di atas terkait bagaimana pentingnya figur seorang ayah bagi sang anak, dapat dipahami bahwa Alquran sama sekali tidak mendukung adanya fenomena fatherless. Oleh karenanya, para kaum Adam hendaknya mempersiapkan dirinya agar menjadi sosok ayah yang baik bagi anaknya kelak. Karena tidak hanya ibu saja yang berperan atas tumbuh kembang anak, namun seorang ayah juga turut andil dalam hal ini. Kerjasama kedua orangtua dalam membersamai tumbuh kembang anak sangat berpengaruh terhadap kualitas generasi masa depan.

Wallāhu A’lamu.

Surah al-Fatihah, Warga Lombok, dan Kampung Terengan

0
surah al-Fatihah_warga Lombok_kampung Terengan
surah al-Fatihah_warga Lombok_kampung Terengan

Surah pertama dalam Alquran, yaitu surah al-Fātihah memiliki sejumlah nama yang unik. Nama-nama tersebut dinukiil oleh para ulama baik berdasarkan riwayat ataupun berdasarkan kandungan dan redaksinya. Di antara nama-namanya adalah fātihatul kitāb, as-sab’ul matsāni, ar-ruqyah, al-wāqiyah, al-kāfiyah dll.

Berbeda dengan beberapa nama sebelumnya, di kampung halaman saya, kampung Terengan, di Lombok Utara, surah al-Fātihah lebih sering disebut dengan surah “peteha“. Penyebutan ini sangat dipengaruhi oleh bahasa asli orang Lombok; bahasa Sasak. Kata “peteha” dibaca dengan membunyikan huruf vokal “e” pertama seperti pada kata “peti”, sedangkan huruf “e” kedua dibunyikan seperti pada kata “bengkel”.

Huruf “P” adalah pelafalan orang Lombok untuk membunyikan huruf konsonan “F”. Seperti halnya orang Sunda yang nampaknya sedikit kesulitan saat membunyikan huruf “F” dan lebih memilih huruf “P” karena dirasa lebih nyaman dan mudah dilafalkan.

Penggunaan kata “peteha” untuk menyebut surah al-Fātihah bukan hanya digunakan oleh warga kampung Terengan, akan tetapi digunakan hampir di semua daerah di Lombok, terutama oleh para orang tua dan para sesepuh. Bedanya, jika warga kampung saya menyebut kata “peteha” dengan akhiran bunyi vokal “a”, maka di kebanyakan daerah lain menggunakan akhiran “e” dengan bunyi yang sama dengan vokal “e” pertama. Ini dipengaruhi oleh bahasa Sasak yang notabenenya selalu mengganti huruf “a” di akhir kata dengan bunyi huruf “e”, seperti pada kata “percume”, “angke due”, “angke lime”, “sengaje”, dan lain-lain.

Baca Juga: ‘Pepujian Jawi’ Surah Al-Fatihah

Selain menyebut surah al-Fātihah dengan “peteha”, warga kampung Terengan sering menyebut surah al-Fātihah dengan sebutan surah “alham“, atau lebih tepatnya “al-hamd” dari kata الحمد pada penggalan awal ayat pertama dalam surah al-Fatihah.

Penyebutan ini, mungkin kurang lebih sama dengan penyebutan surah “qulhu” untuk surah al-Ikhlās, “amma” untuk surah “an-nabā“, atau “tabbat” untuk menyebut surah al-Lahab. Karena kata itulah yang menjadi awal kata pada ayat pertama setiap surah tersebut. Sejauh pengetahuan penulis, para ulama tidak pernah menyinggung nama-nama itu untuk menyebut surah-surah tersebut. Namun berbeda dengan penamaan surah al-Fātihah dengan sebutan “alham” atau “al-Hamd“.

Awalnya saya mengira bahwa penyebutan itu digunakan oleh para tetua di kampung penulis untuk memudahkan ingatan, dimana ketika menyebut namanya maka akan langsung terbayang bunyi awal ayat dari surah itu; bukan karena ada panduan dan dasarnya dari literatur keislaman. Penulis sendiri sudah menghilangkan kebiasaan sejak kecil menyebut surah al-Fatihah dengan nama surah al-Hamd. Penulis beranggapan bahwa sudah saatnya menyebut nama al-Fātihah dengan namanya sendiri.

Baca Juga: Ini Rahasia Angka Tujuh dalam Surah Al-Fatihah

Namun, alangkah kagetnya ketika penulis menemukan nama itu disinggung dalam salah satu kitab tafsir mu’tabar dari generasi klasik, yaitu tafsir al-Jāmi’ li Ahkām Al-Qur’ān, kitab tafsir karya Imām al-Qurthūbī, ulama besar klasik asal Cordova, Andalusia atau yang sekarang dikenal dengan negara Spanyol.

Dalam tafsirnya, beliau menjelaskan,

الثاني: الحمد؛ لأن فيها ذكر الحمد، كما يقال سورة الأعراف، والأنفال، والتوبة، ونحوها

Nama yang kedua dari al-Fātihah adalah “al-hamd”; karena di dalamnya disebutkan kata الحمد sebagaimana surah al-A’raf, al-Anfāl, at-Taubah, dan semisalnya (dinamakan demikian karena di dalam masing-masing surahnya disebutkan kata-kata itu).

Keterangan ini sempat membuat saya kaget, penamaan “alham” atau “al-hamd” terhadap surah al-Fātihah oleh warga kampung Terengan yang awalnya saya anggap asal-asalan alias tidak berdasar bisa jadi memang mempunyai transmisi keilmuan yang bermuara pada penafsiran al-Qurṭūbī.

Namun demikian, bukan berarti penamaan surah al-Kāfirūn dengan sebutan “qulya“, al-Quraisy dengan “li-iila“, al-Mā’ūn dengan “ara’ay“, dan penamaan lainnya yang dipakai warga kampung Terengan itu juga terdapat dalam tafsir, loh ya. Tentu ini membutuhkan penelitian lebih lanjut. Wallahu a’lam.

Q.S Annisa ayat 140: Sikap Muslim terhadap Penistaan Agama

0
Q.S Annisa ayat 140: Sikap Muslim terhadap Penistaan Agama

Indonesia merupakan negara yang memiliki banyak perbedaan di kalangan masyarakatnya, termasuk perbedaan keyakinan dalam beragama. Perbedaan ini terkadang dapat menimbulkan ketegangan yang berujung pada penghinaan ataupun penistaan agama. Maka dari  itu, sebagai umat Islam penting untuk belajar dan memahami bagaimana pandangan Alquran jika dihadapkan dengan peristiwa penistaan agama, terutama agama Islam itu sendiri.

Penistaan agama yang sering terjadi di negara Indonesia biasanya dilakukan oleh beberapa oknum yang tidak bertanggungjawab. Tindakan tersebut tentu dapat merusak identitas agama yang dinistakan dan bisa membakar emosi yang dalam bagi pemeluk agama tersebut.

Untuk menyikapi hal tersebut, Alquran memberikan pesan untuk tetap menjaga kesabaran, dan melakukan pembenahan dengan pendekatan yang konstruktif. Agama Islam selalu mengajarkan umatnya untuk tidak mudah terprovokasi, baik oleh kata-kata yang diucapkan ataupun tindakan merendahkan dari oknum yang tidak bertanggungjawab tersebut. Akan tetapi, diwajibkan untuk tetap menggunakan kepala dingin dan menanggapi dengan bijak.

Baca Juga: Toleransi Tidak Terbatas untuk non-Muslim

Sikap atau cara dalam menghadapi penistaan agama tersebut sudah dijelaskan dalam Alquran surah al-Nisa ayat 140:

وَقَدْ نَزَّلَ عَلَيْكُمْ فِى الْكِتٰبِ اَنْ اِذَا سَمِعْتُمْ اٰيٰتِ اللّٰهِ يُكْفَرُ بِهَا وَيُسْتَهْزَاُ بِهَا فَلَا تَقْعُدُوْا مَعَهُمْ حَتّٰى يَخُوْضُوْا فِيْ حَدِيْثٍ غَيْرِهٖٓ ۖ اِنَّكُمْ اِذًا مِّثْلُهُمْ ۗ اِنَّ اللّٰهَ جَامِعُ الْمُنٰفِقِيْنَ وَالْكٰفِرِيْنَ فِيْ جَهَنَّمَ جَمِيْعًاۙ

Sungguh, Allah telah menurunkan (ketentuan) bagimu dalam Kitab (Al-Qur’an) bahwa apabila kamu mendengar ayat-ayat Allah diingkari dan diperolok-olokkan (oleh orang-orang kafir), janganlah kamu duduk bersama mereka hingga mereka memasuki pembicaraan yang lain. Sesungguhnya kamu (apabila tetap berbuat demikian) tentulah serupa dengan mereka. Sesungguhnya Allah akan mengumpulkan semua orang munafik dan orang kafir di (neraka) Jahanam.

Menurut M. Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Mishbah, ayat ini masih ada hubungannya dengan Alquran surah al-An’am ayat 68:

وَإِذَا رَأَيْتَ الَّذِينَ يَخُوضُونَ فِي آيَاتِنَا فَأَعْرِضْ عَنْهُمْ حَتَّىٰ يَخُوضُوا فِي حَدِيثٍ غَيْرِهِ ۚ وَإِمَّا يُنْسِيَنَّكَ الشَّيْطَانُ فَلَا تَقْعُدْ بَعْدَ الذِّكْرَىٰ مَعَ الْقَوْمِ الظَّالِمِينََ

Apabila engkau (Nabi Muhammad) melihat orang-orang memperolok-olokkan ayat-ayat Kami, maka tinggalkanlah mereka hingga mereka beralih ke pembicaraan lain. Jika setan benar-benar menjadikan engkau lupa (akan larangan ini), setelah ingat kembali janganlah engkau duduk bersama kaum yang zalim.

Terdapat perbedaan terhadap dua ayat di atas. Ayat yang pertama merupakan ayat madaniyah, sementara ayat yang kedua merupakan ayat makkiyah. Jika melihat dari ayat kedua, maka bisa dsimpulkan bahwa kondisi masyarakat Islam pada saat di Mekkah itu masih sangat lemah, maka dari itu menurut Quraish Shihab sifat yang perlu dilakukan oleh umat Islam jika mendapati terjadinya penghinaan atau penistaan agama hanya berpaling dan meninggalkan tempat majlis, karena pada saat itu hanya itu yang bisa dilakukan oleh umat Islam pada saat di Mekkah.

Baca Juga: Tuntunan Al-Quran dalam Menyikapi Penghinaan Terhadap Nabi SAW

Adapun ketika berkaca pada ayat yang pertama yang turun di kota Madinah, maka jelas menurut Quraish Shihab umat Islam pada saat itu dianjurkan untuk tidak hanya meninggalkan tempat majlis yang mengolok-olok ayat atau firmah Allah SWT, akan tetapi umat Islam dianjurkan untuk memutus hubungan dengan orang-orang yang melakukan tindakan tersebut. Anjuran tersebut didasari karena kondisi umat Islam yang mulai memiliki power atau kekuatan ketika berada di kota Madinah.

Jika masalah penistaan agama ini ditarik dan dibawa ke negara Indonesia, maka sebagai umat Islam tidak bisa menerapkan sikap yang sama dengan sikap yang ada di dalam Alquran surah al-Nisa dan al-An’am. Mengingat negara Indonesia merupakan negara yang multikultural. Jika umat Islam memaksakan tindakannya dalam menyikapi pelecehan agama Islam berdasarkan dengan dua ayat yang sudah dijelaskan di atas, bukan tidak mungkin akan terjadi banyak perpecahan antar masyarakat dan itu tidak baik untuk kemaslahatan masyarakat Indonesia.

Maka sikap yang tepat untuk mencegah penistaan terhadap keyakinan dalam beragama yang ada di Indonesia adalah toleransi. Umat Islam tetap diharuskan untuk membangun dan menjaga hubungan komunikasi yang baik. Umat Islam harus selalu bisa untuk lebih mengutamakan pengetahuan dan ilmu tentang prinsip agama Islam, namum harus bisa untuk memahami dan menghormati keyakinan orang lain. Kesadaran ini menciptakan landasan yang kuat untuk membangun masyarakat yang saling menghormati.Terlebih lagi di Indonesia sudah ada hukum yang berlaku atas tindakan pelecehan agama.

Kesimpulan

Sikap toleransi dirasa sangat tepat dilakukan umat Islam ketika sedang dihadapkan dengan peristiwa pelecehan agama. Karena sebagai umat Islam yang baik dan warga negara Indonesia yang patuh, maka sudah sepantasnya umat Islam menghormati dan menaati setiap aturan yang sudah ditetapkan di negara Indonesia.

*Artikel ini hasil kerja sama tafsiralquran.id dan Program Studi Ilmu Alquran dan Tafsir, UIN Sunan Ampel Surabaya

Kebhinekaan Ekonomi dalam Kehidupan Manusia

0
Kebhinekaan Ekonomi dalam Kehidupan Manusia

Dalam kehidupan manusia, kebinekaan ekonomi dalam perspektif Alquran menggambarkan cara pandang yang beragam dan terarah mengenai bagaimana manusia seharusnya berinteraksi dengan berbagai aspek ekonomi.

Konsep kebhinekaan ekonomi mencerminkan prinsip-prinsip universal yang memandang keragaman sebagai tanda kebesaran Allah SWT dan mengajak manusia untuk memanfaatkannya secara bijaksana untuk kebaikan bersama.

Allah berfirman dalam surah az-Zukhruf [43]: 32

اَهُمْ يَقْسِمُوْنَ رَحْمَتَ رَبِّكَۗ نَحْنُ قَسَمْنَا بَيْنَهُمْ مَّعِيْشَتَهُمْ فِى الْحَيٰوةِ الدُّنْيَاۙ وَرَفَعْنَا بَعْضَهُمْ فَوْقَ بَعْضٍ دَرَجٰتٍ لِّيَتَّخِذَ بَعْضُهُمْ بَعْضًا سُخْرِيًّا ۗوَرَحْمَتُ رَبِّكَ خَيْرٌ مِّمَّا يَجْمَعُوْنَ

“Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Tuhanmu? Kamilah yang menentukan penghidupan mereka dalam kehidupan dunia dan Kami telah meninggikan sebagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat memanfaatkan sebagian yang lain. Rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan.”

Baca Juga: Fungsi Zakat Bagi Ekonomi dan Sosial Masyarakat

Dalam Tafsir al-Mishbah karya M. Quraish Shihab (Vol 12, 562) dijelaskan bahwa ayat ini merupakan bantaham dalam bentuk pertanyaan akan kaum musyrik yang keberatan atas ketetapan Allah memilih Muhammad saw sebagai nabi.

Pada penggalan ayat yang artinya “Kamilah yang menentukan penghidupan mereka dalam kehidupan dunia” seperti menyatakan: jangankan membagi dan menetapkan siapa yang pantas menerima wahyu Allah yang merupakan anugerah khusus yang sangat tinggi nilanya, membagi harta kekayaan duniawi saja mereka tidak mampu.

Hamka dalam tafsirnya al-Azhar (Jilid 9, 6549) menjelaskan bahwa rezeki memang telah dibagi-bagikan Tuhan kepada manusia. Ada yang kaya raya dan ada pula yang miskin, ada pula yang menjadi hamba sahaya, menjadi suruh-suruhan, diperas keringatnya.

Ada yang kerjanya mencari keuntungan, dan ada yang nasibnya demikian malang sebab hutang. Begitulah nasib yang telah ditakdirkan Allah, hidup di dunia ini terbagi-bagi dan berbagai wajah hidup akan dihadapi.

Mengutip tafsiran M.S Tantawi dalam Tafsir Tematik Kemenag al-Qur’an dan Kebinekaan (h. 294) mengatakan bahwa kebijaksanaan Allah jugalah yang menjadikan manusia berbeda-beda dalam mendapatkan rezeki; ada yang kaya dan ada yang miskin.

Ada yang menjadi majikan ada pula yang menjadi pekerjanya, agar sebagian mereka dapat memanfaatkan sebagian yang lain atas dasar saling membutuhkan sesama manusia untuk memenuhi kebutuhan hidup.

Hal tersebut karena pada dasarnya telah menjadi sunnatul hayah bahwa setiap manusia memiliki kekurangan dan kelebihan dari yang lainnya, sebagaimana yang termaktub dalam ayat di atas.

Baca Juga: Strategi Al Quran dalam Mengembangkan Ekonomi Maritim

Ayat lain pula menjelaskan dalam surah an-Nahl [16]:71 Allah berfirman:

  وَاللّٰهُ فَضَّلَ بَعْضَكُمْ عَلٰى بَعْضٍ فِى الرِّزْقِۚ

“Allah melebihkan sebagian kamu atas sebagian yang lain dalam hal rezeki.”

Ayat ini menunjukkan bahwa di antara manusia semuanya memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Karenanya, antara manusia satu dengan yang lainnya hendaknya saling melengkapi atas kekurangan dari kelebihan yang dimilikinya. Semuanya bertujuan agar satu sama lain saling menolong karena saling membutuhkan.

Hal terebut membuktikan bahwa Alquran juga mengakui perbedaan ekonomi antar masyarakat, baik dalam hal kemakmuran maupun kekurangan. Allah SWT mengingatkan manusia untuk bersyukur atas rezeki yang diberikan-Nya, sementara juga diingatkan untuk membantu mereka yang membutuhkan.

Terlebih, dari adanya kelebihan dan kekurangan tersebut termasuk keragaman. Yang mana Alquran secara konsisten menekankan bahwa keragaman dalam ciptaan Allah adalah tanda kebesaran-Nya seperti dalam surah al-Hujurat (49:13).

Penutup

Dengan demikian, Alquran mengajarkan bahwa kebhinekaan ekonomi adalah bagian dari tatanan yang diciptakan oleh Allah, dan manusia memiliki tanggung jawab moral untuk mengelola keberagaman tersebut dengan kebijaksanaan agar tercapai tujuan kesejahteraan bersama.

*Artikel ini hasil kerja sama tafsiralquran.id dan Program Studi Ilmu Alquran dan Tafsir, UIN Sunan Ampel Surabaya

Menelusuri Jejak Sejarah Kodifikasi Qira’at Setelah Mushaf Usmani

0
menelusuri jejak sejarah kodifikasi qiraat pasca mushaf usmani
menelusuri jejak sejarah kodifikasi qiraat pasca mushaf usmani

Kodifikasi Alquran yang dilakukan di masa Usman bin Affan dengan tujuan menyamakan bacaan ternyata masih memiliki celah yang menimbulkan perdebatan qira’at. Ketika Mushaf Usmani selesai ditulis dan disebarkan ke beberapa ahlul qurra’ di berbagai wilayah Islam, rupanya tidak mudah mengubah kebiasaan para guru Alquran untuk mengajarkan sesuai dengan Mushaf Usmani.

Meskipun demikian, usaha keras yang dilakukan oleh Usman bukanlah suatu hal yang sia-sia karena pada akhirnya mengantarkan ahlul qurra’ generasi berikutnya untuk mengompilasi riwayat-riwayat qira’at dengan berpedoman pada Mushaf Usmani. Ini menjadi awal dari kodifikasi qira’at.

Baca Juga: Hubungan dan Perbedaan antara Qiraat, Talaqqi, dan Tilawah

Masa Awal Pembukuan Qira’at

Pembelajaran qira’at hadir di tengah majelis bersamaan dengan kegiatan belajar mengajar Alquran. Jika ditelusuri kembali, upaya kodifikasi qira’at pertama kali yang dilakukan oleh ulama ahlul qurra’ dimulai pada abad kedua hijriah. Penyusunan varian qira’at dapat ditetapkan berdasarkan banyaknya riwayat-riwayat qira’at yang diterima maupun berdasarkan imam-imam qira’at.

Di antara yang pertama kali menulis kompilasi riwayat-riwayat qira’at menurut Ahmad Ali Al-Imam dalam buku Variant Readings of the Qur’an: A Critical Study of Their Historical and Linguistic Origins adalah Yahya bin Ya’mur (w. 129 H) dengan menuliskan varian-varian yang sesuai dengan Mushaf Usmani. Selanjutnya yakni salah satu imam qira’at al-‘asyrah, Yahya bin Ishaq al-Hadrami (w. 205 H) menulis satu qira’at yang disebut dengan al-Ja’mi.

Ibnu al-Jazari (w. 883 H) dalam al-Nashr fi al-Qira’at al-‘Asyr menyebutkan bahwa Abu Ubayd al-Qasim bin Salam (w. 224 H) mengompilasi 25 varian-varian qira’at dengan menyandarkan kepada 25 imam qurra’. Selain itu, ulama ahli tafsir dan sejarawan terkenal Ibnu Jarir At-Tabari (w. 310 H) juga dikabarkan menulis kitab yang memuat 20 varian bacaan yang diatribusikan kepada 20 imam qurra’. Namun, sangat disayangkan karya-karya ini tidak dapat ditemukan hari ini.

Pada era awal pembukuan riwayat-riwayat qira’at, para ahlul qurra’ tidak menetapkan jumlah tertentu varian qira’at yang diterima maupun yang tidak. Faktor yang melatarbelakangi adanya perbedaan ini setidaknya dikarenakan para sahabat maupun tabiin yang mengajarkan Alquran mengacu pada hafalan yang dimiliki daripada Mushaf Usmani. Disisi lain, Mushaf Usmani yang tidak memiliki syakl maupun nuqtah memungkinkan adanya perbedaan bacaan.

Baca Juga: Sudut Pandang John Wansbrough tentang Mushaf Usmani adalah Fiktif

Masa Kompilasi Qira’at as-Sab’ah

Qira’at as-Sab’ah pertama kali dipopulerkan oleh Ibnu Mujahid (w. 324 H) pada awal abad keempat hijriah melalui karyanya Kitab al-Sab’ah fi al-Qira’at. Ibnu Mujahid memilih tujuh qira’at ini dengan berdasarkan tujuh imam dan riwayat qira’at yang terkualifikasi serta dua perawi yang dianggap paling unggul untuk memudahkan para pembaca Alquran.

Ibnu Mujahid tidak pernah menyebut kualifikasi imam qira’at dalam kitabnya, namun apabila dianalisis dari segi kualitas riwayat qira’at serta keilmuan imam-imam qira’at, setidaknya dikarenakan tiga hal. Ini sebagaimana dijelaskan oleh Shady Hekmat Naser dalam buku The Transmission of the Variant Readings of the Qur’an: The Problem of Tawatur and the Emergence of Shawadhdh: a) riwayatnya berkesinambungan dengan rasm Usmani, b) fasih dalam bahasa Arab, c) riwayat mutawatir yang bacaannya masyhur dan secara ijma’ diterima oleh penduduk sekitarnya.

Pada abad ke-3 di era Imam Mujahid, menjadi suatu keyakinan umum di kalangan muslim bahwasanya Mushaf Usmani disebarkan ke lima kota: Mekkah, Madinah, Damaskus, Basrah, dan Kufah. Ibnu Mujahid memilih masing-masing imam dari setiap kota untuk dikompilasikan ke dalam kitabnya. Meskipun tidak diketahui secara pasti alasan Ibnu Mujahid mengambil tiga imam qira’at dari Kufah, namun apabila melihat konteks sosial Kufah pada saat itu yang majemuk, maka dapat dimengerti bahwa syarat ijma’ di Kufah bukan suatu hal yang mudah, sehingga masuk akal apabila Ibnu Mujahid memberikan beberapa opsi pilihan qira’atqira’at Kufah yang memenuhi standar yang ditetapkannya.

Ketenaran qira’at al-sab’ah tidak dapat dilepaskan dari campur tangan politik. Kedekatan Ibnu Mujahid dengan penguasa Dinasti Abbasiyah memudahkan langkahnya dalam menetapkan otoritas qira’ah sab’ah. Penetapan tujuh qira’at ini menjadi sebuah doktrin yang berlaku di masyarakat.

Ibnu Jinni (w. 392 H) menyebutkan dalam kitabnya al-Muhtasib fi Tabyin Wujuh Syawadz al-Qira’at wa al-Idahi ‘Anha bahwa Ibnu Mujahid menegaskan qira’at di luar kompilasi Kitab Sab’ah adalah qira’at yang syadz. Inilah mulanya ketika membaca selain qira’at tujuh dapat membuat seseorang dihukum dera. Seperti yang terjadi pada Ibnu al-Sunbudhi yang mendapat hukuman dera karena membaca qira’at Ibnu Mas’ud yang tidak sesuai dengan rasm Mushaf Usmani.

Baca Juga: Mengenal Klasifikasi Qiraat dan Para Imam Madzhabnya

Masa Pemisahan Qira’at Mutawatir dan Syadz

Setelah klaim tujuh qira’at sebagai qira’at mutawatir oleh Ibnu Mujahid, muncul konsep baru yang dikenal sebagai qira’at mutawatir dan qira’at syadzah. Para ulama berlomba dalam mendefinisikan kedua konsep tersebut. Qira’at mutawatir diharuskan memenuhi tiga kriteria sebagaimana qira’at al-sab’ah. Sedangkan qira’at syadzah adalah sebaliknya meskipun hanya terpenuhi dua syarat maka tidak dapat diterima.

Konsep baru ini kemudian berpengaruh pada tren untuk menulis kitab qira’at berdasarkan riwayat-riwayat yang diterima. Para ulama ahlul qurra’ tidak secara mentah-mentah menerima klasifikasi qira’at al-sab’ah Ibnu Mujahid. Setelah dikaji ulang terhadap validitas riwayat-riwayat qira’at beserta imamnya, ternyata para ulama tidak sepakat seutuhnya. Upaya penulisan kitab-kitab qira’at yang diterima dilakukan dengan menambahkan list Ibnu Mujahid sehingga menjadi qira’at delapan, qira’at sembilan, dan qira’at sepuluh.

Di antaranya adalah Ibnu al-Jazari yang mempopulerkan qira’at al-‘asyrah yang termuat dalam kitab al-Nashr fi al-Qira’at al-‘Asyr. Ibnu al-Jazari menambahkan tiga orang dari daftar imam-imam qira’at Ibnu Mujahid diantaranya adalah Abu Ja’far, Ya’qub bin Ishaq al-Hadrami, dan Khalaf. Menurutnya, ketiga imam qira’at tersebut memiliki kualitas setara dengan tujuh imam qira’at Ibnu Mujahid. Banyak ulama yang menyetujui hasil ijtihad Ibnu al-Jazari, kendati demikian popularitas qira’at al-‘asyrah pada hari ini masih kalah dengan tawaran qira’at al-sab’ah Ibnu Mujahid yang terlebih dahulu dikompilasi dan menjadi suatu hukum berlaku di era Dinasti Abbasiyah.

Demikian perjalanan sejarah singkat qira’at. Sejarah qira’at setidaknya dapat dibagi dalam tiga periode: masa pra-Ibnu Mujahid, masa qira’ah sab’ah, dan masa pasca Ibnu Mujahid. Begitu besar sumbangsih Ibnu Mujahid yang dapat mengubah haluan sejarah kodifikasi qira’at serta memunculkan satu bidang baru dalam qira’at yakni qira’at mutawatir dan qira’at syadz yang kemudian dikembangkan oleh ulama setelahnya. Wallahu a’lam.

Tafsir Surah asy-Syu’ara dan Polemik Hukum Musik

0
tafsir surah asy-Syu'ara dan polemik hukum musik
tafsir surah asy-Syu'ara dan polemik hukum musik/ gambar: by pvproductions on Freepik

Akhir-akhir ini menjadi perbincangan hangat di media sosial mengenai hukum musik. Pasalnya, ceramah Ustadz Adi Hidayat yang mengatakan bahwa surah asy-Syu’ara sebagai surah para pemusik menghebohkan sebagian pihak. Ada yang setuju, dan ada yang berpendapat sebaliknya.

Jika menelaah penafsiran beberapa ayat dalam surah asy-Syu’ara, memang benar bahwa ada ayat di surah tersebut yang ditafsiri dengan kesan sebagai dalil pengharaman musik, dan ada pula ayat yang dipahami sebagai argumentasi membolehkan musik. Kali ini tidak untuk adu kuat antara argumentasi yang membolehkan dan yang melarang musik, nemun lebih kepada eksplorasi pendapat yang beragam, yang tidak hanya satu.

Baca Juga: Memahami Alquran Melalui Sinematografi

Makna Syair dan Musik

Menurut buku Transformasi Syair Jauharat at-Tauhid di Nusantara, syair merupakan salah satu bentuk puisi. Dalam bahasa Arab, ia disebut dengab syu’ur yang bermakna perasaan. Dari kata syu’ur ini muncul lagi makna puisi dalam pengertian umum.

Biasanya bentuk syair diakhiri dengan rima akhir a/a/a/a atau a/a/b. Adapun menurut Lailatuz Zahroh dalam penelitiannya tentang syair di Universitas Airlangga menyatakan bahwa syair atau syi’r adalah ucapan atau tulisan yang memiliki irama dan sajak serta unsur ekspresi rasa dan imajinasi yang lebih dominan.

Menurut Teungku M. Hasby Ash-Shiddiqy dalam tafsir Al-Qur’anul Majid (Jilid 3/h. 272) dan dalam kitab At-Tahrir wat Tanwir (Jilid 19/h. 89) karya Ibnu ‘Asyur menyatakan bahwa asy-syu’ara memiliki makna para penyair.

Adapun musik menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah seni menyusun nada atau suara dalam urutan, kombinasi dan hubungan temporal sehingga menghasilkan irama, lagu, dan keharmonisan. Dalam buku Musik dan Pembelajaran (2016), Halimah juga menyebut bahwa sesuatu dikatakan musik jika memiliki 3 komponen, yaitu bit, irama atau ritme dan harmoni. Sehingga dari kedua makna ini ada sebagian pihak yang menyamakan antara syair dan musik karena keduanya sama-sama memiliki irama.

Baca Juga: Hukum Mengidolakan Artis Nonmuslim

Argumentasi Pengharaman Musik

Memang tidak ada satu pun ayat Alquran yang secara tegas menyebut istilah musik, alat musik, lagu maupun nyanyian. Dalil terkait dengan musik dalam Alquran umumnya bersifat penafsiran. Seperti halnya penafsiran firman Allah swt., surah asy-Syu’ara ayat 224,

وَٱلشُّعَرَآءُ يَتَّبِعُهُمُ ٱلۡغَاوُۥنَ

“Dan penyair-penyair itu diikuti oleh orang-orang yang sesat.” (Q.S. asy-Syu’ara [26]: 224).

Tidak ada istilah musik yang disebutkan Ibn Katsir ketika menafsirkan ayat di atas, namun demikian, beliau mengutip hadis riwayat Imam Ahmad yang mengecam seseorang yang sedang menyenandungkan sebuah syair. Bahkan dalam hadis tersebut dikatakan lebih baik tenggorokan seseorang terisi dengan nanah daripada terisi dengan syair. (Tafsir Ibnu Katsir/Jilid 6/h. 193). Sedang kata “senandung/menyenandungkan” di atas menurtu KBBI bermakna nyanyian atau alunan lagu.

Pengharaman musik yang merujuk pada ayat Alquran juga dapat dicermati dari tafsir surah Luqman ayat 6 (Tafsir Ibnu Katsir/Jilid 6/h. 395) yang menyebutkan bahwa ada sekelompok manusia yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna (lahw al-ḥadīṣ) untuk menyesatkan manusia dari jalan Allah swt. Perkataan yang tidak berguna itulah menurut Ibnu Katsir sebagai sebuah lagu.

Selain itu, pengharaman musik ini juga didapat dari beberapa hadis, seperti hadis al-Bukhari dalam Fathul Bari (Jilid 10, h. 51), hadis al-Baihaqi dalam Sunan Baihaqi (Jilid 10, h. 221) dan hadis Ibnu Hibban dalam kitab at Tali’qatul Hisan no. 6719.

Pendapat yang sama juga diungkapkan oleh sahabat Ibnu Abbas dalam kitab Tahrim Alatith Tharb (h. 92). Begitu juga dengan Imam Malik dalam kitab Mughni al Muhtaj (Jilid 3, h. 2), dan Imam Abu Hanifah dalam kitab Ihya ‘Ulumuddin (h. 268) yang memandang musik sebagai perbuatan dosa.

Baca Juga: Syair Jahili dalam Penafsiran Al-Quran

Argumentasi Membolehkan Syair dan Musik

Di samping tafsiran ayat, hadis dan beberapa pendapat ulama di atas terkesan belum cukup tuntas untuk menganggap bahwa musik itu mutlak diharamkan. Sebab jika dikaji lebih lanjut dan disamakan pemaknaan antara syair dan musik sesuai pembahasan di atas, tentu akan ditemukan bahwa terdapat penyair yang justru dipuji oleh Nabi Muhammad saw. sekaligus dikecualikan dari ayat yang mencela para penyair.

Salah satu argumentasinya adalah penafsiran di surah yang sama, yaitu surah asy-Syu’ara ayat 227,

إِلَّا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ وَعَمِلُواْ ٱلصَّٰلِحَٰتِ وَذَكَرُواْ ٱللَّهَ كَثِيرا وَٱنتَصَرُواْ مِنۢ بَعۡدِ مَا ظُلِمُواْۗ … ٢٢٧

“Kecuali orang-orang (penyair) yang beriman dan beramal saleh serta banyak menyebut Allah dan mendpat kemenangan sesudah menderita kezaliman…” (QS. asy-Syu’ara [26]: 227).

Ayat 227 ini merupakan lanjutan dari kecaman terhadap penyair (disamakan dengan pemusik) pada ayat sebelumnya. Sayyid Quthb dalam Tafsir fi Zhilalil Quran (Jilid 8/h. 375) menyebut bahwa penyair yang digambarkan dalam ayat ini adalah penyair yang berdiri di atas akidah dan manhaj yang lurus. Mereka beramal saleh dan masuk dalam kategori pejuang Islam, di antaranya adalah Hasan bin Tsabit, Ka’ab bin Malik dan Ibnu Rawahah. Bahkan Rasulullah Saw. pernah memerintahkan kepada Hasan bin Tsabit untuk menyerang kaum kafir dengan syairnya dan mengatakan bahwa Jibril membersamainya.

Begitu juga menurut M. Quraish Shihab dalam Tafsir al Misbah, penyair yang dimaksud dalam ayat ini merupakan penyair yang syairnya digunakan sebagai sarana untuk mempertahankan kebenaran.

Dalam buku Hakekat Tasawuf (h. 130) karya Abdul Qadir Isa dikisahkan ada seorang penyair di zaman Nabi Saw. bernama Amir bin Akwa. Ketika itu beliau sedang membersamai Nabi Muhammad saw. menuju Khaibar.  Dalam perjalanan, beliau melantunkan sebuah syair. Kemudian Rasulullah saw. mendoakannya agar ia mendapat rahmat.

Melihat ada pengecualian terhadap kecaman terhadap para penyair (disamakan dengan pemusik), maka beberapa ulama ada yang membolehkan hukum musik tersebut. Imam al-Ghazali dalam kitab Ihya ‘Ulumuddin bab Sima’ wal Wajd menyatakan bahwa pengharaman musik ini bukan pada musik atau alatnya. Melainkan karena ada “sesuatu yang lain”, seperti kemaksiatan yang identik diiringi dengan musik.

Dalam kitab Kaf al-Ria’ (h. 273) disebutkan bahwa beberapa sahabat, seperti Abdullah bin Ja’far, Abdullah bin Zubair, Mughirah bin Syu’bah ialah sahabat yang suka mendengarkan musik, sehingga dari sini hukum musik/syair terbagi menjadi dua.

Jika musik itu digunakan untuk sarana kemaksiatan dan melalaikan dari perintah Allah swt. maka jelas hukumnya haram. Begitu juga sebaliknya, jika ia sebagai sarana pengingat dan nasihat (kebaikan) maka hukumnya diperbolehkan. Inilah pendapat Syekh Yusuf al Qardhawi dalam Fatwa-fatwa Muta’akhirin (h. 871)

Demikian sedikit ulasan tentang syair dan musik. Pembahasan ini memang cenderung menyamakan antara syair dan musik. Sebab keduanya sama-sama memiliki irama. Terlepas dari pemaknaan tersebut, hendaknya sebagai umat Islam memiliki sikap yang moderat dan bijaksana. Jangan sampai perbedaan pendapat di kalangan ulama tentang pemaknaan dan hukum musik dijadikan sebagai alat untuk berpecah belah. Segala perbedaan tersebut hendaknya dijadikan sebagai bukti betapa luasnya khazanah Islam dan fleksibelnya hukum Islam. Wallahu a’lam.

Tafsir al-Nahl Ayat 94: Penyalahgunaan Sumpah Sebagai Alat untuk Menipu

0
Tafsir al-Nahl Ayat 94: Penyalahgunaan Sumpah Sebagai Alat untuk Menipu

Sumpah, dalam konteks hukum maupun agama, seringkali dianggap sebagai cara untuk menegaskan suatu kebenaran. Akan tetapi, dalam beberapa kasus ditemukan kejadian dimana seseorang menyalahgunakan sumpah sebagai alat untuk menipu, sebagai bentuk pembelaan atas dirinya maupun orang lain demi menuruti hawa nafsu. Ini dapat terjadi ketika seseorang bersumpah palsu atau menggunakan sumpah untuk menipu pihak tertentu.

Terkait hal ini, telah disinggung dalam Alquran surah al-Nahl ayat 94 berikut.

وَلَا تَتَّخِذُوْٓا اَيْمَانَكُمْ دَخَلًا  بَيْنَكُمْ فَتَزِلَّ قَدَمٌ بَعْدَ ثُبُوْتِهَا وَتَذُوْقُوا السُّوْءَ بِمَا صَدَدْتُّمْ عَنْ سَبِيْلِ اللّٰهِۚ وَلَكُمْ عَذَابٌ عَظِيْمٌ

Janganlah kamu jadikan sumpah-sumpahmu sebagai alat penipu di antara kamu, yang menyebabkan kakimu tergelincir setelah kukuh tegaknya dan kamu akan merasakan keburukan karena kamu menghalangi (manusia) dari jalan Allah dan bagi kamu azab yang besar.

Pada ayat ini, Allah melarang hamba-Nya untuk menggunakan sumpah yang merupakan bagian dari janji sebagai alat untuk menipu pihak tertentu, baik secara individual maupun banyak orang. Dan Allah akan memberikan azab bagi orang-orang yang menyalahgunakan sumpah sebagai alat untuk menipu.

Baca Juga: Surah al-Maidah 89: Sumpah Palsu dan Kafarat Ausath Al-Tha’am

Kerugian Menipu dengan Sumpah

Terkait ayat di atas, al-Baghawi mengomentari bahwasanya larangan menipu menggunakan sumpah adalah demi menciptakan ketenangan manusia, khususnya pihak yang terlibat atas sumpah tersebut. [Tafsīr al-Baghawī, 5/40] Ketika sumpah seseorang terbukti bohong atau tipuan, tentu menimbulkan efek yang memungkinkan kerugian bagi pihak tertentu, bahkan khalayak. Maka tidak dapat dielakkan jika tindakan ini tergolong kejahatan yang tidak remeh.

Sayyid Quthb, dalam Tafsīr fī Ẓilāl al-Qur’ān (14/22), mengatakan bahwa penggunaan sumpah sebagai alat tipuan dan pengelabuan, berimbas pada rusaknya akidah. Selain itu, bersumpah palsu secara tidak sadar merupakan tindakan memperburuk wajah akidah di depan orang-orang yang bersumpah dengannya, setelah diketahui bukti bahwa ternyata berkhianat atas sumpah yang pernah ia gaungkan. Atau dengan kata lain, kepercayaan atas dirinya telah rusak, yang bahkan berkonsekuensi pada hukum.

Bahkan, perilaku menipu dengan sumpah mampu berakibat menjadi contoh yang buruk bagi orang lain. Sebagaimana pada ayat wa tażūqū al-sū’a bimā ṣadadtum ‘an sabīlillāh (kamu akan merasakan keburukan karena kamu menghalangi (manusia) dari jalan Allah), yang mana oleh al-Baghawi ditafsirkan bahwa adanya perbuatan melanggar janji yang diperbuat seseorang, menjadi contoh buruk bagi orang lain. Kelak setelah itu mereka akan menggampangkan sumpah. [Tafsīr al-Baghawī, 5/41]

Baca Juga: Bolehkah Melakukan Mubahalah?

Sumpah Adalah Tanggung Jawab Berat

Sumpah adalah bagian dari sebuah tanggung jawab serius, yang ditempatkan sebagai moralitas setiap individu agar jujur dan mematuhi janji yang dibuat dalam sumpah tersebut. Ketika seseorang telah bersumpah, seharusnya mengetahui dan memahami pula konsekuensi atas pelanggaran sumpah tersebut.

Pada potongan ayat fatazilla qadamun ba’da ṡubūtihā (yang menyebabkan kakimu tergelincir setelah kukuh tegaknya), oleh al-Shabuni dalam Mukhtaṣar Tafsīr Ibnu Kaṡīr (10/172), dikatakan bahwa ini menggambarkan larangan taraf berat, dikarenakan sangat berkonsekuensi pada agama dan pergaulan bermasyarakat.

Meskipun pada dasarnya seseorang tersebut teguh memegang sumpah dan janji, bisa jadi mengalami kondisi tertentu yang berakibat pada pelanggaran janji yang membinasakan dirinya. Sehingga tindakan menipu dengan sumpah ini tidak hanya dilakukan sengaja, namun dapat juga secara tidak sengaja. Maka, sumpah adalah sebuah tanggung jawab berat yang seharusnya dilakukan secara hati-hati dan tidak sembrono.

Baca Juga: Menilik Pengertian Qasam dalam Al-Quran

Azab Bagi Pelanggar Sumpah

Akhir ayat, setelah menjelaskan tentang larangan dan dampak dari penyalahgunaan sumpah, Allah menegaskan bahwa siapapun yang melanggar sumpah yang ditujukan untuk kecurangan, tipuan, dan kerusakan, akan mendapat azab, baik di dunia maupun akhirat. Al-Sya’rawi mengatakan dalam tafsirnya, bahwa setelah mengalami beragam azab di dunia, siksaan besar masih menantinya di akhirat kelak. [Tafsīr al-Sya’rawi, 13/819]

Azab di dunia, sebagaimana sudah dijelaskan sebelumnya, bahwa pelanggar sumpah akan mendapat sanksi sosial berupa tercorengnya nama baik sehingga kepercayaan orang-orang terhadapnya menjadi rusak, serta berkonsekuensi pada hukum. Selain azab dunia, Allah menjanjikan azab akhirat pula. Betapa berat tanggung jawab sumpah, lebih-lebih jika disalahgunakan demi menuruti hawa nafsu.

Penutup

Sebagai sebuah tindakan yang memikul tanggung jawab begitu besar, hendaknya seseorang memahami arti dan pentingnya sumpah, sehingga kemudian akan berpikir lebih matang untuk melakukan sumpah. Terlebih dipergunakan untuk menipu dan berbuat kerusakan demi membayar keinginan hawa nafsu. Sebab, bersumpah adalah sebuah komitmen yang wajib dipatuhi secara serius.

Wallāhu A’lamu.