Beranda blog Halaman 38

Menjadi Muslim Teladan sebagai Bentuk Syiar Islam

0
Teladan Maulana Habib Luthfi: Belajar Tak Mudah Mengeluh
Maulana Habib Luthfi, sosok muslim teladan.

Salah satu slogan yang sering terdengar tentang agama Islam adalah bahwa Islam itu rahmatan lil alamin. Umat muslim percaya bahwa kehadiran agama Islam mampu mewujudkan kedamaian dan kasih sayang bagi manusia maupun alam semesta.

Kalimat tersebut tentu juga bisa diamini oleh orang-orang nonmuslim apabila mereka mendapat gambaran bahwa Islam benar-benar agama yang penuh kasih sayang. Namun, apabila mereka mendapatkan gambaran Islam yang tidak baik dari para pemeluknya, maka tentu saja mereka para nonmuslim tidak akan setuju dengan slogan Islam rahmatan lil alamin tersebut.

Oleh karena itu, penting bagi umat muslim untuk mengamalkan nilai-nilai keislaman dengan bertutur kata baik dan berperilaku budi pekerti. Hal ini bisa dilakukan dengan mengikuti keteladanan Nabi Muhammad. Di dalam Alquran telah disebutkan bahwa Nabi Muhammad merupakan suri teladan bagi umat muslim. Hal ini termaktub dalam Q.S. Al-Ahzab ayat 21 berikut.

لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِيْ رَسُوْلِ اللّٰهِ اُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِّمَنْ كَانَ يَرْجُوا اللّٰهَ وَالْيَوْمَ الْاٰخِرَ وَذَكَرَ اللّٰهَ كَثِيْرًاۗ

Sungguh, pada (diri) Rasulullah benar-benar ada suri teladan yang baik bagimu, (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat serta yang banyak mengingat Allah.

Baca juga: Keteladanan Nabi Muhammad sebagai Pejuang Kemanusiaan

Menurut Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Misbah (Jilid 11 hal. 242), ayat tersebut tertuju pada orang-orang beriman dan memuji sikap mereka yang meneladani Nabi Muhammad. Namun, di sisi lain, ayat ini juga merupakan kecaman terhadap orang-orang munafik yang mengaku memeluk Islam, tetapi tidak mencerminkan ajaran Islam.

Konteks ayat ini sebenarnya berbicara tentang Perang Khandaq. Namun, ayat ini juga mencakup kewajiban dan anjuran agar meneladani Nabi Muhammad walau di luar konteks tersebut. Hal ini karena Nabi Muhammad memang telah dipersiapkan oleh Allah untuk menjadi teladan bagi semua umat manusia.

Dari penjelasan di atas bisa dipahami bahwa umat muslim merupakan ambasador dari agama Islam. Wajar bagi orang nonmuslim untuk menilai Islam dari perilaku pemeluknya. Meskipun hal ini merupakan bias dan ketidakadilan dalam berpikir. Hal tersebut ialah karena ketidaktahuan mereka tentang agama Islam.

Baca juga: Teladan Baginda Nabi dalam Membangun Relasi Suami-Istri

Itulah mengapa, penting bagi seorang muslim untuk mencerminkan tutur kata dan tindak tanduk yang islami, terlebih di Indonesia yang mayoritas dari masyarakatnya merupakan muslim. Hal ini tentu menjadikan perilaku umat muslim lebih tersorot di kalangan masyarakat Indonesia.

Dengan tingkah laku yang baik, seorang muslim teladan bisa menjadi sebab tergeraknya hati seseorang untuk mengenal Islam, yaitu dengan melekatkan nilai-nilai Islam yang luhur serta berusaha mewujudkannya secara kaffah dalam setiap penuturan dan tindakan.

Janganlah seorang muslim berkontribusi membuat orang lain merasa antipati terhadap agama Islam dengan meniadakan adab dan ilmu dalam setiap gerak-geriknya. Islam memang akan tetap dan selalu menjadi agama yang mulia dengan ada ataupun tidak adanya muslim teladan, maka jadilah sosok yang dimuliakan karna beragama Islam.

Baca juga: Amar Ma’ruf Nahi Munkar Nabi Ibrahim yang Elegan, Tanpa Kekerasan

Contoh yang mungkin dapat diambil baru-baru ini terkait memberi keteladanan yang baik ialah pada respons Ustadz Adi Hidayat terhadap kasus pelecehan agama yang dilakukan oleh pendeta Gilbert kemarin. Dalam hal ini beliau menanggapi dengan tenang, baik dan tidak over reaktif. Beliau menjadikan hal negatif menjadi kekuatan syiar dengan menyampaikan kebenaran yang perlu disampaikan terkait masalah zakat dengan bahasa yang santun sesuai ajaran agama.

Perilaku beliau ini akhirnya menjadi gambaran baik tentang Islam bagi orang-orang nonmuslim. Perilaku muslim teladan seperti ini niscaya akan menjadi kekuatan syiar yang dapat membuka pandangan masyarakat nonmuslim bahwa Islam adalah agama yang sungguh rahmatan lil alamin.

Upaya Penguatan Pertahanan Nasional dalam Perspektif Mufasir Nusantara

0
Pertahanan nasional perspektif mufasir nusantara
Pertahanan nasional perspektif mufasir nusantara

Pertahanan nasional merupakan salah satu isu yang senantiasa menjadi perhatian dalam konteks kehidupan bangsa dan negara. Dalam konteks ini, Alquran sebagai sumber ajaran utama umat Islam juga memberikan pandangan yang relevan terkait dengan konsep dan tantangan dalam mencapai pertahanan nasional. Artikel ini membahas bagaimana pandangan mufasir dalam memandang pertahanan nasional serta tantangan yang dihadapi dalam konteks modern.

Konsep Pertahanan Nasional menurut Mufasir

Pertahanan nasional atau disebut juga pertahanan negara merupakan hal krusial yang dibutuhkan dalam kehidupan bernegara untuk menjamin keamanan warga negara.

Setidaknya terdapat dua jenis pertahanan nasional, yakni pertahanan militer dan nirmiliter. Pertahanan militer merupakan usaha mempertahankan negara yang dilakukan oleh angkatan bersenjata atau militer. Sementara itu, pertahanan nirmiliter merupakan upaya mempertahankan negara yang dilakukan oleh kalangan sipil seperti polisi, organisasi pemuda, pelajar, agamawan, dan lain sebagainya.

Semakin zaman berkembang, ancaman dan tantangan terhadap keamanan negara juga turut berkembang, tidak hanya berasal dari luar melainkan juga dari dalam negeri.

Tantangan atau ancaman dari luar ini biasa disebut dengan ancaman tradisional, berupa ancaman militer. Contoh ancaman jenis ini antara lain agresi suatu negara ke negara lain, pelanggaran terhadap batas teritorial, spionase yang dilakukan intelejen negara lain, dan ancaman lainnya.

Sementara itu, terdapat pula ancaman non tradisional (non militer), seperti menyebarnya ideologi radikalisme agama, penyebaran wabah penyakit, pencucian uang, bencana alam, kemiskinan, peredaran narkoba, hingga perdagangan manusia (human trafficking).

Alquran memberikan gambaran yang luas tentang konsep pertahanan nasional. Hal ini meliputi aspek-aspek seperti kekuatan militer, ekonomi, sosial, dan budaya. Beberapa ayat dalam Alquran menyoroti pentingnya persatuan, keadilan, dan keberanian dalam mempertahankan keutuhan negara dan bangsa.

Salah satunya terdapat dalam Q.S. Ali Imran [3]: 200, di mana Allah SWT berfirman,

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اصْبِرُوْا وَصَابِرُوْا وَرَابِطُوْاۗ وَاتَّقُوا اللّٰهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ ࣖ

“Wahai orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu, kuatkanlah kesabaranmu, tetaplah bersiap siaga di perbatasan (negerimu), dan bertakwalah kepada Allah agar kamu beruntung.”

Dari ayat di atas, terdapat beberapa lafaz yang dapat digarisbawahi, yakni isbiru, sabiru, dan rabitu. Para mufasir telah banyak menuangkan ijtihadnya dalam sebuah tafsir terkait makna dari lafaz-lafaz di atas.

Buya Hamka dan M. Quraish Shihab misalnya, mereka merupakan dua ulama Indonesia yang dijadikan rujukan oleh banyak cendekiawan, karena kedua tokoh tersebut merupakan ulama besar yang memiliki pemahaman luas dalam bidang tafsir Alquran dan keilmuan Islam lainnya. Mereka juga dikenal karena karya-karya mereka yang monumental dan pengaruhnya yang luas dalam pengembangan pemikiran Islam di Indonesia.

Baca juga: Menelaah Kembali Konsep Darul Islam dan Darul Harb

Buya Hamka dalam tafsirnya al-Azhar menjelaskan bahwa lafaz isbiru dalam surah tersebut memiliki makna bersabar dengan meneguhkan hati dan menahan nafsu, serta bersabar dalam menjalani perintah Allah.

Kemudian lafaz sabiru bermakna peningkatan kesabaran, sabar tidak hanya pada diri sendiri tapi juga sabar pada orang lain termasuk musuh yang selalu mencari celah untuk merusak. sedangkan rabitu bermakna sebuah kewaspadaan dan siap siaga untuk menjaga perbatasan negeri atau wilayah Islam dari serangan yang berasal dari negeri lain. (Buya Hamka, al-Azhar, hlm. 1048)

Sementara M. Quraish Shihab dalam tafsir al-Misbah menjelaskan bahwa Q.S. Ali Imran [3]: 200 merupakan perintah Allah kepada hamba-Nya untuk bersabar. Menurutnya, sabar di sini dibagi menjadi tiga, yakni sabar dalam mempersatukan perbedaan baik pendapat maupun keimanan (Q.S. al-A’raf [7]: 87), kesabaran dalam menjaga persatuan dan kesatuan (Q.S. al-Anfal [8]: 46), sabar dalam melaksanakan salat dan doa (Q.S. Taha [20]: 132), dan sabar dalam menghadapi musibah (Q.S. al-Baqarah [2]: 155).

Dalam ayat tersebut juga disebutkan bahwa salah satu bentuk sabar terdapat juga pada lafadz rabitu yang bermakna sabar dalam mempertahankan kedaulatan negara. Aksi membela dan mempertahankan negara tentu membutuhkan kesabaran baik dalam menyusun strategi maupun ketika aksi di lapangan. (M. Quraish Shihab, al-Misbah, hlm. 323-324)

Upaya Penguatan Ketahanan Nasional dalam Menghadapi Ancaman Internal dan Eksternal

Pertahanan negara merupakan aspek penting dalam keberlangsungan suatu negara, terutama dalam menghadapi ancaman internal yang ingin menggulingkan pemerintahan yang sah. Ancaman ini dapat berupa subversi yang mencakup aspek sosial, ekonomi, ideologi, politik, dan budaya. Ancaman lainnya adalah penyusupan dan intervensi asing dalam urusan domestik negara.

Ancaman ini, jika tidak diwaspadai, dapat menyebabkan ketegangan sosial dan pemberontakan yang berujung pada pembentukan negara baru. Untuk menghadapi ancaman tersebut, diperlukan penguatan dalam bidang keamanan, ideologi, politik, dan ekonomi. Angkatan bersenjata dan kualitas alutsista yang baik juga penting dalam menjaga keamanan negara.

Buya Hamka dalam tafsirmya menjelaskan bahwa ketika menghadapi musuh hendaknya waspada dengan segala kemungkinan buruk yang terjadi. Salah satu langkah yang dapat diambil adalah dengan memperhatikan kualitas alutsista sebagaimana yang terdapat dalam redaksi ribat al-khayl dalam Q.S al-Anfal [8]: 60 yang berarti tambatan kuda perang.

Selain itu, beliau juga mengutip pendapat dari Umar bin Khattab yang menyuruh untuk mengajarkan kepada anak-anak untuk berenang dan memanah, serta hendaklah mereka dapat melompat ke punggung kuda sekali lompat.

Baca juga: Tafsir Surah Al-Hasyr Ayat 9: Sifat-Sifat Kepahlawanan Kaum Ansar

Buya Hamka menjelaskan bahwa pendapat tersebut selaras dengan surat al-Anfal tersebut. Namun maknanya harus sesuai dengan konteks zaman. Jika di masa Rasulullah dan sahabat perang menggunakan pedang dan tombak, maka di zaman ini persenjataan tentunya semakin berkembang, seperti adanya kapal perang, panser wagon, jip militer, pesawat tempur, dan lainnya.

Strategi mempertahankan negara bertujuan membuat musuh gentar, seperti yang disebutkan dalam redaksi turhibuna bihi aduw Allahi wa aduwwakum, yang berarti dapat menggentarkan musuh Allah dan musuhmu.

Jika strategi pertahanan negara dirancang dengan baik, termasuk persiapan alutsista yang berkualitas bagi angkatan bersenjata, musuh akan berpikir ulang untuk menyerang kehormatan suatu negara.

Menurut M. Quraish Shihab, mempersiapkan persenjataan dan kekuatan pendukung lain untuk pertahanan nasional dilakukan untuk menjaga kedaulatan negara, bukan untuk menindas atau menjajah negara lain.

Langkah awal untuk menangani ancaman bagi ketahanan negara adalah dengan penanaman rasa nasionalisme religius dan penguatan ideologi negara sebagai pemersatu seluruh elemen bangsa.

Baca juga: Tren Tik Tok “Welcome to Indonesia” dan Nilai Nasionalisme Religius dalam Al-Qur’an

Sesuai dengan semangat dalam Q.S. Ali Imran [3]: 200, Buya Hamka menjelaskan bahwa mempertahankan negara merupakan perintah agama sebagaimana yang tercantum dalam penutup surat Ali Imran tersebut. Ayat tersebut memberikan semangat bagi rakyat Indonesia untuk mempertahankan keamanan negaranya sebagai rasa syukur atas nikmat kemerdekaan.

Dalam mewujudkannya, dibutuhkan kesabaran dan strategi, karena mempertahankan suatu negara memerlukan perencanaan yang matang dan strategi jitu. Dengan pemahaman yang mendalam terhadap makna Q.S. Ali Imran ayat 200, diharapkan masyarakat dapat memperkuat ketahanan nasional mereka, baik dalam aspek keamanan, ideologi, ekonomi, sosial, politik, budaya, dan lain sejenisnya. Wallahu a’lam.

Kritik Jasser Auda terhadap Teori Nasakh

0
Jasser Auda
Jasser Auda (Sumber: Google Scholar)

Sebagaimana dikatakan oleh Thomas Kuhn, seorang filsuf yang konsen di bidang filsafat ilmu, bahwa ilmu pengetahuan akan senantiasa berdinamika dan berevolusi seiring dengan berjalannya waktu. Menurut Kuhn, ketika teori-teori atau konsep-konsep lama tidak mampu menjawab anomali-anomali yang muncul akibat pergeseran paradigma pemikiran, di situlah awal mula terjadinya revolusi pengetahuan.

Dengan karakternya yang transparan, ilmu pengetahuan tentu akan senantiasa menerima kritik untuk kemudian mengalami dinamisasi. Tak terkecuali teori-teori dalam rumpun ilmu agama seperti teori-teori dalam usul fikih. Salah satu teori atau konsep dalam usul fikih atau metode penafsiran teks yang kerap kali menjadi sorotan para cendekiawan masa kini adalah konsep tentang nasakh.

Dalam literatur-literatur klasik, nasakh adalah menghapus atau menganulir hukum syar’i dengan berlandaskan dalil syar’i lain yang datang lebih belakangan. Yang dimaksud dengan menghapus hukum] dalam definisi di atas adalah menonaktifkan hukum syar’i tersebut sehingga ia tidak lagi dapat diaplikasikan sebagai perspektif dalam menghukumi suatu fenomena [Ghayah al-Wushul, hal. 97].

Sejatinya teori nasakh hadir sebagai jalan keluar untuk menyelesaikan kontradiksi antara dua dalil yang dinilai bertentangan. Hal ini terlihat ketika nasakh sendiri menjadi salah satu metode menyelesaikan kontradiksi antara dua dalil. Akan tetapi, dalam diskursus usul fikih, nasakh hanya boleh diaplikasikan apabila metode-metode yang lain tidak mampu menyelesaikan kontradiksi antara dua dalil tersebut [‘Ilm Ushul Fikih, hal. 200].

Baca juga: Jasser Auda dan Tawaran Teori Sistem dalam Hukum Islam

Tidak sedikit cendikiawan muslim kontemporer yang mempertanyakan kembali konsep nasakh yang diajukan oleh ulama klasik. Bahkan, ada yang menilai bahwa nasakh sejatinya merupakan wujud kegagalan ulama dalam mengkompromikan dua teks yang kontradiksi. Di antara cendikiawan muslim yang cukup getol menolak konsep nasakh adalah Jasser Auda.

Jasser Auda merupakan seorang cendikiawan muslim yang lahir pada tahun 1966 di Kairo, Mesir. Ia tergolong unik karena memiliki latar belakang keilmuan sains dan hukum Islam pada saat yang bersamaan. Hal inilah yang mengilhami Jasser Auda untuk melakukan kajian mendalam terkait hukum Islam dengan pendekatan ilmu sains. Salah satu kontribusinya dalam dunia pemikiran Islam adalah pengembangan konsep maqashid syariah dengan pendekatan teori sistem.

Konsep maqashid syariah yang diusung oleh Jasser Auda ternyata kontra produktif dengan konsep nasakh. Alih-alih menggunakan konsep nasakh, Jasser Auda menyuarakan pembacaan maqashidiyah terhadap teks-teks suci sehingga dapat menghasilkan pemahaman yang lebih komprehensif dan tentunya sejalan dengan maqashid syariah.

Poin-Poin Kritik Jasser Auda terhadap Teori Nasakh

Salah satu karya Jasser Auda yang mengkritik teori nasakh dan menawarkan pendekatan maqashid sebagai alternatif adalah kitab berjudul Naqd Nadzariyat al-Naskh: Bahts fi Fiqh Maqashid Syari’ah. Dalam kitab tersebut, Jasser Auda memaparkan beberapa anomali dan kritik terhadap teori nasakh.

  1. Tidak ada landasan normatif baik dari Alquran maupun hadis yang secara tegas melegitimasi teori nasakh

Menurut Auda, nomenklatur nasakh dan yang semakna dengannya hanya ditemukan dalam surah Al-Baqarah ayat 106 dan An-Nahl ayat 101.

{مَا نَنْسَخْ مِنْ آيَةٍ أَوْ نُنْسِهَا نَأْتِ بِخَيْرٍ مِنْهَا أَوْ مِثْلِهَا أَلَمْ تَعْلَمْ أَنَّ اللَّهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ}

Ayat yang Kami nasakh (batalkan) atau Kami jadikan (manusia) lupa padanya, pasti Kami ganti dengan yang lebih baik atau yang sebanding dengannya. Apakah engkau tidak mengetahui bahwa Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu?”

{ وَإِذَا بَدَّلْنَا آيَةً مَكَانَ آيَةٍ وَاللَّهُ أَعْلَمُ بِمَا يُنَزِّلُ قَالُوا إِنَّمَا أَنْتَ مُفْتَرٍ بَلْ أَكْثَرُهُمْ لَا يَعْلَمُونَ}

“Dan apabila Kami mengganti suatu ayat dengan ayat yang lain, dan Allah lebih mengetahui apa yang diturunkan-Nya, mereka berkata, “Sesungguhnya engkau (Muhammad) hanya mengada-ada saja.” Sebenarnya kebanyakan mereka tidak mengetahui.”

Dalam berbagai literatur tafsir, dua ayat di atas sering dijadikan bukti keberadaan nasakh. Dalam Tafsir al-Nasafi misalnya, dijelaskan bahwa ayat ke 101 surah An-Nahl di atas turun sebagai respons atas ejekan kaum kafir atas inkosistensi aturan yang dibawa Nabi Muhammad saw. karena di suatu waktu memerintahkan demikian, tetapi di lain waktu malah melarangnya. Maka turunlah ayat di atas sebagai respons atas hal tersebut [Tafsir al-Nasafi, juz 2, hal. 233].

Baca juga: Abdullahi Ahmed Al-Na’im: Nasakh Terbalik sebagai Landasan Epistemologis Dekonstruksi Syariah

Akan tetapi, menurut Jasser Auda, ayat di atas tidak secara tegas menunjukkan keberadaan nasakh. Ada berbagai penawaran tafsiran yang dinilai Auda lebih mudah diterima daripada penafsiran di atas. Di antaranya adalah bahwa ayat ke 106 surah Al-Baqarah di atas tidak sama sekali menyinggung tentang nasakh teks, melainkan penggantian dan pembaruan mukjizat satu nabi dengan nabi yang lain. lafad آية dalam ayat tersebut menurut penafsiran yang dipilih Auda, bukan bermakna teks Alquran tetapi bermakna mukjizat.

Sedangkan ayat ke dalam surah An-Nahl di atas menurut Auda kurang tepat ditafsiri demikian. Hal ini mengingat bahwa ayat tersebut turun pada fase dakwah Nabi di Makkah. Sudah maklum bahwa pada waktu itu adalah fase penguatan akidah sehingga masih belum ada rumusan-rumusan hukum halal-haram sebagaimana yang ada pada fase dakwah di Madinah. Menurut Auda, sebagaimana dikutip dari Syaikh Muhammad Ghazali, secara historis pada waktu itu tidak pernah ada yang mempertanyakan inkonsistensi hukum Islam karena memang hukum Islam belum terbentuk secara utuh.

  1. Tidak ada kontradiksi dalam Alquran

Salah satu yang menjadi sebab kemunculan teori nasakh adalah adanya kontradiksi antarnas. menurut Auda, kontradiksi yang menjadi prasyarat berlakunya konsep nasakh tidak pernah dijumpai dalam setiap contoh nasakh yang ada dalam penafsiran klasik. Ayat-ayat yang dianggap kontradiksi sejatinya tidak benar-benar bertolak belakang secara diametral. Nas-nas tersebut sejatinya masih bisa dikompromikan dengan berbagai cara dan sudut pandang.

  1. Tidak adanya keharusan mengikuti dalil yang lebih baru

Salah satu argumentasi yang dibangun dalam teori nasakh adalah nas yang hadir belakangan akan menasakh nas yang hadir lebih dulu. Menurut Auda, premis ini bermasalah. Hal ini karena tidak ada keharusan bagi kita untuk mengikuti nas yang lebih baru sehingga meninggalkan secara utuh nas yang datang lebih dulu.

Baca juga: Pengertian Nasakh dan Penggunaannya dalam Alquran Menurut Para Ulama

  1. Nasakh merupakan otoritas syari’

Menurut Auda, hal yang paling penting diingat adalah otoritas nasakh sepenuhnya ada di tangan syari’ (Allah dan Rasul-Nya). Andaipun nasakh memang ada maka ia hanya akan diterima manakala ada riwayat yang benar-benar diyakini dari Nabi bahwa ayat atau hadis itu memang dinasakh. Dalam nasakh, asumsi pribadi sama sekali tidak dapat diterima meskipun ia adalah seorang sahabat nabi.

Demikianlah poin-poin yang menjadi kritik Jasser Auda terhadap teori nasakh. Memang tidak sedikit cendekiawan muslim kontemporer yang menolak adanya nasakh, sebagaimana tidak sedikit pula yang masih meyakini keberadaannya. Pendapat Jasser Auda ini memang cukup progresif dan argumentatif, tetapi masih menyisakan ruang untuk didiskusikan kembali. Sekian.

Tiga Kunci Menjaga Keharmonisan Antar Sesama Manusia

0
Tiga Kunci Menjaga Keharmonisan Antar Sesama Manusia

Dalam hidup berbangsa dan bernegara, setiap manusia wajib merasakan keharmonisaan. Dengan keharmonisan, maka akan tercipta kehidupan yang penuh dengan kenyamanan dan perdamaian. Untuk menciptakan keharmonisan antar sesama manusia, perlu ada beberapa sikap atau prilaku yang perlu dimiliki dalam diri manusia.

Sikap maupun prilaku yang berhubungan dengan menjaga keharmonisan antar sesama sudah di jelaskan dalam Alquran. Sehingga keharmonisan yang sudah terbentuk dalam sebuah kehidupan haruslah dijaga dengan baik. Ada tiga kunci dan cara menjaga keharmonisan antar sesama manusia, yaitu saling menghargai, saling menghormati, dan saling memaafkan. Berikut dijelaskan lebih lanjut beserta dengan dalil-dalilnya.

Baca Juga: Al-Quran dalam Menjaga Harmonisasi dan Toleransi Antar Umat Beragama

Saling Menghargai

Firman Allah dalam Q.S Alhujurat [49]:13

يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ اِنَّا خَلَقْنٰكُمْ مِّنْ ذَكَرٍ وَّاُنْثٰى وَجَعَلْنٰكُمْ شُعُوْبًا وَّقَبَاۤىِٕلَ لِتَعَارَفُوْا ۚ اِنَّ اَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللّٰهِ اَتْقٰىكُمْ ۗاِنَّ اللّٰهَ عَلِيْمٌ خَبِيْرٌ

Wahai manusia, sungguh kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Maha teliti.

Dalam penjelasan Ibn Jarir al-Tabari di dalam tafsirnya Jami al-Bayan Fi Ta’wil al-Qur’an (jilid 23, 767) bahwa Allah menciptakan manusia dengan jenis kelamin yang berbeda, yaitu laki-laki dan perempuan, yang terdiri dari berbagai keberagaman yang ada, supaya mereka saling mengenal dan saling menghargai antara satu sama lain.

Dengan saling menghargai akan mewujudkan keharmonisan, sehingga sikap ini perlu dijaga. Dari keberagaman yang ada, di sisi Allah, orang yang paling mulia ialah yang paling bertakwa. Sehingga dari bermacam perbedaan tidaklah menjadi permasalahan untuk saling menghargai.

Saling Menghormati

Firman Allah dalam Q.S Annisa [4]:86

وَاِذَا حُيِّيْتُمْ بِتَحِيَّةٍ فَحَيُّوْا بِاَحْسَنَ مِنْهَآ اَوْ رُدُّوْهَا ۗ اِنَّ اللّٰهَ كَانَ عَلٰى كُلِّ شَيْءٍ حَسِيْبًا

Dan apabila kamu di hormati dengan suatu (salam) penghormatan, maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik, atas balaslah (penghormatan itu, yang sepadan) dengannya. Sungguh, Allah memperhitungkan segala sesuatu.

Ibn Kathir dalam Tafsir al-Qur’an al-‘Azim (jilid 2, 368) bahwa apabila seseorang memberikan salam maka jawablah dengan salam yang baik karena menjawab salam merupakan salah satu kewajiban. Lalu sama halnya dalam penghormatan yang diberikan kepada seseorang dan berhak mendapat balasan penghormatan yang baik pula. Hal ini juga termasuk cara bertoleransi dalam hal penghormatan yang di berikan kepada seseorang untuk saling menghargai antar sesama.

Baca Juga: Memupuk Persaudaraan Antarumat Beragama

Saling Memaafkan

Firman Allah dalam Q.S Asy Syura [42]:40

وَجَزٰۤؤُا سَيِّئَةٍ سَيِّئَةٌ مِّثْلُهَا ۚفَمَنْ عَفَا وَاَصْلَحَ فَاَجْرُهٗ عَلَى اللّٰهِ ۗاِنَّهٗ لَا يُحِبُّ الظّٰلِمِيْنَ

Dan balasan dari suatu kejahatan adalah kejahatan yang setimpal, tetapi barangsiapa memaafkan dan berbuat baik (kepada orang yang berbuat jahat) maka pahalanya dari Allah. Sungguh, Dia tidak menyukai orang-orang zalim.

Menurut penjelasan Quraish Shihab di dalam Tafsir Al-Misbah (jilid 12, 513) bahwa apabila seseorang memaafkan tanpa menuntut haknya sehingga tidak terjadi pembalasan yang serupa dan menjalin hubungan harmonis serta tetap menjalin hubungan baik dengan seseorang yang telah berbuat jahat kepadanya maka pahala yang akan di balas oleh Allah kepada orang tersebut. Dari penafsiran ini dijelaskan bahwa saling memaafkan dengan menciptakan perdamaian sangat perlu untuk menjaga keharmonisan antar sesama manusia.

Kunci dari menjaga keharmonisan dan disertai dengan tiga ayat yang juga disebutkan penafsirannya maka sudah jelas bahwa keharmonisan yang perlu di jaga memiliki sikap saling menghargai, menghormati, dan memaafkan. Saling menghargai membuat seseorang tenggang rasa dalam hal apapun terhadap berbagai maacam keberagaman. Dan ditambah lagi dengan menghormati sesama, yang sama-sama bisa membuat seseorang untuk lebih bisa menghargai dari setaip pendapat yang ada.

Baca Juga: Tafsir Surah Al-A’raf Ayat 199: 3 Konsep Kesalehan dalam Harmonisasi Sosial

Saling menghargai dan menghomati sangatlah berpengaruh dalam menjaga keharmonisan antar sesama. Dengan adanya dua sikap tersebut maka akan timbul rasa saling memaafkan antar sesama. Karena apabila seseorang sudah bisa menghormati dan menghargai sesama maka sikap memaafkan pun akan senantiasa mengiringinya.

Maka dari penjelasan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa kunci dari menjaga keharmonisan antar sesama manusia yaitu dengan tiga sikap, saling menghargai, saling menghormati, dan saling memaafkan. Tiga hal tersebut sudah dijelaskan beserta dalilnya yang terdapat dalam kalam Allah swt.

Apabila ketiga sikap tersebut sudah ada pada diri setiap manusia, maka keharmonisan akan mudah tumbuh dalam kehiduapn. Dengan keharmonisan inilah yang menjadikan kehidupan sesama manusia menjadi damai dan nyaman. Kenyamanan merupakan impian setiap warga negara dalam berkehidupan. Maka dari itu, mari menjaga keharmonisan dan kenyamanan dengan saling menghargai, menghormati, dan memaafkan.

Wallahu a’lam.

*Artikel ini hasil kerja sama tafsiralquran.id dan Program Studi Ilmu Alquran dan Tafsir, UIN Sunan Ampel Surabaya

Keadilan Gender dalam Pembagian Warisan

0
Keadilan Gender dalam Pembagian Warisan

Pembagian harta warisan merupakan salah satu ajaran atau syariat Islam yang sangat penting, bahkan Alquran sendiri mengatur dengan sedemikian rupa dalam masalah mawaris. Hal ini juga menunjukkan bahwa Islam sangat memperhatikan kesejahteraan laki-laki dan perempuan, serta upaya untuk memberikan perlindungan hukum dan ekonomi kepada mereka.

Perempuan Tidak Mendapatkan Hak Waris di Masa Jahiliah

Pada masa pra-Islam, masyarakat Arab telah menerapkan sistem warisan, namun dalam sistem tersebut penerapannya lebih cenderung diskriminatif. Perempuan dan anak-anak tidak diberikan hak warisnya baik dari harta yang ditinggalkan ayah, suami, maupun kerabatnya.

Yang lebih parah ialah diperbolehkannya anak laki-laki tertua mewarisi istri yang ditinggal mati tersebut. Dengan demikian ketika seorang istri ditinggal oleh suaminya maka istri tersebut bukan termasuk sebagai ahli waris, melainkan sebagai bagian dari harta waris. Dengan cara ini menjadikannya sebagai salah satu sarana untuk bisnis melalui pembayaran mahar. (Hukum Kewarisan Islam, 13)

Baca Juga: Hikmah Dibalik Ayat-Ayat Waris dan Derajat Perempuan di Masa Jahiliah

Kemudian Islam datang dengan memberikan ketetapan syariat yang memberi hak kepada perempuan dan anak-anak untuk menjadi ahli waris dengan penuh kemuliaan. Surah an-Nisa’ ayat 7 turun sebagai penghapus dari hukum adat jahiliyah, meskipun masih belum dijelaskan secara terpirinci.

Disusul turunnya ayat tentang pembagian harta waris bagi anak laki-laki dan perempuan, bagian orang tua, dan ahli waris lainnya, waktu pembagiannya, serta hikmah dari pembagian tersebut, yaitu QS. an-Nisa: 11-12 yang menjadi penjelas dari ayat sebelumnya yang masih mujmal.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa ayat-ayat faraidh merupakan contoh dekonstruksi budaya patriarki yang telah diajarkan oleh Islam. Dan bahwa Islam menjunjung harkat dan martabat perempuan dengan terhormat. Konsep keadilan dari ayat ini sudah sangat adil jika dilihat dari keadaan sosial budaya saat itu.

Penjelasan Tafsir QS. An-Nisa Ayat 11-12: Pembagian Harta Warisan

Keterangan pembagian waris yang terdapat pada ayat 11-12  tentang bagian waris anak laki-laki dan perempuan dengan kadar ketentuan 2:1 seringkalk menjadi pembahasan sensitif. Para feminis meminta keadilan dengan menyamaratakan antara bagian laki-laki dan perempuan.

Mutawalli as-Sya’rawi (2/369) mengomentari kadar hukum waris yang telah ditentukan dalam Alquran sudah dijelaskan secara rinci dan adil. Ketidaksamaan dalam pembagian harta yang diperoleh bukanlah bentuk diskriminasi terhadap salah satu pihak. Melainkan ketentuan Allah sangatlah rasional dan adil daripada ketentuan yang dibuat di luar syariat Islam.

Baca Juga: Hak Waris Bagi Suami Istri dan Saudara Menurut Al-Qur’an

Namun as-Sya’rawi juga menerangkan bahwa Alquran sejatinya lebih memihak kaum perempuan. Sebab dalam pernikahan laki-laki harus membelanjakan istrinya. Tetapi istri tidak wajib menafkahi suaminya, bahkan dia yang harus dicukupi kebutuhannya. Sehingga pembagian waris yang terlihat lebih banyak untuk laki-laki ternyata pada hakikatnya harta tersebut untuk istrinya pula.

Karenanya M. Quraish Shihab berpendapat bahwa kadar 2:1 merupakan keadilan dan mutlak, karena ketetapan ini datangnya dari Allah. Di sisi lain dalam konteks perkawinan mengingat tanggung jawab finansia yang dibebankan agama kepada laki-laki, seperti membayar mahar, memberi nafkah kepada istri dan anak-anaknya. Sedangkan perempuan tidak demikian. (Islam yang Disalahpahami: Menepis Prasangka, Mengikis Kekeliruan, 160)

Quraish Shihab juga mengutip penjelasan dalam Tafsir al-Muntakhab yang disusun oleh sekelompok ulama dan pakar terkemuka dari Mesir tentang keadilan pembagian waris yang dijelaskan Alquran.

Bahwa ketentuan dari pembagian waris tersebut bukan monopoli, melainkan penditribusian harta. Dalam hal ini waris tidak hanya dibagikan kepada anak laki-laki saja. Melainkan perempuan dan kerabatpun memilik hak menerima waris. Hak waris bisa merata dalam satu suku walaupun praktiknya diutamakan dari yang terdekat.

Perempuan juga sudah tidak dihalangi menerima warisan sebagaimana pada jaman masyarakat Arab dulu. Islam menghormati wanita dan memberi haknya secara penuh. Maka dalam hal ini merupakan salah satu penghargaan terhadap wanita yang sebelumnya belum pernah terjadi. (Islam yang Disalahpahami, 167-168)

Ia lebih lanjut menjelaskan tentang firman-Nya: لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْأُنثَيَيْنِ “Bagian seorang anak lelaki sama dengan bagian dua orang anak perempuan.” (an-Nisa:11) mengandung penekaanan pada bagian anak perempuan.  Karena dengan dijadikannya bagian anak perempuan sebagai ukuran untuk bagian anak lelaki, itu berarti, bahkan sejak semula seakan-akan sebelum ditetapkannya hak anak lelaki, hak anak perempuan telah terlebih dahulu ada. (Tafsir al-Misbah, 2/434-435)

Baca Juga: Pembagian Warisan Bagi Anak dan Orang Tua Menurut Al-Qur’an

Konsep Keadilan Gender dalam Pembagian Waris

Porsi pembagian warisan antara laki-laki dan perempuan 2:1 adalah suatu hal yang tidak dapat diubah. Namun, porsi demikian dapat diambil jika alternatif lain tidak disepakati. Dalam karyanya yang lain, Quraish Shihab menjelaskan bahwa jika dalam pembagian waris semua ahli waris menghendaki dan sepakat membagi harta waris sama rata maka dibenarkan, selama pembagian secara merata tersebut bukan atas dasar menilai bahwa kadar pembagian yang ditetapkan oleh Allah tidak adil atau keliru. (Anda Bertanya, Quraish Shihab Menjawab, 181)

Pendapat yang serupa dari ahli fiqih, Habib Abdurrahman al-Masyhur dalam kitabnya Bughyatul Mustarsyidin (1/290) menerangkan bahwa diperbolehkan para ahli waris jika ingin membagi rata warisan karena suatu sebab. Tetapi ada syarat yang harus dipenuhi.

Yaitu seluruh ahli waris mendapat bagian sesuai faraidh. Seluruh ahli waris harus ridha dan tidak ada yang merasa terpaksa untuk dibagi rata. Di antara ahli waris tidak ada yang mahjur ‘alaih, apabila ada maka harus diberikan terlebih dahulu bagiannya. Kemudian harta waris tersebut dapat dibagi rata.

Oleh karena itu perkembangan dan situasi ini menjadi pertimbangan penting untuk prinsip yang ditawarkan oleh para ulama tentang kadar ketentuan hak waris 1:1. Karena tidak serta merta seorang perempuan memiliki suami yang dapat mencukupi segala kebutuhannya, maka situasional lebih baik.

Misalnya dalam satu keluarga yang terdiri dari anak laki-laki dan perempuan, dimana anak laki-laki sudah mapan dalam hal finansialnya sedangkan yang perempuan kurang beruntung dalam ekonominya. Maka diperbolehkan menyepakati bagian waris disama ratakan atau bahkan anak lelaki tersebut merelakan hartanya untuk diberi kepada saudara perempuannya. Tentunya dengan cara dimusyawarahkan terlebih dahulu agar tidak ada kesalahpahaman.

Dengan demikian pembagian waris disini lebih fleksibel dan bukan suatu perkara yang kaku. Pembagian harta warisan jika semua ahli waris sepakat untuk disamaratakan dengan suatu alasan, dalam kasus ini sesuai dengan teori equilibrium yang bertujuan untuk menciptakan keharmonisan dalam keluarga.  Namun jika tidak ada permasalahan pada ahli waris maka tetaplah kembali pada ketetapan yang telah Allah tentukan. Karena Allah Maha Mengetahui hingga masalah sekecil ini diatur dengan serinci mungkin.[]

Surah al-Anfal Ayat 46: Cara Menjaga Persatuan

0
tafsir surah al-anfal ayat 46_cara menjaga persatuan
tafsir surah al-anfal ayat 46_cara menjaga persatuan

Rasa persatuan amat dibutuhkan dalam keberlangsungan hidup manusia sebagai makhluk sosial. Salah satu kasus yang muncul akibat ketidak mampuan seseorang dalam menjaga rasa persatuan yakni adanya perselisihan. Surah al-Anfal ayat 46 merupakan salah satu respon Alquran tentang beberapa cara untuk menjaga dan mewujudkan persatuan umat. Ayat ini memberi gambaran terkait beberapa hal yang dapat dilakukan umat Islam dalam situasi tertentu, agar mereka tidak mudah tercerai-berai sehingga persatuan akan lebih terjaga.

Baca Juga: Surah Ali Imran [3]: 103: Menjaga Integrasi Negara

Tafsir Surah al-Anfal Ayat 46

وَاَطِيْعُوا اللّٰهَ وَرَسُوْلَهٗ وَلَا تَنَازَعُوْا فَتَفْشَلُوْا وَتَذْهَبَ رِيْحُكُمْ وَاصْبِرُوْاۗ اِنَّ اللّٰهَ مَعَ الصّٰبِرِيْنَۚ

“Taatilah Allah dan Rasul-Nya, janganlah kamu berbantah-bantahan yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan kekuatanmu hilang, serta bersabarlah. Sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang sabar”.

Poin penting ayat ini merujuk pada beberapa perintah kepada umat Islam untuk selalu menjaga sikap persatuan antar sesama. Pada awal ayat, terdapat perintah untuk selalu taat kepada Allah dan Rasul-Nya, lalu disusul dengan perintah untuk tidak berbantah-bantahan satu sama lain, dan selalu mengutamakan sabar di segala situasi. Baru kemudian dinyatakan bahwa Allah swt. Bersama dengan orang yang sabar. Beberapa poin inilah yang dapat menjadi pedoman penting dan pengingat bagi umat Islam dalam rangka menjaga persatuan di kehidupan sehari-hari.

Pemahaman ini diperkuat oleh penjelasan dari beberapa mufasir sebagaimana Ibnu Katsir dalam tafsirnya yang mengutarakan, bahwa sahabat terdahulu memiliki keberanian yang diiringi dengan sikap taat dan patuh kepada perintah Allah swt. Para sahabat juga selalu menghindari pertengkaran di dalam kelompok yang dapat memicu terjadinya perpecahan sehingga memudarnya kekuatan pada kubu sendiri. Tabah dalam menghadapi musuh juga menjadi kunci kemenangan akhir yang diperoleh sahabat pada saat berperang (Qur’anul ‘Azim, 4/63).

Penafsiran al-Qurtubi juga demikian, berfokus pada beberapa poin yakni tentang perintah taat pada Allah swt. dan Rasul dalam memutuskan segala sesuatu dan menyelesaikan perselisihan dari sebuah masalah, sebab perselisihan hanya menimbulkan kerusakan. Adanya pengumpamaan sikap sabar dengan angin, yang kemanapun kesabaran itu pergi hendaknya kalian dapat memanfaatkan kesabaran itu dengan baik agar persatuan tetap terjaga. Penafsiran ini memberi gambaran pada nabi yang tidak pernah berselisih saat berperang merupakan kunci dari kemenangan yang diperoleh pada masa itu (al-Jami li al-Ahkam al-Qur’an, 10/40-41).

Hamka dalam penafsirannya mengutarakan bahwa taatlah kalian kepada Allah swt dan Rasul, artinya patuh dan tunduk kepada pemimpin agar kekuatan tetap terjaga. Lalu janganlah berbantah-bantahan, sebab kemenangan tidak akan dapat dijangkau apabila komando tidak satu. Kunci yang tidak kalah penting adalah sabar, sebab sabar merupakan daya tahan yang dapat digunakan seseorang dalam menghadapi kegagalan serta kemenangan yang datang beriringan di kemudian hari (al-Azhar, 4/2777).

Larangan untuk berselisih tidak hanya berlaku pada saat perang, akan tetapi untuk berbagai hal yang menyangkut keberhasilan bersama. Nawawi al-Bantani mengutarakan bahwa dengan bersabar akan menghindari kesulitan dalam masa berperang. Saat berperang terdapat beberapa hal yang harus dihindari yakni berselisih, patah semangat, dan takut akan kegagalan. Sebab kekuatan yang ada perlahan akan hilang, karena anggotanya yang tidak dapat mengendalikan kesabaran mereka (Marah Labid, 1/428).

Baca Juga: Memupuk Persaudaraan Antarumat Beragama

Perintah dalam Surah al-Anfal ayat 46

Ada tiga perintah dalam ayat ini. Taatilah Allah dan RasulNya, jangan berselisih atau bertikai, dan perintah bersabar. Ketiganya seakan merupakan urutan tahapan pedoman bagi umat Islam untuk menjaga persatuan. Pedoman pertama yaitu aturan yang telah ditetapkan oleh Allah dan yang telah dicontohkan oleh Rasulullah. Setelah itu, jika kemudian dimungkinkan terjadi perselisihan, maka ingatlah pesan yang kedua, yaitu jangan berselisih, dan harus tetap bersabar.

Situasi perang yang menjadi konteks pertama surah ini cukup memberi gambaran bahwa di kondisi yang sangat genting dan penting, pesan utamanya adalah tetap harus menjaga persatuan dengan berpegang teguh kepada Allah, Rasul, dan bersabar. Di tengah hal-hal itu, ada pengingat untuk tidak berselisih atau bertikai karena akan melemahkan kekuatan dan akhirnya akan menyebabkan kekalahan dari musuh.

Kondisi tersebut cukup mendeskripsikan bagaiamana pesan penting dan cara menjaga persatuan dalam suatu kelompok. Dalam konteks sebagai warga negara, ayat ini menjadi pengingat bagi umat Islam untuk selalu berusaha menjadi warga negara yang baik dengan selalu menjaga kekuatan bersama, yaitu menjaga persatuan dan meminimalisir terjadinya perselisihan.

Namun demikian, poin penting dalam surah al-Anfal ayat 46 yang dapat dijadikan pedoman umat Islam ini tidak hanya berlaku saat berperang. Pedoman ini juga berlaku di kondisi di luar perang. Persatuan dalam ayat ini digambarkan sebagai sebuah kekuatan yang dapat dijaga oleh antar anggota yang terlibat dalam suatu kelompok tersebut. Apabila persatuan terjaga dengan baik, mereka tidak akan mudah goyah sehingga dapat meminimalisir perpecahan yang tidak diinginkan.

Terlepas dari hal itu, sikap berbantah-bantahan merupakan hal yang harus dihindari dalam memutuskan segala sesuatu, sebab hal inilah yang menjadi pemicu awal memudarnya suatu kekuatan. Selanjutnya upaya yang dapat dilakukan yakni diperlukannya sikap sabar dalam menerima hal-hal yang mungkin muncul di luar rencana. Melalui sabar inilah surah al-Anfal ayat 46 memberi intruksi pada umat Islam untuk tabah demi kemenangan bagi kepentingan bersama. Wallah a’lam.

*Artikel ini hasil kerja sama antara tafsiralquran.id dengan Prodi Ilmu Al-Quran dan Tafsir UIN Sunan Ampel, Surabaya

An-Nisa Ayat 58: Menelusuri Pesan Al-Quran Untuk Para Pemimpin

0
Ilustrasi pemimpin.

Al-Quran sebagai sumber pedoman bagi umat Islam, tidak hanya memberikan arahan dalam hal keagamaan, tetapi juga memberikan arahan yang jelas untuk pemimpin dan pemerintah. Salah satu ayat yang memberikan pesan kepada para pemimpin yakni surah An-Nisa ayat 58. Ayat ini secara tersirat memberikan arahan yang mendalam mengenai bagaimana dan apa yang harus dilakukan seorang pemimpin.

Salah satu komponen paling penting dalam setiap masyarakat, kelompok, golongan maupun negara adalah kepemimpinan, yakni yang memainkan peran penting dalam menentukan jalan dan keberhasilan negara tersebut. Sepanjang sejarah peradaban manusia, kepemimpinan telah menjadi topik yang mendalam dan relevan dalam kehidupan.

Kepemimpinan yang baik dapat membawa sebuah negara menuju kemajuan dan kesejahteraan, sementara kepemimpinan yang buruk dapat berdampak negatif serta kerugian. Maka dalam hal ini al-Qur’an sebagai pedoman umat islam, memberikan sebuah arahan terhadap seorang pemimpin yang telah diberi amanat. Konsep kepemimpinan juga memainkan peran penting dalam membentuk nilai-nilai, tradisi, dan prinsip-prinsip yang harus diterapkan oleh pemimpin dan masyarakat Islam secara keseluruhan.

Al-Qur’an mengandung banyak ayat yang berkaitan dengan kepemimpinan, salah satunya yakni surah an-Nisa ayat 58 yang memberikan sebuah pesan terhadap seorang pemimpin yang telah diberi amanat.

إِنَّ ٱللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَن تُؤدُّواْ ٱلأَمَانَاتِ إِلَىۤ أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ ٱلنَّاسِ أَن تَحْكُمُواْ بِٱلْعَدْلِ إِنَّ ٱللَّهَ نِعِمَّا يَعِظُكُمْ بِهِ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ سَمِيعاً بَصِيراً

“Sungguh, Allah menyuruhmu menyampaikan amanah kepada yang berhak menerimanya, dan apabila kamu menetapkan hukum di antara manusia hendaknya kamu menetapkannya dengan adil. Sungguh, Allah sebaik-baik yang memberi pengajaran kepadamu. Sungguh, Allah Maha Mendengar, Maha Melihat.”

Dalam kitab Tafsir al-Mishbah lafadz “amānāt” merupakan bentuk jamak dari kata “amanah”. Hal ini dikarenakan sebuah amanah bukan sekadar sesuatu yang bersifat material, tetapi juga non-material dan bermacam -macam. Semuanya diperintahkan Allah agar ditunaikan. Terdapat amanah antara manusia dengan Allah, manusia dengan manusia lainnya, manusia dengan lingkungannya, dan antara manusia dengan dirinya sendiri.

Sedangkan menurut Sayyid Quthb amanat yang dimaksud oleh ayat di atas yakni amanah dalam bermuamalah dan memenuhi janji kepada sesama manusia, seperti amanah mengembalikan barang-barang atau harta benda kepada yang berhak menerima, amanah bersikap jujur terhadap rakyat dan pemimpin dan amanah untuk memelihara anak-anak dan menjaga kehormatan harta benda dan wilayahnya. (Sayyid Quthb, Fī Zhilāli AL-Qur’ān, Jilid 2, 397)

Di kehidupan dunia ini seringkali terjadi ketidakpercayaan dan ketidakpuasan publik jika pemerintah tidak memenuhi amanah yang diberikan oleh rakyat melalui pemilihan umum, termasuk menerapkan kebijakan yang sesuai dengan janji kampanye dan aspirasi masyarakat. Jika pemerintah tidak melakukannya, ketidakpercayaan dan ketidakpuasan publik akan muncul. Kewajiban para pemimpin tak hanya bertanggung jawab atas amanah yang dititipkan kepadanya, tak kalah penting yang harus diperhatikan adalah masalah keadilan. Hal ini juga sudah diperingatkan al-Qur’an kepada para pemimpin agar harus bersikap adil.

Dalam surah an-Nisa ayat 58 pada “wa idzā ḥakamtum baina al-Nās” Wahbah Az-Zuhaili dalam kitab Tafsir al-Munīr menunjukkan bahwa lafadz tersebut mengandung isyarat keharusan mengangkat seorang pemimpin yang adil dalam menetapkan hukum. Kemudian adapun faedah dari keadilan dan melaksanakan amanah dalam ayat “inna allaha ni‘immā ya ‘iẓukum bih”.

Maksud lafadz inna allaha ni‘immā ya ‘iẓukum bih adalah menjaga amanah dan berlaku adil merupakan sesuatu yang paling nikmat (berharga) yang Allah nasihatkan kepada hamba-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar dan Maha Mengetahui apakah kalian melaksanakan amanah atau mengkhianati amanah, dan Dia juga mendengar ketetapan hukum yang telah hamba-Nya putuskan. Lalu nantinya amal perbuatan tersebut akan dibalas.

Dalam kitabnya Az-Zuhaili juga menyatakan bahwa keadilan merupakan dasar utama pemerintahan, keadilan juga ditetapkan sebagai salah satu dasar pemerintahan dalam Islam. Dengan keadilan, orang-orang lemah dapat memperoleh haknya dengan adil dan akal manusia akan terarah dengan baik. Apabila keadilan ditegakkan, orang-orang kuat tidak akan menganiaya orang-orang lemah, sehingga keamanan dan ketertiban system bisa terjaga. (Wahbah Az-Zuhaili, Tafsir al-Munīr, jilid 3, 139)

Maka dari itu keadilan sangatlah penting dalam sistem pemerintahan, karena adanya konflik sosial serta peningkatan ketimpangan dapat disebabkan oleh kebijakan yang tidak adil. Pemerintah harus memastikan kebijakannya adil dan merata untuk semua warga negara, tanpa memihak kelompok tertentu.

Kemudian masalah yang sering dihadapi oleh negara-negara berkembang adalah korupsi, meskipun telah dilakukan upaya untuk memberantasnya, korupsi masih ada di berbagai level pemerintahan dan sektor publik lainnya selama bertahun-tahun. Korupsi akan menyebabkan ketidakadilan sosial, penghambat kemajuan, dan pemborosan sumber daya. Oleh karena itu perlunya pemimpin yang amanah, tegas, adil dan jujur.

Az Zuhaili juga menegaskan bahwa ayat hukum paling penting yang mencakup semua masalah agama dan aturan syara’ adalah ayat tentang amanah dan keadilan. Ayat-ayat ini ditujukan kepada semua orang, termasuk para pemimpin, untuk melaksanakan amanah mereka dalam membagi kekayaan negara, menghukum mereka yang melakukan pelanggaran, dan menetapkan hukuman yang adil.

Ayat tersebut telah memberikan penjelasan tentang dua prinsip utama pemerintahan Islami yang harus diterapkan oleh para pemimpin dan seluruh rakyatnya yakni bertanggung jawab atas amanah yang diberikan kepadanya serta bersikap adil agar semua hak dapat terlindungi dan dapat tersalurkan.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa seorang pemimpin harus menjadi teladan moral bagi para pengikutnya. Pengambilan keputusan dan pengarahan bukan satu-satunya aspek kepemimpinan dalam Islam, para pemimpin hendaknya juga harus berperilaku atas dasar keadilan, integritas, dan kejujuran. Sebagaimana konsep ajaran yang sudah tertera dalam al-Qur’an serta konsep kepemimpinan Nabi Muhammad SAW yang sempurna dalam memimpin agama Islam.

Tuntunan Islam dalam Menyejahterakan Buruh

0
Tuntunan Islam dalam menyejahterakan buruh
Tuntunan Islam dalam menyejahterakan buruh

Dalam struktur sosial dan ekonomi, menyejahterakan buruh merupakan salah satu upaya penting yang memiliki peran signifikan dalam mewujudkan kesejahteraan masyarkat. Akan tetapi, profesi buruh acap kali dianggap sebelah mata dan mendapat perlakuan diskriminatif. Salah satu permasalahan yang kerap mucul adalah tindakan sewenang-wenang pengusaha terhadap pekerjanya, termasuk pemberian upah yang tidak layak dan pemutusan hubungan kerja (PHK)  secara sepihak.

Terdapat perdebatan mengenai penggunaan kata buruh terkait apakah istilah tersebut dapat dipertukarkan dengan pekerja atau karyawan. Pada dasarnya, buruh mengacu pada individu yang melakukan pekerjaan manual atau fisik untuk memperoleh penghasilan. Adapun perbedaan antara buruh, pekerja, dan karyawan dapat bervariasi tergantung pada aspek hukum dan sosial di berbagai negara atau organisasi.

Baca juga: Zaman Kapitalisme, Banyak Tipuan Dunia! Tafsir Kiai Sahal Mahfudh [Bagian 3]

Beberapa orang mungkin menganggap istilah buruh mencakup semua kategori pekerja, sementara yang lain lebih suka menggunakan istilah karyawan untuk menyoroti perbedaan dalam kontrak kerja atau status pekerjaan yang lebih spesifik. Dalam KBBI, buruh dan karyawan semakna dengan pekerja. Hanya saja, buruh cenderung pada pekerja kontrak, sementara karyawan cenderung pada pekerja tetap di kantor, perusahaan, dan lembaga lain. Berangkat dari distingsi ini, profesi buruh kerap dipandang remeh.

Islam sebagai agama yang mengecam penindasan masyarakat lemah, menyediakan pedoman  jelas terkait hubungan antara majikan dan buruh serta memberikan tuntunan mengenai hak dan kewajiban. Berikut ini pembahasan tentang tuntunan Islam yang mendukung upaya menyejahterahkan buruh.

Tanggung Jawab Majikan terhadap Buruh

Allah berfirman dalam Q.S. Azzukhruf ayat 32:

 أهُمْ يَقْسِمُوْنَ رَحْمَتَ رَبِّكَۗ نَحْنُ قَسَمْنَا بَيْنَهُمْ مَّعِيْشَتَهُمْ فِى الْحَيٰوةِ الدُّنْيَاۙ وَرَفَعْنَا بَعْضَهُمْ فَوْقَ بَعْضٍ دَرَجٰتٍ لِّيَتَّخِذَ بَعْضُهُمْ بَعْضًا سُخْرِيًّا ۗوَرَحْمَتُ رَبِّكَ خَيْرٌ مِّمَّا يَجْمَعُوْنَ

“Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Tuhanmu? Kamilah yang menentukan penghidupan mereka dalam kehidupan dunia dan Kami telah meninggikan sebagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat memanfaatkan sebagian yang lain. Rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan.”

Di dalam tafsir Al-Azhar, ayat tersebut menegaskan bahwa tanggung jawab seorang majikan terhadap buruhnya adalah hak dan kewenangan yang ditetapkan oleh Allah. Allah menunjukkan bahwa Dia-lah yang berhak mengatur kehidupan hamba di dunia ini, termasuk dalam hal kesejahteraan, kekayaan, kebijaksanaan, dan kemajuan. Menyamakan kondisi semua hamba dapat menyebabkan persaingan dan ketidakseimbangan, sedangkan Allah, sebagai Pencipta, mengetahui dengan lebih baik bagaimana menyusun kehidupan agar terjaga keseimbangan dan saling bantu-membantu di antara umat-Nya.

Ayat ini meninggalkan kesan yang mendalam pada jiwa orang yang beriman. Bahwa sejatinya, hidup di dunia ini bukanlah kemewahan. Kalau sekiranya tujuan hidup telah beralih pada kemewahan, dunia fanalah yang akan mempesona manusia, dan syaitanlah yang kelak jadi ternan mereka (Tafsir al-Azhar, jilid 9, 6549-6550)

Dalam konteks hubungan majikan dan buruh memiliki peran masing-masing. Majikan mempunyai tanggung jawab atas kepemimpinan dalam mengambil keputusan dan mengelola perusahaan serta bertanggung jawab untuk memanfaatkan potensi dan keterampilan pekerja dengan adil dan bijaksana.

Disisi lain, parah buruh atau para pekerja diingatkan untuk memanfaatkan peluang dan bakat yang telah diberikan Allah dengan sebaik-baiknya. Mereka harus bekerja dengan tekun, jujur dan bertanggung jawab dalam menjalankan tugas-tugas mereka. Semua itu sejalan dengan prinsip-prinsip Islam tentang keadilan, intergritas, dan penghargaan terhadap usaha yang baik.

Nabi pun Pernah Menjadi Pekerja

Saat usia muda, Rasulullah pernah mengalami masa menjadi seorang buruh. Pada zaman itu, keadaan sosial, ekonomi, dan politik di  Mekah kacau balau. Krisis ekonomi membuat perbudakan menjadi hal lazim di zaman tersebut.

Keadaan demikian membuat Rasulullah terbiasa untuk bekerja. Rasulullah saat masih di asuh oleh Halimah, turut membantunya untuk mengembala kambing. Saat menginjak usia dewasa, Nabi Muhammad bekerja dengaan pamannya, Abu Thalib dalam bidang perdagangan. Setelah itu, beliau bekerja kepada Khadijah, seorang perempuan mandiri dan pedagang sukses. Rasulullah dikenal sebagai pekerja yang giat, amanah, dan jujur sehingga memperoleh kepercayaan penuh dari Khadijah dan Abu Thalib (Heriyansyah., Perjalanan Bisnis Nabi Muhammad saw., Jurnal Ekonomi dan Bisnis Islam, 193-196)

Tuntunan Nabi Saw. untuk Menyejahterakan Buruh

Rasulullah sangat membenci penidasan terhadap pekerja dan menuntut upah para pekerja dibayar sesuai dengan hak mereka. Nabi juga secara langsung menjamin hak-hak buruh. Hal ini diungkapkan Nabi dalam suatu hadis riwayat Abu Hurairah:

وَمَنْ ظَلَمَ أَجِيرًا أُجْرَةً حَبِطَ عَمَلُهُ ، وَحُرِّمَ عَلَيْهِ رِيحُ الْجَنَّةِ

Artinya: “Siapa yang berlaku zalim terhadap upah seorang pekerja/buruh, maka haram baginya bau surga (haram baginya surga).”
Nabi memerintahkan agar upah buruh diberikan secara langsung tanpa ditunda-tunda terlalu lama. Sebagaimana pernyataan Nabi dalam sebuah hadis yang disampaikan oleh Abu Hurairah:

أَعْطُوا الأَجِيرَ أَجْرَهُ قَبْلَ أَنْ يَجِفَّ رَشْحُهُ

Artinya: “Berikanlah upah kepada buruh sebelum keringatnya kering.”

Dalam hadis lain, Nabi saw. juga menuntun umatnya untuk memberikan apresiasi yang layak terhadap pekerja. Hadis tersebut sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dengan terjemah sebagaimana berikut:

Telah menceritakan kepada kami Abu Bakr bin Abu Syaibah telah menceritakan kepada kami Waki’ telah menceritakan kepada kami al-A’msy dari al-Ma’rur bin Suwaid dari Abu Zar dia berkata :

“Rasulullah saw bersabda: “saudara-saudara kalian Allah jadikan berada di bawah tangan kalian, maka berilah mereka makan seperti apa yang telah kalian makan, berilah mereka pakaian seperti apa yang telah kalian pakai, dan janganlah kalian membebani mereka dengan sesuatu yang dapat memberatkan mereka. Jika kalian membebankan sesuatu kepada mereka, maka bantulah mereka.”

Ukuran kelayakan upah untuk mengapresiasi buruh adalah dengan mengikuti standar layak bagi majikan. Ini sebagaimana perintah Nabi yang dikutip dalam Shahih Bukhari untuk mengapresiasi kinerja seorang pekerja dengan sesuatu yang pantas bagi majikan.

“budak adalah saudara-saudara kamu, maka berilah mereka makan dari apa yang kamu makan.” (Fathul Bari, jilid 5, halaman 174)

Hadis ini mengisahkan pertemuan antara Abu Dzar dan Al Ma’rur bin Suwaid di Rabdzah. Abu Dzar dan budaknya mengenakan pakaian yang sama.

Al Ma’rur bertanya: “Mengapa demikian?”

Lalu, Abu Dzar menjelaskan bahwa Rasulullah pernah menegurnya karena membeda-bedakan antara dirinya dan budaknya. Rasulullah mengingatkan bahwa semua orang adalah saudara dan harus diperlakukan secara setara.

Hadis ini menekankan nilai persaudaraan, persamaan perlakuan, dan kemanusiaan. Meskipun isu perbudakan sudah tidak relevan, pesan ini tetap relevan dalam mengatasi eksploitasi manusia dan mendorong kesetaraan sosial.

Dalam Hal ini, Islam  menegaskan bahwa tanggung jawab majikan terhadap buruh merupakan hak dan kewenangan yang ditetapkan oleh Allah. Hal ini menyoroti perlunya perlakuan adil dan bijaksana terhadap buruh, sambil memotivasi para pekerja untuk memanfaatkan bakat dan peluang yang diberikan Allah dengan baik.

Baca juga: Nasihat Memberikah Upah Pekerja dalam Al-Quran

Selain itu, teladan Rasulullah sebagai pekerja yang rajin, amanah, dan jujur menunjukkan betapa pentingnya nilai-nilai ini dalam mendorong kesejahteraan buruh. Di samping memberikan upah layak, akselerasi pengasahan bakat dan kemampuan buruh juga penting, untuk meningkatkan profesionalitas SDM. Dengan demikian, hasil pekerjaan akan sepadan dengan kenaikan upah buruh yang dinantikan.

Nabi Muhammad sangat memperhatikan hak-hak buruh, menuntut agar mereka dibayar sesuai dengan hak mereka dan agar upah diberikan secara tepat waktu.

Tuntunan Nabi Muhammad juga menekankan pentingnya melindungi hak-hak buruh. Beliau membenci penindasan terhadap pekerja dan memerintahkan agar upah buruh diberikan secara langsung tanpa penundaan. Pesan ini mencerminkan nilai-nilai persaudaraan, persamaan perlakuan, dan kemanusiaan yang tetap relevan dalam konteks upaya mengatasi eksploitasi manusia dan mempromosikan kesetaraan sosial.

Sebagai simpulan, Islam memberikan landasan yang kuat bagi upaya meningkatkan kesejahteraan buruh, baik melalui aspek hukum maupun nilai-nilai kemanusiaan. Dengan memahami dan mengimplementasikan tuntunan ini, diharapkan dapat menciptakan lingkungan kerja yang lebih adil, berkeadilan, dan sejahtera bagi semua pihak.

Tafsir ‘Bayt al-‘Ankabut’: Kritik Bint asy-Syāṭi’ atas Tafsir Sains

0
tafsir bayt al-'ankabut
tafsir bayt al-'ankabut

Tafsir sains merupakan salah satu model tafsir yang berkembang di era ini, mengingat pada saat ini tren pengetahuan mengarah kepada ilmu-ilmu STEM (science, technology, engineering, mathematic), maka tidak heran jika sebagian pakar tafsir Alquran seperti Ṭanṭāwī Jauharī, Zaghlul an-Najjar atau di Indonesia ada Agus Purwanto yang mencurahkan pemikirannya untuk mengurai nilai-nilai sains dalam Alquran.

Apalagi memang dalam berbagai literatur ulumul qur’an, seperti Al-Itqān fi Ulūm al-Qur’ān yang ditulis oleh as-Suyūṭī menyebutkan bahwa Alquran merupakan sumber dari segala pengetahuan (manba’ kull ‘ulum) atau Mabāḥits fi Ulūm al-Qur’ān yang ditulis oleh al-Qaṭṭān yang mengasumsikan bahwa segala bentuk kemajuan zaman hanya akan memperkuat kemukjizatan Alquran.

Dengan segala problematika dan dinamika pro-kontra yang meliputi tafsir sains, setiap perspektif memiliki argumentasinya masing-masing namun semuanya sepakat jika menafsirkan Alquran tanpa ilmu itu tidak diperkenankan.

Baca Juga: Zaghlul al-Najjar, Geolog Asal Mesir Pakar Tafsir Sains Al-Quran

Kritik Bint asy-Syāṭi’ atas tafsir sains

Adalah Bint asy-Syāṭi’, seorang mufasir perempuan yang menuliskan keresahannya atas tafsir sains yang semakin ramai dewasa ini. Dalam bukunya yang berjudul al-Qur’an wa Qadhāyā al-Insān, beliau menulis satu segmen khusus dengan tajuk bayt al-‘ankabut (hlm. 353-361) yang berisi kritiknya terhdap tafsir sains yang dilakukan dengan serampangan.

Bunyi lengkap ayat tersebut, yaitu surah al-‘Ankabut ayat 41,

مَثَلُ الَّذِينَ اتَّخَذُوا مِنْ دُونِ اللَّهِ أَوْلِيَاءَ كَمَثَلِ الْعَنْكَبُوتِ اتَّخَذَتْ بَيْتًا ۖ وَإِنَّ أَوْهَنَ الْبُيُوتِ لَبَيْتُ الْعَنْكَبُوتِ ۖ لَوْ كَانُوا يَعْلَمُونَ

Perumpamaan orang-orang yang mengambil pelindung-pelindung selain Allah adalah seperti laba-laba yang membuat rumah. Dan sesungguhnya rumah yang paling lemah adalah rumah laba-laba kalau mereka mengetahui.

Hanya laba-laba betina yang membuat sarang

Tafsir bayt al-‘ankabut pertama yang dikritisi Bint asy-Syāṭi’ adalah pernyataan sebagian mufasir sains bahwa hanya laba-laba betina yang membuat sarang. Tafsir ini didasarkan pada lafal ‘ankabut yang dalam bahasa Arab merupakan bentuk mu’annats (bentuk yang merujuk pada makna perempuan) yang ditandai dengan fi’il (kata kerja) sesudahnya yang menggunakan ta’ ta’nits yaitu ittakhadzat.

Berdasarkan argumentasi ini sebagian mufasir sains abad ini mengklaim bahwa ini adalah satu bentuk kemukjizatan Alquran, yakni bagaimana Alquran turun pada masa tidak ada teknologi canggih kepada Nabi yang ummi, namun memuat informasi yang sangat jeli mengenai laba-laba. Sayangnya klaim ini tidak tepat, karena ternyata laba-laba jantan juga bisa membuat sarang.

Menurut Bint asy-Syāṭi’ argumentasi yang digunakan juga tidak tepat, karena kata ‘ankabut telah dianggap mu’annats dalam bahasa Arab sejak zaman jahiliyah sebagaimana kata an-naml, an-nahl dan ad-dūd yang juga dianggap mu’annats secara kebahasaan, sehingga argumentasi di atas yang menyatakan hanya laba-laba betina yang membuat sarang itu keliru, karena penggunaan kata ganti perempuan untuk kata ‘ankabut hanyalah ta’nits lughawi (sebagai fitur kebahasaan) bukan ta’nits biologis.

Baca Juga: Dua Poin Utama Kritik Abbas Al-Aqqad terhadap Tafsir Ilmi 

Sarang laba-laba lebih kuat dari sutra

Tafsir bayt al-‘ankabut kedua yang dikritisi oleh Bint asy-Syāṭi’ adalah klaim sebagian mufasir yang menyatakan bahwa anyaman atau jaring laba-laba itu tiga kali lebih kuat dari jaring semisalnya yang keluar dari tulang sulbi. Selain itu ia juga lebih kuat dan lebih lentur daripada jaring sutra.

Klaim ini menurut Bint asy-Syāṭi’ justru lebih jauh lagi, karena ayat tersebut dengan sangat jelas menyebutkan rumah laba-laba dengan sifat awhan yang merupakan bentuk superlatif yang menunjukkan pada makna rumah atau sarang laba-laba adalah rumah yang paling lemah. Penafsiran seperti di atas justru tidak relevan dan kontradiktif dengan perumpamaan yang dibawakan ayat tersebut.

Tafsir sains bukan ajang apologi dan cocoklogi

Sebagai penutup, gerakan tafsir sains memang didasari oleh niat yang baik untuk membuka mata umat Islam akan keagungan Alquran dan untuk lebih giat mempelajari sains. Sayangnya, ada beberapa kajian tafsir sains masih banyak yang bersifat apologetik dan hanya cocoklogi saja, artinya niat yang baik tersebut belum ditopang oleh ilmu dan metodologi yang mumpuni untuk menghasilkan sebuah kajian ilmiah.

Seperti poin-poin yang telah dikritisi Bint asy-Syāṭi’ di atas, tafsir sains yang awalnya muncul untuk menunjukkan kemukjizatan Alquran justru menjadi bumerang yang membuat “malu” Alquran dan bahkan mengguncang iman sebagian pemeluknya, karena mereka menganggap Alquran telah salah serta tidak sesuai dengan sains.

Hal ini sangat mungkin yang menjadi pertimbangan beberapa mufasir yang tidak begitu setuju dengan tafsir Alquran yang didekati dengan sains. Wallah a’lam

Hikmah dari Pengusiran Yahudi Bani Nadhir

0
Hikmah dari Pengusiran Yahudi Bani Nadhir

Dalam surah al-Hasyr diterangkan kisah pengusiran Yahudi Bani Nadhir. Mereka dahulunya membuat perjanjian damai dengan Rasulullah. Namun kemudian, mereka berkhianat dan menjalin persekongkolan dengan kafir Quraisy untuk menghancurkan Islam dan membunuh Nabi saw.

Nabi yang mengetahui keadaan tersebut lalu melakukan blokade kepada Bani Nadhir. Pengusiran tersebut nyatanya memiliki hikmah untuk kaum muslimin dan juga untuk Yahudi Bani Nadhir sendiri.

Baca Juga: Orang-Orang Yahudi dan Tindakan Politisasi Kitab Suci

Keraguan Bani Nadhir terhadap Rasulullah Saw.

Ketika Rasulullah sampai di Madinah, beliau mengadakan perjanjian yang dikenal Piagam Madinah, berisi kesepakatan antara penduduk Madinah, baik muslimin, kaum musyrikin, maupun Yahudi untuk membela negeri tersebut.

Hal ini disepakati oleh semuanya termasuk orang-orang Yahudi dimana ada tiga suku besar yaitu Bani Qainuqa’, Quraidzah, dan Bani Nadhir. Mereka tetap diizinkan menjalankan ibadah, meskipun Nabi Saw. mendakwahkan agar mereka masuk Islam namun beliau tidak pernah melarang ibadah sesuai dengan ajaran agama mereka.

Rasulullah berinteraksi dengan mereka. Bahkan di sana terdapat Pasar Bani Qainuqa’ yang biasa terjadi transaksi jual-beli dengan kaum muslimin. Orang-orang Yahudi hidup berdampingan dengan kaum muslimin di kota Madinah, namun akhirnya mereka berkhianat. Bani Qainuqa’ yang pertama kali mengkhianati perjanjian damai sehingga mereka diusir dari kota Madinah oleh Rasulullah.

Pada tahun ke-2 Hijriyah terjadi perang Badar dan ketika itu kaum muslimin menang sehingga orang-orang Yahudi semakin yakin bahwa dialah Rasul yang dinanti-nantikan kehadirannya. Namun tetap saja mereka tidak mau beriman, karena ternyata Nabi Muhammad bukan dari kalangan Bani Israil, melainkan berasal dari bangsa Arab sementara Yahudi adalah kaum yang fanatik dengan suku mereka.

Tetapi ketika perang Uhud, Rasulullah dan kaum muslimin mengalami kekalahan, maka orang-orang Yahudi mulai ragu dan berani menggangu Nabi Saw. Mereka berpikir jika Nabi Saw. bisa kalah dari suku Quraisy, maka kemungkinan mereka bisa mengalahkannya bahkan nabi-nabi terdahulu juga berhasil mereka bunuh. Kaum Yahudi memiliki keyakinan bahwa mereka dibela Allah dan pasti masuk surga walaupun tanpa beriman dengan Rasullulah dan hasad mereka sungguh luar biasa kepada kaum muslimin.

Baca Juga: Mukjizat-Mukjizat Nabi Muhammad saw. Ketika Hijrah ke Madinah

Rencana Pembunuhan Nabi Saw.

Kaum Yahudi mulai berani mengganggu Rasulullah dengan terjadinya “Bi’ir Ma’unah”, yaitu terbunuhnya 70 sahabat yang diutus untuk mengajar Alquran, ternyata yang memanggil tersebut penghkhianat. Kala itu ada satu sahabat yang lolos dari pembunuhan tersebut yaitu ‘Amr bin Umayyah yang berhasil kabur dan kembali ke Madinah.

Saat diperjalanan ia bertemu dengan dua orang Bani ‘Amir, adh-Dhamariy menyangka bahwa kedua orang ini termasuk dari golongan yang telah membunuh 70 sahabat tadi, maka ia berusaha membunuhnya ketika tengah tertidur. Lalu ketika sampai di Madinah, ia pun melaporkan kejadian tersebut kepada Nabi bahwasanya dia telah membunuh dua orang kafir namun ia ditegur bahwa kedua orang tersebut telah memiliki perjanjian damai dengan Rasul tidak boleh untuk dibunuh.

Akhirnya Rasulullah memutuskan untuk membayar diyat dua kafir yang terbunuh. Kabar tersebut juga sampai kepada Bani Nadhir. Ketika Nabi ingin membayarkan diyatnya sedang beliau tidak memiliki harta, maka Nabi menginginkan agar Bani Nadhir yang memiliki banyak harta membantu membayarkan diyat tadi.

Saat Rasulullah mengutarakan maksud kedatangannya kepada Bani Nadhir, awalnya mereka menyanggupinya. Nabi duduk di rumah mereka bersama beberapa sahabat. Sementara di tempat lain orang-orang Bani Nadhir berkumpul dan berencana membunuh Rasul, yaitu Amru ibnu Jihasy bersiap di lantai atas membawa alat penggiling gandum yang terbuat dari batu untuk dilemparkannya ke arah Nabi.

Namun rencana busuk pembunuhan tersebut digagalkan oleh malaikat Jibril sehingga Nabi-pun tidak jadi meminta bantuan mereka, bahkan beliau bersiap untuk menyerang mereka karena mereka telah membatalkan perjanjian dengan rencana pembunuhan tersebut.

Tidak beberapa lama, Rasulullah mengutus Muhammad bin Maslamah untuk menyampaikan keputusannya kepada Bani Nadhir agar mereka keluar dari Madinah. Mereka diberi tenggang waktu sepuluh hari. Barangsiapa ketahuan masih tinggal di Madinah setelah habis tempo, maka ia akan diperangi.

Baca Juga: “Plagiarisme” Alquran (Bag. 3): Misteri Komunitas Yahudi Madinah

Pengsusiran Bani Nadhir dari Madinah

Dalam keadaan takut mereka telah bersiap untuk keluar dari kota Madinah, tetapi datanglah orang-orang munafik yang diketuai oleh Abdullah bin Ubay bin Salul menemui mereka untuk memprovokasi agar tidak keluar dari Madinah dan berjanji bahwa pasukan berjumlah sekitar dua ribu orang akan membantu Bani Nadhir. Mereka juga menjanjikan bantuan dari Bani Quraidzah dan sekutunya Bani Ghathafan.

Karena merasa mendapat pertolongan, Bani Nadhir memutuskan untuk bertahan di Madinah dan bersikap untuk perang. Namun ternyata mereka malah semakin bertambah takut ketika mengetahui Nabi dan pasukannya akan menyerang, terlebih lagi setelah mendapat kepastian kaum munafik juga Bani Quraizhah berkhianat dan membiarkan Bani Nadhir menghadapi kaum Muslimin tanpa ada pertolongan yang mereka janjikan.

Rasulullah memerintahkan kaum muslimin menebang dan membakar kebun dan pohon-pohon kurma untuk mengecilkan nyali musuh. Mereka dikepung selama enam hari sampai akhirnya mereka menyerah dengan cara mengirimkan surat kepada Rasulullah dan urunglah terjadi peperangan karena memang Allah lemparkan rasa takut di dalam diri mereka di awal peperangan sehingga Nabi pun mengusir mereka. Karenanya surat yang menceritakan peristiwa ini disebut dengan al-Hasyr yang artinya pengusiran.

Ketika Bani Nadhir keluar dari kota Madinah, mereka diizinkan untuk membawa barang-barang apa saja, seperti emas atau perak dan benda-benda lainnya selain senjata. Setiap keluarga hanya diperbolehkan membawa pikulan satu ekor unta. Sehingga sebagian di antara mereka ada yang merobohkan rumah, kemudian kayu-kayu rumah itu dibawa dengan unta mereka, bahkan ada yang membawa atap rumah dengan unta tersebut sebagaimana Allah ceritakan dalam Alquran.

Akhir dari keterusiran mereka dari kota Madinah, sebagian mengungsi ke Syam, namun kebanyakan dari mereka termasuk para pemukanya memilih eksodus ke Khaibar. (Tafsir ath-Thabariy: 23/259, Tafsir Ibnu Katsir: 8/57-58, dan Tafsir Ibnu ‘Asyur: 28/66-68)

Pelajaran dari Yahudi Bani Nadhir

Pengusiran Bani Nadhir menunjukkan ke-Maha-Kuasaan Allah. Kaum muslimin awalnya menyangka tidak mungkin dapat mengalahkan Bani Nadhir yang memiliki benteng kokoh. Sampai Allah berfirman dalam surat QS. Al-Hasyr: 2 “Kalian menyangka mereka tidak akan keluar.” Namun itulah hikmah yang Allah berikan, Dia jadikan mudah sesuatu yang sulit bagi hamba-hamba-Nya yang bertakwa.

Hukuman pengusiran Yahudi Bani Nadhir yang terbilang ringan daripada hukuman (adzab) yang diterima Bani Quraizhah. Ibnu Asyur (28/68) menyampaikan bahwa bukan maksudnya Allah berlemah lembut atau membela Bani Nadhir. Tetapi hal ini untuk keadilan, dimana terdapat hikmah maslahah untuk umat muslimin yang dalam kondisi lemah pasca terjadinya musibah berat menimpa kaum Muslimin.

Allah menghendaki umat muslim untuk berdaya dengan memanfaatkan fa’i (harta rampasan tanpa peperangan), seperti tanah, perkebunanan, dan barang-barang Bani Nadhir. Meskipun juga dari sisi Yahudi, Allah memberikan kesempatan kepada mereka untuk bertaubat dan berbuat baik. Ini merupakan bentuk dari rahmanNya kepada Yahudi Bani Nadhir.

Wallahu a’lam.