Beranda blog Halaman 39

Surah Ali Imran [3]: 103: Menjaga Integrasi Negara

0
Indonesia Raya
Menjaga negara sama pentingnya dengan menjaga agama

Indonesia merupakan negara majemuk. Kondisi ini dapat dilihat dari banyaknya suku, agama, bahasa yang beraneka ragam. Kemajukan ini menyebabkan Indonesia rawan mengalami disintegrasi nasional. Kita bisa ambil contoh, konflik antara etnis di Sampit, serta konflik agama di Poso yang menyebabkan banyak korban jiwa. Cuplikan beberapa peristiwa tersebut tentu harus dihindari.

Mengingat kita pernah mengalami konflik sosial yang berujung pada sparatisme Timor Timur pada tahun 1998, sebuah sejarah kelam bagi Indonesia. Keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan harga mati yang harus diperjuangkan seluruh warga Indonesia. Keutuhan tersebut dapat mewujudkan Indonesia yang aman, damai dan tentram dalam menjalani kehidupan dan peribadatan sehari-hari.

Menjaga keutuhan negara (hifz al-Daulah) sejatinya telah diperintahkan Allah dalam Alquran, salah satunya dalam Al-Qur’an surah Ali Imran ayat 103.

وَاعْتَصِمُوْا بِحَبْلِ اللّٰهِ جَمِيْعًا وَّلَا تَفَرَّقُوْاۖ وَاذْكُرُوْا نِعْمَتَ اللّٰهِ عَلَيْكُمْ اِذْ كُنْتُمْ اَعْدَاۤءً فَاَلَّفَ بَيْنَ قُلُوْبِكُمْ فَاَصْبَحْتُمْ بِنِعْمَتِهٖٓ اِخْوَانًاۚ

Berpegangteguhlah kamu semuanya pada tali (agama) Allah, janganlah bercerai berai, dan ingatlah nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu bermusuhan, lalu Allah mempersatukan hatimu sehingga dengan karunia-Nya kamu menjadi bersaudara.

Baca Juga: Tafsir Q.S. Hud Ayat 117: Dosa Sosial, Pemicu Kemunduran Suatu Negara

Menurut al-Qurthubi, kata wa’tashimu bermakna mencegah atau menghalangi, artinya ayat ini berisi perintah untuk berpegang pada tali Allah (al-Qurthubi, hlm 398).  Menurut Ibn Katsir, ayat ini menyatakan perintah untuk bersatu dalam kelompok atau jemaah serta larangan untuk berpecah belah (Ibn Katsir, vol 7 hlm 104).

Quraish Shihab juga menafsirkan makna “berpegang teguhlah” dengan berupaya semaksimal mungkin untuk bersatu (mengaitkan diri satu sama lainnya) sesuai dengan ketentuan Tuhan dengan tetap menjaga kedisiplinan. Semisal ada yang lupa, maka yang lain dapat mengingatkan. Jika bersalah, maka yang lain dapat menolong serta mengaingatkan sesuai dengan ketentuan Allah. Oleh sebab itu, persatuan antar sesama sangat penting (Shihab, vol 7 hlm 205).

Hal ini juga ditegaskan oleh Ibn Mas’ud, firman Allah, “Janganlah bercerai-berai” dimaknai sebagai larangan untuk bercerai-berai atau memisahkan diri dengan mengikuti hawa nafsu serta tujuan yang berbeda. Kita diperintahkan untuk menanamkan sikap persaudaraan antara satu dengan lainnya. Apabila semua bisa bersatu, maka hal itulah yang menjadikan manusia jauh dari kata saling memisah atau saling membelakangi.

Nikmat Allah berupa persatuan menjadikan diri satu sama lain sebagai saudara sehingga perselisihan dapat terhindari. Perselisihan bukanlah tentang perbedaan pendapat, melainkan hal-hal yang tidak dapat disatukan dan dihimpun. Itulah sebabnya perlu adanya prinsip lapang dada pada perbedaan serta bersatu pada segala yang disepakati. Oleh karena itu, sebagai bentuk upaya kita untuk menjaga kedaulatan negara dalam ikatan persaudaraan ini, Ulil Abshar Abdalla dalam buku Islam Pribumi mengatakan pentingnya mengelola keragaman dalam negara.

Keragaman tetap diberikan tempat tetapi keragaman itu perlu dikelola sehingga akan mengarah pada “mutual enrichment”, yaitu saling mengayakan, memperkaya dengan kelompok lain, bukan malah bertengkar. Hal yang paling penting adalah bagaimana kita dapat mengelola perbedaan yang ada saat ini dengan baik.

Baca Juga: Refleksi Makna Kemerdekaan: Mensyukuri Keamanan dan Kenyamanan Bernegara

Salah satu caranya ialah berpegang tegus pada surah al-Baqarah ayat 148 yang memerintahkan kita untuk ber-fastabiqul khairot, yaitu berkompetisi, maksudnya berlomba-lomba untuk mewujudkan kebaikan serta kemajuan. sebagai contoh saling bekerja sama dalam hal kebaikan, menghargai kelompok lain, saling belajar untuk dapat lebih baik kedepannya.

Kita perlu menyadari bahwa keragaman dalam negara merupakan sebuah anugerah dari Tuhan. Tanpa adanya keanekaragaman ini, hidup akan terlihat pasif dan biasa-biasa saja. Adanya perilaku fastabiqul khoirot antara satu dengan lainnya akan membuahkan hubungan yang harmonis, aman, tenang, dan tentram sehingga akan jauh terjadinya disintegrasi nasional.

Halal Bihalal Cariustadz: Mengarusutamakan Persepektif Perempuan

0
Halal Bihalal Multaqa Cariustadz
Halal Bihalal Multaqa Cariustadz

Tafsiralquran.id – 29 April 2024, Acara “Halal Bihalal dan Multaqa 2024” telah sukses digelar dengan tema: “Mengarusutamakan Perspektif Perempuan dalam Dakwah Islam”. Acara yang diadakan di Masjid Bayt al-Quran ini mendiskusikan peran perempuan dalam Islam dan dampaknya dalam masyarakat Muslim.

Acara ini mempertemukan sejumlah tokoh terkemuka dalam berbagai bidang, mulai dari cendekiawan Islam hingga psikolog, untuk merenungkan dan mendiskusikan isu-isu yang berkaitan dengan perempuan dalam Islam. Diskusi yang dilakukan pada acara ini menghadirkan pandangan-pandangan yang beragam, membawa pemirsa pada pemahaman yang lebih dalam tentang kompleksitas dan relevansi topik ini.

Sesi Pertama: Al-Quran dan Cita Perempuan

Sesi pembuka acara ini menampilkan Prof. Dr. M. Quraish Shihab yang membawa para peserta pada perjalanan melalui ayat-ayat Al-Quran yang relevan dengan tema tersebut. Prof. Quraish Shihab menyoroti bahwa meskipun banyak ayat yang menggunakan kata ganti maskulin, pesan yang disampaikan juga relevan bagi perempuan. Dalam pandangan beliau, Islam adalah agama yang menegakkan kesetaraan gender, dan penting bagi umat Muslim untuk memahami hal ini.

Salah satu kutipan yang paling menggugah dari Prof. Quraish Shihab adalah, “Sekian banyak pekerjaan yang dilakukan oleh laki-laki berat dilakukan oleh perempuan. Tetapi sekian banyak pekerjaan yang dilakukan oleh perempuan yang mustahil dilakukan oleh laki-laki.” Ini mencerminkan pemahaman bahwa perempuan memiliki peran yang sangat penting dalam masyarakat dan Islam menegaskan perlunya menghormati serta memberikan hak yang setara terhadap mereka.

Najelaa Shihab, M.Psi, memberikan perspektif yang lebih personal dan psikologis, menekankan pentingnya keterlibatan perempuan dalam ruang publik dan kesetaraan dalam ranah domestik. Beliau menyoroti bahwa kesetaraan di luar rumah tidak akan tercapai tanpa kesetaraan di dalam rumah tangga. Pada akhirnya, kesetaraan gender memerlukan partisipasi aktif dari semua pihak, terutama dari ayah dalam pengasuhan dan tugas domestik.

Sesi Kedua: Perempuan dan Dakwah Islam

Sesi kedua membawa kita pada diskusi yang lebih mendalam tentang peran perempuan dalam konteks dakwah Islam. Dr. Ali Nurdin, M.A, membahas tantangan yang dihadapi oleh perempuan dalam mencapai kesuksesan dalam masyarakat dan pentingnya kolaborasi dalam menciptakan pemahaman yang lebih adil gender. Beliau menyoroti bahwa pemahaman yang lebih baik tentang kesetaraan gender akan memungkinkan masyarakat untuk menciptakan lingkungan yang mendukung partisipasi penuh perempuan dalam berbagai aspek kehidupan.

Alissa Wahid, M.Psi, membawa perspektif yang sangat praktis dengan membahas perlunya ruang publik yang inklusif bagi perempuan. Beliau menekankan bahwa kesetaraan gender tidak hanya masalah teori, tetapi juga masalah praktek sehari-hari. Menyediakan fasilitas seperti ruang menyusui di tempat kerja adalah salah satu contoh bagaimana masyarakat dapat mendukung partisipasi aktif perempuan dalam kehidupan sosial dan ekonomi.

Dr. Nur Rofiah, Bil.Uzm, menambah dimensi teologis dalam diskusi dengan menekankan pentingnya pengakuan terhadap perbedaan biologis antara laki-laki dan perempuan dalam pemahaman agama. Beliau menyoroti bahwa Islam mengakui perbedaan tersebut dan menuntut kita untuk menghormati dan memperlakukan setiap individu sesuai dengan kodratnya.

Diskusi yang terjadi dalam acara ini membawa kita pada pemahaman yang lebih dalam tentang peran perempuan dalam Islam dan bagaimana memandangnya secara komprehensif. Terdapat beberapa aspek yang dapat diangkat untuk dianalisis lebih mendalam, antara lain:

  • Kesetaraan dalam ajaran Islam dan implementasinya dalam kehidupan sehari-hari.
  • Peran keluarga dalam membentuk budaya kesetaraan gender.
  • Tantangan dalam mewujudkan kesetaraan gender dalam masyarakat Muslim.
  • Perlunya kolaborasi lintas sektor dalam memperjuangkan kesetaraan gender.

Kesimpulan

Acara “Halal Bihalal dan Multaqa 2024” telah memberikan wadah yang sangat berharga untuk mendiskusikan dan merenungkan peran serta pemahaman terhadap perempuan dalam Islam. Diskusi yang berlangsung pada acara ini menggarisbawahi pentingnya memahami bahwa ajaran Islam pada hakikatnya adalah ajaran yang menegakkan kesetaraan dan keadilan, termasuk kesetaraan gender. Namun, untuk mewujudkannya dalam praktek sehari-hari, diperlukan upaya bersama dari semua pihak dan kesadaran kolektif dari masyarakat. Diharapkan hasil diskusi dan gagasan yang dihasilkan dari acara ini dapat menjadi pijakan bagi langkah-langkah konkret dalam memperjuangkan kesetaraan gender dalam Islam dan masyarakat pada umumnya.

Peran Alquran dalam Melestarikan Bahasa Arab

0
Peran Alquran dalam Melestarikan Bahasa Arab
Bahasa Arab

Bahasa Arab telah berkembang ratusan tahun sebelum Nabi Muhammad saw. lahir. Meski telah berusia lama, bahasa ini masih digunakan hingga hari ini. Bahasa Arab juga termasuk bahasa dengan jumlah penutur terbanyak di dunia. Mereka tersebar di lebih dari 25 negara di kawasan Timur Tengah dan sebagian Afrika. Bahasa Arab juga menjadi salah satu bahasa resmi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

Keberadaan bahasa Arab bukan hanya pada lisan, tetapi juga pada tulisan. Bahkan, aksara Arab juga digunakan untuk menuliskan bahasa ‘ajam (bukan bahasa Arab). Aksara Jawi, misalnya, merupakan aksara Arab yang digunakan untuk menuliskan bahasa Melayu. Dalam sebuah artikel berjudul “Two Islamic Writing Traditions in Southeast Asia” dan dipublikasikan di Jurnal Al-Jami’ah, Burhanudin (2022) menegaskan bahwa kitab Jawi serta kitab kuning merupakan kitab terkemuka dan masih ada hingga saat ini.

Penggunaan bahasa Arab dalam bentuk lisan dan tulisan menunjukkan bahwa bahasa ini masih lestari. Dalam sebuah artikel berjudul “Acehnese Attitudes Towards Their Heritage Language: A Qualitative, Inter-Generational Study” dan diterbitkan oleh jurnal The Qualitative Report, Aziz dkk. (2021) menegaskan, jika masyarakat masih menggunakan sebuah bahasa, secara tidak sadar mereka akan mempertahankan bahasa tersebut untuk generasi berikutnya.

Peran Alquran

Kelestarian bahasa Arab tidak dapat dipisahkan dari Alquran, yakni kitab suci sekaligus rujukan utama ajaran Islam. Alquran juga terus dipelajari sejak ia diturunkan hingga akhir zaman. Ketika mempelajari Alquran, setiap orang perlu menguasai bahasa Arab, baik yang tersurat maupun yang tersirat. Bahkan, menguasainya merupakan salah satu syarat untuk memahami Alquran.

Abd Rauf Bin Dato’ Hassan Azhari (2004) menulis sebuah artikel berjudul “Sejarah dan Asal-usul Bahasa Arab: Satu Kajian Linguistik Sejarawi”. Dalam artikel yang dipublikasikan di Pertanika Journal of Social Sciences and Humanities itu, Abd Rauf menegaskan bahwa titik tolak kemajuan dan pesatnya perkembangan bahasa Arab dimulai sejak turunnya Alquran dalam bahasa Arab yang merupakan mukjizat terbesar di dunia.

Menurut Abd Rauf, sejak Alquran diturunkan, bahasa Arab telah menjadi bahasa komunikasi seluruh umat Islam di dunia. Seluruh ilmu pengetahuan Islam pada tahap awal ditulis dalam bahasa Arab. Penyebaran dakwah Islam ke seluruh dunia pada tahap awal juga menggunakan bahasa tersebut.

Bermula sejak diturunkan, kajian tentang Alquran terus berkembang dan telah melahirkan berbagai cabang ilmu pengetahuan. Beberapa cabang ilmu tersebut misalnya Qira’ah alQuran, yakni kajian yang membahas tentang cara membaca Alquran. Ada pula Tafhim alQuran, yakni kajian kebahasaan Alquran dalam ranah tafsir yang dikembangkan melalui kajian semantik.

Baca juga: Tafsir Surah Yusuf Ayat 1-2: Alasan Alquran Diturunkan dengan Bahasa Arab

Cabang ilmu Alquran lainnya adalah Ta’rif alQuran, yakni kajian Alquran yang membahas upaya konstruksi keilmuan untuk memperkenalkan perspektif baru dalam mengkaji Alquran. Ada pula Ta’limat alQuran, yaitu kajian Alquran dalam ranah sosial-kemasyarakatan dengan penekanan pada analisis ajaran Alquran.

Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa kajian tentang Alquran terus berkembang seiring kebutuhan manusia terhadap kebenaran dan ilmu pengetahuan. Banyaknya publikasi, disertasi, kolokium, dan proyek studi yang dikhususkan untuk Alquran menggambarkan perkembangan ini.

Hal tersebut misalnya terlihat dari penelitian yang dilakukan oleh Akhmed Khamis Kaleel dkk. (2024). Hasil penelitian mereka tertuang dalam sebuah artikel berjudul “Quranic Studies Evolution: A Bibliometric Analysis from 1880 to 2023” dan dipublikasikan di Mesopotamian Journal of Quran Studies.

Dalam penelitian tersebut, Akhmed Khamis Kaleel dkk. (2024) memeriksa kajian Alquran dalam rentang waktu yang sangat lama, yakni dari tahun 1880 hingga 2023. Mereka memeriksa 2.436 dokumen yang berasal dari 928 jurnal, buku, dan publikasi ilmiah lainnya. Mereka memperoleh data dari Scopus yang dapat diakses melalui file BibTeX di GitHub.

Baca juga: Kompleksitas Bahasa Arab sebagai Bahasa Alquran

Pemeriksaan tersebut mencakup tren penelitian termasuk jumlah kutipan per tahun, penulis, dan afiliasinya, negara penulis, tren produksi di berbagai negara dari waktu ke waktu, serta jaringan yang menggambarkan bagaimana konsep-konsep utama saling berhubungan. Setelah melakukan penelitian, mereka menemukan bahwa penelitian dalam bidang studi Alquran terus berkembang dengan tingkat pertumbuhan sekitar 3,65%. Mereka juga menemukan peningkatan kutipan per tahun yang menunjukkan peningkatan minat kajian ilmiah terhadap Alquran.

Penelitian tersebut juga menemukan adanya kolaborasi penulis dari berbagai disiplin ilmu serta penggunaan kata kunci yang beragam. Ketika memeriksa tren produksi di berbagai negara, terlihat jelas bahwa kontribusi dari Inggris, Amerika Serikat, Malaysia, Iran, dan Indonesia mengalami peningkatan.

Khusus untuk Indonesia, peningkatan kajian tentang Alquran juga terlihat dari penelitian yang dilakukan oleh Nur Rohman dan Hamdi Putra Ahmad (2022). Hasil penelitian tersebut tertuang dalam sebuah artikel berjudul “New Trajectories of Quranic Studies in Indonesia: A Critical Dissertation Review” dan dipublikasikan di Dinika Academic Journal of Islamic Studies.

Dalam penelitian tersebut, mereka memeriksa kajian Alquran di Indonesia dalam kurun waktu 2015 hingga 2021 melalui publikasi disertasi di lima Universitas Islam Negeri (UIN) terkemuka di Indonesia. Mereka memetakan tipologi kajian, isu yang diperbincangkan, dan metodologi yang dikembangkan.

Baca juga: Peran Bahasa Arab dan Cabang Keilmuannya dalam Penafsiran Alquran

Setelah melakukan penelitian, mereka menemukan, sepanjang 2015 hingga 2021, terdapat 78 disertasi dengan tipologi kajian tokoh sebanyak 37 disertasi (47,43%), kajian Alquran tematik sebanyak 23 disertasi (29,48%), kajian ‘ulum Alquran sebanyak 10 disertasi (12,82%) dan kajian Alquran dalam kehidupan sehari-hari sebanyak 8 disertasi (10,26%). Tipologi kajian ini menunjukkan adanya pengembangan metodologi dalam diskursus kajian Alquran, meskipun masih didominasi pada aspek pengembangan pemikiran dan studi Alquran tematik.

Berbagai kajian tentang Alquran tentu terikat dengan bahasa yang digunakan dalam Alquran, yakni bahasa Arab. Kajian tentang Alquran bahkan tidak dapat dilakukan jika penguasaan bahasa Arab tidak memadai. Kondisi ini membuat bahasa tersebut terus dipelajari, terus digunakan, dan akhirnya tetap bertahan dan lestari.

Dalam artikel berjudul “Playing with language: Three language games in the Gulf of Guinea” dan diterbitkan oleh Jurnal Language Documentation and Conservation, Agostinho dan Araujo (2021) menegaskan, perangkat pedagogi yang diselenggarakan oleh masyarakat dapat membantu proses pendokumentasian dan revitalisasi bahasa dengan materi lainnya.

Baca juga: Gus Awis: Tidak Cukup Menafsirkan Alquran Hanya Bermodalkan Bahasa Arab

Pendapat serupa juga disampaikan oleh Bonifacio dkk. (2021). Dalam artikel berjudul “Effects of Indigenous Language Conversation Skills Enhancement Program among Bukidnon and Talaandig Youths in the Philippines” dan diterbitkan oleh Jurnal Ampersand, Bonifacio dkk. (2021) menegaskan, generasi muda akan mampu melestarikan bahasa ibu mereka jika mereka mempelajari bahasa ibu mereka.

Berbagai temuan dan kenyataan ini menunjukkan bahwa Alquran berkontribusi signifikan dalam melestarikan bahasa Arab. Berbagai temuan dan kenyataan ini juga menunjukkan bahwa bahasa spesial ini masih asri, tetap lestari, dan akan terus mengisi permukaan bumi ini sampai nanti. Wallahu a’lam. 

QS. Al-Isra’ (17) Ayat 36: Taklid yang Diharamkan!

0
QS. Al-Isra’ (17) Ayat 36: Taklid yang Diharamkan!

Taklid dapat dipahami sebagai suatu bentuk perilaku seseorang yang mengikuti suatu perintah atau menerima pendapat dari orang lain tanpa memiliki pemahaman yang didasari dengan dalil atau landasan hukum yang benar. Perilaku ini dapat menimbulkan dampak negatif, mulai dari konflik keluarga hingga masyarakat luas.

Fenomena tersebut terjadi karena sikap taklid terhadap sesuatu tanpa ber-tabayyun terlebih dahulu terhadap kebenarannya. Sebagaimana yang disinggung dalam Q.S. Alisra’ [17]: 36;

وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولًا

Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak ketahui. Karena sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan ditanya tentangnya.

Baca Juga: Tafsir Surah al-Isra’ Ayat 36: Larangan Berkomentar Tanpa Ilmu

Larangan taklid terhadap sesuatu yang tidak diketahui kebenarannya

Dalam QS. Al-Isra’ [17]: 36 dijelaskan mengenai larangan taklid terhadap sesuatu yang tidak memiliki rujukan atau dalil, karena sikap taklid akan meniadakan keberadaan potensi akal, serta umat islam harus sadar bahwa penglihatan, pendengaran, dan hati akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah Swt.

Dalam Tafsir Al-Misbah (Vol. 7, 86-87) dijelaskan bahwa, saat seseorang berada diposisi untuk mengambil suatu sikap, baik itu menyatakan atau membantah sesuatu jika tidak didasari dengan pengetahuan, maka ia tidak diperbolehkan untuk melakukannya. Jangan pernah malu untuk berkata “tidak tahu” jika memang tidak mengetahuinya, sebab semua itu akan dimintai pertanggungjawaban.

Dijelaskan bahwa ayat ini memiliki pesan “janganlah mengikuti suatu apapun yang tidak ketahui tentangnya”. Yaitu, larangan berkata tentang apa yang tidak diketahui, larangan mengaku tahu apa tidak diketahui, larangan mengaku mendengar apa yang tidak didengar. Karena pendengaran, penglihatan, dan hati merupakan alat-alat pengetahuan. Masing-masing dari ketiga alat pengetahuan itu akan ditanyai mengenai bagaimana pemilik menggunakannya semasa ia masih di dunia.

Sedangkan dalam Tafsir Fi Zhilalil Qur’an (Jilid 7, 257) dijelaskan bahwa ayat di atas mengandung perintah agar hati dan akal tetap lurus di atas manhaj Islam, agar tidak ada lagi ruang tumbuhnya khayalan, ilusi dan khurafat dalam dunia akidah (ideologi), perintah agar bersifat klarifikatif dalam beramal dan menerima informasi.

Baca Juga: Tafsir Surah Al Isra’ Ayat 36-37

Selain itu, dalam ayat tersebut mengandung larangan bagi umat Islam dalam mengikuti sesuatu yang belum diketahui secara pasti kebenarannya, baik orangnya maupun ilmunya. Karena menurut Sayyid Qutb, suatu amanah akan dimintai pertanggungjawabannya  atas setiap manusia dan akan ditanyakan juga terhadap anggota tubuhnya, seperti pancaindra, akal, dan hati yang keseluruhannnya telah dianugerahkan oleh Allah Swt. (Sayyid Qutb, 2003, hal. 257)

Sependapat dengan Az-Zuhaili (Tafsir Al-Munir, Jilid 8, 91). Mengenai ayat tersebut Az-Zuhaili mengatakan bahwa dalam ayat tersebut mengandung beberapa larangan, di antaranya; larangan mengambil suatu keputusan berdasarkan apa yang tidak diketahui secara benar dan tidak bersandar pada dalil, larangan taklid, larangan beramal mengikuti hawa nafsu, larangan membuat kesaksian palsu, larangan berkata-kata bohong atau dusta, larangan menuduh menggunakan tuduhan paslu, larangan menghakimi seseorang berdasarkan prasangka (dzan), larangan memalsukan informasi, dan larangan berbicara tanpa landasan ilmu. Karena pemiliknya akan ditanyai mengenai pendengaran, penglihatan, dan hati kelak di hari kiamat, serta kelak semua mediator akan ditanya oleh Tuhan tentang pemiliknya.

Baca Juga: Isyarat Larangan Taklid Buta: Tafsir Al-Baqarah Ayat 170

Pendapat yang serupa dikatakan oleh Ibnu Katsir dalam (Tafsir Al-Qur’an Al-Adhim, Jilid 5, 372-373) ia mengatakan bahwa dalam ayat tersebut mengandung beberapa larangan yang telah ditetapkan oleh Allah, seperti; larangan menuduh seseorang jika tidak mempunyai pengetahuan tentangnya, larangan memberikan kesaksian palsu, larangan berkata-kata dusta, larangan mengatakan sesuatu berdasarkan prasangka, perkiraan, dan khalayan. Karena setiap hamba akan ditanya pada hari kiamat tentang tiga nikmat (pendengaran, penglihatan, dan hati) untuk apa semua dipergunakan.

Dari beberapa penafsiran di atas bisa ditarik kesimpulan bahwa dalam pemaknaan atas beberapa larangan di atas memiliki pendapat yang sama. Namun dalam memaknai pendengaran, penglihatan, dan hati keempat mufassir memiliki pandangan yang berbeda. M. Quraish Shihab memaknainya sebagai alat berpengetahuan, tidak jauh berbeda dengan yang dikatakan Az-Zuhaili yang dimaknai sebagai mediator, Sayyid Qutb memaknainya sebagai amanat yang telah diberikan Allah kepada setiap manusia, dan Ibnu Katsir mengartikannya sebagai nikmat.

Jika taklid menjadi kebiasaan, bagaimana bisa umat Islam menjawab tantangan dari kemajuan zaman yang melahirkan perubahan ke arah lebih baik. Taklid mengakibatkan kebekuan berfikir yang berimplikasi pada kebekuan beragama dan pudarnya sinar agama. Kehidupan sosial, pemikiran, dan kebutuhan manusia ikut berubah sesuai dengan kemajuan zaman.

Jika sudah tidak ada kesadaran umat dalam mencari ilmu dan pengetahuan, bagaimana bisa umat mempertahankan agama Islam dan mewujudkan keberkahan agama ini. Perlu diketahui bahwa kemajuan dan perubahan itu tidak lantas didapat dengan sikap yang hanya ikut-ikutan terhadap suatu keputusan tanpa berdasarkan ilmu. Dari penjelasan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa dalam menghadapi suatu pilihan hendaknya mendahulukan akal, mengesampingkan sikap taklid dan fanatik, serta perlu ber-tabayyun akan sesuatu yang belum diketahui kebenarannya agar diperoleh satu pilihan berdasarkan fakta dan kebenaran.

Wallahu a’lam.

Tinta Warna pada Mushaf Alquran (Bagian II)

0
Penggunaan tinta merah pada frasa walyatalaththaf dalam mushaf kuno Kusamba, Bali (Sumber: Balai Litbang Agama Semarang)
Penggunaan tinta merah pada frasa walyatalaththaf dalam mushaf kuno Kusamba, Bali (Sumber: Balai Litbang Agama Semarang)

Merujuk keterangan yang diberikan oleh Abu ‘Amr al-Dani (w. 444 H.), penggunaan tinta warna dalam penulisan mushaf Alquran awalnya merupakan buntut dari diterapkannya diakritik (naqth al-i‘rab) dan tanda titik (naqth al-i‘jam). Adanya penurunan fashahah dan perubahan karakter dalam diri umat Islam periode awal disinyalir menjadi alasan utama.

Karena muncul belakangan, penggunaan tinta warna tidak menyertakan corak rupa hitam karena khawatir terjadi pembauran. Seperti pembauran antara rasm (garis batang huruf) mushaf dengan elemen tambahan diakritik yang menyertainya. Demikian ini sebagaimana diungkapkan oleh Al-Dani dalam Al-Muhkam fi Naqth al-Mashahif.

Latar belakang ini yang kemudian melahirkan beberapa mazhab penggunaan tinta warna sebagaimana telah dijelaskan pada bagian sebelumnya (baca selengkapnya di Tinta Warna pada Mushaf Alquran Bagian I). Meski demikian, praktik penggunaan tinta warna dalam penulisan mushaf Alquran di Indonesia agaknya cukup berbeda.

Alasan penurunan fashahah dan perubahan karakter tidak berlaku pada penulisan mushaf Alquran di Indonesia. Hal ini karena Islam masuk ke Indonesia, menurut informasi yang diberikan oleh Agus Sunyoto, baru sekitar abad ke-7 Masehi. Sementara mushaf Alquran tertua yang ditemukan di Indonesia berasal dari abad ke-16 Masehi atau tepatnya pada tahun 1585, koleksi William Marsden.

Artinya bahwa, mushaf pada abad ke-16 Masehi telah mengalami ‘modifikasi’ yang cukup sophisticated. Mushaf Alquran tidak lagi hanya terdiri dari rasm-nya saja, melainkan telah mengalami ‘penambahan’ pada beberapa elemen, seperti diakritik yang modern, tanda titik huruf, dan bahkan penanda hukum bacaan atau tajwid.

Baca Juga: Kisah Ibnu Muqlah; Berjasa dalam Penulisan Khat dan Mushaf namun Tragis di Karir Politik

Oleh karenanya, penggunaan tinta warna pada penulisan mushaf Alquran di Indonesia memiliki mazhab tersendiri yang melembaga. Terlepas dari adanya kesepakatan yang dilakukan antar penyalin mushaf di Indonesia, berikut merupakan data yang penulis temukan dari penggunaan tinta warna pada mushaf Alquran kuno di Indonesia.

Akan tetapi karena keterbatasan ruang dan waktu yang tersedia, data yang penulis berikan ‘hanya’ berasal dari beberapa mushaf koleksi Jawa yang dimuat dalam buku Mushaf Kuno Nusantara edisi Jawa terbitan Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an, Kementerian Agama, tahun 2019. Pun data tersebut terbatas pada foto yang disajikan pada buku tersebut mengingat beberapa situs yang terkait dengan konten buku tersebut tengah mengalami perbaikan sehingga tidak dapat diakses hingga tulisan ini ditulis.

Penggunaan tinta warna pada penulisan mushaf di Indonesia memiliki sistem yang berbeda. Warna yang dipilih sendiri dominan pada merah. Kendati dalam penyuratan iluminasi mushaf dijumpai warna-warna lain seperti kuning, emas, hijau, dan biru, namun dalam penulisan teksnya tidak dijumpai satu pun warna tersebut.

Kecuali pada satu mushaf yang menjadi koleksi Widya Budaya Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat berkode C1. Mushaf berukuran 21x16x1,5 cm ini menggunakan tinta berwarna biru dan prodo emas pada penulisan teks utamanya. Teknik penulisannya juga unik karena dua warna tersebut digunakan secara bergantian pada setiap baris teks Alquran-nya.

Baca Juga: Mengenal Karakteristik Mushaf Kuno Jawa

Warna merah yang dipilih lazim digunakan pada bagian teks tertentu yang dianggap lebih menonjol dari pada yang lain. Bagian tersebut seperti lafaz jalalah, bagian awal surah dan juz, serta frasa walyatalaththaf pada ayat ke-19 dari surah Al-Kahf [18] yang sering diasosiasikan dengan pertengahan mushaf Alquran. Warna merah juga digunakan pada diakritik madd ja’iz dan madd wajib serta fatah berdiri.

Penggunaan warna merah dengan menonjolkan kontras corak rupanya dengan warna lain seperti hitam agaknya juga menjadi alasan penggunaannya pada mushaf koleksi Von der Wall yang tersimpan di Perpustakaan Nasional berkode A.54A-E (penulisan kode sesuai yang tertera pada buku Mushaf Kuno Nusantara edisi Jawa).

Alih-alih menggunakan warna hitam, mushaf berukuran 50,5×36 cm ini justru menggunakan warna merah pada teks Alquran-nya, mencakup rasm dan diakritik. Hal ini agaknya karena mushaf tersebut dibekali dengan interlinear translation (pemaknaan antar baris) yang ditulis menggunakan tinta warna hitam. Seolah menunjukkan bahwa teks reguler dari mushaf tersebut sebenarnya adalah bagian makna antar barisnya, bukan teks Alquran-nya.

Baca Juga: Babak Baru Standarisasi Mushaf Indonesia

Ulasan singkat penulis ini hanya memberikan gambaran sempit perihal penggunaan tinta warna pada penulisan mushaf Alquran. Meski begitu, penulis hendak menggarisbawahi bahwa penggunaan tinta warna dalam penulisan mushaf Alquran utamanya di Indonesia dapat ditempatkan sebagai tradisi periferal yang tentu memiliki kekhasan tersendiri sehingga menjadi beda dengan tradisi sentralnya.

Dengan membandingkannya terhadap tradisi penulisan Alquran di era awal Islam berikut peristiwa-peristiwa lain yang mengiringinya, akan didapatkan perbandingan yang menarik. Tak hanya pada praktik tradisi yang dihasilkan, melainkan yang lebih penting faktor-faktor yang menyebabkan praktik tradisi tersebut dihasilkan. Wallahu a‘lam bi al-shawab.

Tafsir Surah Al-An’am Ayat 116 dan Standar Kebenaran

0
tafsir surah al-An'am ayat 116 dan standar kebenaran
tafsir surah al-An'am ayat 116 dan standar kebenaran

Mayoritas sering kali dianggap sebagai standar kebenaran dalam banyak aspek kehidupan. Namun, dalam konteks keagamaan, hal ini tidak selalu berlaku. Surah al-An’am ayat 116 memberikan peringatan kepada Nabi Muhammad saw. dan umat Islam agar tidak terbawa dalam pemikiran bahwa mengikuti mayoritas adalah satu-satunya standar kebenaran.

Dalam banyak kasus, mayoritas mungkin saja berada pada jalan yang sesat, meninggalkan ajaran Allah dan mengikuti hawa nafsu semata sebagaimana disinggung dalam ayat 116 surah al-An’am. Bagaimana kemudian dengan negara Indonesia yang mayoritas penduduknya adalah Muslim? Bagaimana memahami ayat ini untuk mengukur standar kebenaran dalam konteks Indonesia?

Baca Juga: Surah Ali Imran Ayat 110: Konsep Khairu Ummah dalam Ilmu Sosial Profetik

Surah al-An’am ayat 116 dan tafsirnya

وَاِ نْ تُطِعْ اَكْثَرَ مَنْ فِى الْاَ رْضِ يُضِلُّوْكَ عَنْ سَبِيْلِ اللّٰهِ ۗ اِنْ يَّتَّبِعُوْنَ اِلَّا الظَّنَّ وَاِ نْ هُمْ اِلَّا يَخْرُصُوْنَ

“Dan jika kamu mengikuti kebanyakan orang di bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Yang mereka ikuti hanya persangkaan belaka dan mereka hanyalah membuat kebohongan.” (Q.S. Al-An’am [6]: 116)

Menurut Wahbah Zuhaili, ayat tersebut menjelaskan bahwa jika Nabi Muhammad dan pengikutnya mengikuti mayoritas orang-orang saat itu yang kafir dan musyrik serta meninggalkan ajaran Allah, mereka akan tersesat. Orang-orang tersebut hanya mengikuti hawa nafsu, mengabaikan bukti ketuhanan dan logika yang benar, serta berspekulasi tanpa dasar yang kuat.

Ini menunjukkan bahwa banyak orang tersesat dalam keyakinan dan pengetahuan tentang Tuhan, sehingga terus melakukan penyekutuan dengan Allah dan menolak standar kebenaran yakni mengikuti ajaran Allah dan Rasulullah, hanya melihat mayoritas. (Az-Zuhaili, 2013, Vol. 4 hlm. 308)

Adapun menurut at-Thabari, ayat tersebut menegaskan bahwa mengikuti mayoritas orang-orang kafir akan mengakibatkan seseorang tersesat dari jalan Allah dan tidak mendapat pahala dari-Nya, karena pada saat itu memang umat Islam masih dalam keadaan minoritas, dan yang mayoritas adalah orang-orang kafir. (Abu Ja’far Muhammad bin Jarir Ath-Thabari, 2007, Vol. 7 hlm. 180)

Sedang menurut Quraish Shihab, ayat ini merupakan bentuk larangan Allah kepada Rasulullah saw. dan umat Islam untuk tidak mengikuti mayoritas manusia di bumi ini, sedang mereka telah menolak kebenaran dan tidak mengikuti ajaran Allah dan Rasulullah. Standar kebenaran bukan diukur dari banyaknya jumlah mereka.

Mereka hanya mengikuti spekulasi yang tidak berdasar, sementara kebenaran yang berasal dari Allah adalah sesuatu yang pasti. Oleh karena itu, pesan ayat ini adalah untuk tetap teguh pada ajaran Allah dan Rasul-Nya, meskipun mayoritas dari mereka mengikuti jalan yang sesat. (Shihab, 2012, Vol.7 hlm. 264)

Ketiga pandangan mufasir tersebut memiliki kesamaan dalam pemahaman bahwa ayat tersebut memberikan peringatan kepada Nabi Muhammad Saw. dan umat Islam agar tidak mengikuti mayoritas (saat itu) karena mereka adalah orang-orang kafir dan musyrik. Selain itu, melalui ayat ini pula Nabi Muhammad saw. dan umat Islam yang minoritas (saat itu) untuk tetap teguh pada ajaran Allah.

Baca Juga: Surat Ali Imran Ayat 110: Syarat Menjadi Umat Terbaik

Tantangan Menjadi Mayoritas di Indonesia

Umat Islam di Indonesia merupakan mayoritas, lantas bagaimana dengan pernyataan bahwa mayoritas bukan satu-satunya standar kebenaran, seperti yang tersirat dari surah al-An’am ayat 116? Perlu dibedakan antara konteks awal mayoritas dalam ayat dengan konteks mayoritas Indonesia.

Dalam ayat dijelaskan bahwa sifat atau karakter mayoritas pada saat itu adalah menyesatkan dari jalan Allah, karena orang-orang kafir masih mendominasi. Adapun konteks mayoritas masyarakat Indonesia hari ini adalah umat Islam yang idealnya adalah umat Nabi Muhammad saw. yang senantiasa menjalankan perintah Allah.

Jika konteks kondisi mayoritas-minoritas ini bisa berubah sewaktu-waktu, tergantung pada tempat dan zaman, maka dapat diasumsikan bahwa hal tersebut tidak valid untuk dijadikan sebagain standar ukuran kebenaran, karena ukuran kebenaran itu nilainya tetap di mana pun dan kapan pun.

Oleh karena demikian, karakter atau sifat dari mayoritas-minoritas inilah yang kemudian bisa dijadikan sebagai alternatif standar kebenaran. Berdasar pada surah al-An’am ayat 116, standar kebenaran adalah dia atau mereka yang tetap berpegang teguh pada ajaran Allah dan RasulNya, bukan tentang jumlah orangnya.

Untuk masyarakat Indonesia yang mayoritas muslim, surah al-An’am ayat 116 ini bisa dijadikan sebagai pengingat untuk tetap berpegang tegih pada ajaran Allah dan RasulNya, dan senantiasa menjadi mayoritas yang mencerahkan, bukan malah menyesatkan.

Baca Juga: Salah Paham tentang Khayr Ummah, Awal Lahirnya Sikap Superioritas

Penutup

Dalam konteks keagamaan, terutama di Indonesia yang mayoritas penduduknya Muslim, pesan dari surah al-An’am ayat 116 tetap relevan dan penting. Ayat ini memberikan peringatan kepada umat Islam agar tidak mengikuti mayoritas tanpa mempertimbangkan ajaran Allah.

Kualitas iman dan standar kebenaran ajaran agama tidak ditentukan oleh jumlah orang yang mengerjakan, melainkan oleh kesungguhan dan kepatuhan terhadap ajaran yang benar, yaitu sesuai dengan ajaran Allah dan Rasulullah. Marilah kita menjadikan ajaran agama sebagai pedoman utama, tanpa terpengaruh oleh aspek mayoritas atau minoritas.

Tinta Warna pada Mushaf Alquran (Bagian I)

0

Diksi warna pada frasa tinta warna tidak dimaksudkan untuk mencakup warna hitam. Hal tersebut karena kelaziman dari tinta yang digunakan untuk menulis-bahkan tidak hanya pada mushaf-adalah tinta berwarna hitam. Oleh karenanya, corak rupa yang dikehendaki dalam diksi tersebut utamanya adalah selain hitam, seperti merah, kuning, hijau, dan lain sebagainya.

Penggunaan tinta warna dalam tulisan ini juga dimaksudkan untuk selain iluminasi dan dekorasi lainnya. Elemen yang disasar dalam adalah teks utama, yang mencakup garis batang huruf (rasm), tanda titik (naqth al-i‘jam), dan diakritik (naqth al-i‘rab) serta hal-hal lain yang timbul karena adanya pembacaan yang dilakukan, tajwid misalnya. Karena dalam perkembangannya, penggunaan tinta warna berdasar hukum bacaan atau tajwid juga ditemukan.

Meski demikian, dalam tulisan ini tidak akan dibahas penggunaan tinta warna dalam penulisan hukum bacaan atau tajwid. Ulasan mengenai hal tersebut bisa dibaca pada tulisan milik Harits Fadlly berjudul Tajwid Warna dalam Mushaf Al-Qur’an Standar Indonesia dan tulisan Fathia Nur Maulida berjudul Penerapan Tajwid Warna dalam Mushaf Al-Qur’an Standar Indonesia.

Mushaf Topkapi
Mushaf Topkapi

Penggunaan tinta warna dalam mushaf Alquran telah dimulai sejak era Abu al-Aswad al-Dua’ali (w. 69 H.), penggagas sistem diakritik (naqth al-i‘rab atau harakat). Tinta warna digunakan sebagai pembeda antara teks utama dengan tanda diakritik yang menyertainya. Dengan adanya penggunaan tinta warna ini diharapkan tidak terjadi perubahan penulisan dan pencampuradukan (takhlith).

Berdasarkan informasi yang diberikan oleh Al-Farmawi, ada setidaknya tiga mazhab penggunaan tinta warna dalam mushaf Alquran. Tiga mazhab tersebut adalah mazhab Madinah, Andalus, dan Iraq. Mazhab Madinah menggunakan tiga warna: hitam untuk teks utama, merah untuk diakritik, dan kuning untuk hamzah secara khusus.

Baca juga: Kajian Struktur Huruf Mushaf Kuno

Mazhab Andalus, merujuk pada keterangan Abu ‘Amr al-Dani, menggunakan sistem warna yang sama dengan mazhab Madinah. Namun demikian, menurut Hifni Nashif, ada penambahan warna hijau pada mazhab Andalus untuk penulisan alif washl. Selain itu, penggunaan diakritik oleh mazhab Andalus dilakukan dengan metode naqth atau pembubuhan tanda titik.

Sedangkan mazhab Iraq hanya menggunakan dua warna: hitam untuk teks utama, dan merah untuk selainnya, yang mencakup diakritik, hamzah, alif, dan lain sebagainya. Oleh karenanya, mushaf mazhab Iraq ini menjadi berbeda dengan mazhab lain karena hanya menggunakan dua tinta dalam sistem pewarnaannya.

Baca juga: Mengenal Karakteristik Mushaf Kuno Jawa

Penggunaan tinta warna dalam penulisan mushaf Alquran dapat dijumpai pada salah satu dari enam mushaf kuno yang dianggap berasal dari abad pertama dan kedua hijriah, yakni mushaf yang tersimpan di Museum Topkapi, Istanbul, Turki. Dari beberapa foto yang diberikan oleh situs Islamic Awareness dapat diketahui bahwa warna tinta yang digunakan adalah hitam untuk teks utamanya dan merah untuk diakritiknya.

Namun demikian, penulis belum dapat mengidentifikasi mazhab mana yang digunakan dalam penulisan mushaf. Di antara alasannya karena belum ada contoh konkret dari penggunaan mazhab-mazhab tersebut dalam penulisan. Selain itu, foto yang ditampilkan hanya memuat beberapa halaman saja. Akan tetapi, dengan melihat adanya iluminasi yang menggunakan tinta warna kuning, agaknya diketahui bahwa memang tinta yang digunakan dalam penulisan hanya terbatas pada hitam dan merah saja.

Baca juga: Manuskrip Alquran dari Kulit Sapi di Museum Gusjigang Kudus

Jika mendasarkan penilaian mushaf Topkapi tersebut pada riwayat yang diberikan oleh Abu ‘Amr al-Dani (w. 444 H.) dalam Al-Muhkam fi Naqth al-Mashahif, dari Ahmad bin ‘Umar al-Jaizi, dari Muhammad bin Ahmad bin Munir, dari ‘Abdullah bin ‘Isa al-Madani, dari Qalun (w. 220 H.) (perawi dari Imam Nafi’ al-Madani), setidaknya dapat diketahui bahwa ia tidak mengikuti mazhab Madinah. Alasannya karena ketiadaan tinta kuning di dalam penulisannya.

Sementara itu, tradisi penulisan mushaf Alquran di Indonesia agaknya memiliki sistem penggunaan warna yang berbeda. Mushaf Indonesia di sini dimaksudkan pada sebelum adanya upaya standarisasi yang dilakukan oleh Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an (LPMQ). Bisa dikatakan bahwa penggunaan warna dalam penulisan Alquran belum memiliki standar yang melembaga sebagaimana mazhab di Timur Tengah sebelumnya.

Seperti apa penggunaan warna dalam penulisan mushaf Alquran di Indonesia? Simak ulasannya pada bagian berikutnya. Wallahu a‘lam bi al-shawab []

Fakta Keberagaman Sosial dalam Surah An-Nahl Ayat 93

0
Merawat Keberagaman Menurut Al-Quran
Keberagaman sosial

Berbicara tentang Indonesia-apalagi soal seluruh dunia-sudah pasti tidak lepas dari segala keberagaman sosial di dalamnya. Keberagaman sosial sendiri dapat dipahami sebagai heterogenitas dalam suatu masyarakat yang meliputi setiap perbedaan di dalamnya seperti suku, ras, agama, dan sebagainya. Hanya saja, kerap kali keberagaman dalam hal ini justru sering kali menimbulkan beberapa pendapat yang bersifat pro-kontra di antara manusia.

Persoalan di atas kemudian berimplikasi pada sebuah pertanyaan yang tak jarang dipikirkan oleh sebagian orang; kenapa Tuhan tidak menciptakan manusia menjadi satu umat saja? Guna menjawab pertanyaan tersebut kiranya dapat ditadaburi bersama melalui salah satu firman Allah Swt. dalam surah An-Nahl ayat 93.

وَلَوْ شَاۤءَ اللّٰهُ لَجَعَلَكُمْ اُمَّةً وَّاحِدَةً وَّلٰكِنْ يُّضِلُّ مَنْ يَّشَاۤءُ وَيَهْدِيْ مَنْ يَّشَاۤءُۗ وَلَتُسْـَٔلُنَّ عَمَّا كُنْتُمْ تَعْمَلُوْنَ

“Seandainya Allah berkehendak, niscaya Dia menjadikanmu satu umat (saja). Akan tetapi, Dia menyesatkan siapa yang Dia kehendaki dan memberi petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki (berdasarkan kesiapannya untuk menerima petunjuk). Kamu pasti akan ditanya tentang apa yang kamu kerjakan.”

Tafsir Surah An-Nahl Ayat 93

Ibn Jarir al-Tabari dalam tafsirnya memberikan penjelasan ringkas berkaitan dengan ayat di atas bahwa sebenarnya Allah Swt. mampu untuk menjadikan manusia seragam layaknya satu umat, satu keyakinan, bahkan tidak ada perpecahan dan perdebatan sama sekali di dalamnya. Namun, nyatanya Allah sendiri yang memang menciptakan manusia menjadi beranekaragam dalam hal agama, sehingga di hari kiamat kelak Allah dapat memberikan balasan sesuai dengan kadar ketaatan dan kedurhakaan manusia selama hidupnya (Jami’u al-Bayan ‘an Ta’wil Ay al-Qur’an, Jilid 14, hal. 347-348).

Ibn Kathir dalam Tafsir al-Qur’an al-‘Azim (Jilid 4, hal. 600) juga menjelaskan jika Allah memang memiliki kuasa untuk menjadikan manusia umat (bangsa) yang satu; tidak ada perbedaan, kebencian, dan permusuhan. Selain itu, menurut Ibn Kathir ayat ini memiliki substansi yang sama dengan surah Yunus [10]: 99 dan surah Hud [11]: 118-119.

Baca juga: Albaqarah Ayat 148: Isyarat Pluralitas dan Solusi Egoisme Beragama

Penjelasan di atas tampak seiras sebagaimana dalam suatu riwayat dari Sa’id bin Jubair melalui jalur Abi Hatim yang dikutip oleh al-Suyuti dalam tafsirnya. Riwayat tersebut berisi penafsiran ayat 92-96 yang secara garis besar mengandung perintah agar umat Islam tidak menjadikan janji dan sumpah sebagai alat untuk memecah belah umat (al-Dur al-Manthur fi Tafsir bi al-Ma’thur, Jilid 5, hal. 123-124).

Dengan kata lain, ayat 93 dalam surah An-Nahl juga masih berkaitan dengan perintah bagi umat Islam untuk senantiasa menghargai suatu perjanjian yang telah disepakati meskipun dengan pihak yang berlainan akidah dan keyakinan. Dalam konteks keberagaman sosial tentunya hal ini perlu diterapkan secara bijak agar kebaikan dapat diraih dan keburukan pun dapat dihindari.

Fakta Keberagaman Sosial sebagai Kehendak Allah

Ayat di atas rasanya memiliki keterkaitan dengan perkara fakta keberagaman sosial sebagai sesuatu yang memang dikehendaki oleh Allah Swt. sebagaimana pendapat dari Muhammad Asad (The Message of The Quran, hal. 563-564). Menurut Asad, makna “ummatan wahidatan” atau “umat yang satu” diartikan sebagai suatu hubungan terikat antara seluruh manusia berdasarkan nilai-nilai moral yang disepakati bersama.

Asad juga mengaitkan surah An-Nahl ayat 93 dengan surah Yunus [10]: 16 dan surah Al-Baqarah [2]: 213. Dalam kaitan tersebut, pada awalnya umat manusia masih menjadi satu umat yang sama, tetapi seiring dengan berkembangnya pemikiran manusia menyebabkan adanya perbedaan-perbedaan pandangan dan membuat umat yang tadinya satu menjadi kian beranekaragam. Namun, hal ini sejatinya memanglah kehendak dari Allah sendiri agar manusia dapat terus mengembangkan intelektual, moral, dan sosial seiring dengan berjalannya zaman.

Baca juga: Menapak Tilas Kisah Rasulullah saat Merespons Pluralitas

Quraish Shihab pun juga memberikan pendapatnya tentang hal ini. Menurutnya, apabila manusia diciptakan oleh Allah tanpa ada perbedaan sedikit pun, menyebabkan mereka hanya akan seperti binatang yang tidak mampu berkreasi baik untuk dirinya maupun lingkungannya. Oleh sebab itu, Allah sengaja ciptakan perbedaan dalam  kehidupan manusia agar mereka dapat saling berlomba-lomba dalam kebaikan menggunakan kreatifitas dan potensinya demi menjalankan tugasnya sebagai seorang khalifah (Tafsir Al-Mishbah, Jilid 7, hal. 335-336).

Kendati manusia diberi keistimewan berupa akal untuk dapat memilih dan memilah setiap perbuatan yang akan dilakukan oleh mereka tentu ada konsekuensi di dalamnya. Keberagaman sosial yang disebabkan oleh beranekaragamnya manusia membuat mereka juga memiliki tanggung jawab atas segala perbuatannya sendiri. Maka, akhir ayat di atas dapat memberikan gambaran tentang segala pilihan manusia yang nantinya akan mendapat balasan dari Allah Swt. sesuai dengan kadarnya; mendapat kebahagiaan abadi atau azab yang pedih.

Baca juga: Makna Keberagaman dalam Sudut Pandang Mufasir Nusantara

Dengan demikian, keberagaman sosial hendaknya tidak dipahami sebagai alasan untuk menciptakan permusuhan, melainkan diyakini sebagai suatu keniscayaan dari kehendak Tuhan. Pemahaman seperti ini dirasa akan relevan bagi umat Islam di Indonesia yang sudah jelas keberagamannya. Adanya Pancasila dan semboyan negara “Bhinneka Tunggal Ika” diharapkan dapat dipegang bersama sebagai sebuah janji/kesepakatan demi mewujudkan persatuan dan kesatuan di antara sesama.

Q.S Alanfal Ayat 61: Memelihara Perdamaian, Mencegah Pertikaian

0
Q.S Alanfal Ayat 61: Memelihara Perdamaian, Mencegah Pertikaian

Perdamaian merupakan salah satu ajaran yang diperintahkan Tuhan kepada manusia. Dengan kedamaian, maka hidup akan semakin tentram dan nyaman. Dan juga, hidup lebih terasa mengesankan tanpa adanya kekerasan yang timbul dari setiap golongan maupun antar kelompok.

Di sebutkan dalam KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) bahwa arti kata damai berarti bebas dari perang atau tidak ada perang, tidak ada kerusuhan, hidup tentram, tenang, rukun,dan keadaan tidak dalam bermusuhan. Dan perdamaian adalah menghentikan permusuhan, perselisihan, dan lain sebagainya.

Allah sangat mencintai damai dan perdamaian. Oleh karena itu, sebagai makhluk ciptaan-Nya, manusia memiliki kewajiban untuk saling damai dalam kerukunan dan tidak ada pecah belah di antara satu sama lain. Perintah ini sesuai dengan ajaran agama Islam.

Baca Juga: Menepis Anggapan tentang Status Mansukh Ayat-ayat Perdamaian

Islam merupakan agama yang membawa misi damai, maka sudah menjadi tuntutan bagi setiap muslim untuk saling hidup damai. Karena phal tersebut merupakan pokok dalam kehidupan manusia, agar hidupnya lebih dekat dengan ketenangan, aman, nyaman, dan harmonis dalam berinteraksi antar sesama.

Maka sudah jelas bahwa agama Islam bertujuan untuk menciptakan kedamaian dan menebar kasih sayang antar sesama sesuai dengan anjuran Allah swt., hal ini juga sesuai dalam  Q.S Alanbiya ayat [21]:107

وَمَآ اَرْسَلْنٰكَ اِلَّا رَحْمَةً لِّلْعٰلَمِيْنَ

Dan kami tidak mengutus engkau (Nabi Muhammad) melainkan untuk menjadi rahmat bagi semesta alam.

Terkait dengan perdamaian, Alquran juga menjelaskan dalam Q.S Alanfal [8]:61 sebagai berikut.

وَاِنْ جَنَحُوْا لِلسَّلْمِ فَاجْنَحْ لَهَا وَتَوَكَّلْ عَلَى اللّٰهِۗ اِنَّهٗ هُوَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ

(Akan tetapi), jika mereka condong pada perdamaian, condonglah engkau (Nabi Muhammad) padanya dan bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya hanya Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Menngetahui.

Baca Juga: Makna Islam Sebagai Agama Perdamaian dalam Al-Quran

Dalam penjelasan Tafsir Kemenag, bahwa Islam adalah agama yang condong pada perdamaian, yang mana hal tersebut akan lebih mendekatkan diri kepada Allah. Dan seseorang yang condong pada sikap damai, maka akna lebih mengerti tentang maksud adanya agama Islam di dunia ini.

Kemudian ayat tersebut juga menjelaskan tentang tidak perlunya setiap manusia itu terpecah belah antara satu dengan yang lain, apalagi sesama umat Islam. Karena ajaran Islam lebih mengedepankan kerukunan dan perdamaian.

Penjelasan yang serupa juga dipaparkan oleh M. Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Misbah (Jilid 5, 488) menyebutkan  bahwa ayat tersebut berkaitan dengan perdamaian yang akan lebih membawa kepada kemaslahatan. Maka, lebih baik dilaksanakan daripada harus berpecah belah dalam sebuah pertikaian.

Apabila seseorang telah menciptakan kedamaian dengan tujuan kebaikan, maka semua perbuatan yang dilakukan akan terlihat oleh yang Maha Kuasa. Begitu pula sebaliknya, jika maksud dari perdamaian untuk mencari kesempatan untuk berbuat kerusakan, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui setiap apa yang dilakukan hambaNya.

Dari kedua penafsiran tersebut sudah jelas terdapat tuntutan kepada setiap manusia untuk memelihara perdamaian antar sesama maupun kepada berbagai macam keberagaman yang ada mulai dari suku, ras, bahasa, dan sebagainya. Karena dari sikap damai inilah yang pada nantinya akan menimbulkan keharmonisan dalam kehidupan di dunia.

Baca Juga: Paradigma Al-Qur’an tentang Nilai Perdamaian Sebagai Inti Ajaran Islam

Sikap damai juga merupakan ajaran yang sangat dibutuhkan dalam setiap situasi. Dengan hati yang penuh dengan rasa perdamaian maka keadaan yang dihadapi juga akan senantiasa ikut berdamai. Oleh karenanya, Allah sangat menekankan kepada setiap hambaNya untuk selalu mengedepankan sikap damai.

Karena perdamaian merupakan hal sangat disukai oleh Allah, maka Allah juga  mengajarkan dan mencontohkan hidup damai yang sesuai dengan tuntunan Alquran maupun dalam sunah. Sebagaimana dalam sebuah hadis berikut ini;

Allah mencintai kelembutan, Allah memberikan keberkahan atas kelembutan, dan bukan atas kekerasan. (HR. Muslim)

Dalam hadis di atas, perdamaian digambarkan dengan kata kelembutan. Itu artinya, suasana damai akan tercipta apabila setiap manusia menyikapi sesutu dengan kelembutan. Berarti, salah satu cara yang diajarkan untuk menciaptakan kedamaian yakni dengan kelembutan.

Misalnya, di Indonesia yang terdiri dari berbagai macam keberagaman yang dapat memicu pada kekerasan, ketidakadilan, atau kesalahpahaman dan lainnya. Apabila seseorang tidak menerapkan sikap kelembutan dalam menerima perbedaan, maka perdamaian tidak akan terwujud.

Dari penjelasan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa perdamaian merupakan hal yang sangat dicintai Allah. Allah mengajarkan kepada seluruh hambaNya untuk senantiasa berdamai dan mencintai perdamaian sesuai dengan tuntunan. Karena sudah dibuktikan dengan adanya firmanNya dan juga hadis yang menekankan pada perdamaian. Sehingga, setiap makhlukNya senantiasa berdamai dalam situasi apapun, supaya tercipta kehidupan yang nyaman dan harmonis antar sesama manusia.

Wallahu a’lam.

Penamaan Surah Alquran: Proses Penamaan Nonarbitrer

0
penamaan surah Alquran
penamaan surah Alquran

Penamaan merupakan proses yang selalu terjadi dalam masyarakat. Dalam buku berjudul “Names in focus: an introduction to Finnish onomastics” Sjöblom dkk (2012) menegaskan, nama selalu muncul dalam interaksi antara manusia dengan komunitas bahasa serta lingkungannya.

Para pakar linguistik menemukan, terdapat dua macam penamaan yakni penamaan arbitrer dan penamaan nonarbitrer. Penamaan arbitrer berarti tidak adanya hubungan antara nama dan makna nama tersebut. Dalam buku berjudul “Language and meaning”, Birner (2017) menyatakan bahwa bahasa merupakan hasil dari proses penamaan, melibatkan sistem lambang bunyi yang umumnya bersifat arbitrer yakni tidak adanya hubungan antara kata dan makna kata tersebut.

Sebagai contoh, dalam Bahasa Indonesia, kata “kursi” merujuk kepada benda yang lazim digunakan sebagai tempat duduk. Ketika ditelusuri, tidak ada hubungan antara kata “kursi” dengan tempat duduk. Oleh karena itu, “mengapa kursi disebut kursi?” merupakan sebuah pertanyaan yang salah karena menanyakan sesuatu yang tidak ada.

Pertanyaan tersebut boleh saja dianggap benar, namun tidak ada jawaban untuk pertanyaan tersebut karena memang tidak ada alasan mengapa kursi disebut kursi sekaligus tidak ada hubungan antara kata “kursi” dengan benda yang disebut kursi.

Baca Juga: Nama dan Penamaan Surah dalam Alquran

Pertanyaan lain yang juga salah adalah mengapa masyarakat Indonesia menyebut “kursi” sebagai “kursi”. Mengapa mereka tidak menyebut “kursa” atau “kurso” atau “lursi” atau apapun itu. Seperti penjelasan sebelumnya, tidak ada alasan mengapa masyarakat Indonesia menyebut “kursi”. Oleh karena itu, tidak ada pula alasan mengapa mereka tidak menyebut tempat duduk dengan sebutan lain.

Satu-satunya jawaban untuk permasalahan tersebut adalah, masyarakat Indonesia sepakat (konvensi) untuk menyebut benda tempat duduk sebagai “kursi”. Ketika mereka sepakat dan mereka menggunakannya dalam interaksi sosial, kata “kursi” tersebut terus berkembang hingga saat ini tanpa perlu bertanya atau mencari alasan dibalik penamaan kata “kursi” tersebut.

Lebih dari itu, masyarakat Indonesia menamai benda tempat duduk sebagai “kursi”. Masyarakat Inggris menamai benda yang sama sebagai “chair”. Masyarakat di tempat lain menamai dengan nama lain lagi. Andaikata terdapat hubungan antara nama dengan yang dinamai, seluruh manusia hanya menamai satu nama untuk setiap benda. Alhasil, penamaan merupakan proses kesepakatan antar penutur suatu bahasa dan umumnya bersifat arbitrer.

Jenis penamaan yang kedua adalah penamaan nonarbitrer. Dalam penamaan model ini, terdapat hubungan antara nama dan makna nama tersebut. Karena adanya hubungan, pertanyaan mengapa sesuatu dinamai dengan nama tertentu adalah pertanyaan yang wajar dan layak ditelusuri. Karena adanya hubungan pula, pertanyaan mengapa sesuatu tidak dinamai dengan nama lain juga layak ditelusuri.

Dalam Bahasa Indonesia, contoh penamaan nonarbitrer adalah nama-nama benda atau binatang yang dinamai berdasarkan tiruan bunyi atau suara yang ditimbulkan oleh benda atau binatang tersebut. Kata-kata tiruan tersebut sebenarnya hanya mirip dan tidak persis sama. Hal tersebut karena benda atau binatang yang mengeluarkan bunyi itu tidak mempunyai alat fisiologis seperti manusia dan juga karena sistem fonologi setiap bahasa tidak sama.

Dalam sebuah artikel berjudul “Language naming in Indigenous Australia: a view from western Arnhem Land” dan diterbitkan di Jurnal Multilingua, Vaughan dkk (2023) menegaskan, meskipun nama dan makna bahasa terkadang cukup jelas dan pasti, namun nama dan makna tersebut terkadang juga terikat pada konteks.

Dalam sebuah artikel berjudul “An investigation of iconic language development in four datasets” dan diterbitkan di Journal of Child Language, Sidhu dkk (2022) juga menegaskan, kemiripan antara bentuk dan makna dalam bahasa merupakan salah satu contoh proses nonarbitrer dalam suatu bahasa.

Demikianlah proses penamaan yang terjadi dalam interaksi manusia. Meskipun penamaan pada umumnya bersifat arbitrer, namun terdapat pula penamaan yang nonarbitrer. Untuk selanjutnya, tulisan ini akan membahas penamaan surah di dalam Alquran.

Baca Juga: Rahasia Sapi Di Balik Penamaan Surah Al-Baqarah

Penamaan Surah Alquran

Terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama terkait latar belakang penamaan surah Alquran. Sebagian ulama menyatakan bahwa penamaan surah Alquran merupakan persoalan tauqifi yakni telah ditetapkan oleh Rasulullah berdasarkan wahyu. Ulama lain menyatakan bahwa penamaan tersebut merupakan ijtihad sahabat Rasulullah. Terlepas dari perbedaan pendapat tersebut, penelusuran hikmah di balik penamaan surah Alquran merupakan aktivitas yang penting untuk dilakukan.

Alquran memiliki 114 surah. Setiap surah memiliki nama tersendiri, bahkan sebagian surah memiliki lebih dari satu nama. Uniknya, penamaan setiap surah memiliki alasan tersendiri. Dalam Tafsir al-Munir, Wahbah az-Zuhaili menguraikan alasan penamaan 114 surah tersebut. Uraian berikut akan menguraikan alasan penamaan beberapa surah sebagaimana tersebut dalam Tafsir Al-Munir.

Surah kedua dalam Alquran dinamai surah al-Baqarah. Surah ini terdiri dari 286 ayat dan merupakan surah terpanjang dalam Alquran. Surah ini disebut “al-Baqarah” yang berarti “lembu” karena surat tersebut memuat kisah tentang lembu. Allah memerintahkan Bani Israil untuk menyembelih lembu tersebut lalu memukulkan bagian dari lembu tersebut terhadap badan korban pembunuhan. Kisah menarik tersebut dimulai dari Q.S. al-Baqarah [2]: 67.

Surah kelima dalam Alquran disebut surah al-Ma’idah. Surah ini disebut “Al-Ma’idah” yang berarti “hidangan” karena di dalam surah tersebut terdapat kisah turunnya hidangan dari surga. Para pengikut Nabi Isa meminta Nabi Isa untuk memohon kepada Allah agar Allah menurunkan hidangan dari surga untuk mereka. Allah menurunkan hidangan tersebut sebagai bukti kebenaran kenabian Nabi Isa.

Surah ke 18 dalam Alquran merupakan surah al-Kahfi. Surah ini dinamakan “al-Kahfi” yang berarti “gua” karena surah ini memuat kisah beberapa pemuda yang berlindung ke dalam gua lalu tertidur di dalamnya selama ratusan tahun. Kisah unik dan ganjil ini termaktub dalam Q.S. al-Kahfi [18]: 9-26. Kisah ini merupakan bukti nyata bahwa Allah maha berkuasa atas segala sesuatu.

Surah ke 19 dalam Alquran merupakan surah Maryam. Disebut Surah “Maryam” karena surah ini memuat kisah kehamilan Maryam tanpa suami serta kelahiran putranya yakni Nabi Isa. Surah ini juga menceritakan peristiwa-peristiwa menakjubkan yang menyertai kelahiran Nabi Isa serta ucapan dan pengakuan Nabi Isa saat masih bayi dan berada dalam buaian.

Surah ke 30 dalam Alquran merupakan surah ar-Rum. Dinamakan “ar-Rum” karena surah ini dibuka dengan berita kemenangan bangsa Romawi. Kemenangan tersebut benar-benar terjadi dan merupakan salah satu mu’jizat Alquran yakni mampu mengabarkan sesuatu yang akan terjadi dimasa mendatang.

Baca Juga: Mengenal Nama-nama Lain Surah Al-Fatihah dan Penjelasan Hadisnya

Demikianlah alasan penamaan surah di dalam Alquran. Alasan tersebut menunjukkan bahwa penamaan surah Alquran tidak serta merta, bukan kesepakatan tetapi mempertimbangkan alasan-alasan tertentu. Alasan tersebut juga menunjukkan bahwa penamaan surah Alquran bersifat nonarbitrer yakni terdapat hubungan antara nama dengan sesuatu yang dinamai. Kenyataan ini menambah daftar penamaan nonarbitrer ditengah banyaknya penamaan arbitrer. Wallahu a’lam