Beranda blog Halaman 40

Surah at-Taubah Ayat 122: Menuntut Ilmu sebagai Bentuk Cinta Tanah Air

0
tafsir surah at-Taubah ayat 122_menuntut ilmu sebagai bentuk cinta tanah air
tafsir surah at-Taubah ayat 122_menuntut ilmu sebagai bentuk cinta tanah air

Surah at-Taubah ayat 122 mengandung informasi tentang pembagian tugas orang-orang yang beriman. Tidak semua dari mereka harus pergi berperang; ada pula sebagian dari mereka yang ambil bagian di ranah peningkatan ilmu. Namun demikian, benang merah dari tugas-tugas tersebut adalah dalam rangka mempertahankan atau bahkan mengembangkan tenpat tinggal atau tanah airnya.

Hal ini menunjukkan, bahwa menuntut ilmu sama pentingnya dengan berperang dalam rangka bentuk cinta tanah air. Tanggung jawab dalam menuntut ilmu sangat berpengaruh bagi tiap penduduk dalam menentukan kualitas suatu negara. Sebab kemajuan sebuah negara selaras dengan seberapa mahirnya suatu penduduk dalam mengelola tanah air tempat mereka tinggal.

Baca Juga: Tafsir Surah At-Taubah Ayat 121-122

Tafsir Surah at-Taubah Ayat 122

وَمَا كَانَ الْمُؤْمِنُوْنَ لِيَنْفِرُوْا كَاۤفَّةًۗ فَلَوْلَا نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ مِّنْهُمْ طَاۤىِٕفَةٌ لِّيَتَفَقَّهُوْا فِى الدِّيْنِ وَلِيُنْذِرُوْا قَوْمَهُمْ اِذَا رَجَعُوْٓا اِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُوْنَ

“Tidaklah patut semua orang mukmin pergi berperang, sehingga tidak ada yang mengurus urusan lain. Alangkah baiknya ada sebagian kaum mukmin yang pergi mendalami ilmu agama. Setelah mereka kembali ke kampung halamannya, mereka menyampaikan peringatan kepada kaumnya agar mereka takut kepada Allah swt”.

Dalam ayat tersebut terdapat beberapa poin yang dapat ditampilkan, yakni perintah untuk menuntut ilmu, membagi tugas, dan cinta tanah air. Memang pembahasan cinta tanah air tidak disebutkan secara gamblang dalam ayat tersebut, akan tetapi dengan adanya pesan untuk kembali ke kampung halaman setelah seseorang pergi berkelana dan membagikan ilmu yang didapat kepada penduduk setempat, sedikit memberi isyarat tentang bentuk cinta tanah air.

Mahmud Yunus menafsirkan surah at-Taubaha ayat 122 ini sebagai kewajiban setiap penduduk negeri untuk fokus menuntut ilmu. Berharap ilmu yang diperoleh dapat menjadi pengajaran bagi pengikutnya kelak. Sebagaimana sabda Rasululullah “Tuntutlah ilmu pengetahuan itu walau sampai ke negeri Cina”. Sebagaimana negara-negara maju yang mengirimkan orang-orang mereka untuk mendapat beragam ilmu agar saat mereka pulang dapat membantu kemajuan negerinya.

Mahmud Yunus berpendapat sebaiknya tiap-tiap negara mengutus rakyatnya untuk memperluas ilmu. Hal ini bertujuan mewujudkan cita-cita suatu bangsa demi meningkatkan taraf hidup warganya. Cita-cita tersebut berasal dari rasa cinta tanah air yang tumbuh secara alami pada keinginan suatu penduduk. Kemanapun mereka pergi, kampung halaman tetap menjadi tujuan akhir mereka untuk menuntut ilmu (al-Qur’an al-Karim, 287).

Nawawi al-Bantani dalam tafsirnya juga mengutarakan bahwa setiap orang dalam sebuah negeri hendaknya diutus untuk berjihad. Jihad tersebut tidak lain untuk tanah airnya sendiri. Ini berarti bahwa setelah berjihad, orang tersebut hendaknya bisa kembali ke tanah airnya. Dalam hal agama, dia kembali ke negerinya untuk menyiarkan perintah taat kepada Allah swt, dan menjauhi laranganNya. Jihad di sini dapat berupa belajar ke negeri lain, dengan tujuan mendapat ilmu-ilmu yang belum didapatkan di negerinya (Marah Labid, 1/475).

Tafsir Kemenag Republik Indonesia juga turut memberi penjelasan bahwa dalam tiap-tiap kelompok umat Islam, harus ada yang bersedia mendalami dan menekuni ilmu, baik itu ilmu yang berkaitan dengan agama atau yang lainnya. Hal tersebut bertujuan agar bisa mengembangkan dan memajukan dirinya, baik sebagai personal maupun sebagai bagian dari kelompok, dan sebagai bagian dari masyarakat tanah airnya. (Tafsir Kemenag RI, 4/234).

Hasbi ash-Shiddieqy dalam tafsirnya mengutarakan bahwa jihad menuntut ilmu sama pentingnya dengan membela tanah air. Sebab tanah air, membutuhkan tentara yang mampu membela dan mempertahankannya dengan kekuatan senjata. Upaya tersebut tentunya dibarengi dengan keahlian dalam mendalami ilmu-ilmu tertentu untuk menyiapkan strategi dalam menjalankan kebijakan-kebijakan yang dapat memajukan tanah air. Hal tersebut dapat dikategorikan sebagai salah satu upaya cinta tanah air melalui berbagai bidang yang dikuasai (Tafsir al-Qur’anul Majid, 2/1760).

Baca Juga: Tiga Niat dalam Menuntut Ilmu

Refleksi Ayat

Perwujudan cinta tanah air dapat dilakukan melalui berbagai cara. Ini tergantung pada peran masing-masing personal. Pada konteks sekarang, bisa saja untuk pelajar atau mahasiswa, bentuk cinta tanah air diwujudkan dengan jihad belajar atau menuntut ilmu dengan sungguh-sungguh.

Dalam konteks ini pula, ayat ini memberi petunjuk agar tidak menuntut ilmu semata-mata hanya untuk mengejar gelar sarjana atau jabatan tertentu. Sejatinya kesempatan tersebut menjadi tanggung jawab bagi seseorang tersebut, bahwa ilmu yang akan diperoleh kelak dapat dibagikan kepada orang-orang di sekitar mereka, termasuk pada tempat tinggal atau tanah airnya.

Demikian pula dengan peran-peran yang lain. Masing-masing mempunyai perannya sendiri, namun idelanya memang setiap peran yang dijalani harus selalu dilandasi dengan ilmu, sehingga tindakannya bisa dipertanggungjawabkan.

*Artikel ini hasil kerja sama antara tafsiralquran.id dan prodi IAT UIN Sunan Ampel, Surabaya.

Iltifat Dhamir dalam Alquran

0
Iltifat Dhamir dalam Alquran

Alquran merupakan kitab suci dengan bahasa yang unik dan mengandung sastra tinggi. Salah satu keunikan tersebut adalah penggunaan iltifat. Ayat-ayat yang mengandung iltifat memiliki perbedaan struktur bahasa jika dibandingkan dengan struktur bahasa Arab pada umumnya.

Para pakar telah menguraikan iltifat dalam sejumlah definisi. Dalam Fan al-Balâghah, Abdul Qadir Husein (2005) misalnya menyatakan bahwa iltifat merupakan peralihan penggunaan kata ganti (dhamir) dari bentuk khithab atau ghaib atau takallum ke bentuk lain dari bentuk-bentuk tersebut.

Senada dengan definisi tersebut, Abd al-Mu’thy ‘Azafah (1985) dalam Qadhiyyatu al-I’jâz al-Qurâny menjelaskan bahwa iltifat merupakan peralihan penutur dari menggunakan bentuk mukhatabah (dialogis) kepada tutur ikhbar (infomatif) atau dari ikhbar kepada mukhatabah dan sebagainya.

Lebih luas dari definisi tersebut, Muhammad Abdul Muthallib (1994) dalam al-Balaghah wa al-Uslubiyyah mengungkapkan, iltifat merupakan peralihan dari suatu gaya bahasa kepada gaya bahasa lain yang berbeda dengan gaya bahasa pertama.

Penulis Uslub al-Iltifat fi al-Balagat al-Qur’aniyah, Hasan Thabl (1998) juga melihat bahwa peralihan penggunaan sebuah bentuk kata kepada bentuk lain merupakan salah satu kajian iltifat. Hasan Thabl bahkan mengkategorikan iltifat kepada beberapa bentuk yang tidak hanya melibatkan dhamir saja tetapi juga mencakup pola morfologi, struktur nahwu, gender, bilangan, partikel dan unit leksikologi.

Demikianlah uraian para pakar tentang definisi iltifat. Perbedaan definisi disebabkan karena perbedaan sudut pandang mereka dalam membatasi iltifat. Namun demikian, mereka tetap melihat bahwa peralihan gaya bahasa tertentu menjadi gaya bahasa lainnya merupakan kajian iltifat. Untuk selanjutnya, tulisan ini hanya akan membahas iltifat dhamir yang terdapat di dalam Alquran.

Baca Juga: I’rab Alquran: Ragam Badal dalam Alquran

Iltifat Dhamir

Alquran mengandung banyak ayat yang menggunakan iltifat dhamir yakni peralihan penggunaan kata ganti dari satu bentuk ke bentuk lain. Secara mendasar, kata ganti dapat berbentuk takallum atau kata ganti orang pertama, khitab atau kata ganti orang kedua, dan ghaib atau kata ganti orang ketiga. Peralihan penggunaan kata ganti tersebut dari satu satu bentuk ke bentuk lain akan menimbulkan iltifat dhamir.

Iltifat dhamir sengaja diciptakan untuk maksud-maksud tertentu. Dalam Burhan fi ‘Ulum Al-Quran, Imam az-Zarkasyi menguraikan bahwa iltifat dhamir mempunyai fungsi umum dan fungsi khusus. Secara umum iltifat dhamir berfungsi untuk menunjukkan kreativitas, merangsang pembaca, mendatangkan ketenangan, memperluas alur bicara, serta memperlancar irama dan rima. Para pakar ilmu bayan juga menguraikan bahwa jika suatu ujaran disampaikan dalam satu gaya bahasa dan berkepanjangan, gaya bahasa tersebut sebaiknya diubah.

Secara khusus, iltifat dhamir memiliki fungsi berbeda-beda dan tergantung pada konteks dan maksud sipenutur. Diantara fungsi tersebut adalah mengingatkan apa yang hendak disampaikan oleh sipenutur. Hal tersebut misalnya terlihat dari penggunaan iltifat dhamir dalam Q. S Ya sin [36]: 22. Ayat tersebut berbunyi وَمَا لِيَ لا أَعْبُدُ الَّذِي فَطَرَنِي وَإِلَيْهِ تُرْجَعُونَ (Dan tidak ada alasan bagiku untuk tidak menyembah (Allah) yang telah menciptakanku dan yang hanya kepada-Nya-lah kalian akan dikembalikan).

Ayat ini pada dasarnya berbunyi وَمَا لَكَمَ لَا تَعْبُدُونَ الَّذِي فَطَرَكُمْ وَإِلَيْهِ تُرْجَعُونَ. Dalam ayat tersebut, terdapat iltifat dari dhamir khitab ke dhamir takallum yakni peralihan dari dhamir bermakna “kalian” pada kata تَعْبُدُونَ ,لَكَمَ dan فَطَرَكُمْ. Dhamir tersebut kemudian dialihkan menjadi dhamir takallum yang terdapat pada kata لِيَ ,أَعْبُدُ dan فَطَرَنِي.

Baca Juga: Balaghah Al-Qur’an: Majaz Isti’arah dan Penggunaannya dalam Al-Qur’an

Dalam Tafsir Al-Munir, Wahbah Zuhaili menceritakan bahwa ayat tersebut merupakan bagian dari nasehat Habib al-Najjar terhadap kaumnya. Dalam Burhan fi ‘Ulum Al-Quran, Imam az-Zarkasyi menguraikan bahwa dalam menasehati mereka, Habib al-Najjar menggunakan ujaran وَمَا لِيَ لا أَعْبُدُ الَّذِي فَطَرَنِي. Ujaran ini memberi kesan bahwa seakan-akan beliau sedang menasehati dirinya sendiri padahal beliau sedang menasehati kaumnya.

Dengan cara ini, Habib al-Najjar ingin bersikap baik dan berempati serta menunjukkan kepada kaumnya bahwa beliau menginginkan untuk mereka apa yang beliau senangi untuk diri sendiri. Kemudian, ketika telah menasehati dan menyelesaikan maksudnya itu, beliau menunjukkan asal usul ucapan tersebut yang tidak mengandung iltifat dan berkata وَإِلَيْهِ تُرْجَعُونَ.

Iltifat juga memiliki fungsi khusus yakni merendahkan dan menghina seseorang. Hal tersebut misalnya terlihat dari penggunaan iltifat dhamir dalam Q. S Maryam [18]: 88-89. Ayat tersebut berbunyi وَقَالُوا اتَّخَذَ الرَّحْمَنُ وَلَدًا لَقَدْ جِئْتُمْ شَيْئًا إِدًّا (Mereka berkata, “(Allah) Yang Maha Pengasih telah mengangkat anak.” Sungguh, kamu benar-benar telah membawa sesuatu yang sangat mungkar).

Dalam ayat tersebut, terdapat iltifat dari dhamir ghaib ke dhamir khitab yakni peralihan dari dhamir ghaib yang terdapat pada kata وَقَالُوا menjadi dhamir khitab pada kata جِئْتُمْ. Seandainya tidak terjadi peralihan, ayat tersebut berbunyi وَقَالُوْا اتَّخَذَ الرَّحْمَنُ وَلَدًا لَقَدْ جَاءُوْا شَيْئًا إِدًّا.

Baca Juga: Balaghah Al-Quran: Seni Tata Krama dalam Bahasa Al-Quran

Dalam Burhan fi ‘Ulum Al-Quran, Imam az-Zarkasyi menegaskan bahwa orang yang mengatakan bahwa Allah telah mengangkat anak harus dicela. Celaan akan lebih mengena dan terasa apabila orang yang dicela diposisikan sebagai lawan bicara (dhamir khitab), bukan sebagai orang ketiga (dhamir ghaib). Agar maksud tersebut tercapai, dhamir ghaib pada kata وَقَالُوا dialihkan menjadi dhamir khitab pada kata جِئْتُمْ. Dengan cara tersebut, celaan akan lebih terasa sebab mereka mengalami celaan secara langsung, tanpa jeda dan tanpa perantara.

Iltifat juga memiliki fungsi khusus yakni mengkhususkan hal yang disampaikan. Hal tersebut misalnya terlihat dari penggunaan iltifat dhamir dalam Q. S Fathir [35]: 9. Ayat tersebut berbunyi وَاللّٰهُ الَّذِيْٓ اَرْسَلَ الرِّيٰحَ فَتُثِيْرُ سَحَابًا فَسُقْنٰهُ اِلٰى بَلَدٍ مَّيِّتٍ فَاَحْيَيْنَا بِهِ الْاَرْضَ بَعْدَ مَوْتِهَاۗ كَذٰلِكَ النُّشُوْرُ (Allahlah yang mengirimkan bermacam angin, lalu ia (angin) menggerakkan awan. (Selanjutnya) Kami arahkan awan itu ke suatu negeri yang mati (tandus), lalu dengannya (hujan) Kami hidupkan bumi yang telah mati. Demikianlah kebangkitan itu).

Dalam ayat tersebut, terdapat iltifat dari dhamir ghaib ke dhamir takallum yakni peralihan dari kata اللَّهُ serta dhamir ghaib yang terdapat pada kata اَرْسَلَ menjadi dhamir takallum yang terdapat pada kata فَسُقْنٰ dan فَاَحْيَيْنَا. Dalam Burhan fi ‘Ulum Al-Quran, Imam az-Zarkasyi menguraikan bahwa peralihan tersebut menunjukkan kekhususan sebab menggiring awan ke tanah yang mati (فَسُقْنٰهُ) dan menghidupkan kembali bumi yang mati dengan hujan (فَاَحْيَيْنَا) merupakan pertanda kekuasaan luar biasa yang hanya mampu dilakukan oleh Allah.

Demikianlah uraian beberapa dari sekian banyak penggunaan iltifat dhamir dalam Alquran. Penggunaan iltifat dhamir tersebut menunjukkan bahwa bahasa Alquran itu unik dan berbeda dengan bahasa yang lazim digunakan penutur Bahasa Arab. Penggunaan iltifat dhamir juga menunjukkan bahwa peralihan dhamir tersebut dilakukan untuk maksud-maksud tertentu, bukan serta merta atau mengarah kepada inkonsistensi. Penggunaan iltifat dhamir juga menambah daftar mu’jizat Alquran disamping berbagai mu’jizat lainnya. Wallahu a’lam

Aksi Demo dalam Tinjauan Alquran

0
Aksi Demo dalam Tinjauan Alquran
Aksi Demo dalam Tinjauan Alquran

Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, seorang pemimpin tentu memiliki wewenang untuk menentukan kebijakan-kebijakan dalam mengatur rakyatnya. Di samping itu pemimpin juga dituntut untuk memiliki sifat adil, amanah, serta tidak zalim. Namun, sebagai manusia biasa adakalanya pemimpin melakukan hal-hal yang dianggap tidak benar oleh masyarakat dan menimbulkan ketidakpuasan. Sehingga, masyarakat pun melakukan aksi demo sebagai bentuk protes akan kepemerintahannya.

Sejatinya demonstrasi merupakan upaya dari masyarakat untuk mengkritik dan menyampaikan aspirasinya kepada pemerintah. Namun, dalam praktiknya sering kali demo ini dilakukan dengan cara yang tidak baik seperti merusak fasilitas umum, menyebabkan kemacetan, bahkan sampai menimbulkan korban jiwa. Selain itu, dalam aksinya para pendemo juga melontarkan ujaran kebencian dan juga caci maki kepada pemimpin. Padahal di dalam Alquran surah An-Nahl ayat 125 Allah memerintahkan untuk menegur seseorang dengan baik.

اُدْعُ اِلٰى سَبِيْلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِيْ هِيَ اَحْسَنُۗ اِنَّ رَبَّكَ هُوَ اَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيْلِهٖ وَهُوَ اَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِيْنَ

“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pengajaran yang baik, dan berdebatlah dengan mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu, Dialah yang lebih mengetahui siapa yang sesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui siapa yang mendapat petunjuk.”

Baca juga: Memahami Prinsip Demokrasi dalam Alquran

Dalam Tafsir Kemenag dijelaskan bahwa pada ayat ini Allah meminta Rasulullah untuk menyeru manusia ke jalan Allah dengan cara yang baik, yaitu tegas, benar, serta bijak, dan dengan pengajaran yang baik. Allah menjelaskan pada Rasulullah bahwa dakwah ini ialah untuk agama-Nya (Islam) dan agar mendapat rida Allah. Allah juga menyuruh Rasulullah untuk berdebat dengan siapapun yang menolak, menentang seruannya dengan cara yang baik pula.

Begitu juga penjelasan Hasbi Ash-Shiddieqy dalam Tafsir an-Nuur (jilid 3 hal. 2291) bahwa ayat ini berisi perintah untuk menyeru pada orang lain dengan hikmah, dengan tutur kata yang bisa mempengaruhi jiwa, dan dengan pelajaran-pelajaran yang baik, yang dapat diterima akal sehat dan tabiat manusia. Dan jika ada yang ingkar maka dipersilakan mendebat mereka dengan metode yang baik.

Baca juga: Kisah Alquran: Ratu Balqis, Pemimpin Perempuan nan Demokratis dan Diplomatis

Di dalam Islam sendiri mematuhi pemerintah ialah wajib hukumnya. Bahkan meski pemimpin tersebut zalim, kita masih diwajibkan untuk mematuhinya. Namun, kita juga memiliki kewajiban untuk mengingatkan pada kebaikan. Sebagaimana yang disabdakan oleh Rasulullah “Barang siapa di antara kalian melihat kemungkaran, maka hendaklah ia merubahnya dengan tangannya. Jika dia tidak mampu, maka dengan lisannya; dan jika dia tidak mampu juga, maka dengan hatinya. Itulah selemah-lemah iman.” (H.R. Muslim).

Jika dilihat dari penafsiran ayat di atas dapat disimpulkan bahwa dalam menasihati hendaklah dengan cara yang baik. Melakukan aksi demo sebenarnya boleh-boleh saja, mengingat Indonesia merupakan negara demokrasi. Namun, yang harus diperhatikan di sini ialah aksi demo haruslah dilakukan dengan baik, tidak menimbulkan kerusakan, kericuhan, dan tidak menggunakan ujaran-ujaran kebencian serta caci-maki. Jangan sampai kita menyampaikan kebaikan dengan cara yang tidak baik.

Baca juga: Prinsip-Prinsip Bernegara dalam Islam (Bagian 1)

Hal ini juga dijelaskan oleh Gus Baha dalam ceramahnya “Asal tidak merugikan orang lain, tidak anarkis, dan tidak mudarat bagi kelompok lain maka (demo) itu boleh. Namun sekali lagi saya ingatkan, demonstrasi itu dengan cara islami dan sesuai konstitusional, serta dengan cara yang baik”. Beliau bahkan juga mengatakan jika kita tidak menyuarakan suara (dengan cara yang baik) maka kita bersalah karena tidak ikut bertanggungjawab dalam proses bernegara. Karena bagaimana pun amar makruf dan nahi mungkar dalam Islam itu wajib hukumnya.

Konsep Kepemimpinan Berdasarkan Sila Kelima Pancasila

0
Konsep Kepemimpinan Berdasarkan Sila Kelima Pancasila

Dalam Pancasila terdapat nilai-nilai yang dapat menginspirasi terkait konsep kepemimpinan yang sesuai dengan semestinya, yakni sila yang kelima “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat  Indonesia”. Jika dikaitkan dengan konsep kepemimpinan berarti terdapat nilai keadilan yang harus dimiliki oleh setiap pemimpin. Setiap pemimpin harus memiliki sikap adil tanpa memilah dan memilih rakyatnya.

Keadilan merupakan hal yang harus dimiliki oleh setiap pemimpin. Dari sikap adil seorang pemimpin akan tercipta rakyat yang sejahtera. Selain itu, sikap adil juga telah banyak disebutkan dalam Alquran sebagai penegasan atau penguat bahwa keadilan dari seorang pemimpin merupakan hal yang sangat dibutuhkan.

Berkaitan dengan hal tersebut, Alquran menyebutkan asas keadilan dalam Q.S Almaidah [5]: 8 sebagai berikut.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ لِلَّهِ شُهَدَاءَ بِالْقِسْطِ ۖ وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَىٰ أَلَّا تَعْدِلُوا ۚ اعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَىٰ ۖ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ

Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, dan menjadi saksi-saksi (yang bertindak) dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap suatu kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlakulah adil karena (adil) itu lebih dekat dengan takwa. Bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah maha teliti terhadap apa yang kamu kerjakan.

Baca Juga: Al-Qawiyyu al-Amin Sebagai Idealitas Kepemimpinan

Dalam Tafsir Al-Misbah (Jilid 3, 41) disebutkan bahwa ayat tersebut membahas tentang perlunya menegakkan keadilan dan perlunya melaksanakan tugas-tugas dengan sempurna dalam hal apapun sesuai dengan porsinya dan melakukan setiap hal tersebut karena Allah. Lalu, apabila ingin melaksanakan kesaksia dan tugas-tugas, maka berusaha untuk menjadikan semua pihak senang. Dan apabila mempunyai musuh atau membenci seseorang, maka dengan sewajarnya saja. Sehingga sikap adil tetap ada dalam diri seseorang.

Sedangkan dalam Tafsir Al-Quranul Majid An-Nur (Jilid 2, 1046), ayat di atas memerintahkan untuk berlaku adil dalam bermuamalat baik terhadap kawan ataupun lawan. Selain itu, juga disebutkan larangan membenci dan memusuhi suatu golongan yang menyebaabkan hilangnya rasa keadilan. Karena sesungguhnya mukmin yang benar akan selalu berlaku adil dan tetap menahan hawa nafsunya.

Penjelasan yang senada dengan keadilan tersebut juga disebutkan dalam Q.S Alnisa’ [4]:135

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا كُوْنُوْا قَوَّامِيْنَ بِالْقِسْطِ شُهَدَاۤءَ لِلّٰهِ وَلَوْ عَلٰٓى اَنْفُسِكُمْ اَوِ الْوَالِدَيْنِ وَالْاَقْرَبِيْنَ ۚ اِنْ يَّكُنْ غَنِيًّا اَوْ فَقِيْرًا فَاللّٰهُ اَوْلٰى بِهِمَاۗ فَلَا تَتَّبِعُوا الْهَوٰٓى اَنْ تَعْدِلُوْا ۚ وَاِنْ تَلْوٗٓا اَوْ تُعْرِضُوْا فَاِنَّ اللّٰهَ كَانَ بِمَا تَعْمَلُوْنَ خَبِيْرًا

Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu penegak keadilan dan saksi karena Allah, walaupun kesaksian itu memberatkan dirimu sendiri, ibu bapakmu, atau kerabatmu. Jika dia (yang diberatkan dalam kesaksian) kaya atau miskin, Allah lebih layak tau (kemaslahatan) keduanya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang (dari kebenaran). Jika kamu memutarbalikkan (kata-kata) atau berpling (enggan menjadi saksi), sesungguhnya Allah maha teliti terhadap apa yang kamu kerjakan.

Baca Juga: Kriteria Pemimpin Ideal dalam Alquran (Bagian 1)

Dalam penjelasan Tafsir Kemenag, bahwa keadilan harus diberikan kepada semua manusia dalam segala hal. Dan tentang pemberian kesaksian, Allah memerintahkan untuk memberi saksi apa adanya secara adil tanpa memutarbalikkan kenyataan. Karena dari kesaksian tersebut akan menemukan jalan kebenaran, sehingga diharuskan untuk menjadi saksi yang senantiasa jujur dan adil. Allah memerintahkan untuk berbuat adil dan memberi saksi yang benar secara merata tanpa melihat siapa yang melakukan, baik itu saudara sendiri maupun bukan, orang kaya maupun orang miskin.

Berdasarkan konsep kepemimpinan Pancasila sila kelima, kedua ayat tersebut menjelaskan tentang hal yang sama terkait keadilan dan menjadi saksi yang adil. Dua hal tersebut merupakan salah satu dari ciri seorang pemimpin yang dijadikan panutan sesuai dengan tuntunan dalam Alquran, dan tentunya banyak disukai oleh kalangan masyarakat. Karena dengan adanya keadilan, maka akan tercipta ketentraman dalam masyarakat itu sendiri.

Walaupun dalam konsep yang sama tentang keadilan, kedua ayat tersebut memiliki perbedaan redaksi. Pada Q.S Alnisa’ [4]: 135 disebutkan berlaku adil dalam kesaksian walaupun kesaksian itu merugikan diri sendiri, orang tua, maupun kerabat sendiri. Sedangkan dalam Q.S Almaidah [5]: 8 menyebutkan bahwa kebencian terhadap suatu kaum tidak boleh mendorong seseorang untuk memberikan persaksian yang tidak adil.

Baca Juga: Tiga Karakter Kepemimpinan Rasulullah yang Patut Dicontoh

Jadi, dari penjelasan di atas dapat diarik kesimpulan bahwa konsep kepemimpinan yang sesuai dengan sila Pancasila yang kelima adalah tentang keadilan. Adil yang dimaksud bukan berarti harus sama, tetapi memberikan atau menempatkan sesuatu sesuai dengan porsinya. Maka senantiasalah berlaku adil, karena segala sesuatu yang dilakukan manusia akan terlihat oleh Allah swt.

Wallahu a’lam.

Memupuk Persaudaraan Antarumat Beragama

0
Memupuk Persaudaraan Antarumat Beragama

Indonesia terdiri dari beberapa agama, yang meliputi Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, dan Konghucu. Dari keenam agama tersebut tentu memiliki perbedaan, mulai tempat ibadah, kitab suci, serta hari besarnya. Maka, dari berbagai perbedaan yang ada tersebut, kerukunan perlu ditumbuhkan untuk memupuk persaudaraan.

Persaudaraan yang diperintahkan dalam Alquran tidak hanya kepada sesama agama, tapi juga kepada antarumat beragama. Ini merupakan alasan yang disebutkan dalam Alquran bahwa manusia satu dengan yang lain itu bersaudara, dan perintah untuk saling menjaga hubungan kekeluargaan, karena mereka berasal dari sumber yang sama. Sebagaimana yang di tegaskan dalam Q.S Alnisa’ [4]:1

Wahai manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakanmu dari diri yang satu (Adam) dan Dia menciptakan darinya pasangannya (Hawa). Dari keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Bertakwalah kepada Allah yang dengan nama-Nya kamu saling meminta dan (peliharalah) hubungan kekeluargaan. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan memperhatikanmu.

Baca Juga: Tiga Prinsip Menjaga Persaudaraan dalam Surah Al-Hasyr Ayat 9

Memupuk rasa persaudaraan antarumat beragama dapat dilakukan dengan cara menghormati atau menghargai satu sama lain dalam bentuk apapun, termasuk tata cara ritual agamanya masing-masing. Hal ini dilakukan untuk menciptakan kerukunan hidup antarumat beragama. Jadi, sudah seharusnya persaudaraan bangsa Indonesia selalu terjalin dalam setiap keadaan.

Sikap saling menghormati dan menghargai dengan tidak meremehkan atau merendahkan yang lain merupakan sikap yang harus dimiliki oleh setiap manusia. Karena dengan adanya sifat itu, seseorang bisa tahu bagaimana menghargai setiap perbedaan khususnya perbedaan agama.

Sebagaimana yang tercantum dalam dalam firman-Nya Q.S Alan’am [6]:108

وَلَا تَسُبُّوا الَّذِيْنَ يَدْعُوْنَ مِنْ دُوْنِ اللّٰهِ فَيَسُبُّوا اللّٰهَ عَدْوًا ۢ بِغَيْرِ عِلْمٍۗ كَذٰلِكَ زَيَّنَّا لِكُلِّ اُمَّةٍ عَمَلَهُمْۖ ثُمَّ اِلٰى رَبِّهِمْ مَّرْجِعُهُمْ فَيُنَبِّئُهُمْ بِمَا كَانُوْا يَعْمَلُوْنَ

Dan janganlah kalian memaki (sesembahan) yang mereka sembah selain Allah karena mereka nanti akan memaki Allah dengaan melampaui batas tanpa (dasar) pengetahuan. Demikian kami jadikan setiap umat menganggaap baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada Tuhan merekalah tempat kembali mereka, lalu dia akan memberitahukan kepada mereka apa yang telah mereka kerjakan.

Baca Juga: Toleransi Tidak Terbatas untuk non-Muslim

Ayat tersebut ditujukan kepada kaum muslim untuk menghargai bagaimana caranya bersikap terhadap sesembahan selain Allah. Serta, larangan untuk mencaci selain dari sesembahan kaum muslim, karena setiap hal buruk yang dilakukan akan berdampak buruk pula nantinya. Maka, rasa saling menghormati terhadap umat beragama sangat diperlukan agar tercipta persaudaraan antarumat beragama di Indonesia.

Dalam Tafsir Kemenag, menyebutkan tentang bagaimana menghadapi sesembahan antar kaum dan larangan untuk memaki sesembahan dari setiap kaum. Karena apabila memaki sesembahan mereka, maka akan mendapatkan balasan dari yang telah dihina dengan balasan yang lebih buruk. Dan sudah menjadi ketentuan bahwa setiap umat menganggap baik apa yang telah mereka lakukan.

Hal yang senada, juga dijelaskan dalam Tafsir Al-Misbah (Jilid 4, 243) menyebutkan bahwa ayat ini melarang memaki kepercayaan kaum musyrikin, karena hal tersebut tidak menghasilkan sesuatu yang terkait dalam kemaslahatan agama. Maka perlu menjauhi sifat yang menyebabkan pada salah penalaran terhadap pemahaman untuk mencegah segala macam faktor yang dapat menimbulkan kemudaratan antarumat beragama.

Kemudian dalam Q.S Alkafirun [109]: 6 telah disebutkan “Untukmu agamamu, dan untukkulah agamaku”. Dalam Tafsir Al-Misbah (jilid 15, 581-582) dijelaskan bahwa adanya kebebasan dalam beragama untuk memeluk dan menjalankan tugas agamanya masing-masing tanpa ada gangguan dari yang lain. Ayat ini juga sekaligus pengakuan timbal balik, bagi kamu agamamu dan bagiku agamaku. Sehingga, masing-masing pihak dapat melakukan apa yang dianggapnya baik dan benar.

Baca Juga: Jangan Menggunjing! Pesan Surat Al-Hujurat Ayat 12 Untuk Menjaga Tali Persaudaraan

Hal ini menunjukkan bahwa tidak ada paksaan untuk memilih agama yang ada. Sebagaimana yang telah di sebutkan dalam potongan ayat dalam firman Allah Q.S Albaqarah [2]: 256

لَآ اِكْرَاهَ فِى الدِّيْنِۗ

Tidak ada paksaan dalam menganut agama.

Jelas bahwa setiap manusia memiliki hak untuk memilih, beribadah dan memeluk agamanya masing-masing. Hal ini juga sudah tertera dalam UUD 1945 Tentang kebebasan beragama pasal 29 ayat 2 yang berbunyi: Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadah menurut agamanya dan kepercayaannya itu.

Dari penjelasan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa memupuk rasa persaudaraan antarumat beragama sangat diperlukan demi terwujudnya persatuan Indonesia yang  harmonis tanpa amembenci satu sama lain. Hal tersebut juga telah dipertegas dalam firman-firman Allah.

Maka, cara yang bisa dilakukan yaitu dengan bersikap saling menghormati, menghargai antarumat beragama, saling membantu sesama, tidak melakukan diskriminasi, dan tidak merendahkan agama lain. Karena berbuat kebaikan kepada siapapun baik itu sesama agama maupun beda agama akan berdampak baik dan apabila perbuatan kejahatan yang sering dilakukan maka akibat yang ditimbulkan pun tidak baik. Oleh karena itu, perbanyaklah berbuat baik kepada siapapun.

Wallahu a’lam

Deskripsi Ekspresi Wajah dalam Alquran

0
ekspresi wajah dalam Alquran
ekspresi wajah dalam Alquran

Alquran berisi pesan dan pedoman hidup untuk manusia sehingga perlu dibaca dan dipahami secara benar dan utuh. Untuk memastikan pemahaman pembaca, Alquran bukan hanya menggunakan bahasa verbal tetapi juga melibatkan bahasa nonverbal. Ekspresi wajah misalnya merupakan salah satu bahasa nonverbal yang dideskripsikan Alquran dalam menyampaikan pesan.

Ekspresi wajah merupakan salah satu bentuk perilaku manusia dalam interaksi sosial. Sebagai bagian dari bahasa nonverbal, ekspresi wajah berperan penting dalam interaksi manusia karena berfungsi sebagai panduan, penguat, atau pengganti bahasa verbal. Bahkan terkadang, bahasa nonverbal berupa ekspresi wajah itu lebih jujur daripada bahasa verbal.

Adapun dalam tulisan ini, ekspresi wajah yang dimaksudkan adalah ekspresi wajah yang dideskripsikan oleh Alquran terhadap subjek yang sedang dibicarakan. Dalam hal ini, subjek yang dimaksud terbatas pada wajah manusia di hari akhirat, baik wajah orang beriman maupun wajah orang kafir.

Baca Juga: Tafsir Surat al-Ghasyiyah Ayat 1-10: Melukiskan Kondisi Wajah Ketika di Akhirat

Ekspresi Wajah dalam Alquran

Terdapat banyak ayat Alquran yang mendeskripsikan wajah manusia di hari akhirat. Deskripsi tersebut misalnya terdapat dalam Q.S Yunus [10]:26. Dalam ayat tersebut Allah berfirman “Bagi orang-orang yang berbuat baik (ada pahala) yang terbaik (surga) dan tambahannya (kenikmatan melihat Allah). Wajah-wajah mereka tidak ditutupi debu hitam dan tidak (pula diliputi) kehinaan. Mereka itulah para penghuni surga. Mereka kekal di dalamnya.”

Dalam Jāmi’ al-Bayān ‘an Ta’wīl al-Qurān, Ibnu Jarir at-Ṭabari menguraikan, pada hari kiamat, wajah penghuni surga itu tidak suram, tidak gelap atau sedih. Dalam Tafsīr al-Qurān al-Aẓīm, Ibnu Katsir menguraikan, pada saat berkumpul di Mahsyar, wajah orang-orang yang berbuat baik itu tidak gelap, tidak suram atau merasa terhina baik secara lahir maupun batin. Sebaliknya, wajah mereka terlihat gembira. Hati mereka juga gembira.

Dalam Tafsir at-Tahrīr wa at-Tanwīr, Ibnu ‘Asyur menguraikan, القتر merupakan warna hitam yang meliputi kulit wajah karena duka dan ketakutan. Sementara الذِّلَّةُ berarti kehinaan yang tampak pada wajah orang yang terhina. Menurut Ibnu ‘Asyur, ayat tersebut menjelaskan bahwa wajah penghuni surga itu tidak gelap karena keletihan atau kehinaan, dan tidak pula terjadi sesuatu pada mereka yang mempengaruhi keletihan dan kehinaan.

Deskripsi wajah manusia pada hari akhirat juga terdapat dalam Q. S Yunus [10]:27. Dalam ayat tersebut Allah berfirman: “Orang-orang yang berbuat kejahatan (akan mendapatkan) balasan kejahatan yang setimpal dan mereka diliputi kehinaan. Tidak ada bagi mereka seorang pelindung (pun) dari (azab) Allah. Wajah-wajah mereka seakan-akan ditutupi kepingan-kepingan malam yang gelap gulita. Mereka itulah para penghuni neraka. Mereka kekal di dalamnya.”

Dalam Tafsir al-Munīr, Wahbah Zuhaili menguraikan, pada hari kiamat, wajah orang-orang kafir itu menghitam, seolah-olah wajah mereka ditutupi serpihan malam ketika hari gelap. Dalam at-Tahrīr wa at-Tanwīr, Ibnu ‘Asyur menguraikan, malam yang dimaksud di sini adalah malam gelap gulita dimana bulan dan semua bintang ditutupi awan. Menurut Ibnu ‘Asyur, pucatnya wajah orang kafir menyerupai kegelapan saat malam gelap gulita.

Baca Juga: Tafsir Aṡar as-Sujūd dan Kaitannya dengan Jidat Hitam

Deskripsi wajah manusia pada hari akhirat juga terdapat dalam Q.S. Al-Muthaffifiin [83]: 24. Dalam ayat tersebut Allah berfirman “Engkau dapat mengetahui pada wajah mereka gemerlapnya kenikmatan.” Dalam Tafsir al-Munīr, Wahbah Zuhaili menguraikan bahwa penghuni surga dapat dikenali dari wajah mereka yang penuh keanggunan, kemewahan, kebahagiaan, kelembutan serta dipenuhi kilauan cahaya indah berwarna putih. Allah telah menambah keindahan wajah mereka hingga tak dapat dideskripsikan oleh siapapun.

Deskripsi wajah manusia pada hari akhirat juga terdapat dalam Q.S. ‘Abasa [80]: 38-39. Dalam ayat tersebut Allah berfirman “Pada hari itu ada wajah-wajah yang berseri-seri, tertawa lagi gembira ria.” Dalam at-Tahrīr wa at-Tanwīr, Ibnu ‘Asyur menguraikan bahwa مُسْتَبْشِرَةٌ berasal dari kata بَشَرَ yang berarti gembira. Tambahan huruf س dan ت pada kata مُسْتَبْشِرَةٌ menunjukkan mubalaghah yakni bermakna sangat atau lebih. Dengan demikian, مُسْتَبْشِرَةٌ berarti sangat gembira.

Berkaitan dengan ayat tersebut, Wahbah Zuhaili dalam Tafsir al-Munīr juga menguraikan bahwa wajah orang beriman pada hari kiamat itu gembira, cerah dan bercahaya. Hal tersebut karena mereka mengetahui kebahagiaan dan martabat yang mereka miliki pada saat itu.

Deskripsi wajah manusia pada hari akhirat juga terdapat dalam Q.S. ‘Abasa [80]: 40. Dalam ayat tersebut Allah berfirman “Pada hari itu ada (pula) wajah-wajah yang tertutup debu (suram)”. Dalam Tafsir al-Munīr, Wahbah Zuhaili menguraikan, wajah-wajah orang kafir pada hari kiamat itu tertutup debu dan kotoran. Hal tersebut karena mereka merasa susah dan hina setelah melihat siksaan Allah yang disediakan untuk mereka.

Demikianlah cara Alquran menjelaskan keadaan manusia di hari akhirat dengan mendeskripsikan ekspresi wajah mereka. Mereka yang beriman dan berbuat baik melihat berbagai kenikmatan sehingga membuat mereka gembira dan tercermin dari wajah mereka yang bersinar dan berseri-seri. Adapun mereka yang kafir, mereka melihat berbagai azab dan membuat mereka takut dan susah serta tercermin dari wajah mereka yang murung dan muram.

Baca Juga: Reinkarnasi Tradisi Tabaruj Jahiliah di Era Modern

Deskripsi ekspresi wajah manusia pada hari akhirat ini dapat membantu pembaca Alquran dalam memahami kondisi serta emosi mereka. Bahkan deskripsi ekspresi wajah manusia ini mampu menggambarkan kondisi serta emosi mereka secara lebih detil dibandingkan dengan deskripsi dalam bentuk kata-kata. Hanya dengan membaca deskripsi wajah mereka, pembaca dapat memahami dan membayangkan kondisi dan emosi mereka secara lengkap dan utuh.

Pembaca Alquran dapat memahami kondisi dan emosi manusia pada hari akhirat melalui ekspresi wajah karena ekspresi wajah selalu mewakili kondisi dan emosi seseorang. Dalam sebuah artikel berjudul “Deep emotion change detection via facial expression analysis” dan diterbitkan oleh Jurnal Neurocomputing, Han dkk (2022) menegaskan bahwa ekspresi wajah adalah salah satu saluran terpenting untuk mengomunikasikan keadaan emosi seseorang.

Pendapat serupa juga datang dari Manalu dan Rifai (2024). Dalam artikel berjudul “Detection of human emotions through facial expressions using hybrid convolutional neural network recurrent neural network algorithm” dan diterbitkan di Jurnal Intelligent Systems with Applications, Manalu dan Rifai (2024) menegaskan bahwa emosi manusia terwujud melalui berbagai isyarat, termasuk pola bicara, bahasa tubuh, dan terutama ekspresi wajah.

Deskripsi Alquran tentang berbagai ekspresi wajah manusia pada hari akhirat ini menunjukkan bahwa Alquran menggunakan berbagai cara untuk menyampaikan pesan. Alquran tidak terbatas pada kata-kata yang diucapkan tetapi juga berisi deskripsi tentang situasi tertentu. Oleh karena itu, untuk memahami Alquran, yang dibutuhkan bukan hanya pemahaman tentang bahasa verbal Alquran, tetapi juga bahasa nonverbal yang dideskripsikan dalam bentuk ekspresi wajah dan bahasa tubuh. Wallahu a’lam

Hakikat Raya pada Momentum Idulfitri

0
bermaaf-maafan
Hari Raya Idulfitri

Sebuah perayaan, identik dengan telah berhasilnya seseorang mengarungi suatu hal yang dinilai sebagai tantangan baginya. Puasa, misalnya. Setelah mengarungi masa-masa menahan dari keinginan maupun kehendak hawa nafsu yang merupakan sebuah tantangan yang begitu tidak mudah bagi sebagian muslim, puasa di bulan Ramadan mengantarkan setiap muslim yang mengerjakannya kepada kebersihan jiwa, sehingga akan menjadi lebih mudah taqarrub kepada-Nya.

Lantas, apakah hari raya hanya diperuntukkan bagi orang-orang muslim yang telah menunaikan kewajiban puasa di bulan Ramadan? Bagaimana hakikat raya yang sesungguhnya? Mari simak tafsir Q.S. al-A’lā ayat 14-15 berikut.

قَدۡ أَفۡلَحَ مَن تَزَكَّىٰ  ١٤ وَذَكَرَ ٱسۡمَ رَبِّهِۦ فَصَلَّىَّ  ١٥

Sungguh beruntung orang yang menyucikan diri. Dan mengingat nama Tuhannya, lalu ia salat.

Raya atas Keberuntungan Bagi Orang yang Menyucikan Diri

Abdul Malik bin Qasim menuturkan, bahwa lafaz Aflaḥa diambil dari kata al-Falāḥ, yang bermakna al-Fauzu bi al-Maṭlūb, yakni berhasil mencapai apa yang dikehendaki [Tafsīr al-Qur’ān al-‘Aẓīm-Juz ‘Amma, 88]. Inilah hakikat dari orang yang benar-benar beruntung, yakni bilamana seseorang telah memberhasilkan diri menggapai apa yang dikehendaki. Namun, dalam konteks ini, dicapai dengan cara apa? Jawabannya adalah sebagaimana potongan ayat berikutnya: man tazakkā (bagi siapapun yang menyucikan diri).

Lafaz tazakkā diadopsi dari kata al-tazkiyyah, yakni al-taṭhīr yang berarti menyucikan atau membersihkan diri. Dan dari kata tersebut, melahirkan istilah serupa, yaitu zakāt. Fungsi zakat adalah pembersihan dan penyucian. Dalam Tafsir al-Sya’rawi (h. 501) dikatakan bahwa fungsi tersebut terjadi pada setiap elemen zakat, yaitu muzaki (orang yang mengeluarkan zakat), mustahik (penerima zakat), dan harta yang dizakatkan itu sendiri.

Baca juga: Merayakan Idulfitri; Momentum Maaf-memaafkan

Beberapa riwayat hadis mengatakan bahwa ayat ini berkenaan dengan perintah zakat fitrah. Katsir bin Abdullah bin Umar bin Auf diceritakan oleh ayahnya, bahwa kakeknya berkata: “Dari Rasulullah saw., sesungguhnya beliau memerintahkan untuk menunaikan zakat fitrah sebelum salat Id. Kemudian beliau menuturkan ayat qad aflaḥa man tazakkā wa dzakarasma rabbihī faṣallā.” [al-Riwāyāt al-Tafsīriyah fī Fatḥ al-Bārī, 3/1341]. Umar bin Abdul ‘Aziz juga mengomentari bahwa ayat ini berkenaan dengan perintah mengeluarkan zakat fitrah [Mukhtaṣar Tafsīr Ibnu Kaśīr, 2/631].

Seperti yang diketahui pada umumnya, bahwa salah satu prosesi dari Idulfitri adalah menunaikan zakat fitrah bagi yang telah memenuhi syarat. Maka, sebagaimana yang telah dipaparkan, bahwa zakat fitrah merupakan salah satu rukun Islam yang ditujukan untuk menyucikan jiwa. Sehingga, seseorang yang telah menyucikan jiwa dengan zakat fitrah, maka akan sampai pada hakikat raya yang sesungguhnya pada bulan berikutnya, tepatnya bulan Syawal sebagai Idulfitri.

Raya dengan Mengingat Nama Tuhannya

Setelah berakhirnya bulan Ramadan, memasuki bulan berikutnya pada malam satu Syawal sebelum pelaksanaan salat Id, dikumandangkanlah kalimat-kalimat takbir di sejumlah titik wilayah mayoritas muslim sebagai ungkapan mengekspresikan hari kemenangan. Merayakan atas telah berhasilnya menyucikan jiwa dengan menahan nafsu selama sebulan lamanya.

Baca juga: Makna Salat Id pada Hari Raya Idul Fitri

Ini berkenaan dengan redaksi ayat berikutnya, bahwa setelah membersihkan jiwa dengan zakat fitrah, maka wa żakarasma rabbihī faṣallā (Dan mengingat nama Tuhannya, lalu ia salat). Abu al-Mudzoffar al-Sam’ani, mengarahkan makna “mengingat” ini dengan cara takbir, mengangungkan nama Allah [Tafsīr al-Sam’ani, 6/210]. Di samping takbir, dikumandangkan pula bacaan-bacaan yang menunjukkan ke-Esa-an Allah, yaitu dengan tahlil [Fatḥ al-Raḥmān fī Tafsīr al-Qur’ān, 7/343]. Dengan demikian, maksud dari żakara adalah mengingat-Nya dengan mengumandangkan takbir dan tahlil sebagaimana pengumandangan takbir yang biasa didengar pada malam takbiran pada umumnya.

Kemudian, setelah dikumandangkannya takbiran hingga fajar tiba, maka faṣallā (lalu ia salat). Maksudnya ialah salat Idulfitri, sebagaimana dikatakan oleh al-Ḍaḥḥāk dan Ibnu Abbas [Tafsīr al-Qurṭubī, 20/21].

Kesimpulan

Hakikat raya yang sesungguhnya pada momentum Idulfitri adalah bagi mereka yang telah menjalankan puasa dengan sebaik-baiknya dan menunaikan zakat fitrah. Sehingga hal tersebut mampu membersihkan jiwa yang mampu mengantarkan kepada ketakwaan, dan semakin taqarrub kepada-Nya. Kemudian perayaan ini diekspresikan oleh setiap muslim dengan mengumandangkan kalimat takbir dan tahlil, serta ditambah pula tahmid pada malam satu Syawal sebagai permulaan hari kemenangan. Mengagungkan, meng-Esa-kan, dan mengungkapkan rasa syukur kepada-Nya.

Baca juga: Makna Id dan Makna Fitri

Fungsi Zakat Bagi Ekonomi dan Sosial Masyarakat

0
Mendo’akan Orang yang Berzakat: Surah At-Taubah Ayat 103
Zakat

Kewajiban membayar zakat bagi umat muslim bukan hanya berkaitan dengan aspek ketuhanan. Zakat juga erat kaitannya dengan aspek sosial dan ekonomi masyarakat. Pendistribusian zakat dari golongan mampu kepada golongan tidak mampu bisa menjadi sumber dana potensial yang dapat dimanfaatkan untuk membangun kesejahteraan bersama.

Ditilik dari sejarahnya, zakat mulai disyariatkan kepada umat Islam pada tahun ke-2 Hijriyah. Kewajiban zakat fitrah lebih dahulu turun kepada Rasulullah sebelum zakat mal, yaitu pada tanggal 28 Ramadan. Pada hari itu Nabi saw., memerintahkan dan mengajarkan pembayaran zakat kepada masyarakat dua hari hingga sebelum dilaksanakannya salat Idulfitri.

Sementara sebagian pendapat menyatakan bahwa anjuran zakat telah ada sejak Nabi masih berada di Makkah, bersamaan dengan perintah mendirikan salat. Sebab, ayat tentang perintah membayar zakat senantiasa beriringan dengan perintah mendirikan salat.

Dalam Alquran terdapat 82 ayat yang berisi perintah menunaikan zakat. Dari sekian ayat itu di antaranya adalah ayat-ayat makiyah. Ini berarti semenjak munculnya Islam telah memiliki perhatian terhadap problem kemiskinan dan masalah sosial dalam masyarakat.

Zakat dapat memberikan kemanfaatan untuk individu dan berfungsi sebagai penggerak ekonomi bagi orang-orang di lingkungan yang menjalankan sistem zakat tersebut. Hal ini kemudian mengantarkan zakat untuk memainkan peranannya sebagai instrumen yang memberikan kemanfaatan secara kolektif.

Fungsi Zakat Bagi Muzaki dan Mustahik

Allah berfirman dalam surah At-Taubah ayat 103 sebagai berikut.

خُذْ مِنْ اَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيْهِمْ بِهَا وَصَلِّ عَلَيْهِمْۗ اِنَّ صَلٰوتَكَ سَكَنٌ لَّهُمْۗ وَاللّٰهُ سَمِيْعٌ عَلِيْمٌ

“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, yang dengannya kamu membersihkan dan menyucikan mereka dan doakanlah mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”

Adapun kata tuthahhiruhum wa tuzakkīhim (kamu membersihkan dan menyucikan mereka) menurut An-Nuhas dan Makki seperti yang dikutip dalam Tafsir al-Qurthubi (8/626) merupakan sifat dari kata zakat, yaitu membersihkan dan menghiasi jiwa dengan aneka kebajikan. Susunan kedua kata itu mengisyaratkan bahwa membersihkan diri dari dosa harus didahului dari upaya menghiasi diri (Tafsir al-Mishbah, 5/236).

Baca juga: Ayat Zakat dan Isyarat tentang Sumber Pendapatan Negara

Fungsi zakat adalah pembersihan dan penyucian. Dalam Tafsir asy-Sya’rawi (h. 501) dikatakan bahwa fungsi tersebut terjadi pada setiap elemen zakat, yaitu muzaki (orang yang mengeluarkan zakat), mustahik (penerima zakat), dan harta yang dizakatkan itu sendiri.

Menurut Hasbi Ash-Shiddiqi, dari sisi muzaki, zakat itu dapat menyucikan diri dari kotoran kikir, rakus, dan materialistis yang merupakan sifat dan watak yang hina. Sifat tersebut pada akhirnya menjadikan manusia enggan memberikan hartanya kepada orang lain walau sekecil apapun.

Ketika sifat kikir dan rakus tersebut dibiarkan, maka akan sangat berbahaya baik bagi individu maupun bagi kehidupan bermasyarakat. Sifat kikir dan rakus ini akan mendorong manusia untuk saling menjatuhkan bahkan sampai menumpahkan darah, menjual agama, bahkan rela mengkhianati negaranya (Daur al-Zakah, h. 42).

Baca juga: Semangat Filantropi dalam Alquran dan Keadilan Ekonomi

Kewajiban zakat bagi seorang hamba memiliki peran penting untuk sedikit demi sedikit membunuh sifat-sifat tercela tersebut. Dengan adanya zakat, dia dipaksa untuk memberikan sebagian harta yang Allah titipkan kepada orang yang berhak.

Dengan harapan, hal itu dapat membiasakannya untuk bisa saling berbagi dan bersimpati atas kehidupan orang lain yang kesejahteraannya jauh di bawahnya. Sehingga pada akhirnya nanti dia tidak hanya mengeluarkan zakat. Akan tetapi lebih dari itu, dia akan mulai memberikan sedekah yang melebihi dari nilai zakatnya sebagaimana yang telah dilakukan oleh Nabi dan para salaf.

Selain membersihkan dan menyucikan hati muzaki, zakat pada akhirnya juga mampu menyucikan hati mustahik dari sifat-sifat, seperti iri, dengki, dan amarah. Ketiga sifat tersebut sering sekali dipicu oleh tingginya tingkat kesenjangan dalam masyarakat. Sifat tersebutlah akar terjadinya kriminalitas dan perampasan harta oleh mereka yang merasa termarjinalkan.

Zakat sebagai Intrumen Pembangun Ekonomi Sosial

Di sisi lain, Wahbah al-Zuhaili menerangkan bahwa zakat juga memiliki makna tumbuh, berkembang, dan bertambah. Dalam Tafsir al-Qurthubi (8/456) dijelaskan bahwa mengeluarkan harta disebut zakat (bertambah), padahal sesungguhnya zakat itu mengurangi harta muzaki. Namun, harta itu menjadi semakin berkembang dari sisi keberkahannya. Keberkahan itu dapat dirasakan dalam diri muzaki dan mustahik serta masyarakat luas.

Hal itu bisa dilihat dalam konteks ekonomi masyarakat, zakat yang merupakan ibadah maliyyah ijtimaiyyah (ibadah yang berkaitan dengan ekonomi keuangan kemasyarakatan) memiliki posisi yang sangat penting, strategis, dan menentukan untuk pemberdayaan pembangunan umat (Jamuan Ilahi Pesan al-Quran, h. 40).

Zakat yang dibayarkan oleh muzaki memberi keuntungan dan efek positif bagi berbagai pihak (multiplier effect), menumbuhkan kesuburan kehidupan sosial ekonomi masyarakat secara adil dan merata. Dengan meningkatnya pertumbuhan ekonomi masyarakat, otomatis akan melancarkan perputaran modal dan meningkatkan pertumbuhan perekonomian masyarakat.

Baca juga: Kritik Alquran Terhadap Kesenjangan Sosial

Dalam hal ini, zakat yang merupakan salah satu instrumen distribusi kekayaan dalam Islam memiliki peran dan fungsi untuk menciptakan keadilan ekonomi dan sosial. Selain itu, zakat juga berfungsi mengurangi kesenjangan ekonomi, kelemahan fisik, maupun mental, dan menghindarkan dari bencana-bencana kemasyarakatan lainnya, serta dapat mempererat hubungan sosial dalam masyarakat.

Sebagaimana penjelasan Qardawi dalam Hukum Zakat (h. 876), zakat mampu memberikan ikatan yang kuat antara muzaki dengan masyarakat yang ada di sekitarnya. Ikatan tersebut akan selalu dibingkai oleh cinta kasih serta dipadukan dengan sifat persaudaran dan saling tolong-menolong yang mengantarakan pada rasa aman, tenteram, dan harmonis. Jika suasana tersebut telah ada dalam masyarakat, ini kemudian akan menjadi salah satu pilar keberhasilan pembangunan ekonomi dan kemajuan negara. []

Refleksi Surah Al-Mā’ūn: Kritik Sosial dalam Bingkai Keimanan

0

Surah Al-Mā’ūn adalah surah ke-107 dalam Alquran. Surah Al-Mā’ūn menurut jumhur ulama tergolong ke dalam surah makkiyah, tetapi sebagian ulama seperti Ibnu Abbas dan Qatadah mengkategorikan surah ini sebagai surah madaniyah. Pendapat lainnya menyebutkan bahwa ayat 1-3 tergolong makkiyah; berkenaan dengan Ash bin Wail, sedangkan sisanya tergolong madaniyah, berkenaan dengan Abdullah bin Ubay.

Al-Wāhidī dalam kitab Asbāb an-Nuzūl mengutip satu riwayat yang menyebutkan bahwa surah Al-Mā’ūn turun berkenaan dengan Abu Sufyan yang rutin menyembelih dua hewan kurban setiap minggu. Ketika seorang anak yatim datang meminta bagian kepadanya, dia memukulnya dengan tongkat.

Dari beberapa pendapat ini dapat disimpulkan bahwa surah Al-Mā’ūn turun berkenaan dengan orang-orang kafir Quraisy dan orang-orang munafik. Namun, meski diturunkan secara khusus kepada mereka, hendaknya orang-orang beriman menjadikan pesan-pesan dalam surah ini sebagai pembelajaran supaya tidak tergolong sebagai pendusta agama.

(1) Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama?

Permulaan surah Al-Mā’ūn diawali dengan sebuah pertanyaan kepada Nabi. Pertanyaan di permulaan ayat ini bukan untuk meminta jawaban, tetapi bertujuan menarik perhatian. Harapannya, orang yang mendengar ayat ini benar-benar memperhatikan ciri-ciri orang yang mendustakan agama sehingga mereka yang mengaku beragama berupaya menghindarinya. Demikian kata Al-Alusi dalam tafsirnya, Rūh al-Ma’ānī.

Kata Dīn dalam Alquran bisa bermakna ملة (agama), الحساب (perhitungan), dan الجزاء (balasan). Dengan demikian, orang yang mendustakan agama dalam ayat ini adalah orang-orang yang tidak percaya kepada ajaran agama, hari kiamat, dan tentu saja kepada ganjaran dan balasan dari Allah kelak di akhirat.

Mayoritas mufasir, di antaranya Ibnu Katsīr, Al-Baghawī, dan Al-Qurthūbī mengambil makna الجزاء والحساب dalam memaknai kata Dīn dalam ayat ini; yaitu mendustakan atau mengingkari adanya perhitungan dan balasan amal di akhirat kelak. Konsekuensi dari ketidakpercayaan ini adalah mereka tidak taat kepada perintah dan larangan Allah. Sebagaimana disinggung oleh At-Thabarī dalam tafsirnya. Ketika mereka tidak percaya kepada ganjaran amal, mereka akan berbuat sekehendak hatinya dan semena-mena kepada sesama, termasuk kepada anak yatim dan orang miskin.

(2) Itulah orang yang menghardik anak yatim,

(3) dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin.

Setelah pertanyaan yang dilontarkan dalam ayat pertama, ayat ke-2 dan ke-3 kemudian memberikan jawaban apa ciri-ciri pendusta agama. Mereka adalah orang yang menghardik anak yatim dan tidak menyuruh memberi makan orang miskin. Pada ayat ke-2 ini kita menjumpai kata دعّ – يدعّ yang mengandung makna “menolak memberikan haknya dengan cara kasar dan menyakiti”. Kemudian pada ayat ke-3 kita menjumpai kata لا يحضّ yang maknanya “tidak mau menyuruh orang lain”.

Abu Hayyan mengomentari bahwa penggunaan redaksi يحض mengisyaratkan bahwa ketika seseorang tidak mau menyuruh orang lain memberi makan orang miskin, maka dipastikan dia sendiri juga tidak melakukannya. Kata يكذب، يدع، dan يحض menggunakan redaksi fiil mudhari’ yang mengandung makna istimrār; artinya perbuatan itu-menurut Ibnu ‘Asyūr-terjadi terus menerus dan berulang. Sehingga dapat disimpulkan bahwa ketidakpedulian terhadap orang-orang miskin dan perampasan hak anak yatim ini tidak terjadi sekali-dua kali, tetapi berkali-berkali dan sering terjadi.

Baca juga: Munasabah Surah Quraisy dan Al-Ma’un

Kedua perbuatan tersebut mewakili setiap sikap yang mengindikasikan penindasan terhadap kaum lemah, yang mana sikap menindas ini merupakan sesuatu yang dapat dilihat dengan mata telanjang. Dengan demikian, menetapkan sesuatu yang dapat dilihat sebagai ukuran seseorang dikategorikan sebagai pendusta agama akan membuat orang-orang menghindarinya.

Kondisi fakir-miskin dan anak yatim saat itu termarjinalkan sehingga mereka tidak mendapatkan hak-hak mereka. Kita dapat melihat bagaimana upaya Alquran mengatasi masalah ini dengan pendekatan teologis; yaitu dengan menjadikan sikap ketidakpedulian kepada orang miskin dan menyakiti anak yatim dikategorikan sebagai sikap mendustakan agama.

Dengan pendekatan ini, kaum muslimin akan berlomba-lomba menyantuni anak yatim, dan berhati-hati saat berurusan dengan harta mereka. Umat Islam juga akan berupaya menyejahterakan fakir-miskin. Setidaknya jika tidak mampu memberi orang miskin makan, mereka akan meminta orang lain yang sekiranya mampu. Dapat dibayangkan betapa besar dampak positif yang dihasilkan dari implementasi ayat ini.

Baca juga: Alquran dan Upaya Pengentasan Kemiskinan

Anak yatim dan fakir miskin mendapat perhatian yang serius dalam Alquran; dapat dilihat dari beberapa ayat yang menyinggung masalah kepedulian terhadap mereka. Bahkan secara khusus Alquran menerangkan perihal pengelolaan harta anak yatim dalam surah Al-An’am: 152 dan Al-Isra’: 34. Larangan membentak anak yatim juga disebutkan dalam Ad-Dluha ayat 9.

Rasulullah dalam banyak riwayat memberi pesan yang menyiratkan kepedulian terhadap anak yatim sebagai perbuatan istimewa. Masalah anak yatim ini memang menjadi masalah krusial di tengah masyarakat Arab pada saat itu, bahkan sejak masa pra-Islam. Jumlah anak yatim terus meningkat seiring dengan banyaknya korban yang tewas dalam peperangan.

(4) Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang salat,

(5) (yaitu) orang-orang yang lalai dari salatnya,

(6) orang-orang yang berbuat ria,

(7) dan enggan (menolong dengan) barang berguna.

Ayat ke-4 sampai ayat ke-6 mengecam perbuatan melalaikan salat dan ria dalam ibadah. Kedua sifat ini merupakan ciri khas orang munafik sebagaimana disinggung juga dalam surah An-Nisa’: 142. Mereka melakukan salat ketika di hadapan orang Islam, dan meninggalkannya ketika sendirian. At-Thabari berpendapat bahwa makna ساهون adalah bermain-main dengan salat, melalaikannya, menyibukkan diri dengan hal lainnya, dan menyia-nyiakan salat beserta waktunya.

Ayat ke-6 menunjukkan bahwa kaum munafik melaksanakan salat hanya untuk menutupi kekufuran mereka, bukan karena mengharap ganjaran ataupun karena takut siksa Allah. Memang, pada hakikatnya mereka sama halnya dengan orang-orang kafir yang tidak percaya kepada ajaran Islam dan tentu saja tidak percaya dengan perhitungan amal dan adanya ganjaran amal di akhirat. Hanya saja mereka mengaku beriman untuk mendapat perlindungan keamanan dan mengambil keuntungan dari umat Islam.

Baca juga: Makna Ria dalam Surah Al-Maun [107] Ayat 6

Ar-Rāzī menerangkan, setelah menjelaskan tentang salat, ayat berikutnya menjelaskan tentang shilāt (hubungan dengan sesama). Kata الماعون dalam ayat ini dimaknai dengan zakat oleh sebagian mufasir. Namun, mayoritas memaknainya sebagai sesuatu yang secara kebiasaan tidak selayaknya ditolak saat diminta, baik oleh orang fakir maupun orang kaya. Termasuk di sini adalah memberikan api sebagai pencahayaan atau penghangat, memberikan air ataupun garam. Kata الماعون meliputi hal-hal kecil yang menjadi kebutuhan sehari-hari dalam kehidupan bermasyarakat, seperti kapak, cangkul, ayakan, timba, dll. Orang yang tidak mau memberi atau meminjamkannya dianggap berakhlak buruk dan punya tabiat jelek.

Di sini dapat dilihat bahwa kualitas salat punya dampak kuat terhadap hubungan sosial. Orang yang menjalankan salat dengan baik akan memiliki kepedulian sosial yang baik pula. Sebaliknya, salat yang dilakukan atas dasar mencari validasi dari orang lain, salat yang hanya sebatas gerakan-gerakan saja sebagaimana yang dilakukan kaum munafik, tidak akan tercermin dari perilaku sosialnya. Ar-Rāzī mengatakan, dalam ayat ini seolah-olah Allah berfirman: “Salat itu untukku, sedangkan الماعون untuk makhlukku…”.

Baca juga: Telaah Lafaz ‘Wailun’ di Awal Surah: Dosa Menyangkut Hak Manusia

Kesimpulannya, kualitas keimanan sesorang akan berdampak pada ketaatannya menjalankan ajaran-ajaran dan perintah agama, termasuk di antaranya adalah ajaran untuk menjalin hubungan baik dengan sesama, baik dari kalangan yang berstatus sosial tinggi, menengah, maupun bawah. Keyakinan bahwa setiap amal perbuatan akan diperhitungkan dan akan mendapat balasan baik dan buruk dari Allah dapat menuntun seseorang untuk terus menjaga diri. Dalam surah Al-Mā’ūn terdapat dialektika Alquran dengan kondisi masyarakat saat itu. Islam datang dengan membawa ajaran yang merekonstruksi tatanan sosial yang rusak, ketika penindasan dan perbudakan dianggap sebagai hal yang biasa.

Upaya perbaikan ini dapat dilihat dari beberapa bentuk penebusan pelanggaran yang diterapkan syariat Islam, mayoritas berupa denda yang berdampak langsung pada perbaikan tatanan sosial, seperti memerdekakan budak, memberi makan orang miskin, dll. Sehingga dalam rentang waktu 23 tahun turunnya Alquran, masyarakat Arab berubah drastis dari masyarakat dengan stratifikasi sosialnya yang tinggi, amoral, gemar berperang, menjadi masyarakat yang menjunjung nilai-nilai kesetaraan, bermoral, dan cinta damai.

Menyongsong Lailatulqadar: Malam Turunnya Alquran

0
Anjuran membangunkan keluarga ketika menyambut lailatulqadar
Lailatulqadar

Lailatulqadar yang diartikan sebagai malam paling mulia merupakan malam turunnya Alquran dan titik tolak dari segala kemuliaan yang dapat dicapai. Malam tersebut sangat dinanti-nantikan oleh orang-orang yang beriman untuk berbondong-bondong mengerjakan amalan dan mengharapkan pahala serta keberkahan darinya.

Harapan munculnya keberkahan pada malam mulia ini dikarenakan para malaikat turun ke bumi hingga dikatakan oleh para mufasir bahwa keadaan bumi ketika itu dipenuhi malaikat. Mereka menyaksikan aktifitas manusia dan melaporkan amal kebaikan yang dilakukan hamba-hamba tersebut kepada Allah.

Tafsir Surah Al-Qadr: Alquran dan Malam Kemuliaan

Kemuliaan terkait malam Lailatulqadar ini diterangkan dalam Surah Al-Qadr bahwa malam tersebut lebih baik dari seribu bulan. Penyebutan kata seribu dalam Tafsir al-Baidhawi (5/327) diartikan dengan banyak (bukan menunjukkan bilangan angka). Menurut asy-Syawkani dalam Tafsir Fath al-Qadir (5/575), seribu bulan maknanya sepanjang masa karena kebiasaan bangsa Arab ketika itu selalu memakai angka seribu untuk menunjukkan jumlah yang paling banyak. Sebab, Alquran diturunkan pada malam itu sebagai kitab suci terakhir yang berlaku sampai akhir masa.

Pendapat yang sama dikemukakan dalam Tafsir al-Maraghi (10/361) bahwa malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan, sebab pada malam itu awal terbitnya cahaya hidayah dan permulaan syariat baru yang diturunkan demi kemaslahatan umat manusia. Malam itu merupakan malam peletakan batu pertama bagi agama baru, yang merupakan penutup bagi seluruh agama samawi di setiap tempat dan zaman.

Pendapat ini juga didukung Q.S. al-Qadr itu sendiri yang menegaskan bahwa Alquran diturunkan pada malam tersebut. Dalam Tafsir al-Khazin (876) diterangkan Allah menurunkan Alquran sekaligus dari Lawh al-Mahfudz menuju Bait al-Izzah di langit dunia pada Lailatulqadar. Imam at-Thabari menambahkan bahwa malam Alquran diturunkan dengan cara sekaligus ke langit dunia adalah pada 24 Ramadan.

Baca juga: Tiga Peristiwa Bersejarah di Bulan Ramadan

Ayat pertama yang menjelaskan tentang turunnya kitab bagi umat manusia tersebut, Allah tidak menyebutkan Alquran secara eksplisit kecuali hanya kata ganti (dhamir) “hu”. Penggunaan kata ganti di ayat tersebut memberikan petunjuk kekhususan dan keagungan yang dimiliki sehingga tak perlu lagi penyebutan kata Alquran secara eksplisit (al-Asas Fi al-Tafsir, 6/615).

Hal itu juga mengisyaratkan bahwa Alquran yang mulia selalu hadir dalam benak manusia karena ayat-ayatnya memberi pengaruh luar biasa di tengah masyarakat muslim maupun nonmuslim (Tafsir al-Misbah, 15/424).

Baca juga: Tips Mendapat Malam Lailatulqadar Ala M. Quraish Shihab

Ada hal yang sangat menarik dari pernyataan Lailatulqadar sebagai malam yang lebih baik dari seribu bulan sebagaimana telah disebutkan di atas bahwa lantaran Alquran diturunkan pada malam itu ditambah lagi ikutnya para malaikat berparade sebagai rasa kagum terhadap peristiwa agung ini. Isyarat yang dapat dipahami dari peristiwa ini adalah agar manusia mengagungkan Alquran dan menjadikannya sebagai pedoman dan petunjuk dalam segala lini kehidupan.

Q.S. al-Qadr yang mengabarkan berita tersebut sejatinya hendak memberikan sugesti dan motivasi bagi manusia untuk menjadikan Alquran sebagai imam yang dapat membimbing dan menentukan arah serta tujuan hidupnya. Dalam konteks inilah manusia akan dinilai dengan berbagai-bagai atribut kebaikan yang paradigmanya sudah tertera secara jelas dalam Alquran.

Orang-Orang yang Mendapatkan Lailatulqadar

Sebagian ulama berpendapat bahwa Lailatulqadar hanya terjadi sekali dan tidak akan ada lagi sesudahnya. Ibnu Hajar al-Asqalani menyebutkan alasan ulama, itu antara lain sebuah riwayat yang dinisbahkan kepada Nabi saw. yang menyatakan “Innaha Rufiat”; sesungguhnya Lailatulqadar telah terangkat, dalam arti sudah tidak akan datang lagi. Pendapat tersebut tidak dapat diterima kecuali jika yang dimaksud dengannya adalah hari pertama turunnya Alquran.

Sedang mayoritas ulama berpendapat bahwa setiap tahun terjadi Lailatulqadar berdasarkan isyarat dalam ayat “tanazzalul al-malaikatu” (Q.S. al-Qadr, 97: 4). Kata tersebut berbentuk kata kerja yang maknanya terjadi masa kini dan akan datang (mudhari). Itu artinya turunnya malaikat itu bersinambung secara terus-menerus (Tafsir al-Misbah, 15/425). Karenanya, ulama bersepakat bahwa Lailatulqadar akan terus berlangsung pada setiap bulan Ramadan untuk maslahat umat Nabi Muhammad sampai datangnya hari kiamat.

Adapun tentang penentuan waktu terjadinya, tidak ada yang dapat memprediksi secara pasti kapan terjadinya Lailatulqadar ini. Allah sengaja merahasiakannya agar hambanya mau berlomba-lomba mempersiapkan diri dan mencari keutamaan malam yang misterius ini (Menuai Hikmah Ramadhan dan Keistimewaan Lailatulqadar: 249).

Baca juga: Lailatulqadar dan Sa’atul Ijabah

Yang menjadi pertanyaan, apakah ketika Lailatulqadar datang akan menemui setiap orang yang terjaga pada malam kehadirannya itu? tidak sedikit umat Islam yang menduganya demikian. Namun, menurut Quraish Shihab dugaan itu keliru, karena hal itu dapat berarti bahwa yang memperoleh keistimewaan adalah yang terjaga baik untuk menyambutnya maupun tidak. Di sisi lain berarti bahwa kehadirannya ditandai oleh hal-hal yang bersifat fisik material, sedangkan riwayat-riwayat demikian tidak dapat dipertanggungjawabkan kesahihannya (Sketsa Alquran, 337).

Berdasarkan hal itu boleh jadi pahala dan keutamaan yang disediakan pada Lailatulqadar tidak akan pernah tersentuh kalau seseorang belum mempersiapkan dirinya dari jauh hari dengan segala bentuk ibadah. Salah satunya dengan mengagungkan Alquran dan menjadikannya pedoman dalam setiap tindak-lakunya.

Dengan demikian, prinsip aji mumpung dengan memacu diri untuk beribadah yang mengkhususkan hanya pada Lailatulqadar saja agaknya sangat jauh dari harapan. Bahkan sebaliknya, orang-orang yang taat jauh hari sebelumnya boleh jadi akan mendapatkan bonus tersebut meskipun pada malam itu berhalangan untuk melakukan ibadah seperti wanita yang sedang haid ataupun nifas. []