Beranda blog Halaman 41

Puasa Umat Nabi Muhammad saw. dan Umat Para Nabi Sebelumnya

0
puasa umat Nabi Muhammad dan puasa umat terdahulu
puasa umat Nabi Muhammad dan puasa umat terdahulu

Para Nabi mengajarkan cara menjalankan syariat Allah yang tidak sama satu dengan yang lainnya. Masing-masing dari cara tersebut mempunyai kelebihan dan keunggulannya tersendiri.

Sebagai misal, puasa umat Nabi Muhammad dan puasa umat para Nabi sebelumnya. Puasa adalah satu amal yang diwajibkan oleh Allah sejak Nabi Adam a.s. hingga Nabi Muhammad saw. sebagaimana dalam firman-Nya dalam Q.S. al-Baqarah [2]: 183 berikut.

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ كُتِبَ عَلَيكُمُ ٱلصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى ٱلَّذِينَ مِن قَبلِكُم لَعَلَّكُم تَتَّقُونَ

Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.

Pada ayat kamā kutiba ‘ala allażīna min qablikum, Abu Ja’far mengomentari bahwa kewajiban puasa memiliki keserupaan (tasybīh) antara kewajiban puasa bagi umat Nabi saw. dan umat-umat sebelumnya. [Tafsīr al-Ṭabari Jāmi’ al-Bayān, 3/410] Unsur tasybīh atau penyerupaan tersebut adalah dalam hal farḍiyyah-nya (kewajiban), bukan kaifiyyah-nya (pelaksanaan).

Baca Juga: Hikmah Disandingkannya Kewajiban Puasa dengan Kewajiban Umat Terdahulu

Syariat Puasa Umat Terdahulu

Secara umum dipahami bahwa puasa adalah menahan dari makan dan minum, serta syahwat. Lantas, apakah umat terdahulu juga demikian?

Puasa Nabi Isa a.s.,

Ketetapan puasa dilakukan dengan meninggalkan berbicara atau berkata. Sebagaimana dalam firman-Nya Q.S. Maryam ayat 26 berikut.

فَكُلِيْ وَاشْرَبِيْ وَقَرِّيْ عَيْنًاۚ فَاِمَّا تَرَيِنَّ مِنَ الْبَشَرِ اَحَدًاۙ فَقُوْلِيْٓ اِنِّيْ نَذَرْتُ لِلرَّحْمٰنِ صَوْمًا فَلَنْ اُكَلِّمَ الْيَوْمَ اِنْسِيًّاۚ

Makan, minum, dan bersukacitalah engkau. Jika engkau melihat seseorang, katakanlah, ‘Sesungguhnya aku telah bernazar puasa (bicara) untuk Tuhan Yang Maha Pengasih. Oleh karena itu, aku tidak akan berbicara dengan siapa pun pada hari ini.’”

Ibnu ‘Asyur memaknai bahwa ini bukan berarti mutlak tidak boleh berbicara sama sekali, melainkan pantang berbicara dari hal-hal yang tidak bermanfaat demi menggapai kesempurnaan dan keutamaan. [at-Taḥrīr wa at-Tanwīr, 2/155]

Demikian pula Ali as-Shabuni, beliau mengatakan bahwa perkataan tersebut merupakan sebuah isyarat, bukan berarti dilarang berbicara secara lafzi, jangan salah sangka. Mengutip riwayat Anas r.a., ayat innī nażartu li al-raḥmāni ṣauman, adalah berpuasa sekaligus diam. Artinya, umat Nabi Isa a.s. disyariatkan puasa dengan diharamkannya makan dan berbicara. [Mukhtaṣar Tafsīr Ibnu Kaṡīr, 2/449]

Syariat tersebut dilatarbelakangi dengan kisah sayyidah Maryam tatkala hendak melahirkan seorang anak tanpa bapak. Maka dalam kondisi tersebut, diam menjadi pilihan baginya agar tidak memunculkan desas-desus yang tidak-tidak. Toh, apabila dijelaskan-pun, mereka tidak akan memercayai keajaiban tersebut. Maka berdiam diri adalah pilihan yang tepat. [Taisīr al-Karīm al-Raḥmān, 492]

Baca Juga: Menjadi Sehat dengan Berpuasa di Bulan Ramadan

Puasa Nabi Daud a.s.

Disyariatkan berpuasa selama seumur hidup pada umat Nabi Daud a.s. Adapun pelaksanaannya ialah bergantian setiap hari, atau sehari puasa sehari tidak, begitu seterusnya. Syariat puasa Nabi Daud a.s. ini telah dijelaskan oleh Nabi saw. dalam hadis,

وَلِقَوْل النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِعَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا: صُمْ يَوْمًا وَأَفْطِرْ يَوْمًا، فَذَلِكَ صِيَامُ دَاوُدَ عَلَيْهِ السَّلَامُ، وَهُوَ أَفْضَل الصِّيَامِ

Rasulullah saw. bersabda kepada Abdullah bin Umar dan Ibnu Umar r.a.: “Puasalah sehari dan berbukalah sehari. Itu adalah puasanya nabi Daud a.s. dan itu adalah puasa yang paling utama. Aku menjawab, “Aku mampu lebih dari itu”. Nabi SAW bersabda, “Tidak ada lagi yang lebih utama dari itu”

Keistimewaan Puasa Umat Nabi Muhammad saw.

Melihat pemaparan pelaksanaan puasa umat terdahulu yang telah disebutkan, tampak perbandingan yang menunjukkan betapa istimewanya syariat puasa umat Nabi saw.

Pertama, pelaksanaan puasa bagi umat Nabi saw. jika dibandingkan dengan umat nabi lainnya adalah lebih mudah, dan kewajiban puasa tidak dibebankan dalam waktu yang lama.

Umat Nabi saw. hanya diwajibkan berpuasa setahun sekali selama sebulan. Sementara umat Nabi Isa a.s, selain menahan dari lapar, juga menahan dari berbicara atau berkata. Adapun umat Nabi Daud a.s., diwajibkan berpuasa selama seumur hidup, dengan pelaksanaan sehari puasa sehari tidak. Ini akan sangat sulit sekali bagi umat Nabi Muhammad saw, sebab secara fisik maupun psikis, umat ini lebih lemah jika diperbandingkan dengan umat-umat sebelumnya.

Bahkan, umat Nabi Muhammad saw. memperoleh keringanan apabila memiliki halangan untuk melaksanakan puasa, seperti dalam kondisi sakit, bepergian, maupun lansia. Sebagaimana disebutkan pada akhir ayat Q.S. al-Baqarah ayat 185 berikut.

يُرِيدُ ٱللَّهُ بِكُمُ ٱليُسرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ ٱلعُسرَ

Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.

Baca Juga: Keistimewaan Puasa Ramadan dan Manifestasi Kasih Sayang Tuhan

Ibnu Asyur mengomentari bahwa potongan ayat ini merupakan isti’nāf bayanī dari ayat sebelumnya yang dikatakan bahwa orang sakit, sedang dalam perjalanan, dan lansia diberi keringanan Allah untuk tidak dibebankan kewajiban berpuasa, namun disyariatkan mengganti puasa (kecuali lansia) di lain hari ketika telah mampu. Ini dikarenakan Allah menghendaki keringanan ketika hamba-Nya mengalami masyaqqah (kesulitan).  [at-Taḥrīr wa at-Tanwīr, 2/175]

Kedua, mengingat umat Nabi Muhammad saw. memiliki masa hidup di dunia jauh lebih sedikit daripada umat terdahulu, Allah menyisipkan satu hari pada bulan Ramadan sebagai promo memperoleh pahala besar-besaran, yakni Lailatulqadar. Amalan-amalan ibadah yang dilaksanakan pada hari itu dikalkulasikan sama dengan amalan selama seribu tahun.

Berdasar pemaparan ini, diketahui bahwa puasa bukanlah ibadah yang benar-benar baru untuk umat Nabi Muhammad, para Nabi dan umat sebelumnya juga mengemban syariat yang sama, hanya berbeda cara menjalankannya. Beberapa kemudahan dalam tuntunan puasa yang diberikan kepada umat Nabi Muhammad dibanding dengan umat terdahulu sangat mungkin adalah bentuk keistimewaan Nabi Muhammad dan umatnya. Wallah a’lam

Puasa Sebagai Pintu Menuju ‘Tajalli’

0
puasa sebagai pintu menuju tajalli
puasa sebagai pintu menuju tajalli

Puasa sebagai pintu menuju tajalli penulis pahami dari apa yang Al-Ghazali (450-505 H./1057-1111 M.) tulis dalam pengantarnya terhadap bab puasa pada kitab Ihya’ ‘Ulum al-Din. Penggunaan kata  ‘pintu’ dan ‘tajalli’ sendiri diambil dari dua sabda Rasulullah saw. berikut ini,

لِكُلِّ شَيْءٍ بَابٌ وَبَابُ الْعِبَادَةِ الصَّوْمُ

“Setiap segala sesuatu ada pintunya, dan pintu segala ibadah adalah puasa”

لَوْلَا أَنَّ الشَّيَاطِيْنَ يَحُوْمُوْنَ عَلَى قُلُوْبِ بَنِي آدَمَ لَنَظَرُوْا إِلَى مَلَكُوْتِ السَّموَاتِ

“Seandainya setan tidak mengitari hati anak Adam niscaya mereka akan dapat melihat kerajaan langit.”

Puasa sebagai pintu menuju tajalli dapat tercapai manakala ia telah berhasil memainkan peran pentingnya sebagai penunduk hawa nafsu (al-syahwah) lewat proses yang dikenal dengan istilah ju‘ (lapar). Ju‘ sendiri merupakan bentuk perlawanan atas pemenuhan hasrat akan makanan dan minuman (syahwah al-bathn), sesuai dengan sabda Rasulullah saw.,

إِنَّ الشَّيْطَانَ لَيَجْرِي مِن ابْنِ آدَمَ مَجْرَى الدَّمِ فَضَيِّقُوْا مَجَارِيَهُ بِالْجُوْعِ

“Sesungguhnya setan ‘mengalir’ dalam tubuh anah Adam mengikuti aliran darah, maka buatlah sempit alirannya dengan lapar (puasa).”

Baca Juga: Menjadi Sehat dengan Berpuasa di Bulan Ramadan

Memang dalam terminologi syariat, puasa tidak melulu menahan diri dari makan dan minum (syahwah al-bathn). Masih banyak perkara lain yang membatalkan (al-mufthirat) yang harus dihindari, seperti bersanggama (syahwah al-farj) dan lain sebagainya. Namun dari semua perkara tersebut, makanan dan minuman menjadi unsur yang paling dominan.

Mengapa demikian? Karena syahwah al-bathn, yang berkisar pada pemenuhan hasrat akan makanan dan minuman, merupakan induk dari segala bentuk syahwah. Darinya lalu muncul syahwah al-farj (hasrat seksual), syahwah al-mal (cinta dunia), dan syahwah al-jah (cinta kedudukan) secara berurutan. Begitu setidaknya penjelasan Al-Ghazali dalam Al-Arba‘in fi Ushul al-Din.

Selain itu, puasa sebagai pintu menuju tajalli juga terlihat dari penafsiran isyari yang dilakukan al-Ghazali terhadap beberapa ayat di bawah ini.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ تَنْصُرُوا اللَّهَ يَنْصُرْكُمْ وَيُثَبِّتْ أَقْدَامَكُمْ [محمد: 7]

“Wahai orang-orang yang beriman, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu.” [47:7]

Secara normatif, frasa nashr Allah dapat dipahami sebagai ‘menolong (agama) Allah’. Ini pula yang dipahami oleh misalnya Al-Baidlawi (w. 685 H./1092 M.) dan Al-Khazin (678-741 H.) dalam tafsirnya. Konsep ‘pertolongan’ tersebut umumnya dikaitkan dengan aktivitas jihad (al-qital) yang bertujuan menegakkan panji-panji Islam.

Namun menurut al-Ghazali, dalam konteks ibadah puasa, frasa tersebut menyimpan isyarat ibadah puasa seiring dengan sabda Rasulullah saw. sebelumnya yang memerintahkan membuat sempit aliran darah (baca: setan) dengan ju‘ atau lapar. Sehingga frasa nashr Allah lantas berarti menundukkan musuh Allah swt. dan mengurangi jerat tipu muslihatnya.

Jika nashr Allah ini dilakukan maka sebagai balasannya Allah pasti memberikan ‘pertolongan’-Nya. Dalam wujud apa pertolongan itu diberikan? Al-Ghazali menyebutnya sebagai inkisyaf jalal Allah atau dalam bahasa yang lebih populer disebut tajalli. Penafsiran isyari yang sama juga berlaku pada surah al-‘Ankabut [29] ayat 69 berikut ini,

وَالَّذِينَ جَاهَدُوا فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا [العنكبوت: 69]

“Orang-orang yang berusaha dengan sungguh-sungguh untuk (mencari keridaan) Kami benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami.” [29:69]

Bedanya, jika redaksi yang digunakan dalam ayat sebelumnya adalah nashr Allah maka dalam ayat ini menggunakan redaksi jihad dan hidayah. Selain itu, perbedaan lain juga terletak pada tafsir normatif dari ayat ini. Kata jihad secara normatif juga mencakup amal batin di samping amal lahir, sebagaimana dijelaskan al-Baidhawi.

Baca Juga: Menilik Isyarat Pahala Puasa dari Beberapa Ayat Alquran

Kemudian sebagai penutup, al-Ghazali menyitir firman Allah swt. surah ar-Ra‘d [13] ayat 11 dan mengingatkan bahwa inkisyaf jalal Allah atau tajalli hanya akan terjadi apabila ibadah puasa ditunaikan secara benar. Hal ini karena Allah swt. tidak akan mengubah keadaan suatu kaum hingga mereka mengubah diri mereka sendiri.

إِنَّ اللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ [الرعد: 11]

“Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum hingga mereka mengubah apa yang ada pada diri mereka.” [13:11]

Dalam konteks ibadah puasa, kata al-taghyir (mengubah) sebagaimana disebutkan dalam ayat, lebih menekankan sisi perubahan dalam diri seseorang karena kuatnya dorongan hawa nafsu (asy-syahwah). Sehingga alih-alih berproses menuju tajalli, ia justru terbelenggu dalam keraguan sehingga terhalang dari jalal Allah Swt. Wallahu a‘lam bi as-shawab

Prinsip Kerukunan Antaragama dalam Tafsir Nusantara

0
Prinsip Kerukunan Antaragama dalam Tafsir Nusantara
Prinsip Kerukunan Antaragama dalam Tafsir Nusantara

Di tengah keragaman agama dan budaya, Indonesia menjadi rumah bagi berbagai keyakinan. Islam, sebagai agama mayoritas pun turut mengajarkan nilai-nilai toleransi, saling menghormati, dan hidup berdampingan dengan pemeluk agama lain. Dalam konteks ini, menjadi seorang muslim yang baik tidak hanya berarti melaksanakan ajaran agamanya dengan baik, tetapi juga mampu mempraktikkan nilai-nilai kerukunan antaragama yang menjadi bagian integral dari identitas bangsa Indonesia.

Islam sebagai agama yang menghargai keberagaman dan mengajarkan perdamaian, menempatkan pentingnya kerukunan antaragama. Misalnya di bulan puasa tahun ini muncul fenomena yang tengah viral di Indonesia yakni kalangan nonmuslim yang turut bersaing dalam hal berburu takjil. Hal tersebut justru mendapat respons positif dari kalangan umat Islam, sebab di samping pihak nonmuslim yang ikut membantu memajukan perekonomian dengan melariskan takjil yang mereka dagangkan, juga memberikan gambaran tentang indahnya memahami keharmonisan dalam keberagaman.

Dalam ajaran agama Islam, sebenarnya tidak ada larangan untuk bersikap baik terhadap kalangan nonmuslim selama mereka sendiri tidak berbuat buruk, baik dalam hal akidah maupun muamalah. Alquran sendiri telah banyak menyebutkan tentang pentingnya menjaga kerukunan antaragama dengan penuh hikmah dan kebijaksanaan. Salah satunya yang termaktub pada surah Almumtahanah [60]: 8-9 sebagai berikut.

لا يَنْهٰىكُمُ اللّٰهُ عَنِ الَّذِيْنَ لَمْ يُقَاتِلُوْكُمْ فِى الدِّيْنِ وَلَمْ يُخْرِجُوْكُمْ مِّنْ دِيَارِكُمْ اَنْ تَبَرُّوْهُمْ وَتُقْسِطُوْٓا اِلَيْهِمْۗ اِنَّ اللّٰهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِيْنَ ٨ اِنَّمَا يَنْهٰىكُمُ اللّٰهُ عَنِ الَّذِيْنَ قَاتَلُوْكُمْ فِى الدِّيْنِ وَاَخْرَجُوْكُمْ مِّنْ دِيَارِكُمْ وَظَاهَرُوْا عَلٰٓى اِخْرَاجِكُمْ اَنْ تَوَلَّوْهُمْۚ وَمَنْ يَّتَوَلَّهُمْ فَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الظّٰلِمُوْنَ ٩

“Allah tidak melarang kamu berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu dalam urusan agama dan tidak mengusir kamu dari kampung halamanmu. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil. Sesungguhnya Allah hanya melarangmu (berteman akrab) dengan orang-orang yang memerangimu dalam urusan agama, mengusirmu dari kampung halamanmu, dan membantu (orang lain) dalam mengusirmu. Siapa yang menjadikan mereka sebagai teman akrab, merekalah orang-orang yang zalim.”

Dari ayat di atas kiranya perlu untuk ditelaah dengan menggunakan pandangan dari beberapa tafsir Nusantara untuk memahami prinsip kerukunan antaragama yang terkandung di dalamnya. Hal ini agar paling tidak penafsiran yang diberikan mudah untuk dipahami karena memang menggunakan bahasa Indonesia dalam penulisannya, serta tetap relevan dengan kondisi bangsa dewasa ini.

Prinsip Kerukunan Antaragama Menurut Tafsir Nusantara

Pendapat pertama yakni dari A. Hassan yang tampaknya tidak jauh berbeda dengan terjemahan dari ayat di atas (Al-Furqan (Tafsir Qur’an), hal. 1093). Namun, A. Hassan sendiri sebelumnya telah memberikan penjelasan mengenai makna “zalim” dalam bagian Fasal 35: Qamus Bagi Beberapa Kalimah. Menurutnya, zalim diartikan sebagai bentuk menganiaya diri sendiri dengan melakukan sesuatu yang tidak diridai Allah Swt. Dalam hal ini, sesuatu yang tidak diridai Allah adalah berkawan dengan orang-orang yang memusuhi dalam hal agama dan merampas hak-hak manusia.

Sementara Buya Hamka dalam Tafsir Al-Azhar (Jilid 9, hal. 7303-7305) mengatakan jika kebolehan berbuat baik, adil, dan jujur kepada golongan lain yang di luar Islam berlaku kapan pun masanya selama mereka tidak bersikap yang sebaliknya; memerangi dan mengusir dari tanah air sendiri. Bagi Hamka, seorang muslim yang berkawan dengan musuh Islam dianggap tidak memiliki keteguhan iman dan tidak ada gairah untuk mempertahankan agama.

Baca juga: Inilah Tiga Sikap Kerukunan Umat Beragama Menurut Quraish Shihab

Selain itu, Hamka juga tampak memberikan sindiran bagi orang Islam yang terlalu berlebihan dalam bertoleransi yang berpendapat bahwa semua agama sama saja; sama-sama baik tujuannya. Orang seperti ini dinilai oleh Hamka justru tidak ada agama sama sekali dalam hatinya. Seharusnya, jikalau benar-benar seorang muslim, tentu ada keyakinan dalam hatinya bahwa agama yang benar tetaplah Islam.

Pendapat lainnya yakni dari Zainuddin Hamidy dan Fachruddin dalam karya tafsir berjudul Tafsir Quran. Dalam tafsir ini dikatakan bahwasanya perbedaan agama dan kepercayaan bukanlah inti dari suatu permusuhan bagi umat Islam. Akan tetapi, hal ini akan berbeda apabila orang-orang di luar Islam bertindak sebagai musuh yang mengganggu kemerdekaan, keagamaan, dan kediaman. Dengan kata lain, pihak-pihak seperti inilah yang perlu untuk dibalas dengan sikap yang keras lagi tegas (Tafsir Quran, hal. 820).

Hal serupa juga disampaikan oleh Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy dalam Tafsir Al-Qur’anul Majid An-Nuur (Jilid 5, hal. 4193-4194). Dalam tafsir tersebut dijelaskan bahwa Allah memperbolehkan umat Islam untuk tetap berbuat ihsan kepada orang kafir sekalipun dengan catatan pihak mereka tidak memusuhi Islam, tidak mengusir orang-orang muslim maupun terlibat memberikan bantuan kepada pihak yang melakukan kegiatan tersebut.

Baca juga: Habib Luthfi bin Yahya: Surah Alfatihah Ajarkan Persatuan dan Kerukunan

Kendati demikian, Islam sendiri sejatinya adalah agama yang damai dan berakidah cinta sebagaimana pendapat Sayyid Quthub yang ditulis oleh Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Mishbah (Jilid 14, hal. 170). Shihab juga mengatakan bahwa dalam dua ayat di atas mengandung prinsip dasar terkait hubungan interaksi antara kaum muslim dan nonmuslim. Lebih lanjut, Islam sendiri sejatinya tidak memiliki niatan untuk mengadakan permusuhan dengan pihak mana pun dan lebih ingin agar semua umat dapat saling memahami keharmonisan.

Keharmonisan Islam idealnya dapat tetap ditunjukkan melalui kejujuran dan keadilan meskipun berada dalam situasi permusuhan. Hal ini dilandaskan pada sebuah harapan agar setiap hati manusia dapat kembali jernih sebagaimana mestinya, sehingga mereka dapat kembali kepada jalan yang benar lagi diridai-Nya (Islam). Alhasil, seorang muslim seharusnya mampu untuk ikut berusaha menciptakan kerukunan antaragama dengan senantiasa memberikan kebaikan tanpa membandingkan agamanya dengan agama yang lainnya.

Memahami Pesan Kerukunan Antaragama

Menjadi seorang muslim yang baik di Indonesia tidak hanya melibatkan pelaksanaan ajaran agama dengan baik, tetapi juga keterlibatan aktif dalam memperkuat kerukunan antaragama. Dengan memahami dan menghormati keberagaman, masyarakat muslim dapat memainkan peran penting dalam membangun masyarakat yang inklusif dan damai. Dalam konteks ini, Islam bukanlah hanya agama, tetapi juga sebuah panggilan untuk hidup berdampingan dengan harmoni dan saling menghormati dengan pemeluk agama lain.

Selanjutnya, mufasir Nusantara menekankan bahwa Islam tidak melarang untuk berbuat baik kepada orang-orang yang tidak memerangi umat Islam atau mengusir mereka dari rumah mereka. Ini menegaskan bahwa Islam adalah agama yang menghargai keadilan dan kemanusiaan, bahkan terhadap mereka yang tidak memeluk agama Islam.

Baca juga: Tafsir Surah Alhujurat Ayat 13: Merawat Kerukunan, Memberantas Rasisme

Dalam pandangan mufasir Nusantara, ayat-ayat ini memberikan landasan yang kokoh bagi pembangunan masyarakat yang inklusif dan harmonis di wilayah Nusantara. Pesan-pesan tentang perdamaian, toleransi, dan keadilan yang terkandung dalam surah ini menjadi pedoman dalam menjalin hubungan antarumat beragama dan membangun masyarakat yang damai serta berkeadilan.

Dengan demikian, tafsir Nusantara memberikan pemahaman yang mendalam tentang surah Almumtahanah ayat 8-9, serta relevansi dan aplikasinya dalam konteks sosial dan budaya masyarakat Islam di wilayah Nusantara. Pesan-pesan tentang perdamaian, toleransi, dan keadilan yang terkandung dalam surah ini menjadi pedoman dalam menjalin kerukunan antaragama dan membangun masyarakat yang damai serta berkeadilan.

Tradisi Khatam Alquran dalam Salat Tarawih di Ponpes Al-Fatah Temboro

0
Tradisi Khatam Alquran dalam Salat Tarawih di Ponpes Al-Fatah Temboro
Ponpes Al-Fatah Temboro Magetan, Jawa Timur (sumber: kominfo.magetan.go.id)

Khatmul Quran menjadi salah satu dari sekian banyak upaya umat Islam untuk menghadirkan Alquran dalam kehidupan sehari-sehari. Terutama saat Ramadan—bulan diturunkannya Alquran yang memiliki keutamaan lebih daripada sebelas bulan lainnya, maka umat muslim lebih giat untuk menghidupkan kalam Allah tersebut. Di antara model khataman Alquran yang berkembang di masyarakat adalah dengan dibaca dalam salat tarawih, seperti yang dilaksanakan di Pondok Pesantren al-Fatah Temboro, Magetan.

Tradisi Khatmul Quran Berawal dari Masa Nabi Saw.

Khataman Alquran adalah istilah yang digunakan bagi sebuah tradisi pembacaan Alquran dari surah Alfatihah hingga surah Annas sesuai dengan urutan Mushaf ‘Utsmani. Ini didasarkan pada hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas:

“Seorang lelaki berkata: ‘Wahai Rasulullah, apa amalan yang paling disukai Allah?’ beliau menjawab, ‘al-hal wal-murtahal’. Maksudnya membaca Alquran dari awal hingga akhir. Setiap kali selesai ia mengulanginya lagi dari awal.” (H.R. Tirmidzi).

Berbicara mengenai khatmul Quran yang dikerjakan dalam salat, Rasulullah dan sahabat terdahulu juga mengerjakannya pada qiyamullail. Diterangkan dalam kitab al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah, Rasul melaksanakan salat qiyamu Ramadhan dengan malaikat Jibril untuk menata urutan surah dalam Alquran sebanyak dua kali. Adapun para sahabat, Ibnu Rajab mengatakan bahwa kebiasaan mereka setiap Ramadan ialah membaca Alquran dalam salat dan selainnya. Di antaranya adalah Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, Ibrahim An-Nakha’i, dan Qatadah (Lathaif al-Ma’arif, 191).

Baca juga: Tadarus Alquran di Masa Rasulullah Saw.

Salat tarawih (berjamaah) dengan khataman pada awalnya adalah perintah dari Umar bin Khattab, agar orang-orang dapat mendengarkan seluruh Alquran saat salat, dan lebih utama untuk mengkhatamkan lebih dari sekali selama bulan Ramadan (al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah, 27/147).

Bahkan sebagian ulama menyatakan hal itu sunah karena sangat dianjurkan memperbanyak membaca Alquran saat Ramadan. Namun, beberapa ulama juga berpendapat dalam konteks hari ini, hendaknya imam mengetahui kondisi jamaah sehingga tidak sampai membuat makmum menjadi malas mengikuti tarawih.

Ponpes Temboro Menggelar Khatam Alquran dalam Sehari Sekali

Sampai hari ini, masih banyak pesantren di Indonesia yang mengadakan khatam Alquran salat tarawih sebagai usaha mereka untuk mengikuti tradisi orang-orang saleh terdahulu dan sebagai upaya dalam menjaga hafalan Alquran, terutama pondok pesantren yang berbasis tahfiz.

Biasanya salat tarawih dilakukan pembacaan satu juz dalam tiap harinya sehingga akhir Ramadan dapat khatam Alquran 30 juz. Namun, di Masjid Trangkil Darussalam Pesantren al-Fatah Temboro, digelar tradisi khatam tersebut dalam waktu satu malam yang kegiatan tersebut sudah berlangsung selama 12 tahun.

Sama seperti tarawih pada umumnya, dimulai setelah salat Isya dengan 23 rakaat beserta witirnya. Setiap rakaatnya sang imam biasa membaca 11/2 juz Alquran. Dalam pelaksanaanya terdapat enam imam pilihan yang dapat bergantian hingga rakaat terakhir. Salat dimulai dari pukul 20.00 hingga 03.00 WIB atau menjelang sahur.

Baca juga: Anda Sedang Khataman Alquran? Berikut Anjuran Para Ulama Mengenainya

Pemilihan imam salat juga diadakan seleksi dari ustaz ataupun santri al-Fatah sendiri. Di antara persyaratan tersebut selain wajib hafiz Quran, imam salat tarawih ini juga harus fasih dalam bacaan dan tajwidnya di atas rata-rata imam yang lain.

Ustaz Barlei Musaddad, salah satu pengasuh Ponpes al-Fatah Temboro, mengatakan bahwa kegiatan tersebut dilakukan untuk mengikuti para salaf, di mana seharusnya salat tarawih dilaksankan dengan tenang dan santai, juga menunaikan hak-hak Alquran, yaitu membacanya dengan tartil dan tajwidnya secara baik meskipun pembacaannya sampai 30 juz Alquran.

Menurutnya salat tarawih tidak perlu cepat-cepat karena tarawih sendiri berarti istirahat. Hal itu sebagaimana pula diterangkan dalam kitab Fathul Muin (1/306): “Dinamakan tarawih karena orang yang salat tersebut istirahat karena lamanya salat mereka setelah tiap dua kali salam.”

Selain itu mengkhatamkan Alquran merupakan fadha’il al-a’mal (amalan utama) yang dilakukan dalam rangka memperbanyak hal-hal yang bersifat ubudiyah sekaligus menambah amalan di bulan Ramadan yang sangat luar biasa pahalanya, apalagi dikerjakan dalam salat. Diterangkan oleh Imam Alawi al-Haddad, ia mengutip Sayyidina Ali bin Abi Thalib yang berkata;

Baca juga: Melihat Tradisi Khataman Alquran sebagai Objek Penelitian

“Barangsiapa yang membaca Alquran dan dia dalam keadaan mendirikan salat, maka baginya setiap huruf 100 kebaikan. Dan jika dia salat sambil duduk maka baginya 50 kebaikan dari setiap hurufnya. Dan barangsiapa yang berada di luar salat dan dia dalam keadaan suci, maka baginya 25 kebaikan setiap hurufnya. Dan jika dalam keadaan tidak suci, maka baginya 10 kebaikan dari setiap hurufnya.” (Risalatul Mu’awwanah, 9).

Keutamaan pahala dan limpahan berkah dari Alquran inilah yang menjadi niat serta tekad kuat para ustaz dan santri untuk melaksanakan tradisi khataman dalam salat tarawih, meskipun harus menghabiskan waktu selama delapan jam. Antusias jamaah yang mengikuti salat tarawih terbilang lumayan banyak, yaitu sekitar empat puluh hingga lima puluh orang, baik dari kalangan santri, masyarakat setempat, hingga luar daerah. Dikatakan warga Malaysia juga banyak yang hadir ke Temboro saat Ramadan hanya untuk mengikuti salat tersebut.

Dalam keikutsertaan jamaah salat (terutama santri) tidak diperbolehkan ada paksaan kerena memang cukup berat pelaksanaannya. Namun demikian, bagi santri dan santriwati yang tidak kuat maka diwajibkan untuk mengikuti jamaah salat tarawih yang satu juz, atau jamaah tarawih lima juz dan 10 juz. Mengingat selain kelompok khatam Alquran tersebut, ada kelompok jamaah tarawih lainnya yang tersebar di seluruh masjid di lingkungan pondok. Meskipun dikatakan tarawih terlama, tetapi pada praktiknya, peminatnya selalu bertambah dan hingga kini sudah ada sepuluh kelompok jamaah salat tarawih tiga puluh juz Alquran di pesantren al-Fatah Temboro. []

Ada Ayat yang Menegur Nabi Muhammad Bukti Keautentikan Alquran

0
Ada Ayat yang Menegur Nabi Muhammad Bukti Keautentikan Alquran
Ada Ayat yang Menegur Nabi Muhammad Bukti Keautentikan Alquran

Berbicara tentang keautentikan Alquran memang tidak akan ada habisnya. Berbagai macam riwayat hingga kajian ilmiah telah membuktikan bahwa kitab yang diturunkan Allah Swt. kepada Nabi Muhammad saw. merupakan kitab yang memang asli dan terlepas dari unsur karangan Nabi Muhammad saw. sendiri. Salah satu bukti keautentikan Alquran ialah banyak ditemukan di dalam Alquran ayat-ayat yang mengandung unsur teguran kepada Nabi Muhammad saw.

Beberapa Keraguan Terhadap Alquran

Pada awal-awal dakwah Islam, Nabi Muhammad saw. dituduh oleh kaum kafir Quraisy sebagai penyair. Mereka menganggap bahwa Alquran merupakan karya Nabi Muhammad saw. sendiri (Firdaus Zainal, Alquran dan Manusia Melawan, h. 20). Bahkan tidak hanya sampai di situ, di sekitar abad-17 hingga sekarang masih banyak yang meragukan keautentikan Alquran.

Penelitian Saifullah dalam Jurnal Mudarrisuna yang berjudul Orientalisme dan Implikasi kepada Dunia Islam (h. 180) menyatakan bahwa seorang orientalis bernama George Sale (1697-1736) mengatakan bahwa tidak ada yang bisa membantah jika Alquran adalah produk dan karangan Muhammad. Begitu juga dengan tuduhan Richard Bell yang menganggap bahwa Nabi Muhammad saw. dalam menyusun Alquran menggunakan sumber yang diambil dari Perjanjian Lama Yahudi.

Teguran Allah Swt. kepada Nabi Muhammad saw. dalam Alquran

Secara psikologis, jika Nabi Muhammad saw. merupakan seorang pendusta, maka ia akan cenderung suka menceritakan dan membangga-banggakan dirinya di dalam Alquran. Melalui Alquran itulah kesempatan beliau untuk mengeksplorasi, menceritakan, dan membangga-banggakan diri sebanyak-banyaknya. Namun, secara fakta justru sebaliknya. Berikut akan diuraikan beberapa teguran dari Allah Swt. kepada Nabi Muhammad saw. yang termuat dalam Alquran:

Pertama, saat peristiwa perang Uhud. Teguran Allah Swt. kepada Nabi Muhammad saw. berkenaan dengan peristiwa perang Uhud termaktub dalam firman Allah Swt.:

لَيۡسَ لَكَ مِنَ ٱلۡأَمۡرِ شَيۡءٌ أَوۡ يَتُوبَ عَلَيۡهِمۡ أَوۡ يُعَذِّبَهُمۡ فَإِنَّهُمۡ ظَٰلِمُونَ  ١٢٨

Artinya: “Hal itu sama sekali bukan menjadi urusanmu (Muhammad), apakah Allah menerima tobat mereka atau mengazabnya karena sesungguhnya mereka orang zalim (Q.S. Ali ‘Imran [3]: 128).

Menurut Jalaluddin al-Suyuti dalam Lubab al-Nuqul fii Asbab al-Nuzul (h. 62), asbabunnuzul ayat ini berkenaan dengan peristiwa perang Uhud. Saat itu umat muslim tergoda untuk mengambil harta rampasan perang dan turun meninggalkan bukti. Alhasil, bukit pun dikuasai oleh kaum kafir dan mereka menyerang umat muslim dari arah belakang.

Baca juga: Alquran di Mata Orientalis Abad Renaisans

Syekh Ramadhan al-Buthi dalam Fiqhus Sirah Nabawiyah ma’a Mujazin li Tarikhil Khilafah ar-Rasyidah (h. 171) mengatakan bahwa setelah umat Islam berhasil dihancurkan, maka kaum kafir mendekati tempat Rasulullah. Mereka melempari Rasulullah saw. dengan batu hingga gigi serinya tanggal dan kepalanya terluka. Darah pun mengucur deras dari wajah beliau. Saat itu gigi Nabi Muhammad saw. patah, wajah beliau terluka hingga darah mengalur di wajah beliau. Lalu, Nabi Muhammad saw. bersabda: “Bagaimana suatu kaum akan memperoleh keberuntungan jika mereka memperlakukan nabi mereka seperti ini. Sedangkan nabi mereka menyeru mereka kepada Tuhan mereka.” Sehingga turunlah ayat ini.

Dalam ayat tersebut terlihat bagaimana geramnya Rasulullah saw. terhadap umat Islam. Bahkan dalam kitab Tafsir Mafatihul Ghaib (Juz 8/h. 355) dikatakan bahwa kejadian itu membuat Rasulullah saw. berdoa memohon kepada Allah Swt. agar membumihanguskan musuh Islam yang ada dalam perang Uhud. Namun, tiba-tiba Allah Swt. memberikan peringatan bahwa semua itu terjadi atas kehendak Allah Swt.

Baca juga: “Plagiarisme” Alquran (Bagian 1): dari Hammurabi hingga Hitti

Kedua, sikap Nabi terhadap tawanan perang Badar. Hal ini termuat dalam firman Alah Swt.:

مَا كَانَ لِنَبِيٍّ أَن يَكُونَ لَهُۥٓ أَسۡرَىٰ حَتَّىٰ يُثۡخِنَ فِي ٱلۡأَرۡضِۚ تُرِيدُونَ عَرَضَ ٱلدُّنۡيَا وَٱللَّهُ يُرِيدُ ٱلۡأٓخِرَةَۗ وَٱللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيم  ٦٧

Artinya: “Tidaklah (sepatutnya) bagi seorang Nabi mempunyai tawanan sebelum dia dapat melumpuhkan musuhnya di muka bumi. Kamu menghendaki harta benda duniawi, sedangkan Allah menghendaki (pahala) akhirat (untukmu). Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana (Q.S. al-Anfal [8]: 67).

Imam Jalaluddin As-Suyuthi menyebutkan bahwa ayat ini turun berkenaan dengan teguran dari Allah Swt. kepada Nabi Muhammad saw. terkait sikap beliau kepada tawanan. Saat itu Nabi Muhammad saw. sedang bermusyawarah kepada para sahabat mengenai tindakan apa yang diambil terhadap tawanan tersebut. Umar bin Khattab mengusulkan untuk membunuh mereka. Nabi Muhammad saw. langsung berpaling dari Umar. Kemudian, sahabat Abu Bakar juga mengusulkan agar tawanan tersebut dimaafkan dan umat Islam bisa mengambil uang tebusan. Dan pada akhirnya Nabi saw. setuju dengan pendapat Abu Bakar, sehingga turunlah ayat ini.

Quraish Shihab dalam Tafsir al-Mishbah (Jilid 5/h. 502) menyebut bahwa teguran Allah Swt. dalam ayat ini terkait dengan perintah Allah Swt. agar bersikap tegas terhadap tawanan perang. Bahkan setelah kejadian itu Nabi Muhammad saw. mendatangi Umar dan berkata “Hampir saja kami ditimpa musibah karena menyelisihi pendapatmu wahai Umar.”

Baca juga: Kisah Rasulullah Saw. Bermuka Masam dalam Surah ‘Abasa

Ketiga, saat Nabi saw. bermuka masam. Allah Swt. berfirman:

عَبَسَ وَتَوَلَّىٰٓ  ١ أَن جَآءَهُ ٱلۡأَعۡمَىٰ  ٢ وَمَا يُدۡرِيكَ لَعَلَّهُۥ يَزَّكَّىٰٓ  ٣ أَوۡ يَذَّكَّرُ فَتَنفَعَهُ ٱلذِّكۡرَىٰٓ  ٤ أَمَّا مَنِ ٱسۡتَغۡنَىٰ  ٥ فَأَنتَ لَهُۥ تَصَدَّىٰ  ٦ وَمَا عَلَيۡكَ أَلَّا يَزَّكَّىٰ  ٧ وَأَمَّا مَن جَآءَكَ يَسۡعَىٰ  ٨ وَهُوَ يَخۡشَىٰ  ٩ فَأَنتَ عَنۡهُ تَلَهَّىٰ  ١٠ كَلَّآ إِنَّهَا تَذۡكِرَة  ١١ فَمَن شَآءَ ذَكَرَهُۥ  ١٢

Artinya: Dia (Muhammad) berwajah masam dan berpaling, karena seorang buta telah datang kepadanya (Abdullah bin Ummi Maktum). Dan tahukah engkau (Muhammad) barangkali dia ingin menyucikan dirinya (dari dosa), atau dia mendapatkan pengajaran, yang memberi manfaat kepadanya? Adapun orang yang merasa dirinya serba cukup (pembesar Quraisy), maka engkau (Muhammad) memberi perhatian kepadanya, padahal tidak ada (cela) atasmu kalau dia tidak menyucikan diri (beriman). Dan adapun orang yang datang kepadamu dengan bersegera (mendapatkan pengajaran), sedang dia takut (kepada Allah), engkau malah mengabaikannya. Sekali-kali jangan (begitu)! Sungguh, (ajaran Allah) itu suatu peringatan, maka barangsiapa menghendaki, tentulah dia akan memperhatikannya (Q.S. ‘Abasa [80]: 1-12)

Dalam Mu’jizatul Qur’an karya M. Quraish Shihab dijelaskan bahwa suatu ketika Nabi sedang menjelaskan Islam kepada pemuka Quraisy datanglah seorang buta yang bernama Abdullah bin Ummi Maktum sambil bersuara keras, “Muhammad, Muhammad, ajarkan aku sebagian yang diajarkan Tuhanmu.” Karena merasa terganggu dan tidak sopan, akhirnya muka Nabi menjadi masam dan nampak tidak menghiraukan orang buta tersebut. Sehingga turunlah ayat ini.

Penutup

Demikian sedikit ulasan tentang bukti keautentikan Alquran melalui teguran Allah Swt. kepada Nabi Muhammad saw. Ayat-ayat teguran di atas merupakan bukti bahwa Nabi Muhammad saw. bukanlah pengarang Alquran. Karena akan sangat aneh dan tidak masuk akal jika seorang pembuat karya mengkritik dirinya sendiri dalam karya yang ia buat. Wallahu a’lam.

Menjadi Sehat dengan Berpuasa di Bulan Ramadan

0
Menjadi Sehat dengan Berpuasa di Bulan Ramadan

Kesehatan merupakan suatu hal yang amat penting dalam menjaga keberlangsungan hidup setiap manusia. Tidak hanya berefek pada jalannya segala aktifitas duniawi, manfaat badan yang sehat dalam segi spiritualitas tentu memberikan dampak pada maksimalnya beribadah kepada-Nya. Begitu pula sebaliknya, ibadah-ibadah yang disyariatkan-Nya tentu mengandung hikmah, salah satunya berdampak bagi kesehatan manusia adalah puasa.

Pokok terpenting kewajiban berpuasa bagi setiap muslim di bulan Ramadan adalah menahan diri dari makan dan minum, atau memasukkan sesuatu ke dalam salah satu jauf atau lubang tubuh. Maka ini akan terjadi pengosongan lambung dari segala sesuatu, baik makanan maupun minuman. Poin penting inilah yang menjadi perbincangan para peneliti untuk mengungkap rahasia puasa bagi kesehatan.

Baca Juga: Inilah Lima Hakikat Puasa Ramadan menurut Al-Ghazali

Ramadan Adalah Bulan Kesehatan

Selain disebut-sebut sebagai bulan ibadah, kebahagiaan, Alquran, dan lain sebagainya, bulan Ramadan juga disebut pula sebagai bulan kesehatan. Mengapa demikian? Kosongnya lambung untuk beristirahat mengoyak makanan dan minuman, ternyata menyimpan rahasia kesehatan yang jarang disadari oleh sebagian orang.

Mengenai pembahasan ini, penulis mengulas dari Muhammad bin Ibrahim al-Hamd [Durūs Ramaḍān, 53-57]. Menurutnya, puasa memiliki banyak sekali manfaat bagi kesehatan tubuh, apalagi jika mengikuti cara yang benar dalam menjalankan puasanya, yaitu dengan tidak berlebihan dalam mengonsumsi makanan dan minuman. Pengaruh luar biasa dari puasa adalah melindungi tubuh dari zat-zat berbahaya yang mampu merusak tubuh jika dikuasai oleh komponen jahat tersebut.

Menyehatkan Sistem Pencernaan

Mayoritas dokter sering menyebutkan manfaat puasa yang luar biasa bagi tubuh. Salah satu yang mereka sampaikan mengenai hal ini adalah mengeluarkan sisa-sisa busuk dari lambung dan usus, serta mengistirahatkan sistem pencernaan dari beban kerja. Perlu diketahui bahwa asal mula munculnya penyakit, sebagian besar adalah disebabkan oleh pola makan. Bahkan, di samping diet, penderita radang usus kronis dan kolitis kronis memeroleh manfaat besar dari puasa.

Seseorang yang menderita gagal hati juga mendapat manfaat puasa apabila berbuka dalam jumlah yang sedang, tidak berlebihan. Ini juga berlaku dalam meminimalisisr pada beberapa kasus alergi. Mengistirahatkan sistem pecernaan sangat penting untuk menghilangkan gatal yang timbul akibat makanan tertentu. [Durūs Ramaḍān, 53-57]

Baca Juga: Keistimewaan Puasa Ramadan dan Manifestasi Kasih Sayang Tuhan

Menenangkan Sistem Saraf

Selain menahan makan dan minum, untuk mendapatkan keutamaan puasa dan kemuliaan Ramadan, menahannya seluruh indra lainnya dari segala hal yang berasal dari keinginan nafsu dan syahwat juga berimbas pada kesehatan mental manusia, yang mana sangat erat kaitannya dengan pemeliharaan kesehatan sistem saraf. Allah befirman dalam Q.S. Albaqarah [2]: 183 berikut.

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَۙ

Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.

Terkait ayat ini, az-Zuhaili mengatakan bahwa puasa merupakan upaya penyucian jiwa sebagai jalan takwa kepada-Nya. Mengajarkan kesabaran, yakni sabar menghadapi kepayahan atau kesulitan, kesukaran pengendalian diri, dan meninggalkan hawa nafsu. Sebagaimana sabda Nabi ﷺ : al-ṣaumu niṣfu al-ṣabri (Puasa adalah separuh dari kesabaran). [Tafsīr al-Munīr, 2/130]

Buah dari sabar adalah tenang. Jiwa yang tenang, tentu akan berdampak pada kesehatan sistem saraf. Sebagaimana Muhammad Abu Shouk dalam artikelnya berjudul Puasa dan Sistem Saraf, beliau mengatakan bahwa spritualitas puasa seperti menyucikan dan menghaluskan jiwa, yaitu dengan melatih kesabaran, berbelas kasih terhadap fakir miskin, menjauhi keburukan hawa nafsu dan hal-hal yang mampu meminimalisir celaka atau dampak buruk yang ditimbulkan dari hawa nafsu. [Durūs Ramaḍān, 53-57] Ini sebagaimana dijelaskan dalam firman-Nya Q.S. Yusuf [12]: 53 berikut.

اِنَّ النَّفْسَ لَاَمَّارَةٌ  بِالسُّوْءِ اِلَّا مَا رَحِمَ رَبِّيْۗ اِنَّ رَبِّيْ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ

Sesungguhnya nafsu itu selalu mendorong kepada kejahatan, kecuali (nafsu) yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. 

Az-Zuhaili mengomentari ayat ini, bahwa sebagian besar nafsu mendorong setiap insan kepada timbulnya syahwat, dan berkemungkinan besar memengaruhi untuk bertindak kejahatan. Maka sangat perlu sekali bagi diri sendiri untuk terus berjuang mengawasi, menahan, dan memeringati hawa nafsu. [Tafsīr al-Munīr, 13/7]

Abu Ja’far sependapat pula, bahwa sesungguhnya hawa nafsu yang terkumpul dalam diri, tidak segan-segan mampu menuruti segala keinginan hawa nafsu apapun, meski yang tidak diridhai Allah sekalipun. [Tafsīr al-Ṭabari Jāmi’ al-Bayān, 16/142] Maka dengan berpuasa, adalah cara jitu menjinakkan hawa nafsu agar tidak liar dan mampu dikelola dengan baik.

Baca Juga: 3 Hikmah Puasa Bagi Seorang Muslim

Adapun menyucikan jiwa dengan akhlak yang luhur, seperti berkata jujur, menjauhi amarah, dendam, kebencian, iri hati, dan segala bentuk kebencian terhadap manusia lainnya. Semua itu mengilhami jiwa manusia untuk membentuk kedamaian, kasih sayang, dan ketenangan, yang pada gilirannya mampu memengaruhi sistem saraf manusia, yang mana upaya-upaya tersebut adalah bentuk dari ‘menenangkan’ diri. Karena, ketika sistem saraf meletus, sistem-sistem lain yang menjaga fungsi tubuh pun ikut meletus.

Pada akhir tulisannya, Muhammad Abu Shouk mengungkapkan bahwa orang-orang yang sering mengunjungi dokter demi mendapatkan obat meredakan ketegangan saraf, kelelahan saraf, susah tidur, depresi, dan penyakit lain yang berhubungan dengan saraf, maka Ramadan adalah bagian dari obatnya, bagi siapapun yang turut memuasakan jiwanya.

Manfaat puasa bagi kesehatan bahkan telah terbukti oleh kalangan non-muslim Eropa, Amerika, dan wilayah lainnya. Di antara dari mereka meluncurkan buku terkait hal ini dan mendirikan sanotarium yang merawat pasien mereka dengan puasa, dan mereka mencapai hasil luar biasa di mana penyakit yang sulit disembuhkan oleh apapun kecuali dengan puasa. [Durūs Ramaḍān, 53-57]

Penutup

Dari pemaparan yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa terdapat beragam manfaat puasa bagi kesehatan menurut ahli medis, bahkan non-muslim sekalipun. Hal ini merupakan tanda kebesaran Allah, penggalian ilmu dan pengetahuan inilah selain menjadi pedoman kehidupan, juga menjadi sarana untuk bertasbih memuji kebesaran-Nya, serta semakin taqarrub kepada-Nya.

Lailatulqadar dan Sa’atul Ijabah

0
Lailatulqadar dan Sa’atul Ijabah

Bulan suci Ramadan adalah bulan yang sangat mulia, karena di dalamnya terdapat malam yang lebih mulia dari pada 1000 bulan, yakni malam Lailatulqadar Seperti firman Allah dalam Q.S Alqadr [97]:3-4.

لَيْلَةُ الْقَدْرِ ەۙ خَيْرٌ مِّنْ اَلْفِ شَهْرٍۗ

تَنَزَّلُ الْمَلٰۤىِٕكَةُ وَالرُّوْحُ فِيْهَا بِاِذْنِ رَبِّهِمْۚ مِنْ كُلِّ اَمْرٍۛ

سَلٰمٌۛ هِيَ حَتّٰى مَطْلَعِ الْفَجْرِ

Malam kemuliaan itu lebih baik daripada seribu bulan (3) Pada malam itu turun para malaikaat dan ruh (Jibril) dengan izin Tuhannya, untuk mengatur semua urusan (4) Sejahteralah malam itu sampai terbit fajar (5)

Baca Juga: Keunikan dan Rahasia Lailatulqadar

Sejarah Turunnya Lailatulqadar

Nabi Muhammad saw. pada suatu hari menyebutkan empat orang dari bani Israil yang beribadah kepada Allah selama 80 tahun. Mereka tidak pernah durhaka kepada-Nya sekejap matapun. Mereka adalah Nabi Ayyub, Nabi Zakaria, Hizqil bin ‘Ajuz, dan Yusak bin Nun.

Maka para sahabat Nabi saw. mengaguminya. Kemudian datanglah Jibril kepada Nabi saw., dan berkata “Wahai Muhammad, umatmu sangat mengagumi ibadah mereka, selama 80 tahun dan sekejap matapun tak pernah durhaka kepadaNya, sesungguhnya Allah menurunkan hal yang lebih baik daripada itu.” Kemudian Jibril membacakan Surat Alqadr [97]: 1-3.

Kemudian Jibril berkata, “Ini lebih utama daripada apa yang engkau dan umatmu kagumi. Maka bergembiralah Nabi saw. dan para sahabatnya.” (Tafsir Ibnu Katsir, Juz 4, 530).

Pernah disebutkan kepada Nabi saw., seorang dari Bani Israil yang selalu membawa senjata di pundaknya untuk jihad fi sabilillah selama seribu bulan. Maka kagumlah Nabi saw., serta mengharap hal itu ada pada umatnya.

Baca Juga: Menyambut Malam 27 Ramadhan dan Tafsir Isyari Ibnu Abbas Ra Tentang Lailatul Qadr

Maka Nabi saw. berdoa, “Ya Rabb, Engkau telah menciptakan umatku paling pendek umurnya dan sedikit amal perbuatannya.” Kemudian Allah memberikannya malam Lailatulqadar. Dan malam ini adalah khusus untuk umat Nabi Muhammad Saw. (Tafsir Shawi, Juz 4, 337)

Untuk bisa mendapatkan malam Lailatulqadar yang amal kebaikan di dalamnya lebih baik daripada amal kebaikan pada seribu bulan, maka hendaknya memperbanyak beribadah di bulan suci Ramadan. Lebih-lebih pada sepuluh hari terakhir di bulan suci Ramadan.

Rahasia Waktu Malam Lailatulqadar

Menurut madzhab Syafi’i, malam Lailatulqadar berada di antara sepuluh hari tersebut. Dan di antara sepuluh hari tersebut yang paling diharapkan adalah di antara malam-malam ganjil, yaitu malam 21, 23, 25, 27, 29.

Menurut Imam Nawawi, malam Lailatulqadar setiap tahunnya bisa berubah-ubah, di antara malam-malam tersebut. (I’anatut Tholibin, Juz 2, 257)

Malam Lailatulqadar disamarkan antara sepuluh hari terakhir bulan Ramadan agar supaya umat Islam bisa beribadah dan beramal kebaikan di semua malam-malam tersebut.

Sebagai umat Islam, sebaiknya tidak hanya menyibukkan ibadah pada 10 malam terakhir Ramadan, tetapi selalu berusaha memperbanyak amal kebaikan dan beribadah kepada Allah pada hari dan malam selama bulan suci Ramadan.

Baca Juga: Tips Mendapat Malam Lailatulqadar Ala M. Quraish Shihab

Nabi Muhammad saw. bersabda,

من صلى المغرب والعشاء في جماعة حتى ينقضي شهر رمضان فقد اخذ من ليلة القدر بحظ وافر (رواه البيهقي)

Barang siapa salat maghrib dan isya’ dengan berjamaah hingga selesai bulan Ramadan, maka sesungguhnya ia telah memperoleh bagian yang sempurna dari Lailatulqadar. (H.R Baihaqi)

Keajaiban Sa’atul Ijabah

Pada malam Lailatulqadar ada waktu yang disebut sa’atul ijabah. Siapa pun yang berdoa pada saat itu, maka akan dikabulkan oleh Allah swt. Dan para malaikat (yang jumlahnya lebih banyak dari jumlahnya kerikil) dan Jibril turun ke bumi dengan mendapat izin Allah untuk mengatur segala urusan yang telah dikehendaki oleh Allah.

Dan mereka mengucapkan salam kepada semua orang-orang mukmin. Malam itu benar-benar malam yang penuh salam dari malaikat kepada orang-orang mukmin, malam yang membawa keselamatan dari segala keburukan dan malam membawa kebaikan sampai terbitnya fajar.

Imam Ar Razi mengatakan bahwa ketika telah terbit fajar pada malam Lailatulqadar, maka berkatalah Jibril kepada semua malaikat, “Mari kembalilah!”, lalu para malaikat berkata, “Wahai Jibril, apa yang diperbuat Allah untuk kaum muslimin dari umat Nabi Muhammad saw. pada malam ini?”.

Jibril menjawab,  “Sesungguhnya Allah telah memandang mereka dengan kasih sayang dan mengampuni dosa-dosa mereka kecuali empat golongan.” Para malaikat berkata, “Siapa mereka?”. Jibril menjawab, “Mereka adalah orang yang selalu meminum minuman keras (khamr), orang yang durhaka kepada orang tua, orang yang memutus silaturrahmi, dan orang yang mendiamkan saudaranya lebih dari 3 hari.” (Durratun Nashihin, 271)

Kendati demikian, umat muslim sebaiknya tetap beribadah dan berdoa sama giatnya selama bulan Ramadan. Karena keseluruhan Ramadan penuh dengan keberkahan. Pahala dilipatgandakan dan doa-doa menjadi mustajab di bulan suci ini.

Wallahu a’lam

Bulan Ramadan, Nuzululquran dan Kewajiban Puasa

0
Ramadan, nuzululquran dan kewajiban puasa
Ramadan, nuzululquran dan kewajiban puasa

Bulan Ramadan menjadi momentum bagi umat Islam di seluruh dunia untuk lebih dekat dengan Alquran. Alasan pernyataan ini antara lain, pertama, Ramadan merupakan bulan yang telah Allah Swt. pilih untuk menurunkan kitab suci Alquran. Kedua, selain tarawih, ibadah yang juga ‘naik daun’ di bulan Ramadan adalah membaca Alquran, baik itu dengan model tadarus atau lainnya. Kegiatan semacam ini lantas semakin meneguhkan bahwa Ramadan adalah bulan Alquran.

Informasi bahwa Alquran turun pada bulan Ramadan telah Allah swt. tegaskan dalam firmanNya, surah al-Baqarah ayat 185.

شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَان…… [البقرة: 185]

Bulan Ramadan adalah (bulan) yang di dalamnya diturunkan Alquran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu serta pembeda (antara yang hak dan yang batil)…..Q.S. Al-Baqarah [02]: 185.

Baca Juga: Ketika Al-Quran Menceritakan Proses Nuzulul Quran

Keterkaitan antara nuzululquran dan kewajiban puasa Ramadan

Terlepas dari pandangan para ulama terkait proses turunnya Alquran, ayat di atas menegaskan bahwa Alquran diturunkan pada Bulan Ramadan. Selain informasi tentang turunnya Alquran, dalam Tafsir al-Khazin, diterangkan bahwa ayat tersebut juga menjadi memuat tentang penjelasan tentang kaitan antara nuzululquran dan kewajiban puasa. Menurut pengarang tafsir tersebut, diturunkannya Alquran di bulan Ramadan menjadi salah satu alasan terbesar puasa diwajibkan pada bulan tersebut. (Lubab at-Ta’wil fi Ma’ani at-Tanzil, juz 1, hal. 111)

Penjelasan yang hampir sama juga disampaikan oleh Fakhruddin ar-Razi dalam tafsirnya. Pasalnya, Alquran merupakan kalam-Nya yang paling agung. Disisi lain, puasa merupakan ibadah yang dinilal paling agung sehingga ada munasabah yang kuat ketika puasa sebagai ibadah paling agung diwajibkan pada saat kalamNya yang paling agung itu diturunkan, yaitu pada bulan Ramadan.

Di saat Alquran adalah tanda-tanda ketuhananNya yang paling agung (أعظم آياته الربوبية), maka puasa adalah simbol kehambaan yang paling agung juga (نوع عظيم من آيات العبودية).

Lebih lanjut, menurut ar-Razi, keistimewaan puasa tampak ketika kita memahami hakikat dan tujuan utama dari puasa. Sepertinya, ar-Razi sedang menunjukkan sisi filusufnya ketika menjelaskan hal ini.

Menurut beliau, manusia sejatinya mampu melihat cahaya ilahi (الانوار الصمدية) karena pada hakikatnya cahaya itu tidak pernah terhalang oleh apa pun, akan tetapi, manusia kebanyakan tidak mampu menyaksikan hakikat itu lantaran banyak keterkaitan duniawi yang menutupi mata batinnya.  Agar mampu melihat hakikat tersebut, manusia harus mampu memutus keterkaitan-keterkaitan tersebut (العلائق البشرية), dan yang paling berpotensi memutus ikatan-ikatan yang menghalangi pandangan mata batin itu adalah puasa. Hal ini karena puasa sebagai bentuk latihan bagi seseorang untuk menundukkan hawa nafsu yang kerap kali menghalangi mata batin manusia dari hakikat yang sesungguhnya. (Mafatih al-Ghaib, juz 5, hal. 251-252)

Tidak jauh beda dengan kedua mufasir yang awal, Syaikh Abdul Karim al-Khatib juga memahami hal yang serupa. Menurut beliau, bulan Ramadan menjadi saat dan momen yang tepat diwajibkannya puasa Ramadan. Pada bulan ini menjadi awal mula diturunkannya cahaya Alquran dan hidayah Islam ke dunia, sehingga bulan ini menjadi waktu yang paling cocok untuk mendekatkan diri kepada Allah dengan berpuasa. Sebab, puasa sendiri berpotensi membersihkan jiwa manusia dari nafsu-nafsu materialistik. (At-Tafsir al-Qurani li al-Quran, juz 1, hal. 202).

Baca Juga: Surah al-Qadr Ayat 1, Nuzulul Qur’an dan Lailatul Qadr Menurut Fakhruddin Ar-Razi

Satu analisis yang agak sedikit berbeda dijelaskan oleh al-Qasimi dalam kitab tafsirnya. Kali ini beliau melihat keterkaitan antara nuzululquran dan kewajiban puasa dari tujuan dari disyariatkannya puasa, yaitu untuk menjernihkan pikiran. Sementara itu, kejernihan pikiran adalah hal yang mutlak diprelukan oleh seseorang ketika membaca dan mempelajari Alquran, agar seseorang itu dapat menerima dan memahami pesan-pesan dalam Alquran dengan tanpa keraguan sedikit pun. (Mahasin at-Ta’wil, juz 2, hal. 25).

Demikian kurang lebih para mufasir memahami keterkaitan antara nuzuluquran dan kewajiban puasa. Pada dasarnya, mereka mempunyai pandangan yang sama tentang keterkaitan antara keduanya. Pertanyaan reflektif yang mungkin muncul dari penjelasan para mufasir di atas adalah, apakah keterkaitan ini juga yang membedakan puasa umat Nabi Muhammad dengan puasa umat-umat Nabi sebelumnya? Wallah a’lam

Menilik Isyarat Pahala Puasa dari Beberapa Ayat Alquran

0
menilik isyarat pahala puasa dalam ayat Alquran
menilik isyarat pahala puasa dalam ayat Alquran

Puasa merupakan ibadah yang sangat istimewa di mata Allah swt. Mungkin ini konsekuensi paling sederhana yang dapat dipahami dari beberapa riwayat yang berkaitan tentang puasa, terlebih tentang pahala puasa. Sebut saja, riwayat Imam Malik (93-197 H./712-795 M.). Dalam Al-Muwaththa’-nya meriwayatkan,

كُلُّ حَسَنَةٍ بِعَشْرَةِ أَمْثَالِهَا إِلَى سَبْعِ مِائَةِ ضِعْفٍ، إِلاَّ الصِّيَامَ، فَهُوَ لِي وَأَنَا أَجْزِي بِهِ

“Setiap kebaikan akan dilipatgandakan 10 sampai 700 kali lipat, kecuali puasa. Ia milik-Ku dan aku sendiri yang akan membalasnya.”

Dengan redaksi yang hampir sama, riwayat serupa juga dapat dijumpai dalam Shahih Bukhari (194-256 H./810-870 M.), Shahih Muslim (204-261 H./820-875 M.), Musnad Ahmad bin Hanbal (163-241 H./780-855 M.), Sunan Ibn Majah (207-273 H.) dan Sunan An-Nasa’i (215-303 H.).

Secara ringkas dapat dipahami bahwa riwayat ini menjadi istitsna’ atau pengecualian atas pahala setiap amal kebaikan. Jika umumnya kebaikan akan dilipatgandakan pahalanya sepuluh sampai 700 kali lipat maka tidak demikian dengan puasa. Allah Swt. sendiri yang ‘memilikinya’ dan Dia sendiri yang akan memberikan pahala.

Dari penjelasan ini, setidaknya dua pertanyaan yang bisa diajukan: pertama, mengapa ibadah puasa begitu istimewa di hadapan Allah Swt.? kedua, seberapa besar pahala yang diberikan Allah kepada mereka yang berpuasa?

Baca Juga: Empat Aspek Penting dalam Tadabur Ayat tentang Puasa Ramadan

al-Ghazali (450-505 H./1057-1111 M.) dalam Ihya’ ‘Ulum ad-Din menjelaskan bahwa ada dua alasan yang menyebabkan puasa begitu istimewa. Pertama, puasa pada hakikatnya adalah menahan (al-kaff) dan meninggalkan (al-tark). Ia tidak memiliki amaliah lahir yang terlihat sebagaimana ibadah lainnya: salat, zakat, dan haji. Oleh karenanya, hanya Allah swt. sendiri yang menyaksikannya.

Kedua, puasa memiliki peranan penting dalam melemahkan nafsu (asy-syahwah) yang pada gilirannya turut melemahkan tipu muslihat setan. Berdasar alasan ini pula, Rasulullah saw. bersabda,

إِنَّ الشَّيْطَانَ لَيَجْرِي مِن ابْنِ آدَمَ مَجْرَى الدَّمِ فَضَيِّقُوْا مَجَارِيَهُ بِالْجُوْعِ

“Sesungguhnya setan ‘mengalir’ dalam tubuh anah Adam mengikuti aliran darah, maka buatlah sempit alirannya dengan lapar (puasa).”

Alasan kedua ini pula yang agaknya dapat menjadi penjelasan logis atas sabda Rasulullah saw. lainnya,

إِذَا دَخَلَ شَهْرُ رَمَضَانَ فُتِحَتْ أَبْوَابُ الْجَنَّةَ وَغُلِقَتْ أَبْوَابُ النَّارِ وَصُفِدَتْ الشَّيَاطِيْنُ

“Ketika telah masuk bulan Ramadhan pintu-pintu surga dibuka, pintu-pintu neraka ditutup, dan setan-setan dibelenggu.” (HR. Ahmad)

Baca Juga: Sejarah Awal Kewajiban Puasa dan Turunnya Surah al-Baqarah Ayat 187

Isyarat pahala puasa dalam beberapa ayat Alquran

Sementara untuk pahala puasa, setidaknya tiga ayat yang memuat isyarat hal ini menurut al-Ghazali. Pertama, surah al-Haqqah [69] ayat 24,

كُلُوا وَاشْرَبُوا هَنِيئًا بِمَا أَسْلَفْتُمْ فِي الْأَيَّامِ الْخَالِيَةِ

(Dikatakan kepada mereka,) “Makan dan minumlah dengan nikmat sebagai balasan amal yang kamu kerjakan pada hari-hari yang telah lalu.”

Imam Waki‘ menyebut bahwa maksud dari al-ayyam al-khaliyah (hari-hari yang telah lalu) adalah hari-hari yang digunakan untuk berpuasa. Senada dengan Imam Al-Kalbi, sebagaimana dinukil ar-Razi (w. 606 H.) dalam Mafatih al-Gaib, yang mendasarkan tafsirnya ini dengan keberadaan dua perintah di awal ayat. Perintah makan dan minum ditujukan bagi mereka yang selama di dunia tercegah dari keduanya karena berpuasa.

Kedua, surah az-Zumar [39] ayat 10,

إِنَّمَا يُوَفَّى الصَّابِرُونَ أَجْرَهُمْ بِغَيْرِ حِسَابٍ

“Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang disempurnakan pahalanya tanpa perhitungan.”

Ar-Razi dalam tafsirnya, Mafatih al-Gaib, menjelaskan bahwa frasa bi gair hisab dapat digambarkan paling tidak dari dua sisi, kuantitas dan kualitas. Sisi kuantitas meniscayakan adanya kontinuitas pahala yang tiada henti (gair nihayah), sebagai konsekuensi logis dari sesuatu yang memiliki hisab (bilangan) akan selalu berhenti (mutanahi).

Sedangkan dari sisi kualitas, frasa bi gair hisab digambarkan sebagai sesuatu yang tidak dapat didefinisikan. Rasulullah saw. menyebutnya sebagai,

مَا لَا عَيْنٌ رَأَتْ وَلَا أُذُنٌ سَمِعَتْ وَلَا خَطَرَ عَلَى قَلْبِ بَشَرٍ

“kenikmatan yang mata belum pernah melihat, telinga belum pernah mendengar, dan belum pernah terbersit di hati manusia.”

Sabda Rasulullah saw. ini juga menjadi tafsiran atas ayat ketiga yang disebutkan oleh al-Ghazali sebagai isyarat pahala puasa, surah as-Sajdah [32] ayat 17,

فَلَا تَعْلَمُ نَفْسٌ مَا أُخْفِيَ لَهُمْ مِنْ قُرَّةِ أَعْيُنٍ جَزَاءً بِمَا كَانُوا يَعْمَلُونَ

“Tidak seorang pun mengetahui apa yang disembunyikan untuk mereka berupa (macam-macam nikmat) yang menyenangkan hati sebagai balasan terhadap apa yang selalu mereka kerjakan.”

Oleh karena keistimewaan dan kebesaran pahala yang dimiliki ini, sudah semestinya kita menunaikan ibadah puasa dengan spirit imanan wa ihtisaban yang sesungguhnya. Semoga memperoleh hal yang telah Allah dan rasul-Nya janjikan dalam setiap firman dan sabdanya. Amiin. Wallahu a‘lam bi ash-shawab

Cara Mengenalkan Alquran Kepada Non-Muslim Ala Ingrid Mattson

0
Cara Mengenalkan Alquran Kepada Non-Muslim Ala Ingrid Mattson
Cara Mengenalkan Alquran Kepada Non-Muslim Ala Ingrid Mattson

Ingrid Mattson adalah seorang aktivis, professor dalam kajian Islam dan seorang muallaf. Ia aktif di berbagai kegiatan sosial kegamaan seperti pernah menjadi Presidan Masyrakat Islam Amerika Utara (ISNA). Suatu waktu ia menulis sebuah buku fenomenal yang berjudul “The Story of The Qur’an” yang sudah diterjemahkan ke dalam edisi bahasa Indonesia dengan judul “Ulumul Qur’an Zaman Kita”.

Buku yang ia tulis bertujuan untuk mengkounter eksrimis fundamentalis yang non-Islam. Sebagian mereka walaupun tidak semua, begitu tekstualis memaknai Alquran maupun teks Alquran seperti memahami kitab suci mereka. Karena pemaknaan yang tekstualis itu akhirnya terjadi justifikasi yang buruk terhadap Alquran juncto Islam. Padahal menurut Ingrid, ayat Alquran tidak bisa lepas dari konteks.

Baca Juga: Dialektika Alquran dan Budaya dalam Kerangka Pikir Ingrid Mattson

Sebagian non Muslim juga ada yang berusaha menggali makna Alquran dengan maksud yang benar. Oleh karena itulah Ingrid menulis sebuah buku yang diharapkan menjadi solusi bagi mereka yang ingin memahami Alquran secara benar. Memahamkan Alquran kepada orang skeptis ini tidak bisa diakali dengan mendefinisikan Alquran seperti yang dicetuskan oleh ulama tafsir atau Islam. “Alquran adalah Kalamullah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad yang memberi mukjizat dengan surat-suratnya serta membacanya termasuk ibadah”. Jika definisi ini diutarakan, mereka akan menolak Alquran mentah-mentah karena mereka sendiri bukan Islam. (Mattson, Ulumul Qur’an Zaman Kita, 2013).

Ketika Alquran turun di tanah Arab, ia mengenalkan dirinya menyesuaikan (akulturatif) dengan kultural saat itu. Orang Arab sangat suka dengan sastra, musik, syair dan sajak. Alquran mengkondisikannya dengan meniru pola, rima dan bunyi sastra tersebut. Tetapi Alquran menegaskan dirinya bukanlah syair (Q.S. Yasin [36]: 69-70), sajak ataupun yang lain-lain.

Ketersesuaian ini akhirnya menimbulkan ketertarikan orang Arab dengan Alquran. Walaupun penerimaan itu mendapat reaksi negatif orang Arab dengan dalih Alquran adalah karya Muhammad, bukan dari Tuhan. Berbagai stigma seperti dukun, penyair, orang kerasukan dan lain-lain melekat ke diri sang Nabi.

Baca Juga: Surah Al-Mujadalah Ayat 1-2: Memaknai Kehadiran Al-Quran Perspektif Ingrid Mattson

Tuduhan tersebut adalah implikasi dari gaya sastra tingkat tinggi yang dibawa oleh Alquran membuat orang Arab takjub dan heran. Mereka berkeyakinan gaya bahasa yang tinggi ini bukan semata dari Muhammad, melainkan bantuan dari jin.

Alquran juga mengenalkan dirinya sebagai agen perubahan. Dulu, orang Arab juga sudah mengenal konsep ketuhanan. Akan tetapi konsep tersebut berbeda dengan apa yang dibawa Alquran. Jika orang Arab menganggap Tuhan punya anak, malaikat adalah anak perempuan Tuhan, maka Alquranmenyangkal semua itu.

Konsep yang diyakini orang Arab tersebut hanya ingin menunjukkan kedekatan mereka dengan Tuhan. Alquran mengubahnya dengan konsep tauhid tetapi tidak melupakan kondisi psikis orang Arab. Bahkan Alquran mengatakan Tuhan itu lebih dekat dari urat nadi mereka. Penyebutan nama Tuhan yang kadang-kadang berganti dari orang ketiga, kedua dan pertama itu menunjukkan bukti kedekatan Tuhan dengan makhluknya.

Baca Juga: Konteks dan Keterampilan dalam Memahami Al-Quran Menurut Ingrid Mattson

Ini adalah bukti Alquran sebagai agen perubahan yang kondusif dan solutif sekaligus transformatif. Artinya, Alquran mentransformasikan kebiasaan orang Arab yang mengkonsepsikan Tuhan adalah sesuatu yang berbentuk fisik kepada sesuatu yang bersifat abstrak, namun akan selalu ada dan hadir seperti Maha Melihat, Maha Mendengar, Maha Mengetahui dll.

Di sisi lain, Alquran juga mendeskripsikan dirinya dengan kitab yang humanis. Ayat mengenai peperangan banyak sekali disebutkan oleh Alquran terutama dalam surat-surat Madaniyah. Sekali lagi, Alquran tidak menyebutkan secara detail kisah dan tokoh. Hal demikian hanya bisa ketahaui melalui sirah.

Yang menjadi hal unik adalah walaupun Alquran banyak menceritakan ayat perintah berperang, tidak otomatis menjadikan berperang sebagai opsi pertama. Berperang hanya digunakan untuk alat pertahanan ketika diserang musuh. Spirit utama yang dijunjung Alquran adalah spirit perdamaian, kemanusiaan dan kebebasan. Alquran melarang umat Islam untuk memaksa orang non-Islam masuk keagamanya (al-Baqarah [2]: 256.

Alquran juga menjamin hak dan kebebasan non-Muslim menjalakan keyakinannya. Menurut Sahiron Syamsuddin di dalam bukunya “Hermeneutika dan Pengembangan Ulumul Qur’an” bahwa ayat-ayat peperangan adalah bagian sekunder (parts/ab’adl) dari keseluruhan (the whole/al-kulli) dari konsep Islam rahmatan lil ‘alamin. Artinya, di atas peperangan sebenarnya masih ada nilai-nilai yang harus dijunjung tinggi yakni kasih sayang (Syamsuddin, Hermeneutika dan Pengembangan Ulumul Qur’an, 2017).

Demikianlah menurut Ingrid Mattson bagaimana langkah-langkah mengenalkan Alquran kepada orang non-Muslim. Intinya, pendekatan yang digunakan haruslah melihat kondisi audiens. Jika audiensnya orang yang tidak percaya konsep Islam, maka gunakanlah nilai-nilai yang sekiranya bisa mereka terima secara akal dan moral, di antaranya mendefinisikan Alquran itu adalah kitab yang adaptif, membawa perubahan atau solutif dan humanis atau menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan.

Wallahu a’lam.