Beranda blog Halaman 42

‘Ulumul Qur’an dalam Tinjauan Kurikulum Pesantren Dulu dan Kini

0
'Ulumul Qur'an dalam Tinjauan Kurikulum Pesantren Dulu dan Kini

Kurikulum merupakan jantung dari suatu instansi pendidikan, baik di pendidikan umum maupun keagamaan seperti pesantren. Kurikulum pesantren menjadi perhatian serius oleh para kiai dan pengemban kebijakan agar apa yang diajarkan dan yang dihasilkan sesuai dengan ketentuan syariat serta kebutuhan umat. Salah satu bidang keilmuan yang diajarkan adalah ‘ulumul Qur’an, suatu perangkat untuk memahami kandungan Alquran. Dalam tulisan ini akan diuraikan ‘ulumul Qur’an dalam tinjauan kurikulum pesantren dulu dan kini.

Gus Dur dalam buku Menggerakkan Tradisi: Esai-Esai Pesantren menyebut bahwa kurikulum dalam pesantren bertujuan untuk mencapai standar minimal bagi lulusannya di bidang keagamaan. Baginya, kurikulum pesantren hanya mengantarkan pada ilmu dasar belaka. Maka, seseorang perlu melakukan pendalaman lebih lanjut untuk bisa disebut sebagai ‘alim-‘ulama atau kiai. Gus Dur juga menekankan pentingnya perjenjangan atau graduasi dalam pengajaran di pesantren. Sehingga santri akan dikelompokkan mana yang masuk kategori dasar, menengah pertama dan menengah atas.

Baca Juga: Pentingnya Mencatat Sejarah Ulumul Quran Pesantren

Kurikulum ‘Ulumul Qur’an Pesantren Dulu

Catatan mengenai kurikulum ‘ulumul Qur’an terdahulu ada dalam buku Martin van Bruinessen, Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat. Ia menyebut bahwa kurikulum ‘ulumul Qur’an muncul belakangan setelah kurikulum tafsir berjalan.

Ia menunjukkan bahwa di tahun 1886-an Van den Berg hanya mencatat kurikulum tafsirnya saja, tanpa ‘ulumul Qur’an. Sementara Martin baru saja menulis di tahun 1990-an dan mencatat ada 2 kitab ‘ulumul Qur’an yang digunakan yakni Itmam ad-Dirayah li Qurra’ an-Niqayah dan al-Itqan fî ulûm al-Qur’an. Kedua kitab ini merupakan kitab yang sama-sama ditulis oleh Jalaluddin As-Suyuthi, ulama dan penulis abad pertengahan yang produktif.

Apa yang ditemukan oleh Martin van Bruinessen sebenarnya hanyalah sampel dari beberapa pesantren saja. Tetapi, dalam pelacakan saya di pesantren Bahrul ‘Ulum Tambakberas Jombang di tahun 2023, salah satu pengajar menyebut bahwa pada tahun 1980-an sudah menggunakan Manzhumah at-Tafsir Az-Zamzami sebagai bagian kurikulum. Kitab yang digunakan ini tidak tercatat dalam pelacakan Martin van Bruinessen.

Baca Juga: Az-Zamzami, Sastrawan Abad Pertengahan yang Berperan Penting dalam Ulumul Quran

Sementara pengajar pesantren Tambakberas yang memberikan informasi secara lisan kepada saya adalah KH. Abdul Rohim penulis syarah Manzhumah at-Tafsir Az-Zamzami,. Ia menceritakan bahwa saat ia menyantri sudah mendapatkan kurikulum Manzhumah at-Tafsir Az-Zamzami.

Kurikulum ‘Ulumul Qur’an Pesantren Kini

Di era saat ini, kebijakan terkait kurikulum ‘ulumul Qur’an di pesantren telah ditetapkan melalui Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Islam, terutama dalam konteks pendidikan diniyah formal. Dalam kebijakan yang disebut sebagai Kerangka Dasar dan Struktur Kurikulum (KDSK) Pendidikan Diniyah Formal Wustha (setara dengan Sekolah Menengah Pertama) dan Ulya (setara dengan Sekolah Menengah Atas), terdapat serangkaian kitab ‘ulumul Qur’an yang menjadi bagian integral dari kurikulum.

Tujuan dari penyelenggaraan kurikulum ‘ulumul Qur’an klasik ini adalah untuk memungkinkan peserta didik memahami dengan baik ilmu-ilmu yang digunakan oleh ahli tafsir dalam menafsirkan Alquran secara benar, sekaligus untuk mendorong mereka mengamalkan ajaran yang terkandung dalam Alquran. Hal ini penting karena memahami ilmu tafsir atau ‘ulumul Qur’an dapat mencegah seseorang untuk menafsirkan Alquran secara sembrono dengan menggunakan akalnya semata.

Baca Juga: Sejarah Kemunculan Tafsir Pesantren

Kerangka dasar dan struktur kurikulum menekankan penggunaan kitab-kitab yang dianggap sebagai rujukan utama dan memiliki otoritas di lingkungan pesantren. Kurikulum untuk tingkat Wustha meliputi kitab Itmam ad-Dirayah li Qurra’ ‘an Niqayah karya Jalaluddin As-Suyuthî, Manzhumah Tafsir karya Abdul Aziz Az-Zamzami, Nahju at-Taysîr karya Sayyid Muhsin al-Musawa al-Hadhrami al-Falimbani, Mawâqi’ al-‘ulûm fi Mawâqi’ an-Nujûm karya Jalaluddin al-Bulqînî, dan at-Tafsir fi Qawâ’id ‘ilm at-Tafsir karya Muhammad bin Sulaiman al-Kâfiji. Sedangkan untuk tingkat Ulya, kitab yang diajarkan meliputi Al-Itqân fî ‘ulûm al-Qur’an dan Itmâm ad-Dirâyah karya Jalaluddin As-Suyuthî, serta Mabâhits fî ‘ulûm al-Qur’an karya Subhi Shalih.

Penjagaan Tradisi Kurikulum Pesantren

Dari catatan di atas, kurikulum ‘ulumul Qur’an pesantren yang telah digunakan sejak lama tetap dipertahankan hingga era kini, seperti kitab Al-Itqan, Itmam, dan Manzhumah Tafsir. Meskipun begitu, kurikulum sekarang memberikan tambahan kitab yang digunakan, termasuk kitab ‘ulumul Qur’an yang ditulis oleh orang Indonesia, yakni Sayyid Muhsin Al-Musawa dengan judul Nahju at-Taysîr.

Penjagaan tradisi kurikulum pesantren seperti ini merupakan aplikasi dari kredo Al-muhafadhotu ala al-qadimi as-salih wal akhdzu bil Jadidil aslah (menjaga tradisi yang baik dan tetap berinovasi dengan mengambil hal baru yang lebih baik).

Wallahu a’lam.

Hikmah Disandingkannya Kewajiban Puasa dengan Kewajiban Umat Terdahulu

0
Hikmah Disandingkannya Kewajiban Puasa dengan Kewajiban Umat Terdahulu

Dalam kajian hukum Islam, ada istilah ajaran umat terdahulu. Secara umum, bahwa seluruh agama samawi yang pernah tercatat dalam sejarah mengusung satu ajaran teologis yang sama, yaitu mengesakan Allah swt. dan menghambakan diri kepada-Nya. Akan tetapi, ajaran-ajaran yang bersifat parsial dan kasuistik antara satu umat dengan umat nabi yang lain berbeda. Inilah yang diistilahkan dengan syar’u man qablana (syariat umat terdahulu).

Ada banyak syariat-syariat dan ajaran-ajaran nabi terdahulu yang masih eksis sampai sekarang dan bahkan menjadi bagian dari syariat Islam, meskipun terdapat perbedaan dalam berbagai aspek. Di antaranya adalah ibadah salat, puasa, haji dengan segala ritualnya, dan masih banyak lagi.

Baca Juga: Penjelasan tentang Puasa Umat-Umat Terdahulu dalam Berbagai Kitab Tafsir

Namun, di antara sekian banyak syariat umat terdahulu yang masih lestari hingga sekarang, syariat puasa memiliki keunikan tersendiri dibanding yang lain. Hal ini terlihat dari kewajiban puasa yang dianalogikan dan diperbandingkan dengan kewajiban puasa umat terdahulu. ini terlihat dalam surah Albaqarah [2]: 183, Allah Swt. berfirman:

 يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang sebelum kamu agar kamu bertakwa. (Q.S. Albaqarah [02]: 183).

Imam Abu Hayyan al-Andalusi menjelaskan bahwa kewajiban berpuasa merupakan syariat yang telah ada bahkan sejak manusia pertama, yaitu Nabi Adam a.s Lebih lanjut, beliau memaparkan bahwa seluruh umat-umat nabi terdahulu sejak Nabi Adam a.s sampai umat Nabi Muhammad saw., semuanya menerima syariat puasa. Tidak ada satupun dari mereka yang tidak dibebankan kewajiban puasa. (Al-Bahr al-Muhith, Juz 2, 36 )

Bahkan, dalam Tafsir al-Misbah, M. Quraish Shihab menjelaskan bahwa kewajiban puasa bukan hanya terkhusus bagi penganut agama samawi. Bahkan orang-orang Mesir Kuno sebelum mereka mengenal agama samawi telah melakukan ritual puasa, terlepas dari bagaimana tata cara pelaksanaannya.

Baca Juga: Kesamaan Puasa Umat Nabi Muhammad dan Umat Sebelumnya

Menurutnya, redaksi كتب yang menggunakan bentuk kalimat pasif (fi’il majhul) mengisyaratkan bahwa sebagian umat terdahulu ada yang berpuasa lantaran ajaran dari para tokoh-tokoh mereka, bukan atas wahyu ilahi. Sehingga dapat dikatakan bahwa puasa merupakan ritual yang telah ada sepanjang sejarah peradaban manusia. (Tafsir al-Misbah, Juz 1, 485)

Hikmah Disinggungnya Kewajiban Puasa Umat Terdahulu dalam Q.S. Albaqarah [2]: 183

Bukan tanpa alasan Allah Swt. menyebutkan dan menyandingkan kewajiban puasa yang dibebaankan kepada umat Islam dengan kewajiban puasa umat-umat terdahulu. Imam Ibnu Asyur merumuskan setidaknya ada tiga poin penting mengapa Allah Swt. menyebutkan kewajiban puasa umat terdahulu bersandingan dengan kewajiban puasa umat Islam dalam ayat tersebut.

Pertama, sebagai dan indikasi dan bukti bahwa puasa merupakan ibadah yang amat penting. Sebab, puasa merupakan ritual yang tidak pernah luput disyariatkan kepada umat manusia sejak manusia pertama sampai umat Nabi Muhammad saw. sebagai umat nabi terakhir. Selanjutnya, dengan mengetahui kadar keutamaan ibadah puasa ini, diharapkan umat Islam akan memiliki semangat dan gairah yang tinggi untuk menjalankan ibadah puasa.

Baca Juga: Syariat Umat Terdahulu dalam Alquran

Kedua, disandingkannya kewajiban berpuasa dengan kewajiban serupa yang pernah dibebankan kepada umat terdahulu diharapkan akan memberikan stimulus kepada umat Islam dalam menjalankan ibadah puasa.

Tidak dapat dipungkiri bahwa puasa merupakan ibadah yang berat karena harus meninggalkan hal-hal yang diinginkan oleh hawa nafsu, seperti makan minum dan lain sebagainya. Akan tetapi, dengan adanya informasi bahwa umat terdahulu juga melaksanakan ibadah puasa, maka timbul kepercayaan diri bahwa umat Islam juga akan mampu melaksanakan tanggungan kewajiban tersebut. Sebab, bercermin kepada kehidupan orang lain dapat menjadi pedoman dalam menghadapi beban, baik berupa beban hidup maupun beban kewajiban.

Ketiga, hal tersebut diharapkan akan membawa dampak positif kepada kaum muslim berupa kekuatan tekad dan serta semangat yang menggebu-gebu dalam menjalankan kewajiban puasa. Umat Islam diharapkan mampu mengambil teladan dari umat-umat terdahulu dalam menjalankan kewajiban. Tatakala mereka mampu menerima dan melaksanakan ibadah puasa dengan baik maka kita juga harus memiliki semangat yang bahkan lebih kuat daripada mereka dalam menerima dan menunaikkan kewajiban. (Al-Tahrir wa al-Tanwir, Juz 1, 156-157 )

Dengan demikian, dapat diambil kesimpulan bahwa disamakannya kewajiban puasa dengan kewajiban umat terdahulu adalah sebagai penyemangat bagi kaum muslim. Sehingga, tatkala diyakini bahwa semua manusia bahkan dari sejak manusia pertama melakukan ritual ibadah tersebut, maka ia akan terasa ringan. Sebab sesuatu yang berat akan terasa ringan manakala sudah menjadi kebiasaan umum. (Mafatih al-Ghaib, Juz 5, 239 ).

Wallahu a’lam.

Ketentuan Hukum Puasa Bagi Pekerja Berat

0
Ketentuan hukum puasa bagi pekerja berat
Ketentuan hukum puasa bagi pekerja berat

Beberapa orang yang diberi keringanan untuk boleh memilih tidak berpuasa di Ramadan antara lain orang yang sakit, sedang dalam perjalanan jauh, ibu hamil, menyusui dan lain sebagainya. Mereka mendapat keringananan tersebut karena berada dalam kondisi yang lemah, dan akan menyulitkan mereka ketika tetap harus berpuasa. Namun demikian, mereka tetap berkewajiban untuk mengganti puasa di hari lain dalam kondisi yang lebih kuat.

Inilah bentuk kemurahan syariat. Melaksanakan kewajiban dan meninggalkan larangan agama adalah harga mati, akan tetapi, dalam kondisi tertentu syariat memberikan dispensasi dan kelonggaran. Hal ini sebagaimana salah satu prinsip syariat Islam itu sendiri yang tertuang dalam Alquran, surah al-Hajj ayat 78,

وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَج [الحج: 78]

dan Dia tidak menjadikan kesukaran untukmu dalam agama, Q.S. al-Hajj [22]: 78.

Baca Juga: Keistimewaan Puasa Ramadan dan Manifestasi Kasih Sayang Tuhan

Prinsip ‘adam al-ḥaraj dalam dispensasi puasa

Satu kondisi lain yang juga sering menjadi pembahasan ulama mengenai kelonggaran puasa bagi pekerja berat. Kuli bangunan misalnya, Dia akan sangat kesulitan bekerja ketika dalam keadaan berpuasa. Contoh lain yaitu supir yang membutuhkan minum dengan intensitas yang lumayan sering untuk menjaga konsentrasi saat menyetir. Apakah mereka diberikan keringanan oleh syariat untuk tidak berpuasa sebagaimana mereka yang disebut di awal?

Salah satu dalil adanya keringanan bagi sebagian golongan untuk tidak berpuasa pada bulan Ramadan adalah firman Allah swt. dalam surah al-Baqarah ayat 184,

أَيَّامًا مَعْدُودَاتٍ فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ فَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَهُ وَأَنْ تَصُومُوا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ [البقرة: 184]

(Yaitu) beberapa hari tertentu. Maka barangsiapa di antara kamu sakit atau dalam perjalanan (lalu tidak berpuasa), maka (wajib mengganti) sebanyak hari (yang dia tidak berpuasa itu) pada hari-hari yang lain. Dan bagi orang yang berat menjalankannya, wajib membayar fidyah, yaitu memberi makan seorang miskin. Tetapi barangsiapa dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itu lebih baik baginya, dan puasamu itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.

Hikmah di balik adanya ketentuan seperti ini adalah memberikan manusia kelonggaran agar tidak berada dalam kepayahan. Hal ini berangkat dari salah satu prinsip Islam yaitu ‘adam al-haraj (meniadakan kepayahan) sebagaimana disebutkan dalam ayat ke 78 surat al-Hajj sebelumnya.

Dari sini kemudian mayoritas ulama memberikan batasan bahwa sakit yang menyebabkan bolehnya tidak berpuasa adalah sakit keras yang secara medis dianjurkan untuk tidak berpuasa karena akan berdampak fatal. Sedangkan bepergian yang memperbolehkan tidak berpuasa adalah perjalanan dengan jarak tempuh yang diperbolehkan meng-qashar salat. (Tafsir al-Maraghi, juz, 2 hal. 71)

Baca Juga: Hubungan antara Doa dan Puasa

Kelonggaran puasa bagi pekerja berat  

Berangkat dari prinsip ‘adam al-haraj tersebut, dapat diasumsikan bahwa orang yang sedang melakukan pekerjaan berat pada bulan Ramadan juga diperbolehkan untuk tidak berpuasa sebagaimana orang yang sakit, bepergian, hamil, dan seterusnya. Hal ini karena mengingat illat (alasan) keputusan hukum, yaitu adanya masyaqqah (kesulitan) juga dijumpai pada kasus pekerja berat.

Dalam kitab Busyra al-Karim hal. 559, karya Syaikh Said Ba’asyan al-Hadrami al-Syafi’i, terdapat keterangan sebagai berikut:

ويلزم أهل العمل المشق في رمضان كالحصادين ونحوهم تبييت النية، ثم من لحقه منهم مشقة شديدة .. أفطر، وإلا .. فلا.. ولا فرق بين الأجير والغني وغيره، والمتبرع وإن وجد غيره وتأتى لهم العمل ليلا

Para pekerja berat seperti petani dan semisalnya diwajibkan pada bulan Ramadan tetap berniat puasa di malam hari. Kemudian, jika seseorang di antara mereka mengalami kepayahan (ketika sedang bekerja), maka dia boleh berbuka, sedangkan mereka yang tidak mendapati kepayahan tidak boleh membatalkan puasanya.”

Dari keterangan di atas, dapat dipahami bahwa para pekerja berat diperbolehkan tidak berpuasa dengan alasan adanya kepayahan jika dia melanjutkan berpuasa. Namun, dia harus tetap berniat di malam hari bahwa dia akan berpuasa. Artinya, dispensasi bagi para pekerja berat untuk tidak berpuasa, berlaku bilamana kepayahan dan ketidakmampuan dalam menjalankan ibadah puasa benar-benar telah terwujud secara nyata.

Kewajiban untuk tetap berniat di malam hari tersebut cukup beralasan mengingat adanya kemungkinan bahwa kepayahan atau masyaqat yang menjadi sebab dibolehkannya berbuka tidak terwujud, atau barangkali seseorang tersebut tidak jadi melakukan pekerjaan berat di pagi harinya, karena ketika dia meninggalkan niat puasa di malam harinya, maka dia telah meninggalkan puasa tanpa sebab yang jelas. (I’anah al-Thalibin, juz 2, hal. 237)

Ketentuan untuk tetap berniat puasa di malam hari ini pada dasarnya juga berlaku bagi orang sakit. Jika sebelum terbit fajar kondisinya memungkinkan untuk berpuasa maka dia wajib berniat puasa meskipun dia yakin bahwa di pagi harinya dia akan merasa kepayahan.

Hal ini sejalan dengan kaidah yang mengatakan bahwa alḥukm yadūr ma’a ‘illatih wujūd wa ‘adam (ada atau tidak adanya sebuah keputusan hukum itu tergantung kepada alasannya). Jika alasannya ada, maka hukum itu juga diterapkan. Sebaliknya, jika suatu alasan itu tidak dijumpai, maka ketentuan hukum juga tidak bisa diterapkan.

Demikian juga dengan pekerja berat, dia diwajibkan untuk tetap berniat puasa di malam hari karena pada waktu itu tidak ada alasan untuk meninggalkan ibadah puasa. Lantas kemudian, jika di siang hari dia bekerja dalam kondisi puasa dirasa sangat berat, maka dia boleh membatalkan puasanya dan menggantinya di hari-hari yang lain. Namun jika puasa tidak menimbulkan kesulitan yang berarti bagi dirinya dan pekerjaannya, maka dia tidak boleh membatalkan puasanya. Inilah bentuk kelonggaran puasa bagi pekerja berat. Wallahu a’lam.

Tadarus Alquran di Masa Rasulullah Saw.

0
tadarus Alquran di masa Rasulullah
tadarus Alquran di masa Rasulullah

Salah satu bentuk ibadah yang semarak dilakukan di bulan Ramadan adalah tadarus Alquran. Tadarus berasal dari kata darasa yang artinya mempelajari, meneliti, menelaah, dan mengambil pelajaran. Tadārus berdasarkan wazan tafā’ala mempunyai makna li al-musyarakah (saling), yang berarti mempelajari Alquran bersama orang lain, bergantian membaca, saling mengoreksi dan seterusnya.

Dengan definisi tadārus seperti ini, bisa diasumsikan bahwa kegiatan yang mempunyai substansi yang sama sudah dilakukan dan dtradisikan sejak zaman Rasulullah saw. dan para sahabat, hanya saja cara mereka bertadarus Alquran bermacam-macam, tidak sama persis dengan tadārus muslim hari ini. Di antara mereka, ada yang sekadar membaca hingga khatam, menghafalnya, dan ada pula yang mentadaburi isi dan kandungannya.

Baca Juga: Menilik Akar Tradisi Tadarus Al-Quran dalam Al-Quran dan Hadis

Alquran diturunkan pada bulan Ramadan

Allah memuliakan bulan Ramadan dengan diturunkan Alquran. Hal ini sebagaimana terekam dalam surah al-Baqarah ayat 185,

شَهْرُ رَمَضَانَ ٱلَّذِىٓ أُنزِلَ فِيهِ ٱلْقُرْءَانُ هُدًى لِّلنَّاسِ وَبَيِّنَٰتٍ مِّنَ ٱلْهُدَىٰ وَٱلْفُرْقَانِ

Bulan Ramadan adalah bulan yang di dalamnya diturunkan Alquran, sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang benar dan yang batil). (Q.S. al-Baqarah [2]: 185)

Penurunan Alquran juga diceritakan di ayat yang lain, yaitu

ﺇِﻧَّﺎ ﺃَﻧﺰَﻟْﻨَﺎﻩُ ﻓِﻲ ﻟَﻴْﻠَﺔِ ﺍﻟْﻘَﺪْﺭِ ‏

Sesungguhnya kami menurunkan Al-Qur’an pada malam kemuliaan (Lailatul qadr). (Q.S. al-Qadr [97]: 1).

Berdasar penjelasan para pengkaji di bidang Alquran, kitab ini memiliki dua kali fase turun, yaitu fase turun inzali (turun secara langsung dari Lawh Mahfuz ke langit dunia) dan fase turun tanzili (turun secara berangsur-angsur selama kurang lebih 23 tahun).

Menurut at-Tabari (3/188), turunnya Alquran dari Lawh Mahfuz ke langit dunia (Baitul Izzah) dalam jumlah dan bentuk yang utuh yaitu pada pada malam Lailatul Qadar, tepatnya pada 24 Ramadan. Mufasir yang digolongkan ke mufasir era klasik ini mengambil pendapat tersebut dari riwayat Ibnu Abbas dan Watsilah bin al-Asqa.

Sementara pada 17 Ramadan, Alquran diwahyukan kepada Rasulullah saw. untuk pertama kalinya. Ali as-Shabuni (3/581) menerangkan bahwa saat itu usia Nabi mencapai 40 tahun, beliau sedang bertahanut di gua Hira, Jibril datang membawa wahyu surah al-‘Alaq ayat 1-5. Dan mulai saat itu, tiap kali Alquran diturunkan kepada Nabi Muhammad, beliau menerimanya, menghafalnya, dan membacakannya kepada sahabat laki-laki dan perempuan. Dengan demikian, tadarus Alquran sudah dilakukan sejak setelah pertama kali diturunkan.

Baca Juga: Tips Mendapat Malam Lailatulqadar Ala M. Quraish Shihab

Pembelajaran Alquran generasi awal Islam

Nabi Muhammad saw. diperintahkan untuk membacakan dan mengajarkan Alquran kepada umatnya dengan pelan (tartil) agar memudahkan mereka untuk mendengar bacaan dan menghafalnya. Para sahabat juga membantu dalam proses pembelajaran Alquran kepada sahabat lain dengan berbagai cara. Khabbab bin al-Artt adalah satu dari sahabat yang mengajarkan Alquran. Beliau mendatangi muridnya dari rumah ke rumah. Di antara muridnya ialah, Abd Allah bin Mas‘ud, Sa‘id bin Zaid dan Fatimah bint al-Khattab.

Dalam salah satu kisah, saat Umar bin Khathab diberi tahu bahwa adiknya, Fatimah dan iparnya telah masuk Islam, Umar langsung mendatangi rumah mereka. Saat beliau mendengar suara Khabbab sedang membaca Alquran dengan sebuah shahifah (lembaran) bersama Fatimah dan suaminya, dirinya sempat marah sampai memukul keduanya, namun hatinya pun tersentuh ketika membaca lembaran surah Ṭaha, dan beliau pun memeluk Islam. (150 Kisah Umar bin Khattab: 4-6)

Dari riwayat tersebut ada beberapa hal yang dapat dipahami. Pertama, tadarus Alquran dilakukan di rumah-rumah pribadi, seperti rumah Rasulullah; Dar al-Arqam; juga Fatimah. Kedua, selain metode membaca dan menghafal, pembelajaran Alquran juga dengan menulis, sahabat memiliki catatan Alquran sebagai koleksi pribadi atau untuk digunakan sebagai sarana belajar Alquran. Ketiga, bahwa perempuan pada masa itu juga belajar Alquran, ini didukung oleh riwayat yang telah disebut di atas bahwa Rasul dan para sahabat mengajarkan wahyu Alquran kepada kaum lelaki dan perempuan.

Fakta sejarah bahwa jumlah surah Makkiyah lebih banyak dari Madaniyah memberi isyarat bahwa sejak periode Makkah sudah banyak sahabat yang memfokuskan kegiatan mempelajari dan menghafalkan ayat-ayat Alquran, meskipun kondisi muslimin di masa itu masih tidak aman, sering menghadapi banyak tantangan dan problem hingga mereka terpaksa untuk hijrah dua kali, ke negeri Habasyah dan Madinah.

Ketika sudah hijrah ke Madinah, selain di rumah-rumah sahabat, pembelajaran Alquran sudah mulai dilakukan di tempat-tempat publik, seperti di shuffah, dan masjid. Di masjid ini para sahabat sering berkumpul dan duduk dengan bentuk halaqah untuk melakukan tadarus Alquran bersama Rasulullah saw. Diriwayatkan dari Abu Hurairah, bahwa Nabi saw. juga sering memotivasi para sahabatnya agar bertadarus di masjid,

“Tidaklah suatu kaum berkumpul dalam salah satu rumah dari rumah-rumah Allah, untuk membaca Alquran dan saling mempelajarinya, kecuali akan diturunkan kepada mereka ketenangan dan rahmatNya, para malaikat mengelilingi mereka, dan Allah menyebut-nyebut mereka di hadapan makhlukNya yang berada di dekatNya.” (H.R. Muslim)

Tadarus dilakukan dengan musyafahah. Mereka mempelajarinya dengan talaqqi dan mendengar bacaan Alquran dari Nabi atau sahabat. Perhatian lebih Nabi dan para sahabat dengan cara musyafahah ini sejatinya juga berguna untuk menjaga kemurnian Alquran, yaitu dengan membacanya secara benar (tajwid) tanpa tambahan atau kekurangan serta kesalahan. Misalkan cara membaca idgham, imalah dan isymam yang tidak bisa dipelajari dari tulisan saja.

Pengajaran Nabi kepada para sahabat menghasilkan banyak qurra’, baik itu penghafal Alquran (hafiz) atau para pengajar Alquran atau dua-duanya. Para qari’ inilah yang meneruskan pengajaran Alquran pada generasi selanjutnya, yaitu ke sahabat lain dan tabi’in dan seterusnya sampai kepada umat sekarang dengan sanad yang bersambung kepada Nabi Muhammad. (Azami, The History of Quranic Text: 72-85)

Baca Juga: Semarak Ramadhan: Resepsi Khatmil Qur’an Santri dan Alumni Putri Congaban

Interaksi khusus dengan Alquran di bulan Ramadan

Diriwayatkan dari Ibnu Abbas, “Rasulullah adalah manusia yang paling lembut terutama pada Ramadan ketika malaikat Jibril menemuinya, dan adalah Jibril mendatanginya setiap malam di bulan Ramadan, dan Jibril mengajarkannya Alquran.” (H.R. Bukhari)

Ibnu Rajab al-Hanbali dalam Lathaif al-Ma’arif, halaman 243, menerangkan bahwa hadis tersebut menunjukkan kesunahan memperbanyak tadarus Alquran di malam hari bulan Ramadan. Hal itu pula telah dilakukan oleh para sahabat dan orang-orang saleh terdahulu, mereka memberikan perhatian luar biasa kepada Alquran khususnya selama bulan Ramadan.

Sahabat Usman bin Affan misalnya, dikatakan bahwa beliau menghidupkan setiap malam-malam bulan Ramadan dengan membaca Alquran di setiap rakaat salatnya. Sahabat lain, seperti Ubai bin Ka’b dan Tamim Ad-Dari, mereka mengkhatamkan Alquran di setiap pekan bulan Ramadan.

Adapun Imam Malik, setiap masuk bulan Ramadan, beliau meliburkan pengajian dengan jamaah yang luar biasa banyaknya hanya untuk fokus kepada Alquran. Demikian pula dengan Imam asy-Syafi’i yang setiap hari di bulan Ramadan beliau mampu mengkhatamkan Alquran sebanyak dua kali di waktu sore dan malam hari, sehingga dalam satu bulan beliau khatam 60 kali. Wallah a’lam

Mengurai Maqashid Puasa sebagai Sarana Pendidikan Karakter

0
Mengurai Maqashid Puasa sebagai Sarana Pendidikan Karakter

Sudah masyhur dipahami bahwa puasa dalam definisi syariat adalah menahan diri dari makan, minum, dan berhubungan badan mulai fajar hingga terbenamnya matahari disertai niat. Namun, para ulama tidak hanya berhenti pada definisi itu saja. Mereka mengurai adanya maqashid atau tujuan besar yang dikehendaki, yakni takwa, sebagaimana dalam QS. Albaqarah [2]:183.

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَۙ

Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.

Jika memerhatikan struktur teks ayat, bisa dipahami bahwa maqashid puasa adalah takwa. Dari sisi kebahasaan, kata taqwa berasal dari kata waqa (وقى) yang berarti menjaga sesuatu yang membahayakan dan menyakitkan. Pengertian ini pula yang menjadi hakikat takwa menurut  Al-Ashfahani (Al-Mufradat fi Gharib al-Qur’an, hlm. 881). Selain itu, takwa juga sinonim dengan takut dan taat (Ensiklopedia Al-Qur’an: Kajian Kosakata, 3/988).

Adapun secara spesifik terkait ayat di atas, takwa dipahami dalam spektrum berbeda oleh tiap ulama. Ath-Thabari memahami takwa pada ayat ini sebagai perilaku menghindari makan, minum, dan berhubungan badan (Jami’ al-Bayan ’an Ta’wil Ayi al-Qur’an, 3/413).

Baca Juga: Keistimewaan Puasa Ramadan dan Manifestasi Kasih Sayang Tuhan

Berbeda halnya dengan Ar-Razi yang menambahkan penjelasan bahwa puasa melahirkan takwa dalam arti menundukkan dan mengendalikan hawa nafsu, terutama urusan perut dan kemaluan. Semakin sering berpuasa, semakin besar persentase keberhasilan mengendalikan dua godaan terbesar ini (Mafatih al-Ghaib, 5/240).

Pada kitab tafsir lain, Az-Zuhaili secara tegas menyatakan puasa sebagai aktivitas penyucian jiwa, mendatangkan rida Allah, dan mendidik jiwa untuk bertakwa kepada Allah baik dalam kondisi sepi maupun ramai. Puasa pun mampu mengendalikan keinginan, mengajarkan kesabaran dan resistensi terhadap rasa sulit (Tafsir Al-Munir, 1/379).

Penafsiran yang lebih eksploratif dipaparkan Ibnu ‘Asyur, bahwa takwa sebagai hikmah puasa secara syariat dipahami sebagai perilaku meninggalkan kemaksiatan. Maka puasa befungsi sebagai sarana untuk meninggalkan maksiat yang terbagi dua jenis: (1) yang mudah dihindari dengan kehendak, seperti mencuri dan berjudi; (2) yang sulit dihindari karena berada dalam diri, seperti amarah dan syahwat. Jenis terakhir inilah yang mampu dikendalikan dengan puasa (At-Tahrir wa at-Tanwir, 2/158).

Dari beberapa penafsiran sebelumnya, setidaknya bisa dipahami bahwa predikat takwa yang merupakan maqashid puasa memiliki dua lapis dimensi: (1) dimensi lahir berupa menahan makan, minum, dan berhubungan badan; (2) dimensi batin berupa mengendalikan emosi dan nafsu. Bisa dipahami bahwa pendidikan karakter menjadi salah satu ujung maqashid puasa.

Baca Juga: Puasa Jasmani dan Rohani menurut Syekh Abdul Qadir Al-Jailani

Pendidikan Karakter sebagai Salah Satu Maqashid Puasa

Jika menggunakan paradigma maqashid syariah, setidaknya diperoleh dua maqashid puasa: Hifzh ad-Din (menjaga agama) dan Hifzh an-Nafs (pemeliharaan jiwa). Hifzh ad-Din termanifestasi dari upaya protektif menjaga agar puasa tetap jalan, mulai dari fajar hingga terbenamnya matahari. Iman kepada Allah swt. menjadi faktor tunggal motif seorang muslim berpuasa.

Menahan diri dari segala hal yang membatalkan puasa – makan, minum, dan berhubungan badan – menjadi maqashid paling dasar. Pada titik ini, seorang muslim sudah bisa masuk dalam kategori bertakwa, sebab imannya telah membuatnya takut melanggar hal-hal yang membatalkan puasa karena Allah swt. Nabi Muhammad pun menyebut bahwa puasa adalah sebagian dari iman (Ihya Ulumuddin, 1/230-231).

Adapun Hifzh an-Nafs bisa ditinjau dari dua spektrum. Pertama, dari segi fisik, puasa setidaknya membuat fisik menjadi lebih sehat, termasuk mengurangi risiko penuaan dan penyakit berbahaya. Kedua, dari segi psikologis puasa mampu membuat pikiran menjadi tenang, damai, dan bahagia. Juga mengurangi rasa takut dan agresif (Direktorat Jenderal Pelayanan Kesehatan (kemkes.go.id)).

Namun, perlu diperhatikan bahwa manfaat yang diperoleh dari puasa akan optimal jika muslim mampu menginternalisasikannya tidak hanya di waktu puasa. Nabi Muhammad saw. telah mewanti-wanti umatnya agar puasa tidak hanya dibatasi sebagai aktivitas menahan lapar dan haus semata.

كَمْ مِنْ صَائِمٍ لَيْسَ لَهُ مِنْ صِيَامِهِ إِلَّا الْجُوعُ وَكَمْ مِنْ قَائِمٍ لَيْسَ لَهُ مِنْ قِيَامِهِ إِلَّا السَّهَرُ

Berapa banyak orang yang berpuasa tapi tidak memperoleh sesuatu dari puasanya selain dahaga dan berapa banyak orang salat malam tapi tidak memperoleh sesuatu dari salat malamnya selain bergadang (Musnad Ahmad: 9308).

Baca Juga: Kitab Maqashid al-Shaum: Inilah Tujuh Keutamaan Puasa Ramadhan

Selain itu, Nabi saw. juga menyatakan bahwa mereka yang tidak mampu meninggalkan ucapan dusta dan perilaku keji, maka Allah tidak butuh puasanya (HR. Bukhari: 1770). Dalam sabdanya yang lain, Nabi saw. memerintahkan orang yang berpuasa agar menjaga lisannya dari kata-kata kotor dan menjaga perbuatannya dari hal yang sia-sia (HR. Muslim: 1941).

Hadis-hadis Nabi saw. yang dijelaskan sebelumnya menjadi alasan penulis bahwa ada maqashid puasa yang lebih esensial dari sekadar menahan lapar dan haus, yaitu bagaimana seorang muslim mendidik karakternya.

Imam Al-Ghazali menyebutkan ada enam hal yang menyempurnakan puasa (Ihya Ulumuddin:1, hlm. 234-236); menghindari memandang hal-hal buruk, menjaga lisan dari perkataan sia-sia, menghindari mendengarkan hal-hal buruk, mencegah anggota tubuh berbuat dosa, tidak berlebih-lebihan dalam berbuka, dan senantiasa berharap puasanya diterima Allah swt.

Jika memerhatikan poin-poin tadi, menjadi jelas bahwa yang mesti diperhatikan dari puasa adalah tidak sekadar menahan lapar dan haus. Orang yang berpuasa mestinya juga mampu menahan diri dari berbagai hal yang dilarang dan sia-sia. Syekh Nawawi al-Bantani menjelaskan bahwa kemampuan menahan nafsu makan dan syahwat yang merupakan godaan terbesar seharusnya membuat seseorang mampu menahan godaan lain yang lebih ringan (Marah Labid, 1/147).

Dari pemaparan di atas, Hifzh an-Nafs dari puasa juga masuk dalam dimensi emosional dan spiritual manusia. Segala pantangan puasa yang dirumuskan para ulama melalui dalil bermuara pada bagaimana manusia dididik untuk memiliki karakter yang terbebas dari belenggu nafsu. Pengendalian nafsu pun memudahkan jiwa menapaki jalan menuju Allah swt.

Wallahu a’lam.

Puasa Ramadan dan Kebahagiaan Bagi Seorang Muslim

0
Puasa Ramadan dan Kebahagiaan Bagi Seorang Muslim

Puasa Ramadan menjadi salah satu jalan yang ditawarkan agama Islam untuk mencapai kebahagiaan. Dengan berpuasa seorang muslim diajarkan untuk mengendalikan diri dan menahan hawa nafsunya serta memperbaiki kebiasaan perilakunya. Sebab telah mafhum bahwa hawa nafsu dalam diri manusia adalah sumber utama dari godaan setan dan perbuatan buruk atau maksiat yang membuat dirinya tidak akan memperoleh kebahagiaan baik di dunia dan akhirat.

Puasa Sebagai Pelajaran dalam Mengendalikan Hawa Nafsu

Hawa nafsu apabila dibiarkan atau tidak ditundukkan, setiap perilakunya akan tidak baik. Sebaliknya, jika seseorang mampu menguasai nafsunya, setiap perbuatan dan perkataannya adalah kebaikan dan kesalehan yang mengantarkan diri pada kebahagian.

Pengendalian sebagaimana yang dimaksud tersebut itulah yang ingin dibangun dari ibadah puasa Ramadan, sesuai dengan inti puasa, yaitu al-imsak yang berarti menahan diri atau hawa nafsu. Hal ini sebagaimana pendapat mufassir dalam menjelaskan ayat-ayat puasa (QS. Albaqarah [2]: 183-187), bahwa tujuan utama puasa adalah untuk mengubah kualitas jiwa seorang hamba agar menjadi lebih terkendali dalam mengelola hawa nafsu.

Baca Juga: Hikmah Puasa Dalam Tafsir Surat Al-Baqarah Ayat 183

Seperti penjelasan puasa dari Ismail Haqqi, yaitu menahan makan dan minum serta syahwat juga menahan segenap anggota badan dari rasa curiga dan segala hal yang menghalagi dirinya dari sampai kepada Allah. (Tafsir Ruh Al-Bayan, Juz 1, 289).

Pendapat lain dari al-Jailani, bahwa puasa yang telah diwajibkan dari umat para nabi terdahulu sesungguhnya puasa itu diwajibkan agar bertakwa, dengan harapan dapat menjaga diri dari sikap berlebihan dalam urusan makan karena itu dapat mematikan kalbu, memadamkan api rindu kepada Allah, dan meredupkan cinta yang hakiki kepadaNya. (Tafsir al-Jailani, Juz 1, 158).

Ketika berpuasa, selain menahan diri dari hal-hal yang membatalkan puasa secara lahir seperti makan, umat Islam juga dilarang melakukan tindakan yang tidak bermoral, sebab itu dapat membatalkan pahala puasanya. Di antaranya sebagaimana dalam hadis, Nabi Saw bersabda, “Lima hal yang menjadikan puasa batal (pahalanya), yaitu: berbohong; menggunjing; mengadu domba, melihat dengan syahwat dan sumpah palsu.” (Bidayatul Hidayah, h. 100)

Tetapi juga menurut Imam al-Ghazali dalam Ihya ‘Ulumiddin, (Juz 3, 85), ketika seseorang berpuasa, dengan menahan dirinya dari makan dan minum itu, sejatinya hawa nafsunya akan terkendali. Sebab di antara manfaat saat perut dalam kondisi lapar adalah bisa menaklukkan hawa nafsu yang berpotensi untuk menjerumuskan dalam perbuatan maksiat.

Makanan sebagaimana kata al-Ghazali adalah ‘bahan bakar’ bagi hawa nafsu. Dengan mengurangi mengonsumsi makanan, maka hawa nafsu akan meredup dan seseorang mampu mengendalikan dirinya. Jika seseorang mampu mengendalikan diri, maka ia mampu arahkan tubuhnya untuk melakukan kebaikan dan menghindari perilaku tercela, dengan begitu hidupnya akan selalu dalam ketenangan dan kesenangan. Dengan demikian, kebahagiaan terletak pada keberhasilan dalam memerangi hawa nafsu dan menahan diri dari hal yang berlebihan.

Baca Juga: Keistimewaan Puasa Ramadan dan Manifestasi Kasih Sayang Tuhan

Kebahagian Bagi Orang yang Berpuasa

Puasa Ramadan yang merupakan salah satu momen untuk memperkuat kemampuan mengendalikan diri seorang muslim. Dalam ilmu psikologi, pengendalian diri atau self control diartikan sebagai kemampuan untuk  mengelola setiap hasrat dan mengarahkan pada tingkah laku yang baik. Kemampuan pengendalian diri akan mendorong seseorang untuk membuat keputusan yang lebih baik, sehingga tidak mudah terjatuh dalam kesalahan.

Berbagai studi menyatakan bahwa kemampuan self control ternyata menjadi salah satu kunci untuk menjalani kehidupan yang bahagia. Pasalnya, orang yang mampu mengendalikan diri akan berpikir jauh sebelum mengambil keputusan. Ia tidak akan ceroboh dan gegabah dalam bertindak. Dengan begitu, hidup juga menjadi lebih tenang sebab akan terhindar dari berbagai masalah.

Sehingga dengan berpuasa dari terbit fajar sampai terbenamnya matahari dalam satu bulan penuh pada Ramadan, umat muslim sesungguhnya diajarkan agar dapat mengelola keinginan dan hasratnya dengan baik, mengerti kapan harus menahan atau menyalurkan keinginan.

Oleh karenanya, puasa bukan bertujuan untuk membinasakan syahwat manusia, tetapi mendidiknya agar memiliki kemampuan mengendalikan diri yang baik. Dengan kemampuan itu, seseorang akan menjadi lebih mawas diri dari melakukan perbuatan yang salah dan mencelakakan dirinya.

Selain itu, Rasulullah sendiri dalam hadisnya pernah bersabda bahwa, “Orang yang berpuasa akan meraih dua kebahagiaan, yaitu ketika berbuka puasa/berhari raya, dan ketika bertemu Tuhannya,” (HR Muslim).

Baca Juga: Penjelasan tentang Puasa Umat-Umat Terdahulu dalam Berbagai Kitab Tafsir

Al-Mulla dalam Marqatul Mafatih (Juz 4, 1363) menerangkan dua kegembiraan itu meliputi di dunia dan di akhirat. Dua kebahagiaan tersebut yaitu:

Pertama, kegembiraan saat berbuka karena telah berhasil melaksanakan perintah Allah atau sebab mendapatkan pertolongan dapat menyempurnakan puasa dari menahan dirinya dan meraih pahala yang diharapkan.

Kedua, kegembiraan saat bertemu Allah swt. sebab mendapatkan balasan amal puasa, mendapatkan pujian, atau keberuntungan dapat berjumpa dengan Allah. Dengan demikian dari hadits tersebut dapat dipahami, bahwa puasa Ramadan khususnya menjadi salah satu indikator yang mampu mengantarkan seseorang pada kebahagiaan. Wallahu a’lam.[]

Mengenal Kitab Risalat al-Qurra’ wal-Huffadz Karya Kyai Umar bin Baidhawi

0
Kitab Risalat al-Qurra’ wal-Huffadz Karya Kyai Umar bin Baidhawi
Kitab Risalat al-Qurra’ wal-Huffadz Karya Kyai Umar bin Baidhawi

Saat ini, metode baca Alquran sudah banyak yang bisa dipelajari seperti metode Iqra’, metode Qira’ati, metode Yanbu’a, dan lain sebagainya. Namun, apakah kalian tahu? Sebelum populernya kitab Yanbu’a (salah satu kitab yang membahas metode baca dan menghafal Alquran) yang dirintis oleh pengasuh Pondok Pesantren Yanbu’ul Qur’an Kudus, ada satu kitab yang terlebih dulu menjadi rujukan para pembelajar Alquran sekitar Kudus, yaitu kitab Risalat al-Qurra’ wal-Huffadz fi Gharaib al-Qira’at wa al-Alfadz.

Kitab tersebut merupakan kitab yang disusun oleh Kyai Umar bin Baidhawi. Beliau merupakan salah satu murid dari K.H. Arwani Amin Kudus yang merupakan sanad unggul dalam riwayat Alquran di pulau Jawa yang merupakan murid dari K.H. Munawwir Krapyak, Yogyakarta. Dari sekian banyak santri K.H. Arwani Amin yang berhasil, salah satu nama yang muncul dan dikenal sebagai ahli Alquran dan penulis kitab yang populer di kalangan santri hingga saat ini yaitu Kyai Umar bin Baidhawi.

Kitab tersebut secara umum memuat bacaan Qira’at Imam ‘Ashim dari jalur riwayat Imam Hafs (salah satu riwayat Alquran yang mayoritas dipakai oleh masyarakat Indonesia saat ini). Kitab tersebut diterbitkan oleh percetakan Karya Thoha Semarang. Dengan fisik kitab yang ringkas dan tipis, pembahasan dalam kiab ini dijelaskan dengan bahasa yang sederhana dan cukup lengkap.

Latar Belakang Penulisan Kitab

Dalam mukadimahnya, beliau mengungkapkan bahwa penyusunan kitab tersebut dilatarbelakangi oleh kegelisahan beliau akan banyaknya para pembaca Alquran, guru mengaji, para penghafal Alquran yang sering lupa dan bahkan belum paham mengenai bacaan Alquran yang benar dan sahih. Oleh karena itu, beliau menyusun kitab risalah tersebut sebagai bahan bacaan dan referensi bagi mereka agar tidak salah dalam membaca Alquran [Umar bin Baidhawi, Risalat al-Qurra’ wal-Huffadz fi Gharaib al-Qira’at wa al-Alfadz, (Semarang: Karya Thoha Putra, tt), 2].

Baca juga: Kitab Yanbu’a: Pembelajaran Metode Tajwid Secara Praktis

K.H. Arwani Amin juga telah men-tashih kitab ini dengan memberi sebuah sambutan. Dalam sabutannya, beliau mengungkapkan bahwa Kitab Risalat al-Qurra’ wal-Huffadz fi Gharaib al-Qira’at wa al-Alfadz tersebut sudah benar dan beliau juga berkeyakinan bahwa meskipun kitab tersebut nampak kecil jika dilihat, tetapi sangat besar manfaatnya. Beliau juga menambahi bahwa sebelum membaca dan mengamalkan kitab tersebut, dalam membaca Alquran terlebih dahulu harus belajar mengaji kepada orang yang benar-benar memiliki sanad Alquran yang jelas dengan cara musyafahah (berguru bacaan Alquran secara langsung kepada guru Alquran) kepadanya [Risalat al-Qurra’ wal-Huffadz, 5-7].

Karakteristik dan Metode Penulisan Kitab

Setiap kitab memiliki karakteristik dan metode penulisan masing-masing. Kitab Risalat al-Qurra’ wal-Huffadz ini juga demikian. Jenis font yang dipakai masih tulisan tangan yang kemudian diperbanyak di percetakan. Jadi, kita dapat membaca dengan ukuran font yang besar-besar seperti font tulisan percetakan pada zaman dahulu.

Adapun metode penulisan yang dipakai dalam kitab ini antara lain; pertama, penulis memulai tulisanya dengan basmalah, hamdalah, dan selawat sama seperti tradisi penulisan para ulama salaf. Kedua, menjelaskan setiap bab pembahasan dengan jelas, langsung tanpa basa-basi, dan rinci. Misalnya dalam membahas hukum bacaan ra’ yang dibaca tebal (tafkhim). Beliau menjelaskan contoh kalimatnya kemudian nomor juznya dilanjut nama surahnya dan terakhir nomor ayatnya. Contoh:

٧ سُوْرَةْ المَائِدَةْ اَيَةْ ١٠٦  اِنِ ارْتَبْتُمْ : جُزْ

Baca juga: Profil Mbah Munawwir: Sang Mahaguru para Qurra’ Nusantara

Ketiga, menggunakan bahasa Jawa Krama halus (tingkatan bahasa dalam bahasa Jawa yang lebih sopan). Misalnya ketika menerangkan hukum membaca basamalah di awal Q.S. At-Taubah berikut.

“Mahus bismillah wonten ing awalipun surat Bara’ah (at-Taubah) menika hukumipun haram miturut qaulipun Ibnu Hajar”

Membaca bismillah di permulaan Q.S. At-Taubah adalah haram hukumnya menurut pendapatnya Ibnu Hajar.

Keempat, penulisannya menggunakan aksara Pegon Jawi (aksara yang mirip dengan huruf Hija’iyyah yang sering dipakai di pesantren)

Pembahasan dalam Kitab

Kitab Risalat al-Qurra’ wal-Huffadz ini terdiri dari 27 pembahasan, antara lain: shighat ta’awudz, hukum basmalah, alif yang tidak memakai huruf mad, ra’ sukun setelah kasrah dibaca tebal, bacaan-bacaan yang gharib, tanda saktah, ءَنَا – اَنَا, ئِ  pendek, ؤا  pendek, ؤا panjang, ؤ pendek, ؤ panjang, ذ  pada lafadz اِذْ, ذ  pada lafadzقَدْ , Ta’ ta’nits, ل pada lafadz هَلْ, بَلْ, قُلْ, اِلَّا-اَلَّا, كَلَّا, بَلَى, كَذَالِكَ, Haram waqaf, Isyarah waqaf, mad jaiz munfasil, beberapa pengingat, sujud tilawah, bacaan-bacaan yang anjurkan, dan doa khotmil qur’an.

Demikianlah sedikit ulasan tentang kitab Risalat al-Qurra’ wal-Huffadz, semoga kita selalu dibimbing dalam membaca Alquran dengan benar sehingga kelak kita termasuk ke dalam golongan orang-orang yang mendapat syafa’at dari Alquran. Amiin.

Wallahu a’lam.

Menghidupkan Islam dengan Irama: Potret Seni Tilawatil Qur’an di Indonesia

0
Alasan Kiai Misbah Musthofa Tolak MTQ
MTQ internasional di Dubai (Sumber: iqna).

Seni Qiraat Alquran dan tilawatil Qur’an telah tersebar di berbagai penjuru dunia dan masih berkembang hingga saat ini. Adanya perkembangan seni Alquran menjadikan setiap wilayah memiliki keistimewaan masing-masing baik dalam membaca, mengamalkan, dan mempelajarinya. Kebudayaan yang tersebar di berbagai penjuru dunia tentu berbeda-beda dan memiliki keistimewaan tersendiri bagi masyarakat dan orang-orang di sekitarnya.

Sejarah perkembangan tilawatil Qur’an sudah ada sejak lama. Di Indonesia sendiri tilawah sudah berkembang sejak tahun 1940 yang dikembangkan oleh institusi Jam’iyyatul Qurra wal-Huffazh. Seiring perkembangannya, Qiraat dan tilawatil Qur’an sudah menjadi bagian dari unsur kebudayaan yang hidup di dalam masyarakat (Miftahul Jannah 2016). Di Indonesia misalnya, beberapa kegiatan seperti pernikahan, khitanan, maulid atau kegiatan islami lainnya sudah biasa dibuka dengan pembacaan ayat suci Alquran.

Sudah bukan sesuatu yang baru bagi masyarakat Indonesia melihat fenomena pembacaan seni tilawah sebagai bagian dari tradisi Islam. Namun, nampaknya hal ini mengalami perkembangan begitu pesat seiring dengan kemajuan dan perkembangan zaman. Arus perkembangan teknologi yang semakin maju, membentuk sebuah peradaban baru termasuk dalam perkembagan seni Alquran.

Baca juga: Pemeliharaan Alquran dari Zaman Nabi Hingga Masa Kini

Beberapa fenomena yang ada, tradisi dan kearifan masyarakat kini sudah bertransformasi ke dalam dunia digital termasuk seni Alquran. Di era globalisasi kebudayaan dibangun melalui ekplorasi dunia digital yang mempunyai daya tarik di kalangan masyarakat, baik golongan muda maupun tua. Fenomena yang muncul di era sekarang adalah bagaimana seseorang bisa mengakses baik itu gambar, bahasa, maupun video yang memiliki suatu makna yang dapat mempengaruhi nilai estetika (secara islami) dan norma.

Tilawatil Qur’an merupakan sebuah seni yang sekarang banyak tersebar di dunia digital, yang tentunya menjadi salah satu pusat perhatian yang menarik dan mendapat banyak responss di kalangan masyarakat. Hal ini terbukti di setiap video tilawah yang ada di media, banyak mengurai responss yang baik dari masyarakat pengguna media sosial.

Dari sinilah kita bisa melihat, bahwa perkembangan teknologi dapat membawa sebuah peradaban baru termasuk kebudayaan. Qari Indonesia yang memiliki akses yang terjangkau dapat melihat sebuah inovasi baru dari beberapa qari Arab, misalnya syaikh Mahmud Shahat, Vahid Nazarian, Ahmad Nuaina, dan masih banyak lagi.

Kehadiran Seni Tilawah dan Reaksi Masyarakat Indonesia

Pada bagian ini, penulis akan sedikit menggambarkan bagaimana respons masyarakat Indonesia terhadap perkembangan seni baca Alquran atau biasa disebut tilawatil Qur’an. seperti yang dijelaskan di atas, perkembangan seni baca Alquran muncul sejak tahun 1940 yang waktu itu kehadirannya masih belum sepopuler seperti saat ini. Hadirnya tradisi tilawah dalam kehidupan masyarakat, tentu menjadi fenomena baru sebagai bentuk transmisi Alquran.

Tidak hanya sebagai bentuk transmisi Alquran, adanya seni tilawatil Qur’an juga berupaya memperkenalkan ragam dan bentuk bacaan Alquran atau yang biasa dikenal dengan sebutan Qiraah Sab’ah. Disebut Qira’ah Sab’ah karena ada tujuh imam yang meriwayatkan bentuk dialek baca Alquran, yaitu Ibnu Katsir, Imam Nafi, Imam Hasyim, Ibnu Amr, Ibnu Amir, Imam Hamzah, dan Imam Ali bin Kisa’I (Al-Qathan, 2017: 255). Di Indonesia sendiri, pemakaian dialek baca Alquran merujuk kepada Imam Hasyim riwayat hafs.

Meskipun demikian, rupanya kehadiran seni tilawah di tengah masyarakat nampak tidak mengurangi nilai tradisi yang lain, justru menjadikan jalinan keharmonisan sebagai bentuk satu kesatuan dalam tradisi Islam. Secara tidak langsung, kehadiran seni tilawah membawa satu ajaran baru yang memperkenalkan beragam bentuk dialek Alquran termasuk bacaan Qiraat. Dengan beragam unsur, perkembangan seni tilawah kini sudah berkembang pesat dan hampir sudah dikenal diseluruh penjuru wilayah di Indonesia.

Baca juga: Tradisi Hafalan Alquran di Indonesia

Seperti yang kita pahami, masyarakat Indonesia begitu senang terhadap tradisi yang berbau seni dan irama. Tidak hanya tilawah, ragam seni islami lainnya juga begitu banyak diminati seperti selawat, qasidah, marawis, dan kesenian Islam lainnya. Tak heran bila seni tilawah juga mendapati perhatian begitu pesat yang banyak diminati mulai dari kalangan anak-anak, remaja, dan sampai kalangan tua.

Sebagai bentuk respons yang amat baik, tak jarang kita juga menemukan kontestasi Musabaqoh Tilawatil Qur’an (MTQ). Adanya kegiatan kontestasi ini, tak jarang menuai banyak respons begitu besar dalam beberapa ajang baik nasional maupun internasional. Masyarakat Indonesia yang mempunyai kualitas baik dalam membaca Alquran, tak jarang menuai banyak perhatian dari Negara-negara Arab yang melihatnya. Tidak hanya suaranya yang merdu, tapi juga dalam bacaan Alquran, orang Indonesia dapat melafalkannya secara fasih dan sesuai dengan kaidah huruf.

Baca juga: Pentingnya Pagelaran MTQ Menurut Prof. Said Agil Husin

Dengan demikian, seni tilawah hadir sebagai bentuk dorongan memperkenalkan Alquran. Secara umum tidak hanya dipahami sebagai teks tetapi juga dapat dihidupkan khususnya dalam kearifan masyarakat. Dengan beragam respons, seni tilawah sudah melintasi beragam kegiatan islami lainnya seperti pengajian, maulid, pernikahan, khitanan, Isra Mi’raj, maupun bentuk kegiatan lainnya baik formal maupun nonformal.

Karena inilah, perkembangan tilawah kini sudah menjadi bagian penting dalam tradisi masyarakat Indonesia yang dianggap wajib hadir dalam setiap acara-acara besar bernuansa islami. Sejauh ini, perkembangan modern juga ikut serta dalam memperkenalkan seni tilawah dengan beragam akses yang tersedia. Sehingga, masyarakat dapat melihat dan mengetahui secara luas perkembangan seni tilawah yang tidak hanya ada di Indonesia, tapi juga di belahan negeri Arab seperti Iran, Maroko, Mesir, dan negara-negara Arab lainnya.

Az-Zamzami, Sastrawan Abad Pertengahan yang Berperan Penting dalam Ulumul Quran

0
Manzhumah At-Tafsir karya Az-Zamzami
Manzhumah At-Tafsir karya Az-Zamzami

Abdul Aziz Az-Zamzami merupakan sastrawan era abad pertengahan yang berperan penting dalam persebaran ulumul Quran. Namanya juga tercatat dalam sejarah literasi di tanah Arab yang ditulis oleh Carl Brockelmann dalam History of the Arabic Written Tradition. Perannya dalam bidang ulumul Quran adalah mengalihkan karya genre prosa As-Suyuthi dalam kitab An-Niqayah di bab Ilmu Tafsir menjadi sebuah nazam puisi.

Sebelum berbicara mengenai karyanya, wajib bagi pembaca mengenal biografinya terlebih dahulu. Abdul Aziz Az-Zamzami memiliki nama asli Izzuddin  bin Ali bin Al bin Abdul Azîz  bin Abdus Salam bin Musa bin Abi Bakar bin Akbar bin Ali bin Ahmad bin Ali bin Muhammad bin Dawud al-Baidhawi asy-Syirazi.

Baca juga: Mengenal Tiga Kitab Nazam Ulumul Quran dan Ushul Tafsir

Dia mendapatkan julukan Az-Zamzami karena kakek buyutnya merupakan muazin di lingkungan Masjid al-Harâm serta menjaga dan melayani sumur air zamzam (bi’ru zamzam). Keluarga ini kemudian menjadi pelayan dan penjaga sumur air zamzam. Az-Zamzami lahir di Makkah pada tahun 900 H/1494 M dan meninggal di Makkah pada tanggal 9 Dzulqa’dah tahun 976 H/1568 M.

Salah satu guru Az-Zamzami, berdasarkan catatan Muhammad bin Muhammad Al-Ghazî Najmuddîn dalam Al-Kawâkib As-Sâirah bi a’yân al-Mi’ah al-âsyirah, yaitu Syekh Al-Qadhi Zakariya. Bisa jadi yang dimaksud adalah Zakariya Al-Anshari, ulama ahlussunnah wal jamaah yang terkenal. Sementara, salah satu murid Az-Zamzami menurut catatan Mustafa Muhammad Albaik adalah Zainuddin bin Abdul Aziz bin Zainuddin bin Ali bin Al-Ma’bari Al-Malibari dari India. Murid Az-Zamzami ini kemudian dikenal sebagai penulis kitab Fathul Mu’in yang banyak diajarkan di pesantren Indonesia.

Az-Zamzami menulis banyak karya di antaranya adalah, Syarah Qashîdah Banât, Al-Qashshasu al-Haq fî Madh Khair al-Khalaqi, Manzhûmah Tafsir, Dîwân Syi’ir serta Tanbîh Dzawi al-Himam ‘ala Ma’akhidh Abi al-Tayyib min al-Syair wa al-Hikam, Sebuah karya yang membahas syair dan hikmah dari Abi Tayyib.

Peran Penting Az-Zamzami dalam Ulumul Quran

Karya Az-Zamzami di bidang ulumul Quran yaitu Manzhûmah Tafsir. Seperti yang disebutkan dalam paragraf pertama, karya ini merupakan alih media dari karya As-Suyuthi berbentuk prosa menjadi karya baru berbentuk puisi atau nazam. Dalam tradisi literatur Islam, penulisan ilmu pengetahuan dalam bentuk nazam adalah bagian dari strategi pendidikan. Karya berbentuk nazam, jika ditinjau dari segi lafaz memang ringkas namun jika dilihat dari segi makna, sesungguhnya sangatlah luas. Jika karya pengetahuan berbentuk nazam, maka seorang pelajar akan mudah menghafalkan, memahami, dan mengingatnya.

Manzhûmah Tafsir Az-Zamzami berisi 158 bait yang mencakup definisi ilmu tafsir, Muqaddimah, Ruang dan waktu penurunan Alquran, sanad Alquran, ilmu Tajwid, ragam bentuk lafaz, ilmu Ma’ânî dan kaitannya dengan hukum, ilmu Ma’ânî dan kaitannya dengan lafaz, serta penutup. Kitab ini ditulis dengan bahr rajaz, yakni pola lagu dalam keilmuan sastra Arab (‘arudh) yang begitu populer dan banyak digunakan untuk menuliskan ilmu pengetahuan.

Az-Zamzami yang hidup di masa akhir dinasti Mamluk dan awal dinasti Turki Utsmani ini sebenarnya dalam kajian ilmiah ulumul Quran selalu terhalang bayang-bayang As-Suyuthi. Nama As-Suyuthi dan perannya di bidang ini memang besar sekali, sehingga banyak penulis yang merasa cukup jika hanya mengutip As-Suyuthi tanpa perlu ke Az-Zamzami. Tetapi kondisi berbeda jika dilihat dari banyaknya jumlah syarah atas Manzhumah Tafsir ini. Saya melacak dalam berbagai katalog, buku riset, pelacakan digital, dan lain sebagainya menunjukkan jumlah yang cukup banyak, yakni 18-an karya. Ini saja pelacakan yang saya lakukan hingga tahun 2022.

Baca juga: Perbedaan Rasm Al-Daniy dan Al-Suyuthiy, Berikut Penjelasannya

Dari kedelapanbelas karya tersebut, 6 di antaranya adalah syarah yang ditulis oleh pensyarah Indonesia. Kitab-kitab tersebut ialah: Nahju al-Taisîr karya Sayyid Muhsin Al-Musawa Palembang (w.1935), Al-Iksîr karya Bisri Mustofa (1960), Madhraf al-Basyîr karya Baedlowie Sirodj (1971), Tashrîh al-Yasîr karya Muhammad Sya’roni Ahmadi (1972), Mozaik Ilmu Tafsir: kajian & Uraian Kitab Manzhûmah Tafsir Madrasah Tambak Beras Jombang (2020), dan Shofwat al-Bashîr Karya Abdul Rohîm (2022). Keenam pensyarah ini merupakan penuis yang lahir, tumbuh, dan mengabdi di kalangan pesantren.  Sementara 12 lainnya tersebar di belahan dunia, ada yang dari Yaman, Arab Saudi, Mesir, dan lain sebagainya.

Dari uraian di atas, menunjukkan bahwa Az-Zamzami berperan penting dalam ulumul Quran. Ia menghadirkan karya dengan tujuan memudahkan hafalan para pelajar, kemudian karyanya itu banyak direspons oleh para pensyarah. Di Indonesia sendiri, dari catatan tadi bisa dilihat bahwa sejak tahun 1930-an sampai tahun 2022 karya Manzhumah Az-Zamzami masih digunakan di Indonesia, khususnya di lingkungan pesantren.

Wallahu a’lam.

Refleksi Surah Saba Ayat 15: Konsep Tata Negara Ideal

0
Ilustrasi negara ideal

Alquran juga mengandung beberapa kisah, peristiwa, dan pelajaran hidup bagi umat Islam. Tak hanya itu, Alquran pun mengandung pesan tersirat maupun tersurat untuk mengatur segala aspek kehidupan manusia, mulai dari aspek ibadah, tauhid, akidah, muamalah, hingga ketatanegaraan. Dalam Q.S. Saba [34]: 15, disebutkan sejumlah arahan terkait dengan gambaran negara yang ideal. Seperti apa negara ideal itu?

Menurut Alquran, Seperti Apa Negara yang Ideal?

Seringkali kita menerima perspektif yang beragam ketika berbicara mengenai bagaimana negara ideal itu. Namun, kita dapat memahami konsep tersebut secara mendalam dan relevan dengan memahami isyarat atau gambaran negara yang ideal dalam surah Saba [34]: 15. Dalam ayat tersebut negara ideal yang dimaksud, tertulis dengan diksi “baldatun thayyibatun” yang menggambarkan negeri Saba’ pada zamannya sebelum hancur dikarenakan rakyatnya yang ingkar dan kufur nikmat.

لَقَدْ كَانَ لِسَبَإٍ فِي مَسْكَنِهِمْ آيَةٌ جَنَّتَانِ عَن يَمِينٍ وَشِمَالٍ كُلُواْ مِن رِّزْقِ رَبِّكُمْ وَٱشْكُرُواْ لَهُ بَلْدَةٌ طَيِّبَةٌ وَرَبٌّ غَفُورٌ 

“Sesungguhnya bagi kaum Saba’ ada tanda di tempat kediaman mereka, yaitu dua kebun di kanan dan di kiri. Makanlah dari rezeki Tuhan kamu dan bersyukurlah kepada-Nya; negeri yang baik dan Tuhan Yang Maha Pengampun.”

Dalam Tafsir al-Munīr, Wahbah az-Zuhaili menjelaskan yang dimaksud dengan “baldatun thayyibatun” ialah negara yang di dalamnya tersedia rezeki, makmur, sejahtera, aman, dan sentosa. Negeri Saba’ disebut negeri yang baik karena tanahnya tidak ada yang merupakan tanah berlumpur dan asin sehingga tidak bisa ditanami; tidak ada nyamuk, lalat, kutu, kalajengking dan ular karena iklim dan udaranya yang bagus dan bersih.

Baca juga: Tafsir Q.S. Hud Ayat 117: Dosa Sosial, Pemicu Kemunduran Suatu Negara

Hal ini menjelaskan bahwa negara makmur yakni memiliki tanah yang subur, sehingga menumbuhkan banyak pepohonan dan menghasilkan hasil pertanian yang baik dan melimpah, serta udara dan iklimnya yang sedang, bersih, dan sehat. Selain itu, dijelaskan pula bahwa negeri Saba’ ialah negeri yang sejahtera, dikarenakan memiliki infrastruktur yang baik juga akses yang mudah untuk bepergian sehingga memudahkan rakyatnya untuk berniaga. Demikian dijelaskan dalam surah Saba’ [34]: 18.

وَجَعَلْنَا بَيْنَهُمْ وَبَيْنَ ٱلْقُرَى ٱلَّتِي بَارَكْنَا فِيهَا قُرًى ظَاهِرَةً وَقَدَّرْنَا فِيهَا ٱلسَّيْرَ سِيرُواْ فِيهَا لَيَالِيَ وَأَيَّاماً آمِنِينَ 

“Dan Kami telah menjadikan antara mereka dan antara negeri-negeri yang Kami limpahkan berkat kepadanya beberapa negeri yang nampak dan Kami tetapkan padanya perjalanan (dekat). Berjalanlah di dalamnya pada malam dan siang hari dengan aman.”

Az-Zuhaili menyatakan bahwa Allah Swt. memberikan sejumlah nikmat yang berhubungan dengan aktivitas perjalanan rakyat Saba’ di penjuru negeri dan aktivitas perniagaan mereka dari negeri Yaman hingga Syam. Di sepanjang jalan, banyak pepohonan, perkebunan, tanah pertanian, dan kota-kota tinggi yang berdekatan serta sambung-menyambung dari satu kota ke kota berikutnya. Karena itu, orang yang melakukan perjalanan tidak perlu membawa perbekalan air dan perbekalan lainnya, karena mereka dapat dengan mudah mendapatkan air dan bahan makanan di mana pun mereka berada.

Terdapat juga terminal yang terdiri dari kota-kota dan distrik-distrik yang terletak di sepanjang jalur menuju ke Syam, yang dapat berfungsi sebagai tempat persinggahan dan peristirahatan musafir baik di siang maupun di malam hari. Diperkirakan jumlahnya mencapai 4700 distrik yang diberkahi dengan kesuburan, pepohonan, hasil pertanian, dan sumber air yang cukup. Perjalanan dari satu distrik ke distrik berikutnya sekitar setengah hari, dan jarak ini berlaku untuk semua distrik (Wahbah az-Zuhaili, Tafsir al-Munīr, Jilid 11, 490).

Baca juga: Prinsip-Prinsip Bernegara dalam Islam (Bagian 1)

Sedangkan yang dimaksud negara ideal yang aman dan sentosa menurut Quraish Shihab dalam Tafsir al-Mishbah ialah terjalinnya hubungan harmonis, kesatuan, dan persatuan antarrakyat yang tergambar pada negeri Saba’. Hal ini dibuktikan pada akhir ayat 18 yang berbunyi “Berjalanlah di dalamnya pada malam dan siang hari dengan aman”. Quraish Shihab menafsirkannya aman dari gangguan manusia yang berniat jahat dan binatang serta sengatan panas atau dingin.

Melihat argumen-argumen di atas, dengan penataan negara yang begitu rapi dan memanjakan rakyatnya, tak dipungkiri peran pemimpin di sini sangatlah penting. Pada saat itu negeri Saba’ dipimpin oleh seorang wanita yang bernama Ratu Balqis. Meskipun ia saat itu belum beriman, yang tak lain adalah seorang penyembah matahari, ia memiliki sifat kepemimpinan yang luar biasa.

Ratu Balqis merupakan sosok pemimpin yang demokratis, salah satunya dengan menjadikan musyawarah untuk mencapai suatu kebijakan. Hal ini dapat dilihat pada kisahnya yang tertuang dalam surah An-Naml [27]: 32. Selain itu, ia juga sosok pemimpin yang kuat, cerdas dan bijaksana, hal ini dibuktikan saat ia menghadapi Nabi Sulaiman, yang diceritakan juga dalam surah an-Naml [27]: 33, 34, dan 42.

Baca juga: Strategi Pertahanan Keamanan Negara dalam Alquran

Tak hanya itu ia juga sosok pemimpin yang penuh kasih sayang, adil, dan menempatkan kesejahteraan rakyatnya di atas segalanya. Hal ini dapat dilihat dengan penjelasan ayat Alquran dan argumen-argumen para mufasir di atas. Kebijakan-kebijakan yang ia buat dalam menata negaranya sungguh luar biasa dan ia juga berhasil mengelola dan memanfaatkan sumber daya alam yang ada pada negerinya dengan baik.

Salah satu bukti apiknya kepemimpinan ratu Balqis ialah ia dapat mencapai kemajuan peradaban sehingga mampu memanfaatkan air hujan yang deras dari laut timur dan selatan. Dengan kata lain, mampu mendirikan penampungan air alami yang terdiri dari dua gunung yang berdekatan. Kemudian membuat sebuah dam yang bernama Sadd Ma’rab di tengah lembah di antara dua gunung. Dam ini memiliki saluran air yang dapat dibuka dan ditutup. Dapat juga mengatur aliran dan volume air sesuai dengan kebutuhan, sehingga menghasilkan sumber air yang besar (Sayyid Quthb, Tafsir Fi Zhilalil Qur’an, Jilid 9, 314).

Konsep negara ideal yang disebutkan dalam surah Saba’ di atas ialah negara yang mampu mengelola sumber daya alam dengan baik, adanya pembangungan infrastruktur serta penyediaan transportasi, bersatunya rakyat, terciptanya rasa aman serta pemimpin yang bertanggung jawab. Dan yang tak kalah penting adalah rakyat yang mendukung penuh pemimpinnya jika pemimpin tersebut benar. Hal ini dikarenakan ketika Ratu Balqis masuk Islam dengan mengikuti ajaran Nabi Sulaiman, kemudian sang ratu mengajak rakyatnya, tetapi ditolak dan mereka menjadi ingkar dan kufur nikmat. Lalu Allah hancurkan negeri tersebut dengan menurunkan banjir.