Beranda blog Halaman 43

Peran Bahasa dan Masyarakat Arab dalam Menjaga Alquran

0
Peran Bahasa dan Masyarakat Arab dalam Menjaga Alquran

Pemeliharaan Alquran datang dari Allah sendiri selaku zat yang menurunkan Alquran. Dalam Q.S. Surah Al-Hijr [15]: 9 Allah berfirman, “Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan Alquran dan Kami (pula) yang memeliharanya.”

Dalam Tafsir Al-Munir, Wahbah az-Zuhaili menegaskan, Alquran terpelihara dari perubahan, penambahan dan pengurangan. Allah memelihara Alquran dengan menjadikan Alquran itu ajaib dan berbeda dari ucapan manusia. Pemeliharaan ini terjadi di dalam Alquran itu sendiri dan berhubungan dengan isi dan bahasa yang digunakan dalam Alquran.

Dalam Tafsir Jami’ al-Bayan fi Ta’wil Alquran, ath-Thabari menguraikan, terdapat pula penafsiran bahwa pemeliharaan Alquran dilakukan dengan memelihara Nabi Muhammad saw. dari musuh-musuh yang ingin mencelakainya. Pemeliharaan ini terjadi di luar Alquran dan berhubungan dengan penyebaran Alquran.

Jika ditelusuri, Alquran tetap terpelihara karena didukung oleh banyak faktor, baik dari dalam Alquran itu sendiri maupun dari luar. Tulisan ini membahas sebagian dari faktor tersebut, terutama faktor yang terjadi pada masa awal kemunculan Alquran.

Baca Juga: Berbagai Cara Allah Menjaga Al-Quran dalam Tafsir Surah Al-Hijr Ayat 9

Peran Bahasa Arab

Dalam Q.S. Yusuf [12]:2: Allah berfirman, “Sesungguhnya Kami menurunkannya (Kitab Suci) Alquran berbahasa Arab agar kamu mengerti.” Dalam Tafsir Al-Munir, dijelaskan bahasa Arab merupakan bahasa yang paling fasih, paling jelas, paling luas jangkauannya, serta paling baik dalam menyampaikan makna-makna yang timbul dalam jiwa. Berbagai potensi tersebut membuat penerima Alquran dapat memahami Alquran dengan benar.

Dalam Q.S. Al Ahqaf [46]: 12, Allah berfirman, “Sebelum (Alquran) telah ada kitab Musa sebagai imam (anutan) dan rahmat. Ini (Alquran) adalah Kitab yang membenarkan (kitab-kitab sebelumnya) yang berbahasa Arab untuk memberi peringatan kepada orang-orang yang zalim dan memberi kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat baik.”

Syekh az-Zuhaili juga menegaskan bahwa bagian dari karunia Allah dan kemudahan untuk mendapatkan petunjuk-Nya adalah Allah mengutus setiap rasul dari kalangan umatnya serta menggunakan bahasa umatnya. Rasul menjelaskan agama kepada mereka, sehingga mereka dapat memahami agama tersebut lalu menyebarkannya kepada orang lain dengan cepat dan mudah, sebagaimana dalam Q.S Ibrahim [14]: 4.

Syekh  az-Zuhaili juga menjelaskan, bahwa dengan Q.S. Maryam [19]: 97 Allah telah menjelaskan Alquran kepada Rasulullah secara rinci serta memudahkan pemahamannya. Untuk selanjutnya, Rasulullah dapat menggunakan Alquran untuk menyampaikan kabar gembira kepada orang-orang yang bertakwa serta dapat memperingatkan orang-orang yang berpaling dari kebenaran.

Beberapa ayat di atas menegaskan bahwa Alquran diturunkan dalam bahasa Arab. Pemilihan bahasa Arab didasari karena bahasa Arab merupakan bahasa yang paling jelas dan paling luas jangkauannya sehingga mampu menyampaikan berbagai makna, termasuk makna yang timbul dari dalam jiwa.

Baca Juga: Penjagaan Allah Terhadap Nabi Saw Menurut Alquran dan Hadis

Di sisi lain, saat pertama kali muncul, ajaran Alquran dipandang aneh. Untuk memudahkan penyampaian ajaran Alquran serta memperbesar peluang penerimaan, ajaran Alquran harus disampaikan dalam bahasa yang mudah dan sederhana serta dapat dimengerti dan dipahami oleh masyarakat awam. Bahasa Arab memiliki potensi tersebut sehingga menjadi pilihan Bahasa Alquran.

Berbagai potensi bahasa Arab membuat masyarakat Arab selaku penerima Alquran pada generasi pertama dapat memahami Alquran dengan benar. Pemahaman tersebut membuat mereka dapat mengamalkan Alquran sekaligus dapat menyebarkannya kepada orang lain secara cepat dan mudah. Penyebaran Alquran untuk selanjutnya membuat Alquran terus terpelihara dan terus berkembang hingga saat ini.

Peran Masyarakat Arab

Pemeliharaan Alquran juga tidak terlepas dari peran masyarakat Arab selaku penerima Alquran pada generasi pertama. Dalam Lentera Hati, Kisah dan Hikmah Kehidupan, M. Quraish Shihab menceritakan karakter masyarakat Arab pada saat kemunculan Alquran.

Menurut Shihab, sebagai pusat Arab, masyarakat Makkah pada saat itu belum banyak disentuh peradaban dan belum mengenal kemunafikan. Mereka juga pekerja keras dan teguh pendirian. Potensi ini membuat mereka memegang teguh ajaran Alquran serta pantang terhadap pengkhianatan dan kemunafikan.

Baca Juga: Peran Bahasa Arab dan Cabang Keilmuannya dalam Penafsiran Al-Qur’an

Pemeliharaan Alquran juga tidak terlepas dari berbagai potensi yang dimiliki Arab pada saat kemunculan Alquran. Dalam Mu’jizat Alquran Ditinjau dari Aspek Kebahasaan, Isyarat Ilmiah dan Pemberitaan Gaib, M. Quraish Shihab juga menjelaskan bahwa pada saat kemunculan Alquran, Arab merupakan wilayah yang menjadi jalur lalu lintas internasional yang menghubungkan dunia Timur (Kekaisaran Persia) dan dunia Barat (Imperium Romawi).

Arab pada saat itu juga merupakan sebuah wilayah yang belum dikuasai oleh Romawi maupun Persia. Penyampaian Alquran terhadap masyarakat Arab membuat Alquran terpelihara karena terbebas dari pengaruh Romawi dan Persia yang berseberangan dengan ajaran Alquran. Andaikata Alquran disampaikan di wilayah Romawi atau Persia, ajaran Alquran akan ditolak masyarakat setempat karena bertentangan dangan keyakinan mereka.

Secara geografis, Arab pada saat itu juga berada di tengah-tengah wilayah Romawi dan Persia. Masyarakat Makkah (pusat Arab) pada saat itu juga terbiasa bepergian pada musim dingin dan musim panas ke wilayah Romawi dan Persia. Berbagai potensi ini membuat mereka dapat dengan mudah menyebarkan ajaran Alquran ke belahan dunia timur maupun barat sekaligus membuat Alquran terus terpelihara bahkan berkembang ke seluruh dunia.

Akhirnya, pemilihan Arab yang mencakup bahasa dan masyarakat Arab sebagai titik awal penyebaran Alquran benar-benar merupakan sebuah pilihan dan rancangan dahsyat dari Allah swt. Kenyataan ini juga menunjukkan bahwa Alquran senantiasa terpelihara sejak kemunculan hingga hari kemudian.

Wallahu a’lam

Hukum Membunuh Begal

0
Hukum membunuh begal
Hukum membunuh begal

Setiap manusia memiliki naluri untuk mempertahankan dirinya ataupun orang lain, harta benda, dan kehormatannya dari perbuatan jahat atau melawan hukum. Naluri pembelaan diri tersebut terkadang menjadi salah di mata penegak hukum negara Indonesia. Seperti dalam kasus yang terjadi 2020 lalu, di Kabupaten Malang seorang siswa SMA dijatuhi hukuman sosial berupa pembinaan selama satu tahun di salah satu pondok Kabupaten Malang (BBC Indonesia (1/20)). Dia dijatuhi hukuman tersebut dikarenakan membunuh begal yang hendak merampok telepon genggam dan dompetnya serta akan memperkosa teman perempuannya.

Setahun sebelumnya, terdapat juga kasus di Bekasi (5/19), seorang pemuda 19 tahun dibebaskan dari semua tuduhan dan bahkan diberi penghargaan oleh Polres Metro Bekasi setelah membunuh begal yang menyerang dan merampoknya. Selain itu, pada 2022 lalu  di NTB (4/22), tepatnya Lombok Tengah terdapat kasus pembunuhan begal. Awal mulanya, seorang pria berumur 34 yang menjadi korban dijadikan tersangka pembunuhan dan ditahan sementara. Akan tetapi setelah kasus diambil alih oleh Polda NTB, pria tersebut akhirnya dibebaskan dengan alasan pembelaan terpaksa.

Baca juga: Kritik Allah kepada Bani Israil yang Membunuh para Nabi Terdahulu

Fenomena begal menjadi suatu tren kejahatan dilihat dari pola dan modusnya yang bersifat khusus. Korban begal tidak hanya kehilangan barang yang dimiliki, akan tetapi juga mengalami luka psikologis, luka fisik dan bahkan ada yang sampai kehilangan nyawa. Lalu bagaimanakah hukum melawan atau bahkan membunuh begal dalam pandangan Alquran dan Hukum Negara?

Pembelaan diri dari begal dalam pandangan Alquran

Dalam Islam, begal atau kejahatan dengan menyerang jiwa, merampas harta dengan kekerasan di jalanan dinamakan Qutha’ut thariq. Menurut ulama, jika terdapat begal menyerang kita, maka diperbolehkan melawan aksinya dimulai dengan cara yang paling sedikit menimbulkan bahaya. Namun, jika begal tersebut tidak bisa dihentikan kecuali dengan cara membunuh, maka kita diperbolehkan membunuhnya.

Hukumnya diperbolehkan untuk membunuh begal dalam keadaan sangat terdesak adalah ketika mereka akan merampas harta dan kehormatan diri. Jika begal tersebut terbunuh, maka dia akan masuk ke dalam api neraka. Sebaliknya, jika kita yang terbunuh maka kita syahid karena telah membela kehormatan diri atau harta. Membela harta dan kehormatan dalam Islam hukumnya wajib. (Rachmad Risqy, Hukum Membunuh Begal Dalam Perspektif al-Qur’an, 8)

Sebagaimana dalam firman Allah Q.S. Albaqarah [2]:194.

اَلشَّهْرُ الْحَرَامُ بِالشَّهْرِ الْحَرَامِ وَالْحُرُمٰتُ قِصَاصٌۗ فَمَنِ اعْتَدٰى عَلَيْكُمْ فَاعْتَدُوْا عَلَيْهِ بِمِثْلِ مَا اعْتَدٰى عَلَيْكُمْ ۖ وَاتَّقُوا اللّٰهَ وَاعْلَمُوْٓا اَنَّ اللّٰهَ مَعَ الْمُتَّقِيْنَ

“Bulan haram dengan bulan haram, dan (terhadap) sesuatu yang dihormati berlaku (hukum) kisas. Oleh sebab itu, siapa yang menyerang kamu, seranglah setimpal dengan serangannya terhadapmu. Bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah bersama orang-orang yang bertakwa.”

Abu Ja’far dalam kitab tafsirnya Jami’ al-Bayan ‘an Ta’wil Ayi al-Qur’an menafsirkan  فَمَنِ اعْتَدٰى عَلَيْكُمْ فَاعْتَدُوْا عَلَيْهِ بِمِثْلِ مَا اعْتَدٰى عَلَيْكُمْ (famani’ tada ‘alaikum fa’tadu ‘alaihi bimitsli ma’tadu ‘alaikum) dengan  mengambil pendapat al-Mutsanna yang diantaranya berbunyi:

“Oleh karenanya Allah memerintahkan kepada umat Islam agar membalas kejahatan mereka dengan kejahatan yang sama, bersabar, atau memaafkan, dan ini yang lebih baik.” (Terjemah Tafsir jami’ al-Bayan ‘an Ta’wil Ay al-Qur’an (jilid 3, 234)

Membunuh Begal dalam perspektif hukum negara

Peraturan tentang perlindungan hukum terhadap korban yang melakukan tindak pidana karena keadaan terpaksa atau pembelaan darurat telah diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) pasal 48 dan 49 ayat (1) dan (2). Namun dalam praktik di lapangan, pasal-pasal ini belum terelasiasikan dengan maksimal.

Aturan hukum yang seharusnya bertujuan untuk menciptakan ketertiban, melindungi hak orang yang terzalimi, dan mencegah perbuatan melawan hukum malah terkadang berbalik menghakimi orang yang tidak bersalah, orang yang melindungi nyawa, serta harta bendanya dari orang lain. Seseorang yang menjadi korban bisa berbalik menjadi tersangka.

Dalam kasus pembegalan, seorang korban tidak dapat dipidana ketika terpaksa harus membunuh pelaku begal jika memenuhi beberapa syarat tertentu. Syarat tersebut meliputi; 1) harus ada serangan yang sifatnya melawan hukum dan terjadi tiba-tiba, 2) serangan tersebut perlu dilakukan pembelaan diri yang sifatnya keharusan, terpaksa, dan melindungi diri sendiri atau orang lain, kehormatan dan benda.

Baca juga: Tafsir Ahkam: Macam-Macam Pembunuhan dan Pidananya

Dengan demikian, sejatinya, membunuh begal dapat diperbolehkan dan bukan merupakan suatu kejahatan jika dalam kondisi tertentu sebagaimana tersebut di atas. Baik dari sudut pandang Islam maupun hukum negara, melakukan perlawanan saat diserang dan ‘dalam kondisi darurat’  serta ada unsur ‘keterpaksan’ adalah suatu keharusan. Artinya, jika membunuh begal menjadi jalan satu-satunya untuk menyelamatkan diri, maka tindakan ini tidak semestinya mendapat hukuman. Akan tetapi, jika memungkinkan dan dapat menjaga pertahanan, melawan dengan cara selain membunuh tetap harus didahulukan, mengingat pembunuhan adalah kejahatan berat.  Wallahu a’lam[]

Makna Keberagaman dalam Sudut Pandang Mufasir Nusantara

0
Makna keberagaman
Makna keberagaman

Surah Arrum ayat 22 menggambarkan bahwa keanekaragaman adalah bagian dari ciptaan Allah Swt. yang menunjukkan keagungan dan kekuasaan-Nya. Pesan ini memiliki relevansi mendalam dalam konteks isu diskriminasi antarmanusia. Ayat tersebut menyiratkan bahwa perbedaan bukanlah alasan untuk mendiskriminasi. Perbedaan justru menunjukkan kebesaran Pencipta dan nilai kemanusiaan yang universal. Tulisan ini mengupas makna keberagaman dalam perspektif mufasir di Indonesia.

Baca juga: Albaqarah Ayat 148: Isyarat Pluralitas dan Solusi Egoisme Beragama

Makna keberagaman dalam sudut pandang mufasir Nusantara

Perbedaan adalah fitrah manusia. Allah menciptakan manusia berbagai bangsa dan suku agar saling mengenal dan berinteraksi, sebagaimana yang tercantum dalam Q.S. Alhujurat [49]: 13. Namun di tengah perbedaan itu, manusia sering kali terjebak dalam perilaku diskriminatif, memandang rendah atau merendahkan orang lain berdasarkan suku, agama, ras, atau gender. Padahal, dalam Q.S. Arrum [30]: 22 Allah menjelaskan bahwa perbedaan ini seharusnya menjadi tanda kebesaran-Nya.

وَمِنْ اٰيٰتِهٖ خَلْقُ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِ وَاخْتِلَافُ اَلْسِنَتِكُمْ وَاَلْوَانِكُمْۗ اِنَّ فِيْ ذٰلِكَ لَاٰيٰتٍ لِّلْعٰلِمِيْنَ

“Di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah penciptaan langit dan bumi, perbedaan bahasa dan warna kulitmu. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang-orang yang berilmu.”

Mufasir Nusantara, Bakri Syahid, dalam al-Huda Tafsir Qur’an Bahasa Jawi menafsirkan ayat di atas sebagai berikut:

“Lan saka sawenehe ayat tandha yekti kasampurnaning kakuwasaane Allah, yaiku tumitahing langit-langit lan bumi, sarta beda-bedaning basanira, lan warnaning kulitira. Sanyata kang mangkono iku temen dadi ayat tandha yekti tumrap kabeh wong kang mangarti.“ (Bakri Syahid, al-Huda Tafsir Qur’an Basa Jawi, Hal. 785)

Baca juga: Mengenal Tafsir Al-Huda, Tafsir Al-Quran Berbahasa Jawa Latin Karya Kolonel Bakri Syahid

Menurut penafsiran Bakri Syahid, Allah Swt. menunjukkan kekuasaan-Nya melalui berbagai macam ciptaan-Nya, seperti langit, bumi, perbedaan bahasa, dan warna kulit. Hal itu bertujuan agar manusia bertambah imannya dan lebih mengenal penciptanya, sehingga menjadi manusia yang bertakwa. Dengan bertakwa, manusia menjadi makhluk yang paling mulia di hadapan Allah tanpa merasa superior atau mendiskriminasi orang lain karena perbedaan warna kulit atau bahasa.

Ayat tersebut juga menunjukkan bahwa Alquran sangat menghargai keberagaman bahasa, bahkan mengakui penggunaan beragam bahasa lisan. Dalam konteks nasionalisme, menghargai bahasa adalah hal yang penting dan tidak bisa diabaikan karena hal tersebut akan membentuk kesatuan dalam berpikir. Masyarakat yang dapat merawat bahasanya tentu akan dapat merawat identitasnya, sekaligus menjadi bukti dari keanekaragaman atau pluralitas manusia.

Menjelajahi pesan Surah Arrum ayat 22 dalam konteks sosial Indonesia

Dalam konteks sosial, isu diskriminasi masih menjadi masalah serius di berbagai belahan dunia, termasuk di Indonesia. Diskriminasi rasial, agama, dan gender masih terjadi, menyebabkan ketidakadilan dan konflik antarmanusia. Namun, jika kita memahami pesan dalam Surah Arrum ayat 22, seharusnya perbedaan ini mengajarkan kita untuk saling menghargai dan memperkaya kehidupan bersama.

Quraish Shihab dalam menafsirkan ayat di atas menjelaskan bahwa salah satu tanda kekuasaan dan keesaan Allah adalah dengan diciptakannya langit yang bertingkat-tingkat dan bumi. Selain itu, tanda-tanda kekuasaan-Nya juga dapat dilihat dari adanya perbedaan lidah seseorang, seperti perbedaan bahasa, dialek, dan intonasi. Termasuk juga perbedaan pada warna kulit seseorang; ada yang hitam, kuning, sawo matang, dan putih.

Beliau menjelaskan bahwa ayat di atas menekankan tentang perbedaan, karena perbedaan inilah yang kemudian menonjolkan kuasa-Nya. Bagaimana tidak, manusia yang lahir dari asal-usul yang sama dapat mempunyai perbedaan dalam banyak aspek. (M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah Jilid 11, Hal. 37-38)

Hal yang sama juga dijelaskan oleh Buya Hamka dalam tafsirnya, Dalam ayat tersebut, seseorang yang berpengertian diperintahkan terlebih dahulu menengadah ke atas untuk melihat langit dengan ketinggian dan keluasannya. Kemudian setelah itu, barulah dia diperintahkan kembali melihat dirinya. Perbedaan yang ada menjadi salah satu tanda kebesaran Tuhan.

Baca juga: Buya Hamka, Mufasir Reformis Indonesia Asal Minangkabau

Selain menjelaskan banyaknya perbedaan bahasa dan warna kulit, lebih lanjut Buya Hamka menjelaskan perbedaan yang berkaitan dengan bentuk keindahan wajah tiap manusia. Dalam tafsirnya, beliau menyebutkan tidak kurang dari empat milyar penduduk dunia pasti berbeda-beda, dari ujung jari (sidik jari), raut muka, bentuk mata, hidung, telinga, bahkan kepribadian sekaligus.

Sehingga dari perbedaan ini, mengharuskan manusia untuk berpikir dan belajar. Maka dengan begitu manusia akan semakin meyakini bahwa segala sesuatunya, termasuk perbedaan yang ada adalah bagian dari kekuasaan-Nya. (Buya Hamka, Tafsir Al-Azhar Jilid 7, Hal. 5505-5506)

Refleksi atas pesan harmoni dalam keberagaman

Isu diskriminasi sering kali muncul karena ketidakmampuan manusia untuk menghargai dan meresapi keindahan dalam perbedaan. Surah Arrum ayat 22 mengingatkan kita bahwa kekuatan Allah justru terpancar melalui perbedaan tersebut, dan seharusnya menjadi landasan bagi kita untuk menghormati, menghargai, dan memperlakukan semua orang dengan adil tanpa memandang perbedaan.

Dalam konteks sosial modern, pesan ini menjadi relevan. Masyarakat yang beragam membutuhkan pemahaman dan toleransi yang lebih besar agar perbedaan tidak menjadi sumber konflik atau ketidakadilan. Melalui pemahaman yang dalam tentang pesan ini, kita dapat berusaha untuk membangun masyarakat yang lebih inklusif dan harmonis, di mana setiap individu dihormati dan diakui nilainya tanpa pandang bulu. Wallahu a’lam.

Keistimewaan Puasa Ramadan dan Manifestasi Kasih Sayang Tuhan

0
Keistimewaan puasa Ramadan dan manifestasi kasih sayang Tuhan
Keistimewaan puasa Ramadan dan manifestasi kasih sayang Tuhan

Salah satu perbedaan dari bulan lain yang membuat Ramadan menjadi istimewa adalah adanya kewajiban untuk melaksanakan ibadah puasa. Di saat yang sama, puasa merupakan salah satu ibadah yang istimewa. Oleh karenanya, bulan Ramadan yang di dalamnya terdapat kewajiban puasa ikut ketularan istimewa juga.

Keistimewaan puasa yang pertama mungkin adalah ibadah ‘penyambung’ dari umat-umat terdahulu, meski demikian model pelaksanannya berbeda. Hal ini sebagaimana tersurat dalam surah al-Baqarah ayat 183,

 يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (Q.S. al-Baqarah [02]: 183).

Baca Juga: Empat Aspek Penting dalam Tadabur Ayat tentang Puasa Ramadan

Quraish Shihab menjelaskan bahwa ayat di atas dimulai dengan panggilan mesra, wahai orang-orang yang beriman. Seruan ini eksklusif dari Allah terhadap mereka yang merasa memiliki iman agar melaksanakan ibadah puasa. Hal tersebut menjadi pengantar atau epilog yang mengundang segenap umat beriman untuk sadar akan pentingnya ibadah puasa. (Tafsir Misbah, juz 1 hal. 484)

Terkait dengan redaksi panggilan dalam permulaan ayat, Syaikh Mutawalli asy-Sya’rawi juga mempunyai pandangan sendiri. Menurutnya, umat Islam harus peka dalam membaca ayat-ayat perintah yang dimulai dengan ajakan secara khusus kepada orang-orang yang beriman. Dalam konteks model ayat semacam ini, beliau menyarankan untuk membacanya dengan pendekatan cinta.

Artinya, setiap perintah atau larangan yang datang dari Allah swt. Tidak lain merupakan bentuk kasih sayang Allah kepada hambaNya. Perasaan seperti inilah –yakni ikatan cinta dan keimanan- yang akan dapat menimbulkan rasa intim dan ketundukan sejati ketika melakukan sebuah tuntunan agama meski terasa berat. Demikian kurang lebih penjelasan mufasir asal Mesir tersebut. (Tafsir al-Sya’rawi, juz 2, hal. 764)

Terkait kasih sayang Allah ini, dalam Kitab Syajarah al-Ma’arif, Syaikh Izzudin bin Abd as-Salam menandaskan bahwa setiap aturan dalam syariat pastilah mengandung maslahat atau spirit untuk menghilangkan mafsadat. Beliau mengatakan,

ومن لطف الرحمن أنه لم يأمرنا إلا بما فيه مصلحة في الدارين أو في إحداهما، ولم ينه إلا عما فيه مفسدة فيهما أو في إحداهما

“Salah satu bentuk kasih sayang Allah Swt. adalah, Dia tidak pernah memerintahkan kita melainkan di dalamnya pasti terdapat maslahat di dunia dan atau di akhirat, dan tidak pernah memberikan larangan kecuali terhadap hal-hal yang mengandung mafsadat bagi kehidupan di dunia dan atau di akhirat. (Syajarah al-Ma’arif, hal. 13)

Sebagaimana aturan-aturan hukum dalam Islam lainnya, puasa juga mengandung manfaat yang luar biasa baik secara duniawi, lebih-lebih ukhrawi. Dalam hal kesehatan misalnya, banyak penelitian dan ungkapan kedokteran yang menyatakan bahwa berpuasa dapat meningkatkan kesehatan tubuh serta menjadi alternatif untuk menyembuhkan penyakit.

Dalam hal ini, Rasulullah saw. juga pernah bersabda,

صوموا تصحوا

Berpuasalah kaliah, maka kalian akan memperoleh kesehatan.

Baca Juga: Inilah Lima Hakikat Puasa Ramadan menurut Al-Ghazali

Beberapa Hikmah dan Keistimewaan Puasa

Ibnu Katsir memaparkan beberapa hikmah dan keutamaan puasa. Menurutnya, kita harus memahami bahwa puasa memang merupakan tindakan pasif berupa menahan diri dari segala yang membatalkan puasa. Namun dibalik itu semua, ia memiliki dampak membersihkan jiwa dari karakter-karakter tercela. Hal ini karena spirit dari ibadah puasa itu sendiri adalah mengekang dan mengendalikan hawa nafsu yang menjadi kendaraan setan dan kerap kali menjadi sumber keburukan dalam diri manusia, sehingga dengan berpuasa, kita telah mempersempit ruang gerak setan membisikkan keburukan dalam diri kita. (Tafsir Ibnu Katsir, juz 1, hal. 497)

Selain manfaat ruhaniah dan jasmaniyah yang terkandung dalam ibadah puasa, salah satu wujud kasih sayang Allah kepada hambaNya dalam ibadah puasa ini adalah ganjaran yang istimewa dari Allah. Dalam sebuah hadis, Rasulullah saw. menjelaskan keistimewaan ibadah puasa atas ibadah yang lain,

كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ يُضَاعَفُ لَهُ الْحَسَنَةُ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا، إِلَى سَبْعِمِائَةِ ضِعْفٍ، قَالَ اللَّهُ سُبْحَانَهُ: «إِلَّا الصَّوْمَ فَإِنَّهُ لِي وَأَنَا أَجْزِي بِهِ

“Setiap amal ibadah yang dilakukan manusia akan dilipatgandakan ganjaran kebaikannya sebanyak sepuluh kali bahkan sampai tujuh puluh kal lipat. Allah swt berfirman: kecuali puasa, karena sesungguhnya puasa adalah untuk-Ku dan Aku-lah yang akan memberikan ganjaran terhadapnya.”

Ungkapan di atas menunjukkan betapa mulianya ibadah puasa. Tatkala amal-amal yang lain telah ditentukkan kadar pahala yang akan diterima, ganjaran ibadah pusa justru dirahasiakan oleh Allah, dan Dia-lah yang akan memberikan ganjarannya secara langsung. Hal ini merupakan bentuk penghargaan kepada orang-orang yang berpuasa karena telah sabar menahan hawa nafsu selama berpuasa.

Dengan demikian, seyogyanya ibadah puasa ini kita laksanakan dengan penuh keimanan dan semangat. Sebab ada banyak keistimewaan dan previlege yang disedikan bagi orang-orang yang berpuasa dengan tulus karena Allah Swt. Wallah a’lam

Korupsi dalam Penafsiran Hamka

0
korupsi dalam penafsiran Hamka
korupsi dalam penafsiran Hamka

Pembahasan korupsi juga menjadi salah satu perhatian mufasir Indonesia. Salah satu mufasir yang dimaksud adalah Hamka. Korupsi dalam penafsiran Hamka dibahas dalam satu bab yang merupakan penafsiran dari empat ayat dalam surah Ali ‘Imran [3]: 161-164.

Korupsi dalam penjelasan Tafsir al-Azhar

Pembahasan korupsi dibuka dengan pengertian kata yagulla pada awal ayat 161 yang memiliki arti curang. Korupsi dalam penafsiran Hamka dikaitkan dengan gambaran peristiwa pencurian ganimah sebelum barang tersebut dibagi sama rata. Sesuai dengan konteks tersebut, korupsi dapat diartikan sebagai pengambilan barang secara sembunyi-sembunyi demi kepentingan pribadi (al-Azhar, 2/977).

Dalam konteks ayat 161 ini, Hamka juga menegaskan bahwa pelaku curang dikategorikan sebagai seseorang yang berkhianat, sehingga dalam hal ini tidak mungkin seorang nabi melakukan hal sehina itu. Pernyataan ini muncul diiringi perkataan yang diutarakan oleh salah seorang pasukan Perang Badar. Dia berprasangka bahwa selendang hasil ganimah telah digunakan oleh Nabi Muhammad saw. secara pribadi sehingga selendang tersebut menghilang. Maka dari itu, ayat ini juga menjadi peringatan bagi mereka untuk menghilangkan prasangka terhadap nabi yang melakukan korupsi.

Baca Juga: Pandangan Alquran tentang Korupsi dan Solusinya

Korupsi dalam penafsiran Hamka tidak berhenti pada pendefinisian korupsi itu sendiri. Hamka juga memberikan peringatan bagi perilaku kecurangan tindak korupsi, bahwa tempat mereka adalah seburuk-buruknya tempat kembali yakni neraka jahannam. Hamka juga mengartikan pelaku korupsi ini sebagai perusak, maka mereka akan mendapatkan imbalan setimpal baik di dunia juga di akhirat. Apa pun yang mereka sembunyikan akan terbuka satu persatu.

Setelah ditelisik, korupsi dalam penafsiran Hamka berusaha menyanggah prasangka terhadap nabi dan berusaha memulihkan sikap amanah yang dimiliki nabi. Penafsiran ini berfokus pada penggambaran seberapa lembut dan baiknya Nabi Muhammad saw. sebagai pemimpin umat.

Nabi Muhammad saw. selalu membagi ganimah sama rata, bahkan nabi akan menyisihkan barang ganimah milik pasukan yang tidak datang pada waktu pembagian. Nabi sebagai pemimpin selalu mengutamakan rakyatnya dibandingkan penderitaan yang dialami oleh dirinya sendiri.

Baca Juga: Kisah Nabi Syu’aib dan Jihad Melawan Korupsi

Pemaknaan korupsi oleh mufasir Indonesia yang lain

Hamka yang secara khusus menyebutkan kata korupsi dalam tafsirnya, sedikit berbeda dengan beberapa mufasir lain. Beberapa mufasir memahami yagulla tidak langsung dengan korupsi, misal Quraish Shihab, beliau memaknai kata ini dengan ‘pengkhianatan’. Pemaknaan ini dikaitkan dengan pengkhianatan terhadap kepercayaan kepada masyarakat ataupun kepercayaan antar individu (al-Mishbah, 2/265) sehingga secara tersirat Quraish Shihab memaknai korupsi ini adalah sebuah bentuk pengkhianatan pemimpin pada rakyat demi kepentingan tertentu.

Sementara itu, mufasir sebelumnya, yaitu Mahmud Yunus, menjelaskan bahwa korupsi adalah perilaku curang. Lalu dalam hal ini, Mahmud Yunus mengaitkan ayat ini sebagai petunjuk bagi pemimpin yang diberi tanggung jawab untuk adil dan memelihara apa yang telah dipercayakan pada mereka.

Menurut Mahmud Yunus, tindakan korupsi ini berbanding lurus dengan kualitas iman seseorang. Idealnya, orang yang beriman tidak akan melakukan korupsi, karena dia sadar bahwa segala perbuatannya akan diminta pertanggungjawaban kelak di akhirat. (al-Qur’an al-Karim, 1/96).

Meminimalisir Tindakan Korupsi

  1. Musyawarah dalam segala hal untuk meminimalisir prasangka

Cara pertama dapat dilakukan dengan bermusyawarah seperti penjelasan pada surah Ali-‘Imran [3]: 159,

وَشَاوِرْهُمْ فِى الْاَمْرِۚ

“Ajaklah mereka bermusyawarah dalam urusan-urusan keduniaan mereka”. Dalam hal ini Hamka bahkan mengaitkan dengan kinerja nabi terdahulu yang selalu menyelesaikan masalah dan mengambil keputusan sesuai dengan musyawarah bersama para sahabat.

Hamka juga menggambarkan pentingnya penegakan demokrasi sebagaimana yang dilakukan pada zaman nabi dalam memilih pemimpin setempat. Hal ini berfokus pada keterlibatan masyarakat dalam berbagai hal yang nantinya akan meminimalisir terjadinya prasangka kepada pemimpin setempat (al-Azhar, 2/970). Sebab, prasangka merupakan poin awal korupsi dapat terjadi.

  1. Peningkatan etos kerja

Selanjutnya, peningkatan etos kerja sebagaimana dijelaskan dalam surah at-Taubah [9]: 105,

وَقُلِ اعْمَلُوْا فَسَيَرَى اللّٰهُ عَمَلَكُمْ وَرَسُوْلُهٗ وَالْمُؤْمِنُوْنَۗ وَسَتُرَدُّوْنَ اِلٰى عٰلِمِ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ فَيُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُوْنَۚ

 “Beramallah kamu, maka Allah akan memperhatikan amalan kamu”. Amalan di sini oleh Hamka dikaitkan dengan pemaknaan Q.S. al-Isra’ [17]: 84,

قُلْ كُلٌّ يَّعْمَلُ عَلٰى شَاكِلَتِهٖۗ فَرَبُّكُمْ اَعْلَمُ بِمَنْ هُوَ اَهْدٰى سَبِيْلًا

Wahai Muhammad, katakanlah: “Setiap orang akan beramal menurut bakatnya, tetapi Tuhan engkau lebih mengetahui siapakah yang lebih mendapat petunjuk dalam perjalanan”.

Maksudnya, setiap amalan tersebut dapat berupa bekerja sesuai dengan kemampuan dan bakat mereka masing-masing sehinggga dari sinilah mereka dapat berlomba-lomba untuk meningkatkan etos kerja demi mendapat rezeki yang berkah dari Allah Swt.

Dalam hal ini Hamka memberi penegasan bahwa sebesar dan sekecil apa pun pekerjaan yang kita lakukan jangan pernah sekalipun berlaku curang, sebab Allah swt. akan selalu melihat kita. Sebagaimana pangkal surah at-Taubah [9]: 105, “Kelak kalian akan dikembalikan kepada Allah, Tuhan yang Maha Mengetahui yang ghaib dan yang nyata. Allah akan mengabarkan kepada kalian semua perbuatan yang telah kalian lakukan di dunia”. Pada hari kiamat jujur atau curangnya mereka tidak dapat disembunyikan lagi. Demikian pesan Hamka dalam tafsirnya. (al-Azhar, 4/3120). Wallah a’lam.

*Artikel ini hasil kerja sama antara tafsiralquran.id dan prodi IAT UIN Sunan Ampel, Surabaya

Pentingnya Mencatat Sejarah Ulumul Quran Pesantren

0
Pentingnya mencatat sejarah ulumul quran pesantren
Pentingnya mencatat sejarah ulumul quran pesantren

Salah satu cara mengetahui peradaban suatu bangsa adalah melihat bagaimana dokumentasi sejarahnya. Oleh karena itu, mencatat sejarah lalu mengarsipkannya atau mendokumentasikannya adalah hal yang sangat penting. Termasuk juga mencatat sejarah Ulumul Quran pesantren.

Setidaknya ada empat alasan mencatat sejarah Ulumul Quran pesantren itu penting.

Pertama, belum ada catatan sejarah yang menyinggung ini. Salah satu pencatat data pembelajaran Ulumul Quran pesantren adalah Martin Van Bruinessen dalam Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat. Dia menelusuri dan membuat daftar beberapa kitab tafsir, ilmu tafsir (Ulumul Quran), fiqih dan ushul fiqih yang digunakan di beberapa pesantren Indonesia pada tahun 1990-an.

Tercatat ada 8 kitab tafsir dan 2 kitab Ulumul Quran yang digunakan. Sementara disiplin fiqih dan mencapai 25 kitab dan ushul fiqih tercatat 7 kitab. Khusus untuk disiplin ulûm al-Qur’ân, 2 karya yang digunakan adalah karya Jalaluddin As-Suyuthî yaitu Itmam ad-Dirayah li Qurra’ an-Niqayah dan al-Itqan fî ulûm al-Qur’an saja.

Baca Juga: Mengenal Kitab Fathul Khabir dan Ulumul Qurannya Karya Syekh Mahfudz At Tarmasi

Kedua, tidak adanya katalog khusus. Pencatatan sejarah Ulumul Quran pesantren masih menjadi problem para pengkaji ilmu Al-Qur’an dan Tafsir. Bagaimana tidak, para sejarawan tafsir hingga saat ini sudah menyusun banyak karya-karya yang berkaitan dengan Ulumul Quran.

Salah satu buku yang mencatat daftar karya-karya ulama pesantren secara umum adalah Ats-Tsabat Al-Indûnisiyyu (2020) yang ditulis oleh Nanal ‘Ainal Fauzi. Dia menulis katalog ini berdasarkan nama-nama tokoh dari tahun 1203 H atau 1501 M. Buku ini ditulis dengan bahasa Arab yang menghimpun 90 nama tokoh ulama dengan 1000 daftar nama kitab. Oleh karena memang ditulis berdasarkan nama tokoh dan bukan spesifikasi keilmuan, maka bagi pengkaji Ulumul Quran perlu membacanya satu persatu.

Misalnya, KH. Sholeh Darat Semarang (w. 1321 H) menulis kitab Ulumul Quran yang berjudul Al-Mursyid Al-Wajiz. Kemudian Sayyid Muhsin bin Abdur Rahman Al-Musawa al-Falimbani (w. 1354 H) yang menulis Nahju at-Taisir Syarah Manzhumah At-Tafsir Az-Zamzami. Selanjutnya, Syekh Mahfuzh bin Abdillah bin Abdil Mannan At-Turmusi (w. 1334 H) yang menulis Fathu Al-Khabir bi Syarhi Miftahu At-Tafsir.

Upaya yang dilakukan oleh Nanal tentu perlu diapresiasi. Dia mengumpulkan daftar nama ulama Indonesia beserta judul-judul kitabnya dalam satu buku. Meskipun begitu, informasi yang disajikan tetap harus dilengkapi oleh buku lain, karena data yang ditulis tidak mencantumkan bagaimana kondisi kitab itu sekarang, sudah pernah dicetak atau masih berupa manuskrip. Ini yang masih menjadi pekerjaan rumah bagi para pengkaji Ulumul Quran.

Buku lain selain itu adalah Sanad Quran dan Tafsir di Nusantara (2022) yang ditulis oleh Zainul Milal Bizawie. Buku ini karena masih sangat umum lantas pembahasan mengenai Ulumul Qurannya pun masih minim. Bizawie mencoba memaparkan beberapa karya ulumul Quran oleh ulama pesantren seperti Nahju at-Taisir karya Sayyid Muhsin Al-Musawa, Fathu Al-Khabir karya Syekh Mahfuzh at-Tarmasi, Madzraful Basyir karya KH. Baedlowie Sirodj, Al-Miftah ‘ala Tahrir Usul At-Tafsir karya KH. Miftah bin Ma’mun Cianjur dan Mawarid Al-Bayan fi Ulum Al-Quran karya Dr. Afifuddin Dimyathi. Di sini kedua penulis baik Nanal maupun Bizawie masih perlu ditambahkan lagi data-data terkait penulis Ulumul Quran pesantren. Dan inilah tugas-tugas peneliti atau penulis selanjutnya.

Baca Juga: Pentingnya Ulumul Quran Sebagai Sarana Menggali Pesan Tuhan

Ketiga, sudah seharusnya melihat Ulumul Quran dan produk tafsir yang ada di pesantren secara komprehensif serta saling terkait. Misalnya begini, KH. Bisri Mustofa selama ini dikenal sebagai penulis tafsir dengan karya fenomenal Al-Ibriz. Kitab ini sangat populer di kalangan sejarawan tafsir dan sarjana tafsir Nusantara, tetapi, kitab Ulumul Qurannya yakni Al-Iksir yang merupakan terjemah dan syarah dari kitab Manzhumah at-Tafsir Az-Zamzami tidak begitu dikenal. Akan lebih komprehensif jika melihat secara holistik antara Ulumul Quran dan tafsirnya, antara teori dan praktiknya. Dengan begitu, akan lebih lengkap pula kajian Alquran dan tafsir dari seorang tokoh.

Keempat, Para peneliti atau sarjana perguruan tinggi masih terlalu fokus pada kajian Ulumul Quran di perguruan tinggi. Apalagi kajian itu bersifat historiografi atau pencatatan data sejarah secara periodik. Saya ambil contoh, Rahendra Maya (2022) melakukan penelitian yang menampilkan beberapa karya Ulumul Quran Perguruan Tinggi sejak tahun 2009 sampai 2020. Karya-karya yang diteliti adalah karya dari rahim perguruan tinggi. Dia mencoba mencermati satu demi satu rujukan dari 21 karya yang diteliti dan menunujukkan minimnya penulis ‘ulûm Al-Qur’an dari perempuan. Selain itu juga minimnya penggunaan referensi dari karya pesantren atau ulama Nusantara.

Itulah beberapa alasan mengapa para santri pesantren atau sarjana Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir perlu menjadi aktor di balik pencatatan sejarah Ulumul Quran pesantren. Hal ini akan mendukung upaya untuk desentralisasi kajian keislaman. Artinya melihat perguruan tinggi dan pondok pesantren secara adil dalam konteks lembaga yang berperan dalam dinamika keislaman di Indonesia. Wallahu a’lam

Q.S Alrum Ayat 22: Pesan Anti Rasisme

0
Q.S Alrum Ayat 22: Pesan Anti Rasisme

Keberagaman yang ada pada setiap manusia meliputi warna kulit, ras, suku, bahasa, dan asal-usul seseorang. Terkadang perbedaan tersebut bisa menjadi pemicu ketidaksetaraan dari golongan yang tidak mengerti keistimewaan dari ciptaan Allah swt. Hal tersebut kerap menimbulkan sikap rasis yang masih sering terjadi di kalangan masyarakat.

Rasisme dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah perlakuan yang berat sebelah terhadap suku yang berbeda, paham bahwa ras diri sendiri adalah ras yang paling unggul. Alquran menegaskan bahwa manusia diciptakan berbeda-beda baik bentuk, warna kulit, bahasa dan lain-lain. Dan tujuan dari perbedaan tersebut adalah supaya manusia saling mengenal dan menghargai satu sama lain. Sebagaimana yang di jelaskan dalam Q.S Alhujurat [49]:13;

Hai manusia, sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mmengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling takwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah maha mengetahui lagi maha mengenal.

Baca Juga: Perbedaan Adalah Keniscayaan, Toleransi Adalah Keharusan

Sudah jelas bahwa dalam kehidupan ini setiap orang mengenal banyak perbedaan. Sehingga, dari perbedaan itu bisa menjadikan seseorang untuk saling tenggang rasa, saling menghargai, bukan untuk menjelekkan maupun mencaci.

Dalam Alquran telah disinggung bahwa setiap perbedaan yang ada pada diri manusia termasuk dalam bentuk kebesaran Allah. Sebagaimana yang terdapat dalam Q.S Alrum [30]:22;

وَمِنْ اٰيٰتِهٖ خَلْقُ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِ وَاخْتِلَافُ اَلْسِنَتِكُمْ وَاَلْوَانِكُمْۗ اِنَّ فِيْ ذٰلِكَ لَاٰيٰتٍ لِّلْعٰلِمِيْنَ

Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya adalah menciptakan langit dan bumi, perbedaan bahasa dan warna kulitmu. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang-orang yang berilmu.

Berdasarkan penjelasan dari Tafsir Kemenag, di antara tanda-tanda kebesaran-Nya ialah penciptaan langit tanpa penyangga dan bumi yang terhampar. Demikian pula dengan perbedaan bahasa yang diucapkan dengan mulut yang terdiri atas unsur yang sama yaitu bibir, gigi, dan lidah.

Di samping itu juga meliputi perbedaan warna kulit, meski manusia berasal dari sumber yang satu. Dan perbedaan-perbedaan itu adalah tanda-tanda eksistensi dan keesaan-Nya bagi orang-orang yang mengetahui atau berilmu.

Orang yang mengerti akan ilmu pengetahuan, maka tidak akan melakukan hal sedemikian seperti mencela dan sebagainya mengenai perbedaan antara dirinya dan orang lain. Justru hal tersebut akan menjadi sikap kagum tersendiri dengan mengagungkan kebesaran Allah yang mampu menciptakan makhluk-Nya dengan sedemikian rupa, dengan keberagaman tersebut.

Baca Juga: Menjadi Muslim Moderat menurut Habib Jafar

Kemudian, M. Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Misbah (jilid 11, 38) menjelaskan perbedaan bahasa dan warna kulit merupakan hal yang cukup jelas terlihat dan disadari oleh setiap orang, apalagi kedua perbedaan tersebut bersifat langgeng pada diri setiap orang.

Tetapi jangan duga bahwa tidak ada sesuatu di balik semua itu. Banyak rahasia yang belum terungkap. Banyak juga masalah baik menyangkut warna kulit maupun bahasa dan suara yang hingga kini masih menjadi tanda tanya bagi banyak orang.

Dari penafsiran tersebut dapat dipahami bahwa perbedaan yang ada pada diri setiap manusia masih menjadi misteri yang dibingungkan oleh setiap hamba-Nya. Hal ini karena setiap orang memiliki tanda tanya tersendiri tentang mengapa, apa, dan bagaimana semua hal itu bisa terjadi. Tetapi, sebagai hamba-Nya yang beriman tentunya percaya akan kebesaran Tuhan dan mengambil hikmah baik dari perbedaan yang ada.

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa manusia adalah ciptaan Allah swt., maka wajib untuk saling menghargai setiap apa yang telah diciptakan oleh Allah swt. Jangan ada rasa paling benar sendiri terhadap ras, suku, bahasa, maupun warna kulit yang dimiliki, sebab tindakan tersebut bisa menimbulkan sikap rasis pada diri seseorang.  Sepantasnya mensyukuri nikmat tersebut tanpa harus merendahkan orang lain dengan berbagai caranya sendiri.

Wallahu a’lam.

*Artikel ini hasil kerja sama tafsiralquran.id dan Program Studi Ilmu Alquran dan Tafsir, UIN Sunan Ampel Surabaya

Tafsir Q.S. Alnisa Ayat 28: Manusia Adalah Makhluk yang Lemah

0
Tafsir Q.S. Alnisa Ayat 28: Manusia adalah Makhluk yang Lemah

Manusia merupakan makhluk yang selalu memiliki ketergantungan terhadap apapun dan siapapun. Tidak dapat hidup sendirian, sekuat maupun se-sangar apapun dirinya. Ia tetap membutuhkan Allah di setiap keadaannya, melalui penciptaan-Nya. Inilah titik kelemahan manusia. Bahkan, suatu firman-Nya telah menyebutkan dalam Q.S. Alnisa [4]: 28, dikatakan bahwa manusia didesain sebagai makhluk yang lemah.

يُرِيْدُ اللّٰهُ اَنْ يُّخَفِّفَ عَنْكُمْۚ وَخُلِقَ الْاِنْسَانُ ضَعِيْفًا

Allah hendak memberikan keringanan kepadamu dan manusia diciptakan (dalam keadaan) lemah.

Umat Nabi Muhammad Adalah Paling Lemah dari Umat Terdahulu

Mengenai ayat ini, al-Shabuni dalam Mukhtaṣar Tafsīr Ibnu Kaṡīr (1/378), menceritakan bahwasanya Nabi Musa a.s. berkata kepada Rasulullah  ﷺ ketika malam Isra’, “Apa yang diwajibkan atasmu dan umatmu?” Rasulullah ﷺ menjawab, “Allah memerintahkan kepada kami salat sebanyak lima puluh kali dalam sehari.”

Baca Juga: Mengenal Tiga Istilah Manusia dalam Alquran: Nas, Insan, dan Basyar

Lantas Nabi Musa merespon, “Kembalilah kepada Tuhanmu, dan mintalah keringanan kepada-Nya, sebab umatmu tidak mampu melakukannya. Sungguh aku telah menguji umat sebelummu dengan sesuatu yang kurang dari itu, dan mereka tidak mampu. Umatmu memiliki pendengar, penglihatan, dan hati yang lebih lemah.” Kemudian, Rasulullah saw. mengikuti saran Nabi Musa a.s, bernegoisasi kepada-Nya hingga pada akhirnya sebanyak lima kali dalam sehari.

Lemah Terhadap Wanita

Pada zaman Rasulullah ﷺ, setelah diturunkannya ayat ini, seseorang diperbolehkan menggauli dan menikahi budak wanita. Abu Ja’far dalam Tafsīr al-Ṭabari, Yunus telah menceritakan kepadaku, ia berkata: Ibnu Wahab menceritakan kepada kami, dia berkata: Ibnu Zaid berkata bahwa firman-Nya: yurīdullāhu an yukhoffifa ‘ankum, merupakan keringanan kepada manusia menikahi budak-budak wanita dalam kondisi mendesak (syahwat ingin segera tersalurkan). Ini disebabkan karena ayat setelahnya: wa khuliqa al-insāna ḍa’ī. Keringanan tersebut dapat dilakukan jika memang tidak menemukan wanita merdeka untuk dinikahi. (Tafsīr al-Ṭabari, 6/525)

Berkenaan dengan ayat ini, al-Zuhaili dalam tafsirnya, Allah menjelaskan sebab takhfīf (keringanan) yang diberikan manusia ialah karena sifat ḍa’īf (lemah) yang dimilikinya, yaitu mudah terlena dengan hawa nafsu dan syahwat, apalagi dalam urusan wanita. (Tafsīr al-Munīr, 5/28)

Baca Juga: Surat Yusuf Ayat 28 vs Surat An-Nisa Ayat 76, Benarkah Perempuan Lebih Berbahaya Daripada Setan?

Ini senada dengan al-Maraghi, ia menambahkan, bahwa manusia tidak mampu menahan kecenderungannya terhadap wanita, dan tidak dapat menahan tekanan untuk istimta’ atau menikmatinya. (Tafsīr al-Maraghī, 5/15) Begitu pula ditafsirkan oleh al-Jalālayn, bahwa kelemahan ini terletak pada ketidaksabarannya diperhadapkan dengan wanita dan syahwat. (Tafsīr al- Jalālayn, 105)

Begitu cara Allah menyayangi hamba-hamba-Nya melalui apa yang disyariatkan-Nya, yakni mengharamkan segala sesuatu yang mampu mencelakakan manusia. Dan segala apapun yang dihalalkan-Nya pastilah membawa maslahat bagi manusia.

Perzinaan yang terus merajalela seharusnya tidak menjadikan kelemahan akan syahwat tersebut sebagai sebuah pemakluman. Allah memberikan keringanan akan kelemahan tersebut dengan jalan halal, yakni menikah, ketika telah siap lahir dan batin. Pun belum siap, hendaknya senantiasa menahan dirinya dengan berpuasa sebagai upaya menekan hawa nafsu.

Perlu diakui bahwa dewasa ini, amoralitas telah mencapai tingkat yang sangat mengkhawatirkan, sehingga orang-orang mulai menganggap perzinaan adalah suatu kewajaran. Kecemburuan terhadap pasangan dianggap sebagai sikap posesif berlebihan. Sehingga, sakralitas pernikahan semakin mengalami degradasi makna bagi sebagian orang. Menjadi banyak takut menikah, dan justru memilih menyalurkan nafsunya pada hubungan yang jelas haram. Na’ūżubillāh.

Al-Zuhaili, selain memaknai lemah terletak pada urusan wanita, juga lemah pada urusan berikut ini, yakni: mudah mengalami rasa ketakutan dan kesedihan, sulitnya menahan kemauan hawa nafsu, dan beratnya menegakkan ketaatan. (Tafsīr al-Munīr, 5/28)

Mudah Mengalami Rasa Ketakutan dan Kesedihan

Khauf (takut) dan ḥuzn (sedih) merupakan sikap yang melekat pada diri setiap manusia. Sikap ini bukanlah kekurangan yang hina, melainkan menjadi anugerah yang patut kita syukuri. Dengan adanya takut, seseorang mampu menumbuhkan sikap waspada dalam bertindak, yang mana mampu menyempurnakan takwa kepada-Nya. Mana yang wajib ditunaikan, mana yang harus dihindari, dan lain-lain.

Adapun sikap ḥuzni atau kesedihan, merupakan bentuk ekspresi manusia dalam menyikapi suatu hal yang buruk yang menimpanya. Tanpa ada ungkapan kesedihan, justru menimbulkan pemendaman ekspresi batin yang memperparah kondisi seseorang. Adanya sikap takut dan sedih merupakan bukti bahwa manusia adalah makhluk lemah di hadapan-Nya. Sekalipun menampakkan baik-baik saja di depan banyak orang, di balik itu ia menampilkan dirinya sangat lemah di hadapan-Nya meminta kelapangan hati.

Sulitnya Menahan Kemauan Hawa Nafsu

Perang yang paling sulit adalah memerangi hawa nafsu. Bahkan, seringkali setan menjadi sorotan utama dalam tindakan buruk manusia. Padahal, di samping godaan setan, justru didatangkan dominan dari hawa nafsunya sendiri. Sulitnya mewaspadai dan menahan hawa nafsu mampu merugikan diri sendiri. Dengan demikian, Allah menawarkan cara mengontrol nafsu dengan baik, yakni berpuasa. Namun perlu diperhatikan, bahwa puasa adalah upaya melemahkan hawa nafsu, mengendalikan diri dari tuntutan nafsu seperti makan, minum, ghibah, dan lain-lain, bukan melemahkan badan.

Baca Juga: Perintah dan Keutamaan Membantu yang Lemah dalam Al-Quran dan Hadis

Beratnya Menegakkan Ketaatan

Al-Ulaimi, selain memaknai lemah terletak pada urusan wanita, juga pada urusan menegakkan ketaatan. (Fatḥ al-Raḥmān fī Tafsīr al-Qur’ān, 2/117) Manusia sangat berat menunaikan ketaatan, dikarenakan hawa nafsu yang seringkali sulit diperangi dan dikendalikan. Ambil contoh yang tidak jauh dari kehidupan manusia masa kini, yaitu smartphone yang begitu sulit terlepas dari genggaman, sehingga waktu ibadah seringkali tergesa-gesa karenanya. Untuk itu, perlu terus-menerus mengendalikan dan mengontrol hawa nafsu, supaya tidak menghambat jalan taat kepada-Nya.

Kesimpulan

Sebagian besar mufassir menafsirkan kelemahan manusia adalah terletak pada lemahnya dalam hal urusan wanita. Namun, di samping itu, titik kelemahan manusia juga terletak pada mudahnya mengalami rasa ketakutan dan kesedihan, sulitnya menahan kemauan hawa nafsu sehingga berdampak pada beratnya menegakkan ketaatan. Sehingga Alquran sebagai pedoman hidup manusia adalah pilihan tepat dan terbaik untuk mengatasi kelemahan manusia, untuk menggapai ketaatan yang sempurna.

Wallahu a’lamu bish shawab.

Ramadan, Bulan yang Panas

0
Ramadan, Bulan yang Panas
Ramadan, Bulan yang Panas

Identik sebagai bulan penuh ampunan, bulan Ramadan menyediakan kesempatan begitu luas kepada seluruh muslim untuk berlomba-lomba memperbanyak ibadah dan memohon ampunan kepada-Nya. Inilah salah satu kebesaran rahmat Allah yang tiada terbatas. Akan sangat rugi sekali apabila seorang muslim tidak meraih keutamaan bulan Ramadan dengan amal-amal ibadah, dalam rangka menggerus dosa-dosa yang telah dilakukannya.

Di antara bulan-bulan lainnya, bulan Ramadan disebutkan secara khusus dalam Alquran, tepatnya pada Q.S. Al-Baqarah [2]: 185 berikut.

شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِيْٓ اُنْزِلَ فِيْهِ الْقُرْاٰنُ هُدًى لِّلنَّاسِ وَبَيِّنٰتٍ مِّنَ الْهُدٰى وَالْفُرْقَانِۚ

Bulan Ramadan adalah (bulan) yang di dalamnya diturunkan Alquran sebagai petunjuk bagi manusia.

Disebutkan oleh al-Ulaimi, istilah ramaḍān diambil dari kata al-ramḍā’u (sangat panas), yaitu al-ḥijārah al-muḥāmmah (bebatuan yang panas) [Fatḥ al-Raḥmān fī Tafsīr al-Qur’ān, 1/256].

Adapun al-Baghawi, menukil perkataan Mujahid, bahwa Ramadan merupakan bulan Allah. Pendapat paling sahih sebagaimana dikatakan oleh al-Ulaimi, nama bulan ini berasal dari kata al-ramḍā’u (sangat panas), yaitu al-ḥijārah al-muḥmāh (bebatuan yang panas). Namun dalam hal ini, terdapat perbedaan pendapat mengenai kaitan panas dengan Ramadan. Kurang lebih dijelaskan sebagai berikut.

Penamaan Berkaitan dengan Kondisi yang Terjadi Pada Masa Itu

At-Thabari menukil perkataan Abu Ja’far, mengatakan bahwa kata ramaḍān bagi sebagian ahli bahasa Arab dinamakan demikian karena panas terik yang ada di sana hingga turunnya hujan [Tafsīr al-Ṭabarī Jāmi’ al-Bayān, 3/187].

Baca juga: Ramadan, Zakat Fitrah, dan Mustahiknya

Shadiq Hasan Khan, mengutip pendapat al-Jauhari, bahwa bentuk jamak dari kata ramaḍān adalah ramaḍānāt dan armaḍā’. Penyebutan ini diadopsi dari nama-nama bulan bahasa kuno, yang mana mereka menamai sesuai dengan kondisi yang dialami saat itu juga [Fatḥ al-Bayān fī Maqāṣid al-Qur’ān, 1/366]. Secara kebetulan, saat itu bulan tersebut jatuh tepat pada cuaca yang amat terik dan panas membakar. Oleh karenanya, bulan ini pun kemudian dinamakan dengan bulan Ramadan.

Panasnya Tenggorokan Sebab Puasa

Pendapat lain mengatakan, kata ramaḍān diambil dari ramiḍa al-ṣāim, yaitu panasnya (tenggorokan) orang yang berpuasa sebab sangat kehausan. Dan kondisi panasnya tenggorokan ini dipicu oleh cuaca yang amat panas, sehingga tenggorokan orang yang berpuasa mengalami rasa terbakar dan panas [Fatḥ al-Bayān fī Maqāṣid al-Qur’ān, 1/366].

Pembakar Dosa

Shadiq Hasan Khan, mengutip pendapat al-Jauhari, bahwa disebut sebagai Ramadan dikarenakan yarmiḍu al-żunūba, yakni membakar dosa-dosa dengan amal-amal saleh [Fatḥ al-Bayān fī Maqāṣid al-Qur’ān, 1/366]. Dalam artian, seberapa banyak dosa yang telah dilakukan, akan terhapus dengan amal-amal saleh di bulan Ramadan. Sebagaimana sabda Nabi saw: innamā summiya ramaḍāna liannahu yarmiḍu żunūba ‘ibādillāhi (sesungguhnya dimanakan Ramadan ialah dikarenakan membakar dosa-dosa para hamba Allah) [Mafātīḥ al-Ghaib, 5/251].

Hakikat Panas Bulan Ramadan

Sebagaimana yang telah dipaparkan sebelumnya, bahwa bulan Ramadan berakar dari kata al-ramḍā’u (sangat panas). Asal-usul ini ditarik dari berbagai sudut pandang, baik dari penamaan bulan bagi bangsa Arab disesuaikan dengan kondisi yang menimpa, sehingga berakibat pada panasnya tenggorokan sebab bertepatan dengan bulan diwajibkannya berpuasa, dan dimaknai sebagai bulan membakar dosa-dosa yang telah lalu dengan amal-amal ibadah.

Baca juga: Variasi Cara Penetapan Awal Ramadan

Sebagai bulan yang diwajibkan bagi setiap muslim untuk berpuasa, pemaknaan puasa tidak cukup hanya dengan menahan lapar dan haus semata. Karena hakikat puasa adalah menahan, maka, lebih dari itu, setiap muslim yang berpuasa hendaknya menahan dari beragam macam hawa nafsu. Nafsu makan, minum, menggunjing, emosi, hubungan suami istri, dan selainnya.

Pasalnya, upaya menahan nafsu bagi setiap insan ini menimbulkan gejolak panas dalam diri manusia. Artinya, timbul gesekan berupaya menahan diri dengan kuat melawan hawa nafsu. Sehingga dalam konteks ini, panas adalah wujud dari “penderitaan” yang diakibatkan dari menahan nafsu. Inilah yang menjadikan dosa-dosa orang yang berpuasa terbakar oleh panas karena menderita dari jihadnya menahan nafsu, di samping memperbanyak amal ibadah di bulan Ramadan yang dijanjikan Allah akan dilipatgandakan ganjarannya.

Baca juga: Meugang: Tradisi Masyarakat Aceh Menyambut Bulan Ramadan

Dengan demikian, manfaat yang didapatkan dari Ramadan bagi orang-orang yang menjalankan puasa dan ibadah-ibadah lain dengan sebaik-baiknya, yakni menahan hawa nafsu, mengurangi maksiat, dan memperbanyak amal, ialah mampu membersikan hati dan jiwa. Sehingga mampu menjadikan manusia sebagai hamba Allah yang mudah menerima nasihat dan mengingat-Nya. Inilah kategori seseorang yang benar-benar mendapatkan keutamaan dan kemuliaan Ramadan.

Wallāhu a’lamu.

Menjadi Muslim Moderat menurut Habib Ja’far

0
Habib Ja'far
Habib Ja'far

Sebagai bagian integral dari pemahaman Islam, tafsir Alquran memegang peranan penting dalam membentuk pandangan dan sikap umat Islam terhadap berbagai isu kontemporer, salah satunya mengenai moderasi beragama. Tafsir yang dipahami oleh muslim moderat memandang Alquran sebagai sumber utama ajaran Islam yang harus dipahami secara komprehensif dan kontekstual. Mereka tidak melihat Alquran sebagai teks yang statis, melainkan sebagai wahyu yang memiliki relevansi yang abadi dengan konteks zaman sekarang.

Sekilas tentang Husein Ja’far al-Hadar

Salah satu tokoh muslim atau pendakwah yang kerap kali muncul di berbagai media sosial adalah Husein Ja’far Al-Hadar. Beliau lahir di Bondowoso pada 21 Juni 1988. Ulama berdarah Madura ini disinyalir masih memiliki garis keturunan dengan Nabi Muhammad, sehingga beliau sering disapa dengan panggilan ‘habib.’

Seperti pendakwah pada umumnya yang menimba ilmu di pondok pesantren, Husein Ja’far menempuh pendidikannya di pondok pesantren YAPI Bangil di daerah Bangil, Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur. Setelah itu,  sosok yang akrab dipanggil Habib Ja’far ini melanjutkan pendidikan formal di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta dengan mengambil jurusan Filsafat Islam. Setelah itu, beliau meneruskan pendidikan srata dua di Universitas yang sama dengan konsentrasi Tafsir Alquran.

Baca juga: Jalan Panjang Penguatan Moderasi Beragama dalam Tafsir Al-Quran

Tak bisa dipungkiri, selama menjadi pendakwah, Habib Ja’far menarik banyak perhatian masyarakat terutama generasi milenial dan generasi Z. Gaya penyampaian yang lugas, filosofis, serta menyenangkan membuat sebagian besar orang tertarik dengan kajian yang dibawakannya. Beliau juga kerap kali mengaitkan kajian yang dibawakannya dengan isu-isu kekinian, sehingga penjelasan yang diberikan semakin komprehensif.

Muslim moderat menurut Husein Ja’far al-Hadar

Salah satu video di kanal YouTube Habib Ja’far yang mendapat banyak respons positif adalah video dengan judul “Menjadi Muslim Moderat itu Bagaimana sih?.” Video ini telah ditonton sebanyak 54 ribu kali dan disukai oleh 2,6 ribu orang. Dalam video tersebut, Habib Ja’far membahas persoalan Islam moderat.

Gagasan Islam moderat dimunculkan pasca tragedi 9/11 di WTC, Amerika. Gagasan ini sebagai antitesis dari Islam radikal yang menjadikan kekerasan sebagai cara untuk mendakwahkan Islam, sehingga menyisakan citra negatif terhadap ajaran Islam itu sendiri.

Dalam hal ini, Habib Ja’far menggarisbawahi beberapa lafaz dalam surah Albaqarah ayat 143.

وَكَذٰلِكَ جَعَلْنٰكُمْ اُمَّةً وَّسَطًا لِّتَكُوْنُوْا شُهَدَاۤءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُوْنَ الرَّسُوْلُ عَلَيْكُمْ شَهِيْدًا ۗ

“Demikian pula Kami telah menjadikan kamu (umat Islam) umat pertengahan) agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Nabi Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu.”

Menurut penafsiran Husein Ja’far, surah Albaqarah ayat 143 mengandung pesan tentang urgensi menjaga persatuan umat Islam dengan bersikap moderat. Dalam menafsirkan ayat tersebut, Habib Ja’far terlebih dahulu menjelaskan makna tiap kosakata. Kajian ini biasa disebut dengan kajian semantik. Menurut para mufasir, kajian terhadap lafaz dalam Alquran penting dilakukan, karena setiap kata dalam Alquran memiliki pesan dan maknanya tersendiri yang unik dan mendalam.

Dalam hal ini Hahib Ja’far menggarisbawahi beberapa lafaz dari ayat tersebut, di antaranya adalah lafaz ummatan, ja’alna, wasathan, dan syuhada’. Menurutnya, lafaz ummatan dalam ayat ini merujuk pada umat Islam, bukan agama Islam karena agama Islam sudah pasti moderat. Semestinya, yang perlu diupayakan untuk bersikap moderat adalah umat Islam itu sendiri.

Kemudian, lafaz ja’alna menurut Habib Ja’far berbeda dengan lafaz khalaqa. Khalaqa berarti menciptakan, yakni menciptakan sesuatu dari yang belum ada menjadi ada, sedangkan ja’ala berarti menjadikan atau proses mengaktualisasikan sesuatu. Allah sudah memberikan potensi berupa agama Islam yang moderat. Tugas manusia adalah bagaimana melakukan internalisasi nilai-nilai Islam kepada diri sendiri, sehingga dia menjadi umat yang moderat sesuai dengan agama Islam.

Selanjutnya lafaz wasathan dalam Tafsir Mafatih al-Ghayb dan Tafsir al-Tabari, memiliki setidaknya tiga makna yakni; di tengan-tengah, adil, dan terbaik. Di tengah-tengah artinya seseorang tidak dipengaruhi bias dari kanan dan kirinya, baik berupa ancaman maupun rayuan. Dia mengambil keputusan sesuai dari sudut pandang di tengah yang objektif.

Baca juga: Perbedaan Adalah Keniscayaan, Toleransi Adalah Keharusan

Seseorang mampu berperilaku adil dengan mengakui yang benar sebagai benar dan sebaliknya. Wasathan juga bermakna ‘yang terbaik.’ Sebagai contoh, ketika Rasulullah dipilih untuk menempatkan Hajar Aswad setelah terseret oleh banjir besar, hal itu menunjukkan bahwa Rasulullah adalah yang terbaik di antara yang lain tanpa memandang perbedaan agama, suku, dan faktor lainnya.

Sedangkan lafaz syuhada’ berarti saksi, dengan demikian bisa dikatakan wasathan berarti ‘berada di tengah orang-orang untuk menjadi saksi tentang nilai kebanaran.’

Ringkasnya, menjadi muslim moderat dalam sudut pandang Habib Ja’far (yang juga sependapat dengan al-Razi serta al-Tabari) berarti menjadi muslim yang berada di tengah-tengah -tidak bias terhadap kanan kirinya. Muslim moderat menghukumi secara adil tentang apa yang benar dan salah tanpa peduli terhadap risiko yang mungkin akan diterima karena ucapannya yang berbeda dengan masyarakat pada umumnya.

Dengan demikian, seorang muslim moderat berarti telah melakukan salah satu aspek dari jihad, sehingga kalau dia meninggal karena sikap moderat tersebut, maka dia dikatakan syuhada’ atau syahid, karena telah menjadi saksi akan kebenaran.

Menjadi muslim moderat: kunci menjaga persatuan dan kesatuan bangsa

Dalam konteks Keindonesiaan, menjadi muslim moderat menjadi sangat penting sebagai upaya untuk menjaga persatuan dan kesatuan bangsa. Pasalnya, Indonesia notabene merupakan negara yang majemuk. Nilai-nilai moderat seperti keadilan, toleran, dan netral mesti dimanifestasikan oleh muslim dan masyarakat Indonesia pada umumnya baik dalam bentuk pikiran maupun tindakan. Apalagi saat dihadapkan dengan peristiwa yang mengancam disintegrasi bangsa.

Salah satu kasus yang kerap kali memantik konflik di tengah masyarakat adalah penyebaran hoaks atau informasi palsu yang seringkali memicu konflik antarumat beragama. Apalagi di tahun politik ini, isu hoaks semakin meningkat. Dilansir dari website KOMINFO, isu hoaks meningkat hampir 10 kali lipat saat menjelang Pemilu 2024.

Oleh sebab itu, seorang muslim yang moderat akan berusaha untuk tidak mudah terprovokasi oleh hoaks tersebut dan melakukan verifikasi terlebih dahulu sebelum menyebarkan informasi. Dengan demikian, kasus seperti ini tidak akan memicu konflik antarumat beragama dan dapat menjaga persatuan dan kesatuan bangsa.

Selain itu, dalam kehidupan sehari-hari, seorang muslim moderat juga akan mempraktikkan ajaran Islam dengan penuh rasa tenggang rasa dan empati terhadap sesama. Misalnya, dalam konteks pemilu, seorang muslim moderat harus mampu menjaga keseimbangan antara politik dan agama. Artinya, meskipun berpolitik, dia tetap menjalankan ajaran agama dengan baik dan tidak meninggalkan nilai-nilai moral dalam berpolitik.

Baca juga: Refleksi Makna Kemerdekaan: Mensyukuri Keamanan dan Kenyamanan Bernegara

Dengan demikian, menjadi muslim moderat bukan hanya suatu pilihan bijak dalam beragama, melainkan juga merupakan salah satu upaya konkret untuk menjaga persatuan dan kesatuan bangsa. Dengan sikap saling menghormati dan menerima perbedaan, Indonesia akan tetap kokoh dalam keragaman dan menjadi contoh bagi negara-negara lain dalam membangun harmoni antarumat beragama. Wallahu a’lam.